SERIAL PENDIDIKAN DAN KEHIDUPAN DI JEPANG: Cara SD di Jepang melatih berargumentasi sejak dini
Tulisan ini telah dimuat di Tabloid Aksara Edisi 102 Febuari 2016 h.6
SERIAL PENDIDIKAN DAN KEHIDUPAN DI JEPANG: Cara SD di Jepang melatih
berargumentasi sejak dini
Oleh Yanti Herlanti1
Selama tiga tahun saya mendapat kesempatan bergabung dalam proyek
pengembangan kurikulum pendidikan lingkungan bersama Indonesia Education
Promoting Foundation (IEPF) Japan didukung oleh Japan Cooperation
International Agency (JICA). Berikut ini tulisan perdana pengalaman saya yang
mungkin bermanfaat bagi para guru terutama level sekolah dasar.
Bagaimana sekolah dasar di Jepang melatih berargumentasi?
Di sebuah kelas…
Guru : “Siapa yang mau berpendapat? Apa yang menyebabkan banjir di
Jakarta?”
Murid : Serentak para peserta didik mengacungkan tangannya.
Guru : “Baiklah, coba Ani!”
Ani : “Itu bu, banjir itu karena kita buang sampah ke sungai!”
Guru : Salah satunya itu, ada yang lain?
Murid : (Serempak) Saya bu saya bu….
Guru : “Ya, coba Budi!”
Budi : “Anu banyak sampah di Sungai!”
Guru : “Ya, sama ya? Karena sampah!” Yang lainnya?”
Murid : mengacungkan tangannya
Guru : Ya, coba Nisa!
Nisa : “Karena orang-orang buang sampah ke Sungai!”
Pernahkan anda sebagai guru mengalami hal seperti itu? Pendapat Peserta didik
yang kita tunjuk untuk menjawab tidak berbeda dengan pendapat peserta didik
sebelumya? Lalu siapa penyebab gagal paham ini? Peserta didik atau gurunya?
Sebagai guru mungkin kita tak perlu kesal dengan jawaban peserta didik, tapi
kita harus memikirkan bagaimana caranya agar tanya jawab yang dilakukan
guru dan peserta didik lebih hidup?
Jawaban beragam yang diberikan peserta didik untuk sebuah pertanyaan yang
sifatnya ekploratif seperti di atas menunjukkan kekayaan imajinasi dan
kreatifitas. Peserta didik menjawab dengan jawaban berbeda sesuai pengalaman
dan sudut pandangnya, itulah sebetulnya yang diharapkan dari sebuah
pertanyaan eksploratif. Namun, ada kalanya peserta didik gagal menjawab
sesuai yang diharapkan, bukan semata peserta didik, tapi mungkin saja karena
kekurangan kita sebagai pengajar dalam mengelola kelas.
Para pakar pendidikan di Jepang pun merasakan hal yang sama. Anak-anak
Jepang sulit mengemukakan argumen, kalau mengemukakan maka antar peserta
jawaban sama. Berdasarkan pemikiran ini maka para pakar pendidikan
1 Dr. Yanti Herlanti, M.Pd dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
Tulisan ini telah dimuat di Tabloid Aksara Edisi 102 Febuari 2016 h.6
menciptakan aturan menjawab pertanyaan guru di kelas. Gambar 1 di bawah ini
memperlihatkan aturan tunjukkan tangan dalam menjawab pertanyaan guru di
kelas.
Gambar 1. Aturan tunjuk tangan di Kelas Tingkat Sekolah Dasar: Bertanya, Tidak
sependapat, menambahkan pendapat yang ada, setuju, dan mengemukakan
pendapat baru (dari kiri ke kanan)
Peraturan seperti ini ditempelkan di depan kelas di atas papan tulis (lihat
Gambar 2), sehingga para siswa bisa melihat dan menggunakannya pada saat
pembelajaran berlangsung bersama guru (lihat Gambar 3) dan pada saat diskusi
kelompok antar peserta didik (lihat Gambar 4). Lalu apa keuntungan dari aturan
penunjukkan tangan ini?
• Bagi peserta didik akan banyak berpikir terlebih dahulu sebelum
berpendapat. Peserta didik lebih memperhatikan pendapat sebelumnya,
dan tidak buru-buru berpendapat. Ini mengasah rasa empati dan peduli
serta menghargai pendapat orang lain, dan mengeliminasi rasa egois atau
ingin tampil lebih hebat dari temannya.
• Bagi guru aturan ini mempermudah mengorganisasikan pendapat peserta
didik, apalagi jika setiap sari dari pendapat peserta didik dituliskan di
papan tulis. Guru dapat memilih pendapat mana dulu yang relevan,
ketika melihat ada peserta didik yang akan menambahkan pendapat
Tulisan ini telah dimuat di Tabloid Aksara Edisi 102 Febuari 2016 h.6
•
sebelumnya, maka tentu akan prioritas untuk menunjuknya terlebih
dahulu, begitu pula ketika ada peserta didik yang menyanggah pendapat
sebelumnya tentu akan lebih utama dipersilahkan terlebih dahulu
dibandingkan dengan yang mengemukakan pendapat baru.
Bagi lingkungan belajar, aturan ini menciptakan lingkungan belajar
membangun pengetahuan secara konduksif, efektif, efesien, adil dan
tertib. Konduksif, ketika guru telah menunjuk seseorang untuk
berpendapat, maka setiap peserta didik akan mendengarkan dahulu
pendapat teman lainnya, kemudian berfikir, baru kemudian menentukan
posisinya mau menambahkan pendapat, setuju saja, membantah, atau
memberikan pendapat baru. Efektif, setiap peserta didik secara tertib
bergiliran berpendapat ketika guru berpendapat, dan pendapat yang
dilontarkan peserta didik sifatnya memperkaya pendapat sebelumnya
sehingga terjadi konstruksi pengetahuan bersama. Efesien, pendapat
yang sifat mengulang-ulang walau dengan redaksi yang berbeda dapat
dihindari dengan aturan penunjukkan tangan seperti ini. Adil, semua
peserta didik diberikan kesempatan untuk memberikan pendapat. Tertib,
tidak perlu berteriak-teriak di kelas, tetapi isyarat tangan mereka telah
cukup memperlihatkan kualitas pendapat yang akan dilontarkan, guru
pun secara bergiliran dapat memilih kualitas pendapat yang ingin
dibangun dalam pembelajaran di kelas.
Gambar 2. Aturan Tunjuk Tangan DiTempelkan di Area yang Terlihat pada
Semua Sudut Tempat Duduk Peserta Didik SD Jinjumidori Jepang
Tulisan ini telah dimuat di Tabloid Aksara Edisi 102 Febuari 2016 h.6
Gambar 3. Pada Proses Pembelajaran di Kelas Peserta Didik Toyama University
Affiliated Elementary School Jepang Menggunakan Aturan Tunjuk Tangan
(terlihat cara menunjukkan tangan berbeda)
Gambar 4. Pada saat Diskusi Kelompok Aturan Penunjukkan Tangan Tetap
Digunakan diantara Para Siswa SD Jinjumidori Jepang
Pentingnya Argumentasi Sejak Dini
Toulmin memaparkan argumentasi adalah proses menyampaikan klaim
(pernyataan) yang didasarkan pada data atau fakta, disertai dengan penjamin
yang memperkuat klaim yang disampaikan disertai dukungan terhadap
Tulisan ini telah dimuat di Tabloid Aksara Edisi 102 Febuari 2016 h.6
penjamin. Keseluruhan proses yang meliputi klaim, data, penjamin, dan
dukungan dinamakan dengan argumen.
Argumen berbeda dengan asumsi. Asumsi adalah perkiraan yang bisa jadi
didasarkan pada data/fakta atau bisa juga tidak. Argumen juga berbeda dengan
provokasi, provokasi terkadang menggunakan fakta/data palsu dengan maksud
menghasud. Membiasakan berargumen sejak dini (bukan berasumsi atau
melakukan provokasi) akan membiasakan peserta didik mencari data/fakta
sebelum menyatakan suatu klaim bukan sekedar asal pendapat. Ketika peserta
didik menginginkan klaim yang kuat yang dapat diterima oleh semua orang,
maka dia akan mencari penjamin dan pendukungnya, sehingga argumennya
diyakini oleh orang banyak dan mempengaruhi kepercayaan orang lain.
Pada era pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, arus
argumen terutama di media online dan sosial sangat deras. Membedakan mana
argumen atau asumsi atau provokasi sangat penting. Demikian juga
membiasakan berargumen secara benar membuat peserta didik senantiasa
memiliki kejujuran dalam berpendapat, obyektif, dan melatih berpikir kritis
dalam memanfaatkan penjamin dan pendukung terhadap pernyataannya, serta
membiasakan berpikiran terbuka mau mendengarkan dan menghargai argumen
orang lain.
Dengan berbagai nilai positif dari melatih berargumentasi di kelas, mengapa
tidak kita coba di kelas? Tentu saja berargumen akan lebih tertib dan terarah
dengan menggunakan aturan tunjuk tangan seperti di sekolah Jepang. [YH].
SERIAL PENDIDIKAN DAN KEHIDUPAN DI JEPANG: Cara SD di Jepang melatih
berargumentasi sejak dini
Oleh Yanti Herlanti1
Selama tiga tahun saya mendapat kesempatan bergabung dalam proyek
pengembangan kurikulum pendidikan lingkungan bersama Indonesia Education
Promoting Foundation (IEPF) Japan didukung oleh Japan Cooperation
International Agency (JICA). Berikut ini tulisan perdana pengalaman saya yang
mungkin bermanfaat bagi para guru terutama level sekolah dasar.
Bagaimana sekolah dasar di Jepang melatih berargumentasi?
Di sebuah kelas…
Guru : “Siapa yang mau berpendapat? Apa yang menyebabkan banjir di
Jakarta?”
Murid : Serentak para peserta didik mengacungkan tangannya.
Guru : “Baiklah, coba Ani!”
Ani : “Itu bu, banjir itu karena kita buang sampah ke sungai!”
Guru : Salah satunya itu, ada yang lain?
Murid : (Serempak) Saya bu saya bu….
Guru : “Ya, coba Budi!”
Budi : “Anu banyak sampah di Sungai!”
Guru : “Ya, sama ya? Karena sampah!” Yang lainnya?”
Murid : mengacungkan tangannya
Guru : Ya, coba Nisa!
Nisa : “Karena orang-orang buang sampah ke Sungai!”
Pernahkan anda sebagai guru mengalami hal seperti itu? Pendapat Peserta didik
yang kita tunjuk untuk menjawab tidak berbeda dengan pendapat peserta didik
sebelumya? Lalu siapa penyebab gagal paham ini? Peserta didik atau gurunya?
Sebagai guru mungkin kita tak perlu kesal dengan jawaban peserta didik, tapi
kita harus memikirkan bagaimana caranya agar tanya jawab yang dilakukan
guru dan peserta didik lebih hidup?
Jawaban beragam yang diberikan peserta didik untuk sebuah pertanyaan yang
sifatnya ekploratif seperti di atas menunjukkan kekayaan imajinasi dan
kreatifitas. Peserta didik menjawab dengan jawaban berbeda sesuai pengalaman
dan sudut pandangnya, itulah sebetulnya yang diharapkan dari sebuah
pertanyaan eksploratif. Namun, ada kalanya peserta didik gagal menjawab
sesuai yang diharapkan, bukan semata peserta didik, tapi mungkin saja karena
kekurangan kita sebagai pengajar dalam mengelola kelas.
Para pakar pendidikan di Jepang pun merasakan hal yang sama. Anak-anak
Jepang sulit mengemukakan argumen, kalau mengemukakan maka antar peserta
jawaban sama. Berdasarkan pemikiran ini maka para pakar pendidikan
1 Dr. Yanti Herlanti, M.Pd dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
Tulisan ini telah dimuat di Tabloid Aksara Edisi 102 Febuari 2016 h.6
menciptakan aturan menjawab pertanyaan guru di kelas. Gambar 1 di bawah ini
memperlihatkan aturan tunjukkan tangan dalam menjawab pertanyaan guru di
kelas.
Gambar 1. Aturan tunjuk tangan di Kelas Tingkat Sekolah Dasar: Bertanya, Tidak
sependapat, menambahkan pendapat yang ada, setuju, dan mengemukakan
pendapat baru (dari kiri ke kanan)
Peraturan seperti ini ditempelkan di depan kelas di atas papan tulis (lihat
Gambar 2), sehingga para siswa bisa melihat dan menggunakannya pada saat
pembelajaran berlangsung bersama guru (lihat Gambar 3) dan pada saat diskusi
kelompok antar peserta didik (lihat Gambar 4). Lalu apa keuntungan dari aturan
penunjukkan tangan ini?
• Bagi peserta didik akan banyak berpikir terlebih dahulu sebelum
berpendapat. Peserta didik lebih memperhatikan pendapat sebelumnya,
dan tidak buru-buru berpendapat. Ini mengasah rasa empati dan peduli
serta menghargai pendapat orang lain, dan mengeliminasi rasa egois atau
ingin tampil lebih hebat dari temannya.
• Bagi guru aturan ini mempermudah mengorganisasikan pendapat peserta
didik, apalagi jika setiap sari dari pendapat peserta didik dituliskan di
papan tulis. Guru dapat memilih pendapat mana dulu yang relevan,
ketika melihat ada peserta didik yang akan menambahkan pendapat
Tulisan ini telah dimuat di Tabloid Aksara Edisi 102 Febuari 2016 h.6
•
sebelumnya, maka tentu akan prioritas untuk menunjuknya terlebih
dahulu, begitu pula ketika ada peserta didik yang menyanggah pendapat
sebelumnya tentu akan lebih utama dipersilahkan terlebih dahulu
dibandingkan dengan yang mengemukakan pendapat baru.
Bagi lingkungan belajar, aturan ini menciptakan lingkungan belajar
membangun pengetahuan secara konduksif, efektif, efesien, adil dan
tertib. Konduksif, ketika guru telah menunjuk seseorang untuk
berpendapat, maka setiap peserta didik akan mendengarkan dahulu
pendapat teman lainnya, kemudian berfikir, baru kemudian menentukan
posisinya mau menambahkan pendapat, setuju saja, membantah, atau
memberikan pendapat baru. Efektif, setiap peserta didik secara tertib
bergiliran berpendapat ketika guru berpendapat, dan pendapat yang
dilontarkan peserta didik sifatnya memperkaya pendapat sebelumnya
sehingga terjadi konstruksi pengetahuan bersama. Efesien, pendapat
yang sifat mengulang-ulang walau dengan redaksi yang berbeda dapat
dihindari dengan aturan penunjukkan tangan seperti ini. Adil, semua
peserta didik diberikan kesempatan untuk memberikan pendapat. Tertib,
tidak perlu berteriak-teriak di kelas, tetapi isyarat tangan mereka telah
cukup memperlihatkan kualitas pendapat yang akan dilontarkan, guru
pun secara bergiliran dapat memilih kualitas pendapat yang ingin
dibangun dalam pembelajaran di kelas.
Gambar 2. Aturan Tunjuk Tangan DiTempelkan di Area yang Terlihat pada
Semua Sudut Tempat Duduk Peserta Didik SD Jinjumidori Jepang
Tulisan ini telah dimuat di Tabloid Aksara Edisi 102 Febuari 2016 h.6
Gambar 3. Pada Proses Pembelajaran di Kelas Peserta Didik Toyama University
Affiliated Elementary School Jepang Menggunakan Aturan Tunjuk Tangan
(terlihat cara menunjukkan tangan berbeda)
Gambar 4. Pada saat Diskusi Kelompok Aturan Penunjukkan Tangan Tetap
Digunakan diantara Para Siswa SD Jinjumidori Jepang
Pentingnya Argumentasi Sejak Dini
Toulmin memaparkan argumentasi adalah proses menyampaikan klaim
(pernyataan) yang didasarkan pada data atau fakta, disertai dengan penjamin
yang memperkuat klaim yang disampaikan disertai dukungan terhadap
Tulisan ini telah dimuat di Tabloid Aksara Edisi 102 Febuari 2016 h.6
penjamin. Keseluruhan proses yang meliputi klaim, data, penjamin, dan
dukungan dinamakan dengan argumen.
Argumen berbeda dengan asumsi. Asumsi adalah perkiraan yang bisa jadi
didasarkan pada data/fakta atau bisa juga tidak. Argumen juga berbeda dengan
provokasi, provokasi terkadang menggunakan fakta/data palsu dengan maksud
menghasud. Membiasakan berargumen sejak dini (bukan berasumsi atau
melakukan provokasi) akan membiasakan peserta didik mencari data/fakta
sebelum menyatakan suatu klaim bukan sekedar asal pendapat. Ketika peserta
didik menginginkan klaim yang kuat yang dapat diterima oleh semua orang,
maka dia akan mencari penjamin dan pendukungnya, sehingga argumennya
diyakini oleh orang banyak dan mempengaruhi kepercayaan orang lain.
Pada era pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, arus
argumen terutama di media online dan sosial sangat deras. Membedakan mana
argumen atau asumsi atau provokasi sangat penting. Demikian juga
membiasakan berargumen secara benar membuat peserta didik senantiasa
memiliki kejujuran dalam berpendapat, obyektif, dan melatih berpikir kritis
dalam memanfaatkan penjamin dan pendukung terhadap pernyataannya, serta
membiasakan berpikiran terbuka mau mendengarkan dan menghargai argumen
orang lain.
Dengan berbagai nilai positif dari melatih berargumentasi di kelas, mengapa
tidak kita coba di kelas? Tentu saja berargumen akan lebih tertib dan terarah
dengan menggunakan aturan tunjuk tangan seperti di sekolah Jepang. [YH].