NASKAH PUBLIKASI Hubungan religiusitas dan empati dengan perilaku altruistik.

NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN RELIGIUSITAS DAN EMPATI
DENGAN PERILAKU ALTRUISTIK

Oleh:
ROUDLOTUN NI’MAH
NIM: S 300 110 015

PROGRAM STUDI MAGISTER SAINS PSIKOLOGI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVESRITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2014

i

ii

Relationship Religiosity and Empathy
with Altruistik Behavior
Roudlotun Ni’mah

Nim: S 300 110 015
Program Studi Magister Sains Psikologi Program Pascasarjana
Univesritas Muhammadiyah Surakarta

Abstract. This study aims to determine the relathionship between religiosity and
empathy with altruistic behavior. Subjects were students in Al-asy’ari boarding school
totaling 90 students for male sex - men between the ages of 12 to 25 years. Measuring
instruments used are altruistic behavior scale, the scale of empathy and religiosity scale. The
data capture techniques using proportionate stratified random sampling. Methods of data
analysis using multiple regression analysis with SPSS for Windows 16.0 program. the results
showed significant relationship between religiosity and empathy with altruistic behavior.
Also there is a significant positive relationship between religiosity with altruistic behavior,
and there is a significant positive relationship between empathy and altruistic behavior.
Effective contribution of religiosity and empathy to altruistic behavior for 49,2 % indicated
by the coefficient of determinant (R²) 49,2. This means there is 50, 8% of other variables that
affect students’ altruistic behavior.
Keywords: religiosity, empathy, altruistic behavior

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara religiusitas dan
empati dengan perilaku altruistik. Subjeknya adalah santri pondok pesantren Al-asy’ari yang

berjumlah 90 santri, yang berjenis kelamin laki – laki dengan usia antara 12 sampai 25 tahun.
Alat ukur yang digunakan adalah skala perilaku altruistik, skala empati dan skala religiusitas.
Adapun teknik pengambilan data dengan menggunakan Proportionate stratified random
sampling. Metode analisis data menggunakan analisis regresi berganda dengan progam SPSS
for windows 16.0. Hasil analisis menunjukkan ada hubungan yang positif dan sangat
signifikan antara religiusitas dan empati dengan perilaku altruistik, ada hubungan positif yang
signifikan antara religiusitas dengan perilaku altruistik dan ada hubungan positif yang
signifikan antara empati dengan perilaku altruistik. Sumbangan efektif variabel religiusitas
dan empati terhadap perilaku altruistik santri di pondok pesantren Al-asy’ari sebesar 49,2%,
berarti masih ada 50,8% variabel lain yang berpengaruh terhadap perilaku altruistik santri di
pondok pesantren.
Kata kunci : religiusitas, empati , perilaku altruistik

iii

mandiri. 5). Jiwa tolong menolong dan
suasana persaudaraan sangat mewarnai
pergaulan di pondok pesantren. 6).
Kehidupan disiplin sangat ditekankan. 7).
Berani menderita untuk mencapai suatu

tujuan adalah salah satu pendidikan yang
diperoleh santri di pesantren. 8). Kehidupan
agama yang baik dapat diperoleh santri di
pesantren.

Pendahuluan
Kemajuan zaman yang terjadi saat
ini, semula dipandang akan memudahkan
pekerjaan
manusia,
kenyataannya
menimbulkan keresahan dan ketakutan,
kesepian dan keterasingan baru, yang
ditandai dengan lunturnya rasa solidaritas,
kebersamaan, silaturrahim dan krisis moral
juga menjadi bagian yang menambah deret
persoalan yang dihadapi bangsa ini. Seperti:
kasus tawuran antar pelajar; mahalnya biaya
masuk sekolah; sampai tentang tragedi
contek massal yang mewarnai momen ujian

nasional, dan lain-lain.

Lingkungan
pesantren
secara
keseluruhan adalah lingkungan yang
dirancang untuk kepentingan pendidikan.
Sehingga segala yang didengar, dilihat,
dirasakan, dikerjakan dan dialami para santri,
atau
seluruh
penghuni
pesantren
terkondisikan untuk kepentingan pencapaian
tujuan pendidikan. Demikian pula yang
terjadi di pondok pesantren Al-Asy’ari
Ceweng Dander Bojonegoro.

Menurut Azra (2002, dalam Afiatin,
2012) pendidikan nasional telah gagal dalam

membentuk peserta didik yang memiliki
akhlak, moral, dan budi pekerti. Beberapa
yang diduga turut menjadi akar krisis
mentalitas dan moral di lingkungan
pendidikan nasional, diantaranya : lembaga
pendidikan kurang menfasilitasi peserta
didik dalam melatih diri untuk berbuat
sesuatu berdasarkan nilai – nilai moral,
proses pendewasaan diri tidak berlangsung
baik di lingkungan pendidikan, proses
pendidikan sangat membelenggu peserta
didik dan guru/ dosen, beban kurikulum
terlalu berat dan hampir sepenuhnya
diorientasikan pada pengembangan ranah
kognitif belaka.

Dalam membina akhlak santri
terdapat
kemudahan
karena

dapat
berinteraksi dengan santri secara langsung
selama 24 jam, namun kehidupan di
pesantren
sebenarnya
juga
banyak
mengalami problematika, hal ini terbukti
dari hasil jawaban kuesioner peneliti yang
diberikan pada 20 santri, juga hasil
wawancara peneliti pada beberapa santri
yang
dilakukan
peneliti
sebelum
mengadakan
penelitian.
Dengan
menggunakan kuesioner dan wawancara
peneliti menemukan beberapa masalah,

sebagai berikut: 1) Sebagian santri kurang
peduli terhadap keadaan teman yang kurang
dikenalnya, 2) Sebagian santri akan
memberikan pertolongan apabila ada syarat
tertentu, 3) Sebagian santri sering melakukan
perbuatan yang merugikan orang lain,
seperti: mencuri dan mengambil tanpa seijin
yang memiliki 4) Sebagian santri kurang
peduli dengan lingkungan sekitar. Problemproblem di atas bersebrangan dengan

Salah satu lembaga pendidikan yang
menfasilitafi peserta didik dalam melatih diri
adalah pondok pesantren. Menurut Mukti Ali
(Ismail,2002) mengidentifikasi beberapa
kerakteristik yang menjadi ciri khas pondok
pesantren, sebagai betikut: 1) adanya
hubungan yang akrab antara santri dan kiai,
hal ini karena mereka tinggal di dalam
pondok. 2) tunduknya santri pada kiai. 3).
Hidup hemat dan sederhana. 4). Berjiwa

4

adalah suatu tindakan yang lebih mengarah
pada kualitas penghayatan dan sikap hidup
seseorang berdasarkan nilai – nilai
keagamaan yang diyakini.
Selain religiusitas, empati juga sangat
mempengaruhi
perialku
altruistik.
Sebagaimana penelitian Batson (2008)
menyatakan bahwa dengan empati dapat
mendorong seseorang untuk melakukan
perilaku altruistik. Mengamati seseorang
yang
membutuhkan
bantuan
dapat
membangkitkan rasa kepedulian /empatik
untuk orang lain, kemudian termotivasi

untuk membantu.
Menurut Eklund (2006), empati adalah
respon afektif dengan menempatkan posisi
diri sendiri terhadap orang lain, melalui
penangkapan atau pemahaman dengan
melibatkan kondisi emosionalnya sehingga
mampu merasakan yang orang rasakan dan
apa yang diharapkan orang lain, orientasinya
untuk merespon orang lain dengan
melibatkan emosional dirinya sebagaimana
yang dirasakan orang lain.
Penelitian tentang perilaku altruistik
(altruism) pernah dilakukan oleh Arif (2010).
Kesimpulan pada penelitian ini adalah ada
hubungan positif antara kecerdasan emosi
dengan itensitas altruisme pada siswa SMA,
semakin tinggi kecerdasan emosi siswa maka
itensitas altruism siswa semakin tinggi,
demikian sebaliknya.


karakteristik pesantren yang mengedepankan
solidaritas, kegotong royongan, kebersamaan
dan sikap saling tolong menolong secara
ikhlas, yang dikenal dengan perilaku
Altruistik.
Perilaku
altruistik
didefinisikan
sebagai suatu tindakan yang memiliki
konsekuensi
memberikan
beberapa
keuntungan atau meningkatkan kesejahteraan
orang lain (Dovidio dkk, 2006). Menurut
Myers (2012) Altruisme didefinisikan
sebagai hasrat untuk menolong orang lain
tanpa memikirkan kepentingan sendiri.
Menurut Batson (2008) perilaku altruistik
yaitu perilaku yang dimotivasi untuk
meningkatkan kesejahteraan orang lain yang

tidak memetingkan diri sendiri (selfless) dan
bukan hanya memetingkan diri sendiri
(selfish).
Adapun
faktor-faktor
yang
mempengaruhi altruistik Menurut Myers
(2012)
adalah:
(1)
Faktor
yang
mempertimbangkan
pengaruh-pengaruh
internal terhadap keputusan untuk menolong,
hal ini juga termasuk menggambarkan situasi
suasana hati, pencapaian reward, empati,
mood seseorang. (2) Faktor eksternal seperti
jenis kelamin, kesamaan karakteristik,
kedekatan hubungan, dan daya tarik antar
penolong dan yang ditolong, jumlah
pengamatan lain, tekanan waktu, kondisi
lingkungan dan antribusi. (3) Faktor personal
yaitu
mempertimbangkan
sifat
dari
penolong, hal ini mencakup sifat – sifat
kepribadian, gender dan religiusitas subyek
(kepercayaan religius).

Penelitian lain tentang perilaku
altruistik dengan religiusitas dilakukan Shah
& Ali (2012), dengan judul: Altruism and
Belief in just world in young adults:
Relationship with Religiosity, penelitian ini
bertujuan untuk meexplorasikan antara
altruism dan kepercayaan pada dunia dengan
religiusitas pada orang dewasa, dan
dihasilkan bahwa religiusitas yang tinggi
berhubungan positif dengan BJW yang tinggi
dan altruism yang tinggi juga.

Menurut Malhotra (2010), religuisitas
pengaruh utama melakukan perilaku
altruistik, karena orang yang religius
berkarakteristik lebih stabil, sehingga
spontanitas untuk beramal lebih tinggi.
Religiusitas menurut Komarudin (2008)
5

pondok pesantren Al-asy’ari dari tingkat dua,
tiga dan empat. Data analisis menggunakan
analisis regresi berganda dengan bantuan
progam SPSS for Windows 16,0.

Berdasarkan kajian teoritis diatas,
hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini
adalah: Ada hubungan dan kontribusi secara
bersama – sama antara religiusitas dan
empati dengan perilaku altruistik. 2). Ada
hubungan antara religiusitas dan perialku
altruistik. 3) Ada hubungan antara empati
dengan perilaku altruistik.

Hasil
Hasil analisis data menunjukkan hal –
hal sebagai berikut: Ada hubungan positif
yang sangat signifikan antara religiusitas dan
empati dengan perilaku altruistik, dengan
nilai koefisien korelasi R = 0,701; F regresi =
38,742, p = 0,000 (p< 0,05). Ada hubungan
positif yang sangat signifikan antara
religiusitas dan perilaku altruistik santri,
dengan nilai koefisien korelasi (r xly) sebesar
0,525 dengan p = 0,000 (p< 0,01). Ada
hubungan positif yang sangat signifikan
antara empati dengan perilaku altruistik
santri di pesantren, dengan koefisien korelasi
(r xly) sebesar 0,664 dengan p = 0,000 (p <
0,01). Berarti ketiga hipotesis bisa diterima.
Berdasarkan perhitungan tabel analisis
koefisien determinasi di dapat nilai R2 =
0.492 (49,2%), berarti religiusitas dan empati
memberikan kontribusi sebesar 49.2%
terhadap perilaku altruistik. Berdasarkan
hasil analisis diketahui perilaku altruistik
mempunyai nilai rerata empirik sebesar
92,52 lebih besar dari rerata hipotik 60, yang
berarti tingkat altruistik subjek penelitian
berada pada kategori sangat tinggi. Empati
memiliki rerata empirik 79,96 lebih besar
dari rerata hipotetik 57,5 yang berarti tingkat
empati pada subjek penelitian berada pada
kategori sangat tinggi. Religiusitas memiliki
rerata empirik 114,06 lebih besar dari rerata
hepotetik 72,5 yang berarti tingkat
religiusitas pada subjek penelitian berada
pada kategori sangat tinggi.

Metode
Dalam penelitian ini perilaku
altruistik merupakan variabel tergantung dan
diukur dengan skala perilaku alitruistik
berdasarkan komponen yang dikemukakan
Einserberg dan Mussen (Dayakisni &
Hudaniah, 2003) Skala terdiri dari beberapa
komponen, meliputi: 1) Generosity, 2)
Cooperative, 3) Honesty dan 4) Helping.
Skala ini telah terbukti memiliki validitas
dan reliabilitas yang handal ( dengan r
bergerak dari 0,333 sampai 0,625 dan nilai
Alpha Cronbach 0,862). Variabel bebas
dalam penelitian ini adalah empati dan
religiusitas. Empati diungkap dengan
menggunakan skala empati berdasarkan
aspek – aspek yang dikemukakan Ambrosio
(2009) yang diambil dari teori Davis (1980)
pada the Interpersonal Reactivity Index
(IRI). Skala ini telah terbukti memiliki
validitas dan reliabilitas yang handal (
dengan r bergerak dari 0,311 sampai 0,616
dan nilai Alpha Cronbach 0,764).
Religiusitas dalam penelitian ini diungkap
dengan menggunakan skala religiusitas yang
berdasarkan teori dikemukakan oleh Glock
dan Strak (Holdcroft, 2006). Skala ini telah
terbukti memiliki validitas dan reliabilitas
yang handal ( dengan r bergerak dari 0,330
sampai 0,762 dan nilai Alpha Cronbach
0,915).
Metode sampling yang digunakan
penelitian ini adalah proportionate stratified
random sampling, yang diikuti 90 santri

Bahasan

6

Hasil penelitian menunjukkan ada
hubungan yang sangat signifikan antara
religiusitas dengan perilaku altruistik,
semakin tinggi nilai religiusitas yang dimiliki
santri maka semakin tinggi pula nilai
perilaku altruistik santri. Temuan ini
didukung oleh pendapat Batson (Zhao, 2011)
yang menyatakan bahwa orang yang religius
lebih terpengaruh untuk beramal atau
berperilaku altruistik. Menurut Shah & Ali
(2012), sebagian besar agama misalnya:
Hindu, Budha dan Islam mendorong adanya
perilaku altruistik. Agama dapat membawa
seseorang untuk berperilaku tanpa pamrih,
berbelas kasih dan bermurah hati, maka
melalui agama dapat menumbuhkan perilaku
altruistik. Penelitian yang sama, dilakukan
oleh Malhotra (2010), religuisitas pengaruh
utama melakukan perilaku altruistik, karena
orang yang religius berkarakteristik lebih
stabil, sehingga spontanitas untuk beramal
lebih tinggi.
Menurut Oliner (2008) salah satu
faktor yang mempengaruhi seseorang
berperilaku altruistik adalah adanya agama.
karena agama mengajarkan cinta sesama dan
saling memaafkan. Menurut Denelle dkk
(2005), religiusitas meningkatkan perilaku
altruistik dan empati karena orang yang
religius cenderung tidak agresif, hal ini
merupakan kontribusi melakukan perilaku
altruistik.

pendapat Batson (2008) menyatakan bahwa
dengan empati dapat mendorong seseorang
untuk melakukan perilaku altruistik.
Kepedulian empatik dikaitkan dengan afektif
seseorang yang menderita (bukan pada diri
sendiri), dan karena itu mempromosikan
motivasi yang benar-benar tanpa pamrih
untuk memberikan bantuan atau berperilaku
altruistik. (Maner & Gailliot,2006). Pada
Penelitian
McMohan
dkk
(2005)
menganggap empati sebagai prediktor
perilaku pro-sosial, kemampuan untuk
memahami perspektif orang lain penting
dalam pengembangan dan ekspresi perilaku
pro-sosial.
Hipotesis empati-altruisme oleh
Batson (Bierhoff & Rohmann, 2004) adalah
kepedulian empatik benar-benar motivasi
altruistik. Terutama apabila penolong dalam
kondisi mudah baik atau personal distress,
karena munculnya kepribadian altruistik
yaitu tanggung jawab sosial, tanggung jawab
penolakan, dan empati disposisional
(Bierhoff & Rohmann, 2004).
Banyak
temuan
penelitian
menunjukkan bahwa suasana hati yang baik
dan kebahagiaan dapat memfasilitasi
altruisme. Hipotesis ini adalah bahwa adanya
simpati atau empati bagi yang membutuhkan
adalah Motif untuk kegiatan altruistik
(Habito & Inaba ,2006). Menurut Warneken
& Tomallo (2009), perilaku altruistik
merupakan
perilaku
yang
alamiah,
berhubungan dengan rasa sosial seseorang
yang mampu menciptakan menumbuhkan
jiwa yang altruistik. Menurut Kakavolis
(Leontopoulou, 2010), ciri dari perilaku
altruistik adalah adanya berbagi, membantu,
bekerja sama dan memberikan hiburan .
Menurut teori de Waal bahwa dengan
melihat emosi orang lain secara otomatis
dengan tanpa sadar akan mengaktifkan

Hasil analisis data empati dan
perilaku altruistik menunjukkan koefisien
korelasi (r xly) sebesar 0,664 dengan p =
0,000 (p < 0,01) berarti ada hubungan yang
signifikan antara empati dengan perilaku
altruistik pada santri. Semakin tinggi empati
santri terhadap yang lainnya maka akan
semakin tinggi perilaku altruistik santri dan
sebaliknya semakin rendah empati santri,
akan semakin rendah perilaku altruistik
santri. Temuan ini juga didukung oleh
7

lebih populer diantara teman – temanya dan
menyadari untuk saling membutuhkan.
Adapun menurut menurut Leeds
(Taufik, 2012) menjelaskan kreteria dari
perilaku altruism, antara lain: Beorentasi
untuk memberikan kebaikan terhadap orang
lain atau kesejahteraan yang lainnya.
Pertolongan yang diberikan berproses dari
dari rasa empati dan simpati, kemudian
termotivasi untuk membeikan pertolongan.
Dan hasil akhir dari tindakanya bukan untuk
kepentingan sendiri atau tidak adanya
maksud – maksud lain yang bertujuan hanya
untuk kepentingan si penolong.
Hasil penelitian yang menunjukkan
sumbangan efektif variabel religiusitas dan
empati terhadap perilaku altruistik santri di
pondok pesantren adalah 49.2% yang
ditunjukan oleh koefisien determinasi (R2) =
0,492. Hal ini berarti terdapat 50,8% variabel
lain yang mempengaruhi perilaku altruistik
santri di pondok pesantren, seperti faktor
desakan waktu, daya tarik, bystander,
kemampuan yang dimiliki, adanya model,
suasana hati, jenis kelamin, pola asuh,
kepribadian, gender dan lain - lain.
Sumbangan efektif variabel empati
terhadap perilaku altruistik sebesar 0.440,
maka pengaruh empati terhadap perilaku
altruistik sebesar 44%. Sumbangan efektif
religiusitas terhadap perilaku altruistik
sebesar 0.276, maka pengaruh religiusitas
terhadap perilaku altruistik sebesar 27,6%.
Maka dapat disimpulkan bahwa empati dapat
memberikan kontribusi lebih besar daripada
religiusitas, dan empati memiliki pengaruh
variabel lebih kuat daripada religiusitas.
Temuan ini didukung oleh penelitian Eklund
(2006) bahwa empati dan prespektif taking
targetnya adalah melibatkan kepedulian
terhadap orang lain dan mensejahterakan
orang lain (perilaku altruistik), karena dalam
empati
terdapat
keprihatinan
yang
mendalam. Feshbach (Albiero dkk, 2009),

asosiasi pribadi seseorang, sehingga akan
mampu untuk bereaksi terhadap pengalaman
orang lain (Preston & de Waal 2002).
Berdasarkan hasil analisis diketahuai
variabel religiusitas memiliki rerata empirik
114,06 lebih besar dari rerata hepotetik 72,5
yang berarti tingkat religiusitas pada subjek
penelitian berada pada kategori sangat tinggi.
Hal ini menunjukkan sebagian yang besar
subjek telah memiliki tingkat religiusitas
yang baik, adanya pembelajaran diniyah dan
pembiasaan – pembiasaan spiritual dapat
membantu pada kuwalitas religi santri, santri
yang memiliki religi yang tinggi akan sangat
menyadari untuk menjalankan kehidupan di
pesantren dengan ikhlas, tentram dan
nyaman.
Empati memiliki rerata empirik 79,96
lebih besar dari rerata hipotetik 57,5 yang
berarti tingkat empati pada subjek penelitian
berada pada kategori sangat tinggi. Hal ini
menunjukkan sebagian besar santri telah
memiliki nilai empati yang baik. Santri
sudah terbiasa untuk membantu teman yang
mengalmi
kesulitan, terjalin kerjasama
antara santri dan saling menghargai antara
satu dengan yang lainnya.
Perilaku altruistik memiliki rerata
empirik 92.52 lebih besar dari rerata hipotik
60, yang berarti tingkat altruistik subjek
penelitian berada pada kategori sangat tinggi.
Hal ini menunjukkan sebagian besar santri
telah memiliki perilaku altruistik yang baik.
Santri sudah terbiasa untuk memberikan
pertolongan,
berperilaku
kejujuran,
memberikan sumbangan dan membantu
teman baik yang mengalami kesulitan
maupun tidak.
Mc.Guire & Neisz
(Leontopoulou,2010),
menambahkan
karakteristik perilaku altruistik antara lain:
akan lebih suka memberi pertolongan, lebih
murah hati, mudah bersosialisasi, mampu
berinteraksi dengan berbagai karakter orang,

8

menganggap empati menjadi penentu
penting transaksi sosial, empati juga
tampaknya memainkan peran kunci dalam
pengembangan pemahaman sosial dan
perilaku sosial yang positif. Pada Penelitian
McMohan dkk (2005) menganggap empati
sebagai prediktor perilaku pro-sosial,
kemampuan untuk memahami perspektif
orang lain penting dalam pengembangan dan
ekspresi
perilaku
pro-sosial.
Dalam
penelitian Batson (2008) menyatakan bahwa
dengan empati dapat mendorong seseorang
untuk melakukan perilaku altruistik.

religius cenderung tidak agresif, hal ini
merupakan kontribusi melakukan perilaku
altruistik.

Simpulan dan saran
Hasil penelitian menunjukkan Ada
hubungan positif yang sangat signifikan
antara religiusitas dan empati dengan
perilaku altruistik. Ada hubungan positif
yang sangat signifikan antara religiusitas dan
perilaku altruistik santri. sehingga semakin
tinggi religiusitas santri maka semakin tinggi
perilaku altruistik santri di pesantren dan
sebaliknya semakin rendah nilai religuisitas
maka semakin rendah nilai perilaku altruistik
santri di pondok pesantren. Ada hubungan
positif yang sangat signifikan antara empati
dengan perilaku altruistik santri di pesantren.
Sehingga semakin tinggi empati santri
semakin tinggi nilai perilaku altruistik dan
sebaliknya semakin rendah empati santri,
semakin rendah perilaku altruistik santri.
Hasil kategorisasi menunjukkan bahwa
tingkat religiusitas, empati dan perilaku
altruistik subjek tergolong pada kategori
tinggi.
Religiusitas dan empati memberikan
kontribusi sebesar 49.2% terhadap perilaku
altruistik. Hal ini berarti terdapat 50.8%
variabel lain yang mempengaruhi perilaku
altruistik santri di pondok pesantren.
Sumbangan efektif variabel empati terhadap
perilaku altruistik sebesar 0.440, maka
pengaruh empati terhadap perilaku altruistik
sebesar 44%. Sumbangan efektif religiusitas
terhadap perilaku altruistik sebesar 0.276,
maka pengaruh religiusitas terhadap perilaku
altruistik sebesar 27,6%. Maka dapat
disimpulkan
bahwa
empati
dapat
memberikan kontribusi lebih besar daripada
religiusitas, dan empati memiliki pengaruh
variabel lebih kuat daripada religiusitas.

Pernyataan bahwa religiusitas kurang
memberi kontribusi pada perilaku Altruistik,
kurang sejalan dengan hasil penelitian
Batson (Zhao, 2011) yang menyatakan
bahwa orang yang religius lebih terpengaruh
untuk beramal atau berperilaku altruistik.
Pichan (Zhao, 2011) menambahkan bahwa
semakin seseorang kuat dalam konsep
agamanya maka semakin berperilaku
altruistik.
Menurut Shah & Ali (2012), sebagian
besar agama misalnya: Hindu, Budha dan
Islam mendorong adanya perilaku altruistik.
Agama dapat membawa seseorang untuk
berperilaku tanpa pamrih, berbelas kasih dan
bermurah hati, maka melalui agama dapat
menumbuhkan perilaku altruistik.
Penelitian yang sama, dilakukan oleh
Malhotra (2010), religuisitas pengaruh utama
melakukan perilaku altruistik, karena orang
yang religius berkarakteristik lebih stabil,
sehingga spontanitas untuk beramal lebih
tinggi.
Menurut Oliner (2008) salah satu
faktor yang mempengaruhi seseorang
berperilaku altruistik adalah adanya agama.
karena agama mengajarkan cinta sesama dan
saling memaafkan. Menurut Denelle dkk
(2005), religiusitas meningkatkan perilaku
altruistik dan empati karena orang yang
9

Atas dasar tersebut disarankan Santri
yang menjalani pendidikan di pondok
pesantren (Boarding School) seyogyanya
santri tetap harus dilatih dan ditanamkan
pendidikan karakter, bersosialisasi, tolong
menolong, gotong royongan, bekerja sama
dan berukhuwah islamiyah, sehingga dengan
mudah santri mampu berperilaku untuk
mementingkan orang lain, seperti: memberi
pertolongan pada teman yang sakit,
membantu teman dalam kesusahan, tidak
membeda- bedakan teman dan lain – lain.
Dengan tingginya empati santri maka
perilaku altruistik benar – benar dapat
tertanam, sehingga dapat menumbuh
kembangkan kader bangsa yang mempunyai
jiwa sosial yang tinggi.

kembangkan kecerdasan sosial santri dan
religiusitas santri, yang merupakan bekal
bagi santri semasa di pondok maupun di
masyarakat.
Bagi peneliti selanjutnya yang berminat
melanjutkan penelitian terkait perilaku
altruistik santri di pondok pesantren dapat
memperhatikan variabel yang lain selain
variabel religiusitas dan empati, seperti
faktor norma sosial, kemiripan, gender,
mood, tekanan waktu dan lain – lain. Subjek
akan lebih baik apabila diambil dari sampel
yang lebih besar, membedakan nilai perilaku
altruistik dilihat dari jenis kelamin populasi,
sistem pondok pesantren yaitu modern dan
salafi dan lain – lain. Selain itu peneliti
berharap pada peneliti yang selanjutnya
dapat memberikan sumbangan pemikiran
yang lebih baik sehingga dikemudian hari
dapat dihasilkan suatu penelitian yang lebih
sempurna.

Meskipun
hasil
penelitian
ini
menunjukkan nilai religiusitas yang tinggi,
nilai empati tinggi dan nilai altruistik tinggi,
namun tetap saja harus diperhatikan, karena
akan memberikan pengaruh pada kehidupan
santri. Bagi guru pembimbing dan para
satidz dan para pengurus untuk selalu
memberika suri tauladan dalam menumbuh

Adults:
relationship
with
Religiosity, Journal of Clinical
Psychology, Pakistan, 2, 35 – 46

DAFTAR PUSTAKA
Afiatin, T., (2012). Pendidikan Karakter
Remaja dalam Keluarga, dalam
Faturochman
dkk,
(2012).
Psikologi untuk Kesejahteraan
Masyarakat, (Universitas Gadjah
Pustaka Pelajar , Yogyakarta)

Ancok, J., & Suroso, F.N., (2005).
Psikologi Islami, ( Pustaka Pelajar,
Yogyakarta).
Arif,

Albiero, P., Martricardi, G., Speltri, D., &
Toso, D. (2009). The Assessment
of Empathy in Adolescence: A
contribution to the Italian
validation of the “basic Empathy
Scale”. Journal of Adolescence ,
32: 393-408.

A., (2010). Hubungan antara
Kecerdasan
Emosi
dengan
Intense Altruisme pada Siswa
SMAN I Tahunan Jepara, Skipsi
Thesis, UMS. ( tidak diterbitkan).

Arifin, & Syamsul, S.B., (2008). Psikologi
Agama, (Bandung: Pustaka Setia).
Azwar, Saifuddin., (2012). Penyusunan
Skala Psikologi, Edisi ke- 2,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar).

Ali, Z.A., & Shah, S.S.,(2012), Altruism
and Belief just Word in Young
10

Baron, A.R., Branscombe, R.N., & Byrne,
D.E., (2007), Social Psychology,
University of Kansas.

Ratna Djuwita dkk). Jakarta:
Erlangga.
D’Ambrosio, F., Besche, C., Didon, D., &
Olivier, M., (2009). The Basic
Empathy Scale: A French
Validation of a Measure of
Empathy in Youth. Journal of
Personality
and
Individual
Defferences. 45:160-165.

Barr, J.J., & Alessandro, H.H., (2007).
Adolescent
Empathy
and
Prosocial Behavior in the
Multidimentional Context of
School Culture, The Journal of
Genetic School. Vol 168. 231250

Davis,

Batson, C.D., & Ahmad, Y.N., (2009).
Using Empathy to Improve
Intergroup
Attitudes
and
Relations, The Psychology Study
of Social Issues, Vol.3, 141-177.
Batson,C.D., (2008). Empathy-Induced
Altruistic Motivation, Journal of
Department
of
Psychology,
University of Kansas, 1-30.

H.M., A Multidimensional
Approach
to
Individual
Differences in Empathy, The
University of Texas at Austin
JSAS Catalog of Selected
Documents in Psychology, 1980,
10, p. 85.

Dayakisni, T., & Hudaniah. 2003.
Psikologi Sosial. Malang: UMM Press.
Dernelle, R., Verschueren, M., Trompette,
L., Pichon, I., & Saroglou, V.,
(2005). Prosocial Behavior and
Religion: New Evidence Based
on Projective Measures and Peer
Rating. Journal of Scientific
Study of Religion, 44, 323 – 348.

Baumeister, R. F., & Bushman, B. J.,
(2008). Social Psychology and
Human Nature. San Francisco,
CA: Wadsworth.
Besel, D.L., & Yuille, J.C., (2010).
Individual
Differences
in
Empathy: The role of Facial
Expression Recognitio, Journal
of personality and Individual
Differences, 49:107-112.

Dewi, P., (2012). Kontribusi Motivasi
Berprestasi dan Dukungan Sosial
terhadap Kecemasan menghadapi
Tes pada siswa SMPN III Simo
Boyolali, Thesis thesis, UMS.

Bierhoff, W.H., & Rohman, E., (2004).
Alturistic Personality in the
Context of the Empathy-Alturism
Hypothesis.Ruhruniversity
Bochum. Germany, European
Journal Personality. Vol.18, 351356

Dovidio, J.E.,Panner, A.L., Piliavin, A.J.,
& Scroeder, A.D., (2004),
Prosocial Behavior: Multivel
Prespectives,
Annu.Rev.Psychol.56: 14.1-14.28
Elizabeth, S., (2011). Stress & Altruism.
Diakses
dari
http/www.strees.about.com/od
/…/altruism.htm

Byrne, B., & Baron, A. R., (2003),
Psikologi Sosial. (alih bahasa :

11

Enklund, H.J., (2006). Empathy and
Viewing the Other of Subject,
Scandinavian
Journal
of
Psychology, 47, 399-409.

Jahoda, G., (2005). Theodor Lipps and
The Shift from “Sympathy” to
Empathy”. Journal of
the
History of Behavioral Sciences,
Vol.41(2), 151- 163.

Finn, E.S., (2008). The Many Faces of
Empathy in Experiential, PersonCentered,
Collaborative
Assessment.
Journal
of
Personality Assessment. Texas,
91:20-23.

Jalaluddin, R., (2005). Psikologi agama :
Sebuah Pengantar, Mizan, Bandung
Kurniawan,
S.,(2012).
Pentingnya
Pendidikan Karakter, Catatan
harian syamsul, diakses dari
http/www/catatansyamsul.com

Gailliot, T.M., & Maner, K.J., (2007).
Altruism and Egoism: Prosocial
Motivations for Helping depend
on
Relationship
Context,
European Journal of Social
Psychology, 37:347-358.

Knafo, A., Waxler, Z. C., Davido, M.,
Hulle, V. C., Robinson J.l., &
Rhee, S.H., : Empathy in Early
Childhood
:
Genetic,
Enviromental, and affective,
(2009). vol. 103 – 104

Goleman,
D.,
(2003).
Emosional
Intelligennce,
Edisi-13
(Terjemahan oleh T. Hermaya),
Jakarta:
Glamedia
Pustaka
Utama.

Koesoema, D., (2009). Pendidikan
Karakter di Zaman Keblinger:
Mengembangkan
Visi
Guru
sebagai Pelaku Perubahan&
pendidikan karakter, Grasindo:
Jakarta.

Habito, R.L.F., & Inaba, K., (2008). The
Practice of Altruism Caring and
Religion in Global Perspetive.
New York: Cambridge Scholar
Publishing.

Kohler,

Hapsari, M.M., (2011). Altruisme pada
Relawan Mahasiswa, Skipsi
Thesis, UMS, (tidak diterbitkan)

B.D.,
(2004).
Empathy,
Compassion and Cruelty, and
How They Connect, Presentation
at Einstein Forum.

Hidayat, K., (2008). Psikologi Beragama,
(Hikmah : Jakarta)

Holdcroff, B., (2006). What is Religiosity,
the university of Tolido Louders
College, Catholic education: A
Journal of Inquiry an Practice,
Vol 10, no. 1, 89-103

Laren,

M.L., (2012). The Art of
Empathy, diakses
dari
http/www/karlamclaren.com/sixessential-aspects-of-empathy.

Laventhal, H. D., (2009). Altruism and
Volunteeris: The Perception of
Altruism in four Disciplines and
Their Impacton the Study of
Volunteerism, Journal for the

Ismail., Huda, N., & Kholiq, A., Dinamika
Pesantren dan Madrasah, (Fak. Tarbiyah
IAIN Wali Songo. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta, 2002)

12

theory of Social Behavior. 39:3,
0021-8308

Rahman, A.A. (2013). Psikologi Sosial,
(Rajagrafindo Persada, Jakarta).

Leontopoulou, S., (2010). An Exploratory
Study of Alturism in Gr eek
Children:
Relations
with
Empathy,
Resilience
and
Classroom Climate, Scientific
Research. Vol 1. 377-385

Rohmah, F.R., (2010). Tingkat Empati
dan Tingkat Altruistik pada
Perawat Rumah Sakit Umum
dengan Rumah Sakit Jiwa, Skipsi
Thesis, UMS. ( tidak diterbitkan).
Rahmat, J., (2003), Psikologi Agama:
Sebuah Pengantar, (Mizan Pustaka,
Bandung).

Malhotra, D., (2010), When are Religious
People Nicer? Religious Salience
and The “Sunday Effect” on Prosocial behavior, Judgment and
Decision Making. Vol 5, 138143.

Ruston,J.P., Chrisiohn, D.R. , & Fekken,
G.C., (1981). The Altruistic
Personality and the Self-report
Altruism Scale. Department of
Psyhology, Faculty of Social
Cience, The university of western
on tario, Canada vol. 2.

McMahon, D.S., Wernsman, J., & Parnes,
L.A., (2005), Adolescent Health
Brief: Understanding Prosocial
Behavior: The Impact of
Empathy and Gender among
African, American Adolescent,
Journal of Adolescent Health,
DePaul University, Chicago, Vol
39. 135-137.

Sarwono, S., (2006). Psikologi Sosial:
Psikologi Kelompok & Psikologi
Terapan,
(Jakarta:
Raja
Grafindo).

Mus, Gus., (2009). Satu Rumah Seribu
Pintu, Pelangi Aksara.

Sarwono, W.S.,& Meinarno, A.E., (2011),
Psikologi
Sosial,
(Salemba
Humanika, Jakarta).

Myears, G. David., (2012). Psikologi
Sosial, Salemba Humanika, Jakarta.

Sugiono,
(2013),
Statistik
Penelitian, (Alfabeta, Bandung).

Pilliavin, A.J., (2008). Alturism and
Helping: The Evolution of a
Field: The 2008 Cooley-Mead
Presentation, European Journal.
209-222

Smith, T.W., Altruism and Empathy in
America: Trends and Correlates,
National
Opinion
Research
Center/University of Chicago For
February 9, (2006).

Preston D. S., & Frans, D.W., (2002).
Empathy: Its ultimate and
Proximate Base, Behavioral and
Brain Scinces 25,1-72 , Printed in
the states of America, Cambidge
University Press.

Taufik., (2012) Empati Pendekatan
Psikologi Sosial, (Raja Grasindo Persada,
Jakarta).

untuk

Theurer, K., & Andrew, W., Altruistic
Behavior and Social Capital as
Predictors of Well-being among
Olders Canadians, Ageng &

13

Society 30, 2010, 157 -181,
Cambridge University Press
(2009).
Tomasello, M. & Warneken,F. (2009),
The Roots of Altruism, British
Journal of Psychology, 100,
(455-471)
Zhao, lu., (2011) Exploring Religiosity’s
effects on Altruistic Behaviour,
social
research
Report,
Department of Psychology, Vol
1.

‫) اإتج نح اإلت ا الدي ي‬2006(,. , ‫ب ك‬
‫وعاق ب لتكيف ال فسي واإجت عي‬
/ ‫لد ط ب ج ع القد ال فت ح‬
‫ ف سطين‬. ‫طق ط لك التع ي ي‬
)65( ‫ش ص‬
,
,

‫حقيق التدين و ظ ه‬, .‫ن ص بن‬,‫ عبد‬, ‫الك ي‬

. www.islamweb.net24-02-2013

14