Representasi Product Placement Dalam Film “Habibie Dan Ainun” | Primalia | Jurnal DKV Adiwarna 537 961 1 SM

1

Representasi Product Placement Dalam Film
“Habibie Dan Ainun”
Inneke Primalia
Program Studi Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain
Universitas Kristen Petra, Surabaya
Email: Cathyiin@hotmail.com

Abstrak
Penelitian ini sebagai upaya untuk mengetahui representasi product placement dalam film “Habibie dan Ainun”
terhadap positioning dari produk-produk stealth marketing, di mana penempatan produk adalah dibuat seolah
menyatu dengan scene film. Perbedaan konteks time frame antara produk dan scene di mana produk diletakkan
berpotensi menciptakan ambiguitas persepsi penonton dan ini berpengaruh pada positioning produk. Penelitian
ini menggunakan semiotika Barthes di mana pada tataran mitos atau ideologi dilakukan dengan
memperbandingkan positioning produk tersebut sebagai upaya kritis mengkaji representasi produk stealth
marketing-nya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa visualisasi produk dalam scene dan ketidaksesuaian time
frame–nya dapat memberikan pengaruh yang berbeda bagi positioning produk.
Kata Kunci : Representasi, Product Placement, Film, Habibie dan Ainun, Stealth Marketing, Positioning, False
Time Frame, Semiotika Barthes


Abstract
Representation of Product Placement on “Habibie dan Ainun” Movie
This research was an attempt to determine the representation of product placement in the movie "Habibie and
Ainun" to the positioning of stealth marketing products, where product placement is incorporated within the
movie scenes. Inconsistencies in the time frame between the product and the scenes, in which the product is put,
could potentially create ambiguity in the audience's perception and might influence the image of the product.
This study uses Barthes semiotics, where on the myth level, were done by comparing the product positioning as a
critical effort to assess the representation of the product’s stealth marketing. The results showed that the product
visualization in the scenes and its inconsistencies in the time frame may give different effects for product
positioning.
Keyword: Representation, Product Placement, Movie, Habibie dan Ainun, Stealth Marketing, Positioning, False
Time Frame, Barthes Semiotics.

Pendahuluan
Product placement merupakan salah satu alat baruan
komunikasi pemasaran yang marak digunakan
produsen untuk mengkomunikasikan produknya
kepada konsumen. Salah satu media penempatannya
adalah dalam film. Strategi ini ditandai dengan
peletakan produk atau merek ke dalam sebuah adegan

film dimana produk atau merek dapat dilihat dan
didengar (Karrh, 1998). Product placement bagai
stealth marketing karena secara esensial penonton
tidak menyadari adanya unsur promosi dalam film
yang disaksikan, bahkan dianggap sebagai bagian dari
adegan film. Dalam hal ini, produsen mengharapkan
seolah secara tidak sengaja penonton dapat
mengidentifikasi
keberadaan
produk
dengan
sendirinya dan melalui penggambarannya dalam

scene, positioning produk dapat terkomunikasikan
kepada penonton. Penjelasan tersebut menunjukan
telah kaburnya batasan antara hiburan dan promosi di
mana praktek product placement yang awalnya hanya
sekedar “menunjukkan kaleng” (Hakcley & Tiwsakul,
2006), berkembang menjadi kepentingan pengiklan
yang hendak mengkomunikasikan produknya.

Permasalahan mulai muncul ketika keputusan dasar
pembuatan film tidak lagi terletak pada produser
melainkan pada produsen pengiklan yang lebih
mementingkan pada bagaimana produknya bisa
terlihat dalam film terkait dengan kepentingan
produsen untuk beriklan dan kepentingan produser
untuk memperoleh sokongan dana untuk proses
pembuatan film. Hal ini dapat menciptakan
pengaburan batasan antara hiburan dan elemen

2

komersial, serta mengganggu naskah cerita karena
ketidaksesuaian jenis produk dengan adegan yang ada
ketika produk tersebut muncul (Day, 2003). Praktek
dari strategi product placement ini banyak terlihat
dalam dunia perfilman Indonesia. Salah satunya
adalah film Habibie & Ainun. Film yang diperankan
oleh Bunga Citra Lestari dan Reza Rahardian ini
merupakan film yang diangkat dari buku biografi

yang ditulis oleh Bacharuddin Jusuf Habibie yang
bercerita mengenai kisah perjalanan hidup Presiden
ke-3 Republik Indonesia, Bacharuddin Jusuf Habibie
dan istrinya, Hasri Ainun Besari. Bahkan untuk
menjaga keaslian cerita dan kesesuaian adegan
dengan realita yang ada, B.J Habibie secara langsung
turun dalam syuting pengambilan setiap adegan film
karena beliau menghendaki kesesuaian adegan dengan
kejadian sesungguhnya sehingga film dapat
ditampilkan apa adanya dan tanpa unsur melebihlebihkan disertai tingkat kedetailan yang tinggi. Hal
ini terlihat dalam penggambaran tokoh, latar, kostum,
serta adegan yang menggambarkan kebiasaan Habibie
dan Ainun, baik mengenai kebiasaan Habibie
menggunakan jam tangan dan urutan Habibie
mencium Ainun. Penyajian film “Habibie dan Ainun”
yang baik telah berhasil membuat penonton terbawa
suasana film. Akan tetapi, hal ini menjadi terdistraksi
dengan munculnya berbagai product placement dari
sponsor, seperti: Gery Chocolatos. Wardah Kosmetik,
sirup markisa Pohon Pinang, kartu Indomaret, Kartu

e-toll, dan Gerbang Tol Otomatis (GTO). Berikut
adalah gambarnya:

Gambar 1. Placement sirup markisa Pohon Pinang,
Gerry Chocolatos, Safe Care Roll-on, Wardah
Kosmetik, kartu e-toll, kartu Indomaret, dan
Gerbang Tol Otomatis, (sesuai urutan angka)
Dalam
praktek
product
placement,
perlu
dipertimbangkan kejelasan tampilan dalam film dan
mengintegrasikannya dengan alur cerita dari sebuah
film sehingga dapat memperkaya tema dan karakter
dari film yang bersangkutan (Hirschman, 1997).
Penempatan produk yang sesuai akan dapat
menciptakan adegan yang menghibur dan dianggap
nyata serta memuaskan batin penonton yang
menonton film, pembuat film, dan pengiklan.

Sedangkan praktek product placement dalam film
“Habibie
dan
Ainun”
dirasa
kurang

mempertimbangkan kesesuaian produk dengan
adegan dan alur cerita film karena terlihat adanya
unsur pemaksaan terkait penempatan produknya
dalam scene karena adanya ketidaksesuaian time
frame antara ‘kelahiran’ produk dan scene. Berikut
adalah penjelasannya:
Tabel 1. Ketidaksesuaian time frame antara
produk dan scene placement-nya
Scene
Placement
]1962, 19901995
1990-1995,
1995, 2010


Tahun
dipasarkan

Safe Care Roll-on

1999

2004

Wardah Kosmetik
Kartu e-toll dan
Indomaret
Gerbang Tol
Otomatis

1999

1994


1999

2009

1999

2009

Nama Produk
Sirup markisa
Pohon Pinang
Gery Chocolatos

1982
2005

Keberadaan
produk-produk
yang
memiliki

ketidaksesuaian time frame dengan scene, tentu
mempengaruhi kredibilitas film “Habibie dan Ainun”
sebagai sebuah film biografi, yang dalam poster
filmnya juga terlihat mencantumkan kalimat “based
on true story”.
Adanya ketidaksesuaian time frame dalam visualisasi
produk dalam scene, kemudian akan menjadi objek
penelitian terkait pengaruhnya terhadap positioning
produk, di mana permasalahan tersebut belum pernah
dianalisis sebelumnya.
Berikut adalah rumusan
masalah dari penelitian ini:
a) Apa saja produk-produk yang termasuk stealth
marketing dalam film “Habibie dan Ainun”?
b) Bagaimana relasi produk-produk yang termasuk
dalam stealth marketing terkait logika time frame
dalam film “Habibie dan Ainun”?
c) Bagaimana positioning produk-produk stealth
marketing dalam film “Habibie dan Ainun”
terkait relasi positioning dan visualisasi yang

tidak sesuai dengan time frame?

Metode Penelitian
Metode penelitian “Representasi Product Placement
dalam film “Habibie dan Ainun” adalah deskriptif
eksplanatif dengan unit analisis semiotika Roland
Barthes, yaitu sistem pemaknaan tataran kedua.
Berikut adalah tahapan dalam penelitian ini:
Tabel 2. Teknik analisis data
Tahap I:

Melakukan
pengamatan
dengan
menonton film “Habibie dan Ainun” ±3
kali dengan konteks sebagai “good eye”

3

Tahap

II:

Tahap
III:
Tahap
IV:

Tahap
VI:

yang berarti menonton untuk mengamati
dan menganalisa hal yang berkaitan
dengan penelitian.
Mengidentifikasi produk yang termasuk
dalam produk stealth marketing dan
mengidentifikasi ketidaksesuaian time
frame antara produk dan setting scene.
Mengambil screen shot adegan di mana
produk yang termasuk dalam stealth
marketing ditempatkan.
Menganalisis
screen
shot
untuk
mengetahui penggambaran produk dalam
scene dan memperbandingkannya dengan
penggambaran produk dalam iklan
(merupakan representasi dari positioning
produk) untuk mencari kesesuaian dari
positioning produk dan
pengaruh
ketidaksesuaian time frame terhadap
positioning produk.
Melihat ideologi di balik praktek product
placement dalam film “Habibie dan
Ainun” dan menarik kesimpulan.

Pembahasan
Dalam bab pembahasan, analisis akan dibagi menjadi
beberapa sub bab yaitu identifikasi terhadap produk
stealth marketing, analisis penggambaran produk
stealth marketing dalam scene, memperbandingkan
penggambaran produk stealth marketing dalam scene
dan dalam iklan untuk mengetahui kesesuaian
terhadap penggambaran positioning produk terkait,
dan melihat ideologi di balik product placement
dalam film “Habibie dan Ainun”. Berikut adalah
penjelasannya:
Identifikasi Produk Stealth Marketing dalam Film
“Habibie dan Ainun” dan Penggambarannya
dalam Scene
Berikut adalah produk-produk stealth marketing
dalam film “Habibie dan Ainun”:
1. Sirup Markisa Pohon Pinang

minuman dalam acara pernikahan figur Habibie dan
figur Ainun; sebagai seserahan dari pihak pengantin
pria, yaitu figur Habibie kepada pihak pengantin
wanita, yaitu figur Ainun; sebagai minuman
pendamping upacara dhulangan antara figur Habibie
dan Ainun; sebagai minuman yang disajikan dan
diminum figur Habibie yang sedang membaca buku.
2. Gery Chocolatos

Gambar 3. Placement Gery Chocolatos
Placement Gery Chocolatos dalam film “Habibie dan
Ainun” adalah sebagai camilan yang dimakan oleh
figur Habibie yang sedang membaca buku, sebagai
produk yang dijual di sebuah warung yang berlokasi
di daerah perdesaan ataupun kabupaten; sebagai
camilan seorang figur pria dewasa yang sedang
menonton siaran langsung penerbangan perdana
pesawat N-250 melalui televisi; dan sebagai
pemberian dari figur Fara dan Farhan (cucu figur
Habibie dan Ainun) kepada figur Habibie dan Ainun.
3. Wardah Kosmetik

Gambar 4. Placement Wardah Kosmetik

Gambar 2. Placement sirup markisa Pohon Pinang
Placement sirup markisa Pohon Pinang
dalam film “Habibie dan Ainun” adalah sebagai
minuman yang sedang dipersiapkan sebagai sajian

Melalui dialog yang ada, dapat diketahui bahwa
placement Wardah Kosmetik dalam film “Habibie
dan Ainun” adalah sebagai riasan wajah yang
digunakan figur Ainun (dijelaskan sebagai sosok yang
perfeksionins) untuk menghadiri acara kenegaraan
(acara persemian Bank Mata). Berikut adalah
gambarnya:

4

Gambar 5. Figur Ainun dan riasan Wardah
Kosmetik
4.

Safe Care Roll On

Gambar 6. Placement Safe Care Roll-On
Placement Safe Care Roll On adalah sebagai produk
yang digunakan oleh seorang wanita muda yang
berada dalam kondisi lelah, mengantuk, ataupun
kurang sehat, ketika mendengarkan pidato peresmian
Bank Mata yang diberikan oleh figur Ainun.
5. Gerbang Tol Otomatis

Gambar 7. Placement Gerbang Tol Otomatis
Placement Gerbang Tol Otomatis (GTO) adalah
sebagai fasilitas pembayaran jalan tol (e-toll passing)
yang dimanfaatkan oleh figur Habibie dan Ainun
yang berada dalam perjalanan menuju IPTN.
6. Kartu e-toll dan Indomaret

Gambar 8. Placement kartu e-toll dan Indomaret
Placement kartu e-toll dan Indomaret adalah sebagai
fasilitas pembayaran jalan tol (e-toll tapping) yang
dimanfaatkan oleh seorang figur pria dewasa.
Placement Produk Stealth Marketing dalam Film
“Habibie dan Ainun” dan Representasinya
terhadap Positioning-nya
1. Sirup Markisa Pohon Pinang
Berikut adalah gambaran dari sirup markisa Pohon
Pinang dalam iklannya:

Gambar 9. Iklan sirup markisa Pohon Pinang
Dalam iklannya dapat terlihat bahwa sirup markisa
Pohon Pinang digambarkan terbuat dari sari buah
markisa asli yang dapat memberikan kesegaran bagi
mereka yang meminumnya. Turut ditampilkan di
dalamnya variasi penggunaan sirup markisa Pohon
Pinang selain sebagai minuman sirup markisa, di
mana sirup markisa Pohon Pinang dapat digunakan
sebagai topping pancake dan pemanis es campur.
Lebih lanjut digambarkan dalam bahwa figur
peminum sirup markisa adalah figur pria dan wanita
dewasa dengan umur yang tergolong masih muda, dan
mereka terlihat memiliki penampilan yang modern.
Gambaran tersebut hendak mengkomunikasikan
minuman sirup markisa Pohon Pinang sebagai
minuman generasi muda masa kini.
Sedangkan dalam film “Habibie dan Ainun”,
meskipun penempatannya dalam scene yang berbedabeda, namun setiap penempatannya tetap dapat
mengkomunikasikan kepada penonton variasi lain
dari penggunaan sirup markisa Pohon Pinang, baik
sebagai sajian minuman dalam acara pernikahan figur
Habibie dan figur Ainun; sebagai seserahan dari
pihak pengantin pria, yaitu figur Habibie kepada
pihak pengantin wanita, yaitu figur Ainun; sebagai
minuman pendamping upacara dhulangan antara figur
Habibie dan Ainun; sebagai minuman yang disajikan
dan diminum figur Habibie yang sedang membaca
buku. Penggambarannya yang memanfaatkan figur
keluarga Besari, figur keluarga Habibie, dan figur
Habibie yang diketahui berasal dari golongan
masyarakat strata ekonomi atas, dirasa sesuai dengan
produk sirup markisa Pohon Pinang yang dijual
dengan harga Rp 25.000,00-Rp 30.000,00 di mana
harga tersebut menunjukan posisi sirup markisa

5

Pohon Pinang sebagai sirup untuk
masyarakat dari strata ekonomi atas.

golongan

Hanya saja placement sirup markisa Pohon Pinang
tidak dapat mengkomunikasikan kesegaran dari
minuman sirup markisa dan posisinya sebagai sirup
yang terbuat dari buah markisa asli karena
penempatannya yang menyesuaikan dengan scene.
Kemudian penempatannya dalam scene pernikahan
figur Habibie dan Ainun yang menggunakan adat
Jawa dengan setting tahun 1962 dapat membuatnya
diasumsikan sebagai minuman tradisional, di mana
hal tersebut bertentangan dengan penggambaran sirup
markisa Pohon Pinang sebagai minuman generasi
muda masa kini. Begitu juga penempatannya dalam
scene dengan setting tahun 1990-1995 dan sebagai
minuman figur pria dewasa yang terlihat berumur,
yaitu figur Habibie, dapat membuatnya diasumsikan
sebagai minuman tradisional generasi tua, di mana hal
tersebut bertentangan dengan gambaran sirup markisa
Pohon Pinang, yang dalam iklannya dikomunikasikan
sebagai minuman generasi muda masa kini.
Penjelasan tersebut menunjukan bahwa adanya
ketidaksesuaian time frame terbukti menciptakan
distorsi bagi positioning sirup markisa Pohon Pinang
yang hendak disampaikan melalui penggambarannya.
Sedangkan penempatannya yang berada dalam satu
scene yang sama dengan penempatan Gery Chcolatos,
di mana dalam scene tersebut digambarkan bahwa
figur Habibie telah memakan 3 buah wafer stick Gery
Chocolatos sembari membaca buku dan kemudian ia
segera meminum sirup markisa tepat setelah minuman
tersebut disajikan, di mana hal tersebut dapat
diasumsikan bahwa figur Habibie meminum sirup
markisa untuk melepas dahaga setelah memakan Gery
Chocolatos. Terlihat bahwa keberadaan Gery
Chocolatos mendukung posisi minuman sirup markisa
sebagai pelepas dahaga bagi figur Habibie.
Penempatannya yang melekat pada figur Habibie dan
momen pernikahan figur Habibie dan Ainun
dimanfaatkan untuk dapat meningkatkan minat
penonton terhadap sirup markisa Pohon Pinang
sebagaimana penempatannya yang melekat pada figur
Habibie ataupun momen bahagia dari pernikahan
figur Habibie dan Ainun, meskipun representasinya
bertolak belakang dengan positioning produk.
2. Gery Chocolatos
Gery Chocolatos sendiri merupakan produk berjenis
makanan ringan dalam bentuk wafer stick cokelat.
Berikut adalah gambaran dari Gery Chocolatos dalam
iklannya:

Gambar 10. Iklan Gery Chocolatos (1)
Dalam iklan Gery Chocolatos (1), terlihat bahwa
produk tersebut digambarkan dimakan bersama
dengan kopi dan bersama dengan ice cream.
Gambaran tersebut menunjukan produk Gery
Chocolatos sebagai kategori makanan ringan (snack).
Digambarkan dalam iklannya bahwa Gery Chocolatos
dimakan oleh adalah figur remaja perempuan (yang
diperankan oleh Nikita Willy) yang menunjukan
bahwa produk ini ditujukan untuk kalangan remaja.
Begitu pula dengan penggambaran Gery Chocolatos
dalam iklan Gery Chocolatos (2), berikut adalah
gambarnya:

Gambar 11. Iklan Gery Chocolatos (2)
Sedangkan dalam iklan Gery Chocolatos (2), dapat
terlihat bahwa Gery Chocolatos digambarkan sebagai
pemberian dari figur remaja laki-laki kepada figur
remaja perempuan, di mana Gery Chocolatos
merupakan makanan ringan kesukaan figur remaja
perempuan. Hubungannya keduanya digambarkan
sebagai pasangan remaja, sehingga dapat diartikan
bahwa pemberian tersebut merupakan tanda kasih
sayang. Kedua iklan dari Gery Chocolatos terlohat
mengkomunikasikan produknya sebagai wafer stick
cokelat yang berasal dari Italia. Terlihat melalui
pemilihan figur remaja perempuan (yang diperankan
Nikita Willy) yang memiliki wajah kebarat-baratan
dan dialog dengan logat seolah sedang berbicara
dengan bahasa Italia meskipun sebenarnya ia
menggunakan bahasa Indonesia. Lebih lanjut untuk
memperkuat posisinya sebagai wafer stick cokelat
dari Italia, setting adegan juga digambarkan seolah
berlokasi di Italia, yang turut disertai dengan tagline
“MAMAMIA LEZATOS”.

6

Sedangkan dalam film “Habibie dan Ainun”,
placement Gery Chocolatos diletakan dalam tiga
scene yang berbeda, yaitu sebagai camilan yang
dimakan oleh figur Habibie yang sedang membaca
buku, sebagai produk yang dijual di sebuah warung
yang berlokasi di daerah perdesaan ataupun
kabupaten; sebagai camilan seorang figur pria dewasa
yang sedang menonton siaran langsung penerbangan
perdana pesawat N-250 melalui televisi; dan sebagai
pemberian dari figur Fara dan Farhan (cucu figur
Habibie dan Ainun) kepada figur Habibie dan Ainun.
Terlihat bahwa placement Gery Chocolatos berhasil
mengkomunikasikan posisinya sebagai camilan dan
juga dapat dimanfaatkan sebagai pemberian terhadap
orang terkasih, yaitu kepada kakek dan nenek.
Ketidaksesuaian
dalam
penggambaran
Gery
Chocolatos terletak pada figur yang berinteraksi
dengan Gery Chocolatos dalam scene. Terlihat bahwa
dalam scene I dan II bahwa figur orang yang
memakan produk Gery Chocolatos adalah figur pria
dewasa, di mana gambaran tersebut berbeda dengan
Gery
Chocolatos
yang
dalam
iklannya
dikomunikasikan sebagai camilan untuk kalangan
remaja. Sedangkan dalam scene III, Gery Chocolatos
digambarkan sebagai pemberian dari figur cucu
kepada figur kakek dan nenek. Meskipun figur Fara
dan Farhan sebagai cucu Habibie dan Ainun, yang
pada tahun 2010 berada dalam rentang usia anak
remaja, akan tetapi tidak terdapat dialog yang
menjelaskan hal tersebut sehingga placement Gery
Chocolatos tidak berhasil diterima penonton sebagai
pemberian dari figur anak remaja kepada figur kakek
dan neneknya. Penjelasan tersebut menunjukan bahwa
placement Gery
Chocolatos
tidak
berhasil
mengkomunikasikan bahwa produknya ditujukan bagi
kalangan anak remaja. Lebih lanjut, placement Gery
Chocolatos juga tidak berhasil mengkomunikasikan
posisi Gery Chocolatos sebagai wafer stick cokelat
dari Italia. Hal ini dikarenakan tidak terdengar dialog
berlogatkan bahasa Italia seperti yang terdengar dalam
iklan Gery Chocolatos, figur orang yang berinteraksi
dengan Gery Chocolatos terlihat memiliki wajah khas
Indonesia (berbeda dengan gambaran figur remaja
yang berwajah kebarat-baratan dalam iklan), dan
setting scene juga tidak terlihat menampilkan nuansa
Italia. Hal tersebut tentunya terkait dengan scene yang
hendak menggambarkan figur Habibie yang sedang
mebaca buku untuk menambah pengetahuan untuk
perakitan pesawat N-250 yang berlangsung di Jakarta
(scene I), antusias masyarakat Indonesia, baik yang
ada di daerah perdesaan ataupun kabupaten, terhadap
penerbangan perdana pesawat N-250 (scene II), dan
figur Tarekh yang mengusulkan kepada figur Ainun
dan Habibie untuk melakukan check-up di RS Abdi
Waluyo, Jakarta (scene III) (Habibie, 2010).
Kemudian figur orang yang berinteraksi dengan Gery
Chocolatos dalam scene placement-nya terlihat
merepresentasikan strata kelas ekonomi yang

berbeda-beda. Dalam scene I dan scene III Gery
Chocolatos dilekatkan pada figur Habibie dan
keluarga dari figur Habibie yang berasal strata
ekonomi atas, di mana hal tersebut bertolakbelakang
dengan harga jual Gery Chocolatos, Rp 700,00, yang
menunjukannya sebagai produk untuk strata ekonomi
bawah. Sedangkan dalam scene II terlihat bahwa Gery
Chocolatos dijual di sebuah warung yang berada di
area kabupaten atau pedesaan dan dimakan oleh salah
satu dari figur pria dewasa yang berkumpul di warung
tersebut, yang disebut Koentjoroningrat (344) sebagai
wong cilik, yang merupakan representasi dari strata
ekonomi bawah, di mana hal ini tentu sesuai dengan
Gery Chocolatos Rp 700, 00 yang menunjukannya
sebagai produk untuk strata ekonomi bawah.
Reperesentasi dari strata ekonomi yang berbeda-beda
tersebut tentu tidak terlepas dari penggambaran Gery
Chocolatos yang dilekatkan pada figur Habibie dan
keluarga
Habibie,
yang
tujuannya
untuk
meningkatkan minat penonton terhadap produk Gery
Chocolatos sebagaimana mereka menyukai figur
Habibie dan keluarga figur Habibie.
Permasalahan juga terlihat dalam placement Gery
Chocolatos yang berada dalam satu scene dengan
sirup markisa Pohon Pinang. Dengan diminumnya
sirup markisa Pohon Pinang tepat setelah diletakan di
atas meja (hendak mengkomunikasikan kesegaran
dari minuman sirup markisa), dapat membuat figur
Habibie diasumsikan seolah berada dalm kondisi haus
setelah memakan tiga buah wafer stick Gery
Chocolatos. Hal tersebut menunjukan adanya kondisi
clutter dalam mengkomunikasikan positioning dari
Gery Chocolatos.
3. Wardah Kosmetik
Berikut adalah gambaran dari Wardah Kosmetik
dalam iklannya:

Gambar 12. Iklan Wardah Kosmetik
Dalam iklan tersebut dapat terlihat bahwa Wardah
Kosmetik dikomunikasikan sebagai kosmetik
perempuan Indonesia, baik perempuan muslim
ataupun non muslim. Penggambaran figur perempuan
dalam iklan Wardah Kosmetik mewakili pluralitas
dalam perempuan Indonesia, di mana pada gambar
kiri terlihat figur perempuan yang menggunakan
jilbab yang merupakan gambaran dari seorang
perempuan muslim Indonesia dan pada gambar kanan
terlihat figur seorang wanita tak berjilbab yang

7

merupakan gambaran perempuan non muslim
Indonesia. Posisinya sebagai kosmetik yang dapat
digunakan oleh perempuan muslim Indonesia
diperkuat melalui dialog perempuan berjilbab yang
menyebutkan bahwa ia merasa tenang ketika
menggunakan Wardah Kosmetik karena bahannya
yang aman dan halal. Dalam iklannya dapat terlihat
bahwa figur perempuan yang menggunakan Wardah
Kosmetik sebagai riasan wajahnya, menampilkan
ekspresi yang memperlihatkan rasa percaya diri saat
menjalani aktivitas sehari-harinya, yang dalam iklan
digambarkan dalam sesi pemotretan. Figur perempuan
yang ada terlihat mengenakan busana casua, dan
modern seolah menggambarkan bahwa mereka adalah
sosok yang stylish dan fashionable.

muncul ketika ‘Ainun’, yang menggunakan riasan
Wardah Kosmetik saat memberikan pidato persemian
Bank Mata, terlihat lesu, tanpa senyuman, dan
matanya terlihat lebam. Berikut adalah gambarnya:

Sedangkan dalam film “Habibie dan Ainun” Wardah
digambarkan sebagai riasan yang digunakan figur
Ainun ketika menghadiri acara kenegaraan dan
melalui dialog yang ada, dapat diketahui bahwa figur
Ainun adalah sosok orang yang perfeksionis, di mana
orang perfeksionis dapat diartikan bahwa orang
tersebut selalu mengharapkan adanya kesempurnaan
sampai detail terkecil sekalipun. Sehingga dapat
diartikan bahwa penggunaan produk Wardah
Kosmetik oleh figur Ainun dirasa dapat memberikan
kesempurnaan riasan wajah baginya, terutama saat
menghadiri acara kenegaraan di mana ia akan bertemu
dengan orang banyak. Posisi figur Ainun saat
menghadiri acara kenegaraan (memberikan pidato
untuk peresmian Bank Mata) adalah sebagai sosok
Ibu Negara karena statusnya sebagai istri dari
presiden Republik Indonesia figur Habibie. Sebagai
Ibu Negara, ia dianggap sebagai perempuan nomer
satu di Indonesia dan tentunya dapat mewakili
perempuan Indonesia. Sehingga posisi Wardah
Kosmetik sebagai kosmetik untuk perempuan
Indonesia dapat terkomunikasikan melalui sosok
Ainun yang mewakili perempuan Indonesia.
Sedangkan latar belakang figur Ainun sebagai
perempuan muslim, secara tidak langsung berhasil
mengkomunikasikan Wardah Kosmetik sebagai
kosmetik yang halal aman dan dapat digunakan oleh
perempuan muslim Indonesia.

Perbedaan ekspresi dari figur Ainun dan figur
perempuan yang ditampilkan dalam iklan Wardah
Kosmetik,
tentunya
tidak
berhasil
mengkomunikasikan kepercayaan diri dari perempuan
Indonesia yang menggunakan riasan Wardah
Kosmetik dalam menjalankan aktivitas kesehariannya.
Hal ini terkait scene yang sedang menggambarkan
kepada penonton kondisi figur Ainun tiba-tiba tidak
bisa mengeluarkan suara saat berpidato akibat
penyakit paru-parunya (Habibie, 2010). Terlihat
bahwa penempatannya yang dilekatkan pada figur
Ainun yang berada dalam kondisi tidak sehat
membuat
Wardah
Kosmetik
tidak
dapat
mengkomunikasikan rasa percaya diri yang dimiliki
oleh pengguna Wardah Kosmetik saat menjalani
aktivitasnya. Meskipun ada ketidaksesuaian dalam
penggambaran produk Wardah Kosmetik, namun
pelekatan Wardah Kosmetik pada figur Ainun adalah
agar penonton mengasosiasikannya dengan figur
Ainun dan meningkatkan minat penonton terhadap
Wardah Kosmetik sebagaimana penonton menyukai
sosok Ainun ataupun Bunga Citra Lestari.
4. Safe Care Roll On
Berikut adalah gambaran dari Safe Care Roll On
dalam iklannya:

Penelitian menunjukan bahwa adanya ketidaksesuaian
time frame dapat mempengaruhi pengkomunikasian
Wardah Kosmetik, di mana dalam film “Habibie dan
Ainun” terlihat bahwa figur Ainun yang
menggunakan busana formal pada tahun 1990-an,
yaitu berupa blazer longgar, yang untuk masa kini
tentu akan dinilai sebagai busana yang ketinggalan
jaman seolah bukan sosok yang stylish, dan tentunya
hal tersebut berbeda dengan gambaran busana figur
perempuan yang terlihat dalam iklan yang terlihat
stylish dan modern untuk menunjukan penggunanya
sebagai sosok yang memperhatikan penampilannya.
Scene dalam film “Habibie dan Ainun” juga terlihat
menampilkan scene yang kontradiktif dengan karakter
yang dibangun melalui iklannya. Permasalahan

Gambar 13. Figur Ainun menggunakan Wardah
Kosmetik

8

pidato peresmian Bank Mata, yang secara tidak
langsung menampilkan kelebihan dari bentuk
kemasan Safe Care Roll-on yang berukuran kecil
sehingga dapat digunakan di mana saja dan kapan saja
dan penggunaanya di antara keramaian orang yang
telah mendengarkan pidato figur Ainun menunjukan
bahwa ia tidak malu untuk menggunakan minyak
angin di tengah keramaian (berbeda dengan pengguna
minyak angin yang umumnya merasa malu karena
aroma minyak angin yang khas seperti sebuah obat)
karena Safe Care Roll-on yang memiliki
aromateraphy mint yang menyegarkan sehingga
memberikan
rasa
prestige
tersendiri
bagi
penggunanya. Namun aroma kesegaran dari Safe Care
tidak dapat terkomunikasikan dalam placement-nya
karena figur perempuan pengguna Safe Care Roll-on
tidak menampilkan ekspresi kesegaran setelah
menghirup aroma Safe Care, melainkan menjadi
menampilkan ekspresi kebingungan dan tegang pada
situasi sekitar. Berikut gambarnya:
Gambar 14. Iklan dari Safe Care Roll-On
Dalam iklannya terlihat bahwa sosok yang
menggunakan Safe Care Roll-on adalah sosok
perempuan yang berada dalam kondisi lelah atau tidak
segar. Ia terlihat me-roll-on-kan Safe Care Roll-on
pada tubuhnya dan terlihat bahwa ia merasakan
kehangatan dan aromatherapy menyegarkan dari
minyak angin yang terbuat dari bahan alami (daun
mint) tersebut. Setelahnya, ia terlihat segar kembali
dan
melanjutkan
aktivitasnya.
Iklan
juga
menampilkan berbagai keunggulan Safe Care Roll-on
dibandingkan minyak angin biasa, baik dari kemasan
botol berukuran kecil yang mudah dibawa kemanamana, dan bentuk roll-on-nya di mana penggunaanya
tidak perlu mengotori tangan untuk kemudian
diusapkan ke bagian tubuh tertentu. Dialog yang ada
memperdengarkan kalimat “lebih berkelas” yang
merujuk pada bentuk kemasan, cara penggunaan, dan
aroma dari minyak angin yang berbeda dari minyak
angin biasa dan hal tersebut sengaja dikomunikasikan
kepada khalayak agar memiliki prestige yang lebih
saat menggunakan produk Safe Care Roll-on. Hal ini
juga tergambarkan melalui figur perempuan yang
penampilannya terlihat mewakili perempuan dari
strata ekonomi atas (perhiasan, rambut, pakaian),
yang terlihat stylish dan juga elegan. Safe Care Rollon juga dikomunikasikan sebagai minyak angin
aromatherapy roll-on pertama yang muncul di pasar.
Sedangkan dalam film “Habibie dan Ainun” terlihat
bahwa placement Safe Care Roll-on digunakan oleh
perempuan bermata sayu dan terbuka berat seolah
berada dalam kondisi lelah, tidak segar ketika hendak
menghirup produk Safe Care roll-on, yang tentunya
hal ini sesuai dengan figur perempuan yang berada
dalam kondisi lelah dan tidak segar dalam iklan Safe
Care Roll-on. Figur perempuan tersebut menghirup
produk Safe Care Roll-on sembari mendengarkan

Gambar 15. Ekspresi pengguna Safe Care
Ekspresi panik dan ketegangan di wajah figur
perempuan tersebut adalah sebagai bentuk reaksi
untuk
memperkuat
scene
yang
hendak
menggambarkan figur Ainun yang tidak bisa
berbicara ketika memberikan pidato peresmian Bank
Mata karena serangan penyakit paru-parunya
(Habibie, 2010).Sedangkan adanya ketidaksesuaian
time frame dirasa sengaja dimanfaatkan sebagai
sebuah ‘topeng realita’ untuk memperkuat posiisnya
sebagai minyak angin aromatherapy roll-on pertama
yang dijual di pasar.
5. Gerbang Tol Otomatis
Berikut adalah gambaran dari Gerbang Tol Otomatis
dalam iklannya:

Gambar 16. Iklan Gerbang Tol Otomatis (1) & (2)
Melalui kedua gambar tersebut, dapat terlihat bahwa
pengguna Gerbang Tol Otomatis diberikan prioritas

9

yang membebaskan mereka dari antrian panjang
seperti yang terjadi pada gerbang tol biasa karena
mobilitasnya yang tinggi dan membutuhkan
kecepatan dalam berkendara (terhindar dari
kemacetan ataupun jalan tol). Sedangkan sistem
pembayaran transaksi jalan tol dengan cara e-toll
passing dikomunikasikan sebagai cara membayar
jalan tol tanpa berhenti. Berikut gambarnya:

Gambar 17. Iklan dari fasilitas e-toll passing
(GTO)
Melalui placement-nya dalam scene, dapat terlihat
bahwa mobil Mercedes Benz S 600 menggunakan
ruas jalan yang khusus diperuntukan bagi sistem
pembayaran menggunakan e-toll passing, di mana
penggunanya harus memiliki alat berupa On Board
Unit yang dapat diperoleh dengan harga Rp
660.000,00 dan salah satu dari kartu Mandiri Prabayar,
dan mobil Mercedes Benz S 600 yang digunakan
dalam placement Gerbang Tol Otomatis dirasa sesuai
dengan harga dari On Board Unit yang tergolong
mahal (representasi strata ekonomi atas).
Penempatannya dalam scene yang menggambarkan
perjalanan figur Habibie dan Ainun ke IPTN untuk
melihat pesawat N-250 tidak menunjukan adanya
keperluan mendesak yang yang membutuhkan
kecepatan dalam berkendara. Terlebih kondisi ruas
jalan tol yang berada dalam kondisi lancar dan tanpa
antrian, tentu dirasa tidak berhasil dalam
mengkomunikasikan posisi Gerbang Tol Otomatis
yang memberikan prioritas bagi penggunanya agar
terhindar dari antrian gerbang tol. Tentu hal tersebut
terkait dengan setting scene yang menggambarkan
situasi jalan tol pada tahun 1999-2000, di mana
tingkat kepadatan jalan tol belum sepadat saat ini.
Berikut adalah gambarannya:

scene selanjutnya menampilkan bahwa pengguna
mobil Mercedes Benz S 600 terlihat melakukan
transaksi pembayaran dengan sistem e-toll tapping.
Hal ini dikarenakan karena placement Gerbang Tol
Otomatis yang menawarkan e-toll pass dan placement
dari kartu e-toll dan Indomaret yang menggambarkan
pembayaran dengan sistem e-toll tapping (tapping
kartu ke arah alat transmitter sehingga mobil harus
berhenti sejenak) yang berada dalam sebuah scene
yang berkesinambungan sehingga terjadi clutter
dalam upaya mengkomunikasikan positioning dari
sistem e-toll pass, di mana posisi e-toll passing yang
merupakan cara membayar jalan tol tanpa harus
berhenti, tergambarkan dengan sistem e-toll tapping.
6. Kartu e-toll dan Indomaret
Berikut adalah gambaran dari kartu e-toll dalam
iklannya:

Gambar 19. Iklan dari kartu e-toll
Kartu e-toll dikomunikasikan sebagai cara mudah
membayar tol, yang tergambarkan melalui cara
penggunannya yang membuat penggunanya tidak
perlu lagi kesulitan menyediakan uang tunai untuk
membayar tol, baik sistem tapping ataupun passing,
yang dalam iklan ini tergambarkan dengan sistem
tapping (menempelkan kartu e-toll pada alat
transmitter reader kartu e-toll yang telah tersedia).
Kemudahan lain juga terlihat melalui tersedianya
gerbang tol khusus, yaitu Gerbang Tol Otomatis
untuk pengguna kartu Mandiri Prabayar, baik kartu etoll maupun kartu Indomaret, agar penggunanya
terhindar dari antrian gerbang tol biasa. Sedangkan
kartu Indomaret dalam iklannya dikomunikasikan
sebagai kartu multifungsi pertama yang dikeluarkan
Minimarket Indonesia, yang menawarkan kemudahan
dalam melakukan transaksi pembayaran. Berikut
adalah gambar dari iklan kartu Indomaret:

Sumber: http://api lg.kaskus.co.id/thread/view/
50d547590a75b43129000016
Gambar 18. Kondisi jalan tol pada tahun 1990
Gambar 20. Iklan dari kartu Indomaret
Hal tersebut tentu menunjukan bahwa adanya
ketidaksesuaian time frame terbukti menciptakan
distori bagi positioning Gerbang Tol Otomatis.
Kemudian ketidaksesuaian lain juga terlihat ketika
mobil Mercedes Benz S 600 yang menggunakan ruas
jalan khusus untuk pengguna e-toll passing, namun

Placement kartu e-toll dan kartu Indomaret dalam
scene terlihat menunjukan menampilkan sistem
pembayaran jalan tol dengan sistem e-toll tapping,
yang tentu telah mengkomunikasikan kepada
penonton mengenai kemudahan dalam penggunaan

10

kartu e-toll dan kartu Indomaret yang telah
menggantikan keberadaan uang tunai. Sedangkan
posisi kartu Indomaret sebagai sebuah kartu
multifungsi berhasil terkomunikasikan melalui
penggunaannya untuk transaksi pembayaran di jalan
tol, yang menunjukan bahwa kartu Indomaret tidak
hanya dapat digunakan di Indomaret tetapi juga dapat
digunakan di jalan tol.
Penempatannya yang berada dalam scene yang
berkesinambungan dengan placement dari Gerbang
Tol Otomatis telah menciptakan clutter dalam
pengkomunikasian Gerbang Tol Otomatis khusus
untuk sistem e-toll pass. Namun keberadaan dari
Gerbang Tol Otomatis terlihat tidak berpengaruh bagi
placement kartu Indomaret dan kartu e-toll.
Placement Produk Stealth Marketing dalam Film
“Habibie dan Ainun” dan Ideologi di balik
Praktek Product Placement dalam Film “Habibie
dan Ainun”
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, dapat
terlihat bahwa scene dalam film “Habibie dan Ainun”
tampak seolah mengakomodir keberadaan produk
stealth marketing dan menampilkannya sebagai
bagian dari film “Habibie dan Ainun”, walaupun
ironisnya keberadaannya pada scene memiliki
ketidaksesuaian dengan logika time frame, di mana
produk stealth marketing divisualkan dengan time
frame yang berbeda dengan realita logika time frame
di mana produk tersebut ada. Hal ini menunjukan
adanya proses rekonstruksi time frame yang telah
menciptakan situasi anachronis dalam film “Habibie
dan Ainun”, yakni kondisi di mana terdapat
keberadaan objek dalam ruang waktu yang tidak
sesuai
(http://www.answers.com/anachronism).
Terlihat melalui keberadaan sirup markisa Pohon
Pinang, Gery Chocolatos, Wardah kosmetik, Safe
Care Roll-on, Gerbang Tol Otomatis, kartu
Indomaret, dan kartu e-toll dalam scene. Hal ini
seolah menunjukan adanya ketidakmampuan dari
pihak pengiklan dan pihak perfilman dalam
membedakan time frame, di mana keduanya tidak
dapat membedakan konteks masa lalu, masa kini, dan
masa
yang
akan
datang,
dan
kemudian
menempatkannya dalam sebuah ruang yang sama
(Pilian, 2003). Inilah yang menurut Piliang sebagai
perwujudan dari idiom skizofrenia, di mana idiom
tersebut menujukan telah terdekonstruksinya logika
time frame sehingga produk-produk stealth marketing
yang memiliki ketikdaksesuaian time frame tetap
dapat diletakkan dalam film “Habibie dan Ainun”
untuk kemudian dipertontonkan kepada khalayak.
Kondisi inilah yang disebut Piliang sebagai ‘dunia
ketelanjangan’, di mana hilangnya batas mengenai
apa yang benar/salah dan apa yang sesuai/tidak
sesuai, yang tujuannya adalah memperoleh
keuntungan (Piliang, 2003). Begitu pula penempatan
produk stealth marketing dalam film “Habibie dan
Ainun”, yang memiliki ketidaksesuaian time frame,

yang tetap dianggap layak untuk dapat dinarasikan,
ditampilkan, dan dipertontonkan agar produknya
dapat terkomunikasikan penonton.
Sedangkan praktek product placement dalam film
“Habibie dan Ainun” yang dilakukan oleh pengiklan
untuk mengkomunikasikan positioning produk kepada
penonton melalui penggambarannya dalam scene,
menunjukan bahwa positioning produk tidak dapat
terkomunikasikan dengan leluasa dikarenakan
penempatannya yang harus menyesuaikan dengan
scene. Bagaikan terlihat adanya perebutan ruang
dalam film, di mana product placement hendak
mengkomunikasikan positioning produk melalui
penggambarannya dalam scene, namun visualisasinya
seolah dipaksa harus menyesuaikan dengan scene
sehingga
positioning
produk
tidak
dapat
terkomunikasikan secara tepat. Kekacauan dalam
mengkomunikasikan positioning produk juga terjadi
dalam placement produk yang berada dalam sebuah
scene ataupun dalam scene yang berkesinambungan,
yang terbukti menciptakan kondisi clutter, yakni
kekacauan dalam pengkomunikasian positioning dari
produk terkait. Hal ini dapat terlihat dalam placement
Gery Chocolatos dan sirup markisa Pohon Pinang
yang berada dalam sebuah scene dan placement dari
fasilitas e-toll passing Gerbang Tol Otomatis yang
berada dalam scene yang memiliki kesinambungan
dengan scene placement dari kartu e-toll dan kartu
Indomaret, yang terbukti menciptakan kondisi clutter
dalam mengkomunikasikan positoning produk.
Penelitian menunjukan bahwa adanya ketidaksesuaian
time frame terbukti dapat menciptakan distorsi dalam
penyampaian positioning produk kepada penonton,
yang dapat terlihat dalam placement sirup markisa
Pohon Pinang, Wardah Kosmetik, dan Gerbang Tol
Otomatis. Adanya ketidaksesuaian time frame juga
terbukti dimanfaatkan oleh beberapa produk sebagai
‘topeng realitas’ guna memperkuat positioning dari
produk tersebut, yang dapat terlihat melalui placement
Safe Care Roll-On dan kartu Indomaret.
Beberapa produk stealth marketing terlihat
memanfaatkan bentuk endorsement untuk dapat
memperoleh unsur pesona dalam pengkomunikasian
produk (terkait kecintaan penonton terhadap figur
Habibie dan Ainun, serta film “Habibie dan Ainun”)
kepada penonton, yang tujuannya adalah agar tercipta
efek segera dalam membangkitkan hasrat atau minat
penonton terhadap produk (Ibrahim, 1997). Namun
analisis menunjukan bahwa endorsement oleh sirup
markisa Pohon Pinang, Gery Chocolatos, dan Wardah
Kosmetik, terbukti bahwa representasinya bertolak
belakang dengan positioning produk.
Keunikan yang lain terlihat melalui placement Gery
Chocolatos di mana penggambaran dalam setiap
scene-nya nampak berbeda-beda. Tidak adanya
konsistensi dalam mengkomunikasikan identitas

11

positioning Gery Chocolatos, tentu dapat berakibat
pada ‘kesimpang siuran’ terhadap citra produk atau
positioning dari Gery Chocolatos (Piliang, 2001), di
mana pengiklan terlihat seolah lebih mengutamakan
unsur pesona dalam mengkomunikasikan produknya,
meskipun representasinya bertolak belakang dengan
positioning produk. Hal inilah yang berpotensi
menciptakan pengaburan bagi positioning Gery
Chocolatos.

Kesimpulan
Film sebagai media hiburan bertransformasi menjadi
media beriklan ketika stealth marketing diterapkan ke
dalamnya. Terdapat upaya-upaya komersial oleh
pengiklan
yang
hendak
mengkomunikasikan
positioning produknya melalui penempatan dalam
scene film “Habibie dan Ainun”. Namun penerapan
strategi stealth marketing yang mengabaikan logika
time frame, menjadikan adanya ketidaksesuaian time
frame antara produk dan scene penempatannya. Inilah
yang diasumsikan peneliti sebagai wujud visualisasi
idiom skizofrenia yang mendekonstruksi logika time
frame sehingga produk-produk stealth marketing
dapat melebur dalam scene meskipun keduanya
memiliki konteks time frame yang berbeda
(rekonstruksi time frame) dan menciptakan fenomena
anachornis dalam film “Habibie dan Ainun”.
Analisis menunjukan adanya keterbatasan produk
dalam
memberikan
gambaran
untuk
merepresentasikan positioning produk sehingga
positioning produk tidak dapat terkomunikasikan
secara tepat, dan adanya ketidaksesuaian time frame
terbukti memiliki dampak dengan terdistorsinya
positioning dari produk terkait, di mana hal ini
sekaligus dimanfaatkan beberapa produk steatlh
marketing sebagai sebuah ‘topeng realitas’ untuk
memperkuat positioning-nya. Beberapa produk stealth
marketing yang lain memilih untuk memanfaatkan
endorsement dalam mengkomunikasikan produknya
untuk
mendapatkan
unsur
pesona
dalam
mengkomunikasikan produknya (Ibrahim, 1997),
meskipun representasinya bertolak belakang dengan
positioning dari produk itu sendiri. Keberadaan
produk
stealth
marketing
yang
memiliki
ketidaksesuaian time frame dalam penempatannya,
dengan teknik pengambilan gambar dan pengaturan
komposisi penempatan produk yang terlihat
menonjolkan keberadaan produk stealth marketing
dalam sebuah scene, tentu dapat mempengaruhi
penilaian
penonton
terhadap
‘realita’
yang
ditampilkan
dan
membuat penonton
mulai
mempertanyakan kredibilitas dari makna-makna yang
direpresentasikan dalam film “Habibie dan Ainun”.

Daftar Pustaka
Ibrahim, Subandy. (1997). Lifestyle Ectasy:
Kebudayaan Pop Dalam Masyarakat Komoditas
Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra.
Piliang, Yasraf Amir. “Posmodernisme dan Ekstasi
Komunikasi.” MediaTor 2.2 (2001): 165-176.
Piliang, Yasraf Amir. (2003). Hipersemiotika, Tafsir
Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta:
Jalasutra.
Habibie, Bacharudin J., (2010). Habibie dan Ainun.
Jakarta: PT. THC Mandiri.
Day, Louis. (2003). Ethics in Media Communication:
Cases and Controversies. Ohio: Wadsworth.
Hackley, C., & Tiwsakul, R. (2006), “Entertainment
Marketing and Experiential Consumption.” Journal of
Marketing Communications 12(1), 63–75.
Hirschman, E.C. (1997). “Why Media Matter-Toward
a Richer Understanding of Consumers Relationships
With Advertising and Mass Media” Journal of
Advertising, 26(1), 43-60.
Karrh, J. A. (1998). “Brand placement: A review.”
Journal of Current Issues and Research in
Advertising, 20(2). 31-49.