BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Dampak Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 Terhadap Wajib Pajak Usaha Mikro Kecil Menengah (Umkm) Dan Penerimaan Pajak Penghasilan (Pph) Pasal 4 Ayat 2pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Lubuk Pakam

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Sebagai Negara yang berkembang, Indonesia terus melaksanakan pembangunan di segala bidang, yaitupembangunan di bidang ekonomi, sosial budaya, hukumdaln lain-lain. Pembangunan tersebut bertujuan untukmencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk mensejahterakanrakyat Indonesia secara adil dan makmur. Salah satuusaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsadalam hal mensejahterakan rakyat secara adil dan makmur yaitudengan menggali sumber dana yang berasal dari dalamnegeri berupa pajak, pajak digunakan untuk membiayaipembangunan yang berguna bagi kepentingan bersama,pajak dipungut dari wajib pajak dan menjadisalah satu kewajiban yang dapat dipaksakan penagihannya.

  Seperti yang dijelaskan pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 menjelaskan bahwa pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang- Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan penjelasan diatas bahwa Pemungutan pajak menganut asas legalitas artinyapemungutan pajak tersebut ditentukan dahulu di dalamundang-undang.

  Pajak merupakan penyumbang terbesar dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), lebih dari 70% penerimaan negara berasal dari sebagaiprimadona dalam menopang keuangan dan perekonomian negara.Peranan pajak yang begitu besar membuat pemerintah terus menggalih potensi-potensi yang dapat dikenakan pajak. Saat ini pemerintah mulai melirik sektor swasta memiliki potensi yang besar untuk pemasukan pajak. Sesuai dengan usulan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, aturan baru itu akan menyasar sektor usaha kecil yaitu dari Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), yakni yang mempunyai omset Rp 300 juta-Rp 4,8 miliar per tahun. (“Setelah Target Selalu Meleset” Tempo,13 Januari 2013,108).

  Direktur Jenderal Pajak pada saat itu yaitu Fuad Rachmany menyatakan Peraturan baru ini dibuat karena alasan sangat tidak adil bila para pengusaha dengan omset diatas Rp 300 juta itu tidak dipajaki. Ia membandingkan dengan buruh dan pekerja dengan gaji diatas pendapatan tidak kenak pajak senilai Rp 15.840.000 per tahun,yang juga langsung dipotong pajak padahal pengusaha kecil itu jauh lebih kaya dari pada buruh dan sangat banyak pembukuan dari pengusaaha kecil yang tidak jelas.. (“Setelah Target Selalu Meleset” Tempo,13 Januari 2013,109).

  Kerena alasan pembukuan dari pengusaha yang tergolung UKM tidak tercatat secara terperinci, mempermudah dan penyederhanaan aturan pajak, tertib administrasi, memberikan kesempatan masyarakat untuk berkontribusi dalam penyelenggaraan Negara diterbitkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013tentang pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu.

  Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 diterbitkan tanggal 12 Juni ketentuan ini, bagi wajib pajak yang memenuhi kriteria dikenakan Pajak final denga tarif 1% dari perederan bruto setiap bulan. Wajib pajak yang dimaksud adalah wajib pajak orang pribadi atau wajib pajak badan yang tidak dalam bentuk badan usaha tetap (BUT), tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tidak melebihiRp4.800.000.000,00 (empatmiliar delapan ratus juta rupiah) dalam1 (satu) tahun pajak. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 adalah termasuk dalam Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat 2 yang bersifat final.

  Berdasarkan peneltian-penelitian sebelumnya yang telah dilakukan diberbagai daerah bahwa PP 46 telah memberikan dampak positif terutama dari sisi penerimaan maupun sisi pertumbuhan wajib pajak. Berikut salah satu hasil jurnal penelitian yang telah dilakukan di malang :

  “On July 1, 2013, government has authenticated the PP No. 46 Year 2013

  representating the MSMEs tax expenses. In order to help the middle and small industrial economics activity, the government give the taxation facility to small scale Taxpayer (MSMEs) with the tax final rate 1% which imposed to the shares of circulation bruto up to Rp 4,8 bilions a year. This research aimed to describe the implementation of MSMEs tax expenses based on PP No. 46 Year 2013 and its contribution to PPh Pasal 4 Ayat (2) in the work region of Tax Service Office Pratama South Malang. This research used a descriptive method. The results of this research showed that the average contribution of PP No. 46 Year 2013tax for the revenue of PPh Pasal 4 Ayat (2) during the five months since the implementation of PP No. 46 Year 2013 is amounted to 6.51% with criteria very

  

While the growth rate of the amount of taxpayers PP No. 46 Year 2013 is

continuing to increase every month” (Astri Corry N DS. 2013. Pengaruh

Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 Terhadap Tingkat

Pertumbuhan Wajib Pajak Usaha Mikro Kecil Menengah Dan Penerimaan Pajak

Pasal 4 Ayat (2) Pada KPP Pratama Malang Selatan). Dari hasil jurnal penelitian tersebut bahwa Peraturan Pemerintah Nomor

  46 Tahun 2013 telah efektif dilaksanakan sehingga baik dari sisi penerimaan dan pertumbuhan telah kelihatan kemajuannya dengan jangka waktu belum satu tahun terlaksana. Apakah penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 ini juga mempunyai hasil yang sama di Kantor Pelayanan Pajak Pratama lainnya yang wilayah kerjanya meliputi daerah-daerah masing-masing.

  Maka dari itu penulis ingin melakukan penelitian yang sama di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Lubuk Pakam. Kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPP) Lubuk Pakam adalah salah satu instansi pemerintah dibidang pelayanan perpajakan yang berada dibawah naungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Utara I.Di bawah Kanwil DJP Sumut 1 Wilayah kerja KPP Pakam adalah wilayah terluas nomor 2 setelah KPP Binjai yaitu terdiri dari 22 kecamatan. Namun wilayah kerja KPP Pakam yang terdiri dari 22 kecamatan tersebut tersebar di beberapa wilayah yang cukup sulit, selain ada yang jauh dari jangkauan juga adanya wilayah yang terpecah-pecah.Penerimaan pajak tahun 2014 pada KPP Pakam mencapai 95% yaitu dengan nilai sekitar Rp 1,26 Triliun dari target sebesar Rp 1,325 T.

  Diwilayah kerja KPP Pakam dapat dikatakan masih banyak potensi Sebelum penulis melakukan pengamatan, di salah satu wilayah kerja KPP Pakam yaitu kecamatan Lubuk Pakam Kabupaten Deli serdang sangat banyak terdapat usaha-usaha yang dapat dikategorikan sebagai UMKM belum terdaftar sebagai wajib pajak. Mungkin saja kejadian serupa juga terjadi di kecamatan-kecamatan lain yang berada d wilayah kerja KPP Lubuk Pakam.

  Apakah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 yang telah diberlakukan sejak tanggal 1 Juli Tahun 2013 dapat menggarap potensi sektor UMKM dan dapat mencapai tujuan sesuai dengan pemberlakuan peraturan tersebut. Karena alasan tersebut sehingga penulis tertarik untuk mengambil judul“

  

Dampak Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013

Terhadap Wajib Pajak Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Dan

Penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 Ayat 2 Pada Kantor Pelayanan

Pajak Pratama Lubuk Pakam”.

1.2 Rumusan Masalah

  Perumusan masalah yang menjadi fokus perhatian peneliti adalah :

  1. Bagaimana dampak pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 terhadap wajib pajak UMKM?

  2. Bagaimana dampak pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 terhadap penerimaan PPh pasal 4 ayat 2?

  1.3 Tujuan Penelitian

  Dari permasalahan penelitian yang telah dirumuskan, maka tujuan dari penelitian ini adalah :

  1. Mengetahuidampak pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 terhadap wajib pajak UMKM

  2. Mengetahui dampak pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 terhadap penerimaan PPh pasal 4 ayat 2

  1.4 Manfaat Penelitian 1.

  Bagi peneliti, sebagai sarana untuk melatih dan mengembangkan kemampuan berpikir ilmiah, sistematis, dan kemampuan untuk menuliskannya dalam bentuk karya ilmiah berdasarkan kajian-kajian teori dan aplikasi yang diperoleh dari Program Studi Ekstensi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Univerumah sakititas Sumatera Utara.

  2. Bagi instansi terkait, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan yang berguna atas pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 demi mencapai tujuan yang semula direncanakan dari penerbitan peraturan pemerintah ini.

  3. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baik langsung maupun secara tidak langsung bagi kepustakaan Program Studi Ekstensi Ilmu Administrasi Negara.

1.5 Kerangka Teori

  Studi kepustakaaan berkaitan dengan kajian teoritis dan referensi lain yang terkait dengan nilai, budaya, norma yang berkembang pada situasi sosial yang diteliti. (Sugiyono, 2007:14)

1.5.1 Kebijakan Publik

1.5.1.1 Definisi Kebijakan Publik

  Banyak alasan atau definisi mengenai kebijakan publik. Setiap definisitersebut memberi penekanan yang berbeda-beda. Perbedaan ini timbul karena setiap ahli mempunyai latar belakang yang berbeda-beda pula. Para ilmuwan politik yang ada pada masa lampau umunya berminat terhadap proses-proses politik seperti proses legislatif,proses pemilu, dan unsur-unsur sistem politik, seperti kelompok kepentingan atau pendapat umum.

  Adapun beberapa definisi kebijakan publik menurut para ahli yaitumenurut Chandler dan Plano (Keban,2008:60) adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah.

  Selanjutnya Suwitri dalam Suaedi dan Wardiyanto (2010:138),kebijakan publik adalah serangkaian tindakan berupa pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam rangka mencapai tujuan negara yang merupakan kepentingan publik dengan memperhatikan input yang tersedia, berdasarkan usulan dari seseorang atau kelompok orang didalam pemerintahan atau diluar pemerintahan.

  Dari sejumlah definisi yang telah diuraikan diatas, maka dapat atau proses dalam mengatasi masalah publik yang didalamnya mengandung konsep atau nilai nilai yang selaras dengan konsep dan nilai yang dianut oleh masyarakat.

  Pembagian jenis-jenis kebijakan publik berdasarkan pada dua kategori menurut Nugroho (2004 :54-57) yaitu :

  1. Berdasarkan maknanya, bahwa kebijakan publik adalah hal-hal yang diputuskan pemerintah untuk dikerjakan dan hal-hal yang diputuskan pemerintah untuk tidak dikerjakan atau dibiarkan. Pembagian menurut kategori ini mengahasilkan tiga jenis kebijakan publik yaitu: a. Kebijakan publik yang dibuat oleh legislatif atau disebut sebagai kebijakan publik yang paling tertinggi.

  b. Kebijakan publik yang dibuat dalam bentuk kerjasama antara legislatif dan eksekutif.

  c. Kebijakan publik yang dibuat oleh eksekutif saja.

  2. Kebijakan alokatif dan distributif, kebijakan kedua ini biasanya berupa kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan anggaran atau keluaran publik

1.5.1.2 Proses Analisis Kebijakan Publik

  Proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan didalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis.

  Aktivitas politis tersebut dijelaskan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut aturan waktu: penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi

  2003:22). Sedangkan aktivitas perumusan masalah, peramalan (forecasting), rekomendasi kebijakan, pemantauan (Monitoring), dan evaluasi kebijakan adalah aktivitas yang lebih bersifat intelektual.

  Dalam memecahkan masalah yang dihadapi kebiijakan publik, Dunn mengemukakan beberapa tahap analisis yang harus dilakukan,yaitu :

  1. Penetapan Agenda Kebijakan (agenda setting) Perumusan masalah dapat memasok pengetahuan yang relevan dengan kebijakan yang mempersoalkan asumsi-asumsi yang mendasari definisi masalah dan memasuki proses pembuatan kebijakan melalui penyusunan agenda. Perumusan masalah dapat membantu menemukan asumsi-asumsi yang tersembunyi, mendiagnosis penyebab-penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan yang memungkinkan, memadukan pandangan-pandangan yang bertentangan, dan merancang peluang-peluang kebijakan yang baru. Perumus kebijakan harus difasilitasi berupa dukungan sosial, dukungan politik, dukungan budaya.

  2. Formulasi Kebijakan Dalam tahap formulasi kebijakan,, peramalam dapat menyediakan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang masalah yang akan terjadi dimasa mendatang sebagai akibat dari diambilnya alternatif, termasuk tidak melakukan sesuatu.

  3. Adopsi Kebijakan Pada tahap adopsi kebijakan, pengambil kebijakan terbantu dalam rekomendasi yang membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang manfaat atau biaya dari berbagai alternatif yang akibatnya di masa mendatang telah diestimasikan melalui peramalan.

  4. Implementasi kebijakan Pemantauan (monitoring) menyediakan pengetahuan yang relevam dengan kebijakan tentang akibat dari kebijakan yang diambi sebelumnya terhadap pengambil kebijakan pda tahap implementasi kebijakan. Pemantauan membantu menilai tingkat kepatuhan, menemukan akibat-akibat yang tidak diinginkan dari kebijakan dan program, mengidentifikasi hambatan dan rintangan implementasi, dan menemukan letak pihak-pihak yang bertanggung jawab pada setiap tahap kebijakan. Proses implementasi membutuhkan fasilitasi seperti tim, lembaga, peraturan, sumber daya.

  5. Evaluasi Kebijakan Evaluasi membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang diharapkan dengan yang benar-benar dihasilkan.

1.5.2 Implementasi Kebijakan Salah satu tahap penting dalam sebuah kebijakan adalah implementasi .

  karena pada tahap ini, kebijakan diterapkan dan diukur sejauh mana kebijakan tersebut dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan dan mencapai tujuan- tujuan kebijakan yang diinginkan.

  Implementasi menurut Meter dan Horn (Winarno,2007:102) lebih mengarah pada batasan dalam implementasi yang diiprentasikan sebagai: tindakan yang yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya.

  Menurut Mazmanian dan Sabatier (Wahab,2004:68) yang dimaksud dengan implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan.

  Teori-teori diatas menyimpulkan bahwasannya Implementasi merupakan proses yang kompleks yang melibatkan berbagai aktor serta menggunakan berbagai sumber daya dalam pelaksanaanya dan dilaksanakan dalam kurun waktu tertentu, selain itu implementasi merupakan tahapan yang krusial dan menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan proses kebijakan.

  Bagaimanapun baiknya suatu kebijakan jika tidak diimplementasikan tidak akan menimbulkan dampak atau tujuan yang diinginkan. Seperti yang dikemukakan oleh Hoogerwerf yang menjelaskan “Agar suatu kebijakan dapat memberikan hasil yang diharapkan, maka kebijakan itu harus dilaksanakan.

  Pelaksanaan kebijakan dapat didefinisikan sebagai pengggunaan sarana-sarana yang dipilih untuk mencapai tujuan-tujuan yang dipilih dan ingin direalisasikan” (Hoogerwerf, 1982:57)

  Tahap Implementasi dilaksanakan setelah kebijakan dirumuskan, seperti dikemukakan oleh Winarno bahwasannya “Implementasi terjadi hanya setalah undang-undang ditetapkan dan dana disediakan untuk membiayai implementasi kebijakan tersebut” (Winarno, 2007:102).

  Proses implementasi lebih lanjut dijelaskan oleh Mazmanian & Sabatier keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan” (Widodo, 2008:88).

  Dari kedua teori tersebut dapat dijelaskan bahwasannya dalam pelaksanaan suatu kebijakan hanya dapat diterapkan jika sudah terdapat dasar hukum yang memayungi kebijakan tersebut dan setiap pelaksana kebijakan bertindak ataupun tunduk kepada petunjuk-petunjuk yang ada pada dasar hukum tersebut dalam rangka mentransformasikan kebijakan tersebut.

  Dalam implementasinya sendiri tidak terlepas dari berbagai kendala yang timbul akibat proses yang rumit dan kompleks, kendala tersebut menjadi penghambat dalam keberhasilan suatu implementasi bahkan dapat menyebabkan gagalnya implementasi tersebut. Karakteristik masalah merupakan salah satu dari tiga kelompok variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi seperti yang dikemukakan oleh Mazamanian dan Sabatier dalam Subarsono yang mengidentifikasi Karakterisitik masalah yang terdiri atas : 1.

  Kesulitan Teknis. Tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan, sifat dari suatu msalah itu sendiri akan mempengaruhi mudah tidaknya suatu program diimplementasikan.

  2. Keragaman perilaku kelompok sasaran. Hal ini berarti bahwa suatu program akan relatif mudah diimplementasikan apabila kelompok sasaranya homogen. Sebaliknya apabila kelompok sasarannya heterogen, maka implementasi program akan relatif lebih sulit.

  3.

  Sebaliknya sebuah program relatif mudah diimplementasikan apabila jumlah kelompok sasarannya tidak terlalu besar.

  4. Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan. Sebuah program bertujuan memberikan pengetahuan atau bersifat kognitif akan relatif lebih mudah diimplementasikan daripada program yang bertujuan untuk mengubah sikap dan perilaku masyarakat. (Subarsono, 2008:95-96)

  Sementara itu Wahab menjelaskan bahwasannya suatu kebijakan gagal dimplementasikan karena disebabkan oleh faktor-faktor berikut :

  1. Pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan tidak mau bekerja sama dalam kebijakan tersebut;

  2. Pihak-pihak yang terlibat tersebut telah bekerja secara tidak efisien atau setengah hati;

  3. Pihak-pihak yang terlibat tidak menguasai permasalahan yang dihadapi;

  4. Kemungkinan permasalahan yang dihadapi di luar jangkauan kekuasaan pihak-pihak yang terlibat dalam implementasi tersebut. (Wahab, 2012:59) Dari berbagai hal diatas, dapat diketahui banyak kendala yang dapat menghambat keberhasilan dari pelaksanaan atau kebijakan, sehingga kebijakan yang dibuat sebelum diputuskan dan dilaksanakan harus direncanakan dengan matang sehingga peramalan yang dibuat mampu memprediksi kendala ataupun masalah yang mungkin timbul. Sebuah implementasi agar efektif memerlukan berbagai ketepatan, Nugroho (2009 : 521) merinci prinsip ketepatan yang perlu dipenuhi dalam hak keefektifan kebijakan antara lain :

  1. Ketepatan kebijakan. apakah kebijakannya sendiri sudah tepat. Ketepatan kebijakan ini dinilai dari sejauh mana kebijakan yang ada telah bermuatan hal-hal yang memang memecahkan masalah yang hendak dipecahkan.

  2. Ketepatan pelaksanaan. Ketepatan dalam hal pelaksana atau aktor dari implementasi kebijakan yang akan dilaksanakan. Ada tiga lembaga yang dapat menjadi pelaksana, yaitu pemerintah, kerjasama antara pemerintah dan masyarakat/swasta, dan implementasi kebijakan yang diswastakan.

  3. Ketepatan target. Ketepatan target berkaitan dengan tiga hal yaitu pertama, apakah target yang diintervensi sesuai dengan yang direncanakan, tidak tumpang tindih dengan intervensi lain, dan tidak bertentangan dengan intervensi kebijakan lain. Kedua kesiapan kondisi target untuk diintervensi, ketiga apakah intervensi implementasi kebijakan bersifat baru atau memperbarui implementasi kebijakan sebelumnya.

  4. Ketepatan Lingkungan. Terdiri atas dua lingkungan yaitu lingkungan kebijakan yaitu interaksi diantara lembaga perumus kebijakan dan pelaksana kebijakan dengan lembaga lain yang terkait. Serta lingkungan eksternal kebijakan yang terdiri atas persepsi publik atas kebijakan, interpretasi lembaga strategis dalam masyarakat, dan individu-individu tertentu yang memiliki peran penting dalam menginterpretasikan kebijakan dan implementasi kebijakan.

1.5.3 Evaluasi Kebijakan

1.5.3.1 Definisi Evaluasi Kebijakan

  Evaluasi kebijakan publik dilakukan untuk menilai sejauhmana keefektifan kebijakan publik untuk dipertanggungjawabkan kepada publiknya dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Evaluasi dibutuhkan untuk melihat kesenjangan antara harapan dan kenyataan.

  Menurut Winarno (2008:225) bila kebijakan dipandang sebagai suatu pula kegiatan yang berurutan, maka evaluasi kebijakan merupakan tahap akhir dalam proses kebijakan.

  Kemudian menurut Muhadjir dalam Widodo (2008:112) evaluasi kebijakan publik merupakan proses untuk menilai seberapa jauh suatu kebijakan publik dapat membuahkan hasil, yaitu dengan membandingkan antara hasil yang diperoleh dengan tujuan atau target kebijakan publik yang ditentukan.

  Dalam Bingham dan Felbinger,Howlet dan Ramesh (1995) dalam Nugroho (2011:676-677) mengelompokan evaluasi menjadi tiga, yaitu :

  a. Evaluasi administratif, yang berkenaan dengan evaluasi sisi administratif anggaran, efisiensi, biaya dari proses kebijakan di dalam pemerintah yang berkenaan dengan : 1) effort evaluation, yang menilai dari sisi input program yang dikembangkan oleh kebijakan 2) Performance evaluation, yang menilai keluaran dari program yang dikembangkan oleh kebijakan.

  3) adequacy of performance evaluation atau effectiveness evaluation , yang menilai apakah program dijalankan sebagaimana yang sudah ditetapkan.

  4) effeciency evaluation, yang menilai biaya program dan memberikan penilaian tentang keefektifan biaya tersebut.

  5) process evaluation, yang menilai metode yang dipergunakan oleh organisasi untuk melaksanakan program.

  b. Evaluasi judical, yaitu evaluasi yang berkenaan dengan isu keabsahan hukum tempat kebijakan diimplementasikan, termasuk kemungkinan pelanggaran terhadap konstitusi, sistem hukum, etika, aturan administrasi negara, hingga hak asasi manusia.

  c. Evaluasi politik, yaitu menilai sejauh mana penerimaan konstituten politik terhadap kebijakan publik yang diimplementasikan.

  Sedangkan menurut Dane (wibawa, 1994) menyebutkan ada dua tipe evaluasi kebijakan, yaitu : a. Sumative evaluation, adalah penilaian dampak dari suatu program. Disebut juga dengan evaluasi dampak (out come evaluation).

  b. Formative evaluation, adalah penilaian terhadap proses dari program, disebut pula evaluasi proses.

  Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup susbtansi, implementasi dan dampak. Dalam hal ini, evaluasi kebijakan dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebiajakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses masalah-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan.

1.5.3.2 Fungsi dan Tujuan Evaluasi Kebijakan

  Sebagai salah satu tahapan dalam proses kebijakan, evaluasi memiliki fungsi dan tujuan. Menurut Wibawa dalam Nugroho (2009 : 541-542), evaluasi kebijakan publik memilik empat fungsi, yaitu: 1.

  Eksplanasi. Melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan program dan dapat dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hungungan antar berbagai dimensi realitas yang diamatinya. Dari evaluasi ini evaluator dapat mengidentifikasi masalah ,kondisi, dan aktor yang mendukung keberhasilan atau kegagalan kebijakan.

  2. Kepatuhan. Melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan oleh para pelaku, baik birokrasi maupun pelaku lainnya, sesuai dengan standar dan prosedur yang ditetapkan oleh kebijakan.

  3. Audit. Melalui evaluasi dapat diketahui, apakah output benar-benar sampai ke tangan kelompok sasaran kebijakan, atau justru ada kebocoran atau penyimpangan.

4. Akunting. Dengan evaluasi dapat diketahui apa akibat sosial-ekonomi dari kebijakan tersebut.

  Beberapa ahli juga mengemukakan tentang tujuan-tujuan dari evaluasi, Subarsono (2008 : 120) merinci beberapa tujuan dari evaluasi antara lain a.

  Menentukan tingkat kinerja suatu kebijakan. Melalui evaluasi maka dapat diketahui derajat pencapaian tujuan dan sasaran kebijakan.

  b.

  Mengukur tingkat efisiensi suatu kebijakan. Dengan evaluasi juga dapat diketahui derajad diketahui berapa biaya dan manfaat suatu kebijakan.

  c.

  Mengukur tingkat keluaran (outcome) suatu kebijakan. Salah satu tujuan evaluasi adalah mengukur berapa besar dan kualitas pengeluaran atau output dari suatu kebijakan.

  d.

  Mengukur dampak suatu kebijakan. Pada tahap lebih lanjut, evaluasi ditujukan untuk melihat dampak dari suatu kebijakan, baik dampak positif maupun negatif.

  e.

  Untuk mengetahui apabila ada penyimpangan. Evaluasi juga bertujuan untuk mengetahui adanya penyimpangan-penyimpangan yang mungkin terjadi, dengan cara membandingkan antara tujuan dan sasaran dengan pencapaian target.

  f.

  Sebagai bahan masukan (input) unutk kebijakan yang akan datang. Tujuan akhir evaluasi adalah untuk memberikan masukan bagi proses kebijakan ke depan agar dihasilkan kebijakan yang lebih baik.

  Oleh karena itu evaluasi kebijakan, pada prinsipinya digunakan untuk mengevaluasi empat asek dalam proses kebijakan publik (Wibawa, yuyun, agus, 1994:35), yaitu : 1) proses pembuatan kebijakan 2) proses implementasi 3) konsekuensi kebijakan

1.5.3.3 Tahapan dan Kendala Evaluasi Kebijakan

  Evaluasi dalam pelaksanaanya memiliki tahapan atau langkah-langkah yang dapat dilakukan agar dapat berjalan secara sistematis. Evaluasi dengan ilmiah merupakan evaluasi yang mempunyai kemampuan yang lebih baik untuk menjalankan evaluasi kebijakan dibandingkan dengan tipe evaluasi lain (Winarno, 2007 : 169). Edward A. Suchman di sisi lain lebih masuk ke sisi praktis dengan mengemukakan tujuh langkah dalam evaluasi kebijakan (Winarno, 2007 : 169), yaitu : 1. Mengidentifikasi tujuan program yang akan dievaluasi.

  2. Analisis terhadap masalah.

  3. Deskripsi dan standardisasi kegiatan.

  4. Pengukuran terhadap tingkatan perubahan yang terjadi.

  5. Menentukan apakah perubahan yang diamati merupakan akibat dari kegiatan tersebut atau karena penyebab lain.

  6. Beberapa indikator untuk menentukan keberadaan suatu dampak.

  Menurut Suchman, mendefinisikan masalah merupakan tahap paling penting dalam evaluasi kebijakan.Setelah masalah didefinisikan dengan jelas maka tujuan-tujuan dapat disusun dengan jelas pula. Oleh karena itu, ia juga mengidentifikasi beberapa pertanyaan operasional untuk menjalankan riset evaluasi seperti :

  1. Apakah yang menjadi isi dari tujuan program ?

  2. Siapa yang menjadi target program ?

  3. Kapan perubahan yang diharapkan terjadi ?

  5. Apakah dampak yang diharapkan besar ?

  6. Bagaimanakah tujuan-tujuan tersebut dicapai ? Langkah-langkah tersebut dibuat agar suatu evaluasi dapat efektif dengan berjalan secara sistematis. Pada pelaksanaanya sendiri, evaluasi tidak terlepas dari kemungkin timbulnya masalah atau kendala. Hal ini disebabkan evaluasi juga merupakan proses yang kompleks, sehingga kendala atau masalah tersebut dapat menghambat pelaksanaan evaluasi tersebut. Anderson dalam Winarno (2007 : 175-179) mengidentifikasi enam masalah yang akan dihadapi dalam proses evaluasi kebijakan.

  a.

  Ketidakpastian atas tujuan-tujuan kebijakan. Bila tujuan-tujuan dari suatu kebijakan tidak jelas atau tersebar, maka kesulitan yang timbul adalah menentukan sejauh mana tujuan-tujuan tersebut telah dicapai. Ketidakjelasan biasanya berangkat dari proses penetapan kebijakan.

  b.

  Kausalitas. Terdapat kesulitan dalam melakukan penentuan kausalitas antara tindakan-tindakan yang dilakukan terutama dalam masalah-masalah yang kompleks. Seringkali ditemukan suatu perubahan terjadi, tetapi tidak disebabkan suatu tindakan atau kebijakan.

  c.

  Dampak kebijakan yang menyebar. Tindakan-tindakan kebijakan mungkin mempengaruhi kelompok-kelompok lain selain kelompok-kelompok yang menjadi sasaran kebijakan. Hal ini sebagai akibat dari eksternalitas atau dampak yang melimpah yakni suatu dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan pada keadaan atau kelompok selain mereka yang menjadi sasaran kebijakan. d.

  Kesulitan-kesulitan dalam memperoleh data. Kekurangan data statistik dan informasi-informasi lain yang relevan akan menghalangi para evaluator untuk melakukan evaluasi kebijakan.

  e.

  Resistensi pejabat. Para pejabat pelaksana program mempunyai kecenderungan untuk tidak mendorong studi-studi evaluasi, menolak memberikan data, atau tidak menyediakan dokumen yang lengkap.

  f.

  Evaluasi mengurangi dampak. Berdasarkan alasan tertentu, suatu evaluasi kebijakan yang telah dirampungkan mungkin diabaikan atau dikritik sebagai evaluasi yang tidak meyakinkan. Hal inilah yang mendorong mengapa suatu evaluasi kebijakan yang telah dilakukan tidak mendapat perhatian yang semsetinya bahkan diabaikan, meskipun evaluasi tersebut benar.

1.5.3.4 Pendekatan Evaluasi Kebijakan

  Evaluasi kebijakan publik memiliki tipe dan pendekatan yang beragam dan berbeda, tergantung dari pada tujuan ataupun sudut pandang dari para evaluator yang akan melakukan evaluasi. Dunn (2003 : 611-612) membagi pendekatan evaluasi berdasarkan analisis lintas dampak antara lain :

  1. Evaluasi Semu. Evaluasi semu (Pseudo Evaluation)adalah pendekatan yang menggunakan metode-metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai hasil kebijakan, tanpa berusaha untuk menanyakan tentang manfaat atau nilai dari hasil-hasil tersebut terhadap individu. Asumsi utama dari evaluasi semu adalah bahwa

  2. Evaluasi Formal. Evaluasi formal merupakan pendekatan yang menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan cepat dipercaya mengenai hasil-hasil kebijakan tetapi mengevaluasi hal tersebut atas dasar tujuan program kebijakan yang telah dimumkan secara formal oleh pembuat kebijakan dan administrator program. Asumsi utama dari evaluasi formal adalah bahwa tujuandan target diumukan secara formal adalah merupakan ukuran yang tepat untuk manfaat atau nilai kebijakan program.

  3. Evaluasi Keputusan Teoritis. Evaluasi keputusan teoritis adalah pendekatan yang menggunakan metode-metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan dan valid mengenai hasil-hasil kebijakan yang secara eksplisit dinilai oleh berbagai macam pelaku kebijakan. Asumsi dari evaluasi teoritis keputusan adalah bahwa tujuan dan sasaran dari perilaku kebijakan baik yang dinyatakan secara formal maupun secara tersembunyi merupakan ukuran yang layak terhadap manfaat atau nilai kebijakan dan program.

Tabel 1.1 : Pendekatan Evaluasi Manurut William Dunn

  PENDEKATAN TUJUAN ASUMSI BENTUK BENTUKUTAM A Evaluasi Semu Menggunkan metode Ukuran manfaat atau 1.

  Eksperimental deskriptif untuk nilai terbukti dengan sosial menghasilkan informasi sendirinya atau tidak 2.

  Akuntansi yang valid tentang hasil controversial sistem sosial kebijakan 3.

  Pemeriksaan sosial Evaluasi Formal Menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid mengenai hasil kebijakan secara formal diumumkan sebagai tujuan program kebijakan

  Tujuan dan sasaran dari pengambil kebijakan dan administrator yang secara resmi diumumkan merupakan ukuran yang tepat dari manfaat atau nilai 1.

  Evaluasi perkembangan

  2. Evaluasi eksperimental

  3. Evaluasi proses retrospektif 4. Evaluasi hasil retrospektif

  Evaluasi Keputusan Teoritis

  Menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid mengenai hasil kebijakan yang secara eksplisit diinginkan oleh berbagai pelaku kebijakan.

  Tujuan dan sasaran dari berbagai pelaku yang diumumkan secara formal ataupun diam-diam merupakan ukuran yang tepat dari manfaat atau nilai.

  1. Penilaian tentang dapat tidaknya evaluasi

  2. Analisis utilitas multiatribut

  Sumber : Dunn (2003:612)

1.5.3.5 Bentuk Analisis Kebijakan

  Analisis kebijakan publik berdasarkan kajian kebijakannya dapat dibedakan antara analisis kebijakan sebelum adanya kebijakan publik tertentu dan sesudah adanya kebijakan publik tertentu. Keduanya baik analisis kebijakan sebelum maupun sesudah adanya kebijakan mempunyai tujuan yang sama yakni memberikan rekomendasi kebijakan kepada penentu kebijakan agar didapat kebijakan yang lebih berkualitas. Dunn (2000:117) membedakan tiga bentuk utama analisis kebijakan publik,yaitu:

  1. Analisis Kebijakan Prospektif. Analisis kebijakan prospektif yang berupa produksi dan tranformasi informasi sebelum aksi kebijakan dimulai dan diimplementasikan (ex ante). Analisis kebijakan disini merupakan suatu alat untuk mensintesakan informasi untuk dipakai dalam merumuskan diramalkan dalam bahasa kuantitatif dan kualitatif sebagai landasan atau penuntun dalam pengambilan keputusan kebijakan.

  2. Analisis Kebijakan Retrospektif. Analisis kebijakan retrospektif adalah sebagai penciptaan dan tranformasi informasi sesudah aksi kebijakan dilakukan. Evaluasi proses retrospektif, yang cenderung dipusatkan pada masalah-masalah dan kendala-kendala yang terjadi selama implementasi kebijakan dan program. Evaluasi retrospektif lebih menggantungkan pada deskripsi ex post facto tentang kegiatan aktivitas program yang sedang berjalan, yang selanjutnya berhubungan dengan keluaran dan dampak.

  3. Analisis kebijakan yang terintegrasi. Analisis kebijakan yang terintegrasi merupakan bentuk analisis yang mengkombinasikan gaya operasi para praktisi yang menaruh perhatian pada penciptaan dan transformasi informasi sebelum dan sesudah tindakan kebijakan diambil.

1.5.3.6 Model Evaluasi Kebijakan

  Menurut Wayne Parsons (2008:549-552), ada dua macam model evaluasi kebijakan yang digunakan yaitu :

  1. Evaluasi Formatif Evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan ketika kebijakan atau program yang sedang diimplementasikan merupakan analisis tentang “seberapa jauh sebuah program diimplementasikan dan apa kondisi yang bisa meningkatkan keberhasilan implementasi”. Pada fase implementasi memerlukan evaluasi “formatif” yang akan memonitor cara dimana sebuah

  Rossi dan Freeman dalam buku Parsons mendeskripsikan model evaluasi ini sebagai evaluasi pada tiga persoalan : a.

  Sejauh mana sebuah program mencapai target populasi yang tepat b.

  Apakah penyampaian pelayanannya konsisten dengan spesifikasi desain program atau tidak.

  c.

  Sumber daya apa yang dikeluarkan dalam melakukan program

  2. Evaluasi Sumatif Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan untuk mengukur bagaimana kebijakan atau program secara aktual berdampak pada problem yang ditanganinya. Model evaluasi ini pada dasarnya adalah model penelitian komparatif yang mengukur beberapa persoalan yaitu : a.

  Membandingkan sebelum dan sesudah program diimplementasikan b.

  Membandingkan dampak intervensi terhadap satu kelompok dengan kelompok lain atau antara satu kelompok yang menjadi subjek intervensi dan kelompok lain yang tidak (kelompok kontrol) c. Menbandingkan apa yang terjadi dengan apa yang mungkin terjadi tenpa intervensi d.

  Atau membandingkan bagaimana bagian-bagian yang berbeda dalam satu wilayah mengalami dampak yang berbeda-beda akibat dari kebijakan yang sama.

1.5.3.7 Kriteria Evaluasi Kebijakan

  Evaluasi kebijakan publik, dalam tahapan pelaksanaannya yang ditetapkan menjadi tolak ukur dalam menentukan berhasil atau tidaknya suatu kebijakan publik. Nugroho (2009 : 536) menjelaskan bahwasannya evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai, dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik.William N. Dunn (2003 : 429-438) mengemukakan beberapa kriteria rekomendasi kebijakan yang sama dengan kriteria evaluasi kebijakan, kriteria rekomendasi kebijakan sebagai berikut :

Tabel 1.2 : Kriteria Evaluasi Kebijakan Tipe Kriteria Pertanyaan Ilustrasi

  Efektifitas Apakah hasil yang diinginkan telah dicapai?

  Unit pelayanan Efisiensi

  Seberapa banyak usaha yang diperluka untuk mencapai hasil yang diinginkan?

  Unit biaya Manfaat bersih Rasio biaya-manfaat

  Kecukupan Seberapa jauh pencapaian hasil yang diinginkan memecahkan masalah?

  Biaya tetap (masalah tipe I) Efektivitas tetap (masalah tipe II)

  Perataan Apakah biaya dan manfaat didistribusikan dengan merata kepada kelompok-kelompok yang berbeda?

  Kriteria Pareto Kriteria kaldor- Hicks Kriteria Rawls

  Responsivitas Apakah hasil kebijakan memuaskan kebutuhan, preferensi atau nilai kelompok-kelompok tertentu?

  Konsistensi dengan survai warga negara Ketepatan

  Apakah hasil (tujuan) yang diinginkan benar-benar berguna atau bernilai?

  Program publik harus merata dan efisiensi Kriteria-kriteria diatas merupakan tolak ukur atau indikator dari evaluasi kebijakan publik. Karena penelitian ini menggunakan metode kualitatif maka pembahasan dalam penelitian ini berhubungan dengan pertanyaan yang dirumuskan olleh William N.Dunn untuk setiap kriterianya.

  Untuk lebih jelasnya setiap indikator tersebut akan dijelaskan sebagai berikut.

1) Efektivitas

  Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

  Efektivitas disebut juga hasil guna. Efektivitas selalu terkait dengan hubungan antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya dicapai. Apabila pencapaian tujuan-tujuan organisasi semakin besar dari pada organisasi, maka makin besar pula hasil yang akan dicapai dari tujuan-tujuan tersebut.

  Willian N. Dunn dalam bukunya yang berjudul pengantar Analisis Kebijakan Publik : Edisi Kedua, menyatakan bahwa :

  “Efektivitas (effectiveness) berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil (akibat) yang diharapkan,atau mencapai tujuan dari diadakannya tindakan. Yang secara dekat berhubungan dengan rasionalitas teknis, selalu diukur dari unit produk atau layanan atau nilai moneternya” (Dunn,2003 :429).

  Apabila setelah pelaksanaan kegiatan kebijakan publik ternyata dampaknya tidak mampu memecahkan permasalahan yang tengah dihadapi masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa suatu kegiatan kebijakan tersebut telah gagal, tetapi adakalanya suatu kebijakan publik hasilnya tidak langsung efektif dalam jangka pendek, akan tetapi setelah melalui proses tertentu. Menurut pendapat Cambell yang dikutip oleh Richard M. Steers dalam bukunya Efektivitas Organisasi menyebutkan beberapa ukuran dari pada efektivitas, yaitu :

  1. Kualitas artinya kualitas yang dihasilkan oleh organisasi;

  2. Produktivitas artinya kuantitas dari jasa yang dihasilkan;

  3. Kesiagaan yaitu penilaian menyeluruh sehubungan dengan kemungkinan; dalam hal penyelesaian suatu tugas khusus dengan baik;

  4. Efisiensi merupakan perbandingan beberapa aspek prestasi terhadap biaya untuk menghasilkan prestasi tersebut;

  5. Penghasilan yaitu jumlah sumber daya yang masih tersisa setelah semua biaya dan kewajiban dipenuhi; 6. pertumbuhan adalah suatu perbandingan mengenai eksistensi sekarang dan masa lalunya;

  7. Stabilitas yaitu pemeliharaan struktur, fungsi dan sumber daya sepanjang waktu;

  8. Kecelakaan yaitu frekuensi dalam hal perbaikan yang berakibat pada kerugian waktu;

  9. Semangat kerja yaitu adanya perasaan terikat dalam hal pencapaian tjuan, yaitu melibatkan usaha tambahan, kebersamaan tujuan dan perasaan memiliki;

  10. Motivasi artinya adanya kekuatan yang muncul dari setiap individu untuk mencapai tujuan;

  11. Kepaduan yaitu fakta bahwa para anggota organisasi saling menyukai satu sama lain, artinya bekerja sama dengan baik, berkomunikasi dan mengkoordinasikan;

  12. Keluwesan adaptasi artinya adanya suatu rangsangan baru untuk mengubah prosedur standar operasinya, yang bertujuan untuk mencegah keterbekuan terhadap rangsangan lingkungan; (Dalam Steers,1985:46-48)

  Sehubungan dengan hal-hal yang dikemukakan diatas, maka ukuran efektivitas merupakan suatu standar akan terpenuhinya mengenai sasaran dan tujuan yanag akan dicapai.

2) Efisiensi

  Jika bicara mengenai efisiensi maka kita akan membayangkan hal penggunaan sumber daya (resources) secara optimum untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Maksudnya adalah efisiensi akan terjadi jika penggunaan sumber daya diberdayakan secara optimum sehingga suatu tujuan akan tercapai. William N. Dunn berpendapat bahwa :

  “Efisiensi (efficiency) berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat efektivitas tertentu. Efisiensi yang merupakan sinonim dari rasionalitas ekonomi,adalah merupakan hubungan antara efektivitas dan usaha, yang terkahir umunya diukur dari ongkos moneter. Efisieni biasanya ditentukan melalui perhitungan biaya per unit produk atau layanan. Kebijakan yang mencapai efektivitas tertinggi dengan biaya terkecil dinamakan efisiensi.” (Dunn,2003:430)

  Apabila sasaran yang ingin dicapai oleh suatu kebijakan publik ternyata sangat terlampau besar dibandingkan dengan hasil yang dicapai. Ini berarti kegiatan telah melakukan pemborosan dan tidak layak untuk dilaksanakan.

  3) Kecukupan

  Kecukupan dalam kebijakan publik dapat dikatakan tujuan yang telah dicapai sudah dirasakan mencukupi dalam berbagai hal. William N. Dunn mengemukakan bahwa kecukupan (adequacy) berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat efektivitas memuaskan kebutuhan, nilai, atau kesempatan yang menumbuhkan adanya masalah (Dunn,2003 :430)

  Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kecukupan masih berhubungan dengan efektivitas dengan mengukur atau memprediksi seberapa jauh alternatif yang ada dapat memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan dalam menyelesaikan masalah yang terjadi. Hal ini, dalam kriteria kecukupan menekankan pada kautnya hubungan antara alternatif kebijakan dan hasil yang diharapkan.

  4) Perataan

  Perataan dalam kebijakan publik dapat dikatakan mempunyai arti dengan keadilan yang diberikan dan diperoleh sasaran kebijakan publik.

  Willian N.Dunn menyatakan bahwa kriteria kesamaan (equity) erat berhubungan dengan rasionalitas legal dan sosial dan menunjuk pada distribusi akibat dan usaha antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat (Dunn, 2003:434). mungkin dapat efektif,efisiensi, dan mencukupi apabila biaya-manfaat merata. Kunci dari perataan yaitu keadilan atau kewajaran.

5) Responsivitas

  Responsivitas dalam kebijakan publik dapat diartikan sebagai tanggapan sasaran kebijakan publik atas penerapan suatu kebijakan. Menurut William N.Dunn, responsivitas (responsiveness) berkenaan dengan seberapa jauh suatu kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi, atau nilai kelompok-kelompok masyarakat tertentu (Dunn, 2003:437). Suatu keberhasilan kebijakan dapat dilihat melalui tanggapan masyarakat yang menanggapi pelaksanaan setelah terlebih dahulu memprediksi pengaruh yang akan terjadi jika suatu kebijakan akan dilaksanakan, juga tanggapan masyarakat setelah dampak kebijakan sudah mulai dapat dirasakan dalam bentuk positif berupa dukungan ataupun wujud yang negatif berupa penolakan.

  Dunn pun mengemukakan bahwa: “Kriteria responsivitas adalah penting karena analisis yang dapat memuaskan semua kriteria lainnya (efektivitas,efisiensi,kecukupan,kesamaan) masih gagal jika belum menanggapi kebutuhan aktual dari kelompok yang semestinya diuntungkan dari adanya suatu kebijakan”(Dunn,2003:437)

  Oleh karena itu, kriteria responsivitas cerminan nyata kebutuhan, preferensi, dan nilai dari kelompok-kelompok tertentu terhadap kriteria efektivitas,efisiensi,kecukupan, dan kesamaan.

6) Ketepatan

  Ketepatan merujuk pada nilai atau harga dari tujuan program dan pada kuatnya asumsi yang melandasi tujuan-tujuab tersebut. William N.Dunn menyatakan bahwa kelayakan (Appropriateness) adalah:

  “Kriteria yang dipakai untuk menseleksi sejumlah alternatif untuk dijadikan rekomendasi dengan menilai apakah hasil dari alternatif yang direkomendasikan tersebut merupakan pilihan tujuan yang layak. Kriteria kelayakan dihubungkan dengan rasionalitas substantif, karena kriteria ini menyangkut substansi tujuan bukan cara atau instrumen untuk merealisasikan tujuan tersebut”. (Dunn, 2003:499)

  Artinya ketepatan dapat diisi oleh indikator keberhasilan kebijakan lainnya (bila ada). Misalnya dampak lain yang tidak mampu diprediksi sebelumnya baik dampak tak terduga secara positif maupun negatif atau dimungkinkan alternatif lain yang dirasakan lebih baik dari suatu pelaksanaan kebijakan sehingga kebijakan bisa lebih dapat bergerak secara lebih dinamis.

1.5.3.8 Metode Evaluasi

  Menurut Finsterbusch dan Motz dalam Subarsono (2005:128), untuk melakukan evaluasi terhadap program yang telah diimplementasikan, ada beberapa metode evaluasi yang dapat dipilih yakni : 1.

  Single program after-only, yaitu informasi diperoleh berdasarkan keadaan kelompok sasaran sesudah program dijalankan

  2. Single program befora-after, yaitu informasi yang diperoleh berdasarkan perubahan keadaan sasaran sebelum dan sesudah program dijalankan.

  3. Comparative after-only, yairu informasi yang diperoleh berdasarkan

  4. Comparative before-after, yaitu informasi yang diperoleh berdasarkan efek program terhadap kelompok sasaran sebelum dan sesudah program dijalankan.

Tabel 1.3 : Metodologi untuk Evaluasi Program

  Jenis Evaluasi Pengukuran kondisi Kelompok Informasi yang kelompok sasaran diperoleh Kontrol

  Sebelum Sesudah

  Single Program After-Only Tidak Ya Tidak Ada Keadaan

  Kelompok sasaran

  Single Program Before-After Ya Ya Tidak Ada Perubahan

  Kelompok sasaran Tidak Ya Ada Keadaan kelompok

  Comparative After-Only

  sasaran dan kelompok kontrol