Kemiskinan Persepsi Sepihak Negara ADMINISTRASI_NEGARA ADMINISTRASI_NEGARA

KEMISKINAN DI DESA YANG DIANGGAP MERUPAKAN MASALAH
NEGARA

Oleh : Ahadi Pradana
1406564244
Diajukan sebagai Makalah UTS untuk mata kuliah Sosiologi Pedesaan

Program Studi Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia
2016

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Permasalahan di pedesaan jika disebutkan maka banyak yang tidak sesuai standar
operasional prosedur negara. Contoh misalnya kemiskinan. Bisa kita lihat dari tingginya
tingkat kemiskinan yang ada di pedesaan. Meski kemiskinan dalam artian ini adalah
rendahnya tingkat pendapatan jika dibandingkan dengan masyarakat perkotaan, tidak dapat
dipungkiri bahwa jika kita mengambil standar di perkotaan dan segala hal yang berhubungan
dengan pendapatan per kapita, maupun tingkat pendapatan dan pengeluaran atas segala

macam kebutuhan, maka dapat dikatakan bahwa masyarakat pedesaan mayoritas adalah
penduduk miskin.
Maka dari itu dengan menunjukkan bahwa desa sedang dalam lingkup kemiskinan,
dibuatlah standar yang menyamai dengan standar perkotaan, yakni pendapatan dan kondisi
pendidikan, kesehatan dan aspek dasar lainnya. Negara dalam hal ini membuat desa
dikategorikan miskin. Negara juga membuat masyarakat awam berpikir bahwa keadaan di
desa adalah miskin. Namun miskin menurut siapa?
Dengan menggunakan standar perkotaan, maka dapat diklasifikasikan pedesaan
adalah miskin dalam hal ekonomi-perekonomian. Ini dapat menjadi masalah jika kebijakan
pemerintah berupa pemerataan penghasilan dan penghapusan kemiskinan. Penghapusan
kemiskinan menjadi kebijakan yang berkutat pada standar perkotaan yang berarti secara tidak
langsung pemerintah ingin meng-urbanisasi kan seluruh desa menjadi kota. Ini bertentangan
dengan norma dan nilai yang ada di desa. Pedesaan umumnya menganut sistem
Gemeinschaft. Menurut teori dari Ferdinand Tonnies, Gemeinschaft dan Gesselschaft adalah
perihal keakraban antar individu dalam interaksinya di lingkup masyarakat. Kebanyakan dan
secara general (tentu tidak dengan maksud overgeneralisasi) keberadaan pola interaksi antar
anggota masyarakat yang berbentuk Gemeinschaft adalah berada di pedesaan.
1.2 Permasalahan
Disini dapat ditelaah permasalahannya adalah di kebijakan pemerintah yakni
bagaimana pemerintah dengan secara garis lurus mengklasifikasikan bahwa seluruh desa

yang tidak berkecukupan memiliki kemiskinan yang besar yang harus diberantas. Padahal
faktanya tidak semua desa membutuhkan bantuan-bantuan yang terlambat dari pemerintah.
Namun bagaimanakah pemerintah melihat desa secara keseluruhan yang nyatanya hanya
dilihat dari aspek ekonomi. Sehingga menimbulkan permasalahan bahwa apakah memang
seluruh desa yang miskin benar-benar miskin atau hanyalah mengikuti standar perkotaan saja
sehingga dikategorikan miskin.
1.3 Pertanyaan Makalah
Disini timbul pertanyaan makalah yang dapat disajikan melalui data-data yang ada
yakni:
1. Mengapa pemerintah menggunakan standar yang digunakan di perkotaan dalam
mengukur kemiskinan untuk pedesaan?
2. Bagaimanan ukuran kemiskinan dan apa saja kebijakan-kebijakan yang telah
ditempuh dalam mengentaskan kemiskinan tersebut?

BAB II
KERANGKA KONSEPTUAL

2.1 Kemiskinan
Kemiskinan adalah keadaan dimana seseorang atau lebih yang memiliki keadaan
ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok, yakni kebutuhan sandang, kebutuhan

pangan dan kebutuhan papan. Dalam definisi yang lebih luas, juga ditambahkan
ketidakmampuan seseorang untuk mengakomodasi fasilitas kesehatan, pendidikan dan
keamanan. Menurut Soerjono Soekanto (1982) kemiskinan adalah masalah sosial. Masalah
sosial ini timbul kata masalah karena menyebabkan konteks ketidaksetaraan yang standar
basisnya adalah kesetaraan dalam masyarakat. Kemiskinan disebut masalah karena negara
memiliki tanggung jawab untuk memenuhi hak dasar suatu warga negara. Hak-hak dasar
tersebut adalah kebutuhan pokok sandang, pangan, papan, serta pendidikan, kesehatan dan
rasa aman.
2.2 Nilai
Nilai, atau disini konteksnya nilai sosial adalah landasan, atau motivasi seseorang
melakukan suatu hal, dan dapat dianggap sebagai alasan untuk mengerjakannya, ditambah
sifatnya tidak terlalu mengikat kuat seperti norma. Nilai ini dapat berisi baik maupun buruk
namun yang menentukan baik dan buruk adalah nilai di masyarakat itu sendiri. Sehingga nilai
menjadi relatif baik-buruk nya. Karena nilai dipengaruhi oleh bagaimana aspek-aspek seperti
agama, budaya, dan norma menjadi pembentuk nilai. Menurut M.Z. Lawang, nilai adalah
gambaran mengenai apa yang diinginkan, yang pantas, yang patut, dan yang berharga
sehingga dapat mempengaruhi perilaku sosial dari penganut nilai tersebut di masyarakat.
Berikut ini merupakan ciri-ciri dari nilai sosial :
-


Merupakan konstruksi masyarakat sebagai hasil dari interaksi antar individu
dalam masyarakat
Terbentuk melalui sosialisasi terus menerus sehingga dianggap sebagai nilai
Mempengaruhi cara berpikir individu, karena dibentuk untuk diberi makna
Mempengaruhi pengembangan diri individu dan dapat menjadi sekat ataupun
jalan pintas bagi individu untuk berkembang.

2.3 Norma
Norma, disini konteksnya adalah norma sosial adalah patokan, panutan perilaku
individu dan harus dipatuhi agar tidak dianggap menyimpang. Setidaknya begitulah yang
masyarakat awam maksudkan. Norma dibuat untuk dipatuhi. Norma adalah batasan dalam
berperilaku, ia mengikat layaknya hukum dan memiliki kuasa yang cukup untuk membuat
individu berperilaku sesuai norma yang berlaku. Berdasarkan daya pengikatnya dalam
lingkup masyarakat. Norma dibagi menjadi 4 yakni :
-

Cara (Usage), adalah norma yang paling lemah daya pengikatnya, biasanya hanya
menunjuk pada suatu bentuk perbuatan individu. Pelanggaran terhadap ini tidak
menimbulkan keresahan di masyarakat, biasanya hanya merupakan celaan atau
bantahan semata. Contoh : Berdecap saat makan atau makan hanya dengan garpu

saja.

-

-

-

Kebiasaan (Folkways), adalah norma yang lebih kuat dari Usage. Norma ini
merupakan nilai yang dikerjakan berulang-ulang sehingga jika tidak dikerjakan
akan terlihat aneh, tau, dan tidak benar. Contoh : Memberi salam saat masuk
rumah, atau tidak antre saat berada dalam suatu orang yang sifatnya merugikan
pihak lain. Sehingga sanksi sosialnya dapat berupa teguran dan cemoohan dari
masyarakat sekitar.
Tata Kelakuan (Mores), adalah norma yang lebih kuat lagi, yang dapat dibilang
berada dalam pengawasan langsung maupun tidak secara langsung. Karena tata
kelakuan merupakan seperangkat nilai yang valid yang dibawah masyarakat
langsung. Namun tentu saja setiap dari tata kelakuan berbeda tergantung
daerahnya. Contoh : Perbedaan pergaulan pada anak Indonesia dan anak Amerika
dipengaruhi oleh norma yang berlaku pada masing-masing negara, perbedaan

muncul karena nilai yang dianut berbeda.
Adat Istiadat (Customs), adalah norma paling kuat di masyarakat, begitu mengikat
sehingga dapat menjadi dasar hukum yang berlaku di masyarakat. Contoh dari
norma custom adalah hukum yang berlaku tidak tertulis di masyarakat dan
sanksinya berat. Misalnya pada masyarakat Indonesia yang konservatif, berzina
merupakan pelanggaran norma adat istiadat.

2.4 Gemeinschaft
Gemeinschaft dikemukakan oleh Ferdinand Tonnies yang dikutip dalam Sunarto
(2004) dan Ely (2014) adalah kehidupan yang intim, pribadi, eksklusif, emosional dan afektif
juga suatu keterikatan yang dibawa sejak lahir.
Ada tiga pembagian gemeinschaft yaitu :
- Gemeinschaft by blood yang mengacu pada ikatan-ikatan kekerabatan.
- Gemeinschaft of place yang merupakan ikatan berlandaskan pada kedekatan
- Gemeinschaft of mind adalah hubungan persahabatan
2.5 Desa
Menurut Linda Darmanjati dan Starlita, dikutip dari Ely (2014) desa adalah
sekumpulan orang dari satu hubungan genealogik (penduduk asli) atau bukan genealogik
(pendatang) yang memiliki struktur sosial dan budaya sendiri, sehingga disebut otonom. Juga
memiliki wilayah atau lingkungan tempat untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Karena

memiliki wilayah atau lingkungan sendiri maka dapat dipastikan masyarakat dan kumpulan
individunya berinteraksi satu sama lain.
Dalam Permendes No.2 TA 2015, desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan,
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau
hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Karena adanya interaksi satu sama lain yang terjadi secara intens merujuk pada
pengertian Gemeinschaft, maka akan dapat timbul budaya serta nilai dan norma yang ada.
Yang nantinya berkembang menjadi sebuah tatanan nilai dan norma di pedesaan yang masuk
dapat kategori mores dan custom.

BAB III
DESKRIPSI KEBIJAKAN

3.1 BLT

BLT atau Bantuan Langsung Tunai adalah salah satu kebijakan pemerintah yang
dikhususkan untuk mengentaskan kemiskinan di desa. Standar operasional prosedurnya
adalah sangat simpel yakni memberikan sejumlah uang kepada suatu desa dan

menyebarkannya lewat kepala desa ke kepala keluarga agar nantinya dianggap seluruh desa
telah menerima BLT. BLT ini mengasumsikan seluruh penduduk desa adalah kesatuan dari
keluarga sehingga mudah untuk menghitung pengeluaran yang terjadi atas BLT kepada
kepala desa dari pemerintah.
BLT sendiri dananya bersumber dari APBN yang diatur oleh Menteri Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia. Yang dimana
pemberian Rupiah ini semata-mata untuk mengentaskan kemiskinan. Kemiskinan dianggap
sebagai ‘kekurangan dana’ sehingga wajar jika pemerintah mengeluarkan Rupiah untuk
warganya dengan harapan warganya tidak miskin lagi.
Kebijakan ini muncul setelah adanya penghapusan kebijakan konversi minyak tanah
ke gas tahun 2008. Yang notabenenya dianggap pemerintah dapat menggantikan minyak
tanah. BLT pun menjadi jalan tengah dalam menghadapi kemiskinan, karena pemerintah
memiliki kewajiban untuk mensejahterakan rakyatnya dalam hal kebutuhan utama.

3.2 Meningkatkan Akses Masyarakat Terhadap Pelayanan Dasar
Kebijakan ini ditujukan untuk masyarakat desa yang memakai standar kesejahteraan
perkotaan yang nantinya berdampak pada hasil desa yang tidak memiliki pelayanan yang
memadai. Karena itu, kebijakan ini dibuat agar masyarakat desa memiliki akses yang sama
dengan masyarakat kota. Pelayanan dasar yang utama adalah penyediaan pusat kesehatan dan
juga pasar, serta pendidikan yang menjadi dasar bagi anak-anak. Penyediaan pusat kesehatan

saat ini mulai terkoordinasi meski belum dapat dikatakan menyeluruh. Namun hal itu sudah
cukup baik karena pelayanan kesehatan adalah hal yang utama bagi masyarakat, karena
kesehatan adalah hak bagi seluruh warga negara, yang tinggal di desa maupun kota.
Penyediaan pasar juga merupakan kebijakan pemerintah agar masyarakat desa
memiliki akses terhadap kebutuhan dasar pangan. Masyarakat desa dianggap tidak cukup jika
hanya mengandalkan pertanian dan peternakan. Maka dari itu, penyediaan pasar merupakan
hal tambahan yang sekiranya dibutuhkan masyarakat dalam mengakses kebutuhan dasar yang
sesuai standar tercukupi.

3.3 Membangun Kredit Usaha Rakyat dan Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat
KUR merupakan Kredit Usaha Rakyat yang diprakarsai oleh Presiden Republik
Indonesia ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono pada November 2007. KUR hakikatnya adalah
penjaminan terhadap usaha kecil dan pengusaha-pengusaha kecil di desa yang tidak memiliki
modal. Sehingga negara dapat menjamin kredit kepada rakyat hingga 500 juta rupiah karena
kreditnya dan bunganya dijamin pemerintah pada waktu itu. Dengan KUR ini diharapkan
masyarakat dapat menunjang pertumbuhan ekonomi desa lewat pengusaha-pengusaha kecil
dan sektor mikro lainnya.
PNPM merupakan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat yang merupakan
program dari presiden SBY juga. Namun kebijakan ini diresmikan lebih dahulu daripada

KUR yakni pada Februari 2007. Program ini merupakan program yang mirip dengan BLT,
yakni pemberian Rupiah kepada kecamatan yang berkisar antara 500 juta rupiah hingga 1,5
milyar rupiah. Program ini tadinya dicanangkan untuk menjangkau 8 juta keluarga miskin di
Indonesia dalam rangka program pengentasan kemiskinan. 32 juta orang (secara kasar)
adalah penduduk miskin di pedesaan, sehingga program ini dinilai dapat menjadi pembaik
ekonomi 8 juta keluarga tersebut.

BAB IV
DESKRIPSI DESA
Desa Talang Markisa
Desa Talang Markisa merupakan desa terpencil nan miskin yang terletak di desa
Sumber Urip, Kecamatan Selupu Rejang, Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu.
Desa ini berada di kaki bukit. Penghuninya hanya berjumlah 53 keluarga. Desa Talang
Markisa ini terkenal akan pariwisatanya yakni Bukit Kaba dimana turis bisa melihat matahari
terbenam di desa tersebut. Namun dalam desa tersebut tidak terdapat penginapan dan
sebagainya sehingga turis harus bermukim ke kabupaten. Desa ini merupakan desa yang
dikategorikan miskin karena tidak ada sama sekali pelayanan kesehatan yang memadai yang
terdapat di desa tersebut. Sekolah juga tidak terletak dekat dengan desa sehingga harus
berjalan kaki setidaknya 10 menit dari desa.
Karena berada di bukit, desa ini memiliki tanah yang cukup subur, sehingga

memudahkan petani untuk bekerja dengan mata pencahariannya. Misalnya bertani kol,
kembang kol, daun bawang, dll. Tingkat penggarapan tanahnya juga homogen, bertipe seperti
:
-

Penggarap dan penyewa tanah
Penggarap dan pemilik tanah
Buruh

Namun tidak terdapat sistem feodalisme yang terlalu merugikan masyarakat Talang
Markisa. Data akan desa Talang Markisa hanya tersebar sedikit di Internet sehingga tidak
banyak diketahui mengenai hal-hal yang mendetail lainnya. Tingkat pendidikan di desa
Talang Markisa adalah setingkat SD dan SMP. Akses menuju dan keluar desa Talang
Markisa adalah dengan menggunakan motor atau mobil bak terbuka dimana kondisi jalan
yang rusak dan tidak sepenuhnya diaspal membuat medan menjadi sulit bagi kendaraan besar
seperti truk maupun mobil biasa. Desa Talang Markisa ini tidak memiliki penerangan yang
24 jam, mereka menggunakan genset, lampu petromax dan lampu-lampu bertenaga minyak
tanah maupun lilin yang terbatas jumlahnya.
Aspek Kemiskinan Desa Talang Markisa
Aspek-aspek yang menunjukkan bahwa desa Talang Markisa ini adalah miskin adalah
dengan ketidaktersediaannya listrik PLN yang 24 jam dan juga kondisi desa dan letak
geografisnya yang terpencil karena media jalan raya rusak dan tidak sepenuhnya teraspal.
Kondisi desa tidak begitu dijelaskan dan tidak ada data yang jelas mengenai kondisi desa,
namun kondisi geografisnya adalah desa Talang Markisa merupakan desa yang dapat
dikategorikan terpencil. Ditambah ketidakberadaan akses pendidikan dan kesehatan dalam
jarak dekat, membuat desa ini makin dapat dikategorikan miskin.
Keterbatasan akses ini membuat mereka terlihat tergantung dan tidak independen dan
terus-terusan tidak terlihat merdeka karena tidak bisa mencukupi kebutuhan desanya sendiri.
Sehingga desa Talang Markisa ini masih dalam ranah sebutan desa miskin. Aspek kesehatan
desa Talang Markisa juga patut diperhatikan. Tidak ada puskesmas di desa ini, namun
terdapat satu di desa Sumber Urip, namun jika keadaan benar-benar mendesak, masyarakat
Talang Markisa ini mengandalkan obat dari warung. Obat dari warung-warung yang ada
adalah obat berlabel biru yang dapat dikonsumsi tanpa resep dokter dan tidak cocok jika

digunakan dalam keadaan darurat. Sehingga menjadikan kualitas akses kesehatan di desa ini
dapat dipertanyakan kelayakannya.
Dalam hal pendidikan, masyarakat Talang Markisa memiliki tingkat pendidikan yang
rendah, yakni hanya setingkat SD dan SMP. Akses terhadap gedung persekolahan juga
terdapat pada desa Sumber Urip. Sehingga akses para anak-anak ini harus melewati kira-kira
2-3 km dalam jarak tempuh berjalan kaki. Parahnya, pada jenjang SMA dan masyarakat yang
ingin melanjutkan ke jenjang SMA, mereka harus pergi ke kecamatan karena mereka tidak
memiliki gedung sekolah di desa Sumber Urip dan Talang Markisa. Namun sebenarnya, hal
ini bukan merupakan masalah karena sebagian masyarakat Talang Markisa tidak terlalu
peduli dengan adanya tingkat pendidikan. Mereka kebanyakan bekerja di pertanian dan yang
tidak terlalu membutuhkan materi sekolah terhadap sawah. Sehingga kadang standar
pendidikan di seluruh Indonesia pada hakikatnya tidak dapat disatukan dan disetarakan
karena, tidak semua menganggapnya setara.
Talang Markisa ini merupakan desa terpencil yang terisolir dari akses dasar manusia,
namun masyarakatnya masih dapat bertahan hidup dengan mengandalkan bantuan-bantuan
dari pemerintah dan juga kecamatan sekitar. Meskipun mereka haus berjuang melalui
keterbatasan listrik, dan juga pangan serta akses ke media dasar lainnya. Sampai tahun 2014,
terdapat sedikitnya 53 keluarga yang bermukim di Talang Markisa dan kebanyakan bekerja
sebagai petani dan buruh tani dengan penghasilan 500.000 rupiah hingga 600.000 per bulan.
Sehingga penghasilan masyarakat desa yang bekerja di sawah desa ini dapat dikategorikan
sebagai masyarakat berpenghasilan rendah. Masyarakat Talang Markisa tergolong tidak dapat
memenuhi kebutuhannya bahkan untuk makan, karena jika dihitung dengan matematika
sederhana dengan asumsi per keluarga 4 orang dan penghasilan 500.000 perbulan maka tidak
akan bisa mencukupi makan untuk sebulan, bahkan hanya bisa 12 hari saja jika sekali makan
berbiaya 10.000 rupiah. Belum juga ditambah pengeluaran untuk sekolah, rokok dan
kebutuhan sekunder lainnya.

BAB V
DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP DESA TALANG MARKISA

5.1 Dampak Kebijakan BLT Terhadap Desa Talang Markisa

BLT, yang merupakan Bantuan Langsung Tunai yang dialokasikan untuk desa
tertinggal dan dikategorikan miskin. BLT pernah mencapai desa Talang Markisa pada tahun
2011. Bersamaan dengan masuknya program Raskin dan Program Air. Program BLT ini
dinilai dapat diterima dengan baik oleh masyarakat karena BLT merupakan pemberian rupiah
secara langsung kepada anggota masyarakat. Program-program yang lain juga dapat diterima
dengan baik karena secara terang-terangan membantu hak-hak dasar manusia desa Talang
Markisa. Program air dan raskin ini masuk pada 2011, dimana keadaan desa jika
dibandingkan dengan tahun 2013 tidak jauh berbeda. Desa Talang Markisa masih merupakan
desa miskin yang tidak relevan kemiskinannya dengan standar yang dipakai perkotaan.
Tidak pernah ada kasus pencurian yang dilaporkan terjadi di desa Talang Markisa.
Karena masyarakat desa Talang Markisa tidak mengenal konsep miskin dan kaya lewat uang.
Uang hanya dipakai untuk membeli barang namun tidak seluruh barang. Karena sebagian
kebutuhan makan mereka terpenuhi lewat sawah. Raskin juga merupakan tambahan karena
secara tidak langsung mereka memiliki padi dan beras meski jarang dan nasi bukan
merupakan kebutuhan pokok yang dapat dijadikan sebagai standar kemiskinan individu.
Terkecuali adalah air. Di dalam sumber tidak terlalu dijelaskan mengenai mengapa program
air masuk ke dalam bantuan terhadap desa Talang Markisa. Menurut saya mungkin program
air yang dimaksud bukanlah bantuan air namun bantuan peralatan menuju sumber air, yakni
seperti pipa, keran dan pembuatan saluran air yang dikhususkan untuk penyaluran air ke
setiap rumah, secara merata.

5.1 Dampak Kebijakan Meningkatkan Akses Masyarakat Terhadap Pelayanan Dasar

Pelayanan dasar disini adalah pelayanan pendidikan dan kesehatan yang notabene-nya
merupakan pelayanan dasar dalam sistem ke-tatanegara-an. Pendidikan dikhususkan dan
dikultuskan sebagai kewajiban dan digalangkan sebagai hak setiap warga negara. Yang
tertera dalam UUD 1945 yang didalamnya tercantum bahwa pendidikan adalah hak dalam
tulisan tersirat ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’. Disini kita bicara konteks yang paling
awam, ya, paling awam dalam kata mencerdaskan adalah pendidikan dimana pendidikan
dianggap sebagai jalan pintas menuju kebahagiaan lewat pekerjaan dan posisi di masyarakat.
Namun, masyarakat mana? Kebahagiaan yang mana? Dan pekerjaan yang mana?
Di dalam desa Talang Markisa, tercantum bahwa tingkat pendidikan mereka berkisar
antara SD hingga SMP dan jarang sekali yang sampai SMA dan masih menetap di desa
Talang Markisa. Jika dilihat dengan menggunakan perspektif dan pola pikir rasional yang
dipengaruhi standar negara, tentulah desa Talang Markisa ini tidak termasuk ke dalam desa
yang lolos seleksi dalam pemberdayaan dan pembenahan desa lanjutan. Tingkat pendidikan

yang rendah menjadikan masyarakat desa Talang Markisa dianggap sebagai berpendidikan
rendah dan tidak memiliki kebanggaan terhadap status mereka yang berada di bawah orangorang berpikiran dan berpangkat tinggi.
Perlu digarisbawahi disini bahwa terdapat perbedaan nilai yang dianut dalam setiap
daerah. Termasuk didalamnya nilai pendidikan. Jika masyarakat Talang Markisa memiliki
pendidikan yang rendah, akses terhadap sekolah yang minim, dan tidak ada yang dapat
menjamin dan mengangkat derajat mereka bukan? Bahkan pemerintah pun butuh agen untuk
membangun sekolah secara langsung, dan juga harus ada kesiapan dan niat serta rasa yang
tumbuh dalam masyarakat itu sendiri khususnya anak-anak agar dapat mau berpendidikan.
Namun tetap saja, standar pendidikan dan pemerataannya tidak berlaku jika ditolak, atau
masyarakat tidak tertarik.

5.3 Dampak Kebijakan Membangun Kredit Usaha Rakyat dan Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat
Dalam sumber, tidak ada keterangan bahwa desa ini terbantu oleh Kredit Usaha
Rakyat atau Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat. Desa ini baru menerima paket
kebutuhan dasar seperti air, raskin dan BLT pada tahun 2011, yang normalnya adalah
diterima tahun 2008 (Memakai asumsi Presiden SBY bertindak cepat dalam pembagian KUR
dan PNPM). Sehingga tidak ada data yang jelas mengenai apakah Desa Talang Markisa ini
menerima Kredit Usaha Rakyat atau Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat.

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Dapat kita lihat sebenarnya bahwa masyarakat Talang Markisa ini termasuk dalam
desa miskin yang miskin sekali jika digunakan standar nasional kemiskinan. Dimana
kemiskinan adalah ketidakmampuan desa dalam menyediakan sumber pangan, papan dan
sandang serta kesehatan dan pendidikan yang memadai. Mungkin akan menjadi benar bahwa
kemiskinan adalah masalah negara. Namun disini masyarakat Talang Markisa tidak
mempermasalahkan kemiskinan tersebut. Bahkan memang sebenarnya banyak masyarakat
desa di luar sana yang tidak memperdulikan miskin atau tidak. Karena yang seharusnya
pemerintah canangkan adalah kenyamanan dan keamanan hidup, bukan uang. Uang memag
dapat digunakan untuk apa saja namun tidak semua dari masyarakat desa yang mampu
mengelolanya dengan efisien, sehingga tidak timbul kemiskinan dalam keluarga di desa-desa
di Indonesia.
Saya sungguh menekankan disini bahwa pemerintah terlalu menyederhanakan hakikat
kemiskinan dan memukul rata seluruh desa yang tidak memiliki pendapatan yang memadai
sebagai miskin. Memang benar faktanya bahwa mereka tidak memiliki akses terhadap
pendidikan dan kesehatan. Namun menurut saya, akses kesehatan lah yang patut diperhatikan
begitu penting. Karena sehata adalah hak dan kebutuhan setiap individu. Sementara
pendidikan yang notabene-nya dalam jenjang SD, SMP, SMA dan seterusnya adalah pilihan
rasional opsional yang dapat diambil ataupun tidak. Hal ini dikarenakan tidak semua orang
akan menempuh jalan yang sama yakni lulus sekolah atau kuliah lalu bekerja. Banyak orang
di desa yang bisa bertani atau bekerja yang lain tanpa memikirkan sekolah dan bekerja di
perkotaan.

6.2 Saran
Saran yang setidaknya dapat saya tulis di makalah ini adalah bahwa pemerintah
seharusnya tidak menerapkan konsep kemiskinan yang sama terhdapa seluruh desa. Karena
tidak seluruh desa ingin berurbanisasi menjadi kota. Jika menggunakan standar kemiskinan
yang sama, maka akan ada banyak desa terpencil yang miskin yang butuh bantuan layaknya
anak kecil yang kehilangan ibunya, tanpa tahu bahwa anak tersebut bisa hidup sendiri jika
hanya diberi obat dan makanan. Desa merupakan suatu entitas unik yang menjadi badan yang
berdiri sendiri. Ia merupakan sesuatu hal yang dianggap tidak mencukupi, jika mengikuti
standar negara. Namun pada hakikatnya desa dapat berdiri sendiri jika penopangannya adalah
aspek lokal yang dapat dipertimbangkan dan tidak bisa hanya lewat BLT, yakni kesehatan.
Pemerintah hanya cukup menyediakan kesehatan dan juga sekolah jika dibutuhkan.
Namun kesehatan tak ayal memang dibutuhkan oleh seluruh aspek lapisan masyarakat mulai
dari yang muda hingga tua. Sedangkan pendidikan sifatnya opsional yang dapat ditanyakan
melalui penelitian survey atau yang lain apakah memang benar-benar dibutuhkan atau tidak
bagi masyarakat pedesaan.

DAFTAR PUSTAKA
Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta. Lembaga Penerbit FE-UI
Jayadinata. T. Johara, Pramandika. I.G.P. 2006. Pembangunan Desa Dalam
Perencanaan. Bandung. ITB.
Rais, M. Amin. 1995. Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia. Yogyakarta :
Aditya Media
http://www.jakarta.go.id/web/news/category/tingkat-kemiskinan
http://www.sapa.or.id
Pande Made Kertanegara. 2012. Jurnal Ilmiah, Akses Terhadap Sumber Daya dan
Kemiskinan Di Pedesaan Jawa. Yogyakarta
http://www.m.republika.co.id/idm-solusi-atasi-kemiskinan-di-desa