laporan praktikum feedlot TUGAS TEKNOLOG

laporan praktikum feedlot
TUGAS TEKNOLOGI FEEDLOT
TENTANG
IMPOR DAGING DAN PERMASALAHANNYA

OLEH KELOMPOK IV:

Dede Candra

07161027

Robby Rahman

07161028

Aulia Delfi

07161029

Astrid Aulia Erwinda


07161030

Retca Novitasari

07161032

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG, 2010

Impor Sapi Bakalan Menyusut
Kementerian Pertanian optimistis impor daging sapi bakalan menurun drastis dalam
beberapa tahun mendatang setelah proyek swasembada daging terealisasi. “Rencana
swasembada daging sapi membuat Australia khawatir. Dubes dan Menteri Pertanian mereka
memprediksi ekspor daging sapinya ke Indonesia bakal turun. Mereka sudah dua kali
melakukan lobi,” kata Menteri Pertanian Suswono di Jakarta,
Penurunan impor daging menjadi otomatis karena kebijakan pemerintah saat ini
mendorong

terjadinya


peningkatan

produksi

daging

sapi

di

dalam

negeri.

Terkait kekhawatiran eksportir dari Australia, Suswono menawarkan investasi di Indonesia.
Namun sampai saat ini, pihak Australia belum memberikan respons dan komitmen untuk
berinvestasi di sektor peternakan. “Apakah mereka mau merespons investasi atau nggak,
terserah. Mereka justru tetap berharap Indonesia mengimpor daging dari Australia,” imbuh
dia. Lebih lanjut, Suswono mengaku akan mencari titik temu atas persoalan ini, kemungkinan

akan dirumuskan kerja sama baru dalam pertemuan dengan eksportir sapi Australia yang akan
diselenggarakan pekan ini.
Di tempat yang sama, Dirjen Peternakan Kementerian Pertanian Tjepi Darajatun
menyatakan impor daging dan bakalan dari Australia diprediksi anjlok. “Mereka khawatir
karena

60

persen

produk

sapinya

diserap

Indonesia.

Kalau kita swasembada, maka ekspor mereka jatuh,” ungkap dia. Tekan Impor Dihubungi
terpisah, anggota Komisi IV DPR Herman Khaeron meminta Kementerian Pertanian tetap

fokus meningkatkan produksi sapi, dan tidak mengindahkan lobi yang dilakukan pihak
Australia. “Kita saat ini masih impor 630 ekor sapi per tahun.
Dengan swasembada, seharusnya impor bisa ditekan.” Swasembada, kata Herman,
sudah menjadi kesepakatan antara pemerintah dan Komisi IV DPR. Berdasarkan
kesepakatan, impor daging sapi berkurang dari 28 persen menjadi 10 persen melalui
pemberdayaan dan peningkatan ternak lokal.
Data menyebut, sampai 2008, kebutuhan impor daging dan jeroan beku mencapai
70.000 ton, dan impor dalam bentuk sapi bakalan mencapai 630.000 ekor dengan total
anggaran impor.
Ancaman Ketergantungan Daging Sapi Impor
Impor daging sebenarnya bukanlah hal baru bagi Indonesia karena sebelumnya negeri
ini telah lama mengimpor daging dari Amerika Serikat, Kanada, dan Australia.

Berdasarkan Resolusi OIE No. XVIII Tahun 2008, seperti dikutip dari
http://peternakan.litbang.deptan.go.id, impor daging dari Brasil mengundang kritikan karena
adanya indikasi penyakit menular, yakni penyakit mulut dan kuku, pada hewan ternak.
Daging impor dari Brasil yang terindikasi mengandung penyakit menular itu akan
membahayakan konsumen yang mengonsumsinya.

Namun, permasalahan ini dicoba


dinetralisir oleh pemerintah dengan membangun asumsi bahwa dilakukannya impor dari
Brasil akan meminimalkan impor yang selama ini didominasi oleh Australia dan beberapa
negara lainnya.
Pemerintah kemudian menghasilkan kesepakatan dari diskusi para pakar peternakan
di Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor, bahwa impor daging sapi dapat
dilakukan, tetapi dengan pengawalan yang ketat dan penuh kehati-hatian.
Sejumlah karyawan di lingkungan kesehatan hewan akan dikerahkan untuk tidak
terlena dan terus mengamati kemungkinan tertular virus PMK,

Sebenarnya

permasalahan penyakit mulut dan kuku dari daging sapi impor hanyalah bagian kecil dari
permasalahan pangan Indonesia.
Permasalahan laten yang harus diantisipasi adalah soal ketergantungan.
Sebelum menentukan penilaian mengenai permasalahan impor daging sapi lebih lanjut,
alangkah bijaknya jika terlebih dahulu menilik kondisi peternakan sapi di Indonesia.
Tingkat Konsumsi Daging
Tingkat konsumsi daging sapi memang tidak sebanyak konsumsi daging yang berasal
dari unggas. Namun, produksi daging sapi dalam negeri tampaknya tidak mampu mencukupi

kebutuhan konsumsi daging sapi dalam negeri.
Dari tahun ke tahun, impor daging sapi mengalami kenaikan dan sebaliknya ekspor
daging sapi mengalami fluktuasi.
Dengan kata lain, besarnya nilai impor akan berkecenderungan akan menyerap
banyak dana ke luar jika tidak diimbangi dengan kemampuan ekspor.
Hukum Makanan Impor


Jenis Barang Impor

1. Ditinjau dari jenis barangnya dapat dikategorikan dalam dua kategori, yaitu :

 kategori barang makanan, termasuk di dalamnya buah-buahan, barang impor jenis makanan
dapat dikategorikan lagi ke dalam kategori yang bukan sembelihan dan kategori yang butuh
disembelih (daging).
 kategori barang non makanan, seperti barang elektronik dan yang lainnya, Barang dari
kategori non makanan dan minuman sudah jelas hukumnya diperbolehkan, selama tidak
digunakan dalam perkara yang salah dan menyelisihi syariat Islam.
2. Demikian juga ditinjau dari negara asalnya dapat dikategorikan dengan :
 impor dari negara muslim, dan

 Impor dari negara kafir.
Semua yang diimpor dari negara muslim yang tidak melanggar syariat Islam sudah
jelas hukumnya halal. Namun yang perlu mendapat penjelasan adalah impor dari negara kafir
atau yang penduduknya mayoritas non muslim.
Makanan Impor Berupa Sembelihan (daging)
Daging impor dari negara kafir ini dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Daging impor dari negara kafir berupa daging hewan laut, seperti ikan dan sejenisnya, maka
hukumnya halal, karena hewan laut halal dimakan tanpa sembelihan syar"i sekalipun, baik
yang menangkapnya muslim ataupun kafir.
2. Daging impor tersebut berupa daging yang diharamkan untuk dimakan, seperti daging babi,
anjing dan sejenisnya, maka ini jelas haram hukumnya.
3. Daging impor tersebut berupa daging hewan yang halal dimakan, seperti unta, sapi, kambing,
unggas dan sejenisnya, maka ini perlu perincian lagi.
Daging sapi impor yang diimpor secara legal telah dijamin kehalalannya karena
dalam aturan yang ditetapkan Deptan daging yang masuk ke Indonesia harus halal dan ini
dilakukan pemeriksaan awal oleh tim yang terdiri dari personal dari Deptan dan MUI, setelah
itu ada lembaga sertifikasi halal yang mengawasi di negara pengekspor sana, ketika masuk ke
Indonesia juga akan dimintakan sertifikat halalnya.
Masalahnya, ada juga daging impor ilegal yang tidak terjamin kehalalannya yang
secara fisik sulit dibedakan dengan daging impor yang yang legal. Bisa jadi daging impor

ilegal ini dijual lebih murah dari harga rata-rata daging lokal dan daging impor legal. Oleh
karena itu, jika menemui harga daging yang jauh lebih murah dari harga pasaran maka kita

perlu ekstra hati-hati, harus mempertanyakan asal daging tersebut, atau akan lebih baik jika
kita tidak membelinya
Belum lama LPPOM MUI melakukan survey ke pasar - pasar yang ada di sekitar
Bogor dan menemukan hati impor yang kelihatannya masuk secara ilegal karena berasal dari
negara yang tidak melakukan penyembelihan secara halal dan tidak termasuk negara yang
mendapat izin memasukkan daging ke Indonesia, negara ini misalnya Swiss.
Hati impor ini harganya lebih murah dari hati lokal, oleh karena itu konsumen harus
waspada terhadap hati impor ilegal semacam ini.
Kadang-kadang terjadi pencampuran antara daging sapi dan daging babi dan dijual
sebagai daging sapi, kasus seperti ini telah berulang beberapa kali terjadi di beberapa wilayah
di Indonesia. Lagi-lagi hargalah yang bisa dijadikan acuan karena daging campuran ini
harganya biasanya miring.
Secara fisik, tidak mudah bagi awam untuk mengenali daging campuran ini. Oleh
karena itu, disamping jangan membeli daging yang harganya jauh dibawah harga pasaran,
juga belilah daging di tempat yang sudah terpercaya, jangan membeli daging di sembarang
tempat yang kita tidak yakin akan jaminan kehalalan dagingnya.
Rekomendasi Kebijakan

Terlepas dari permasalahan penyakit mulut dan kuku yang membahayakan, dengan
asumsi pemerintah telah menjamin pengawasan ketat pada impor daging sapi dari Brasil,
pemerintah harus tetap mengupayakan agar daging sapi lokal menjadi prioritas yang beredar
di pasar nasional karena adanya indikasi daging sapi impor akan menggeser daging sapi
lokal.
Itu terutama pada pasar-pasar modern yang sering kali memilih daging impor yang
diperdagangkan. Pengaturan ini penting untuk keberlangsungan peternakan nasional dan
mereduksi ketergantungan selama ini.
Pemerintah diharapkan membatasi impor daging, terutama daging sapi, karena jika
tidak dibatasi, daging yang beredar di pasar hanya daging beku dan tidak segar. "Daging beku
dari luar terus berdatangan. Jika tidak dibatasi, daging sapi lokal atau pemotongan sendiri
akan kalah bersaing. Masyarakat akan susah mendapatkan daging segar," kata Munali, staf
RPH Cakung, Jakarta Timur, Minggu (24/5).
Dalam satu pekan ada sekitar 4-5 kontainer daging beku impor datang ke gudang
milik RPH Cakung yang disewakan ke pengusaha. Daging tersebut langsung didistribusikan
ke pelanggan, baik di pasar tradisional maupun pasar modern. Jika hal ini terus berlanjut, kata

dia, keberadaan RPH akan terancam. Akibatnya, tidak akan ada lagi daging sapi segar di
pasar dan karyawan RPH akan kehilangan pekerjaannya.
"Sebaiknya pemerintah memperbanyak impor sapi hidup saja. Dengan ini semuanya

bisa terpantau dengan baik. Orang yang mengandalkan kerja di RPH juga akan bertahan.
"Dengan banyaknya daging beku impor harga daging di pasar tidak menentu. Harga
daging sapi hasil pemotongan RPH cenderung kalah dengan daging beku impor. Saat ini
harga daging hasil pemotongan adalah Rp 60.000 per kilogram (sapi lokal) dan Rp 58.000
untuk sapi impor, sedangkan harga daging beku impor bervariatif bahkan lebih murah.
Dengan banyaknya daging impor, produksi daging hasil pemotongan lokal terus
menurun. Saat ini dalam sehari hanya memotong sekitar 50 ekor, padahal sebelumnya bisa
mencapai 350 ekor sapi. "Selain banyaknya daging impor, menurunnya produksi daging
akibat banyaknya RPH baru yang memasok daging ke Jakarta,".
DAFTAR PUSTAKA
“Impor Sapi Bakalan Menyusut”, Sektor Peternakan, diakses rabu 17 februari 2010
http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=45366
“Ancaman Ketergantungan Daging Sapi Impor.” Tulisan ini dikutip dari majalah Warta
Ekonomi No 19 tahun XXI.
http://vulcan3.sip.co.id/
“Pemerintah Harus Batasi Impor Daging”, di akses Minggu, 24 Mei 2009 | 13:08 WIB.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2009/05/24/13083430/Pemerintah.Harus.Bata
si.Impor.Daging

PENDAHULUAN

Karantina adalah tempat pengasingan dan/atau tindakan sebagai upaya pencegahan
masuk dan tersebarnya Hama dan Penyakit atau Organisme Pengganggu dari luar negeri dan
dari suatu Area ke Area lain di dalam negeri, atau keluarnya dari dalam wilayah Negara
Republik Indonesia. Indonesia adalah negara yang bebas beberapa penyakit hewan menular
baik penyakit hewan eksotik maupun penyakit zoonosis. Dalam melaksanakan pencegahan
dan penolakan hama penyakit hewan karantina maka Karantina Hewan menerapkan peraturan
perundang-undangan sesuai dengan ketentuan nasional dan internasional. Kebijakan
Karantina Hewan adalah mempertahankan status bebas Indonesia dari beberapa penyakit
hewan menular utama (major epizootic disease), Memberlakukan tindakan pengamanan
maksimum (maximum security), melakukan pengawasan pemeriksaan lalu lintas hewan dan
produknya dengan maksud melindungi sumber daya alam hayati fauna dari ancaman penyakit
hewan berbahaya lainnya serta penyakit eksotik. Selain itu menerapkan ”minimum disease
program”.
Dalam operasionalisasi kebijakan Karantina Hewan, dilakukan tindakan karantina
terhadap media pembawa hama dan penyakit hewan karantina disetiap entry/exit point yang
terdiri dari Pemeriksaan, Pengasingan, Pengamatan, Perlakuan, Penahanan, Penolakan:
Pemusnahan, dan Pembebasan yang dikenal dengan Tindakan Karantina 8 (delapan) P.
Peranan dan fungsi karantina sangat penting dan strategis dalam era globalisasi dan
perdagangan bebas dimana arus barang dan jasa begitu lancar seiring meningkatnya aktivitas
manusia. Hal ini dapat menimbulkan mudahnya penyebaran hama penyakit hewan menular
dari suatu negara ke negara lain.
Untuk itu Karantina Hewan dituntut harus mampu menjalankan fungsi dan tugasnya
secara professional, mandiri dan lebih moderen. Karantina menerapkan Sanitary and
Pythosanitary Agreement (SPS) – WTO terhadap lalu lintas komoditas pertanian khususnya
hewan dan produk asal hewan. Hal ini ditujukan untuk mencegah masuknya penyakit
zoonosa atau bahan pangan yang tercemar mikroba dan residu (antibiotika, logam berat,
pertisida, dan bahan kimia lainnya) yang dapat berakibat pada kematian atau gangguan
kesehatan pada manusia, hewan serta kelestarian sumber daya alam hayati dan lingkungan
hidup.

ISI
Pengertian Karantina
Lalu lintas ternak merupakan bagian yang amat penting dalam proses penyebaran
suatu penyakit. Oleh karena itu pengawasan lalu lintas ternak dan/atau melalui tindakan
karantina yang ketat akan dapat mencegah penjalaran suatu penyakit dari tempat yang satu ke
tempat yang lain (Dharma dan Putra, 1997).
Karantina adalah tempat pengasingan dan/atau tindakan sebagai upaya pencegahan
masuk dan tersebarnya hama dan penyakit atau organisme dari luar negeri dan dari suatu area
ke area lain di dalam negeri atau keluarnya dari dalam wilayah Negara Republik Indonesia
(Anonim, 1992).
Tindakan karantina adalah kegiatan yang dilakukan untuk mencegah hama dan
penyakit hewan karantina masuk ke, tersebar di, dan atau keluar dari wilayah negara
Republik Indonesia (Anonim, 2006).
Upaya atau tindakan pencegahan dalam arti luas berarti penolakan suatu penyakit
yang belum pernah dikenal sebelumnya (penyakit eksotik) masuk ke suatu wilayah bebas.
Dalam arti sempit tindakan pencegahan dapat berarti mencegah terinfeksinya suatu individu
terhadap suatu penyakit yang telah ada pada wilayah tercemar (Dharma dan Putra, 1997).
Landasan Hukum Operasional Karantina
Karantina mempunyai landasan hukum operasional (Anonim, 2006) yang terdiri dari:
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2000 tentang Karantina Hewan
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 110/Kpts/Tn.530/2/2008 tentang Perubahan Lampiran I
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 206/Kpts/Tn.530/3/2003 Tentang Pengelolaan JenisJenis Hama Penyakit Hewan Karantina, Penggolongan dan Klasifikasi Media Pembawa
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 422/Kpts/Lb.720/6/1988 tentang Peraturan Karantina
Hewan
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1096/Kpts/Tn.120/10/1999 tentang Pemasukan Anjing,
Kucing, Kera dan Hewan Sebangsanya ke Wilayah/Daerah Bebas Rabies di Indonesia
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 443/Kpts/Tn.540/7/2002 tentang Pernyataan Pulau Bali
Bebas dari Penyakit Brucellosis

Keputusan Menteri Pertanian Nomor 367/Kpts/Tn.530/12/2002 tentang Pernyataan Negara
Indonesia Tetap Bebas dari Penyakit Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE)
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 566/Kpts/Pd.640/10/2004 tentang Pernyataan Propinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Banten dan Jawa Barat Bebas dari Penyakit Anjing Gila
(Rabies)
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 445/Kpts/Tn.540/7/2002 tentang Pelarangan Pemasukan
Ternak Ruminansia dan Produknya dari Negara Tertular Penyakit Bovine Spongioform
Encephalopathy (BSE)
Surat Keputusan Menteri Pertanian No.45 /Kpts /ct.210 / 2/ 1986. Tanggal 6 Februari 1986.
Tentang Pelaksanaan dan Fungsi Pusat Karantina Pertanian.
Tugas Pokok Karantina Hewan
Tugas Pokok Karantina adalah melaksanakan perkarantinaan tumbuhan tanaman
pangan, hortikultura, perkebunan dan hewan budidaya (Anonim, 2006)

Operasionalisasi Karantina Hewan
Dalam menyelenggarakan kegiatan operasional pengawasan dan pemeriksaan lalu
lintas hewan dan produknya di lapangan, Karantina Hewan sebagai enquiry point (batas
pemeriksaan) yang didukung oleh kelembagaan unit pelaksana teknis yang terdiri dari 2 Balai
Besar Karantina Hewan, 8 Balai Karantina Hewan Kelas I, 4 Balai Karantina Hewan Kelas
II, 5 Stasiun Karantina Hewan Kelas I dan 20 Stasiun Karantina Hewan Kelas II yang
tersebar diseluruh Nusantara. Sumberdaya manusia terdiri dari medik veteriner 111 orang,
335 paramedik veteriner dan sarana pendukung berupa kantor, instalasi karantina, peralatan
laboratorium dan lainnya. Pemasukan dan pengeluaran komoditi strategis hasil pertanian
telah ditetapkan sebagai kebijakan umum berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undangundang No. 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan. Setiap
pemasukan dan pengeluaran komoditas hasil pertanian termasuk hewan, bahan asal hewan,
dan hasil bahan asal hewan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
Disertai Sertifikat Kesehatan Hewan, Bahan asal hewan, atau Hasil bahan asal hewan;
Melalui pintu masuk dan atau pintu keluar yang telah ditetapkan pemerintah

Dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina ditempat pemasukan dan pengeluaran
untuk dilakukan tindakan karantina.
Disamping ketiga persyaratan tersebut diatas, lalu-lintas komoditi hasil pertanian (hewan,
bahan asal hewan, maupun hasil bahan asal hewan) dapat pula diwajibkan memenuhi
persyaratan teknis lainnya yang ditetapkan pemerintah, sepanjang tidak bertentangan dengan
perjanjian SPS – WTO. Sebagaimana diketahui pelaksanaan tindakan karantina didasarkan
atas UU No.16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan dan sejalan
dengan pelaksanaan perjanjian Sanitary and Pythosanitary Agreement (SPS – WTO) dengan
tujuan untuk mencegah masuk, tersebar dan keluarnya hama penyakit berbahaya yang dapat
mengancam keamanan dan kesehatan manusia, hewan, ikan, dan tumbuhan, serta kelestarian
lingkungan hidup. Secara umum pelaksanaan tindakan karantina khususnya terhadap media
pembawa hama dan penyakit hewan karantina dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Pemeriksaan
Dilakukan untuk mengetahui kelengkapan isi dokumen dan mendeteksi hama dan penyakit
hewan karantina, status kesehatan dan sanitasi media pembawa, atau kelayakan sarana
prasarana karantina, alat angkut. Pemeriksaan kesehatan atau sanitasi media pembawa
dilakukan secara fisik dengan cara pemeriksaan klinis pada hewan atau pemeriksaan
kemurnian atau keutuhan secara organoleptik pada bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan
dan benda lain.
b. Pengasingan
Dilakukan terhadap sebagian atau seluruhnya media pembawa untuk diadakan pengamatan,
pemeriksaan dan perlakukan dengan tujuan untuk mencegah kemungkinan penularan hama
penyakit hewan karantina.
c. Pengamatan
Mendeteksi lebih lanjut hama penyakit hewan karantina dengan cara mengamati timbulnya
gejala hama penyakit hewan karantina pada media pembawa selama diasingkan dengan
mempergunakan system semua masuk – semua keluar.
d. Perlakuan
Merupakan tindakan untuk membebaskan dan mensucihamakan media pembawa dari hama
penyakit hewan karantina, atau tindakan lain yang bersifat preventif, kuratif dan promotif.
e. Penahanan
Dilakukan terhadap media pembawa yang belum memenuhi persyaratan karantina atau
dokumen yang dipersyaratkan oleh Menteri lain yang terkait atau dalam pemeriksaan masih
diperlukan konfirmasi lebih lanjut.

f. Penolakan
Dilakukan penolakan apabila media pembawa tersebut berasal dari daerah/Negara terlarang
karena masih terdapat/tertular atau sedang wabah penyakit hewan karantina golongan I, atau
pada waktu pemeriksaan ditemukan gejala adanya penyakit hewan karantina golongan I, atau
pada waktu pemeriksaan tidak dilengkapi dengan dokumen karantina (sertifikat kesehatan).
g. Pemusnahan
Pemusnahan dilakukan apabila media pembawa yang ditahan tersebut melewati batas waktu
yang ditentukan dan pemilik/kuasanya tidak dapat memenuhi persyaratan yang diperlukan,
atau terhadap media pembawa tersebut ditemukan adanya hama dan penyakit hewan
karantina golongan I atau golongan II tetapi telah diobati ternyata tidak dapat disembuhkan,
atau hewan yang ditolak tidak segera di berangkatkan/tidak mungkin dilakukan penolakan
dan media pembawa tersebut berasal dari daerah terlarang atau daerah yang tidak bebas dari
penyakit hewan karantina golongan I.
h. Pembebasan
Pembebasan

dilakukan

apabila

semua

kewajiban

dan

persyaratan

untuk

memasukkan/mengeluarkan media pembawa tersebut telah dipenuhi dan dalam pemeriksaan
tidak ditemukan adanya/dugaan adanya gejala hama dan penyakit hewan karantina, atau
selama pengasingan dan pengamatan tidak ditemukan adanya hama dan penyakit hewan
karantina. Pembebasan untuk masuk diberikan dengan sertifikat pelepasan/pembebasan
sedang pembebasan keluar diberikan dengan Sertifikat kesehatan.

1.

Sejarah kandang karantina cilacap
Stasiun Karantina Pertanian Kelas I Cilacap merupakan Unit Pelaksana Teknis Badan
Karantina Pertanian berdasar Permentan nomor : 22/Permentan/OT.140/4/2008. SKP Kls I
Cilacap merupakan penggabungan eks Stasiun Karantina Tumbuhan Kelas I Cilacap dengan
Balai Karantina Hewan Kelas I Semarang Wilayah Kerja (Wilker) Cilacap. Untuk Karantina
Tumbuhan di Pelabuhan Tanjung Intan untuk pertama kali diselenggarakan pada tahun 1971
oleh Kantor Karantina Tumbuhan Cabang Cilacap. Karantina Tumbuhan Cilacap selama
kurun waktu lebih dari 35 tahun telah mengalami beberapa kali perubahan nama, termasuk
status dan eseloneringnya, menjadi Eselon V dan terakhir berdasarkan Keputusan Menteri
Pertanian No. 499/Kpts/OT.210/8/2002 kantor ini mempunyai Eselon IV.b dengan nama
Stasiun Karantina Tumbuhan Kelas II Cilacap.
Lokasi Karantina yang sangat strategis yaitu di Pelabuhan Laut Tanjung Intan yang
merupakan satu-satunya pelabuhan di Pantai Selatan Pulau Jawa yang juga merupakan pintu
gerbang perekonomian bagi daerah Jawa Tengah bagian Selatan, seperti Kabupaten Cilacap
dan sekitarnya , Prop. Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Barat bagian Timur baik untuk
perdagangan ekspor impor maupun antar pulau.
Nilai lebih yang dimiliki pelabuhan Laut Tanjung Intan Cilacap adalah pelabuhan
dengan posisinya di Samudera Indonesia yang terlindung oleh Pulau Nusakambangan,
sehingga kapal-kapal besar dengan draft sampai dengan -11 LWS dapat melakukan kegiatan
bongkar muat serta keluar masuk kapal dari dan ke Pelabuhan Tanjung Intan dengan aman.
Keberadaan Karantina Pertanian di Pelabuhan Laut Tanjung Intan sangat vital
mengingat pelabuhan ini merupakan pelabuhan antar benua dan antar negara dimana
posisinya yang langsung berhadapan dengan Samudera Indonesia. Dengan demikian
Karantina Pertanian Cilacap bisa dikatakan merupakan karantina perbatasan yang menangani
kegiatan lalu lintas antar negara/benua. Sehingga resiko sebagai pintu masuknya OPTK
maupun HPHK juga sangat besar.
Sejak ditetapkannya Pelabuhan Cilacap menjadi Pelabuhan laut yang dibuka untuk
perdagangan umum luar negeri sesuai Surat Keputusan Bersama Menteri Perdagangan,

Menteri Keuangan RI dan Menteri Perhubungan RI nomor 114/KPB/VI69, menjadikan
semakin penting peranan Karantina Pertanian (Tumbuhan dan Hewan) karena berdasarkan
Undang Undang No. 16 Tahun 1992 mempunyai fungsi melakukan pengawasan dan
pencegahan masuknya OPTK dan HPHK melalui Media Pembawa yang dilalulintaskan antar
negara yang merupakan ancaman dengan potensi masuknya OPTK dan HPHK menjadi
semakin besar.
2.

Proses karantina impor sapi
BBKP melakukan Tindakan Karantina Hewan. Tindakan Karantina dimulai dari
pemeriksaan alat angkut beserta dokumen kelengkapannya, Pemeriksaan Klinik terhadap
Fisik Kesehatan Sapi, Pemeriksaan Dokumen Alat Angkut Kapal laut & Sapi dari nahkoda,
Kegiatan Pembongkaran dengan cara menghalau ternak dari pedok kapal melalui tangga
kapal menu ketempat khusus menuju pintu kapal sdh siapkan truk pengangkut ternak, lalu
dibawa ke Instalasi Karantina Hewan Sementara (IKHS) di gudang Ternak Pemilik di Desa
Hessa Air Genting Dusun IV Kec. Air Batu, Kab. Asahan Sumatera Utara.
Tindakan Karantina Hewan ini dilaksanakan para Petugas BBKP terdiri dari dua
orang Medik Veteriner dan tiga orang Paramedik Veteriner pada hari kelima nya diambil
pengambilan sampel darah sapi tersebut secara langsung. Metode Pengujian dengan cara Uji
Serologi Brucellla. Jika hasil lab menunjukkan negatif maka sapi tersebut dapat dibebaskan
dengan syarat kondisi sapi baik, sehat dan tidak dijumpai gejala penyakit menular.
Impor hewan :


Impor Hewan dan/atau Produk Hewan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II
Peraturan Menteri ini hanya dapat dilakukan oleh perusahaan yang telah mendapatkan



penetapan sebagai IT-Hewan dan Produk Hewan.
Untuk memperoleh penetapan sebagai IT-Hewan dan Produk
Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perusahaan
harus mengajukan permohonan kepada Menteri dalam hal ini
Direktur Jenderal, dengan melampirkan:

 fotokopi Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) atau Surat Ijin Usaha di bidang peternakan dan
kesehatan hewan;
 fotokopi Tanda Daftar Perusahaan (TDP);
 fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);

 fotokopi Angka Pengenal Importir (API); dan
 bukti kepemilikan instalasi tempat pemeliharaan dan bukti kepemilikan Rumah Potong
Hewan atau kontrak kerja dengan Rumah Potong Hewan yang telah memenuhi standar
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, untuk Bakalan; atau
 bukti kepemilikan tempat penyimpanan berpendingin (cold storage) dan bukti kepemilikan
alat transportasi berpendingin, untuk Produk Hewan.


Direktur Jenderal atas nama Menteri menerbitkan penetapan sebagai IT Hewan dan Produk
Hewan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah dilakukan verifikasi lapangan oleh Tim untuk



mengetahui kebenaran dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat .
Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lama 3 (tiga) hari kerja



sejak permohonan diterima secara lengkap.
Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri dari pejabat yang ditetapkan oleh Direktur



Jenderal.
Dalam hal hasil atas verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditemukan data yang
tidak benar, Direktur Jenderal menolak menerbitkan penetapan sebagai IT-Hewan dan



Produk Hewan.
Penetapan sebagai IT-Hewan dan Produk Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berlaku selama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal diterbitkan dan dapat diperpanjang.
Persyaratan Karantina
Media pembawa yang dibawa atau dikirim dari suatu area ke area lain di dalam
wilayah negara Republik Indonesia, wajib (Anomin, 2006) :
Dilengkapi sertifikat kesehatan yang diterbitkan oleh dokter hewan karantina dari tempat
pengeluaran dan tempat transit
Dilengkapi dengan surat keterangan asal dari tempat asalnya bagi media pembawa yang
tergolong benda lain
Melalui tempat-tempat pemasukkan dan pengeluaran yang telah ditetapkan dan dilaporkan
Diserahkan kepada petugas karantina ditempat pemasukkan dan pengeluaran untuk keperluan
tindakan karantina
Tempat pemasukan dan pengeluaran adalah pelabuhan laut, pelabuhan sungai dan danau,
pelabuhan penyeberangan, bandar udara, kantor pos, pos perbatasan dengan negara lain dan
tempat-tempat lain yang ditetapkan sebagai tempat untuk memasukkan dan atau
mengeluarkan media pembawa (Anomin, 1992).
Tindakan Karantina

Tindakan karantina berupa pemeriksaan, pengasingan, pengamatan, perlakuan,
penahanan, penolakan, pemusnahan dan pembebasan. Pelaksanaan tindakan karantina
terhadap media pembawa yang membahayakan kesehatan manusia, dikoordinasikan dengan
instansi yang bertanggungjawab dibidang kesehatan masyarakat veteriner dan zoonosis.
Dalam pelaksanaan tindakan karantina terhadap alat angkut, penanggung jawab alat angkut
wajib memberitahukan kedatangan alat angkut kepada petugas karantina di tempat
pemasukan, dengan ketentuan :
Untuk alat angkut perairan, paling singkat 12 (dua belas) jam sebelum alat angkut tiba
di tempat pemasukan
Untuk alat angkut udara paling singkat 2 (dua) jam sebelum alat angkut tiba di tempat
pemasukan
Untuk alat angkut darat dan kereta api yang secara khusus digunakan mengangkut
media pembawa, pada saat alat angkut tiba di tempat pemasukan (Anonim, 2006).
3.

Manajemen pemeliharaan
a.

Perkandangan.
Secara umum, kandang memiliki dua tipe, yaitu individu dan kelompok. Pada
kandang individu, setiap sapi menempati tempatnya sendiri berukuran 2,5 X 1,5 m. Tipe ini
dapat memacu pertumbuhan lebih pesat, karena tidak terjadi kompetisi dalam mendapatkan
pakan dan memiliki ruang gerak terbatas, sehingga energi yang diperoleh dari pakan
digunakan untuk hidup pokok dan produksi daging tidak hilang karena banyak bergerak.
Pada kandang kelompok, bakalan dalam satu periode penggemukan ditempatkan dalam satu
kandang. Satu ekor sapi memerlukan tempat yang lebih luas daripada kandang individu.
Kelemahan tipe kandang ini yaitu terjadi kompetisi dalam mendapatkan pakan sehingga sapi
yang lebih kuat cenderung cepat tumbuh daripada yang lemah, karena lebih banyak
mendapatkan pakan.

b.

Pakan.
Berdasarkan kondisi fisioloigis dan sistem pencernaannya, sapi digolongkan hewan
ruminansia, karena pencernaannya melalui tiga proses, yaitu secara mekanis dalam mulut
dengan bantuan air ludah (saliva), secara fermentatif dalam rumen dengan bantuan mikrobia
rumen dan secara enzimatis setelah melewati rumen.
Penelitian menunjukkan bahwa penggemukan dengan mengandalkan pakan berupa
hijauan saja, kurang memberikan hasil yang optimal dan membutuhkan waktu yang lama.

Salah satu cara mempercepat penggemukan adalah dengan pakan kombinasi antara hijauan
dan konsentrat. Konsentrat yang digunakan adalah ampas bir, ampas tahu, ampas tebu,
bekatul, kulit biji kedelai, kulit nenas dan buatan pabrik pakan. Konsentrat diberikan lebih
dahulu untuk memberi pakan mikrobia rumen, sehingga ketika pakan hijauan masuk rumen,
mikrobia rumen telah siap dan aktif mencerna hijauan. Kebutuhan pakan (dalam berat kering)
tiap ekor adalah 2,5% berat badannya. Hijauan yang digunakan adalah jerami padi, daun
tebu, daun jagung, alang-alang dan rumput-rumputan liar sebagai pakan berkualitas rendah
dan rumput gajah, setaria kolonjono sebagai pakan berkualitas tinggi.
Penentuan kualitas pakan tersebut berdasarkan tinggi rendahnya kandungan nutrisi
(zat pakan) dan kadar serat kasar. Pakan hijauan yang berkualitas rendah mengandung serat
kasar tinggi yang sifatnya sukar dicerna karena terdapat lignin yang sukar larut oleh enzim
pencernaan.

c.

Pengendalian Penyakit
Dalam pengendalian penyakit, yang lebih utama dilakukan adalah pencegahan
penyakit daripada pengobatan, karena penggunaan obat akan menambah biaya produksi dan
tidak terjaminnya keberhasilan pengobatan yang dilakukan. Usaha pencegahan yang dapat
dilakukan untuk menjaga kesehatan sapi adalah :

-

Pemanfaatan kandang karantina. Sapi bakalan yang baru hendaknya dikarantina pada suatu
kandang terpisah, dengan tujuan untuk memonitor adanya gejala penyakit tertentu yang tidak
diketahui pada saat proses pembelian. Disamping itu juga untuk adaptasi sapi terhadap
lingkungan yang baru. Pada waktu sapi dikarantina, sebaiknya diberi obat cacing karena
berdasarkan penelitian sebagian besar sapi di Indonesia (terutama sapi rakyat) mengalami
cacingan. Penyakit ini memang tidak mematikan, tetapi akan mengurangi kecepatan
pertambahan berat badan ketika digemukkan. Waktu mengkarantina sapi adalah satu minggu
untuk sapi yang sehat dan pada sapi yang sakit baru dikeluarkan setelah sapi sehat. Kandang
karantina selain untuk sapi baru juga digunakan untuk memisahkan sapi lama yang menderita

-

sakit agar tidak menular kepada sapi lain yang sehat.
Menjaga kebersihan sapi bakalan dan kandangnya. Sapi yang digemukkan secara intensif
akan menghasilkan kotoran yang banyak karena mendapatkan pakan yang mencukupi,
sehingga pembuangan kotoran harus dilakukan setiap saat jika kandang mulai kotor untuk
mencegah berkembangnya bakteri dan virus penyebab penyakit.

-

Vaksinasi untuk bakalan baru. Pemberian vaksin cukup dilakukan pada saat sapi berada di
kandang karantina. Vaksinasi yang penting dilakukan adalah vaksinasi Anthrax.
Beberapa jenis penyakit yang dapat meyerang sapi potong adalah cacingan, Penyakit
Mulut dan Kuku (PMK), kembung (Bloat) dan lain-lain.
Peranan Karantina Hewan Dalam Pencegahan Dan Penolakan Penyakit
Peraturan karantina hewan
Dalam melaksanakan pencegahan dan penolakan hama penyakit hewan karantina,
diimplementasikan peraturan perundang-undangan sesuai dengan ketentuan-ketentuan
nasional dan internasional (Handayani dan Sumarno, 2009).
Ketentuan nasional yang erat kaitannya dengan karantina hewan
Undang-undang No. 6 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Peternakan dan Kesehatan
Hewan.
Undang-undang No. 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan
Undang-undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World
Trade Oragnization
Undang-undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan.
Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Peraturan Pemerintah No.15 Tahun 1978 tentang Penolakan, Pencegahan, Pemberantasan dan
Pengobatan Penyakit Hewan.
Peraturan Pemerintah No.22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner
Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2000 tentang Karantina Hewan;
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan.

PENUTUP
Kesimpulan
Karantina adalah tempat pengasingan dan/atau tindakan sebagai upaya pencegahan
masuk dan tersebarnya hama dan penyakit atau organisme dari luar negeri dan dari suatu area
ke area lain di dalam negeri atau keluarnya dari dalam wilayah Negara Republik Indonesia.
Tindakan karantina adalah kegiatan yang dilakukan untuk mencegah hama dan penyakit
hewan karantina masuk ke, tersebar di, dan atau keluar dari wilayah negara Republik
Indonesia.