Pengaruh Work-Family Conflict Terhadap Work Engagement Pada Pegawai Negeri Sipil

(1)

PENGARUH WORK-FAMILY CONFLICT TERHADAP WORK

ENGAGEMENT PADA PEGAWAI NEGERI SIPIL

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

VINA YULIANA

091301089

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

(3)

(4)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh work family conflict terhadap work engagement pada Pegawai Negeri Sipil. Data diambil dari 100 orang pegawai negeri sipil di Medan, serta diambil dengan metode incidental sampling. Data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan skala work family conflict (rxx’ = 0,927) dan skala work engagement (rxx’ = 0,901). Metode analisis data yang digunakan adalah regresi sederhana. Hasil analisis data menunjukkan bahwa terdapat pengaruh negatif variabel work-family conflict terhadap work engagement (R= 0,413, R2= 0,171, F= 20,158, p<0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa work family conflict dapat menurunkan work engagement pada pegawai negeri sipil.


(5)

ABSTRACT

Vina yuliana, Vivi G. Pohan

This research was conducted to investigate the influence of work family conflict on work engagement among civil servant. Data were gathered from 100 civil servants in Medan, which collected by incidental sampling method. The data were collected by using work family conflict scales (rxx’ = 0,927) and work engagement scales (rxx’ = 0,901). The data were analyzed by using simple regression method. The result showed that there was a negative influence of variable work family conflict toward work engagement (R= 0,413, R2= 0,171, F= 20,158, p<0,05). It’s concluded that work family conflict was significantly reduced work engagement among civil servants.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terima kasih saya panjatkan ke hadirat Allah SWT oleh karena rahmat serta hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini guna memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara serta meraih gelar Strata 1 (S1).

Keberhasilan penulisan skripsi ini dapat terwujud tidak hanya hasil kerja keras saya sendiri namun juga berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih setulus-tulusnya kepada berbagai pihak yang telah membantu proses penyelesaian skripsi ini dan juga selama menempuh pendidikan di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, yaitu kepada:

1. Prof. Dr. Irmawati, psikolog selaku dekan Fakultas Psikologi yang telah memberikan dukungan yang terbaik untuk kesuksesan seluruh mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Vivi Gusrini R. Pohan, M.A., M.Sc., selaku dosen pembimbing yang telah rela meluangkan waktunya untuk membimbing saya serta memberikan kritik dan juga saran yang membangun bagi penyelesaian skripsi saya ini.

3. Dosen-dosen pengajar di Fakultas Psikologi yang tidak mungkin saya sebutkan namanya satu per satu, Anda sekalian telah memberikan segala hal yang terbaik bagi saya. Terima kasih telah memberikan ilmu yang bermanfaat untuk saya.


(7)

4. Kepada kedua orangtua H. Indrades Wahyudi dan Hj. Rahmi yang selalu mendukung dan memberikan motivasi kepada saya. Kalian selalu mendoakan yang terbaik untuk saya. I love you.

5. Untuk Kakak dan Abang-abangku serta keponakan-keponakanku yang tersayang.

6. Untuk temen-temen Serefhy, Aisyah, Juli, Umul dan teman-teman yang selalu mendukung, terimakasih atas semangatnya.

7. Nana, Mimi, dan Rani, teman-teman seperjuangan ku, terima kasih atas kerjasamanya.

8. Teman-teman angkatan 2009, kita telah melalui empat tahun ini besama-sama, terima kasih untuk kebersamaannya dan untuk setiap momen yang berkesan yang akan selalu saya ingat.

9. Untuk Rizki yang selalu ada di saat suka dan duka, terima kasih untuk segala hal yang telah kamu lakukan selama ini, sangat berarti.

Saya menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan, dikarenakan keterbatasan yang ada, namun sumbangan pemikiran yang peneliti sampaikan mudah-mudahan bermanfaat bagi pembaca.

Medan, Desember 2013 Vina Yuliana


(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

D.1 Manfaat Teoritis ... 9

D.2 Manfaat Praktis ... 10

E. Sistematika Penelitian ... 10

BAB II LANDASAN TEORI ... A. Work Engagement ... 12

A.1 Definisi Work Engagement ... 12

A.2 Perbedaan Work Engagement dengan konsep lain ... 15

A.3 Dimensi Work Engagement ... 16

A.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Work Engagement ... 18


(9)

B.1 Definisi Work- Family Conflict ... 21

B.2 Dimensi Work-Family Conflict ... 24

C. Pegawai Negeri Sipil ... 26

C.1 Definisi Pegawai Negeri Sipil ... 27

D. Pengaruh Work Family Conflict terhadap Work Engagement pada Pegawai Negeri Sipil ... 28

E. Hipotesis ... 32

1. Hipotesis Mayor ... 32

2. Hipotesis Minor ... 33

BAB III METODE PENELITIAN ... A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 34

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 34

C. Populasi Dan Sampel Penelitian ... 36

C.1 Populasi ... 37

C.2 Sampel ... 37

D. Teknik Pengambilan Sampel ... 37

E. Metode Pengumpulan Data ... 37

E.1 Skala Work Family conflict ... 39

E.2 Skala Work Engagement ... 40


(10)

F.1 Validitas Alat Ukur ... 41

F.2 Uji Daya Beda Aitem ... 42

F.3 Reliabilitas Alat Ukur ... 43

F.4 Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 43

G. ProsedurPelaksanaan Penelitian ... 46

H. Metode Analisis Data ... 48

H.1 Uji Normalitas ... 48

H.2 Uji Linearitas ... 49

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ... A. Gambaran Umum Subjek penelitian ... 50

A.1 Gambaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 50

A.2 Gambaran Subjek Berdasarkan Usia ... 51

A.3 Gambaran Subjek Berdasarkan Masa Kerja ... 52

A.4 Gambaran Subjek Berdasarkan Suku ... 52

B. Hasil Penelitian ... 53

B.1 Hasil Uji Asumsi ... 53

1.a Uji Normalitas ... 53

1.b Uji Linearitas ... 54

B.2 Hasil Utama Penelitian ... 56

B.2.a Hasil Analisis Data ... 56

B.2.b. Nilai Empirik dan Nilai Hipotetik Data Penelitian ... 65

B.2.c Kategorisasi Data Penelitian ... 67


(11)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...

A. Kesimpulan ... 74

B. Saran ... 75

1.Saran Praktis ... 75

2. Saran Metodologis ... 76

DAFTAR PUSTAKA


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Distribusi Aitem-Aitem Skala Work Family Conflict ... 40

Tabel 2. Distribusi Aitem-Aitem Skala Work Engagement ... 41

Tabel 3. Distribusi Aitem-Aitem Skala Work Engagement Setelah Uji Coba ... 45

Tabel 4. Distribusi Aitem-Aitem Skala Work Family Conflict Setelah uji Coba .. 46

Tabel 5. Gambaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin... 50

Tabel 6. Gambaran Subjek Berdasarkan Usia ... 51

Tabel 7. Gambaran Subjek Berdasarkan Masa Kerja ... 52

Tabel 8. Gambaran Subjek Berdasarkan Suku ... 53

Tabel 9. Normalitas Variabel Work Engagement dan Work Family Conflict ... 54

Tabel 10. Hasil Pengujian Linieritas ... 55

Tabel 11. Hasil Korelasi Variabel Penelitian ... 56

Tabel 11. Hasil Korelasi Dimensi Work Family Conflict ... 57

Tabel 12. Hasil Analisis Uji Hipotesis Mayor ... 57

Tabel 13. Hasil Analisis Nilai R dan R2 ... 59

Tabel 14. Hasil Uji Nilai F ... 60

Tabel 15. Koofisien Regresi ... 60

Tabel 16. Hasil Analisi Uji Hipotesis Minor ... 62

Tabel 17. Nilai R dan R2 ... 63

Tabel 18. Hasil Uji Nilai F ... 63

Tabel 19. Hasil Koofisien Regresi ... 64

Tabel 20. Nilai Empirik dan Nilai Hipotetik Work Family Conflict ... 65

Tabel 21. Nilai Empirik dan Nilai Hipotetik Work Engagement ... 66

Tabel 22. Kategorisasi Data Hipotetik Work Family Conflict ... 67


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A. Uji Validitas Isi Lampiran B. Skala Uji Coba

Lampiran C. Uji Daya Beda dan Reliabilitas Aitem Lampiran D. Skala Penelitian

Lampiran E. Hasil Olah Data Penelitian Lampiran F. Data Demografik


(14)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh work family conflict terhadap work engagement pada Pegawai Negeri Sipil. Data diambil dari 100 orang pegawai negeri sipil di Medan, serta diambil dengan metode incidental sampling. Data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan skala work family conflict (rxx’ = 0,927) dan skala work engagement (rxx’ = 0,901). Metode analisis data yang digunakan adalah regresi sederhana. Hasil analisis data menunjukkan bahwa terdapat pengaruh negatif variabel work-family conflict terhadap work engagement (R= 0,413, R2= 0,171, F= 20,158, p<0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa work family conflict dapat menurunkan work engagement pada pegawai negeri sipil.


(15)

ABSTRACT

Vina yuliana, Vivi G. Pohan

This research was conducted to investigate the influence of work family conflict on work engagement among civil servant. Data were gathered from 100 civil servants in Medan, which collected by incidental sampling method. The data were collected by using work family conflict scales (rxx’ = 0,927) and work engagement scales (rxx’ = 0,901). The data were analyzed by using simple regression method. The result showed that there was a negative influence of variable work family conflict toward work engagement (R= 0,413, R2= 0,171, F= 20,158, p<0,05). It’s concluded that work family conflict was significantly reduced work engagement among civil servants.


(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Karyawan sebagai individu dalam sebuah organisasi merupakan bagian terpenting dalam organisasi, karena memiliki peranan besar dalam menentukan keberhasilan pencapaian tujuan organisasi. Fungsi dan peran karyawan dibutuhkan untuk memaksimalkan kinerja, produktivitas, maupun efektifitas organisasi melalui cara kerja efisien sehingga menghasilkan nilai tambah bagi organisasi (Nawawi, 2000).

Dalam lingkup instansi pemerintah pun, karyawan atau SDM aparatur yang selanjutnya disebut Pegawai Negeri Sipil memiliki peranan penting dalam birokrasi sebagai pelaksana utama tugas-tugas pemerintahan. Pegawai Negeri Sipil merupakan salah satu organ penting bagi keberlangsungan suatu negara karena fungsinya sebagai abdi negara dan masyarakat (Budiyanto, 2001).

Pegawai Negeri Sipil adalah peletak dasar pelaksana sistem pemerintahan, seperti yang dikemukakan oleh Poerwotosoediro (1998), bahwa keberadaan Pegawai Negeri Sipil pada hakekatnya adalah sebagai tulang punggung pemerintah dalam melaksanakan pembangunan nasional. Oleh karena itu Pegawai Negeri Sipil harus mampu menggerakkan serta melancarkan tugas-tugas pemerintahan dalam pembangunan, termasuk di dalamnya melayani masyarakat. Pendapat tersebut dikuatkan oleh Nawawi (2000) yang menyatakan bahwa Pegawai Negeri Sipil adalah mereka yang telah memiliki syarat-syarat yang telah


(17)

ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang, serta diserahi tugas dalam jabatan negeri. Sesuai dengan fungsi utamanya sebagai pelaksana utama pemerintahan negeri ini, maka para Pegawai Negeri Sipil dituntut untuk memiliki berkomitmen tinggi dan memiliki disiplin waktu yang tinggi. Hal ini tentu saja merupakan tantangan yang harus dijawab oleh seluruh Pegawai Negeri Sipil di negeri ini. Bukan hanya di jajaran puncak saja, tetapi juga pada seluruh staf sampai tingkat terendah. Hal ini didasarkan pada satu pemikiran bahwa bagaimanapun juga tidak dapat dipungkiri meski bukan satu-satunya faktor penentu, maju mundurnya negeri ini tergantung pada kinerja instansi pemerintahan, dalam hal ini Pegawai Negeri Sipil itu sendiri (Poerwotosoediro, 1998).

Sebagaimana dikemukakan oleh Poerwotosoediro (1998), bahwa kedudukan dan peran PNS pada setiap negara adalah penting dan menentukan karena merupakan aparatur pelaksana dan penyelenggara pemerintahan serta memiliki fungsi menjaga kelancaran pembangunan dalam rangka mencapai tujuan dan cita-cita nasional, yaitu masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur (bkn.go.id, 2008).

Untuk menjalankan fungsinya ini, pemerintahan sangat membutuhkan pegawai yang proaktif, berinisiatif tinggi, bertanggung jawab, dan berkomitmen pada pekerjaannya. Namun saat sekarang ini, banyak keluhan yang datang dari masyarakat tentang kinerja Pegawai Negeri Sipil, yang menunjukkan masih adanya berbagai keterbatasan yang dipunyai oleh Pegawai Negeri Sipil terutama menyangkut masalah yang berhubungan dengan pelayanan para aparatur


(18)

pemerintah (Budiyanto, 2001). Fenomena yang terjadi saat ini seperti yang sering diberitakan di media cetak maupun elektronik yaitu banyaknya PNS yang tidak berkualitas terlihat dari banyaknya PNS yang kurang memiliki kemauan sendiri untuk bekerja dengan baik. Para PNS tersebut tidak mengerjakan tugas yang seharusnya menjadi kewajiban mereka dengan baik dan sungguh-sungguh. Begitu juga dengan tindakan-tindakan tidak disiplin yang masih sering dilakukan oleh PNS seperti datang terlambat, pulang cepat (tidak sesuai dengan jam kerja) dan tidak masuk kerja (harianterbit.com, 2012). Hal ini diperkuat oleh hasil survei yang dilakukan oleh Political and Economic Risk Consultancy pada tahun 2013, dimana kinerja PNS yang berada di Indonesia menempati urutan yang terburuk se-Asia setelah India (asiarisk.com, 2013).

Keadaan ini sering dihadapi berbagai organisasi dimana produktifitas pegawainya rendah yang dilatarbelakangi oleh kurangnya keterikatan pegawai terhadap pekerjaannya atau engagement karyawan yang rendah terhadap pekerjaannya (Albrecht, 2010). Karyawan yang engaged adalah karyawan yang memaknai serta berkontribusi terhadap pekerjaannya dan mengerjakan pekerjaan dengan mencurahkan segenap energi fisik, kognitif, dan emosinya (Kahn, 1990; Kular, Gatenby, Rees, Soane, & Truss, 2008). Perilaku engagement yang paling terlihat jelas adalah usaha yang dilakukan karyawan, seperti bekerja keras, berusaha, terlibat penuh pada pekerjaan dan fokus pada apa yang mereka kerjakan dengan mengerahkan segenap energinya (Schaufeli & Bakker, 2003).


(19)

Work engagement didefinisikan sebagai sikap positif yang dimiliki oleh karyawan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi (Robinson, Perryman, & Hayday, 2004). Work engagement memberikan hasil yang positif bagi organisasi, seperti tingginya produktivitas kerja, kepuasan kerja, dan rendahnya tingkat turnover (Castellano, 2008).

Organisasi yang memiliki karyawan dengan tingkat engagement tinggi dilaporkan mengeluarkan biaya recruitment 55% lebih rendah, memiliki tingkat keuntungan yang lebih tinggi, mengalami produktivitas karyawan, dan memperoleh tingkat kepuasan pelanggan yang lebih tinggi (Hewitt, 2008). Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa tingkat engagement pada karyawan masih tergolong rendah (Perrin, 2003; Kular, Gatenby, Rees, Soane, & Truss, 2008; White, 2011). Hal ini ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Towers Perrin pada 35.000 lebih karyawan perusahan-perusahaan di Amerika Serikat hanya 17 % karyawan yang engaged, 19 % disengaged, dan 64 % lainnya menyatakan netral (Perrin, 2003). Sedangkan penelitian global pada 10.914 karyawan di seluruh dunia didapatkan bahwa ada 31% karyawan yang engaged, khususnya yang berada wilayah Asia Tenggara ada sebanyak 26% karyawan (White, 2011).

Di sisi lain, karyawan yang engaged secara emosional akan mendedikasikan dirinya kepada organisasi dan secara penuh berpartisipasi di dalam pekerjaannya dengan antusias yang besar untuk kesuksesan dirinya dan atasan mereka (Markos & Sridevi, 2010). Penelitian menunjukkan bahwa di


(20)

Indonesia hanya sekitar 30 % dari karyawan yang engaged secara aktif dengan sisa 70 % lainnya menyibukkan diri namun tidak memberikan kontribusi yang cukup, baik secara individual maupun kolektif (Amol, 2010).

Schaufeli, Salanova, Gonzales, dan Bakker (2002) menyatakan bahwa work engagement memiliki 3 karakteristik yaitu vigor, dedication dan absorption. Vigor dikarakteristikan dengan tingkat energi yang tinggi, resiliensi, keinginan untuk berusaha, dan tidak mudah menyerah dalam menghadapi tantangan. Dedication ditandai dengan merasa bernilai, antusias, inspirasi, berharga dan menantang. Absorption ditandai dengan konsentrasi penuh terhadap suatu pekerjaan dimana waktu terasa berlalu begitu cepat dan sulit melepaskan diri dari pekerjaan. Individu yang memiliki level absorption yang tinggi biasanya merasa tertarik dan tenggelam dalam pekerjaan tersebut, sehingga sulit untuk melepaskan diri dari pekerjaannya. Akibatnya karyawan cenderung lupa akan sekelilingnya dan mengabaikan hal diluar pekerjaannya (Schaufeli & Bakker, 2003).

Ada beberapa faktor yang berhubungan dengan work engagement, salah satunya family friendliness (Vazirani, 2007) . Vazirani mengungkapkan bahwa kehidupan keluarga dapat mempengaruhi pekerjaannya. Ketika seorang pegawai menyadari bahwa organisasi memberikan manfaat bagi keluarganya, pegawai akan terikat secara emosi yang nantinya akan mengarah kepada engagement pegawai (Vaziani, 2007).

Pekerjaan dan keluarga merupakan dua hal yang paling penting dari kehidupan dewasa. Beberapa studi mengungkapkan bahwa pekerjaan dan keluarga merupakan dua hal yang tidak terpisah, keduanya saling berkaitan dan


(21)

memiliki hubungan dinamis satu sama lainnya karena kehidupan keluarga dipengaruhi oleh faktor-faktor di tempat kerja, begitu juga sebaliknya (Trachtenberg, Anderson, & Sabatelli, 2009).

Di lingkungan pekerjaan, beberapa faktor yang dapat menjadi pemicu ketegangan bahkan menciptakan konflik antara kebutuhan profesi pekerjaan dan tanggung jawab keluarga antara lain adalah waktu yang berlebih dalam menjalankan tugas organisasi, hubungan kerja antara atasan dan bawahan yang kurang baik dalam suatu organisasi, rekan kerja yang tidak membantu, ketidaknyamanan dalam melaksanakan tugas, pindah tugas, keterlibatan karyawan dalam suatu tugas organisasi, tantangan yang makin sulit dalam mengerjakan tugas, keterlibatan dalam melaksanakan suatu tugas yang sulit dan bahkan isu efisiensi karyawan (Greenhaus & Beutell, 1985). Organisasi yang tidak produktif dan tidak memberikan keuntungan yang cukup bagi karyawan juga dapat menyebabkan permasalahan bagi karyawan yang dapat terbawa ke lingkungan keluarga (Elloy & Mackie, 2002). Ketidakseimbangan pemenuhan kebutuhan selain dapat mempengaruhi ketidakharmonisan rumah tangga juga dapat mempengaruhi kualitas kehidupan pribadi karyawan. Pengaruh negatif akibat hal ini disebut juga konflik antar peran atau work-family conflict (Frone, Russell & Cooper, 1992).

Work family conflict muncul dari faktor yang berkaitan dengan pekerjaan dan keluarga. Beberapa faktor yang berkaitan dengan pekerjaan seperti shift kerja, pemindahan kerja secara mendadak, sering lembur, dan perubahan jam kerja dapat meningkatkan risiko konflik (Frone, 2000).


(22)

Work family conflict dapat dialami oleh siapa saja, tidak terkecuali oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Frone (2000) konflik yang dialami oleh pegawai dalam sebuah organisasi berhubungan dengan prestasi kerja dan peningkatan ketidakhadiran kerja. Sehingga, jika banyak diantara Pegawai Negeri Sipil yang mengalami work family conflict, maka produktivitas dan keberhasilan instansi itu akan terganggu.

Jam kerja yang panjang dan beban kerja yang berat merupakan pertanda langsung akan terjadinya work-family conflict dikarenakan waktu dan upaya yang berlebihan dipakai untuk bekerja, mengakibatkan kurangnya waktu dan energi yang bisa digunakan untuk melakukan aktivitas-aktivitas keluarga (Frone, 2000; Greenhaus & Beutell, 1985). Beban kerja yang berlebihan bisa diakibatkan oleh banyaknya tuntutan tugas yang diberikan instansi. Sebagai abdi negara tentu saja beban kerja Pegawai Negeri Sipil tidaklah sedikit, seperti yang diungkapkan oleh Munasef (1986) bahwa keberadaan PNS pada hakekatnya adalah sebagai tulang punggung pemerintahan dalam melaksanakan pembangunan nasional. Oleh karena itu Pegawai Negeri Sipil harus mampu melaksanakan tugas-tugas pemerintah dalam pembangunan, termasuk di dalamnya melayani masyarakat.

Fenomena work family conflict ini juga semakin menarik diteliti mengingat banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan, baik terhadap pegawai, keluarganya maupun organisasi tempat ia bekerja. Beberapa dampak negatif secara individual diantaranya adalah berkurangnya kepuasan baik dalam bekerja maupun dalam kehidupan rumah tangga, sedangkan dari sisi organisasi work family conflict akan mengakibatkan berkurangnya komitmen pegawai pada


(23)

pekerjaan yang akhirnya dapat mendorong perputaran tenaga kerja yang tinggi pada organisasi (Poelmans, 2001 ; Alzeta & Hidayati, 2007).

Dampak dari work family conflict yang dapat terjadi di lingkungan pekerjaan antara lain seperti menurunnya kinerja pegawai yang berdampak pada produktifitas, pegawai yang sering terlambat bahkan tidak masuk kerja sehingga kemungkinan pegawai keluar dari organisasi atau tempat kerja tersebut (Kahn et al., 1964). Hal inilah yang akhir-akhir ini sering dihadapi instansi pemerintahan, dimana rendahnya produktivitas kinerja pegawai dilatarbelakangi oleh tingkat absensi yang tinggi. Sedangkan di lingkungan keluarga, work family conflict dapat mengakibatkan keluarga menjadi tidak harmonis, adanya ketidaksetujuan sikap dengan pasangan, hubungan keluarga yang kritis bahkan dapat membuat batasan dalam keluarga untuk berhubungan yang lebih dekat (Lawton & Nahemow, 1973). Efek lain dari work family conflict bagi pribadi karyawan adalah gangguan kesehatan fisik dan psikis bagi karyawan itu sendiri (Frone, Russell, & Cooper, 1997), seperti kecemasan dan depresi (Frone, 2000).

Berdasarkan penjabaran di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh work family conflict terhadap work engagement pada Pegawai Negeri Sipil.

B. RUMUSAN MASALAH

Apakah terdapat pengaruh negatif work family conflict terhadap work engagement pada Pegawai Negeri Sipil?


(24)

C. TUJUAN PENELITIAN

1. Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh negatif work family conflict terhadap work engagement pada Pegawai Negeri Sipil.

2. Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh negatif dimensi time based conflict, behaviour based conflict dan strain based conflict terhadap work engagament.

D. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini memiliki manfaat baik secara teoritis maupun praktis :

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan di bidang psikologi, khususnya dalam Psikologi Industri dan Organisasi dalam aplikasinya terutama mengenai pengaruh work family conflict terhadap work engagement. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menguji teori yang berkaitan dengan work family conflict dan work engagement pada pegawai negeri sipil.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai work engagement dan work family conflict bagi organisasi.

b. Bagi akademis, hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan bahan acuan atau pertimbangan untuk dijadikan langkah awal bagi peneliti


(25)

selanjutnya yang ingin melengkapi penelitian ini dan mengembangkan penelitian mengenai work engagement dan work family conflict.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan

Berisikan uraian singkat mengenai latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian. Bab II : Landasan Teori

Berisikan teori-teori yang berkaitan variable yang diteliti, pengaruh antar variable dan hipotesa. Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori tentang work family conflict dan work engagement.

Bab III : Metode Penelitian

Berisikan metode-metode dasar dalam penelitian yaitu identifikasi variabel, definisi operasional, subjek penelitian, instrumen dan alat ukur yang digunakan, metode pengambilan sampel dan metode analisis data.

Bab IV :Membahas mengenai analisis data dan pembahasan yang berisikan gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian, dan


(26)

pembahasan hasil penelitian yang merupakan perbandingan hipotesis dengan teori-teori atau hasil penelitian terdahulu.

Bab V :Berisikan kesimpulan dan saran-saran. Pada bagian ini akan membahas mengenai kesimpulan hasil penelitian dan saran yang diberikan oleh peneliti baik itu untuk penyempurnaan penelitian ataupun untuk penelitian yang berhubungan dengan apa yang akan diteliti di masa mendatang serta saran untuk organisasi.


(27)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Work Engagement

Konsep engagement pertama kali dikemukakan oleh Kahn pada tahun 1990 yang berawal dari asumsi bahwa individu dapat melibatkan berbagai tingkat energi fisik, kognitif dan emosi mereka pada performa peran yang melibatkan pekerjaan dan pengalaman. Semakin sering individu melibatkan diri dalam peran, maka akan semakin tinggi performa kerjanya. Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2004 konsep engagement secara komersil didukung oleh Organisasi Gallup yang menyatakan bahwa work engagement dapat memprediksi peningkatan kinerja karyawan, keuntungan, mempertahankan karyawan, kepuasan konsumen, serta keberhasilan organisasi (Kular, Gatenby, Ress, Soane, & Truss, 2008).

1. Definisi Work Engagement

Kata “engaged” memiliki berbagai makna dan banyak peneliti yang memiliki pengertian berbeda mengenai engagement ini (Albrecht, 2010). Telah banyak studi yang dilakukan mengenai engagement, tetapi sampai saat ini belum ada definisi yang konsisten dan universal mengenai definisi dari engagement, termasuk juga dalam hal pengoperasionalisasian dan pengukurannya yang masih dalam cara yang berbeda-beda (Kular, Gatenby, Rees, Soane, & Truss, 2008).


(28)

Oleh karena itu penggunaan istilah engagement yang dikemukakan oleh berbagai peneliti masih berbeda-beda, ada yang menyebut dengan istilah employee engagement seperti Saks (2006) dan istilah work engagement, seperti Schaufeli, Salanova, Gonzalez-Roma, & Bakker (2002).

Murnianita (2012) menyatakan bahwa istilah employee engagement dengan work engagement seringkali digunakan bergantian, tetapi work engagement dianggap lebih spesifik. Work engagement mengacu pada hubungan antara karyawan dengan pekerjaannya, sedangkan employee engagement terkait hubungan antara karyawan dengan organisasi (Schaufeli & Bakker, 2010).

Ketika individu sangat peduli dengan apa yang ia lakukan dan berkomitmen untuk melakukan hal itu sebaik mungkin, ia akan merasa terdorong untuk berbuat daripada hanya diam, inilah bagian dari engagement (Kahn,1990). Menurut Khan (1990) work engagement dalam pekerjaan dikonsepsikan sebagai anggota organisasi yang melaksanakan peran kerjanya, bekerja dan mengekspresikan dirinya secara fisik, kognitif dan emosional selama bekerja.

Pendapat lain mengenai work engagement adalah sikap positif yang dimiliki oleh karyawan terhadap organisasi dan nilai-nilai yang berada di dalamnya. Karyawan yang engaged menyadari konteks bisnis dan bekerja dengan rekan-rekan sesama karyawan untuk meningkatkan kinerja dalam pekerjaan untuk kepentingan organisasi (Robinson, Perryman & Hayday, 2004).

Lockwood (2007) memberi pengertian mengenai work engagement sebagai keadaan dimana seseorang mampu berkomitmen dengan organisasi baik secara emosional maupun secara intelektual. Lockwood (2007) mengemukakan bahwa


(29)

work engagement sebagai penyataan dari individu secara emosional dan intelektual untuk komit terhadap organisasi, yang diukur melalui tiga perilaku utama: 1) berbicara positif mengenai organisasi kepada rekan kerja dan pekerja yang berpotensi serta kepada pelanggan, 2) memiliki gairah yang intens untuk menjadi anggota organisasi, meski sebenarnya mendapat peluang kerja di tempat lain, 3) menunjukkan usaha ekstra dan perilaku yang memiliki kontribusi terhadap kesuksesan organisasi.

Schaufeli, Salanova, Gonzalez, dan Bakker (2002) mendefinisikan work engagement merupakan hal positif, yang terkait dengan keadaan pikiran yang ditandai dengan semangat, dedikasi dan absorbsi atau penyerapan (Schaufeli et al., 2002). Vigor atau semangat mencerminkan kesiapan untuk mengabdikan upaya dalam pekerjaan seseorang, sebuah usaha untuk terus energik saat bekerja dan kecenderungan untuk tetap berusaha dalam menghadapi tugas kesulitan atau kegagalan. Dedikasi mengacu pada identifikasi yang kuat dengan pekerjaan seseorang dan mencakup perasaan antusiasme, inspirasi, kebanggaan, dan tantangan. Dimensi terakhir dari work engagement adalah penyerapan atau absorbsi. Absorpsi ditandai dimana seseorang menjadi benar-benar tenggelam dalam pekerjaan, dengan waktu tertentu ia akan merasa sulit untuk melepaskan diri dari pekerjaannya.

Dari berbagai definisi yang dikemukakan oleh beberapa tokoh di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa work engagement merupakan hal positif yang terkait dengan bentuk ekspresi fisik, kognitif, dan emosi karyawan terhadap pekerjaan dan organisasi yang ditandai dengan semangat, dedikasi, dan absorpsi atau penyerapan.


(30)

2. Perbedaan Work Engagement dengan Konsep Lain

Banyak definisi berbeda mengenai work engagement dan konsep dari work engagement tersebut seringkali tumpang tindih dengan definisi konstruk lain. Oleh karena banyak riset yang memberikan istilah work engagement sebagai “old wine in new bottles” atau “same lady in new dress” (Macey & Schneider, 2008; Newman & Harrison, 2008; Albrecht, 2010). Oleh karena itu, konsep ini perlu dibedakan dengan konstruk-konstruk lain yang berhubungan dengan masalah organisasi.

Work engagement dapat dikatakan berkaitan dengan konstruk lainnya dalam perilaku organisasi seperti konstruk komitment organisasi (organizational commitment) dan keterlibatan kerja (job involvement). Robinson, Perryman, dan Hayday (2004) menjelaskan bahwa engagement terdiri dari banyak elemen didalamnya termasuk elemen komitmen organisasi serta organizational citizenship behavior (OCB), tetapi ketiganya tetap berbeda, sebab tidak ada satupun elemen dari organizational citizenship behavior dan komitmen organisasi yang dapat menjelaskan aspek engagement yang ada (Robinson, Perryman, & Hayday, 2004).

Work engagement berbeda dengan komitmen organisasi. Komitmen organisasi berkaitan dengan sikap seseorang dan kesekatan dengan organisasi mereka. Disisi lain, engagement bukan merupakan sikap melainkan suatu tingkatan yang dimana individu memiliki perhatian yang lebih dalam


(31)

menjalankan peran mereka dilingkungan pekerjaan. Organizational citizenship behavior berkaitan dengan perilaku informal dan sukarela yang dapat menolong rekan kerja dan organisasi, sedangkan fokus dari engagement adalah peran keterlibatan karyawan (job involvement) (Robinson, Perryman, & Hayday 2004).

Menurut May (2004) engagement dihubungkan dengan job involvement. Job involvement didefinisikan sebagai suatu situasi pekerjaan yang menjadi pusat identitas dari karyawan dan keadaan psikologis yang terdiri dari kognitif atau belief. Hal ini berbeda dengan engagement yang lebih fokus pada bagaimana individu bekerja dan lebih aktif menggunakan emosi. Kesimpulannya engagement adalah faktor penyebab dari job involvement.

3. Dimensi Work Engagement

Dimensi atau aspek-aspek dari work engagement terdiri dari tiga (Schaufeli, et al., 2002), yaitu:

a. Vigor

Merupakan curahan energi dan mental yang kuat selama bekerja, keberanian untuk berusaha sekuat tenaga dalam menyelesaikan suatu pekerjaan, dan tekun dalam menghadapi kesulitan kerja. Juga kemauan untuk menginvestasikan segala upaya dalam suatu pekerjaan, dan tetap bertahan meskipun menghadapi kesulitan. Vigor atau semangat mencerminkan kesiapan untuk mengabdikan upaya


(32)

dalam pekerjaan seseorang, sebuah usaha untuk terus energik saat bekerja, dan kecenderungan untuk tetap berusaha dalam menghadapi tugas kesulitan atau kegagalan.

b. Dedication

Merasa terlibat sangat kuat dalam suatu pekerjaan dan mengalami rasa kebermaknaan, antusiasme, kebanggaan, inspirasi, dan tantangan. Dedikasi mengacu pada identifikasi yang kuat dengan pekerjaan seseorang dan mencakup perasaan antusiasme, inspirasi, kebanggaan, dan tantangan.

c. Absorption

Dikarakteristikan denga konsentrasi penuh, minat yang mendalam terhadap pekerjaan dimana waktu terasa berlalu begitu cepat dan sulit melepaskan diri dari pekerjaan. Individu yang memiliki skor tinggi pada absorption biasanya merasa tertarik dengan pekerjaanya, tenggelam dalam pekerjaannya, dan sulit untuk melepaskan diri dari pekerjaannya. Akibatnya, lupa akan sekelilingnya dan waktu berlalu begitu cepat. Sedangkan individu dengan skor rendah pada absorption tidak tertarik dan tidak tenggelam dalam pekerjaannya, mereka tidak punya kesulitan untuk melepaskan diri dari pekerjaan ataupun lupa akan sekeliling danwaktu (Schaufeli & Bakker, 2003). Absorpsi ditandai dimana seseorang menjadi benar-benar tenggelam dalam pekerjaan dengan waktu tertentu ia akan merasa sulit untuk melepaskan diri dari pekerjaannya.


(33)

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Work Engagement

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi work engagement yang akan berbeda di tiap jenis pekerjaan dan organisasi. secara umum McBain (2007) menjelaskan bahwa ada tiga kluster utama yang menjadi penggerak work engagement, yaitu:

a. Organisasi

Faktor organisasi yang dapat menjadi penggerak work engagement adalah budaya organisasi, visi dan nilai yang dianut, brand organisasi. b. Manajemen dan kepemimpinan

Engagement dibangun melalui proses, butuh waktu yang panjang serta komitmen yang tinggi dari pemimpin, untuk itu dibutuhkan kekonsistenan pemimpin dalam memonitoring karyawan. Dalam menciptakan work engagement, pimpinan organisasi diharapkan memiliki beberapa keterampilan. Beberapa diantaranya adalah teknik berkomunikasi, teknik memberikan feedback, dan teknik penilaian kinerja.

c. Kondisi lingkungan pekerjaan

Kenyamanan kondisi lingkungan kerja menjadi pemicu terciptanya work engagement.

Selain itu Vazirani (2007) juga mengemukakan beberapa hal yang berhubungan dengan work engagement yaitu:


(34)

tingkat keterlibatan karyawan akan tinggi jika bos mereka memberikan kesempatan yang sama bagi pertumbuhan dan kemajuan bagi semua karyawan

b. Performance appraisal

Evaluasi yang adil dari seorang karyawan adalah kriteria penting untuk menentukan tingkat engagement pegawai. Organisasi yang mengikuti teknik penilaian kinerja yang sesuai akan memiliki tingkat engagement yang tinggi.

c. Pay and Benefits

Organisasi harus memiliki sistem pembayaran yang tepat sehingga pegawai termotivasi untuk bekerja dalam organisasi. Untuk meningkatkan level engagement pegawai, organisasi juga harus memberikan dengan manfaat dan kompensasi tertentu.

d. Health and Safety

Penelitian menunjukkan bahwa tingkat engagement rendah jika karyawan tidak merasa aman saat bekerja. Untuk itu setiap organisasi harus mengadopsi metode dan sistem yang tepat untuk kesehatan dan keselamatan pegawai mereka.

e. Job Satisfaction

Hanya pegawai yang puas yang bisa menjadi karyawan yang engaged. Oleh karena itu sangat penting bagi suatu organisasi untuk memastikan bahwa pekerjaan yang diberikan kepada pegawai sesuai


(35)

dengan tujuan karirnya yang akan membuat dia menikmati pekerjaan dan pada akhirnya akan puas dengan pekerjaannya

f. Communication

Organisasi harus mengikuti kebijakan pintu terbuka. Komunikasi dengan menggunakan saluran komunikasi telah sesuai dalam organisasi baik komunikasi keatas dan komunikasi kebawah. Jika pegawai diberikan hak suara dalam pengambilan keputusan dan memiliki hak untuk didengar oleh atasannya, maka level engagement akan cenderung tinggi.

g. Family Friendliness

Kehidupan keluarga mempengaruhi kehidupan pekerjaannya. Ketika seorang pegawai menyadari bahwa organisasi sedang mempertimbangkan manfaat keluarganya, ia akan memiliki keterikatan emosional dengan organisasi yang mengarah kepada engagement

h. Co-operation

Jika seluruh organisasi bekerja sama dengan saling membantu; semua pegawai serta pengawas, mengkoordinasikannya dengan baik, maka pegawai akan memiliki engagement.

Dari berbagai faktor yang mempengaruhi work engagement di atas, family friendliness adalah salah satu faktor yang berkaitan dengan keluarga. Kehidupan keluarga akan mempengaruhi kehidupan pekerjaan, jadi apabila terjadi konflik dalam keluarga tentunya akan mempengaruhi pekerjaan seseorang,


(36)

yang mengindikasikan bahwa work family conflict merupakan faktor yang mempengaruhi work engagement.

B. Work- Family Conflict

1. Definisi Work-Family Conflict

Work-family conflict (WFC) adalah salah satu dari bentuk interrole conflict yaitu tekanan atau ketidakseimbangan peran antara peran di pekerjaan dengan peran di dalam keluarga (Greenhaus & Beutell, 1985). Jam kerja yang panjang dan beban kerja yang berat merupakan pertanda langsung akan terjadinya work-family conflict, dikarenakan waktu dan upaya yang berlebihan dipakai untuk bekerja mengakibatkan kurangnya waktu dan energi yang bisa digunakan untuk melakukan aktivitas-aktivitas keluarga (Frone, 2000; Greenhaus & Beutell, 1985).

Frone (1992) mengatakan kehadiran salah satu peran (pekerjaan) akan menyebabkan kesulitan dalam memenuhi tuntutan peran yang lain (keluarga), harapan orang lain terhadap berbagai peran yang harus dilakukan seseorang dapat menimbulkan konflik. Konflik terjadi apabila harapan peran mengakibatkan seseorang sulit membagi waktu dan sulit untuk melaksanakan salah satu peran karena hadirnya peran yang lain.

Frone (2000) mendefinisikan work family conflict sebagai bentuk konflik peran dimana tuntutan peran dari pekerjaan dan keluarga secara mutual tidak


(37)

dapat disejajarkan dalam beberapa hal. Hal ini biasanya terjadi pada saat seseorang berusaha memenuhi tuntutan peran dalam pekerjaan dan usaha tersebut dipengaruhi oleh kemampuan orang yang bersangkutan untuk memenuhi tuntutan keluarganya, atau sebaliknya, dimana pemenuhan tuntutan peran dalam keluarga dipengaruhi oleh kemampuan orang tersebut dalam memenuhi tuntutan pekerjaannya. Tuntutan pekerjaan berhubungan dengan tekanan yang berasal dari beban kerja yang berlebihan dan waktu, seperti; pekerjaan yang harus diselesaikan terburu-buru dan deadline. Sedangkan tuntutan keluarga berhubungan dengan waktu yang dibutuhkan untuk menangani tugas-tugas rumah tangga dan anak. Tuntutan keluarga ini ditentukan oleh besarnya keluarga, komposisi keluarga dan jumlah anggota keluarga yang memiliki ketergantungan terhadap anggota yang lain (Yang, Chen, Choi, & Zou, 2000).

Frone, Russell & Cooper (1992) mendefinisikan work-family conflict sebagai konflik peran yang terjadi pada karyawan, dimana disatu sisi ia harus melakukan pekerjaan di kantor dan disisi lain harus memperhatikan keluarga secara utuh, sehingga sulit membedakan antara pekerjaan mengganggu keluarga dan keluarga mengganggu pekerjaan. Pekerjaan mengganggu keluarga, artinya sebagian besar waktu dan perhatian dicurahkan untuk melakukan pekerjaan sehingga kurang mempunyai waktu untuk keluarga. Sebaliknya keluarga mengganggu pekerjaan berarti sebagian besar waktu dan perhatiannya digunakan untuk menyelesaikan urusan keluarga sehingga mengganggu pekerjaan. Work-family conflict ini terjadi ketika kehidupan rumah seseorang berbenturan dengan


(38)

tanggung jawabnya di tempat kerja, seperti masuk kerja tepat waktu, menyelesaikan tugas harian, atau kerja lembur.

Selanjutnya Greenhaus & Parasuraman (1986) mengemukakan bahwa work-family conflict terjadi karena karyawan berusaha untuk menyeimbangkan antara permintaan dan tekanan yang timbul, baik dari keluarga maupun yang berasal dari pekerjaannya.

Greenhauss dan Beutell (1985) mendefinisikan work-family conflict sebagai suatu bentuk konflik peran dalam diri seseorang yang muncul karena adanya tekanan peran dari pekerjaan yang bertentangan dengan tekanan peran dari keluarga. Work-family conflict bisa terjadi akibat lamanya jam kerja dari individu, sehingga waktu bersama keluarga menjadi berkurang. Individu harus menjalankan dua peran pada saat yang bersamaan, yakni dalam pekerjaan dan dalam keluarga, sehingga faktor emosi dalam satu wilayah menganggu wilayah lainnya (Greenhaus & Beutell, 1985).

Definisi lain juga diungkapkan Simon dan Hansselhorn (2004) menyatakan bahwa work-family conflict muncul karena adanya beberapa faktor yaitu, adanya tuntutan dari pekerjaan dan keluarga, kesulitan membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga, dan adanya tekanan dari pekerjaan yang membuat seseorang sulit untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dan kewajiban pekerjaan yang seringkali merubah rencana bersama keluarga.

Sedangkan Thomas & Ganster (1995) mendefinisikan work-family conflict sebagai suatu bentuk khusus dari konflik antar peran yang terjadi karena


(39)

tuntutan dari pekerjaan bertentangan atau tidak sesuai dengan tuntutan dari keluarga.

Dari definisi yang diungkapkan diatas dapat disimpulkan bahwa work family conflict adalah konflik yang terjadi karena ketidakmampuan menyeimbangkan tuntutan keluarga dan pekerjaan.

2. Dimensi Work-family Conflict

Work-family conflict (WFC) terdiri dari dua aspek yaitu work interfering with family (WIF) dan family interfering with work (FIW) (Frone & Cooper, 1992; Greenhaus & Beutell, 1985). Adapun asumsi dari work interfering with family lebih dikarenakan akibat tuntutan waktu yang terlalu berlebihan atau time-based conflict dalam satu hal (contoh: saat bekerja) akan mencegah pelaksanaan kegiatan dalam hal lain (contoh: di rumah), yang terjadi pada akhirnya adalah ketegangan dan tekanan atau strain-based conflict pada satu hal ditumpahkan pada hal lain, seperti: pulang kerumah dengan suasana hati yang buruk (bad mood) setelah bekerja. Sementara family interfering with work lebih kepada pola perilaku yang berhubungan dengan kedua peran atau bagian (pekerjaan atau keluarga) behavior-based conflict (Frone & Cooper, 1992). Work interfering with family dan family interfering with work dapat dilihat dari tiga hal yaitu, tanggung jawab dan harapan, tuntutan psikologis, serta kebijakan dan kegiatan organisasi (misalnya dukungan sosial).


(40)

Greenhaus dan Beutell (1985) mengidentifikasikan tiga dimensi dari work-family conflict yaitu:

a. Time-based conflict

Time-based conflict terjadi ketika waktu yang digunakan untuk melakukan aktivitas pada suatu peran tidak dapat dicurahkan juga untuk melakukan aktivitas pada suatu peran yang lain. Konflik yang disebabkan waktu ini dapat terdiri dari dua bentuk yaitu: (1) tuntutan waktu yang diasosiasikan dengan keanggotaan individu pada suatu peran sehingga tidak mungkin secara fisik memenuhi tuntutan yang muncul dari peran lain; (2) tuntutan juga menimbulkan keterkungkungan dalam suatu peran, meskipun individu telah berusaha untuk memenuhi tuntutan dari peran yang lain.

b. Strain- based conflict

Strain-based conflict ini muncul ketika ketegangan yang timbul dari suatu peran mengganggu individu dalam memenuhi perannya yang lain. Hal yang senada diungkapkan oleh Schabracq, Winnubst, dan Cooper (2003) bahwa strain-based conflict ini merujuk pada ketegangan (misalnya tension, kecemasan, kelelahan, depresi, mudah marah) yang timbul dari partisipasi individu dalam satu peran menyebabkan individu sulit memenuhi tuntutan dari perannya yang lain. Misalnya kelelahan yang muncul dari pekerjaan membuat seseorang tidak dapat lagi melakukan aktivitas bersama anggota keluarga di rumah karena sudah kehabisan energi. Hal lain juga diungkapkan Alzeta & Hidayati (2007) yaitu tekanan


(41)

yang berasal dari pekerjaan dapat memunculkan gejala-gejala ketegangan yang menyebabkan individu sulit memenuhi tugas-tugas dalam keluarga secara optimal yang kemudian akan menyebabkan interaksi individu dengan anggota keluarga lainnya menjadi buruk akibat individu mengalami emosi yang negatif.

c. Behavior-based conflict

Behavior-based conflict ini berkenaan dengan pola tingkah laku spesifik dalam suatu peran yang bertentangan dengan harapan akan tingkah laku pada peran lain. Misalnya saja, seorang manajer laki-laki diharapkan menekankan kestabilan emosi, percaya diri, keagresifan, dan obyektivitas. Dilain pihak, keluarga mengharapkannya sebagai seorang yang hangat, emosional, dan mengasuh dalam berinteraksi di keluarga. Dapat dikatakan bahwa individu mengalami konflik ini ketika ia kesulitan memenuhi harapan-harapan yang ada dalam tiap peran yang dijalaninya.

C. Pegawai Negeri Sipil (PNS)

1. Definisi Pegawai Negeri Sipil (PNS)

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia No.8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian ; Bab 1, Pasal 1, Pegawai Negeri adalah setipa warga negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan


(42)

negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam Bab II, pasal 2, dinyatakan bahwa: 1. Pegawai negeri terdiri dari:

a. Pegawai negeri sipil;

b. Anggota tentara Nasional Indonesia;

c. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

2. Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a terdiri dari: a. Pegawai Negeri Sipil Pusat; dan b. Pegawai Negeri Sipil Daerah.

Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan (Bab II, Pasal 3).

Berdasarkan uraian diatas, Pegawai Negeri Sipil adalah setiap warga negara Republik indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwewenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, digaji berdasarkan peraturan perundang-ungana yang berlaku, bukan mrupakan Anggota Tentara Nasional Indonesia dan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, baik yang memiliki jabatan struktural/ fungsional maupun yang tidak, yang berkedudukan di daerah atau di pusat.


(43)

D. Pengaruh Work Family Conflict terhadap Work Engagement pada

Pegawai Negeri Sipil

Organisasi yang modern membutuhkan karyawan yang proaktif, berinisiatif tinggi, bertanggung jawab pada pengembangan dirinya dan berkomitmen pada standar pekerjaan yang berkualitas baik. Selain itu, organisasi juga membutuhkan karyawan yang selalu semangat dan berdedikasi tinggi, atau disebut sebagai karyawan yang engaged dengan pekerjaannya (Bakker & Bal, 2010).

Work engagement memiliki berbagai dampak positif terhadap produktivitas kerja (Castellano, 2008) dan berpengaruh terhadap keuntungan organisasi, kepuasan dan kesetiaan pelanggan, retensi atau turnover karyawan serta keamanan (Vance, 2006). Work engagement juga berkorelasi positif dengan komitmen terhadap organisasi dan organizational citizenship behavior (Saks, 2006). Mereka yang memiliki engagement yang tinggi akan bersedia bekerja keras untuk mencapai kesuksesan. Sebagai contoh, pegawai yang rela lembur karena menganggap pekerjaannya sangat menantang, rela membawa pekerjaan ke rumah karena merasa pekerjaannya sudah menjadi bagian dari hidupnya, atau sekedar membantu rekan kerjanya yang membutuhkan tenaganya karena dengan membantu rekan kerja tersebut maka akan berkontribusi pada keberhasilan organisasi yang dibanggakannya (Castellano, 2008).

Oleh karena banyaknya dampak positif tersebut, level work engagement pada masing-masing pegawai harus ditingkatkan guna mencapai produktivitas


(44)

organisasi yang maksimal. Peningkatan tersebut dapat ditinjau dari faktor-faktor yang mendorong tingkat work engagement (Saks, 2006).

Persaingan yang semakin ketat, menuntut organisasi untuk selalu mengetahui komitmen dan loyalitas pegawainya. Tidak terkecuali hal ini terjadi dibidang pemerintahan. Pegawai yang terlibat secara psikologis di dalam perannya sebagai pekerja dan memiliki tingkat engagement yang tinggi, nantinya akan dapat memberikan kontribusi pada kesuksesan dan keberhasilan pada instansi pemerintahan tempat ia bernaung (Budiyanto, 2001). Oleh karena itu, pemerintah dituntut untuk lebih jeli melihat hal apa saja yang dibutuhkan oleh pegawainya, sehingga dapat menjadi masukan dalam program pengelolaan Sumber Daya Manusia yang pada akhirnya dapat meningkatkan engagement pada pegawai.

Banyak faktor yang mendorong terjadinya work engagement salah satunya adalah family friendliness (Vazirani, 2007). Vazirani (2007) mengungkapkan bahwa kehidupan keluarga dapat mempengaruhi pekerjaannya. Ketika seorang pegawai menyadari bahwa organisasi memberikan manfaat bagi keluarganya, pegawai akan terikat secara emosi yang nantinya akan mengarah kepada engagement pegawai (Vazirani, 2007).

Selain itu penelitian yang dilakukan Razak, Yunus, Nasurdin (2011) menemukan bahwa beban kerja yang terlalu berat juga berhubungan positif dengan work-family conflict. Job demands dapat menjadi pemicu stres dalam situasi yang membutuhkan upaya yang tinggi untuk mempertahankan tingkat kinerja yang diharapkan, akibatnya dapat memunculkan respon negatif termasuk


(45)

kelelahan. Individu yang memiliki tuntutan pekerjaan yang melebihi batas kemampuannya, seperti lembur, akan memunculkan kelelahan, ketegangan dan emosi negatif (Ahmad, 2008). Individu yang menghabiskan waktunya sepanjang hari untuk bekerja akan kehilangan motivasi untuk memenuhi tuntutan keluarga (Aslam, Shumaila, Azhar & Sadaqat, 2011). Hal ini yang kemudian membuat pemenuhan tuntutan pekerjaan dan tuntutan keluarga menjadi tidak seimbang. Ketidakseimbangan tersebut memunculkan work-family conflict (Greenhaus & Beutell, 1985; Jimenez, Mayo, Vergel, Geurts, Munoz & Garrosa, 2008).

Greenhaus dan Beutell (1985) menjelaskan bahwa terdapat tiga dimensi work family conflict, yang pertama yaitu time-based conflict, merupakan konflik yang terjadi ketika waktu yang tersedia untuk memenuhi peran di pekerjaan (keluarga) tidak dapat digunakan untuk memenuhi peran di keluarga (pekerjaan) dengan kata lain pada waktu yang sama seorang yang mengalami work family conflict tidak akan bisa melakukan dua atau lebih peran sekaligus. Misalnya jam kerja yang panjang, waktu kerja yang tidak fleksibel dan lembur membuat individu kekurangan waktu dalam memenuhi tuntutan keluarga secara maksimal (Byron, 2005). Begitu juga sebaliknya, banyaknya waktu yang dihabiskan individu untuk memenuhi tanggungjawab dalam keluarganya akan mengakibatkan individu kekurangan waktu dalam memenuhi tuntutan pekerjaannya secara maksimal. Hal ini tentu saja akan mengganggu level engagement individu terhadap pekerjaannya, sehingga individu tidak dapat mengerahkan energinya untuk mengerjakan pekerjaan, tidak mampu berusaha sekuat tenaga, dan tidak bisa bertahan dalam menghadapi kesulitan kerja


(46)

(Schaufeli et,.al, 2002). Sehingga time based conflict yang terjadi pada individu akan mempengaruhi level engagement terutama berkaitan dengan dimensi vigor.

Dimensi yang kedua yaitu, strain based conflict, merupakan ketegangan yang disebabkan oleh salah satu peran membuat seseorang sulit untuk memenuhi tuntutan perannya yang lain. Misalnya, individu yang seharian bekerja akan merasakan kelelahan dan menyebabkannya kesulitan dalam melakukan pekerjaan di rumah. Begitu juga sebaliknya, individu yang disibukkan dengan urusan keluarga akan merasakan kelelahan yang nantinya akan menyebabkan kesulitan dalam melakukan kewajiban dalam pekerjaan. Strain based conflict ini bisa memicu tekanan darah meningkat, kecemasan, kelelahan, cepat marah dan depresi yang menyebabkan individu sulit memenuhi tugas-tugas dalam pekerjaannya secara optimal yang nantinya menyebabkan interaksi individu dengan rekan kerja akan menjadi buruk dikarenakan individu mengalami emosi negatif (Thomas & Ganster, 1995). Hal ini tentu saja akan mengganggu level engagement pegawai terhadap pekerjaannya. Individu yang mengalami kelelahan akan sulit berkosentrasi terhadap pekerjaannya, tidak tertarik dan mudah untuk melepaskan diri dari pekerjaanya (Schaufeli & Bakker, 2003). Sehingga strain based conflict yang terjadi pada individu akan menurunkan level engagement terutama yang berkaitan dengan dimensi absorbtion.

Dimensi work family conflict lainnya yaitu behavior-based conflict, merupakan konflik yang muncul ketika pola dari suatu perilaku pada peran yang sedang dijalankan tidak sesuai dengan harapan perilaku pada peran yang lainnya.


(47)

Sebagai contoh seorang manajer pria saat bekerja diharapkan memiliki kepercayaan diri, emosi yang stabil, agresif, dan objektif, sedangkan ketika berada di rumah mungkin diharapkan menjadi orang yang hangat, melindungi, dan emosional. Hal ini tentu saja akan berpengaruh terhadap level engagement individu. Ketika individu dituntut sebagai seorang yang memiliki kepercayaan diri, emosi yang stabil, agresif, dan objektif dalam pekerjaannya bertolak belakang dengan apa yang diharapkan ketika ia berada di rumah tentu saja akan menyebabkan ketidakseimbangan peran yang nantinya akan mempengaruhi engagement individu tersebut. Hal ini dapat diartikan ketika individu tidak dapat menyeimbangkan perannya, individu sulit untuk terlibat dalam pekerjaannya. Sehingga behaviour based conflict yang terjadi pada individu akan menurunkan level engagement terutama yang berkaitan dengan dimensi dedication.

Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa work-family conflict berpengaruh terhadap work engagement, oleh karena itu peneliti tertarik untuk membuktikan secara empiris mengenai pengaruh work-family conflict terhadap work engagement.

5. HIPOTESIS

1. Hipotesis Mayor :

“Ada pengaruh negatif work-family conflict terhadap work engagement pada pegawai negeri sipil, Work-family conflict berkontribusi negatif terhadap work engagement.


(48)

2. Hipotesis Minor

a. Ada pengaruh negatif dimensi time based conflict terhadap work engagement

b. Ada pengaruh negatif dimensi behaviour based conflict terhadap work engagement

c. Ada pengaruh negatif dimensi strain based conflict terhadap work engagement


(49)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian sangat menentukan suatu penelitian karena menyangkut cara yang benar dalam mengumpulkan data, analisa data serta pengambilan kesimpulan penelitian dan dapat menentukan apakah penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan hasilnya (Hadi, 2000). Sesuai dengan permasalahan yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, yaitu ingin melihat pengaruh work-family conflict terhadap work engagement maka peneliti menggunakan metode penelitian kuantitatif.

A. Identifikasi Variabel Penelitian

Identifikasi variabel penelitian digunakan untuk menguji hipotesa penelitian. Variabel-variabel dalam penelitian ini, terdiri dari :

1. Variabel predictor : work-family conflict 2. Variabel kriteria : work engagement

B. Defenisi Operasional Variabel Penelitian

1. Work Engagement

Work engagement adalah penilaian mengenai sejauh mana karyawan merasa menikmati pekerjaannya, merasa nyaman dan senang , memiliki


(50)

energi dan semangat yang tinggi, serta antusias. Work engagement diukur dengan skala work engagement berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Schaufeli et.,al (2002) meliputi vigor, dedication dan absorption. Pengisian skala work engagement ini berupa self report, yaitu subjek diminta untuk merespon pernyataan sesuai dengan keadaan dirinya. Petunjuk tinggi rendahnya work engagement adalah skor total yang diperoleh dari hasil pengolahan data skala work engagement. Semakin tinggi skor yang dicapai seseorang semakin tinggi tingkat work engagement yang dimilikinya.

2. Work-Family Conflict

Work-family conflict merupakan ketidakseimbangan peran antara peran di pekerjaan dengan peran didalam keluarga yang terjadi akibat tuntutan waktu yang terlalu berlebihan dalam satu hal akan mencegah pelaksanaan kegiatan dalam hal lain. Work-family conflict ini dapat diukur dengan menggunakan dimensi yang dikemukakan oleh Greenhaus dan Beutell (1985) yaitu time-based conflict, strain-time-based conflict dan behavior-time-based conflict, dimana skor total yang diperoleh adalah untuk melihat apakah individu mengalami konflik antara kedua perannya (pekerjaan dan keluarga). Semakin tinggi skor skala work-family conflict maka semakin tinggi pula konflik peran yang dialami oleh individu tersebut dalam menjalankan kedua perannya. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah total skor skala


(51)

work-family conflict maka semakin rendah pula konflik peran yang dialami oleh individu dalam menjalankan perannya.

C. Populasi Dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Dalam setiap penelitian yang dilakukan, masalah populasi dan sampel yang dipakai merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan. Populasi adalah seluruh objek yang dimaksud untuk diteliti. Populasi dibatasi sebagai sejumlah subjek atau individu yang paling sedikit memiliki satu sifat yang sama (Hadi, 2000). Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pegawai negeri sipil di kota Medan.

2. Sampel

Mengingat keterbatasan peneliti untuk menjangkau seluruh populasi, maka peneliti hanya meneliti sebagian dari populasi yang dijadikan sebagai subjek penelitian yang lebih dikenal dengan nama sampel. Sampel adalah sebagian dari populasi atau sejumlah penduduk yang jumlahnya kurang dari jumlah populasi dan harus mempunyai paling sedikit satu sifat yang sama (Hadi, 2000). Tidak ada batasan mengenai berapa jumlah sampel ideal yang harus digunakan dalam suatu penelitian. Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 100 subjek.


(52)

Karakteristik sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Pegawai negeri sipil

b. Telah bekerja minimal 2 tahun

c. Dalam masa kerja (tidak dalam masa skorsing) d. Menikah

D. Teknik Pengambilan Sampel

Sampling adalah cara untuk menentukan sampel dalam suatu penelitian. Penentuan sampel harus memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran populasi agar diperoleh sampel yang representatif atau benar-benar mewakili populasi. Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan incidental sampling yaitu pemilihan individu sebagai sampel karena individu tersebut kebetulan dijumpai (Hadi, 2000). Teknik ini merupakan salah satu bentuk nonrandom sampling, sehingga setiap anggota populasi tidak memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi sampel dalam penelitian (Hadi, 2000).

E. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penskalaan. Skala adalah suatu prosedur pengambilan data yang merupakan suatu alat ukur aspek afektif yang merupakan konstruk atau konsep psikologis yang menggambarkan aspek kepribadian individu (Azwar, 2007). Menurut Azwar (2007) karakteristik dari skala psikologi yaitu: (a) Stimulusnya


(53)

berupa pertanyaan atau pernyataan yang tidak langsung mengungkap atribut yang hendak diukur melainkan mengungkap indikator perilaku dari atribut yang bersangkutan; (b) Dikarenakan atribut psikologis diungkap secara tidak langsung lewat indikator-indikator perilaku sedangkan indikator perilaku diterjemahkan dalam bentuk aitem, maka skala psikologi selalu banyak berisi aitem-aitem; (c) Respon subjek tidak diklasifikasikan sebagai jawaban benar atau salah. Semua jawaban dapat diterima sepanjang diberikan secara jujur dan sungguh- sungguh.

Ada beberapa model penskalaan yang sering digunakan. Model skala yang digunakan dalam penelitin ini adalah model Likert untuk skala work-family conflict dan work engegement.

Prosedur penskalaan model Likert ini didasari oleh dua asumsi (Azwar, 2005) :

a. Setiap pernyataan yang ditulis dapat disepakati sebagai pernyataan yang mendukung (favorable) atau pernyataan yang tidak mendukung (unfavorable).

b. Jawaban yang diberikan oleh individu yang mempunyai sikap positif harus diberi bobot atau nilai yang lebih tinggi daripada jawaban yang diberikan oleh responden yang mempunyai sikap negatif.

Selain itu metode skala psikologis digunakan dalam penelitian atas dasar pertimbangan:


(54)

a. Metode skala psikologis merupakan metode yang praktis.

b. Dalam waktu yang relatif singkat dapat dikumpulkan data yang banyak. c. Metode skala psikologis merupakan metode yang dapat menghemat tenaga

dan ekonomis.

1. Skala Work-family Conflict

Skala ini digunakan untuk mengukur variabel work-family conflict. Skala ini merupakan skala psikologis yang terdiri dari butir pertanyaan yang disusun oleh peneliti berdasarkan teori Greenhaus dan Beutell (1985) . Model skala work-family conflict ini menggunakan likert. Aitem terdiri dari pernyataan dengan pilihan lima alternatif yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Netral (N) Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Untuk aitem favorable, pilihan SS = 5, pilihan S = 4, pilihan N = 3 TS = 2, dan pilihan STS = 1. Sedangkan untuk aitem yang unfavorable pilihan SS = 1, pilihan S = 2, pilihan N = 3, TS = 4 dan STS = 5 Skor skala ini menunjukkan bahwa semakin tinggi skor jawaban maka semakin tinggi work-family conflict pegawai negeri sipil


(55)

Tabel.1

Distribusi Aitem-aitem Skala Work-familyConflict

No Dimensi Aitem Jumlah

Favorable Unfavorable

1 Time based conflict

1,4, 10, 13, 22, 25, 31, 34, 37, 40,

43

7, 16, 19, 28

15

2 Strain based conflict

2, 5, 17, 20, 26, 29,

32, 35,

8, 11, 14, 23, 38, 41, 44

15

3 Behaviour based conflict

3, 6, 9, 15, 18, 21, 36,

39,

12, 24, 27, 30, 33, 42,

45

15

Total 27 18 45

2. Skala Work Engagement

Skala ini digunakan untuk mengukur variabel work enggement. Skala ini disusun sendiri oleh peneliti dengan berdasarkan 3 dimensi work enggement dari Schaufeli et.,al (2002). Dari ketiga dimensi tersebut yaitu vigor, dedication dan absorption maka peneliti membuat blueprint skala work enggement.

Setiap aspek atau dimensi di atas akan diuraikan ke dalam sejumlah pernyataan favorable dan unfavorable, dimana subjek diberikan lima alternatif pilihan yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Netral (N) Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Untuk aitem favorable, pilihan SS = 5,


(56)

pilihan S = 4, pilihan N = 3 TS = 2, dan pilihan STS = 1. Sedangkan untuk aitem yang unfavorable pilihan SS = 1, pilihan S = 2, pilihan N = 3, TS = 4 dan STS = 5. Skor skala ini menunjukkan bahwa semakin tinggi skor jawaban maka semakin tinggi work enggement karyawan.

Tabel. 2

Distribusi Aitem-aitem Skala Work engagement

Aspek-Aspek

Work Engagement

Butir Aitem Jumlah

Favorable Unfavorable

Vigor

1, 4, 7, 10, 13, 20, 23, 26, 29, 32, 35, 39, 42,

44

17 15

Dedication

5, 8, 11, 15, 18, 21, 27, 28, 30, 33, 36, 40

2, 14, 24 15

Absorption

6, 9, 12, 16, 22, 31, 34, 37, 41, 43,

45

3, 19, 25, 38 15

Jumlah 35 10 45

F. Uji Coba Alat Ukur

1. Validitas Alat Ukur

Validitas adalah sejauh mana kejituan dan ketelitian suatu alat ukur dalam menjalankan fungsi ukur (Hadi, 2000). Menurut Azwar (2005), untuk mengetahui apakah skala psikologi mampu menghasilkan data yang akurat sesuai dengan tujuan ukurnya, diperlukan suatu pengujian validitas. Suatu alat tes atau instrumen pengukuran dapat dikatakan memiliki validitas yang


(57)

tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut. Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi (content validity). Peneliti berusaha mengungkap sejauhmana aitem-aitem dalam tes mencakup keseluruhan kawasan isi yang hendak diukur dengan mendasarkan pembuatan alat ukur pada dimensi-dimensi setiap variabel yang dinilai oleh profesional judgment (Azwar, 2005).

.

2. Uji Daya Beda Aitem

Uji daya beda aitem dilakukan untuk melihat sejauh mana aitem mampu membedakan antara individu yang memiliki atribut dengan yang tidak memiliki atribut yang diukur. Dasar kerja yang digunakan dalam analisis aitem ini adalah dengan memilih aitem-aitem yang fungsi ukurnya selaras dengan fungsi ukur tes atau memilih aitem yang mengukur hal yang sama dengan yang diukur oleh tes sebagai keseluruhan (Azwar, 2000).

Pengujian daya beda aitem dilakukan dengan komputasi koefisien korelasi antara distribusi skor pada aitem dengan suatu kriteria yang relevan yaitu skor total tes itu sendiri dengan menggunakan koefisien korelasi Pearson Product Moment atau yang dikenal dengan indeks daya beda aitem (Azwar, 2000).


(58)

3. Reliabilitas Alat Ukur

Reliabilitas mengacu kepada konsistensi atau kepercayaan hasil ukur yang mengandung makna kecermatan pengukuran (Azwar, 2005). Uji reliabilitas alat ukur menggunakan pendekatan konsistensi internal dengan prosedur hanya memerlukan satu kali penggunaan tes kepada sekelompok individu sebagai subjek. Pendekatan ini dipandang ekonomis, praktis dan berefisiensi tinggi (Azwar, 2005). Teknik yang digunakan adalah teknik reliabilitas Alpha Cronbach.

4. Hasil Uji Coba Alat Ukur

Sebelum melakukan uji coba alat ukur peneliti terlebih melakukan pengujian validitas isi dengan cara berkonsultasi dengan tiga orang dosen serta menggunakan koofisien validitas isi Aiken’s V. Formula Aiken’s V didasarkan pada penilaian panel ahli terhadap suatu aitem mengenai sejauh mana aitem tersebut memiliki konstrak yang diukur (Azwar, 2012). . Rentang angka yang mungkin diperoleh adalah antara 0 sampai dengan 1. Semakin tinggi nilai yang diperoleh, maka semakin tinggi validitas isi dari aitem. Dalam penelitian ini nilai aitem yang diperoleh beradasarkan formula Aiken’s V berkisar antara 0,75 s/d 0,91 untuk skala work engagement dan berkisar antara 0,50 s/d 0,91 untuk skala work family conflict. Dari 69 aitem pada skala work engagement diperoleh 45 aitem yang mempunyai nilai Aiken’s V diatas 0,75. Sedangkan pada skala work engagement dari 52 aitem diperoleh 45 aitem yang mempunyai nilai Aiken’s V diatas 0,50.


(59)

Uji coba alat ukur yaitu skala work family conflict dan skala work engagement dilakukan mulai tanggal 2 Oktober sampai 7 Oktober 2013. Uji coba ini dilakukan kepada pegawai dengan lama bekerja di organisasi tempat mereka bekerja minimal 2 tahun. Uji reliabilitas skala penelitian dihitung dengan menggunakan program SPSS versi 20.0 for windows.

a. Skala Work Engagement

Uji coba skala engagement dilakukan kepada 400 orang pegawai, namun 2 skala tidak dapat digunakan karena tidak sesuai dengan kriteria yang ditetapkan sebelumnya, sehingga hanya diperoleh 398 skala yang dapat diikutsertakan dalam pengolahan data.. Hasil uji coba skala engagement menunjukkan bahwa dari 45 aitem yang diuji cobakan, dilakukan pengolahan menggunakan teknik analisis Alpha cronbach diperoleh 34 aitem yang memiliki koefisien korelasi aitem total yang memenuhi syarat untuk dapat digunakan dalam penelitian (r≥ 0.30 ) dengan koefisien alpha sebesar 0,901. Terdapat 11 aitem yang gugur , yaitu aitem nomor 3,9, 16, 17, 19, 23, 24, 26, 35, 39, dan 42.


(60)

Tabel. 3

Distribusi Aitem-aitem Skala Work Engagement setelah Uji Coba

No Aspek Aitem Jumlah Bobot

(%)

F UF

1. Vigor 1,4,7,10,13, 20, 29, 44,32

- 9 26,47

2. Dedication 5, 8, 11, 15, 18, 21,

27, 28, 30, 33, 36,

2, 14, 40

14 41,18

3. Absorption 6, 12, 22, 31, 34, 37, 43, 45 , 41

25, 38,

10 32,35

Total

34 100

b. Skala Work Family Conflict

Uji coba skala work family conflict dilakukan kepada 100 orang pegawai yang telah bekerja minimal 2 tahun. Hasil uji coba skala work family conflict menunjukkan bahwa dari 45 aitem yang diuji cobakan, dilakukan pengolahan menggunakan teknik analisis Alpha cronbach diperoleh 35 aitem yang memiliki koefisien korelasi aitem total yang memenuhi syarat untuk dapat digunakan dalam penelitian (r≥ 0.30 ) dengan koefisien alpha sebesar 0,927. Terdapat 10 aitem yang gugur, yaitu aitem nomor 1, 11, 14, 15, 16, 27, 33, 36, 38, 40.


(61)

Tabel. 4

Distribusi Aitem-aitem Skala Work-familyConflict setelah diuji coba

No Dimensi Aitem Jumlah

Bobot %

Favorable Unfavorable

1 Time based conflict

3, 9, 11, 17, 20, 25,

27, 29, 33

6, 14, 22,

12

34,3%

2 Strain based conflict

1, 4, 12, 15, 21, 23,

26, 28,

7, 18, 31, 34

12

34,3%

3 Behaviour based conflict

5, 8, 13, 16, 30,

2, 10, 19, 24,

32, 35 11

31,4%

Total 22 13 35 100

G. Prosedur Pelaksanaan Penelitian

Prosedur pelaksanaan penelitian terdiri dari 3 tahap. Ketiga tahap tersebut adalah tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap pengolahan data.

1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap ini, peneliti memiliki langkah-langkah yang dilakukan, yaitu: a. Pembuatan dan uji coba alat ukur

Pada tahap ini peneliti melakukan langkah-langkah sebagai berikut: 1) Membuat alat ukur yang terdiri dari skala work-family conflict dan

skala work engagement yang dibuat berdasarkan teori yang telah diuraikan.

2) Untuk skala work-family conflict peneliti membuat 45 aitem dan untuk skala work engagement sebanyak 45 aitem.


(62)

3) Skala dibuat skala work-family conflict dan work engagement dalam bentuk buku yang terdiri dari lima alternatif pilihan jawaban, disamping pernyataan telah disediakan tempat untuk menjawab sehingga memudahkan subjek dalam memberikan jawaban.

4) Setelah kedua skala selesai dibuat, maka aitem-aitem yang telah dibuat akan ditelaah dengan analisis rasional dari profesional judgement. 5) Peneliti kemudian melakukan uji coba (try out) terhadap karyawan,

namun bukan karyawan yang menjadi subjek sebenarnya. Uji coba ini bertujuan untuk menyeleksi aitem yang benar-benar sesuai dengan variabel yang hendak diukur. Uji coba dilaksanakan pada tanggal 2 sampai 7 Oktober 2013. Uji coba skala work engagement dilakukan kepada 398 orang pegawai dan uji coba skala work family conflict dilakukan kepada 100 orang pegawai.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah peneliti melakukan uji coba, merevisi alat ukur dan telah menyusun kembali aitem-aitem yang diterima pada saat uji coba, maka peneliti mengambil data penelitian dengan menyebarkan skala work- family conflict dan skala work engagement yang telah direvisi kepada 100 orang pegawai negeri sipil.

3. Tahap Pengolahan Data

Setelah diperoleh data dari masing-masing subyek penelitian, maka untuk pengolahan data selanjutnya, diolah dengan menggunakan SPSS for windows 17.0 version.


(63)

H. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui pengaruh work family conflict terhadap work engagement adalah dengan menggunakan analisis regresi sederhana. Analisis data pada penelitian ini menggunakan program SPSS versi 20.0 for windows. Sebelum dilakukan analisis data, terlebih dahulu dilakukan uji asumsi penelitian yaitu uji normalitas dan uji linieritas.

1. Uji Normalitas

Uji normalitas dimaksudkan untuk menguji apakah data yang dianalisis sudah terdistribusi sesuai dengan prinsip–prinsip distribusi normal agar dapat digeneralisasikan terhadap populasi. Uji normalitas pada penelitian ini dilakukan untuk membuktikan bahwa data semua variabel yang berupa skor–skor yang diperoleh dari hasil penelitian tersebar sesuai dengan kaidah normal. Pada penelitian ini Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov dengan bantuan program komputer SPSS versi 17.0 for windows. Kolmogorov-Smirnov adalah suatu uji yang memperhatikan tingkat kesesuaian antara distribusi serangkaian harga sampel (skor yang diobservasi) dengan suatu distribusi teoritis tertentu.

Kaidah normal yang digunakan adalah jika p≥0,05 maka sebarannya dinyatakan normal dan sebaliknya jika p<0,05 maka sebarannya dinyatakan tidak normal (Hadi, 2000).


(64)

2. Uji Linieritas

Uji linieritas hubungan untuk mengetahui linier atau tidaknya hubungan antara variabel bebas dan variabel tergantung serta untuk mengetahui signifikansi penyimpangan dari linieritas hubungan tersebut. Apabila penyimpangan tersebut tidak signifikan maka pengaruh antara variabel bebas dengan variabel tergantung dinyatakan linier. Uji linieritas dilakukan dengan menggunakan analisis statistik uji F dengan bantuan program komputer SPSS version 20.0 for windows. Kaidah yang digunakan untuk mengetahui linier atau tidaknya pengaruh antara variabel bebas dengan variabel tergantung adalah jika p<0,05 maka pengaruhnya antara variabel bebas dengan variabel tergantung dinyatakan linier, sebaliknya jika p>0,05 berarti pengaruh antara variabel bebas dengan variabel tergantung dinyatakan tidak linier (Hadi, 2000).


(65)

BAB IV

ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan diuraikan mengenai analisis data dan pembahasan hasil penelitian sesuai dengan data yang diperoleh. Pembahasan diawali dengan memberikan gambaran umum subjek penelitian dan hasil penelitian.

A. Gambaran Umum Subjek Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah pegawai negeri sipil di kota Medan. Sebelum dilakukan analisis data terlebih dahulu diuraikan gambaran subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin, usia, masa kerja, dan suku.

1. Gambaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan jenis kelamin subjek penelitian, maka dapat digambarkan penyebaran subjek seperti terdapat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.

Gambaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah (N) Persentase

Laki-laki 58 58 %

Perempuan 42 42 %

Total 100 100 %

Berdasarkan tabel di atas maka dapat dilihat bahwa subjek yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 58 %, sedangkan yang berjenis kelamin laki-laki


(66)

sebanyak 42 %. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa subjek yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak daripada yang berjenis kelamin perempuan.

2. Gambaran Subjek Berdasarkan Usia

Berdasarkan usia subjek penelitian, maka dapat digambarkan penyebaran subjek seperti terdapat pada tabel 10 di bawah ini.

Tabel 6.

Gambaran Subjek Berdasarkan Usia

Usia Jumlah (N) Persentase

20 – 40 tahun 27 27%

40 – 60 tahun 71 71%

>60 tahun 2 2%

Total 100 100 %

Berdasarkan teori perkembangan yang dikemukakan oleh Havighurst (Papalia, Olds, & Feldman, 2008) maka rentang usia 20 – 40 tahun dinamakan periode masa dewasa muda, rentang usia 40 – 60 tahun dinamakan periode masa dewasa madya dan rentang usia diatas 60 tahun dinamakan periode masa dewasa akhir. Dapat dilihat pada tabel 10 di atas bahwa subjek yang berada pada periode dewasa madya (40 – 60 tahun) lebih banyak yaitu sebesar 71 % daripada subjek yang berada pada periode dewasa muda (20 – 40 tahun) yaitu sebesar 27 % dan dewasa akhir (>60 tahun) sebesar 2%.


(67)

3. Gambaran Subjek Berdasarkan Masa Kerja

Berdasarkan masa kerja subjek penelitian, maka dapat digambarkan penyebaran subjek seperti terdapat pada tabel di bawah ini.

Tabel 7.

Gambaran Subjek Berdasarkan Masa Kerja

Masa Kerja Jumlah (N) Persentase

2-10 tahun 32 32 %

11-20 tahun 23 23 %

21-30 tahun 42 42 %

31-40 tahun 3 3 %

Total 100 100 %

Berdasarkan tabel di atas maka dapat dilihat bahwa subjek yang memiliki masa kerja yang paling banyak adalah masa kerja 21-30 tahun yaitu sebesar 42 %, sedangkan yang memiliki masa kerja paling sedikit adalah 31-40 tahun yaitu sebesar 3 %.

4. Gambaran Subjek Berdasarkan Suku

Berdasarkan suku subjek penelitian, maka dapat digambarkan penyebaran subjek seperti terdapat pada tabel di bawah ini.


(68)

Tabel 8.

Gambaran Subjek Berdasarkan Suku

Suku Jumlah (N) Persentase

Jawa 18 18 %

Batak 31 31 %

Melayu 26 26 %

Minang 22 22 %

Lain-lain 3 3 %

Total 100 100 %

Berdasarkan tabel di atas maka dapat dilihat bahwa subjek yang memiliki suku Jawa sebanyak 18 %, suku Batak 31%, suku Melayu 26%, suku Minang 22% dan suku lainnya sebanyak 3 %, yaitu suku Gayo, Mandailing dan Sunda.

B. Hasil Penelitian

1. Hasil Uji Asumsi

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi sederhana. Sebelum melakukan analisis tersebut maka terlebih dahulu dilakukan uji asumsi yang digunakan untuk mengetahui pengolahan data yang akan dipakai. Uji asumsi dalam penelitian ini meliputi uji normalitas dan uji linieritas.

a) Uji Normalitas

Hasil uji normalitas untuk mengetahui apakah data tersebar secara normal dapat dilihat pada tabel di bawah ini.


(69)

Tabel 9.

Normalitas Sebaran Variabel

Work Engagement dan Work Family Conflict

Variabel Z P Keterangan

Work engagement 1,174 0,127 Normal

Work family conflict

0,705 0,702 Normal

Kaidah normal yang digunakan adalah jika p > 0,05 maka sebarannya dinyatakan normal dan sebaliknya jika p < 0,05 maka sebarannya dinyatakan tidak normal (Field, 2009).

Hasil uji normalitas terhadap variabel work engagement diperoleh nilai Z = 1,174 dan p = 0,127. Hasil menunjukkan bahwa nilai p (0,127) > 0,05 maka data dari variabel work engagement terdistribusi secara normal.

Hasil uji normalitas terhadap variabel work family conflict diperoleh nilai Z = 0,705 dan p = 0,702. Hasil menunjukkan bahwa nilai p (0,702) > 0,05 maka data dari variabel work family conflict terdistribusi secara normal.

b) Uji Linieritas

Hasil uji linieritas untuk mengetahui linier atau tidaknya hubungan antar kedua varibel dapat dilihat pada tabel di bawah ini.


(1)

1 (Constant) 155.912 6.255 24.926 .000

scoreworkfamilyconflict -.326 .073 -.413 -4.490 .000 a. Dependent Variable: scoreworkengagement

3.

Uji hipotesis minor

4.

Variables Entered/Removeda

Model

Variables Entered

Variables

Removed Method

1

strainbasedconfli

ct .

Stepwise (Criteria: Probability- of-F-to-enter <= ,050, Probability- of-F-to-remove >= ,100). a. Dependent Variable: scoreworkengagement

Model Summary

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .460a .212 .203 10.26864

a. Predictors: (Constant), strainbasedconflict

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 2772.113 1 2772.113 26.290 .000a

Residual 10333.597 98 105.445


(2)

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant) 159.787 6.240 25.608 .000

strainbasedconflict -1.165 .227 -.460 -5.127 .000 a. Dependent Variable: scoreworkengagement

Excluded Variablesb

Model Beta In t Sig.

Partial Correlation

Collinearity Statistics

Tolerance

1 timebasedconflict .009a .077 .938 .008 .544

behaviourbasedconflict -.142a -1.210 .229 -.122 .584 a. Predictors in the Model: (Constant), strainbasedconflict

b. Dependent Variable: scoreworkengagement

4.

Nilai Empirik Kedua Variabel

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation Variance

scoreworkengagement 100 103.00 161.00 1.2823E2 11.50569 132.381 scoreworkfamilyconflict 100 35.00 124.00 84.8900 14.57332 212.382 Valid N (listwise) 100


(3)

LAMPIRAN F


(4)

DATA DEMOGRAFIK SUBJEK PENELITIAN

no nama jenis kelamin Usia instansi lama bekerja suku

1 SHARJ pria 49 negeri 21 jawa

2 HN pria 56 negeri 30 mandailing

3 DP pria 67 negeri 22 batak

4 BS pria 50 negeri 21 batak

5 NURH wanita 45 negeri 19 melayu

6 KK pria 56 negeri 20 jawa

7 DK wanita 48 negeri 23 melayu

8 RS wanita 49 negeri 28 melayu

9 GS pria 52 negeri 23 batak

10 AL pria 53 negeri 25 batak

11 KS pria 52 negeri 22 melayu

12 MW wanita 53 negeri 18 minang

13 MI pria 51 negeri 10 melayu

14 L wanita 49 negeri 28 batak

15 MH wanita 52 negeri 25 batak

16 SY pria 63 negeri 30 melayu

17 AS pria 47 negeri 27 batak

18 SY pria 57 negeri 35 melayu

19 MO wanita 32 negeri 4 batak

20 AN wanita 49 negeri 32 batak

21 HL wanita 49 negeri 25 batak

22 DA pria 55 negeri 26 batak

23 SL pria 59 negeri 29 minang

24 DL wanita 52 negeri 23 minang

25 ZR wanita 46 negeri 25 minang

26 BM wanita 53 negeri 9 melayu

27 LS wanita 43 negeri 20 batak

28 YS pria 52 negeri 22 batak

29 WEF wanita 50 negeri 26 jawa

30 MSC pria 45 negeri 10 jawa

31 ZH wanita 55 negeri 20 minang

32 LSD wanita 51 negeri 26 gayo

33 SH wanita 42 negeri 18 melayu

34 SM wanita 51 negeri 19 minang

35 CB wanita 56 negeri 27 melayu

36 RN wanita 45 negeri 13 minang

37 JL wanita 26 negeri 3 melayu

38 ATS wanita 50 negeri 27 batak


(5)

39 ID wanita 41 negeri 6 melayu

40 AH pria 49 negeri 18 batak

41 AH pria 56 negeri 30 batak

42 MS pria 53 negeri 28 batak

43 NS wanita 50 negeri 25 batak

44 MYD pria 49 negeri 24 melayu

45 NZ wanita 48 negeri 20 melayu

46 SS pria 29 negeri 4 batak

47 LH pria 57 negeri 25 minang

48 ZB wanita 56 negeri 12 melayu

49 RS wanita 43 negeri 13 jawa

50 SPN wanita 46 negeri 27 jawa

51 RH pria 57 negeri 12 batak

52 MOD pria 50 negeri 20 nias

53 MS wanita 32 negeri 9 minang

54 DS wanita 35 negeri 13 minang

55 HR pria 33 negeri 10 jawa

56 AP pria 33 negeri 5 jawa

57 AL wanita 30 negeri 6 batak

58 FS pria 31 negeri 10 batak

59 KHR pria 48 negeri 25 melayu

60 MHG pria 57 negeri 3 melayu

61 SNA pria 45 negeri 22 minang

62 ED wanita 42 negeri 15 jawa

63 ZR pria 50 negeri 24 batak

64 LL wanita 35 negeri 13 melayu

65 HG pria 47 negeri 15 batak

66 ZR pria 49 negeri 25 batak

67 T pria 50 negeri 30 minang

68 HI pria 28 negeri 4 minang

69 ID pria 56 negeri 5 minang

70 B pria 53 negeri 26 melayu

71 DD pria 29 negeri 2 melayu

72 RS wanita 53 negeri 24 batak

73 SD pria 49 negeri 23 minang

74 AH pria 56 negeri 35 batak

75 MM pria 53 negeri 29 jawa

76 SP pria 51 negeri 25 melayu

77 ML pria 49 negeri 23 batak

78 WN pria 46 negeri 22 melayu


(6)

80 SRD pria 41 negeri 15 jawa

81 DR wanita 38 negeri 15 jawa

82 WT wanita 41 negeri 15 jawa

83 DN wanita 33 negeri 5 melayu

84 PR wanita 35 negeri 8 minang

85 DS pria 52 negeri 29 batak

86 AA pria 51 negeri 10 melayu

87 LS pria 53 negeri 10 batak

88 YD pria 40 negeri 5 minang

89 PD pria 36 negeri 6 jawa

90 YTN wanita 33 negeri 4 batak

91 PT pria 34 negeri 8 batak

92 RK pria 38 negeri 8 minang

93 ATP pria 36 negeri 6 minang

94 RH pria 42 negeri 12 melayu

95 IS wanita 32 negeri 6 jawa

96 UM pria 41 negeri 12 jawa

97 EL wanita 38 negeri 10 minang

98 SHR pria 29 negeri 7 jawa

99 YN wanita 32 negeri 5 minang

100 PTA pria 34 negeri 8 jawa