makalah Prinsip Filsafat Hukum Islam.doc

Kelompok IV

COVER
PRINSIP-PRINSIP FILSAFAT HUKUM ISLAM
Di susun untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah: Filsafat Hukum Islam
Dosen Pembimbing: Dr . Syar ifuddin, M.Ag.

Disusun Oleh
Muhamad Rizal
NIM.13021104
Muhammad Saripudin
NIM.1302110425
Moderator: A. Tamzis
Penanggap: Norhasanah

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA
FAKULTAS SYARIAH
PROGRAM STUDI AL-AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
1437 M/2016 H


KATA PENGANTAR

‫ﺑﺴﻢ اﻟﻠﻪ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﻴﻢ‬
Assalamu’alaikum wr. wb.
Dengan memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT. Atas segala
rahmat dan karunia-Nya pada penulis, akhirnya penulis dapat menyelesaikan
penyusunan karya ilmiah ini berupa Makalah yang berjudul Pr isip-Pr insip
Filsafat Hukum Islam. Makalah ini ditulis dalam rangka memenuhi salah satu
tugas kelompok mata kuliah Filsafat Hukum Islam.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini dapat diselesaikan berkat
dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis berterimakasih
kepada semua pihak yang secara langsung dan tidak langsung memberikan
kontribusi dalam penyelesaian makalah ini. Secara khusus pada kesempatan ini
penulis menyampaikan terimakasih kepada Dr . Syar ifuddin, M.Ag. sebagai
dosen pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan penulis selama
penyusunan karya ilmiah ini dari awal hingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan.
Segala kesempurnaan hanyalah milik Allah semata, sehingga kami sangat
menyadari apabila di dalam makalah ini terdapat banyak kekurangan dan sangat
jauh dari kata sempurna. Dengan ini kami sangat mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Semoga makalah sederhana ini dapat memberikan manfaat yang luar biasa
bagi kami sebagai tim penulis khususnya dan bagi pembaca sekalian pada
umumnya. Aamiin yaa robbal’aalamiin.

Wassalamu’alaikum wr.wb.
Palangka Raya, Maret, 2016.

Tim Penulis

ii

DAFTAR ISI

COVER ..................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................................. ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I ....................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
A.


Latar Belakang .......................................................................................... 1

B.

Rumusan Masalah ..................................................................................... 1

C.

Tujuan Penulisan ....................................................................................... 1

D.

Metode Penulisan ...................................................................................... 1

BAB II......................................................................................................................2
PEMBAHASAN ...................................................................................................... 2
A.

Pengertian filsafat hukum islam ................................................................ 2


B.

Prinsip-Prinsip hukum Islam ..................................................................... 4

BAB III .................................................................................................................. 14
PENUTUP..............................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 15
A.

Buku ........................................................................................................ 15

B.

Internet.....................................................................................................15

iii

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Di Alam Dunia yang begitu modern ini kita dituntut untuk memahami
suatu teks ayat dan segala macam perintah Allah ataupun larangan-NYA bukan
saja hanya secara teks, namun kita dituntut untuk bisa mengetahui dan memahami
apa hikmah yang terkandung didalamnya, sehingga sudah seharusnya filsafat
hukum islam mempunyai suatu prinsip yang menjadi dasarnya. Sehingga kami
tertarik untuk mengkaji mengenai Prinsip-Prinsip Filsafat Hukum Islam.
Selanjutnya, dalam pembahasan ini kami akan merumuskan masalah pada
penjelasanan yang selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
Adapun hal-hal yang menjadi rumusan masalah dalam pembahasan
makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa Pengertian Filsafat Hukum Islam.
2. Bagaimamana Prinsip-Prinsip Filsafat Hukum Islam.
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini, antara
lain:
1. Agar Menambah Pemahaman Dan Referensi Mengenai Filsafat Hukum Islam.
2. Agar Lebih Mengetahui Dan Memahami Berbagai Prinsip Yang Ada Pada
Filsafat Hukum Islam.
D. Metode Penulisan

Adapun metode penulisan yang digunakan dalam makalah ini yaitu
dengan telaah Kepustakaan (Library Research) dan telusur Internet (Web Search)
sebagai referensi yang ada kaitannya atau hubungannya dengan pembuatan
makalah ini dan disimpulkan dalam bentuk makalah.

1

BAB II
PEMBAHASAN
A. Penger tian filsafat hukum islam
Filsafat menurut bahasa berarti hikmah dan hakim, yang dalam bahasa
arab dipakai kata filsafat dan filisof.
Hikmah adalah perkara tertinggi yang bisa dicapai oleh manusia dengan
melalui alat-alatnya yang tertentu, yaitu akal dan metode-metode berpikirnya1.
Allah berfirman:
spyJò6Åsø9$# |N÷sム`tBur 4 âä!$t±o„ `tB spyJò6Åsø9$# ’ÎA÷sãƒ
(#qä9'ré& HwÎ) ã ž2¤‹tƒ $tBur 3 #ZŽ ÏWŸ2 #ZŽö yz u’ÎAré& ô‰s)sù
ÇËÏÒÈ É=»t6ø9F{$#

“ Tuhan memberikan hikmah kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan siapa

yang diberi hikmat, maka ia telah diberi kebaikan yang banyak
sekali” (QS.Albaqarah:269)
Filsafat hukum islam ialah filsafat yang diterapkan pada hukum islam. Ia
merupakan filsafat khusus dan objeknya adalah hukum islam. Maka filsafat
hukum islam adalah filsafat yang menganalisis hukum islam secara metodis dan
sistematis sehingga mendapatkan keterangan yang mendasar, atau menganalisis
hukum islam secara ilmiah dengan filsafat sebagai alatnya.2
Menurut Azhar Basyir, filsafat hukum islam adalah pemikiran secara
ilmiah, sistematis, dapat dipertanggung jawabkan tentang hukum islam.
Dengan kata lain filsafat hukum islam adalah pengetahuan tentang hakikat,
rahasia, dan tujuan hukum islam baik yang menyangkut materinya maupun proses
penetapannya, atau filsafat yang digunakan untuk memancarkan, menguatkan, dan
memelihara hukum islam, sehingga sesuai dengan maksud dan tujuan Allah
menetapkannya di muka bumi, yaitu untuk kesejahteraan umat manusia
seluruhnya. Dengan filsafat ini, hukum islam akan benar-benar cocok sepanjang

1

Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang. 1990. h. 3.


Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Ciputat: Logos Wacana Ilmu. 1997.

2

h.14.

2

masa di semesta alam.3
Maka filsafat hukum islam itu berupaya menyesuaikan diri dengan
keadaan masyarakat yang terjadi di tengah masyarakat. Dengan kata lain filsafat
hukum islam bersikap kritis terhadap masalah-masalah. Jawaban-jawabannya
tidak luput dari kritik lebih lanjut, sehingga ia dikatakan sebagai seni kritik, dalam
arti tidak pernah merasa puas diri dalam mencari, tidak menganggap suatu
jawaban sudah selesai, tetapi selalu bersedia bahkan senang membuka kembali
perdebatan.4
Filsafat hukum islam atau faksafah al-tasyri’ al-isla miyy; hikmatal-

tasyri’. Atau asra’r al-syari’ah, seperti halnya filsafat hukum dalam pengertian
yang dikenal di lingkungan Fakultas Hukum Islam di Indonesia. Filsafat hukum

islam dapat dinyatakan sebagai bagian dari kajian filsafat hukum secara umum.
Filsafat hukum islam sebagaimana filsafat pada umumnya menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjangkau oleh ilmu hukum. Demikian juga
tugas filsafat hukum islam seperti halnya tugas filsafat pada umumnya yang
mempunyai dua tugas : pertama, tugas kritis dan, kedua, tugas konstruktif. Tugas
kritis filsafah hukum islam ialah mempertanyakan kembali paradigma-paradigma
yang telah mapan di dalam hukum islam. Sementara tugas konstuktif filsafat
hukum islam ialah mempersatukan cabang-cabang hukum islam dalam kesatuan
system hukum islam sehinngga Nampak bahwa satu cabang hukum islam dengan
lainnya tidak terpisahkan . dengan demikian, filsafat hukum islam; hakikat
keadilan; hakikat pembuatan hukum; tujuan hukum; sebab orang harus taat
kepada hukum islam; dan sebagainya.5
B. Pr insip-Pr insip hukum Islam
Prinsip
3

Ibid.,

3


Ibid.,

menurut

Ahmad

4

pengertian

bahasa

Rasyid,

Pengertian

ialah

permulaan;


Filsafat

Hukum

tempat

Islam,

http://iptekresiproduktif.blogspot.co.id/2015/05/makalah-filsafat-hukum-islam.html
5

Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, Bandung: Pusat Penerbit Universitas LPPM,

1995, hal. 15.

3

pemeberangkatan; titi tolak; atau al-mabda . prinsip dalam buku filsafat hukum
islam karangan Dr. Juhaya S. Praja ini berarti kebenaran universal yang inheren di
dalam hukum islam dan menjadi titik tolak pembinaannya.
1) Tidak Memberatkan
Hukum Islam senantiasa memberikan kemudahan dan menjauhi
kesulitan, semua hukumnya dapat dil;aksanakan oleh umat manusia.
Karena itu dalam Hukum Islam dikenal yang namanya Rukhsah. Contoh.
Kebolehan berbuka bagi seorang musafir yang merasa tidak kuat puasa.
Dalam Hukum Islam juga dikenal dengan Istilah Dharurah (hukum yang
berlaku pada saat keterpaksaan).6
Penetapan ini berdasarkan atas dasar kaidah ushul Fiqh:
“Keadaan terpaksa menjadikan apa yang semula terlarang dibolehkan”.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang menunjukan bahwa beban kewajiban
bagi manusia tidak pernah bersifat memberatkan. Adalah sebagai berikut:
“Allah Tidak memberati manusia, melainkan sekedar kuasa-Nya”.
(QS. AL-Baqarah: 286).
“Allah menghendaki keringanan bagimu dan tidak menghendaki
kesukaran”. (QS. AL-Baqarah:185).
“Allah tidak menghendaki untuk menjadikan sesuatu kesempitan
bagimu”. (QS. 5:6).
2) Menyedikitkan Beban.
Nabi melarang sahabat memperbanyak pertanyaan tentang hukum
yang belum ada yang natinya akan memberatkan mereka sendiri, Nabi
SAW. Justru menganjurkan agar mereka memetik dari kaidah-kaidah
umum. Kita ingat bahwa ayat-ayat tentang hukum hanya sedikit. Yang
sedikit tersebut justru memberikan lapangan yang luas bagi manusia untuk
berijtihad. Dengan demikian hukum Islam tidaklah kaku, keras, dan berat
6

Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1999. h.

66.

4

bagi umat manusia.
Dugaan-dugaan atau sangkaan tidak boleh dijadikan dasar
penetapan hukum.7 Allah Berfirman:

 
  
   



  


   
   
 
“ Hai orang-orang yang beriman: Janganlah kamu bertanya-tanya
tentang sesuatu yang kalau diterangkan kepadamu akan menyusahkanmu,
tetapi kalau kamu tanyakan (tentang ayat itu pada waktu turunya), akan
diterangkan kepadamu; Allah memaafkan kamu dan Allah maha
pengampun lagi penyabar” . (QS. Al-Maidah:101).
Ini semua menunjukan bahwa Islam mengajarkan umatnya agar
bersifat Realistik. Ketika Nabi ditanya apakah kewajiban haji itu tiap
tahun, Nabi SAW menjawab:

” Kalau pertanyaan itu saya jawab “ ya” , maka akan menjadi
kewajiban bagiku; karena itu biarkan saja selama aku meninggalkanmu;
sungguh telah rusak beberapa kaum yang sebelum kamu itu karena terlalu
membanyakan pertanyaan dan perselisihan mengenai Nabi-nabi mereka” .
Allah berfirman:
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu”. (QS. AL-Baqarah: 185).
“Allah hendak meringankan (keberatan) dari kamu, karena
manusia diciptakan lemah”. (QS. AN-Nisa: 28).

7

A. Salim, Tarikh Tasyri, cet. I, Solo: CV. Ramadhani, 1988. H. 41-42.

5

3) Prinsip tauhid
Prinsip ini menyatakan bahwa setiap manusia ada di bawah suatu
ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang dinyatakan dalam
kalimat la’ila’ha illa al-La’h (tidak ada tuhan selain Allah). Prinsip ini
ditarik dari firman Allah SWT., antara lain Al-Qur’an surah ke-3
Ali’Imran ayat 64:


















    
   




  













 

Katakanlah: "Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu
kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu,
bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan dia
dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian
yang lain sebagai Tuhan selain Allah". jika mereka berpaling Maka
Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orangorang yang berserah diri (kepada Allah)".
Bedasarkan atas prinsip tauhid ini, maka pelaksanaan hukum islam
merupakan ibadah. Ibadah dalam arti perhambaan manusia dan
penyerahan dirinya kepada Allah sebagai manusia dan penyerahan
manifestasi kesyukuran kepada Allah. Dengan deemikian, tidak boleh

6

terjadi saling mentuhankan sesama dan/ atau sesama makhluk lainnya.
Pelaksanaan hukum islam adalah ibadah dan penyerahan diri manusia
kepada keseluruhan kehendak-Nya.8
Karena prinsip tauhid ini merupakan prinsip umum, maka ada
prinsip-prinsip khusus yang merupakan kelanjutan dari prinsip tauhid ini
terhadap dalam setiap cabang hukum islam. Umpamanya prinsip-prinsip
tauhid yang melahirkan prinsip-prinsip khusus yang berlaku dalam fiqih
ibadah sebagaimana dijelaskan di bawah ini.
a. Prinsip pertama: berhubungan langsung dengan Allah tanpa perantara.
Prinsip berhubungan langsung dengan Allah tanpa perantara ialah
prinsip yang berarti bahwa tak seorangpun manusia dapat menjadikan
dirinya sebagai zat yang wajib disembah. Nabi dan Rasul pun hanyalah
manusia pilihan yang bertugas menyampaikan (tabli’g) pesan-pesan Allah.
Mereka adalah perantara (wasi’t) dan mempunyai tugas menyampaikan
pesan-pesan Allah (muballig) yang sama sekali tidak berhak disembah.
Dengan demikian, Allah adalah ‘dekat’ dengan manusia walaupun Ia tetap
transenden.9
b. Prinsip Kedua: Beban Hukum (Takli’f) ditujukan untuk memelihara akidah
dan iman, peyucian jiwa (tazkiyat al nafs) dan pembentukan pribadi yang
luhur.
Atas dasar prinsip inilah hamba-hamba Allah dibebani ibadah
sebagai bentuk kesyukuran atas nikmat Allah. Pembe;anjaan harta di jalan
Allah, baik sedekah, infak, dan sebagainya, semata-mata ditujukan demi
terpeliharanya akidah dan iman serta pensucian jiwa. Pelaksanaan solat
demi ketentraman pelakunya dan keseluruhan umat manusia.
4) Amar Makruf Nahi Mungkar
Amar makruf berarti hukum islam digerakkan untuk, dan
merekayasa umat manusia untuk menuju tujuan yang baik dan benar yang
dikehendaki dan diridhoi Allah. Dalam kajian filsafat hukum barat
8

Ibid., hal. 96.

9

Ibid., hal. 70.

7

biasanya biasanya diartikan berbagai fungsi social engineering hukum.
Sedangkan nahi mungkar berarti fungsi social kontrolnya. Atas dasar
prinsip inilah dalam hukum islam dikenal adanya perintah dan larangan;
wajib dan haram; pilihan antara melakukan dan tidak melakukan
perbuatan yang kemudian dikenal dengan istilah al-ahkam al-khamsh atau
lima hukum, yaitu: wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah.
Prinsip amar makruf nahi mungkar ini bedasarlan atas firman Allah surah
ke-3 Ali Imran ayat 110. Kategori al-Ma’ruf dan munkar seperti
dinyatakan dalam ayat 110 di atas ada yang dinyatakan wahyu ada pula
yang ditentukan bedasarkan akal.10
5) Kemerdekaan atau kebebasan (al-Huriyyah)
Kebebasan dalam arti luas yang mencakup berbagai macamnya,
baik kebebasan individual maupun komunal; kebebasan beragama,
kebebasan berserikat, dan kebebasan berpolitik. Kebebasan individual
meliputi kebebasan dalam melakukan suatu perbuatan atau tidak
melakuakan suatu perbuatan. Kenesan beragama dalam islam dijamin
bedasarkan prinsip Tidak ada paksaan di dalam beragama (la’ikra’ha fi’

al-di’in) sebagai mana dinyatakan al-quran surah al-Baqarah ayat 256 dan
al-Kairun ayat 5.
6) Persamaan atau Egalite (al- Musa’wah)
Prinsip ini mempunyai landasan dalam Al-Quran dan sunnah.
Konstitusi Madinah yang dikenal dengan Al-Sahifah adalah contoh yang
paling nyata pelaksanaan prinsip egalite dalam islam, antara lain,
disebabkan prinsip equalite ini. Islam menentang perbudakan dan
penghisapan darah manusia atas manusia.
Manusia adalah makhluk yang mulia sebagaimana dinyatakan
dalam surah al-isra ayat 70. Kemuliaan manusia bukanlah karena ras dan
warna kulitnya. Kemuliaan manusia adalah karena zat manusianya itu
sendiri. Kendatipun prinsip persamaan merupakan bagian terpenting dalam
10

Ibid., hal. 76.

8

pembinaan dan pengembangan hukum islam dalam penggerakan dan
mengontrol social, tetapi tidaklah berarti hukum islam menghendaki
masyarakat tanpa kelas (classless society) ala komunisme.
7) At Ta’wun (tolong menolong)
Prinsip ta’awun berarti bantu membantu antara sesama anggota
masyarakat. Bantu membantu ini diarahkan sesuai dengan prinsip tauhid,
terutama dalam upaya meningkatkan kebaikan dan ketakwaan kepada
Allah. Prinsip ta’awun menghendaki kaum muslim saling tolongmenolong dalam kebaikan dan ketakwaan sebagaimana yang dijelaskan
dalam al-Qur’an surah ke-5 al-Maidah ayat 2, surah ke-48 al mujadalah
ayat 9.
8) Toleransi (tasa’muh)
Hukum islam mengharuskan umat manusia hidup rukun dan damai
di muka bumi ini tanpa memandang ras, dan warna kulit. Toleransi yang
dikehendaki islam ialah toleransi yang menjamin tidak terlarangnya hakhak islam dan umatnya. Toleransi hanya dapat diterima apabila tidak
merugikan agama islam.11
9) Ditetapkan secara bertahap.
Tiap-tiap masyarakat tentu mempunyai adat kebiasaan atau tradisi,
baik tradisi tersebut merupakan tradisi yang baik maupun tradisi yang
membahayakan dirinya sendiri. Tradisi tersebut ada yang berurat dan
berakar scara mendalam dalam darah daging mereka dan ada yang sifatnya
hanya dangkal.
Bangsa Arab, ketika Islam datang, mempunyai tradisi dan
kesenangan yang sukar dihilangkan dalam sekejap saja. Apabila
dihilangkan sekaligus, akan menuebabkan timbulnya konflik, kesulitan
dan ketegangan batin.12
Dalam sosiologi Ibnu Khaldun dinyatakan bahwa “Suatu
11
12

Ibid., hal. 77-76.
Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Cet. VI, Jakarta: Bulan

Bintang, 1991. h. 29.

9

masyarakat (Tradisional atau yang tingkat intelektualnya masih rendah)
akan menentang apabila ada suatu yang baru atau sesuatu yang datang
dikemudian dalam kehidupannya, lebih-lebih apabila sesuatu yang baru
tersebut bertentangan dengan tradisi yang ada”. Masyarakat akan
senantiasa memberikan respon apabila timbul suatu ditengah-tengah
mereka.
Dengan mengingat faktor tradisi dan ketidak senangan manusia
untuk menghadapi perpindahan sekaligus dari suatu keadaan kepada
keadaan lain yang asing bagi kehidupan mereka, Al-Qur’an diturunkan
secara berangsur-angsur, surat demi surat dan ayat demi ayat sesuai
dengan pristiwa, kondisi, dan situasi yang terjadi. Dengan cara demikian,
hukum yang diturunkan-Nya lebih disenangi oleh jiwa dan lebih
mendorong

kearah

mentaatinya,

serta

bersiap-siap

meninggalkan

ketentuan lama dan menerima ketentuan baru.13
10) Memperhatikan Kemaslahatan Manusia.
Hubungan sesama manusia merupakan manifestasi dari hubungan
dengan pencipta. Jika baik hubungann ya dengan manusia lain, maka baik
pula hubungannya dengan penciptanya. Karena itu hukum Islam sangat
menekankan kemanusiaan.
Ayat-ayat yang berhubungan dengan penetapan hukum tidak
pernah meninggalkan masyarakat sebagai bahan pertimbangan.14 Dalam
penetapan hukum senantiasa didasarkan pada tiga sendi poko, yaitu:
a. Hukum-Hukum ditetapkan sesudah masyarakat itu membutuhkan
Hukum-Hukum itu.
b. Hukum-Hukum ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak
menetapkan hukum dan menundukkan masyarakat ke bawah
ketetapannya.
c. Hukum-Hukum ditetapkan menurut kadar kebutuhan masyarakat.15
13

Ibid., h. 29-30.

14

Anwar Harjono, Hukum Islam, Keluasan dan Keadilannya, Jakarta: Bulan Bintang.

h. 113.

10

Dalam kaidah ushul fiqhnya dinyatakan:
“Ada dan tiadanya hukum itu bergantung kepada sebab (illatnya)”.
“Tidak diingkari adanya perubahan Hukum disebabkan oleh
berubahnya masa”.
Namun disamping itu, terbentuknya Hukum Islam disamping
didorong oleh kebutuhan-kebutuhan praktis, ia juga dicari dari kata hati
untuk mengetahui yang dibolehkan dan dilarang. Tujuan syara’ dalam
menetapkan hukum diantaranya:
a. Memelihara kemashlahatan Agama.
b. Memelihara Jiwa.
c. Memelihara akal.
d. Memelihara keturunan.
e. Memelihara harta benda dan kehormatan.

11) Mewujudkan Keadilan yang Merata.
Menurut syariat Islam, semua orang sama. Tidak ada kelebihan
seorang manusia dari yang lainnya dihadapan hukum. Penguasa tidak
terlindungi oleh kekuasaanya ketika ia berbuat kezaliman. Orang kaya dan
berpangkat tidak terlindungi oleh kekayaan dan pangkat ketika yang
bersangkutan berhadapan dengan pengadilan.
Allah Berfirman dalam surat An-Nisa Ayat 135:















15





Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang. 1975. h.

93-94.

11
























   






















“ Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang
benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi Karena Allah biarpun
terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia 16 Kaya
ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu Karena ingin menyimpang dari kebenaran.
dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi,
Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang
kamu kerjakan.”
Pada suatu ketika, orang-orang Quraisy disibukan oleh pristiwa
seorang wanita yang hendak dijalankan hukuman potong tangan atasnya
lantaran mencuri. Orang Quraisy berkehendak untuk membebaskan
hukuman bagi wanita tersebut. Mereka menyampaikan maksud tersebut
melalui seorang pemuda kesayangan Rasul yaitu Usamah Bin Zaid. Ketika
mendenngar pengaduan Usamah, Nabi SAW menjadi marah dan bersabda:

“ Apakah engkau memberi syafaat (dispensasi) terhadap seseorang
dalam menjalankan suatu had dari had-had Allah? Sungguh telah binasa
16

Maksudnya: orang yang tergugat atau yang terdakwa.

12

orang-orang sebelum kamu lantaran mereka orang yang berpangkat,
maka mereka (tidak dihukum), dan jika yang mencuri itu torang rendah
mereka laksanakan had itu. Demi Allah, andaikan Fatimah puteri
Muhammad mencuri, pastilah Muhammad memotong tangannya.” 17
Intisari dari prinsip hukum islam, ialah memelihara manusia , memberi
perhatian yang penuh kepada manusia dan kemuliaannya. Serta menjauhkan
segala yang menyebabkan terganggunya kemuliaan manusia, tanpa membedakan
warna, ras, tanpa membedakan antara yang jahil dan alim, yang berpendidikan
atau kaum intelektual. Oleh karena ini yang menjadi asas hukum islam, maka
islam tidak mendasarkan perintah kepada pemaksaan, tidak menghilangkan
kemerdekaan manusia.18

17

A-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid III, Bairut: Dar al-Fikr. 1983. h. 413.

18

Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Semarang: PT

Pustaka Rizki Putera, 2001. h. 146.

13

BAB III
PENUTUP
Filsafat Hukum Islam adalah yang menganalisis baik secara metodis dan
sistematis, guna mendapatkan jawaban yang tepat dalam Filsafat Hukum Islam,
serta adanya suatu prinsip yang menjadi dasar dari pada Filsafat Hukum Islam
sehingga ada hal yang bisa menjadi identitas untuk Filsafat Hukum Islam yang
berbeda dengan Filsafat pada Umumnya, yang memiliki suatu tujuan untuk
menjelaskan apa yang menjadi hal-hal yang dipertanyakan dalam Islam yang bisa
dilogikakan tanpa melanggar koridor yang sudah ada dan yang pasti semuanya
selalu dikembalikan kepada Allah S.W.T sebagai suatu tujuannya.
Prinsip hukum islam antara lain :
1. Tidak memberatkan
2. Menyedikitkan beban
3. Prinsip tauhid
4. Amar makruf nahi mungkar
5. Al-Hurriyah (kebebasan)
6. Al-Musawwamah (Equality)
7. At-Taawun (tolong menolong)
8. Toleransi
9. Ditetapkan secara bertahap
10. Mempertahankan kemaslahatan manusia
11. Mewujudkan keadilan yang merata

14

DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Ash-Shiddieqy, Hasbi, Pengantar Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang. 1975.
Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam, Ciputat: Logos Wacana Ilmu. 1997.
Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1999.
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang. 1990.
Hanafi, Ahmad, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Cet. VI, Jakarta: Bulan
Bintang, 1991.
Harjono, Anwar, Hukum Islam, Keluasan dan Keadilannya, Jakarta: Bulan
Bintang.
Praja, Juhaya S., Filsafat Hukum Islam, Bandung: Pusat Penerbit Universitas
LPPM, 1995.
Sabiq, A-Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Jilid III, Bairut: Dar al-Fikr. 1983.
Salim, Tarikh Tasyri, cet. I, Solo: CV. Ramadhani, 1988.
Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi Ash, Falsafah Hukum Islam, Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putera, 2001.
B. Inter net
Rasyid,

Ahmad,

Pengertian

Filsafat

Hukum

Islam,

Http://iptekresiproduktif.blogspot.co.id/2015/05/makalah-filsafat-hukum-islam.html

15