BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - Pengaruh Work-Family Conflict Terhadap Work Engagement Pada Pegawai Negeri Sipil

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Karyawan sebagai individu dalam sebuah organisasi merupakan bagian

  terpenting dalam organisasi, karena memiliki peranan besar dalam menentukan keberhasilan pencapaian tujuan organisasi. Fungsi dan peran karyawan dibutuhkan untuk memaksimalkan kinerja, produktivitas, maupun efektifitas organisasi melalui cara kerja efisien sehingga menghasilkan nilai tambah bagi organisasi (Nawawi, 2000).

  Dalam lingkup instansi pemerintah pun, karyawan atau SDM aparatur yang selanjutnya disebut Pegawai Negeri Sipil memiliki peranan penting dalam birokrasi sebagai pelaksana utama tugas-tugas pemerintahan. Pegawai Negeri Sipil merupakan salah satu organ penting bagi keberlangsungan suatu negara karena fungsinya sebagai abdi negara dan masyarakat (Budiyanto, 2001).

  Pegawai Negeri Sipil adalah peletak dasar pelaksana sistem pemerintahan, seperti yang dikemukakan oleh Poerwotosoediro (1998), bahwa keberadaan Pegawai Negeri Sipil pada hakekatnya adalah sebagai tulang punggung pemerintah dalam melaksanakan pembangunan nasional. Oleh karena itu Pegawai Negeri Sipil harus mampu menggerakkan serta melancarkan tugas-tugas pemerintahan dalam pembangunan, termasuk di dalamnya melayani masyarakat.

  Pendapat tersebut dikuatkan oleh Nawawi (2000 ) yang menyatakan bahwa Pegawai Negeri Sipil adalah mereka yang telah memiliki syarat-syarat yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang, serta diserahi tugas dalam jabatan negeri. Sesuai dengan fungsi utamanya sebagai pelaksana utama pemerintahan negeri ini, maka para Pegawai Negeri Sipil dituntut untuk memiliki berkomitmen tinggi dan memiliki disiplin waktu yang tinggi. Hal ini tentu saja merupakan tantangan yang harus dijawab oleh seluruh Pegawai Negeri Sipil di negeri ini. Bukan hanya di jajaran puncak saja, tetapi juga pada seluruh staf sampai tingkat terendah. Hal ini didasarkan pada satu pemikiran bahwa bagaimanapun juga tidak dapat dipungkiri meski bukan satu-satunya faktor penentu, maju mundurnya negeri ini tergantung pada kinerja instansi pemerintahan, dalam hal ini Pegawai Negeri Sipil itu sendiri (Poerwotosoediro, 1998).

  Sebagaimana dikemukakan oleh Poerwotosoediro (1998), bahwa kedudukan dan peran PNS pada setiap negara adalah penting dan menentukan karena merupakan aparatur pelaksana dan penyelenggara pemerintahan serta memiliki fungsi menjaga kelancaran pembangunan dalam rangka mencapai tujuan dan cita-cita nasional, yaitu masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur (bkn.go.id, 2008).

  Untuk menjalankan fungsinya ini, pemerintahan sangat membutuhkan pegawai yang proaktif, berinisiatif tinggi, bertanggung jawab, dan berkomitmen pada pekerjaannya. Namun saat sekarang ini, banyak keluhan yang datang dari masyarakat tentang kinerja Pegawai Negeri Sipil, yang menunjukkan masih adanya berbagai keterbatasan yang dipunyai oleh Pegawai Negeri Sipil terutama menyangkut masalah yang berhubungan dengan pelayanan para aparatur pemerintah (Budiyanto, 2001). Fenomena yang terjadi saat ini seperti yang sering diberitakan di media cetak maupun elektronik yaitu banyaknya PNS yang tidak berkualitas terlihat dari banyaknya PNS yang kurang memiliki kemauan sendiri untuk bekerja dengan baik. Para PNS tersebut tidak mengerjakan tugas yang seharusnya menjadi kewajiban mereka dengan baik dan sungguh-sungguh. Begitu juga dengan tindakan-tindakan tidak disiplin yang masih sering dilakukan oleh PNS seperti datang terlambat, pulang cepat (tidak sesuai dengan jam kerja) dan tidak masuk kerja (harianterbit.com, 2012). Hal ini diperkuat oleh hasil survei yang dilakukan oleh Political and Economic Risk Consultancy pada tahun 2013, dimana kinerja PNS yang berada di Indonesia menempati urutan yang terburuk se-Asia setelah India (asiarisk.com, 2013).

  Keadaan ini sering dihadapi berbagai organisasi dimana produktifitas pegawainya rendah yang dilatarbelakangi oleh kurangnya keterikatan pegawai terhadap pekerjaannya atau engagement karyawan yang rendah terhadap pekerjaannya (Albrecht, 2010). Karyawan yang engaged adalah karyawan yang memaknai serta berkontribusi terhadap pekerjaannya dan mengerjakan pekerjaan dengan mencurahkan segenap energi fisik, kognitif, dan emosinya (Kahn, 1990; Kular, Gatenby, Rees, Soane, & Truss, 2008). Perilaku engagement yang paling terlihat jelas adalah usaha yang dilakukan karyawan, seperti bekerja keras, berusaha, terlibat penuh pada pekerjaan dan fokus pada apa yang mereka kerjakan dengan mengerahkan segenap energinya (Schaufeli & Bakker, 2003).

  Work engagement didefinisikan sebagai sikap positif yang dimiliki oleh

  karyawan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi (Robinson, Perryman, & Hayday, 2004). Work engagement memberikan hasil yang positif bagi organisasi, seperti tingginya produktivitas kerja, kepuasan kerja, dan rendahnya tingkat

  turnover (Castellano, 2008).

  Organisasi yang memiliki karyawan dengan tingkat engagement tinggi dilaporkan mengeluarkan biaya recruitment 55% lebih rendah, memiliki tingkat keuntungan yang lebih tinggi, mengalami produktivitas karyawan, dan memperoleh tingkat kepuasan pelanggan yang lebih tinggi (Hewitt, 2008).

  Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa tingkat engagement pada karyawan masih tergolong rendah (Perrin, 2003; Kular, Gatenby, Rees, Soane, & Truss, 2008; White, 2011). Hal ini ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Towers Perrin pada 35.000 lebih karyawan perusahan-perusahaan di Amerika Serikat hanya 17 % karyawan yang engaged, 19 % disengaged, dan 64 % lainnya menyatakan netral (Perrin, 2003). Sedangkan penelitian global pada 10.914 karyawan di seluruh dunia didapatkan bahwa ada 31% karyawan yang engaged, khususnya yang berada wilayah Asia Tenggara ada sebanyak 26% karyawan (White, 2011).

  Di sisi lain, karyawan yang engaged secara emosional akan mendedikasikan dirinya kepada organisasi dan secara penuh berpartisipasi di dalam pekerjaannya dengan antusias yang besar untuk kesuksesan dirinya dan atasan mereka (Markos & Sridevi, 2010). Penelitian menunjukkan bahwa di Indonesia hanya sekitar 30 % dari karyawan yang engaged secara aktif dengan sisa 70 % lainnya menyibukkan diri namun tidak memberikan kontribusi yang cukup, baik secara individual maupun kolektif (Amol, 2010).

  Schaufeli, Salanova, Gonzales, dan Bakker (2002) menyatakan bahwa work engagement memiliki 3 karakteristik yaitu vigor, dedication dan absorption.

  

Vigor dikarakteristikan dengan tingkat energi yang tinggi, resiliensi, keinginan

untuk berusaha, dan tidak mudah menyerah dalam menghadapi tantangan.

  

Dedication ditandai dengan merasa bernilai, antusias, inspirasi, berharga dan

  menantang. Absorption ditandai dengan konsentrasi penuh terhadap suatu pekerjaan dimana waktu terasa berlalu begitu cepat dan sulit melepaskan diri dari pekerjaan. Individu yang memiliki level absorption yang tinggi biasanya merasa tertarik dan tenggelam dalam pekerjaan tersebut, sehingga sulit untuk melepaskan diri dari pekerjaannya. Akibatnya karyawan cenderung lupa akan sekelilingnya dan mengabaikan hal diluar pekerjaannya (Schaufeli & Bakker, 2003).

  Ada beberapa faktor yang berhubungan dengan work engagement, salah satunya family friendliness (Vazirani, 2007) . Vazirani mengungkapkan bahwa kehidupan keluarga dapat mempengaruhi pekerjaannya. Ketika seorang pegawai menyadari bahwa organisasi memberikan manfaat bagi keluarganya, pegawai akan terikat secara emosi yang nantinya akan mengarah kepada engagement pegawai (Vaziani, 2007).

  Pekerjaan dan keluarga merupakan dua hal yang paling penting dari kehidupan dewasa. Beberapa studi mengungkapkan bahwa pekerjaan dan keluarga merupakan dua hal yang tidak terpisah, keduanya saling berkaitan dan memiliki hubungan dinamis satu sama lainnya karena kehidupan keluarga dipengaruhi oleh faktor-faktor di tempat kerja, begitu juga sebaliknya (Trachtenberg, Anderson, & Sabatelli, 2009).

  Di lingkungan pekerjaan, beberapa faktor yang dapat menjadi pemicu ketegangan bahkan menciptakan konflik antara kebutuhan profesi pekerjaan dan tanggung jawab keluarga antara lain adalah waktu yang berlebih dalam menjalankan tugas organisasi, hubungan kerja antara atasan dan bawahan yang kurang baik dalam suatu organisasi, rekan kerja yang tidak membantu, ketidaknyamanan dalam melaksanakan tugas, pindah tugas, keterlibatan karyawan dalam suatu tugas organisasi, tantangan yang makin sulit dalam mengerjakan tugas, keterlibatan dalam melaksanakan suatu tugas yang sulit dan bahkan isu efisiensi karyawan (Greenhaus & Beutell, 1985). Organisasi yang tidak produktif dan tidak memberikan keuntungan yang cukup bagi karyawan juga dapat menyebabkan permasalahan bagi karyawan yang dapat terbawa ke lingkungan keluarga (Elloy & Mackie, 2002). Ketidakseimbangan pemenuhan kebutuhan selain dapat mempengaruhi ketidakharmonisan rumah tangga juga dapat mempengaruhi kualitas kehidupan pribadi karyawan. Pengaruh negatif akibat hal ini disebut juga konflik antar peran atau work-family conflict (Frone, Russell & Cooper, 1992).

  Work family conflict muncul dari faktor yang berkaitan dengan pekerjaan

  dan keluarga. Beberapa faktor yang berkaitan dengan pekerjaan seperti shift kerja, pemindahan kerja secara mendadak, sering lembur, dan perubahan jam kerja dapat meningkatkan risiko konflik (Frone, 2000).

  Work family conflict dapat dialami oleh siapa saja, tidak terkecuali oleh

  Pegawai Negeri Sipil (PNS). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Frone (2000) konflik yang dialami oleh pegawai dalam sebuah organisasi berhubungan dengan prestasi kerja dan peningkatan ketidakhadiran kerja. Sehingga, jika banyak diantara Pegawai Negeri Sipil yang mengalami work family conflict, maka produktivitas dan keberhasilan instansi itu akan terganggu.

  Jam kerja yang panjang dan beban kerja yang berat merupakan pertanda langsung akan terjadinya work-family conflict dikarenakan waktu dan upaya yang berlebihan dipakai untuk bekerja, mengakibatkan kurangnya waktu dan energi yang bisa digunakan untuk melakukan aktivitas-aktivitas keluarga (Frone, 2000; Greenhaus & Beutell, 1985). Beban kerja yang berlebihan bisa diakibatkan oleh banyaknya tuntutan tugas yang diberikan instansi. Sebagai abdi negara tentu saja beban kerja Pegawai Negeri Sipil tidaklah sedikit, seperti yang diungkapkan oleh Munasef (1986) bahwa keberadaan PNS pada hakekatnya adalah sebagai tulang punggung pemerintahan dalam melaksanakan pembangunan nasional. Oleh karena itu Pegawai Negeri Sipil harus mampu melaksanakan tugas-tugas pemerintah dalam pembangunan, termasuk di dalamnya melayani masyarakat.

  Fenomena work family conflict ini juga semakin menarik diteliti mengingat banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan, baik terhadap pegawai, keluarganya maupun organisasi tempat ia bekerja. Beberapa dampak negatif secara individual diantaranya adalah berkurangnya kepuasan baik dalam bekerja maupun dalam kehidupan rumah tangga, sedangkan dari sisi organisasi work

  family conflict akan mengakibatkan berkurangnya komitmen pegawai pada pekerjaan yang akhirnya dapat mendorong perputaran tenaga kerja yang tinggi pada organisasi (Poelmans, 2001 ; Alzeta & Hidayati, 2007).

  Dampak dari work family conflict yang dapat terjadi di lingkungan pekerjaan antara lain seperti menurunnya kinerja pegawai yang berdampak pada produktifitas, pegawai yang sering terlambat bahkan tidak masuk kerja sehingga kemungkinan pegawai keluar dari organisasi atau tempat kerja tersebut (Kahn et al., 1964). Hal inilah yang akhir-akhir ini sering dihadapi instansi pemerintahan, dimana rendahnya produktivitas kinerja pegawai dilatarbelakangi oleh tingkat absensi yang tinggi. Sedangkan di lingkungan keluarga, work family conflict dapat mengakibatkan keluarga menjadi tidak harmonis, adanya ketidaksetujuan sikap dengan pasangan, hubungan keluarga yang kritis bahkan dapat membuat batasan dalam keluarga untuk berhubungan yang lebih dekat (Lawton & Nahemow, 1973). Efek lain dari work family conflict bagi pribadi karyawan adalah gangguan kesehatan fisik dan psikis bagi karyawan itu sendiri (Frone, Russell, & Cooper, 1997), seperti kecemasan dan depresi (Frone, 2000).

  Berdasarkan penjabaran di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh work family conflict terhadap work engagement pada Pegawai Negeri Sipil.

B. RUMUSAN MASALAH

  Apakah terdapat pengaruh negatif work family conflict terhadap work

  engagement pada Pegawai Negeri Sipil?

  C. TUJUAN PENELITIAN

  1. Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh negatif work family conflict terhadap work engagement pada Pegawai Negeri Sipil.

  2. Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh negatif dimensi time based

  

conflict, behaviour based conflict dan strain based conflict terhadap work

engagament .

  D. MANFAAT PENELITIAN

  Penelitian ini memiliki manfaat baik secara teoritis maupun praktis :

  1. Manfaat Teoritis

  Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan di bidang psikologi, khususnya dalam Psikologi Industri dan Organisasi dalam aplikasinya terutama mengenai pengaruh work family conflict terhadap work engagement. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menguji teori yang berkaitan dengan work family conflict dan work engagement pada pegawai negeri sipil.

  2. Manfaat Praktis a.

   Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai work engagement dan work family conflict bagi organisasi.

  b.

  Bagi akademis, hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan bahan acuan atau pertimbangan untuk dijadikan langkah awal bagi peneliti selanjutnya yang ingin melengkapi penelitian ini dan mengembangkan penelitian mengenai work engagement dan work family conflict.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

  Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

  Bab I : Pendahuluan Berisikan uraian singkat mengenai latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian. Bab II : Landasan Teori Berisikan teori-teori yang berkaitan variable yang diteliti, pengaruh antar variable dan hipotesa. Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori tentang work family conflict dan work engagement .

  Bab III : Metode Penelitian Berisikan metode-metode dasar dalam penelitian yaitu identifikasi variabel, definisi operasional, subjek penelitian, instrumen dan alat ukur yang digunakan, metode pengambilan sampel dan metode analisis data.

  Bab IV :Membahas mengenai analisis data dan pembahasan yang berisikan gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian, dan pembahasan hasil penelitian yang merupakan perbandingan hipotesis dengan teori-teori atau hasil penelitian terdahulu.

  Bab V :Berisikan kesimpulan dan saran-saran. Pada bagian ini akan membahas mengenai kesimpulan hasil penelitian dan saran yang diberikan oleh peneliti baik itu untuk penyempurnaan penelitian ataupun untuk penelitian yang berhubungan dengan apa yang akan diteliti di masa mendatang serta saran untuk organisasi.