BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pembuatan Bioetanol Dari Eceng Gondok Dengan Proses Hidrolisis, Fermentasi, Dan Ekstraksi Secara Terpadu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Eceng Gondok dalam Produksi Bioetanol

  Konversi biomassa lignoselulosa ke bahan bakar bio berpotensi mengamankan sekuritas energi dan mengurangi emisi gas rumah kaca demi keberlangsungan lingkungan (Wyman, 1999 dalam Kumar et al. 2009; Joshi et al. 2011). Eceng gondok, tersedia dalam jumlah banyak dan tidak diinginkan, cocok digunakan sebagai tanaman penghasil bioenergi karena bereproduksi dengan cepat, memiliki kandungan lignin rendah, resistan terhadap zat kimia, tidak kompetitif dengan tanaman pangan, dan memiliki kecenderungan polusi genetik yang rendah melalui penyerbukan silang antar tanaman pangan terkultivasi (Patel, 2012; Bhattacharya dan Kumar, 2010; Mukhopadhyay dan Chatterjee, 2010).

  Kapabilitasnya menghasilkan etanol menyamai limbah pertanian, sesuai untuk produksi bahan bakar bio dan juga sebagai kandidat bahan baku industri penghasil lapangan kerja (Mashima et al. 2008). Hronich et al. (2008) menyatakan bahwa penggunaan eceng gondok menjadi ekonomis pada biaya produksi sekitar $40 per ton massa kering.

  Produksi etanol sendiri diperkirakan meningkat tajam di masa depan, karena kemungkinan naiknya harga minyak, meningkatnya permintaan bahan bakar cair, peraturan pemerintahan yang menyarankan penggunaan bahan bakar bio (Mandat E-

  10), dan produksi bahan bioplastik dari etanol (Nag, 2008; Neves et al. 2007). Di samping alasan-alasan di atas, mencampurkan etanol ke dalam bensin juga meningkatkan bilangan oktan bensin, dan memungkinkan pembakaran yang lebih sempurna (Wyman 1994).

2.2. Karakteristik dan Pola Perkembangbiakan Eceng Gondok

  Eceng gondok adalah tanaman akuatis terapung perenial yang berasal dari Brazil, basin Amazon, daerah ekuator, daerah tropis dan sub-tropis Amerika Selatan.

  Dengan daun yang lebar dan mengkilap, eceng gondok dapat mencapai tinggi 1 meter di atas permukaan air. Batangnya panjang, menggelembung dan berongga.

  Akarnya yang berbulu dan bebas bergantung berwarna ungu kehitaman. Satu tangkai tegak menyokong segerombol 8 – 15 bunga yang atraktif, kebanyakan berwarna lavender sampai merah jambu dengan enam kelopak seperti dalam Gambar 2.1 (Patel, 2012; Flacker, 2004).

Gambar 2.1. Spesies Eceng Gondok Umum (USDA, 2012) Sebagai salah satu tanaman dengan laju pertumbuhan tercepat, eceng gondok berproduksi terutama melalui stolon yang membentuk anak tanaman. Eceng gondok juga dapat menghasilkan tanaman baru melalui fragmentasi (pecah menjadi bagian kecil), membentuk tunas daun di pucuk dasar batang, dan memproduksi sejumlah besar bibit yang tahan hingga tiga puluh tahun. Eceng gondok umum (Eichhornia

  

crassipes ) tumbuh secara agresif, dan diketahui dapat melipat-gandakan populasinya

  dalam dua minggu (Flacker, 2004). Dalam suatu studi, dua tanaman menghasilkan 1.200 anak tanaman dalam empat bulan. Satu tanaman dapat memproduksi 5.000 bibit dan unggas air memakan dan memindahkan bibit ke lokasi baru (Anonim, 2012). Tanaman tropis ini menyebar ke berbagai bagian bumi di akhir abad ke-19 dan awal abad-20 (Wilson et al. 2005). Semua usaha ilmuwan dan teknokrat di seluruh dunia untuk memberantas tanaman ini secara kimiawi dan biologis hanya membuahkan sedikit hasil (Jafari, 2010).

  Adapun mudahnya adaptasi eceng gondok di habitat barunya dapat dilacak ke beberapa sifat (Flacker, 2004; Soltan dan Rashed, 2003):

  1. Eceng gondok berkembang-biak secara efektif melalui dua metode vegetatif.

  2. Batangnya yang berongga dan terisi udara memudahkannya tetap terapung.

  3. Daunnya yang menyerupai kipas mempermudah penyebarannya ke badan air ketika angin bertiup.

  4. Jaringan akarnya yang berbulu memudahkan penyerapan nutrien dari air.

5. Eceng gondok dapat bertahan hidup di campuran logam berat dengan konsentrasi sampai 3 mg/l.

2.3. Dampak Ekologi, Kimia – Fisik dan Utilisasi Eceng Gondok

  Keberadaan eceng gondok pada ekosistem yang dimasukinya bersifat merusak. Eceng gondok dapat merubah struktur dan fungsi ekosistem dengan mengganggu rantai makanan dan siklus nutrisi. Eceng gondok juga menutupi permukaan air dan menghalangi cahaya matahari. Ketika eceng gondok ataupun tumbuhan yang diganggunya membusuk, pembusukannya menghabiskan oksigen terlarut dalam air (Patel, 2012; Flacker, 2004).

  Pertumbuhan eceng gondok yang masif dan invasif juga berpengaruh pada kehidupan manusia. Terganggunya aktivitas pelayaran dan nelayan, sistem drainasi yang tersumbat, serta menurunnya estetika dan nilai rekreasional lingkungan merupakan contoh gangguan yang disebabkan gulma ini (Patel, 2012; Flacker, 2004).

  Ketika tumbuh di luar kendali, eceng gondok merupakan gangguan, tetapi beberapa peneliti menyarankan penggunaan tanaman eksotis ini sebagai sumber daya dapat dipanen, misalnya sebagai makanan hewan, sumber antioksidan, sumber antibiotik, biosorben, agen fitoremediasi, bahan pulp, pupuk organik, bahan kerajinan tangan dan perabotan, bahan biofuel, dan untuk memproduksi enzim selulase (Bhattacharya dan Kumar, 2010; Calvert, 2001; Patel, 2012; Chen et al.

  2010; Cheng et al. 2010; Dada, 2002; Delgado et al. 1993; Flacker, 2004; Goswami dan Saikia, 1994; Hasan et al. 2007; Ibrahim et al. 2012; Jianbao et al. 2008; Ma et . 2010; Mahamadi, 2011; Mishima et al. 2008; Orth dan Sapkota, 1988; Yerima et

  al

  . 2009; Yi et al. 2009). Akan tetapi, bahkan dengan banyaknya pemanfaatannya,

  al

  sejauh ini dampak negatif tanaman ini ke habitat adopsinya masih jauh melampaui kontribusinya ke lingkungan barunya (Flacker, 2004).

  Dari segi komposisi kimianya, tanaman ini memiliki flavanoid, asam amino, protein kasar, sianida, fosfat, zat organik dan karbon organik tinggi (Nyananyo et al.

  2007). Tanaman segar mengandung 95,5% kelembapan, 0,04% N, 1,0% abu, 0,06% P

  2 O 5 , 0,20% K

2 O, 3,5% bahan organik. Pada basis kelembapan nol, terdapat 75,8%

  bahan organik, 1,5% N, dan 24,2% abu. Abu mengandung 28,7% K O, 1,8% Na O,

  2

  2

  12,8% CaO, 21,0% Cl, dan 7,0% P

  2 O 5 . Protein mentah mengandung, per 100 g, 0,72

  g metionin, 4,72 g fenilalanin, 4,32 g treonin, 5,34 g lisin, 4,32 g isoleusin, 0,27 g valin, dan 7,2 g leusin (Matai dan Bagchi, 1980 dalam Jafari, 2010). Kuantitas hemiselulosa, selulosa dan lignin dari berbagai sumber ditunjukkan dalam Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Kandungan Hemiselulosa, Selulosa dan Lignin Eceng Gondok

  (Basis Kering) Komponen Ahn et Sornvoraweat dan Gunnarson Chanakya Patel Abdelhamid (% berat) al . Kongkiattikajorn dan Peterson et al . et al . dan Gabr

  (2012) (2010) (2007) (1993) (1993) (1991) Hemiselulosa 34,19 0,024 22-43,4 33,39 43,4 33,4

  32,69 Selulosa 17,66 0,017 17,8-31 18 17,8 19,5

  19,02 Lignin 12,22 0,027 7-26,36 26,36 7,8 9,27

  4,37 (Sornvoraweat dan Kongkiattikajorn, 2010; Hasan dan Chakrabati, 2009)

  Hasan dan Chakrabarti (2009) juga menyampaikan bahwa hanya ada sedikit variasi dalam komposisi proksimat dalam hubungannya dengan lokasi geografis. Akan tetapi, eceng gondok yang hidup di kondisi yang berbeda mungkin memiliki variasi komposisi karena akar mereka menyerap polutan secara alami (Jafari, 2010).

  Lebih jauh lagi, sebuah studi oleh Mahmood et al. (2005) menunjukkan bahwa di bawah pengaruh limbah tekstil, eceng gondok mengalami penurunan ukuran secara anatomis. Kondisi yang sama kemungkinan besar juga dialami eceng gondok di perairan Danau Toba yang tercemar. Namun, besar pengaruh hal tersebut dalam produksi bioetanol masih belum dapat dipastikan.

2.4. Danau Toba dan Masalah Eceng Gondok

  Danau Toba merupakan danau terbesar Indonesia dan terletak di provinsi Sumatera Utara, 176 km ke barat ibukota provinsi, Medan. Danau Toba memiliki panjang 87 km dari barat laut ke Tenggara dan lebar 27 km, dan berada 904 meter di atas permukaan laut dengan kedalaman 505 meter. Danau tersebut merupakan salah

  2

  satu tujuan wisata penting. Daerah resapannya seluas 3.704 km , meliputi sebagian area dari lima kabupaten. Kualitas air di danau ini telah terpengaruh secara negatif oleh buangan air domestik, peternakan ikan, polusi minyak dan polusi biologis (Moedjodo et al. 2006; Worldlake, 2012).

  Sejak 1990, eceng gondok telah tampak mengambang di daerah Parapat, menandakan dimulainya eutrofikasi danau tersebut (Moedjodo et al. 2006). Setelah itu, berbagai masalah mulai bermunculan, mulai dari terganggunya penangkapan ikan sampai meluasnya tempat perkembangbiakan vektor penyakit (Opande et al.

  2004). Walaupun sejumlah konsep sudah diberikan untuk mengatasi masalah lingkungan tersebut, merealisasikan konsep ini terbukti susah karena perbedaan persepsi dan konflik kepentingan antara pemegang saham (Moedjodo et al. 2006).

  Ledakan pertumbuhan eceng gondok dalam danau ini telah dihubungkan dengan polusi fosfor dan nitrogen. Idealnya, jalan terbaiknya adalah menekan masukan limbah. Akan tetapi, terbatasnya limbah yang bisa dikurangi dan lamanya waktu operasi telah menyebabkan cara ini tidak efektif. Jelas kiranya bahwa populasi eceng gondok harus dikendalikan. Mukhopadhyay dan Chatterjee (2010) mengusulkan cara pengendalian yang ramah lingkungan dengan menggunakannya sebagai bahan baku murah dalam proses inovatif biokonversi ke etanol.

2.5. Ulasan Teknologi Produksi Bioetanol

  Teknologi produksi bioetanol saat ini (proses generasi pertama) menggunakan gula tebu dan/atau biji-bijian dan umbi – umbian berbasis tepung (terutama jagung dan kentang) sebagai substrat utama. Akan tetapi oleh karena dampak negatifnya pada harga makanan dan sekuritas makanan, trend saat ini sedang bergeser ke biomassa lignoselulosa. Ada dua proses lignoselulosa yang tersedia, proses enzimatis dan proses termokimia. Proses enzimatis umumnya melibatkan hidrolisis biomassa lignoselulosa ke gula diikuti fermentasi gula ke etanol (lihat Gambar 2.2). Proses termokimia menggunakan jalur gasifikasi dan jalur pirolisis (Joshi et al. 2011; Foust et al. 2009; Piccolo dan Bezzo, 2007).

Gambar 2.2. Tahapan dalam Produksi Bioetanol Secara Umum (Joshi et al. 2011)

  Untuk biomassa lignoselulosa herbal, proses enzimatis lebih cocok (Foust et

  al

  . 2009). Penjelasan lengkap tentang praperlakuan, hidrolisis/sakarifikasi, fermentasi dan skema terintegrasi proses ini akan diuraikan dalam tiap sub bagian. Untuk saat ini, etanol selulosa masih kurang diminati karena keuntungannya yang marginal. Beberapa alasan yang menyebabkannya antara lain: a.

  Teknologi praperlakuan yang ada kurang efisien atau terlalu mahal dan banyak kelemahan yang menyertainya.

  b.

  Harga enzim terlalu tinggi.

  c.

   Konversi oleh mikroba masih terbatas. Sebagai contoh, Zymmomonas

  yang lebih toleran dari ragi hanya mampu mentolerir konsentrasi

  mobilus etanol sampai 16% saja.

  Teknologi ini diperumit lagi oleh masalah-masalah umum bioreaktor seperti kontaminasi mikroba, tidak stabilnya proses, problematika daur ulang dan washout mikroba, serta pemrosesan akhir yang sukar. Khusus untuk proses fermentasi lignoselulosa, tingginya kekentalan pada loading padatan tinggi menyebabkan masalah pengadukan (Huang et al. 2011). Walau begitu, teknik-teknik untuk mengatasi masalah – masalah ini telah banyak dikembangkan.

2.5.1. Metode Praperlakuan

  Salah satu rintangan utama dalam hidrolisis selulosa adalah karakteristik substrat yang tidak mendukung hidrolisis selulosa. Karakteristik ini kemudian dimodifikasi agar hidrolisis berlangsung lebih efisien (Huang et al. 2011). Sebab itulah, praperlakuan memiliki dampak besar pada seluruh operasi dan biasanya merupakan bagian paling mahal (Joshi et al. 2011). Praperlakuan umumnya berguna untuk membuka struktur lignoselulosa agar dapat diakses enzim seperti dalam

Gambar 2.3 (Huang et al. 2011; Sanderson, 2006 dalam Neves et al. 2007). Beberapa masalah umum dalam praperlakuan adalah terbentuknya produk penghambat,

  pembukaan struktur lignin – hemiselulosa – selulosa kurang efektif, terlalu banyak selulosa terdegradasi, perlunya biaya kapital (peralatan) atau operasi yang mahal, daur ulang senyawa kimianya mahal, terbentuknya limbah, ataupun kondisi operasi yang tidak aman (Geddes et al. 2011; Huang et al. 2011; Menon dan Rao, 2012; Neves et al. 2007). Sejumlah cara praperlakuan dijabarkan dalam Tabel 2.2. Praperlakuan yang telah dilakukan biasanya bertujuan untuk meningkatkan akses enzim, menghilangkan lignin, dan mengganggu kristalinitas selulosa. Dalam banyak studi, meningkatkan akses enzim dianggap lebih penting daripada menghilangkan lignin (Zhu, 2011; Huang et al. 2011). Ahn et al. (2012) juga menunjukkan bahwa praperlakuan yang menghasilkan konten selulosa tinggi lebih penting dibanding dengan yang menghasilkan konten lignin rendah. Selain hal-hal di atas, hal yang perlu diperhatikan adalah terbentuknya pseudo-lignin dalam metode pretreatment tertentu (Hu et al. 2003).

  Praperlakuan yang ada dikembangkan untuk mengurangi limbah, kerusakan, inhibitor, gula nonfermentable, meningkatkan hasil gula, dan mengurangi biaya praperlakuan (Kumar et al. 2009; Houghton et al. 2006). Secara garis besar, praperlakuan fisik biasanya memerlukan energi besar, sedangkan praperlakuan biologis memerlukan waktu lama. Praperlakuan kimiawi menggunakan bahan kimia, dan peralatan yang mahal (Taherzadeh dan Karimi, 2008). Dalam penelitian ini, beberapa jenis praperlakuan dipilih dan dibandingkan untuk mengetahui metode yang paling sesuai dengan prioritas kesederhanaan, keamanan, dan ramah lingkungan.

Gambar 2.3. Perubahan Struktur Mikro Akibat Praperlakuan (Houghton et al. 2006)

2.5.2. Metode Hidrolisis

  Tahap hidrolisis mentransformasi selulosa ke gula terfermentasi. Dua metode umum hidrolisis adalah hidrolisis asam dan hidrolisis enzimatis. Metode hidrolisis lain adalah hidrolisis termal yang sangat jarang digunakan. Hidrolisis enzimatis lebih dipilih karena bekerja pada suhu wajar, menghasilkan yield tinggi dengan jumlah yang sedikit, merupakan senyawa alami yang dapat terbiodegradasi dan ramah lingkungan (Wyman, 1994).

Tabel 2.2. Berbagai Metode Praperlakuan

  Metode Praperlakuan Keterangan Literatur Praperlakuan asam: asam encer, dan asam pekat Menghidrolisa hemiselulosa dan merusak struktur kristal selulosa, tapi menghasilkan produk samping inhibitor, dan memerlukan peralatan tahan korosi. Biasanya menggunakan H

  2 SO

  4 , tetapi asam fosfat dikatakan menghasilkan lebih sedikit produk samping beracun dan dapat digunakan pada reaktor baja antikarat. Jenis asam encer memberi yield rendah sedangkan jenis asam pekat menghasilkan produk samping, mendegradasi selulosa dan memerlukan biaya daur ulang mahal.

  Eshtiaghi et al. 2012 Merina dan Trihadinigrum, 2011 Satyanagalakshmi et al. 2011 Sornvoraweat dan Kongkiattikajorn, 2010 Sassner et al. 2008

  Praperlakuan alkali/basa Memisahkan lignin dan sebagian hemiselulosa, dan meningkatkan reaktivitas selulosa. Biasanya menggunakan NaOH, Ca(OH)

  2 , urea atau Ammonia (SAA, ARP). NaOH juga meningkatkan derajat polimerisasi dan kristalinitas selulosa. Ammonia juga mengembangkan substrat yang tersisa.

  Eshtiaghi et al. 2012 Aswathy et al. 2010 Taherzadeh dan Karimi 2008 Hamelinck et al. 2005 Teymouri et al. 2005

  Praperlakuan dengan agen pengoksidasi: hidrogen per-oksida, asam per asetat Yield setinggi 98% berhasil dicapai. Saha dan Cotta, 2007

  Teixeira et al. 1999 Gould, 1984 Praperlakuan dengan pelarut organik

  Melarutkan lignin dan sebagian hemiselulosa tapi memerlukan peralatan dengan tekanan tinggi. Pelarut organik yang sudah digunakan misalnya metanol, etanol, aseton, etilen glikol, trietilen glikol, dan alkohol tetrahidrofurfuril.

  Yamashita et al. 2010 Pan et al. 2005 Steam explosion , ammonia fiber expansion /explosion, acid catalyzed steam explosion

  Bahan dipanaskan pada suhu dan tekanan tinggi kemudian didekompresi ke tekanan atmosfir secara tiba-tiba. Masih belum praktis karena butuh energi besar dan peralatan mahal.

  Huang et al. 2011 Hamelinck et al. 2003 Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.2. Berbagai Metode Praperlakuan (lanjutan)

  Metode Praperlakuan Keterangan Literatur

  Menghidrolisa hemiselulosa menggunakan air bersuhu tinggi Eshtiaghi et al. 2012

  Liquid Hot Water o

  (LHW) Kim et al. 2009

  (160 – 190

  C) dan tekanan tinggi ( 30 bar).

  Perez et al. 2007 Hamelinck dan Faaij, 2006

  Praperlakuan cairan Berbagai cairan ionik yang ada dapat diatur untuk melarutkan Muhammad et al. 2012 ionik selulosa, ataupun lignin. Substrat dilarutkan dalam cairan ionik Sathitsuksanoh et al. dan dipanaskan kemudian dipresipitasi dengan antisolven. Proses 2012 ini merupakan teknologi baru dan lebih cocok untuk biomassa Guragain et al. 2011 berkayu.

  Lee et al. 2009 Granstorm et al. 2008 Kosan et al. 2008

  Praperlakuan mikrobial Jamur akar putih, coklat, dan lunak (Basidiomycetes) telah Chandel et al. 2011b banyak digunakan untuk mendepolimerisasi substrat Zhong et al. 2011 lignoselulosa tanpa banyak produk samping inhibitor Cardona et al. 2007

  Penggilingan Tanpa mempengaruhi lignin dan hemiselulosa, meningkatkan Harun et al. 2011 Ekstrusi aksesibilitas dan merubah kristalinitas selulosa. Merupakan salah Merina dan satu metode paling efektif tetapi kurang cocok diterapkan di trihadinigrum, 2011 industri. Penggilingan dilakukan dalam hampir semua proses di Satyanagalakshmi et al. laboratorium.

  2011 (Eshtiaghi et al. 2012; Muhammad et al. 2012; Sathitsuksanoh et al. 2012; Chandel et al. 2011b; Geddes et al. 2011; Guragain et al. 2011; Harun et al. 2011; Huang et al. 2011; Joshi et al. 2011; Merina dan Trihadinigrum, 2011; Satyanagalakshmi et al. 2011; Aswathy et al. 2010; Sornvoraweat dan Kongkiattikajorn, 2010; Kim et al. 2009; Lee et

  . 2009; Granstorm et al. 2008; Kosan et al. 2008; Neves et al. 2007; Hamelinck dan Faaij, 2006; Wyman, 1994)

  al Universitas Sumatera Utara

  Hidrolisis asam menggunakan berbagai asam mineral pada suhu tinggi, walaupun proses sering mendegradasi glukosa ke hidroksimetil furfural (HMF) dan produk samping beracun lain, atau mencapai yield rendah. Harga asam, daur ulang, dan pengolahan limbahnya masih menjadi masalah dalam hidrolisis asam.

Gambar 2.4. Aktivitas Enzim dalam Hidrolisis Selulosa (Wyman, 1994)

  Hidrolisis enzimatis memanfaatkan 3 kelompok enzim untuk berfungsi dengan baik (Lihat Gambar 2.4). Pertama, 1,4- -D-glukan glukanohidrolase (EC 3.2.1.3) dan 1,4-

  -D-glukan 4-glukanohidrolase (EC 3.2.1.4), dikenal sebagai endo- 1,4-

  -glukanase, memotong rantai selulosa secara acak. Kemudian, 1,4--D-glukan glukohidroliase (EC 3.2.1.74) dan 1,4- -D-glukan selobiohidroliase (EC 3.2.1.91), dikenal sebagai ekso-1,4-

  -glukanase berturut-turut membebaskan D-glukosa dan D- selobiosa pada ujung selulosa. Akhirnya, -D-glukosidase (EC 3.2.1.21), dikenal juga sebagai selobiase, mengubah selobiosa menjadi D-glukosa (Joshi et al. 2011; Geddes et al. 2011; Neves et al. 2007; Wyman, 1994).

  Selulase komersial dan produksi on-site selulase dapat digunakan. Kebanyakan glukanase diproduksi Trichoderma ressei (jamur akar halus) sedangkan selobiase dari Aspergillus niger (Barta et al. 2010 dalam Geddes et al. 2011; Kaur et

  al . 2007 dalam Joshi et al. 2011).

   Phenolics  5-hydroxymethyl (Vanillin, furfural (HMF) Syringaldehyde, 4- hydroxybenzoic acid, ferulic acid, etc)

  Lignin Cellulose

Hemicellulose Others

   Furfurals  Tannins  5-hydroxymethyl  Terpenes furfural (HMF)  Resins  Weak acids  Heavy metals (Acetic acid,  Hibbert ketones Formic acid, Levulinic acid)

Gambar 2.5. Berbagai Senyawa Turunan Hidrolisis Asam (Chandel et al. 2011b)

  Salah satu perbedaan terbesar hidrolisis asam dan enzim adalah produk samping hidrolisis asam yang sangat beragam dan bersifat menginhibisi pertumbuhan. Selain itu, jenis hidrolisis asam menghasilkan limbah dan memerlukan penanganan khusus. Oleh sebab itulah, proses hidrolisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan jenis hidrolisis enzim. Berbagai jenis produk samping hasil hidrolisis asam dapat dilihat pada Gambar 2.5.

2.5.3. Fermentasi dan Skema Proses Terpadu

  Ragi Saccharomyces cerevisiae merupakan mikroorganisme yang paling disukai dalam fermentasi heksosa. Selain ragi, Pichia stipitis dan Candida shehatae juga mampu memfermentasi heksosa dan pentosa ke etanol (Parekh et al. 1986 dalam Joshi et al. 2011). Gorsek dan Zajsek (2010) menemukan bahwa dalam

  o o

  jangkauan suhu 16 C sampai 30 C, produksi etanol oleh ragi meningkat.

  Di samping intensifikasi proses, penggembangan juga dilakukan dalam sistem bioreaktor misalnya external loop liquid-lift bioreactor, circulating loop , bioreaktor membran, ultrasonic airlift reactors, fluidized bed reactor

  bioreactor

  (Stang et al. 2001; Roble et al. 2003; Huang et al. 2011). Sistem bioreaktor yang dikembangkan biasanya mengangkat isu-isu mengenai masalah viskositas campuran yang tinggi sehingga mengurangi transfer massa ataupun merujuk pada upaya integrasi proses ekstraksi etanol secara simultan dalam proses kontiniu sehingga mengurangi inhibisi produk. Beberapa skema proses yang sering digunakan dalam produksi bioetanol dirangkum dalam Tabel 2.3.

Tabel 2.3. Skema Proses Terpadu dalam Produksi Bioetanol

  Skema Proses Keterangan Terpadu

Separated hydrolysis Tahap hidrolisis selulosa dan fermentasi dipisah sehingga

mengurangi interaksi antar tahap. and fermentation

(SHF) Kelemahan: sering kali produk akhir hidrolisis menghambat kerja

enzimnya dan membatasi kinerjanya.

  

Simultaneous Tahap hidrolisis selulosa dan fermentasi digabung. Secara umum

saccharification and meningkatkan kinetika fermentasi dan ekonomi karena mengurangi

(SSF) akumulasi gula yang menginhibisi enzim dan adanya etanol fermentation atau Hybird mengurangi kontaminasi mikroba.

Hydrolysis and Kelemahan: kondisi optimal enzim dan mikroba mungkin berbeda

(HHF) dan banyak gula dipakai untuk pertumbuhan ragi. Fermentation

Simultaneous Sama seperti SSF tetapi fermentasi pentose juga diintegrasikan ke

dalam proses. Kelemahan: sama seperti SSF tapi saccharification and cofermentation lebih rumit lagi.

  (SSCF)

Consolidated Produksi selulase, hidrolisis substrat, dan fermentasi dilakukan

  (CBP) dalam satu tahapan. Kelemahan CBP/DMC: tidak ada mikroba BioProcessing

atau Direct Microbial alami yang mampu memproduksi selulase sekaligus memfermentasi

Conversion (DMC) hidrolisat (harus menggunakan mikroba hasil rekayasa genetik) dan

proses terbentur oleh wujud alami suspensi yang berserat (rheologi aliran).

  (Joshi et al. 2011; Geddes et al. 2011; Neves et al. 2007)

2.5.4. Strategi-strategi yang Diterapkan untuk Meningkatkan Tiap Proses

  Selain pengembangan teknologi dan mikroorganisme dalam proses itu sendiri, beberapa strategi juga telah dikembangkan untuk meningkatkan efisiensi tiap proses. Beberapa di antara strategi-strategi tersebut adalah detoksifikasi hidrolisat, penambahan additif, immobilisasi sel dan enzim, penambahan antibiotik/agen antibakteri, penambahan enzim xilanase dan pektinase, penggunaan bakteri/jamur anaerob penghasil selulosom dan/atau strain flokulen (Chandel et al. 2011b; Huang . 2011; Najafpour et al. 2004; Rakin et al. 2009; Maye, 2011).

  et al

  Berbagai cara detoksifikasi telah tersedia misalnya evaporasi vacuum, separasi membran, netralisasi, overliming, activated charcoal pretreatment, resin penukar ion, ekstraksi dengan etil asetat, aklimatisasi mikrobial, detoksifikasi mikrobial in-situ, dan detoksifikasi enzimatis. Dari cara-cara yang ada, detoksifikasi biologislah yang paling menguntungkan (Chandel et al. 2011b). Detoksifikasi biologis dapat dilakukan dengan simultaneous detoxification and enzymatic

  production , simultaneous detoxification and fermentation, dan cara lainnya.

  Penggunaan aditif seperti Tween 20, Tween 80, polietilen glikol (PEG),

  

bovine serum albumin (BSA), dapat mengurangi adsorpsi selulase ke lignin dan

  menjaga kestabilan enzim. Sebuah kelas protein non katalitik seperti ekspansin, protein mirip ekspansin, dan swollenins, diketahui dapat mengubah struktur selulosa walau penjelasan mengenai cara kerja protein ini masih sebatas spekulasi (Huang et

  2+

  . 2011). Aditif lain seperti ion Mg dapat meningkatkan toleransi ragi S. cerevisiae

  al terhadap etanol melalui penurunan permeabilitas membran plasma (Hu et al. 2003).

2.6. Produksi Bioetanol dari Eceng Gondok dan Perkembangannya

  Penelitian mengenai pembuatan bioetanol dari eceng gondok dapat dilihat di

Tabel 2.4. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa hampir semua penelitian berkutat pada optimisasi bagian proses ataupun pengembangan mikroba yang ada. Sementara berbagai studi telah dilakukan, hasil-hasil tersebut belum diterapkan di industri karena sebab-sebab seperti: yield etanol yang rendah; teknik pemrosesan yang kompleks dan lama; penggunaan bahan kimia, peralatan, ataupun alur proses yang mahal; dan teknik yang tidak ramah lingkungan. Dalam penelitian ini akan dicoba teknik pemrosesan yang berbeda yaitu fermentasi non-steril yang dilangsungkan bersamaan dengan hidrolisis hemiselulosa-selulosa, isomerisasi xilosa dan ekstraksi etanol serta sistem daur-ulang larutan fermentasi.

2.7. Komponen – Komponen dalam Produksi Bioetanol

2.7.1. Selulosa

  Selulosa merupakan glukan paling penting yang tersusun oleh sakarida homopolimer selobiosa yang terdiri dari dua molekul -D-glukosa yang terikat dalam ikatan

  -(1–4)- glikosidik dan dapat berputar untuk membentuk ikatan intramolekul dan intermolekul (Bobleter, 2005). Dalam banyak penelitian, eceng gondok dikeringkan untuk mempermudah penanganannya, tetapi selulosa mengalami modifikasi fisik berupa penciutan (disebut juga hornifikasi) yang dapat menghambat sakarifikasi saat didehidrasi (Arantes dan Saddler, 2011; Zhu, 2011; Houghton et al. 2006).

Tabel 2.4. Berbagai Penelitian mengenai Bioetanol dari Eceng Gondok

  Judul Penelitian Metodologi Hasil

  Abdel-Fattah dan Abdel-Naby, 2012.** Pretreatment and enzymic saccharification of water hyacinth cellulose

  • Praperlakuan: NaOH, alkalin H
  • 2 O 2 , asam perasetat, NaClO 2 , kombinasi NaClO 2 dengan NaOH, alkalin H 2 O 2 , atau asam perasetat.

      Hasil terbaik dicapai dengan kombinasi praperlakuan NaClO 2 selama 1 jam dan asam perasetat selama 15 menit pada 100 o C. Penambahan 8% glukosa ataupun 8% etanol menginhibisi enzim. Sedangkan penambahan selobiase meningkatkan konversi selulosa. Ahn et al. 2012. Optimization of pretreatment and saccharification for the production of bioethanol from water hyacinth by

    • Hidrolisis: enzimatis dengan selulase
    • Variasi: metode praperlakuan, penambahan gula dan etanol, penambahan selobiase, dan waktu sakarifikasi (hidrolisis)
    • Praperlakuan: dicuci, akar dibuang, dikeringkan, ditepungkan, kemudian diolah dalam larutan NaOH 1, 3, 5, 7, 10% w/v pada suhu 60 o
    • Hidrolisis: enzimatis dengan Cellulast 1.5 L and Viscozyme L dengan konsentrasi 1, 5, 10, 15, 20–25% v/v dan rasio 1:9, 3:7, 5:5, 7:3, dan 9:1 selama 112 jam.
    • Mikroba fermentasi: Saccharomyces cerevisiae KCTC 7928
    • Mode: SHF
    • Variasi: konsentrasi NaOH, suhu dan waktu praperlakuan dengan NaOH, konsentrasi H
    • 2 O 2 , konsentrasi enzim, rasio enzim, konsentrasi eceng gondok (mula-mula 2,5% dikonsentrasikan dengan faktor 2, 5, 7, 10 dan 15).

        Saccharomyces cerevisiae

        C (24 jam) atau 100 o C (2 jam). Lalu didinginkan dan diolah dengan H 2 O 2 0,1; 0,5; 1; 2; 3; dan 6% v/v selama 24 jam.

        Konversi glukosa 71,42% dicapai untuk NaOH 7% pada 100 o C dan H 2 O 2 2%. Rasio enzim terbaik 5:5 dan konsentrasi 1%. Konversi glukosa tertinggi untuk 25 g/l eceng gondok adalah 74%. Yield etanol tertinggi 0,35 g/g biomassa.

        Universitas Sumatera Utara

      Tabel 2.4. Berbagai Penelitian mengenai Bioetanol dari Eceng Gondok (lanjutan)

        Judul Penelitian Metodologi Hasil

        Eshtiaghi et al. 2012. - Praperlakuan: dibersihkan, dipotong-potong dan dikeringkan. Selanjutnya: Konversi gula optimum Preliminary study for i. 10 g tepung dicampur ke 1, 3, 5, 7 dan 9% w/w larutan asam sulfat sampai 100 ml mencapai 50,5% dengan o bioconversion of dan diautoklaf pada 121 C selama 15 menit praperlakuan asam dan enzim water hyacinth ii. 10 g tepung dicampur ke 1, 2, 3, 4, dan 5% w/w larutan NaOH sampai 100 ml dan dengan konsentrasi 4%. o (Eichhornia dipanaskan pada 85 C selama 1 jam o o Yield etanol 1,5 % v/w

        crassipes ) to iii. 2 g tepung dicampur ke 20 ml air dan dipanaskan pada 160 C dan 200 C selama mampu dicapai dalam 3 hari,

        bioethanol 10 menit lebih dari 3 hari hanya ada - Hidrolisis: enzimatis dengan Crystalzyme 200 XL, Cellulast 1.5 L FG, Alcalase 2.5 L sedikit efek.

        DX, Validase ANC-L dan Xylanase (rasio 1:1:1:1:1) dengan konsentrasi 0,8% w/w o pada 55 C selama 12 jam

      • Mikroba fermentasi: Saccharomyces cerevisiae 0,2 g/ 50 ml sampel
      • Mode: SHF
      • Variasi: metode praperlakuan, konsentrasi asam, konsentrasi alkali, suhu pemanasan air, konsentrasi enzim (0,8% w/w dan 4% w/w) dan lama fermentasi

        Takagi et al. 2012. - Praperlakuan: dicuci, dikeringkan, ditepungkan, kemudian 3, 6 atau 9 g tepung Kadar etanol setinggi 9,6 o Efficient bioethanol dicampur ke 100 ml asam sulfat 3% v/v dan diautoklaf pada 121 C selama 1 jam. 1,1 g/l berhasil dicapai production from Hidrolisat kemudian dinetralkan dengan Ba(OH) sampai pH 4,5. 2 untuk larutan terkonsentrasi. o water hyacinth - Hidrolisis: enzimatis dengan selulase GC220 0 – 1000 IU pada 50 C selama 24 jam, o

        Konsentrasi selulase Eichhornia crassipes diikuti evaporasi vakum pada 70 C untuk pengentalan. optimum 400 IU. Loading by both preparation - Mikroba fermentasi: (masing – masing) 0,1 g per 100 ml eceng gondok di atas 3 g of the saccharified Saccharomyces cerevisiae NBRC10217 tidak memberi dampak

        Saccharomyces cerevisiae sake yeast

        solution and selection No.7 positif. Jenis mikroba yang of fermenting yeasts Saccharomyces cerevisiae brewers’ yeast BSRIYB23-3 memberikan hasil maksimum

        Saccharomyces cerevisiae

        TY2 adalah S. cerevisiae TY2

        Pichia stipitis NBRC1689

      • Mode: SHF
      • Variasi: loading eceng gondok, konsentrasi selulase, dan jenis mikroba fermentasi

        Universitas Sumatera Utara

      Tabel 2.4. Berbagai Penelitian mengenai Bioetanol dari Eceng Gondok (lanjutan)

        Judul Penelitian Metodologi Hasil

        et al

        Guragain . - Praperlakuan: crude glycerol (CG), ionic liquid (IL), dan dilute acid pretreatment CG dan DAP lebih baik dari 2011.* (DAP) IL. Comparison of some - Hidrolisis: enzimatis dengan selulase dari T. reesei new pretreatment - Mikroba fermentasi: Saccharomyces cerevisiae methods for second - Mode: - generation bioethanol - Variasi: metode praperlakuan dan jenis substrat (eceng gondok dan wheat

        straw

        production from /jerami) wheat straw and water hyacinth o o Harun et al. 2011** 3 3 Produksi gula tertinggi

      • Praperlakuan: steaming (121

        C, 30 menit), boiling (100

        C, 30 menit), dan Effect of physical

        (155,13 mg gula/g massa

        ultrasonication o

        pretreatment on dilute kering) diperoleh dari sampel

        3

      • Hidrolisis: asam sulfat 5% pada suhu 121

        C, 60 menit acid hydrolysis of yang dilumatkan.

      • Variasi: metode praperlakuan, besar daya ultrasonication, dan lama ultrasonication water hyacinth (EICHHORNIA CRASSIPES)

        et al

        Kurniati . - Praperlakuan: dipotong, dibersihkan, dikeringkan, dan ditepungkan. Aktivitas enzim terbaik pada 2011.** Hidrolisis: enzimatis dengan α-L-arabinofuranosidase dengan rasio enzim intraselular rasio P:S = 1:10 sampai 1:0. - o Modification of dan ekstraselular 1:10, 1:8, 1:4, 1:2, 1:1 pada 70 C selama 1, 2, 4, 8, 12, dan 24 jam. Rasio P:S = 1:2 surface structure and - Variasi: perbandingan enzim intraselular (P) dan enzim ekstraselular (S) (analisa menghasilkan konsentrasi crystallinity of water aktivitas), perbandingan enzim intraselular (P) dan enzim ekstraselular (S) (konsentrasi gula pereduksi terbesar. hyacinth (Eichhornia gula pereduksi), lama hidrolisis

        Waktu hidrolisis terbaik 8

        crassipes

        ) following jam. recombinant

        α-L- arabinofuranosidase (abfa) treatment

        Universitas Sumatera Utara

      • Praperlakuan: dibersihkan, dikeringkan, dan ditepungkan. Selanjutnya: i. 25 g tepung dicampur ke 420 ml asam sulfat 2% v/v disetir 7 jam diikuti netralisasi dan penambahan buffer ii. pemanasan (121 o

        Saccharomyces cerevisiae Zymomonas mobilis

        8. Selulosa dan hemiselulosa terurai 11,01% dan 36,57%.

        Delignifikasi sampai 67,23% berhasil dicapai pada minggu ke

        using Solid State Fermentation (SSF) Method for Bioethanol Production, Indonesia.

        Phanerochaete Chrysosporium

        ) by

        Crassipes

        Sari et al. 2011.** The Kinetic of Biodegradation Lignin in Water Hyacinth (Eichhornia

        Kadar etanol tertinggi 0,27% dicapai dengan pemanasan, likuifikasi dengan seeding ratio 8/40 v/v dan sakarifikasi diikuti fermentasi 3 hari oleh S. cerevisiae .

        cerevisiae ) dan pemanasan

        C, 30 menit) diikuti penambahan air dan buffer - Hidrolisis: likuifikasi (A. niger) dan pemanasan diikuti (atau tanpa) sakarifikasi (S.

      • Mikroba fermentasi: (masing-masing)

        cerevisiae

        dan Saccharomyces

        crassipes ) dengan Zymomonas mobilis

        Merina dan Trihadinigrum, 2011. Produksi bioetanol dari eceng gondok (Eichhornia

        Judul Penelitian Metodologi Hasil

      Tabel 2.4. Berbagai Penelitian mengenai Bioetanol dari Eceng Gondok (lanjutan)

      • Mode: SSF
      • Variasi: metode praperlakuan, seeding ratio likuifikasi (4/40 v/v dan 8/40 v/v), ada tidaknya sakarifikasi, dan jenis mikroba fermentasi.
      • Praperlakuan: dipotong, dikeringkan, ditepungkan, lalu 15 g tepung dicampur air dengan perbandingan 1:3 dan diautoklaf selama 20 menit pada 121 o C.
      • Delignifikasi: i. Dengan jamur akar putih (Phanerochaete chrysosporium) selama 8 minggu ii. Dengan gabungan Pleurotus osterotus dan Phanerochaete chrysosporium selama 8 minggu
      • Variasi: metode delignifikasi

        Universitas Sumatera Utara

      Tabel 2.4. Berbagai Penelitian mengenai Bioetanol dari Eceng Gondok (lanjutan)

        Judul Penelitian Metodologi Hasil

        Satyanagalakshmi et al . 2011. Bioethanol production from acid pretreated water hyacinth by separate hydrolysis and fermentation.

      • Praperlakuan: dibersihkan, dikeringkan, digiling dengan knife mill, kemudian 10 g biomassa dicampur ke: (i) HCl 2% v/v; (ii) H
      • 2 SO 4 2% v/v; (iii) asam asetat 30% v/v; (iv) asam formiat 30% v/v dan diautoklaf (121 o

          C, 1 jam) diikuti netralisasi dengan NaOH, pencucian dan pengeringan.

        • Hidrolisis: enzimatis dengan selulase komersial Zytex - Mikroba fermentasi: Saccharomyces cerevisiae
        • Mode: SHF
        • Variasi: konsentrasi asam (1-7% w/v), loading biomassa (5; 7,5; 10; 12,5; 15 dan 17,5% w/w), jenis surfaktan (Tween 80, Triton X-100, dan PEG), konsentrasi surfaktan (0,01; 0,02; 0,05; 0,1 dan 0,2), konsentrasi selulase (10, 30, 50, 70 FPU/g biomassa), suhu (80 o
        • Praperlakuan: pencucian, pengecilan ukuran, dan pengeringan pada 80 o
        • Hidrolisis: termal pada 175 o
        • Mikroba fermentasi: Pichia stipitis NRRL Y-7124
        • Mode: SHF
        • Variasi: suhu (25 dan 30 o
        • Praperlakuan: i. Dengan asam sulfat 0,25% saja ii. Dengan asam sulfat 0,25% dan jamur akar putih Echinodontium taxodii iii. Dengan asam sulfat 0,25% dan jamus akar coklat Antrodia sp. 5898
        • Hidrolisis: enzimatis
        • Mikroba fermentasi: Saccharomyces cerevisiae
        • Mode: SHF
        • Variasi: metode praperlakuan, suhu praperlakuan dan lama praperlakuan

          , 100 o & 121 o

          C), dan waktu inkubasi (15 – 90 menit) Hasil terbaik (0,292% w/v etanol) untuk waktu inkubasi 24 jam, loading biomassa 12,5% w/w, surfaktan Triton X-100 0,1%, dan konsentrasi selulase 70 FPU. Kondisi praperlakuan optimum dicapai dengan 4% asam sulfat pada loading padatan 10% w/w pada suhu 121 o C selama 75 menit.

          Tanti et al. 2011. Fermentasi Hidrolisat Eceng Gondok Menjadi Bioetanol Menggunakan Pichia stipitis.

          C selama 24 jam, diikuti sterilisasi dengan autoklaf pada 121 o C selama 15 menit.

          C dan tekanan 8 – 10 bar (10 g eceng gondok per 200 ml aquades)

          C), dan laju pengadukan (75 dan 150 rpm) Yield etanol tertinggi (58,356 ge/gs) diperoleh pada variasi suhu 25 o C dan pengadukan 75 rpm.

          Ma et al. 2010.* Combination of biological pretreatment with mild acid pretreatment for enzymatic hydrolysis and ethanol production from water hyacinth.

          Yield etanol tertinggi 0,192 g/g massa kering dicapai untuk copraperlakuan asam sulfat dan E. taxodii selama 10 hari.

          Universitas Sumatera Utara

        • Praperlakuan: 0,1 N H
        • 2 SO 4 dan 1% (w/v) NaOH kemudian dicuci, dikeringkan dan dig
        • Hidrolisis: enzimatis dengan selulase dari Trichoderma reesei ATCC 26921 dan
        • Mikroba fermentasi: Saccharomyces cerevisiae MTCC 171 (tahap 1) diikuti
        • Mode: SHF, SSF, SBB, PH-SSF
        • Variasi: mode proses
        • Praperlakuan: dibersihkan, dikeringkan, digiling, kemudian 1,5 g bubuk diautoklaf dalam 100 ml asam sulfat 0,1 M selama 10 – 90 menit, suhu 120 – 135 o C.
        • Hidrolisis: enzimatis dengan selulase,

        • Mikroba fermentasi: (monokultur dan co-kultur)
        • Mode: SHF
        • Variasi: waktu praperlakuan, suhu praperlakuaan, dan jenis mikroba fermentasi
        • Praperlakuan: dibersihkan, dikeringkan, lalu digiling
        • Hidrolisis: 3 g bubuk ditambah ke 50 ml asam sulfat encer 0,5 – 4% v/v suhu 121 o
        • Mikroba fermentasi:
        • Mode: SHF
        • Variasi: konsentrasi asam sulfat, waktu hidrolisis

          Hasil terbaik (1,77 0,4 g/l etanol) diperoleh untuk hidrolisis dengan asam sulfat encer 1% v/v suhu 121 o C dan waktu 1 jam.

          Saccharomyces cerevisiae K7 dan 11 strain lain

          484 dari Sungai Katsuragawa

          Saccharomyces cerevisiae

          C, waktu 0,5 – 1,5 jam kemudian dinetralkan dan disaring.

          by yeast isolated from various hydrospheres

          crassipes

          Masami et al. 2008. Ethanol production from the water hyacinth Eichhornia

          0,2 dengan ko- kultur S. cerevisiae TISTR 5048 dan C. tropicalis TISTR 5045. Kondisi optimum praperlakuan dicapai pada 135 o C dan 30 menit, dan sakarifikasi 24 jam pada 50 o C.

          0,2 o C dan pH 5,0

          Yield 0,27 g/g biomassa dan utilisasi gula 0,51 dicapai pada suhu 30

          Saccharomyces cerevisiae KM 7253 Candida tropicalis

          TISTR 5045

          KM 1195

          Saccharomyces cerevisiae TISTR 5048 Saccharomyces cerevisiae

          -amilase, xilanase, amiloglukosidasie, dan pektinase dalam 0,1 M Na 3 PO 4 , 48 jam, 50 o C.

          Separated Hydrolysis and Fermentation of Water Hyacinth Leaves for Ethanol Production

          Sornvoraweat dan Kongkiattikajorn, 2010.

          Yield etanol tertinggi 0,21 0,011 g/g substrat dicapai dengan mode PH-SSF.

          Pachysolen tannophilus MTCC 1077 (tahap 2)

          - glukosidase dari Aspergillus phoenicis ATCC 52007

          Mukhopadhyah dan Chatterjee, 2010. Bioconversion of water hyacinths hydrolysate into ethanol

          Judul Penelitian Metodologi Hasil

        Tabel 2.4. Berbagai Penelitian mengenai Bioetanol dari Eceng Gondok (lanjutan)

          Universitas Sumatera Utara

        Tabel 2.4. Berbagai Penelitian mengenai Bioetanol dari Eceng Gondok (lanjutan)

          Judul Penelitian Metodologi Hasil

          Mishima et al. 2008.* - Praperlakuan: - Hasil terbaik (16,9 g/l etanol)

          Ethanol production - Hidrolisis: - dicapai untuk substrat eceng from candidate - Mikroba fermentasi: (masing-masing) gondok dengan proses SSF energy crops: Water Saccharomyces cerevisiae NBRC 2346 menggunakan E. coli KO11.

          Escherichia coli

          hyacinth (Eichhornia KO11 (strain rekombinan)

          crassipes ) and water - Mode: SHF, SSF

          lettuce (Pistia - Variasi: Jenis biomassa (eceng gondok dan water lettuce), jenis mikroba fermentasi, stratiotes L.) dan mode proses. Isarankura-Na- - Praperlakuan: dibersihkan, dipotong-potong, dihancurkan, lalu dikeringkan Yield etanol tertinggi 0,19 Ayudhya et al. 2007. - Hidrolisis: 100 g tepung eceng gondok dicampur dengan 1% atau 10% H o 2 SO 4 sampai g/g atau 1,01 g/l pada Appropriate 1000 ml, lalu diautoklaf pada 121 C selama 15 menit. Kemudian didinginkan, disaring, konsentrasi asam sulfat 10%. o

          Technology for the dipanaskan ke 60

          C, ditambah NaOH dan Ca(OH) 2 sampai pH 10, ditambah 10 g Bioconversion of neopepton, pH disesuaikan ke 5,6, lalu ditambah air sampai 1000 ml. Water Hyacinth - Mikroba fermentasi: Candida shehatae TISTR 5843 (Eichhornia - Mode: SHF

          crassipes

          ) to Liquid - Variasi: jenis substart (sabouraud dextrose broth, sabouraud xylose broth, hidrolisat Ethanol: Future eceng gondok), dan konsentrasi asam sulfat Prospects for Community Strengthening and Sustainable Development

        • ) Jurnal asal tidak berhasil diperoleh; **) Jenis penelitian hanya sampai tahap hidrolisis saja