Pengaruh peningkatan konsentrasi Carbopol 940 sebagai bahan pengental terhadap viskositas dan ketahanan busa sediaan shampoo - USD Repository
PENGARUH PENINGKATAN KONSENTRASI CARBOPOL 940
SEBAGAI BAHAN PENGENTAL TERHADAP
VISKOSITAS DAN KETAHANAN BUSA SEDIAAN SHAMPOO
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi Oleh:
Grace Felicyta Kartika NIM : 06 8114 154
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2010
PENGARUH PENINGKATAN KONSENTRASI CARBOPOL 940
SEBAGAI BAHAN PENGENTAL TERHADAP
VISKOSITAS DAN KETAHANAN BUSA SEDIAAN SHAMPOO
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi Oleh:
Grace Felicyta Kartika NIM : 06 8114 154
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2010
HALAMAN PERSEMBAHAN
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Pengaruh Peningkatan Konsentrasi Carbopol 940 Sebagai Bahan Pengental Terhadap Viskositas dan Ketahanan Busa Sediaan Shampoo” sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) pada Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Semenjak masa perkuliahan hingga penelitian dan penyusunan skripsi, penulis telah mendapat banyak bantuan dari berbagai pihak berupa doa, dorongan, semangat, bimbingan, kritik, dan saran. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-sebesarnya kepada:
1. Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
2. Dewi Setyaningsih, M.Sc., Apt. selaku dosen Pembimbing Skripsi atas segala bimbingan, masukan, kritik, dan sarannya.
3. Rini Dwiastuti, S. Farm, M.Sc., Apt. selaku dosen penguji yang telah meluangkan waktu untuk menguji serta memberi kritik dan saran yang membangun.
4. Agatha Budi Susiana L., M.Si., Apt. selaku dosen penguji yang telah meluangkan waktu untuk menguji, serta atas bimbingannya dalam perkuliahan.
5. P. Sunu Hardiyanta, S.J., Ign. Y. Kristio Budiasmoro, M.Si., dan A. Tri Priantoro, M.For., Sc. atas segala bimbingan selama perkuliahan dan penyusunan proposal.
6. Segenap dosen Fakultas Farmasi Sanata Dharma atas segala bimbingan dan ajaran selama perkuliahan.
7. Pak Musrifin, Mas Agung, Mas Iswandi, Mas Ottok, Mas Parlan, Mas Bimo atas segala bantuan dan kerjasama selama penulis melakukan penelitian.
8. Orangtua dan Kakak-kakakku atas doa, cinta, dan dukungannya.
9. Sihendra, partnerku selama penelitian, penyusunan skripsi, sekaligus selama masa kuliah. Terimakasih atas segala masukan, perhatian, semangat, kebersamaan, dan kasih sayang yang telah kamu berikan.
10. Wiwit, Irene, Rani, Chicha, Intan, terimakasih atas kebersamaan, semangat, canda tawa, dan bantuannya selama penelitian, kerja di laboratorium, dan ujian. Serta Lina, Dani, Rico, teman-temanku satu laboratorium, dan Yos, Lia, Ardani, Ci Vita, teman-temanku satu bimbingan, atas kebersamaan dan bantuannya.
11. Yoki, Shasha, Anton, Astina, Win, Rani, Aan, Uthie, Chicha, Iwan, Yakob, Lina, dan Irene teman-teman FST seperjuanganku sejak semester 1 atas persahabatannya.
12. Lita, Yemi, Rere, Nancy, sahabat-sahabatku dan teman-temanku kos Muria, atas persahabatan dan canda tawanya, serta Mbak Niken.
13. Teman-teman FST 2006, teman-teman kelas C 2006, dan semua teman-teman Farmasi atas segala kebersamaannya.
14. Segenap karyawan dan laboran yang telah membantu selama perkuliahan penulis di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.
15. Semua pihak dan teman-teman yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam skripsi ini oleh karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan penulis. Oleh sebab itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Penulis
INTISARI
Suatu sediaan shampoo harus memiliki viskositas yang memadai serta mampu menghasilkan busa dalam jumlah cukup dan stabil. Karena hal tersebut mempengaruhi efisiensi pembersihan dan persepsi konsumen. Tetapi busa memiliki karakteristik mudah hilang atau pecah. Maka salah satu cara untuk meningkatkan kestabilan busa adalah dengan menaikkan viskositas sediaan.
Lewat penelitian eksperimental ini diharapkan dapat diketahui apakah peningkatan konsentrasi Carbopol 940 berpengaruh terhadap viskositas dan ketahanan busa sediaan shampoo. Sekaligus untuk mengetahui hubungan antara viskositas dengan ketahanan busa.
Pada penelitian dibuat 5 jenis sediaan shampoo menggunakan bahan pengental Carbopol 940 dengan konsentrasi 0,1%; 0,3%; 0,5%; 0,7%; dan 0,9% b/b. Kemudian dilakukan pengukuran viskositas dan ketahanan busa pada waktu 2 hari, 15 hari, dan 30 hari setelah pembuatan. Hasil yang didapat diuji statistik menggunakan SPSS 16.0 dengan uji korelasi Pearson.
Ditemukan bahwa peningkatan konsentrasi Carbopol 940 berpengaruh terhadap viskositas sediaan shampoo, namun diperkirakan tidak berpengaruh terhadap ketahanan busa sediaan shampoo. Maka dari itu belum dapat ditemukan hubungan antara viskositas dengan ketahanan busa pada sediaan shampoo.
Kata kunci : shampoo, Carbopol, viskositas, ketahanan busa
ABSTRACT
In addition to good viscosity, shampoo should be able to produce stable and sufficient amount of foam. Because both affect the cleansing efficiency and the consumers’ perception. But the foam has the characteristic of being easily lost or collapsed. One way to increase the foam stability is by increasing the bulk viscosity.
The aim of this experimental research is to know whether the increase of Carbopol 940 concentration is able to affect the viscosity and foam stability of shampoo, and at the same time to know the correlation between viscosity and foam stability.
In this research, 5 types of shampoo were made using Carbopol 940 as a thickening agent with concentration 0,1%; 0,3%; 0,5%; 0,7%; dan 0,9% w/w. Then the viscosity and foam stability were measured 2 days, 15 days, and 30 days after being manufactured. The results were analyzed using SPSS 16.0 with Pearson correlation analysis.
The result showed that the increase of Carbopol 940 concentration affected the shampoo viscosity, but it maynot affect the foam stability of the shampoo. So the correlation between viscosity and foam stability of shampoo hasnot been found in this research.
Key words : shampoo, Carbopol, viscosity, foam stability
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ............................................................................. i HALAMAN JUDUL …………………………………………………… ii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……………………….. iii HALAMAN PENGESAHAN .................................................................. iv HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................... v PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI .................................... vi PRAKATA ............................................................................................... vii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ................................................... x
INTISARI ................................................................................................. xi ABSTRACT ............................................................................................. xii DAFTAR ISI ............................................................................................ xiii DAFTAR TABEL .................................................................................... xvi DAFTAR GAMBAR ............................................................................... xvii DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... xviii BAB I PENGANTAR ..............................................................................
1 A. Latar Belakang ................................................................................... 1 B. Perumusan Masalah ...........................................................................
4 C. Keaslian Penelitian ............................................................................
4 D. Manfaat Penelitian .............................................................................
4 E. Tujuan Penelitian ...............................................................................
5 BAB II PENELAAHAN PUSTAKA .....................................................
6
A. Shampoo ...........................................................................................
6 1. Karakteristik shampoo ................................................................
6 2. Mekanisme pembersihan rambut oleh shampoo ........................
6 3. Formulasi shampoo .....................................................................
7 B. Surfaktan ...........................................................................................
9 1. Karakteristik surfaktan ................................................................
9 2. Jenis-jenis surfaktan ...................................................................
10
3. Sodium lauryl sulphate .................................................................... 11 4. Cocamidopropyl betaine ..............................................................
11 C. Carbopol ............................................................................................
12 D. Viskositas ..........................................................................................
13 E. Busa ..................................................................................................
15 1. Karakteristik busa .......................................................................
15 2. Mekanisme pembentukan busa ...................................................
16 3. Stabilitas busa..............................................................................
16 4. Metode pengukuran stabilitas busa ............................................
17 F. Landasan Teori .................................................................................
21 G. Hipotesis ...........................................................................................
22 BAB III METODE PENELITIAN ..........................................................
23 A. Jenis Rancangan Penelitian ........................................................ ......
23 B. Variabel Penelitian .............................................................................
23 C. Definisi Operasional ..........................................................................
23 D. Alat dan Bahan Penelitian .................................................................
24
E. Tata Cara Penelitian ............................................................................ 25
1. Pembuatan shampoo ...................................................................... 25
2. Uji viskositas dan ketahanan busa shampoo ................................. 26
F. Analisis Hasil ...................................................................................... 26
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................. 28 A. Formulasi Sediaan Shampoo ............................................................... 28 B. Viskositas Sediaan Shampoo ............................................................... 32 C. Ketahanan Busa Sediaan Shampoo ..................................................... 37 D. Hubungan Viskositas dan Ketahanan Busa Sediaan Shampoo ........... 42 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN..................................................... 44 A. Kesimpulan ................................................................................. ........ 44 B. Saran .................................................................................................... 44 DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................
45 LAMPIRAN ............................................................................................. 49 BIOGRAFI PENULIS .............................................................................
65
DAFTAR TABEL
Tabel I. Hasil pengukuran viskositas dan hasil uji korelasi Pearson antara konsentrasi Carbopol 940 dengan viskositas shampoo... 33 Tabel II. Hasil uji Repeated Anova viskositas sediaan shampoo pada hari 2, 15, dan 30 ..............................................................
35 Tabel III. Hasil uji Repeated Anova ketahanan busa menit ke-5, 10, 30, 60, 90, dan 120 ...................................................................
38 Tabel IV. Hasil pengukuran ketahanan busa dan hasil uji korelasi Pearson antara konsentrasi Carbopol 940 dengan ketahanan busa shampoo ...........................................................................
39 Tabel V. Hasil uji Repeated Anova ketahanan busa sediaan shampoo pada hari 2, 15, dan 30 .............................................................. 41
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Monomer asam akrilat dari polimer Carbopol.......................... 12 Gambar 2. Kurva sifat alir Newtonian........................................................ 14 Gambar 3. Kurva sifat alir pseudoplastis ................................................... 15 Gambar 4. Ilustrasi alat uji stabilitas busa secara dinamis ........................ 18 Gambar 5. Ilustrasi alat uji stabilitas busa secara statis ............................. 19 Gambar 6. Struktur skematik Carbopol...................................................... 30 Gambar 7. Kurva hubungan konsentrasi Carbopol 940 dan viskositas shampoo ................................................................................... 34 Gambar 8. Kurva perubahan viskositas shampoo pada hari 2, 15 dan 30 ...................................................................................... 36 Gambar 9. Kurva hubungan konsentrasi Carbopol 940 dan ketahanan busa shampoo ................................................................................... 40 Gambar 10. Kurva perubahan ketahanan busa shampoo pada hari 2, 15 dan 30 .................................................................................. 42
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Pengukuran dan uji viskositas sediaan shampoo................... 49 Lampiran 2. Pengukuran dan uji ketahanan busa sediaan shampoo ......... 53 Lampiran 3. Pengukuran dan uji ketahanan busa antarmenit....................
57 Lampiran 4. Uji pH sediaan shampoo ....................................................... 60 Lampiran 5. Dokumentasi........................................................................
61
BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Rambut yang menghiasi kepala manusia merupakan suatu kebutuhan
estetika, sehingga orang menghabiskan banyak waktu untuk merawat dan memperbaiki rambutnya. Maka tidak heran apabila shampoo menduduki 12% pasaran kosmetik karena penggunanya yang sangat banyak. Shampoo juga merupakan produk utama dalam kosmetik perawatan rambut (Limbani, 2009). Ini berarti formulasi shampoo yang baik sangat diperlukan. Shampoo sendiri adalah sediaan kosmetik berwujud cair, gel, emulsi, ataupun aerosol yang mengandung surfaktan sehingga memiliki sifat detergensi, humektan, dan menghasilkan busa (foaming) (Rieger, 2000). Shampoo berguna untuk menghilangkan kotoran, lemak, dan minyak dari rambut, serta membuat rambut berkilau dan mudah diatur (Young, 1972).
Hal yang perlu diperhatikan dalam memformulasi shampoo antara lain adalah viskositas dan sifat alir sediaan. Karena selain mempengaruhi efisiensi pembersihan, viskositas juga mempengaruhi persepsi konsumen mengenai produk yang bersangkutan. Viskositas terkait dengan kemudahan suatu sediaan shampoo untuk digunakan, dalam arti mudah dituang namun tidak mudah mengalir tumpah dari tangan. Selain itu viskositas juga berpengaruh terhadap karakteristik busa, efisiensi pengisian produk, dan pengemasan (Leidetrier, 1995 dan De Lathauwer, 2004). Sehingga dari situ dapat diketahui bahwa bahan pengental (thickening
2
agent ) atau pengatur viskositas (viscosity modifier) memainkan peran penting
dalam formulasi sediaan kosmetik (Karsheva, 2007).Di samping itu busa dari shampoo juga merupakan hal yang sangat penting. Hal ini karena busa menjaga shampoo tetap berada pada rambut, membuat rambut mudah dicuci, serta mencegah batangan-batangan rambut menyatu sehingga menyebabkan kusut (Mitsui, 1997). Sifat busa (foaming) dari
shampoo terutama ditentukan oleh surfaktan. Busa (foam) sendiri ialah suatu
dispersi koloid di mana gas terdispersi dalam fase kontinyu yang berupa cairan (Schramm, 2005).
Selain itu karakteristik busa shampoo juga berperan penting dalam menentukan apakah sediaan shampoo tersebut dapat diterima oleh konsumen atau tidak. Suatu sediaan shampoo harus mampu menghasilkan busa dalam jumlah cukup dan stabil (Limbani, 2009). Namun busa sebenarnya tergolong sulit untuk dikendalikan, karena mudah hilang akibat aliran cairan (drainage) dan pecahnya lapisan film (film rupture) pada busa itu sendiri (Joseph, 1997).
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi stabilitas busa adalah viskositas sediaan (Schramm, 2005). Maka dari itu dapat diartikan bahwa selain befungsi sebagai pengatur viskositas, bahan pengental secara tidak langsung juga berperan sebagai penstabil busa (Fonseca, 2005).
Ada bermacam-macam jenis bahan pengental yang banyak digunakan di industri kosmetik, seperti natrium klorida, gum, derivat selulosa, dan carbomer (Fonseca, 2005). Namun yang paling sering digunakan adalah elektrolit seperti natrium klorida, karena tidak mahal dan efektif (Klein, 2004). Sehingga
3 kebanyakan penelitian yang berkaitan dengan viskositas dan busa menggunakan bahan pengental natrium klorida.
Karsheva (2005) menguji pengaruh bahan pengental dan suhu terhadap rheologi sediaan shampoo. Ditemukan bahwa suhu mempengaruhi rheologi dan NaCl dalam jumlah yang cukup diperlukan pula untuk memperoleh viskositas yang sesuai.
Selain itu Evren (2007) juga menguji mengenai viskositas dan busa dari 30 macam sediaan shampoo yang semuanya mengandung SLES, betaine, dan NaCl.
Menurut hasil penelitian, konsentrasi NaCl 3-5% akan menaikkan viskositas, namun di atas konsentrasi 7% viskositas menurun. Ditemukan pula bahwa peningkatan konsentrasi NaCl akan meningkatkan kapasitas busa dan viskositas
shampoo dengan campuran betaine dan SLES akan meningkat seiring dengan
bertambahnya konsentrasi kedua surfaktan tersebut.Berdasarkan informasi tersebut dapat ditarik perkiraan bahwa kemungkinan ketahanan busa dipengaruhi oleh viskositas. Maka peneliti ingin menguji tentang pengaruh peningkatan konsentrasi Carbopol sebagai bahan pengental terhadap viskositas dan ketahanan busa sediaan shampoo. Sejauh pengetahuan penulis penelitian ini belum pernah dilakukan. Carbopol 940 dipilih sebagai bahan pengental karena tahan terhadap mikroba sehingga stabilitasnya sebagai pengental tinggi. Selain itu efisiensinya sebagai pengental sangat baik, karena pada kadar rendah sudah memiliki viskositas yang relatif tinggi (Allen, 2002 dan De Lathauwer, 2004). Carbopol juga digunakan secara luas di dunia farmasetika maupun kosmetika (Anonim, 1997).
4
B. Perumusan Masalah
Permasalahan yang akan diteliti adalah :
1. Apakah peningkatan konsentrasi Carbopol 940 berpengaruh terhadap viskositas dan ketahanan busa sediaan shampoo ?
2. Apakah viskositas berhubungan dengan ketahanan busa sediaan shampoo? C.
Keaslian Penelitian
Sejauh pengetahuan peneliti, penelitian mengenai pengaruh peningkatan konsentrasi Carbopol 940 terhadap viskositas dan ketahanan busa sediaan
shampoo belum pernah dilakukan.
D.
Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai hubungan antara viskositas dengan ketahanan busa shampoo.
2. Manfaat metodologis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi mengenai metode pengukuran ketahanan busa.
3. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam formulasi sediaan terutama menyangkut jumlah bahan pengental yang digunakan.
shampoo
5
E. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengaruh peningkatan konsentrasi Carbopol 940 terhadap viskositas shampoo.
2. Untuk mengetahui pengaruh peningkatan konsentrasi Carbopol 940 terhadap ketahanan busa shampoo.
3. Untuk mengetahui hubungan antara viskositas dengan ketahanan busa pada sediaan shampoo.
BAB II PENELAAHAN PUSTAKA A. Shampoo
1. Karakteristik shampoo Shampoo adalah sediaan kosmetik dalam bentuk cair, gel, emulsi, ataupun
aeorosol yang mengandung surfaktan sehingga memiliki sifat detergensi, humektan, dan menghasilkan busa (foaming) (Fonseca, 2005). Shampoo harus memiliki kemampuan untuk membersihkan kotoran dari rambut dan kulit kepala tanpa menghilangkan terlalu banyak sebum (Mitsui, 1997). Selain berguna untuk menghilangkan kotoran, shampoo juga membuat rambut tetap berkilau dan mudah diatur (Young, 1972).
Shampoo yang baik harus memenuhi persyaratan yaitu : a. Memiliki kemampuan membersihkan yang baik.
b. Menghasilkan busa yang banyak (creamy) dan tahan lama.
c. Melindungi rambut dari gesekan selama pencucian atau keramas.
d. Membuat rambut berkilau dan lembut setelah pemakaian.
e. Aman bagi kulit kepala, rambut, dan mata (Mitsui, 1997).
2. Mekanisme pembersihan rambut oleh shampoo
Surfaktan pada shampoo akan menurunkan tegangan antarmuka antara kotoran dengan permukaan rambut dan kulit kepala. Bagian polar dari surfaktan akan berinteraksi dengan air pada rambut dan kulit kepala, sedangkan bagian non polar akan berinteraksi dengan kotoran yang biasanya berupa lemak. Surfaktan-
7 surfaktan tersebut akan menyusun diri membentuk micel dengan kotoran terjebak di bagian dalamnya. Bagian luar micel yang merupakan gugus polar mudah berinteraksi dengan air, sehingga saat pembilasan micel tersebut akan terbawa oleh air dan kotoran juga akan ikut terbawa (Mitsui, 1997 dan Rieger, 2000).
3. Formulasi shampoo
Bahan-bahan dasar untuk membuat suatu formula shampoo meliputi:
a. Surfaktan primer yang berfungsi untuk detergensi dan pembusaan. Surfaktan anionik banyak digunakan sebagai surfaktan primer karena sifat pembusaannya yang sangat baik dan harganya relatif murah. Surfaktan kationik sebenarnya juga bisa digunakan, karena mampu membentuk busa dengan baik, mampu membersihkan, dan membuat rambut mudah diatur. Namun sifatnya iritatif khususnya untuk mata, sehingga perlu dikombinasi dengan surfaktan nonionik atau amfoter (Rieger, 2000).
b. Surfaktan sekunder atau auxiliary surfactant yang bekerja memperbaiki detergensi dan pembusaan, serta menjaga kondisi rambut. Surfaktan amfoter banyak digunakan karena dapat melembutkan rambut. Beberapa jenis surfaktan nonionik juga digunakan karena dapat memperbanyak dan menstabilkan busa (Rieger, 2000).
c. Bahan aditif yang berfungsi untuk menunjang formula dan memberikan karakteristik tertentu. Bahan aditif meliputi : 1) Pengatur viskositas: untuk meningkatkan viskositas dapat digunakan elektrolit (1-4%b/b ammonium klorida atau sodium klorida, gum (karaya, tragakan), alginat, derivat selulosa (hidroksietil, hidroksipropil,
8 karboksimetil), dan polimer karboksivinil (Carbopol). Sedangkan untuk menurunkan viskositas dapat digunakan sejumlah kecil solven seperti alkohol, senyawa polioksialkilen, atau sodium xilen sulfonat (Rieger, 2000).
2) Pelembut (conditioning agent): berfungsi untuk membuat rambut mudah diatur dan berkilau. Selain surfaktan kationik, umumnya juga digunakan senyawa berlemak seperti lanolin dan mineral oil, polipeptida, dan resin sintetik (Rieger, 2000).
3) Agen pengkelat: berfungsi untuk mencegah pembentukan dan deposisi sabun Ca dan Mg pada rambut saat pencucian dengan air sadah. Umumnya menggunakan garam EDTA atau polifosfat (Rieger, 2000). 4) Agen pemburam (opacifier) dan penjernih (clarifying agent): untuk memperoleh penampilan buram atau berkilau seperti mutiara
(pearlesence) dapat ditambahkan alkalonamid (stearat, behenat), glikolmonostearat, glikoldistearat, propilen glikol, zinc oxide, titanium dioxide, dan magnesium aluminium silikat (Veegum). Sedangkan untuk membuat shampoo menjadi transparan dapat digunakan alkohol (etanol, isopropanol, propilen glikol, hexilen glikol, dan dimetiloktindiol) (Rieger, 2000).
5) Pengawet: bahan-bahan dalam shampoo modern umumnya rentan terhadap jamur, sehingga perlu ditambahkan pengawet seperti senyawa ester hidroksibenzoat (Rieger, 2000).
9 6) Pewarna: digunakan pewarna yang sesuai untuk makanan, obat, dan kosmetik (Food Drug & Cosmetic grade) (Fonseca, 2005).
7) Fragrance atau parfum: diperlukan untuk meningkatkan penerimaan konsumen. Dalam penggunaannya harus diperhatikan kelarutan dan kompatibilitasnya (tidak berpengaruh pada viskositas dan stabilitas sediaan). Parfum juga tidak boleh menyebabkan perubahan warna pada sediaan maupun rambut dan harus non-irititatif (Rieger, 2000). 8) Pengatur keasaman: berfungsi untuk menyesuaikan pH shampoo, biasanya
5,5-6,5. Umumnya digunakan asam sitrat, asam laktat, atau asam fosfat (Fonseca, 2005).
Selain itu shampoo juga dapat dicampur dengan zat aktif tertentu jika diinginkan adanya suatu efek terapetik. Misalnya dengan penambahan zinc pyrithione, ketoconazole, selenium sulfida, ataupun ekstrak tanaman (Fonseca, 2005).
B. Surfaktan 1.
Karakteristik surfaktan
Surfaktan (surface active agent) adalah suatu senyawa yang jika pada konsentrasi rendah memiliki sifat untuk teradsorpsi pada permukaan (surface) ataupun antarmuka (interface) dari suatu sistem dan mampu menurunkan energi bebas permukaan maupun energi bebas antarmuka. Istilah antarmuka menggambarkan suatu batas di antara dua fase yang tidak saling campur, sedangkan istilah permukaan juga menggambarkan sistem dua fase namun salah
10 satu fasenya adalah gas atau udara. Energi bebas antarmuka atau yang disebut juga tegangan antarmuka adalah jumlah energi minimal yang dibutuhkan untuk membuat sistem tetap dalam dua fase yang tidak bercampur, sehingga terbentuk batas antarmuka di antara dua fase tersebut. Begitu juga untuk istilah tegangan muka yang menggambarkan energi bebas antarmuka per unit area dari perbatasan antara cairan dan udara di atasnya (Rosen, 2004).
Molekul surfaktan memiliki gugus polar (hidrofilik) dan nonpolar (lipofilik). Struktur ini memungkinkan surfaktan untuk kontak dengan zat polar seperti air sekaligus kontak dengan zat nonpolar yang tidak campur dengan air.
Sehingga surfaktan disebut sebagai senyawa amfifil. Bagian polar dari surfaktan sering disebut sebagai kepala, sedangkan bagian nonpolar yang berupa rantai hidrokarbon disebut sebagai ekor (Rieger, 1996).
2. Jenis-jenis surfaktan
Berdasarkan gugus polarnya, surfaktan digolongkan menjadi:
a. Surfaktan anionik: bermuatan negatif, contohnya yaitu RCOO Na (sabun) dan
- RC6H4SO3 Na (alkylbenzene sulfonat).
b. Surfaktan kationik: bermuatan positif, contohnya yaitu RNH
3 Cl (garam
+ -
amina rantai panjang) dan RN(CH
3 ) 3 Cl (amonium klorida kuarterner).
c. Surfaktan zwitterionik atau amfoter: bemuatan positif dan negatif sekaligus,
contohnya yaitu RN H
2 CH
2 COO (asam amino rantai panjang) dan
- ( RN CH ) CH CH SO (sulfobetaine).
3
2
2
2
3
d. Surfaktan nonionik: tidak memiliki muatan, contohnya yaitu RCOOCH
2 CHOHCH
2 OH (monogliserida asam lemak rantai panjang),
11 RC
6 H 4 (OC
2 H 4 ) x OH (polioksietilen alkilfenol), dan R(OC
2 H 4 ) x OH (polioksietilen alkohol) (Rosen, 2004).
3. Sodium lauryl sulphate Sodium lauryl sulphate (SLS) termasuk dalam golongan surfaktan alkil
sulfat dan sifatnya anionik. Alkil sulfat merupakan ester organik dari asam sulfat dengan rantai hidrokarbon yang berbeda-beda panjangnya dan umumnya memiliki sifat sebagai pembentuk busa yang baik. SLS memiliki 12 atom karbon dan merupakan surfaktan yang paling sering digunakan dan cukup baik ditoleransi oleh kulit. SLS biasa dikombinasi dengan surfaktan lain supaya lebih kompatibel dengan kulit dan busanya lebih stabil (Barel, 2009). SLS umumnya diperoleh dalam bentuk serbuk putih atau atau pasta. Sifatnya sukar larut dalam air dingin namun kelarutannya meningkat dengan cepat seiring dengan kenaikan suhu.
Sehingga dapat dibuat larutan SLS yang sangat jenuh pada suhu 35-40 C (Rieger, 2000).
4. Cocoamidopropyl betaine
Menurut Guertechin (2009) meskipun betaine umumnya digolongkan ke dalam surfaktan amfoterik, sebenarnya penggolongan ini tidak tepat karena surfaktan ini tidak pernah ada dalam bentuk anionik tunggal. Alkil betaine selalu bermuatan positif, sehingga dikelompokkan sebagai surfaktan kationik. Namun karena surfaktan ini juga memiliki gugus bermuatan negatif dalam kondisi pH netral dan basa, maka sering dianggap sebagai surfaktan amfoter. Memang pengelompokan ini masih menjadi perdebatan sampai sekarang.
12
Betaine adalah surfaktan dengan sifat pembusa, pembasah, dan
pengemulsi yang baik, khususnya dengan keberadaan surfaktan anionik (Barel, 2009). Selain itu betaine juga merupakan surfaktan yang lembut, daya busanya tidak dipengaruhi oleh pH, dan sifatnya kompatibel dengan surfaktan anionik, kationik, maupun nonionik (Rieger, 2000). Betaine sifatnya tidak begitu mengiritasi, bahkan dengan adanya betaine dapat menurunkan efek iritasi surfaktan anionik (Barel, 2009). Hal tersebut terbukti dari penelitian Teglia dan Secchi (1994) bahwa cocoamidopropyl betaine memiliki efek antiiritan yang mirip dengan wheat protein ketika ditambahkan ke larutan SLS. Baik wheat
protein maupun cocoamidopropyl betaine dapat melindungi kulit dari iritasi.
Sehingga betaine tepat untuk produk-produk seperti shampoo dan sabun cair.
C. Carbopol
Resin carbomer atau Carbopol merupakan polimer sintetik dari asam akrilat dengan bobot molekul tinggi. Rantai polimernya terhubung silang- menyilang (crosslinked) dengan alil sukrosa atau alil pentaeritritol. Secara teoritis
5
9
bobot molekul Carbopol diperkirakan antara 7 x 10 sampai 4 x 10 . Carbopol digunakan dalam formulasi sediaan farmasetik cair dan semi padat sebagai pengatur sifat alit (rheology modifier) (Rowe, 2009).
Gambar 1. Monomer asam akrilat dari polimer Carbopol (Rowe, 2009)
13 Pemeriannya yaitu serbuk kering, putih, ringan, higroskopis, densitas bulk tinggi, mengandung lembab maksimum 2%, dan memiliki pKa 6,0±0,5. pH untuk dispersi Carbopol 0,5% dalam air berkisar antara 2,7-3,5. Ada bermacam-macam resin Carbopol dengan viskositas 0-80.000 cps. Viskositas Carbopol sendiri juga dipengaruhi oleh pH dan keberadaan elektrolit. Jumlah maksimum elektrolit yang boleh ada hanyalah 3%, karena jika lebih dari itu maka akan terbentuk massa yang sangat elastis seperti karet. Viskositas maksimum Carbopol dicapai pada pH 7, namun sebenarnya pada pH 4,5-11 pun sudah menunjukkan viskositas dan kejernihan yang cukup baik. Netralisasi yang berlebihan akan membuat suasana menjadi sangat basa sehingga viskositas Carbopol justru menurun dan tidak dapat balik lagi meskipun ditambahkan asam. Carbomer dapat mengembang hingga 1000 kali dalam air dan membentuk gel pada pH 4,5-11. Hal ini bisa terjadi karena gugus karboksilat pada senyawa ini akan terionisasi saat ada penambahan basa. Sehingga polimer ini menjadi bermuatan negatif dan akan terjadi saling tolak-menolak antara sesamanya (Allen, 2002).
Carbopol 940 adalah tipe yang paling efisien di antara semua Carbopol yang lain, di mana viskositasnya sangat tinggi yaitu 40.000-60.000 cps (pada kadar 0,5% dengan pH 7,5) dan penampilannya sangat jernih (Allen, 2002).
D. Viskositas
Viskositas adalah tahanan dari suatu cairan untuk mengalir. Viskositas ( ) digambarkan dengan persamaan metematika :
shear stress
shear rate
14 Dari persamaan itu dapat diketahui bahwa peningkatan gaya geser (shear stress) akan menaikkan kecepatan geser (shear rate). Namun hal ini hanya berlaku untuk senyawa dengan tipe Newtonian seperti air, alkohol, gliserin, dan larutan sejati. Sedangkan untuk sediaan seperti emulsi, suspensi, dispersi, dan larutan polimer umumnya termasuk tipe non-Newtonian. Pada tipe non-Newtonian, viskositas tidak berbanding lurus dengan kecepatan geser. Tipe non-Newtonian meliputi plastis, pseudoplastis, dan dilatan (Liebermann, 1996).
Gambar 2. Kurva sifat alir Newtonian (Martin, 1983)
Pada tipe pseudoplastis, viskositas akan menurun dengan meningkatnya kecepatan geser. Sifat ini disebut juga shear thinning (Martin, 1983). Sifat alir pseudoplastis ini paling banyak ditunjukkan oleh dispersi hidrokoloid dalam air seperti tragakan, alginat, metil selulosa, dan polivinilpirolidon. Dalam suatu larutan, molekul-molekul dengan BM besar dan struktur panjang seperti itu akan saling terpilin dan terperangkap bersama-sama dengan solven yang tidak bergerak. Dengan adanya gaya geser maka molekul akan terbebas dan menyusun diri secara searah untuk kemudian mengalir. Dengan kata lain molekul akan
15 memiliki lebih sedikit tahanan untuk mengalir dan air yang terjebak juga akan terlepas, sehingga viskositas turun (Aulton, 1988).
Gambar 3. Kurva sifat alir pseudoplastis (Martin, 1983)
Selain itu sistem sediaan tersebut juga bisa menunjukkan fenomena thixotropi. Yaitu pada saat didiamkan penampakan sistem berupa sediaan yang kaku seperti gel. Namun saat diberi gaya geser struktur ini akan pecah sehingga menjadi sistem yang lebih encer seperti larutan atau solution. Saat gaya geser dihilangkan maka sistem akan mulai menyusun diri lagi ke bentuk semula. Namun proses ini tidak instan (Martin, 1983). Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan
gel-sol-gel recovery ini dapat bervariasi mulai dari hitungan menit sampai hari
tergantung dari sistemnya (Aulton, 1988).E. Busa 1.
Karakteristik busa
Busa (foam) adalah suatu sistem dispersi yang terdiri atas gelembung gas yang dibungkus oleh lapisan cairan. Karena adanya perbedaaan densitas yang signifikan antara gelembung dan medium cairan, maka sistem akan memisah
16 menjadi dua lapisan dengan cepat di mana gelembung akan naik ke atas. Ketika gelembung gas terbentuk di bawah permukaan cairan, maka gelembung itu akan langsung pecah saat ada aliran cairan (drainage) akibat gaya gravitasi atau gaya tarik ke bawah. Maka dari itu suatu cairan murni tidak akan berbusa kecuali diberi surfaktan (Tadros, 2005). Adanya surfaktan akan mengurangi tegangan antarmuka gas/cairan sehingga mempermudah dispersi gas dalam cairan (Exerowa, 1998).
2. Mekanisme pembentukan busa
Mekanisme pembentukan busa dimulai ketika gelembung gas masuk ke dalam larutan surfaktan. Kemudian surfaktan akan terabsorpsi pada antarmuka gas/cairan dan terbentuk gelembung gas yang terbungkus oleh lapisan film atau disebut busa. Busa ini akan cenderung naik ke permukaan karena berat jenis gas lebih kecil daripada air. Namun pada permukaan cairan juga terdapat surfaktan yang duduk pada lapisan batas air dan udara. Sehingga busa yang terbentuk tidak bisa lepas keluar ke udara, melainkan tetap tertahan pada batas permukaan cairan. Jika busa-busa di permukaan semakin banyak maka mereka akan saling mendekat, sehingga akhirnya dapat kontak satu sama lain atau bahkan saling bergabung membentuk busa yang lebih besar (Exerowa, 1998).
3. Stabilitas busa
Stabilitas busa merujuk kepada kemampuan busa untuk mempertahankan parameter utamanya dalam keadaan konstan selama waktu tertentu. Parameter tersebut meliputi ukuran gelembung, kandungan cairan, dan total volume busa. “Waktu hidup” busa (foam lifetime) merupakan ukuran paling sederhana untuk menunjukkan stabilitas busa (Exerowa, 1998).
17 Penyebab utama dari pecahnya busa (foam collapse) adalah penipisan
(thinning) lapisan film dan koalesen. Thinning terjadi karena busa cenderung naik ke atas namun sekaligus ditarik ke bawah karena adanya aliran cairan (drainage) akibat gaya gravitasi. Karena ditarik dari 2 arah maka film busa menipis sehingga lebih mudah pecah (rupture). Di samping itu, ukuran busa yang bervariasi menyebabkan adanya gradien tekanan gas. Akibatnya dapat terjadi difusi gas, di mana busa-busa kecil akan bergabung menjadi busa yang lebih besar (koalesen).
Ukuran busa yang semakin besar berarti tegangan permukaan semakin besar, sehingga semakin mudah pecah (Tadros, 2005 dan Schramm, 2005).
Untuk mencegah pecahnya busa dapat dilakukan dengan cara meningkatkan viskositas bulk dari cairan, misalnya dengan penambahan gliserol atau polimer. Peningkatan viskositas sediaan akan membuat kecepatan drainage menurun. Bila kecepatan drainage menurun, maka thinning dapat diminimalisasi.
(Tadros, 2005). Di samping itu polimer yang mengelilingi busa akan menciptakan suatu halangan sterik sehingga menghambat busa-busa untuk saling bergabung (Schramm, 2005). Selain itu stabilitas busa juga dapat didukung oleh peningkatan viskositas permukaan dan atau elastisitas permukaan lewat pencampuran beberapa macam surfaktan sehingga didapat film surfaktan yang rapat dan tidak mudah pecah (Tadros, 2005).
4. Metode pengukuran stabilitas busa
Menurut Schramm (2005) terdapat 3 cara untuk mengukur busa, yaitu :
18 a. Mengukur waktu hidup suatu gelembung tunggal. Cara ini kurang reprodusibel karena adanya kemungkinan intervensi dari luar berupa getaran ataupun faktor pengacau lain yang turut mempengaruhi hilangnya busa.
b. Mengukur volume busa yang terbentuk lewat pemberian aliran gas, penggojokan, atau pengadukan (uji dinamis) seperti pada gambar 4. Metode ini relatif sulit, karena pembentukan dan hilangnya busa tidak selalu seragam. Namun demikian ini adalah metode yang banyak digunakan. Pada metode ini gas dengan kecepatan konstan dialirkan ke dalam larutan yang akan diuji lewat semacam ayakan berpori (porous orifice). Kemudian dilakukan pengukuran volume busa yang terjadi pada keadaan steady state.
Gambar 4. Ilustrasi alat uji stabilitas busa secara dinamis (Schramm, 2005)
c. Mengukur kecepatan hilangnya busa pada suatu kolom (uji statis) seperti pada gambar 5. Metode yang biasa digunakan adalah uji busa Ross-Miles. Pada metode ini busa dibentuk lewat penetesan larutan uji (misalnya larutan
19 surfaktan) menggunakan pipet pada jarak tertentu ke dalam wadah lain yang berisi larutan yang sama. Kemudian dilakukan pengukuran volume busa yang terbentuk dan yang hilang setiap periode tertentu.
Gambar 5. Ilustrasi alat uji stabilitas busa secara statis (Schramm, 2005)
Selain itu ada pula prosedur metode-metode lain yang telah dilakukan oleh para peneliti, antara lain: a. Sebanyak 2,95 g sabun ditimbang, diserbuk, dan dilarutkan dalam 800ml
aquadest . Kemudian diambil 500 ml larutan tersebut, dituang ke dalam labu,
dan diaduk dengan kuat selama 2 menit menggunakan pengaduk mekanik elektris. Lalu didiamkan 5 menit dan diamati tinggi busanya (Edoga, 2009).
20 b. Sebanyak 0,5 g sampel shampoo diencerkan dengan 50 ml (40
C) aquadest dan diaduk dengan magnetic stirrer. Kemudian dituang ke gelas ukur, digojok 20 kali dengan kecepatan konstan, dan diamati volume busanya pada menit ke-0 dan ke-5 (Evren, 2007).
c. Pinazo (2001) melakukan modifikasi metode Ross-Miles dengan cara menjaga volume cairan dalam wadah bagian atas tetap konstan lewat pemompaan kembali larutan yang telah diteteskan. Kemudian diukur tinggi busa setelah larutan mengalir selama 1 menit dan diamati perubahan tinggi busa selama periode waktu tertentu.
d. Sebanyak 50 ml larutan surfaktan dengan konsentrasi 0,5-1,5%b/v dimasukkan ke dalam gelas ukur 100 ml. Kemudian busa dibentuk lewat sistem pengadukan Janke and Kunkel Ultra-Turrax T25 (Staufen, Germany) selama 10 detik. Lalu diukur volume busa yang terbentuk pada menit ke-0, ke- 60, dan ke-120 (Amaral, 2008).
e. Sebanyak 50 ml larutan surfaktan dituang ke silinder gelas berdiameter 42 mm dengan lempeng gelas G-2 di bagian dasarnya. Sebuah syringe dihubungkan ke bagian dasar silinder. Kemudian gas dimasukkan secara manual lewat
syringe tersebut selama waktu tertentu. Lalu diukur tinggi busa yang terbentuk
dan diukur perubahan tinggi busanya selama waktu tertentu (Lunkenheimer, 2003).
f. Sebanyak 10 ml larutan uji dimasukkan ke gelas ukur 25 ml. Kemudian digojok dengan tangan 20 kali hingga terbentuk busa. Lalu diukur tinggi busanya dan perubahan tinggi busa selama waktu tertentu (Kim, 1997).
21 g. Sebanyak 40 ml larutan surfaktan 0,1%b/v dituang ke gelas ukur 100 ml.
Kemudian gelas ukur tersebut diputar balik selama 10 kali dengan kecepatan 2 detik per putaran. Busa yang terbentuk diukur dalam satuan mm pada menit ke-0 dan menit ke-1 (Piispanen, 2004).
Dari semua metode tersebut sebenarnya tidak ada yang benar-benar tepat, karena semuanya memberikan hasil dengan variasi yang besar. Walaupun terdapat banyak modifikasi dan standarisasi metode lain berdasarkan uji Ross-Miles, namun tetap saja tidak ada metode baku yang seragam untuk mengukur busa. Hal ini karena adanya difusi dan kemungkinan terjadinya perubahan distribusi ukuran busa. Saat ini para peneliti tengah mendiskusikan tentang penggunaan spektroskopi NMR atau MRI untuk memonitor stabilitas busa (Lunkenheimer, 2003 dan Schramm, 2005).
F. Landasan Teori
Untuk mendapatkan sediaan shampoo yang baik, maka salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah viskositas dan ketahanan busanya. Karena kedua hal tersebut selain mempengaruhi efektivitas pembersihan rambut juga menentukan persepsi dan penerimaan konsumen.
Pada sediaan shampoo , busa diperoleh dengan pemakaian surfaktan dalam formula. Adanya surfaktan akan mengurangi tegangan antarmuka gas/cairan sehingga mempermudah dispersi gas dalam cairan. Namun terkadang campuran surfaktan saja tidak cukup untuk memberikan busa yang stabil. Karena busa sebenarnya bersifat tidak stabil secara termodinamik dan mudah pecah atau hilang
22 karena berbagai faktor. Faktor tersebut antara lain adalah koalesen dan penipisan (thinning) pada lapisan film akibat kecepatan aliran cairan (drainage). Salah satu cara untuk mencegah thinning pada busa adalah dengan meningkatkan viskositas dari sediaan. Tujuannya agar kecepatan drainage menurun sehingga film busa tidak cepat pecah. Salah satu bahan yang dapat meningkatkan viskositas adalah polimer. Di samping itu polimer juga akan menghalangi busa untuk saling bergabung satu sama lain.