BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Proses Transesterifikasi Minyak Kelapa Sawit Menggunakan Novozym® 435 dalam Sistem Pelarut ChCl untuk Menghasilkan Biodiesel

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 BIODIESEL

  Biodiesel merupakan campuran dari metil ester asam lemak rantai panjang seperti laurat, palmitat, stearat, oleat, dan lain-lain. Biodiesel biasanya terdiri dari asam lemak alkil rendah (panjang rantai C

  14 -C 22 ), ester dari alkohol rantai pendek,

  terutama, metanol atau etanol. Minyak atau lemak bereaksi dengan metanol atau etanol dengan katalis natrium hidroksida atau kalium hidroksida untuk membentuk biodiesel, metil atau etil ester, dan gliserol [1,16].

  Biodiesel merupakan bahan bakar pengganti terbarukan untuk minyak solar atau bensin solar yang sebagian besar terbuat dari lemak nabati seperti minyak sawit, sayuran, kacang kedelai, dan bunga matahari, atau lemak hewani seperti gemuk, yang dapat dicampur dengan solar atau digunakan secara langsung dalam mesin diesel karena memiliki karakteristik yang sangat mirip, tetapi memiliki emisi gas buang yang lebih rendah [16

  • –17]. Di antara semua kemungkinan tersebut, minyak sawit dikenal sebagai minyak tanaman unggul sebagai bahan baku untuk biodiesel [3].

  Biodiesel memiliki sifat yang lebih baik daripada bahan bakar bensin solar, antara lain merupakan sumber daya terbarukan, biodegradable, tidak beracun, dan pada dasarnya bebas dari senyawa sulfur dan aromatik. Biodiesel merupakan bahan bakar yang realistis untuk masa depan dan telah menarik perhatian dunia akhir-akhir ini karena sifatnya yang ramah lingkungan dan dapat digunakan untuk setiap mesin diesel tanpa modifikasi. Berbagai metode untuk produksi biodiesel dari minyak nabati antara lain seperti penggunaan langsung dan pencampuran, mikroemulsifikasi, pirolisis, dan transesterifikasi. Di antara metode tersebut, transesterifikasi merupakan teknik yang paling baik dan diterima secara luas karena prosesnya yang relatif sederhana. Dua jenis alkohol yang biasa digunakan dalam proses ini adalah metanol ataupun etanol. Metanol biasanya digunakan karena biayanya murah, bersifat polar dan memiliki rantai alkohol terpendek, sedangkan etanol dapat diperoleh dari sumber yang terbarukan dan bersifat lebih renewable dibandingkan metanol [16,18].

  Dalam proses ini biasanya digunakan katalis untuk meningkatkan laju reaksi dan hasil yield. Katalis asam dan alkali yang digunakan tergantung pada sifat minyak yang digunakan sebagai bahan baku untuk produksi biodiesel. Katalis lainnya adalah lipase. Lipase memiliki kelebihan dibanding katalis asam dan alkali yaitu lebih sesuai dengan variasi kualitas bahan baku, dapat digunakan kembali, menggunakan lebih sedikit energi dan mengurangi limbah sehingga ramah lingkungan, tetapi memiliki kelemahan seperti biaya yang mahal untuk produksi dalam skala besar dan kinerja enzim terhambat oleh alkohol rantai pendek [12,16].

  Salah satu minyak nabati yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku biodiesel di Indonesia adalah Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO) dimana RBDPO merupakan fraksi minyak sawit turunan CPO yang sudah dimurnikan dan Indonesia merupakan produsen terbesar bahan baku CPO tertinggi yang dihasilkan untuk produksi biodiesel di dunia [3-4].

Tabel 2.1 Komponen Utama RBDPO [3,19]

  Komponen Jumlah

  Trigliserida 95 %

  Free Fatty Acids (FFA) 0,1 % max Moisture dan Impurities 0,1 % max

  Pemanfaatan RBDPO ini merupakan salah satu bentuk diversifikasi dan peningkatan nilai ekonomis produk-produk berbasis kelapa sawit dimana produksi kelapa sawit sangat tinggi di Indonesia [3,20]. Luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia semakin bertambah dari tahun 2001-2010, yang diikuti dengan produksi yang cenderung meningkat pula [21].

  Produksi minyak kelapa sawit di Indonesia dapat dilihat pada tabel 2.2.

Tabel 2.2 Jumlah Produksi Minyak Kelapa Sawit di Indonesia Tahun 2000-2011

  [21]

  Tahun Jumlah Produksi (dalam ribuan ton)

  2000 1.977,8 2001 2.800,7 2002 3.426,7 2003 3.517,3 2004 3.847,2 2005 4.500,8 2006 5.608,2 2007 5.811,0 2008 6.923,0 2009 7.517,7 2010 8.458,7 2011 8.797,9

  Produksi kelapa sawit yang sangat tinggi tersebut merupakan peluang besar bagi biodiesel berbasis bahan baku RBDPO sebagai energi alternatif pengganti bahan bakar fosil di Indonesia.

2.2 PROSES TRANSESTERIFIKASI ENZIMATIS

  Transesterifikasi merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk mengubah minyak menjadi biodiesel. Transesterifikasi merupakan reaksi antara trigliserida yang terkandung dalam minyak dan penerima gugus asil. Penerima gugus asil dapat berupa asam karboksilat (asidolisis), alkohol (alkoholisis) atau ester lain (interesterifikasi) [24]. Metanol merupakan alkohol yang paling sering digunakan dalam proses transesterifikasi karena harganya yang relatif rendah dibandingkan dengan alkohol lainnya. Dalam reaksi metanolisis tertentu, campuran reaksi terdiri dari dua fasa karena metanol memiliki kelarutan yang rendah dalam minyak, menyebabkan terjadinya inaktivasi enzim dan yield metil ester menurun [10]. Proses transesterifikasi dapat dilakukan dengan menggunakan katalis asam, katalis basa, biokatalis, atau dengan menggunakan alkohol superkritis [7].

  Metode konvensional untuk memproduksi biodiesel melibatkan katalis asam dan basa untuk membentuk asam lemak alkil ester. Biaya pengolahan dan masalah lingkungan yang terkait dengan produksi biodiesel dan pemulihan produk samping telah menyebabkan dibutuhkannya metode produksi alternatif. Reaksi enzimatik yang melibatkan lipase dapat menjadi alternatif yang sangat baik untuk menghasilkan biodiesel melalui proses yang biasa disebut alkoholisis, yaitu suatu bentuk reaksi transesterifikasi [25].

  Mekanisme reaksi transesterifikasi dengan katalis enzim berlangsung dalam empat tahap [26]: (a)

  Kompleks enzim-substrat terbentuk karena penambahan oksigen nukleofilik pada gugus O-H yang terdapat pada enzim. (b)

  Asam terkonjugasi dari gugus amina mentransfer proton ke alkil oksigen substrat dan pembentukan gliserol (jika triasilgliserida adalah substrat, diasilglserida akan terbentuk dengan gliserol dan seterusnya). (c)

  Atom oksigen dari molekul alkohol ditambahkan ke atom karbon C = O asil enzim intermediet, sehingga kompleks enzim-alkohol terbentuk. (d)

  Oksigen dari kompleks enzim dihilangkan dan proton ditransfer dari asam terkonjugasi dari gugus amina, menghasilkan asam lemak metil ester.

Gambar 2.1 Reaksi Transesterifikasi Enzimatis [26]

  Keuntungan utama dari kerja lipase sebagai biokatalis adalah kondisi reaksi yang ringan dan mudah memisahkan gliserol tanpa pemurnian sehingga menghemat waktu, menghasilkan sedikit limbah dan kemurnian produk yang sangat tinggi [10, 27

  • –28]. Selain itu, asam lemak bebas dalam minyak dapat benar-benar dikonversi menjadi metil ester tanpa terjadinya pembentukan sabun sehingga meningkatkan yield biodiesel dan mengurangi biaya untuk pemurnian bahan bakar. Karakteristik enzim memungkinkan penggunaan bahan dengan asam tinggi lemak bebas (FFA) atau kadar air yang tinggi seperti minyak non-pangan, minyak goreng dan minyak limbah industri dan berbagai alkohol seperti metanol, etanol, propanol, isopropanol, butanol, dan isobutanol [10].

  Yield biodiesel tidak hanya tergantung pada asal usul lipase, tetapi juga pada susunan enzim (diimobilisasi atau tidak), alkohol yang digunakan, rasio molar alkohol terhadap minyak, aktivitas air optimum, suhu reaksi, waktu reaksi, masa pakai enzim, dan jenis solvent (jika ada) [27

  • –28]. Sintesis biodiesel menggunakan enzim biasanya dilakukan pada suhu antara 20 hingga 60 ºC. Alkohol berlebih dapat memberikan hasil tinggi dalam sintesis biodiesel dan biokatalis dapat digunakan beberapa kali (terutama lipase terimmobilisasi). Lemak yang mengandung trigliserida dan FFA dapat dikonversi secara enzimatik menjadi biodiesel dalam proses satu tahap [27].

2.3 ENZIM LIPASE

  Lipase adalah enzim-enzim yang mengkatalisis hidrolisis ester karboksilat dalam molekul triasilgliserol untuk membentuk asam lemak bebas, di- dan monogliserida dan gliserol. Meskipun fungsi alami mereka adalah untuk mengkatalisis hidrolisis ester, mereka juga dapat mengkatalisis esterifikasi. Karena mereka dapat mengkatalisis hidrolisis, alkoholisis, esterifikasi dan transesterifikasi mereka memiliki spektrum yang luas dari aplikasi bioteknologi [10]. Ada dua kategori utama enzim sebagai biokatalis : (1) lipase ekstraseluler (yaitu enzim yang sebelumnya telah dipulihkan dan dimurnikan dari kaldu yang dihasilkan oleh mikroorganisme hidup). Produsen utama yaitu mikroorganisme

  Mucor miehei, Rhizopus oryzae, Candida antarctica dan Pseudomonas cepacia;

  (2) lipase intraseluler yang masih tersisa baik di dalam sel ataupun di dinding sel yang memproduksinya; dimana dua kategori enzim tersebut merupakan enzim terimobilisasi [24].

  Enzim, termasuk lipase, memiliki struktur tiga dimensi aktif tertentu dalam media encer dengan gugus polar terbuka dan gugus nonpolar tersembunyi. Tidak seperti enzim lainnya, sifat dasar reaksi lipolitik yang dikatalisis oleh lipase sangat kompleks, di mana substrat lipid tidak larut dalam air. Air diperlukan untuk mempertahankan dan mengaktifkan lipase dan lipid yang tidak larut dalam air membuat media reaksi heterogen dengan membentuk antarmuka cair-cair. Antarmuka adalah titik dimana lipase dapat mengakses substrat dan mengkatalis reaksi. Aktivitas lipase mudah dipengaruhi oleh sifat dasar antarmuka, sifat antarmuka, dan luas antarmuka. Antarmuka mengaktifkan enzim melalui adsorpsi, yang membantu terbukanya tutup pada sisi katalitik. Semua jenis antarmuka, seperti padat-cair, cair-cair, atau gas-cair, dapat mempengaruhi aktivitas akibat adanya hidrofobisitas antarmuka. Peningkatan luas antarmuka akan meningkatkan jumlah enzim yang teradsorbsi, sehingga dapat meningkatkan aktivitas enzim dalam lipid atau sistem air heterogen. Adsorpsi enzim ke antarmuka mengawali serangkaian proses sebelum katalisis lengkap tercapai dan mengarah ke aktivasi dan pengikatan substrat yang diikuti oleh katalisis. Penumpukan produk reaksi pada antarmuka akan mengurangi tegangan permukaan, yang berkaitan dengan energi permukaan yang tinggi. Hal ini tidak dikehendaki karena menyebabkan terjadinya dampak denaturasi pada molekul enzim [29].

  Secara sederhana, mekanisme kerja enzim dapat dilihat pada gambar di bawah ini [30].

Gambar 2.2 Mekanisme Kerja Enzim

  Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa mekanisme kerja enzim diawali dengan pengontakkan antara substrat dengan sisi aktif enzim yang kemudian akan membentuk sebuah kompleks enzim-substrat dimana substrat akan diubah menjadi produk yang kemudian akan dilepaskan dan enzim diperoleh kembali seperti semula untuk selanjutnya bereaksi kembali dengan substrat [30].

  ®

2.4 NOVOZYM 435

  Salah satu jenis enzim lipase terimmobilisasi yang telah banyak digunakan

  ® ®

  dalam produksi biodiesel yaitu Novozym 435. Novozym 435 dapat digunakan untuk mengkatalisasi transesterifikasi dan reaksi hidrolisis untuk produksi

  ®

  biodiesel. Novozym 435 memiliki struktur berpori dan lebih sensitif terhadap perubahan rasio mol serta dapat mencapai konversi yang tinggi dengan rasio mol, temperatur dan jumlah katalis yang lebih rendah [31].

  ® Sifat-sifat dari Novozym 435 dapat dilihat pada tabel 2.3 berikut.

  

®

Tabel 2.3 Sifat Biokatalis Novozym 435 [31]

  Candida antartica lipase B (CALB)

  Sifat katalis bergerak di resin akrilik Berbentuk manik-manik bulat berwarna

  Sifat fisik putih Distribusi ukuran partikel : d

  10 (µm) 252

  d

  50 (µm) 472

  d

  90 (µm) 687

  2 Luas permukaan BET (m /g) 81,6

  3 Volume pori total (cm /g) 0,45

  Diameter pori rata-rata (nm) 17,7

3 Densitas (g/cm ) 1,19

  Porositas 0,349 Kapasitas asam (mmol/g) 0,436

2.5 SOLVENT

  Transesterifikasi dapat dilakukan baik menggunakan pelarut organik atau dalam media bebas pelarut. Contoh pelarut organik non-polar yang sangat baik untuk minyak yaitu heksana [24]. Tujuan penggunaan pelarut organik untuk transesterifikasi yaitu untuk memastikan campuran reaksi bersifat homogen, mengurangi viskositas campuran reaksi sehingga meningkatkan laju difusi dan dapat mengurangi masalah perpindahan massa di sekitar enzim [12], untuk meningkatkan stabilisasi enzim sehingga memungkinkan untuk digunakan berulang kali [32], dan juga meningkatkan kelarutan alkohol dan sehingga dapat mengurangi efek inaktivasi alkohol dan gliserol pada aktivitas lipase [33]. Namun, pelarut organik bersifat volatil dan menghasilkan limbah beracun sehingga berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan [34].

  Room temperature ionic liquids (RILs) dianggap sebagai alternatif yang

  ramah lingkungan pengganti pelarut organik yang dianggap berbahaya. ILs merupakan garam yang tidak mudah menguap, tekanan uapnya dapat diabaikan dimana tekanan uapnya bisa sangat kecil (<1 Pa) bahkan pada suhu yang relatif tinggi (200 sampai 300 ºC), mempunyai polaritas tinggi, dapat menghantarkan listrik karena terdiri dari anion dan kation, tidak mudah terbakar serta stabil secara termal dan kimia [35

  • –36]. ILs memiliki sifat hidrofobik, terdiri dari anion kosmotropik dan kation kaotropik yang biasanya dapat meningkatkan aktivitas
dan stabilitas enzim [37]. Selain itu, ILs memiliki potensi untuk didaur ulang dan digunakan kembali serta mampu menyediakan media reaksi yang bersih dengan limbah yang minimum [38].

  Secara keseluruhan, metode untuk menstabilkan dan mengaktifkan enzim dalam ILs dibagi menjadi dua kategori umum, yaitu modifikasi enzim, dan modifikasi lingkungan pelarut. Kategori pertama termasuk imobilisasi enzim dan sebagainya dimana bertujuan agar enzim lebih toleran terhadap faktor penyebab denaturasi ILs. Kategori kedua meliputi penggunaan aditif di ILs dan sebagainya dimana bertujuan untuk meminimalkan sifat denaturasi dari beberapa

  ILs [39].

  Pelarut eutektik berbasis kolin dapat digunakan sebagai media persiapan enzimatik biodiesel [8]. Pelarut eutektik berbasis kolin termasuk dalam deep

  

eutectic solvents (DES) yang merupakan ionic liquid tingkat lanjut. DES adalah

  campuran garam seperti ChCl dan pemberi ikatan hidrogen bermuatan seperti urea, asam oksalat, atau gliserol. Misalnya, campuran ChCl dan urea dalam rasio molar 1 : 2 yang diencerkan untuk membentuk DES. Ionic liquid berbasis ChCl digunakan sebagai pelarut dalam reaksi transesterifikasi enzimatik karena memiliki keunggulan dibandingkan dengan pelarut organik biasa yang larut dalam air dan pelarut polar organik, yaitu tidak menonaktifkan enzim, lebih ramah lingkungan dari pelarut organik karena merupakan senyawa nonvolatil, dan dapat dibuat dari komponen tidak beracun, harganya lebih murah dan biayanya sama dengan pelarut organik karena tidak memerlukan pemurnian [11].

  Stabilisasi enzim di dalam ionic liquids solvent (ILs) adalah salah satu kunci untuk pengembangan proses biokatalitik, aplikasi lingkungan, atau biomedis untuk industri yang lebih efisien. Penggunaan enzim dalam ILs menyajikan keuntungan yang berbeda ketika dibandingkan dengan pelarut organik konvensional . Di sisi lain, dalam beberapa kasus aplikasi enzim dapat dibatasi oleh kelarutan yang rendah, kegiatan atau stabilitas di ILs. Peningkatan fungsi enzim sangat penting untuk aplikasi skala besar untuk menguntungkan secara ekonomis. Metode untuk menstabilkan dan mengaktifkan enzim dalam ILs dapat dibagi menjadi dua strategi yang berbeda yaitu dengan cara modifikasi enzim dan modifikasi pelarut. Modifikasi enzim termasuk liofilisasi (untuk mengubah morfologi enzim padat), modifikasi kimia (untuk penambahan fungsi kimia ke dalam biomolekul enzim) dan immobilisasi dalam media yang cocok. Selain itu, memahami faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim dan stabilitas di media ILs juga sangat penting. Telah dilaporkan bahwa reaksi enzim dalam ILs dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti aktivitas air, pH, bahan pembantu dan kotoran. Beberapa karakteristik ILs juga berkaitan dengan aktivitas dan stabilitas enzim. Yang paling penting yaitu polaritas, kapasitas ikatan hidrogen, viskositas dan hidrofobik dimana jenis dan kekuatan interaksi ILs dengan molekul enzim pasti akan mempengaruhi struktur 3D mereka. Pengaruh tersebut dapat mengakibatkan atau tidak perubahan aktivitas enzim [40].

Gambar 2.3 Stabilitas Enzim dalam Cairan Ionik [41]

2.6 POTENSI EKONOMI BIODIESEL DARI RBDPO

  Produksi minyak sawit di Indonesia yang semakin meningkat dari tahun ke tahun menjadikan minyak sawit dan turunannya sebagai minyak yang berpotensi tinggi untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan biodiesel. RBDPO dapat diolah dari CPO. Sebagai bahan baku yang berpotensi, RBDPO diharapkan dapat menjadi sumber bahan baku utama untuk pembuatan biodiesel guna mencukupi kebutuhan bahan bakar dalam negeri yang semakin tinggi. Adapun peluang untuk mengembangkan potensi biodiesel sendiri di Indonesia cukup besar terutama untuk substitusi minyak solar mengingat saat ini penggunaan minyak solar mencapai sekitar 40 % dari total penggunaan BBM untuk sektor transportasi. Sementara penggunaan solar pada industri dan PLTD adalah sebesar 74 % dari total penggunaan BBM pada kedua sektor tersebut.

  Untuk itu, perlu dilakukan kajian potensi ekonomi biodiesel dari RBDPO. Namun, dalam tulisan ini hanya akan dikaji potensi ekonomi secara sederhana. Sebelum melakukan kajian tersebut, perlu diketahui harga bahan baku yang digunakan dalam produksi dan harga jual biodiesel. Dalam hal ini, harga biodiesel mengacu pada harga komersial RBDPO dan biaya produksi biodiesel. Harga RBDPO = Rp. 8.700,00/liter [42] Harga Biodiesel = Rp. 10.900,00/liter [43] Dapat dilihat bahwa harga jual biodiesel sebagai produk menunjukkan bahwa pengolahan biodiesel dari RBDPO akan meningkatkan nilai ekonomis dari biodiesel tersebut.

  Harga jual biodiesel cukup mahal jika dibandingkan dengan harga jual bahan bakar solar yang hanya Rp. 8.500,00/liter. Namun, adanya kebijakan dari pemerintah mengenai peningkatan penggunaan biofuel / biodiesel sebagai bahan bakar yaitu pemberlakuan Peraturan Menteri ESDM Nomor 20 Tahun 2014 yang merupakan perubahan dari Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga BBN (Bahan Bakar Nabati) sebagai Bahan Bakar Lain memberikan dampak yang signifikan terhadap konsumsi biodiesel dalam negeri. Kementerian Energi dan Sumber Daya Energi (ESDM) berencana meningkatkan porsi penggunaan BBN sebagai campuran bahan bakar minyak (BBM) dari 10 % bertahap menjadi 20 % dan mulai 1 April 2015 pemerintah mewajibkan seluruh badan usaha yang bergerak di bidang bahan bakar untuk mencampurkan 15 % biodiesel untuk BBM jenis solar dan sejenis yang dijualnya. Biodiesel yang digunakan juga diwajibkan merupakan produk lokal, bukan produk impor.

  Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM tengah fokus dalam merealisasikan kebijakan mandatori BBN mulai 2016 sebesar 20 % dikarenakan produksi minyak Indonesia sudah tidak dapat lagi mencukupi kebutuhan dalam negeri. Pada 2015, pemerintah menargetkan produksi siap jual (lifting) minyak Indonesia sekitar 825.000 barel/hari (BPH) sedangkan kebutuhannya diprediksi mencapai 1.600.000 BPH sehingga Indonesia harus mengimpor BBM. Salah satu solusi untuk mengurangi impor minyak adalah dengan memanfaatkan BBN seperti biodiesel sebagai pengganti BBM. Oleh karena itu, Kementerian ESDM berusaha meningkatkan subsidi biodiesel menjadi Rp. 4.000,00/liter dalam APBNP 2015 dari sebelumnya hanya sebesar Rp. 3.000,00/liter. Selain itu Badan Pengelola Dana Perkebunan

  (BPDP) atau Badan Layanan Umum (BLU) Kelapa Sawit berencana akan memberikan subsidi tambahan sebesar Rp. 600,00

  • – Rp. 700,00/liter kepada produsen biodiesel yang didukung oleh kebijakan pemerintah terkait pungutan dana perkebunan kelapa sawit yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan dan Peraturan Presiden Nomor 61 tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit dimana dana hasil pungutan tersebut harus benar-benar dialokasikan untuk pengembangan biodiesel dan penanaman kembali (replanting) perkebunan rakyat, riset, promosi pasar, hingga pengembangan SDM di industri kelapa sawit. Hal ini tentu saja akan memberi manfaat yang positif bagi perkembangan industri biodiesel di Indonesia.

  Dengan adanya kebijakan pemerintah yang ditetapkan oleh peraturan menteri ESDM, penetapan harga jual biodiesel sendiri bisa fleksibel mengikuti harga bahan baku serta biaya produksi saat ini yang ditutupi dengan subsidi, produksi biodiesel menggunakan bahan baku RBDPO dapat tetap menguntungkan dan berpotensi untuk menjadi industri yang berkembang ke depannya sehingga menjadikan Indonesia sebagai penghasil terbesar biodiesel dan pelaku ekspor biodiesel di dunia.

Dokumen yang terkait

BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Pengertian Arsip - Analisis Pengelolaan Arsip Nasabah Dinamis Aktif Pada PT. Bank XXX Medan

0 1 33

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Kepemimpinan Terhadap Produktivitas Kerja Pegawai Pada Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang

0 0 22

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Dampak Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 Terhadap Wajib Pajak Usaha Mikro Kecil Menengah (Umkm) Dan Penerimaan Pajak Penghasilan (Pph) Pasal 4 Ayat 2pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Lubuk Pakam

0 0 57

Pengomposan Tandan Kosong Kelapa Sawit Menggunakan Pupuk Organik Aktif Dari Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit : Pengaruh Lubang Asupan Udara

0 2 36

Pengomposan Tandan Kosong Kelapa Sawit Menggunakan Pupuk Organik Aktif Dari Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit : Pengaruh Lubang Asupan Udara

0 1 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengomposan Tandan Kosong Kelapa Sawit Menggunakan Pupuk Organik Aktif Dari Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit : Pengaruh Lubang Asupan Udara

1 2 26

Pengomposan Tandan Kosong Kelapa Sawit Menggunakan Pupuk Organik Aktif Dari Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit : Pengaruh Lubang Asupan Udara

1 1 20

1. Beranda.m (Antarmuka Beranda) - Implementasi Algoritma K-Nearest Neighbor untuk Mengklasifikasikan Motif Batik Besurek Bengkulu

0 0 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Batik Besurek 2.1.1 Sejarah Batik Besurek Bengkulu - Implementasi Algoritma K-Nearest Neighbor untuk Mengklasifikasikan Motif Batik Besurek Bengkulu

0 1 13

Implementasi Algoritma K-Nearest Neighbor untuk Mengklasifikasikan Motif Batik Besurek Bengkulu

1 1 17