IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Gambaran Umum Stasiun Klimatologi - Analisis Citra Satelit Himawari Untuk Pemodelan Suhu Udara dan Tanah - UNS Institutional Repository

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

  1. Gambaran Umum Stasiun Klimatologi

  Stasiun Klimatologi merupakan unit pelaksana teknis (UPT) di lingkungan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Dipimpin oleh seorang Kepala Stasiun, dalam pelaksanaan tugas sehari-hari stasiun klimatologi secara administratif dibina oleh Sekretaris Utama dan secara Teknis operasional dibina oleh Deputi Bidang Klimatologi. Stasiun klimatologi mempunya tugas utama melaksanakan pengamatan, pengelolaan data, pelayanan informasi dan jasa klimatologi serta pemeliharaan alat klimatologi. Dalam melaksanakan tugas, stasiun klimatologi menyelenggarakan fungsi pengamatan klimatologi, pengelolaan data klimatologi, pelayanan informasi dan jasa klimatologi, pemeliharaan alat klimatologi, koordinasi/kerjasama dan pelaksanaan administrasi dan kerumahtanggaan stasiun (BMKG 2014).

  Stasiun Klimatologi Kelas I Semarang terletak di Jl. Siliwangi No.291, Kalibanteng Kulon, Semarang Barat, Kota Semarang, Jawa Tengah atau secara geografis terletak pada 6°59’05,87” LS dan 110°22’51,47” BT. Mulai beroprasi sekitar tahun 1961. Merupakan Koordinator UPT (unit pelaksana teknis) BMKG di Jawa Tengah, membawahi Stasiun Meteorologi (penerbangan) Ahmad Yani Semarang, Stasiun Meterologi Maritim Tanjung Mas Semarang, Stasiun Meteorologi Tegal, Stasiun Geofisika Banjarnegara

  17

2. Citra Satelit Himawari 8

  Pada penelitian ini, citra satelit Himawari di kelaskan menjadi 15 sesuai dengan tampilan dari warna citra satelit Himawari 8 yang didapatkan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Pengkelasan untuk interpretasi dari warna citra satelit himawari disajikan pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Pengkelasan warna citra satelit Himawari

  Kelas Suhu ( o

  C) 1 21 sampai dengan 60 2 14 sampai dengan 21 3 8 sampai dengan 14 4 0 sampai dengan8 5 -7 sampai dengan 0 6 -13 sampai dengan -7 7 -21 sampai dengan -13 8 -28 sampai dengan -21 9 -34 sampai dengan -28 10 -41 sampai dengan -34

  11 -48 sampai dengan -41 12 -56 sampai dengan -48 13 -62 sampai dengan -56 14 -69 sampai dengan -62 15 -100 sampai dengan -69

16 K

  6

  8

  10

  12

  14

  elas

  18 terdapat pembentukan awan yang banyak (cerah), sedangkan semakin dingin suhu puncak awan, warna akan mendekati jingga, yang menunjukkan pertumbuhan awan yang signifikan dan berpotensi terbentuknya awan

  Cumulonimbus .

  Interpretasi citra adalah kegiatan mengidentifikasi obyek dan menilai arti penting obyek tersebut (BMKG 2006). Interpretasi pada penelitian ini dilakukan terhadap citra satelit himawari setiap jam, mulai pukul 00.00 WIB tanggal 1 Januari 2015 hingga pukul 23.00 WIB tanggal 30 September 2016. Total citra harusnya sebanyak 15.336, tetapi karena keterbatasan dalam proses pengumpulan data, hanya didapatkan 13.426 (87,55%) citra. Citra tidak ada sebanyak 1.910 (12,45%). Terhadap data yang tidak ada, dapat dilakukan interpolasi terhadap 654 (4,26%) data, sehingga data yang kosong sebanyak 1.256 (8,19%).

  Setelah dilakukan interpolasi terhadap data interpretasi citra satelit Himawari, diketahui bulan dengan kekosongan data terbanyak terjadi pada bulan Mei 2015, mencapai 510 data kosong. Sedangkan bulan dengan data terbanyak terdapat pada bulan Agustus 2015, September 2015, Desember 2015, Januari 2016, Februari 2016, Mei 2016, dan Juni 2016, tanpa ada data kosong (full). Bulan dengan jumlah data interpolasi terbanyak terdapat pada bulan September 2016, mencapai 88 data hasil interpolasi.

3. Suhu Udara

  40

  35

  19

  o

  Didapatkan data suhu tertinggi mencapai 40 C pada pukul 16.00 WIB

  o

  tanggal 2 Agustus 2015, sedangkan suhu terendah 18 C pada pukul 00.00 WIB tanggal 3 Agustus 2015. Terlihat pada Gambar 4.2 pola suhu udara mulai meningkat setiap bulan April menuju Mei, sampai bulan Oktober. Suhu udara menurun pada bulan November. Pada tahun 2016 penurunan suhu tidak sebesar tahun 2015.

4. Suhu Tanah

  Data suhu tanah yang digunakan adalah suhu tanah setiap pukul 07.00, 13.00 dan 17.00 WIB tanggal 1 Januari 2015 hingga tanggal 30 september 2016. Data suhu tanah setiap kedalaman sebanyak 1.917 data. Suhu tanah yang digunakan merupakan data suhu tanah terbuka (gundul) dan pada permukaan tanah tertutup rumput. Menurut Jackson (1977), akar tanaman dapat mencapai kedalaman yang berbeda-beda tergantung pada jenis tanaman dan jenis tanah. Penyerapan air sebagian besar terjadi hingga kedalaman 60 cm. Kedalaman yang dianalisis untuk penelitian ini pada 0 cm (permukaan), 5 cm, 10 cm, dan 20 cm. Karena menurut Fan et al (2016), hampir setengah dari biomassa akar ditemukan pada kedalaman tanah kurang dari 20 cm. Disamping itu menurut Geiger (1959) setelah kedalaman 30 cm perbedaan suhu tanah semakin dalam semakin kecil, maka pada penelitian ini data pada kedalaman 50 cm dan 100 cm tidak digunakan. Total data suhu tanah dari semua kedalaman sejumlah 7.668.

a. Suhu Tanah Kedalaman 0 cm (permukaan tanah)

  60

  20

  50 o

  C)

  40 ( u uh S

  30

  20 Gambar 4.4. Hasil Pengamatan Suhu Tanah Berumput 0 cm (permukaan)

  pada Stasiun Klimatologi Kelas I Semarang Sumber : Stasiun Klimatologi Kelas I Semarang

Gambar 4.3 dan 4.4 menunjukkan suhu tanah gundul dan berumput pada kedalaman 0 cm (permukaan). Suhu tanah kedalaman 0 cm

  (permukaan) pada stasiun Klimatologi Kelas I Semarang dalam rentang

  o

  waktu penelitian untuk tanah gundul mencapai suhu tertinggi 55,5 C pada pukul 13.00 WIB tanggal 9 Oktober 2015. Suhu tanah berumput tertinggi

  o

  tercatat 52 C pada pukul 13.00 WIB tanggal 2 Oktober 2015. Suhu tanah

  o

  gundul terendah yang tercatat adalah 23,4 C pada pukul 07.00 WIB tanggal 29 September 2016. Suhu tanah berumput terendah yang tercatat

  o adalah 23,6 C pada pukul 07.00 WIB tanggal 3 Agustus 2016.

  Suhu tanah gundul mulai meningkat pada bulan Juli hingga Oktober dan mulai menurun pada bulan November. Suhu tanah berumput mulai meningkat pada bulan Agustus hingga November dan menurun pada bulan Desember. Pola suhu tanah gundul ataupun tanah berumput relatif

  21

b. Suhu Tanah Kedalaman 5 cm

  Klimatologi Kelas I Semarang Sumber : Stasiun Klimatologi Kelas I Semarang

Gambar 4.6. Hasil Pengamatan Suhu Tanah Berumput 5 cm pada

  Stasiun Klimatologi Kelas I Semarang Sumber : Stasiun Klimatologi Kelas I Semarang

  20

  30

  40

Gambar 4.5. Hasil Pengamatan Suhu Tanah Gundul 5 cm pada Stasiun

  60 S uh u ( o

  C)

  25

  30

  35

  40 S uh u ( o

  C)

  50

  22 bulan Juli hingga Oktober dan mulai menurun pada bulan November. Suhu tanah berumput mulai meningkat pada bulan Agustus hingga November dan menurun pada bulan Desember. Pola suhu tanah gundul ataupun tanah berumput relatif sama, hanya sebaran suhunya yang berbeda. Suhu tanah gundul kedalaman 5 cm lebih variatif dibandingkan suhu tanah berumput.

c. Suhu Tanah Kedalaman 10 cm

Gambar 4.7. Hasil Pengamatan Suhu Tanah Gundul 10 cm pada Stasiun

  Klimatologi Kelas I Semarang Sumber : Stasiun Klimatologi Kelas I Semarang

  20

  25

  30

  35

  40

  45 S uh u ( o

  C)

  30

  35 S uh u ( o

  C)

  23

  13.00 WIB tanggal 29 November 2015. Suhu tanah gundul terendah yang tercatat adalah 24,6

  o

  C pada pukul 07.00 WIB tanggal 24 Juni 2015. Suhu tanah berumput terendah yang tercatat adalah 26,4

  o

  C pada pukul 07.00 WIB tanggal 13 Februari 2015. Pada kedalaman 10 cm pola yang terbaca hampir sama seperti pada kedalaman 0 cm (permukaan) dan 5 cm. Suhu tanah gundul mulai meningkat pada bulan Juli hingga Oktober dan mulai menurun pada bulan November. Suhu tanah berumput mulai meningkat pada bulan Agustus hingga November dan menurun pada bulan Desember. Pola suhu tanah gundul ataupun tanah berumput relatif sama, hanya sebaran suhunya yang berbeda. Suhu tanah gundul kedalaman 10 cm (permukaan) lebih variatif dibandingkan suhu tanah berumput.

d. Suhu Tanah Kedalaman 20 cm

40 S

Gambar 4.9. Hasil Pengamatan Suhu Tanah Gundul 20 cm pada Stasiun

  Klimatologi Kelas I Semarang Sumber : Stasiun Klimatologi Kelas I Semarang

  25

  30

  35

  uh u ( o

  C)

  24 Klimatologi Kelas I Semarang dalam rentang waktu penelitian untuk tanah

  

o

  gundul mencapai suhu tertinggi 39,2

  C, sebanyak 2 (dua) kali pada pukul

  13.00 WIB tanggal 27 Januari 2015 dan pukul pukul 16.00 WIB tanggal

  o

  17 Oktober 2015. Suhu tanah berumput tertinggi tercatat 37,5 C pada pukul 17.00 WIB tanggal 7 November 2015. Suhu tanah gundul terendah

  o yang tercatat adalah 25,6 C pada pukul 07.00 WIB tanggal 19 Juli 2016. o

  Suhu tanah berumput terendah yang tercatat adalah 27 C pada pukul 07.00 WIB tanggal 5 Mei 2015.

  Pada kedalaman 20 cm pola yang terbaca hampir sama seperti pada kedalaman 0 cm (permukaan), 5 cm dan 10 cm. Suhu tanah gundul mulai meningkat pada bulan Juli hingga Oktober dan mulai menurun pada bulan November. Suhu tanah berumput mulai meningkat pada bulan Agustus hingga November dan menurun pada bulan Desember. Pola suhu tanah gundul ataupun tanah berumput relatif sama, hanya sebaran suhunya yang berbeda. Suhu tanah gundul kedalaman 20 cm (permukaan) lebih variatif dibandingkan suhu tanah berumput. Suhu tanah kedalaman 20 cm memiliki sebaran suhu yang paling kecil dibanding kedalaman lainnya, baik gundul ataupun berumput.

  25

5. Pola Citra dan Suhu Tanah

a. Citra dan Suhu Tanah Gundul

  K elas C itr a S uh u Tan ah ( o

  C)

  itr a ah ( o

  40

  35

  (8) (6) (4) (2)

  C) Tanggal Suhu Citra

  50 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

  Dilakukan analisis terhadap pola untuk melihat apakah terjadinya perubahan tutupan awan dapat mempengaruhi suhu tanah secara langsung. Pola antara citra satelit dengan suhu tanah gundul dapat dilihat pada Gambar 4.11., 4.12., 4.13., dan 4.14. Pola yang ditampilkan merupakan data pada bulan Agustus 2016.

  45

  40

  35

  30

  25

  20

  (16) (14) (12) (10) (8) (6) (4) (2)

  Himawari

Gambar 4.11. Pola suhu tanah gundul kedalaman 0 cm dan kelas

45 C

  26

  C)

Tanggal

Suhu Citra

  K elas C itr a S uh u Tan ah ( o

  34 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

  33

  32

  31

  30

  29

  (16) (14) (12) (10) (8) (6) (4) (2)

  K elas C itr a S uh u Tan ah ( o

Gambar 4.13. Pola suhu tanah gundul kedalaman 10 cm dan kelas

  40 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

  35

  30

  25

  20

  (16) (14) (12) (10) (8) (6) (4) (2)

Gambar 4.14. Pola suhu tanah gundul kedalaman 20 cm dan kelas

  Himawari

  C)

Tanggal

Suhu Citra

  27

b. Citra dan suhu tanah berumput

  K elas C itr a S uh u Tan ah ( o

  C)

  elas C itr a u Tan ah ( o

  40

  35

  30

  (10) (8) (6) (4) (2)

  C) Tanggal Suhu Citra

  50

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

  Dilakukan analisis terhadap pola untuk melihat apakah terjadinya perubahan tutupan awan dapat mempengaruhi suhu tanah secara langsung. Pola antara citra satelit dengan suhu tanah gundul dapat dilihat pada Gambar 4.15., 4.16., 4.17., dan 4.18. Pola yang ditampilkan merupakan data pada bulan Agustus 2016.

  45

  40

  35

  30

  25

  20

  (16) (14) (12) (10) (8) (6) (4) (2)

  Himawari

Gambar 4.15. Pola suhu tanah berumput kedalaman 0 cm dan kelas

45 K

  28

  K elas C itr a S uh u Tan ah ( o

  K elas C itr a S uh u Tan ah ( o

  34 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

  32

  30

  28

  (16) (14) (12) (10) (8) (6) (4) (2)

  C) Tanggal Suhu Citra

  40 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

Gambar 4.17. Pola suhu tanah berumput kedalaman 10 cm dan kelas

  35

  30

  25

  20

  (16) (14) (12) (10) (8) (6) (4) (2)

Gambar 4.18. Pola suhu tanah berumput kedalaman 20 cm dan kelas

  Himawari

  C) Tanggal Suhu Citra

  29 panas daripada belahan bumi selatan, dan saat musim dingin belahan bumi selatan akan lebih dekat dengan matahari daripada belahan bumi utara. Pada musim semi dan musim gugur kemiringan bumi membuat jarak antara bumi belahan utara dan bumi belahan selatan relatif terhadap matahari.

Gambar 4.19. Diagram dari orbit bumi selama mengelilingi matahari

  Sumber : Patkó (2013) Menurut Patkó et al. (2013) setiap tahunnya pada tanggal 21 Juni bagian bumi belahan utara akan lebih dekat dengan matahari dibanding bumi bagian selatan.

  Tanggal 23 September dan 20 Maret bumi bagian tengah (ekuator) yang akan dekat dengan matahari. Tanggal 22 Desember bagian bumi belahan selatan akan lebih dekat dengan matahari dibanding bumi bagian utara. Sesuai dengan gerak semu matahari maka analisis pada penelitian ini setiap tahun akan dibagi menjadi 4, yaitu : Desember-Januari-Februari (DJF), Maret-April-Mei (MAM), Juni-Juli- Agustus (JJA), dan September-Oktober-November (SON).Untuk menemukan hubungan antara citra satelit Himawari, suhu udara dan suhu tanah, serta mendapatkan model yang tepat dilakukan analisis korelasi dan regresi.

  30 akan dilakukan uji statistik terhadap semua kedalaman (0 cm, 5 cm, 10 cm dan 20 cm).

  1. Suhu Udara

  Suhu udara mempengaruhi suhu tanah. Menurut Jungqvist et al. (2014) meskipun suhu udara dapat berubah lebih cepat daripada suhu tanah, perubahan suhu tanah diproyeksikan terjadi di tanah bagian atas dengan perbedaan respon lapisan atas/bawah yang paling.

  2. Suhu Tanah

  Pada penelitian ini data suhu tanah yang digunakan merupakan suhu tanah gundul dan suhu tanah berumput. Data yang teramati semakin dalam, data suhu tanah baik gundul ataupun berumput, semakin kedalam suhu menjadi lebih rendah. Hal ini menurut Jungqvist et al. (2014) dikarenakan semakin dalam lapisan tanah secara konsisten menunjukkan variabilitas yang kurang dari lapisan yang berada diatasnya. Hal ini disebabkan karena lapisan paling atas dapat dipengaruhi oleh fluktuasi suhu udara.

  Pola sebaran suhu tanah baik gundul ataupun berumput relatif sama, hanya sebaran suhu yang berbeda. Hal ini menurut Özkan dan Gökbulak (2017) disebabkan tutupan vegetasi pada tanah secara signifikan mempengaruhi suhu tanah dan kelembaban tanah. Pertumbuhan rumput tidak mempengaruhi kadar air dilapisan tanah, karena distribusi akar yang dangkal. Sebagai hasil dari penurunan radiasi matahari yang diterima permukaan tanah, rata-rata suhu maksimum, minimum, dan rata-rata harian lebih rendah dibandingkan dengan suhu tanah gundul. Menurut Yener et al. (2017) suhu

  31

3. Citra Satelit Himawari dan Suhu Udara

  Suhu udara diharapkan dapat diduga dari citra satelit Himawari, sehingga perlu dicari hubungan antara citra satelit himawari dengan suhu udara melalui analisis korelasi dan regresi. Hasil analisis disajikan pada Tabel 4.2 dan 4.3.

a. Korelasi

Tabel 4.2. Korelasi Citra Himawari dan Suhu Udara

  Periode Pearson Sig n 2015

  JF -.227 .000

  • 708
  • MAM -.230 .000 1104 JJA
    • .212 .000 1104

  • SON -.226 .000 1092
  • 2016

  DJF -.303 .000 1092

  MAM -.175 .000 1104

  • JJA -.185 .000 1104

  Keseluruhan -.257 .000 7668

  • Keterangan : (**) hubungan pada tingkat 0,01

  (*) hubungan pada tingkat 0,05

Tabel 4.2. menunjukkan bahwa citra satelit Himawari per-periode gerak semu matahari berkorelasi sangat nyata dengan suhu udara pada

  semua periode. Artinya, citra satelit himawari dapat digunakan untuk menduga suhu udara. Hal ini sejalan dengan Rahaman dan Hassan (2017), pengindraan jauh dapat digunakan untuk mengetahui suhu udara, dan bermanfaat bila diterapkan untuk memahami tren pemanasan secara lokal jika data cuaca berbasis stasiun (suhu rata-rata tahunan dan suhu udara) tersedia.

  Setiap periode berbeda besaran nilai korelasinya. Nilai korelasi

  32 hari dan kelembaban relatif tinggi sehingga sulit untuk mengekstrak data dari gambar dan memperkirakan suhu udara.

b. Regresi

  Tabel 4.3.Koefisien Regresi dan Model Citra Satelit dan Suhu Udara Periode R

2 Model

  2015 JF 0,123 y = -1,104ln(x) + 27,372 MAM 0,083 y = -0,866ln(x) + 27,305 JJA 0,169 y = -2,547ln(x) + 28,301 SON 0,148 y = -1,914ln(x) + 28,711

  2016 DJF 0,149 y = -1,185ln(x) + 28,127 MAM 0,089 y = -0,946ln(x) + 28,194 JJA 0,106 y = -1,241ln(x) + 28,366

  Keseluruhan 0,147 y = -1,269ln(x) + 28,172 Dari Tabel 4.3 dapat dilihat hubungan antara citra satelit himawari dengan suhu udara. Seperti pada analisis korelasi, pada analisis regresi setiap periode berbeda besaran hasil regresinya. Nilai tertinggi pada periode JJA 2015 dengan nilai 16,9%, sedangkan terendah pada periode MAM 2015 dengan nilai 8,3%, secara keseluruhan sebesar 14,7%.

  Menurut Forsythe et al (2015), hal ini dikarenakan awan memegang peranan penting dalam variabilitas hidroklimatologis dengan mengubah keseimbangan energi permukaan dan suhu udara. korelasi antara pengamatan lokal tentang suhu udara di dekat permukaan dan fraksi tutupan awan dengan citra satelit memperkuat keterkaitan antara kondisi atmosfer lokal dan variabilitas iklim (suhu udara) di dekat permukaan.

  33 akan terjadi kenaikan terhadap suhu tanah. Nilai korelasi berbeda sesuai periode dan kedalaman tanah.

  Pada kedalaman tanah 0 cm (permukaan) nilai korelasi tertinggi pada periode JJA 2015 dengan nilai 0,781 dan terendah pada periode MAM 2016 dengan nilai 0,605. Sedangkan secara keseluruhan nilainya 0,702. Kedalaman tanah 5 cm nilai korelasi tertinggi pada periode JJA 2015 dengan nilai 0,826 dan terendah pada periode MAM 2016 dengan nilai 0,702. Sedangkan secara keseluruhan nilainya 0,780. Kedalaman tanah 10 cm nilai korelasi tertinggi pada periode SON 2015 dengan nilai 0,821 dan terendah pada periode MAM 2016 dengan nilai 0,689. Sedangkan secara keseluruhan nilainya 0,773. Kedalaman tanah 20 cm nilai korelasi tertinggi pada periode DJF 2016 dengan nilai 0,419 dan terendah pada periode SON 2015 dengan nilai 0,188. Sedangkan secara keseluruhan nilainya 0,374. Terlihat semakin dalam maka nilai korelasi semakin kecil, terkecuali pada kedalaman 0 cm (permukaan).

  Dari 4 kedalaman yang diuji, nilai korelasi tertinggi terdapat pada kedalaman 5 cm dengan nilai korelasi 0,826. Hal ini menurut Liu, Xu, dan Hou (2016) dikarenakan suhu tanah pada kedalaman tanah 5 cm menunjukkan respon yang kuat terhadap pemanasan. Kedalaman 0 cm (permukaan) nilai korelasi tertinggi terdapat pada periode JJA 2015. Hal ini dikarenakan pada tahun 2015 mulai meningkatnya suhu udara pada bulan Juni hingga bulan Oktober. Permukaan tanah merespon suhu udara secara langsung. Menurut Jungqvist et al

  34

2) Regresi

Tabel 4.4. Koefisien Regresi Suhu Udara dan Suhu Tanah Gundul

  2 R

  Periode 0 cm 5 cm 10 cm 20 cm 2015

  JF 0,461 0,634 0,626 0,145 MAM 0,464 0,595 0,567 0,130 JJA 0,610 0,682 0,628 0,073 SON 0,516 0,650 0,675 0,035

  2016 DJF 0,454 0,562 0,593 0,176 MAM 0,366 0,493 0,474 0,096 JJA 0,473 0,635 0,642 0,114

  Keseluruhan 0,493 0,609 0,598 0,140 Dari Tabel 4.4 dapat dilihat hubungan antara suhu udara dan suhu tanah. Seperti pada analisis korelasi, pada analisis regresi setiap periode berbeda besaran hasil regresinya. Nilai tertinggi pada kedalaman 0 cm (permukaan) terdapat pada periode JJA 2015 dengan nilai 61%, nilai terendah pada periode MAM 2016 dengan nilai 36,6% dan secara keseluruhan 49,3%. Kedalaman 5 cm nilai tertinggi pada periode JJA 2015 dengan nilai 68,2% nilai terendah pada periode MAM 2016 dengan nilai 49,3% dan secara keseluruhan 60,9%. Kedalaman 10 cm nilai tertinggi pada periode SON dengan nilai 67,5%, terendah pada periode MAM 2016 dengan nilai 47,4% dan secara keseluruhan dengan nilai 59,8%. Kedalaman 20 cm nilai tertinggi pada periode DJF 2016 dengan nilai 17,6%, terendah pada periode JJA 2015 dengan nilai 7,3%. Model suhu udara dengan suhu

  • .000 .796
  • .000 .791
  • .000 .381
  • .000 177

  • .000 .771
  • .000 .753
  • .000 .360
  • .000 276
  • .000 .826
  • .000 .792
  • .000 .270
  • .000 276

  2015 JF y = 2,1603x

  Periode Model pada kedalaman 0 cm 5 cm 10 cm 20 cm

Tabel 4.6. Model Suhu Udara dan Suhu Tanah Gundul

  Keterangan : (**) hubungan pada tingkat 0,01 (*) hubungan pada tingkat 0,05

  Keseluruhan .702

  JJA .687

  MAM .605

  2016 DJF .673

  JJA .781

  SON .718

  MAM .681

  JF .679

  P Sig P Sig P Sig P Sig 2015

  Periode 0 cm 5 cm 10 cm 20 cm n

  • .000 .806
  • .000 .821
  • .000 .188
  • .000 273

  • .000 .749
  • .000 .770
  • .000 .419
  • .000 273
  • .000 .702
  • .000 .689
  • .000 .310
  • .000 276

  • .000 .796
  • .000 .801
  • .000 .339
  • .000 276
  • .000 .780
  • .000 .773
  • .000 .374
  • .000 1917
    • – 25,233 y = 1,9076x – 18,917 y = 1,2128x – 1,4885 y = 0,2405x + 23,549 MAM y = 1,8232x – 17,044 y = 1,6011x – 11,543 y = 1,0173x + 3,4849 y = 0,1569x + 26,235 JJA y = 1,8502x – 18,752 y = 1,7712x – 16,215 y = 1,071x + 2,0465 y = 0,0981x + 28,193 SON y = 1,8389x – 17,633 y = 2,235x – 27,513 y = 1,4538x – 6,3373 y = 0,0989x + 30,619
    • >– 12,552 y = 1,5125x – 9,5209 y = 1,0884x + 1,2572 y = 0,2007x + 24,951 MAM y = 1,4023x
    • – 6,4907 y = 1,4236x – 7,4727 y = 1,0912x + 1,3797 y = 0,1445x + 27,211 JJA y = 1,>– 11,345 y = 1,6949x
    • – 16,09 y = 1,1
    • – 2,7501 y = 0,1535x + 26,406 Keseluruhan y = 1,6919x – 14,135 y = 1,7756x – 16,47 y = 1,2174x – 1,8716 y = 0,2201x + 24,947

  35 Tabel 4.5. Korelasi Suhu Udara dan Suhu Tanah Gundul

  2016 DJF y = 1,6374x

  36

b. Suhu Udara dan Suhu Tanah Berumput 1) Korelasi

  Dari Tabel 4.8 menunjukkan bahwa suhu udara per-periode gerak semu matahari berkorelasi sangat nyata dengan suhu tanah berumput pada hampir semua periode. Artinya, suhu udara memiliki hubungan terhadap suhu tanah berumput, kecuali pada periode JJA 2015, SON 2015 dan JJA 2016 tidak memiliki hubungan dengan suhu tanah berumput pada kedalaman 20 cm.

  Kedalaman tanah 0 cm (permukaan) nilai korelasi tertinggi pada periode JJA 2015 dengan nilai 0,799 dan terendah pada periode keseluruhan denga nilai 0,619. Kedalaman 5 cm nilai korelasi tertinggi pada periode SON 2015 dengan nilai sebesar 0,769, terendah pada periode MAM 2016 dengan nilai sebesar 0,455 dan secara keseluruhan sebesar 0,572. Kedalaman 10 cm nilai korelasi tertinggi pada periode JF 2015 dengan nilai sebesar 0,679, terendah pada periode JJA dengan nilai sebesar 0,403, secara keseluruhan sebesar 0,467. Kedalaman 20 cm nilai korelasi tertinggi pada periode DJF 2016 dengan nilai 0,315, terndah pada periode MAM 2015 dengan nilai 0,186, secara keseluruhan sebesar 0,209.

2) Regresi

Tabel 4.7. Koefisien Regresi Suhu Udara dan Suhu Tanah Berumput

  2 R

  Periode 0 cm 5 cm 10 cm 20 cm 2015

  JF 0,543 0,558 0,461 0,063

  37 keseluruhan dengan nilai 38,4%. Kedalaman 5 cm nilai regresi tertinggi pada periode SON 2015 dengan nilai 59,3%, terendah pada periode MAM 2016 dengan nilai 20,7%, keseluruhan dengan nilai 32,8%. Kedalaman 10 cm nilai regresi tertinggi pada periode JF 2015 dengan nilai 46,1%, terendah pada periode JJA 2016 dengan nilai 16,2%, keseluruhan dengan nilai 21,8%. Kedalaman 20 cm nilai regresi tertinggi pada periode DJF 2016 dengan nilai 9,9%, terendah pada periode MAM 2015 dengan nilai 3,5%, keseluruhan dengan nilai 4,3%. Model suhu udara dengan suhu tanah ditampilkan pada Tabel 4.9. P Sig P Sig P Sig P Sig 2015

  • .000 .747
  • .000 .679
  • .000 .251
  • .001 177

  • .000 .535
  • .000 .438
  • .000 .186
  • .002 276

  • .000 .735
  • .000 .562
  • .000 .095 .116 276

  2016 DJF y = 0,5543x + 15,024 y = 0,4237x + 18,844 y = 0,2247x + 24,34 y = 0,0936x + 27,866 MAM y = 0,314x + 20,879 y = 0,2199x + 23,901 y = 0,1541x + 25,967 y = 0,0553x + 28,86 JJA y = 0,5147x + 14,665 y = 0,2412x + 22,41 y = 0,1512x + 25,281

  2015 JF y = 0,7183x + 9,8135 y = 0,5291x + 15,449 y = 0,3254x + 20,945 y = 0,0646x + 27,764 MAM y = 0,4454x + 16,799 y = 0,2669x + 22,05 y = 0,1727x + 25,037 y = 0,0485x + 28,373 JJA y = 0,6412x + 10,962 y = 0,3544x + 18,944 y = 0,159x + 24,852 SON y = 1,5009x – 9,5375 y = 0,7827x + 10,057 y = 0,2718x + 23,777

  Periode Model pada kedalaman 0 cm 5 cm 10 cm 20 cm

Tabel 4.9. Model Suhu Udara dan Suhu Tanah Berumput

  Keterangan : (**) hubungan pada tingkat 0,01 (*) hubungan pada tingkat 0,05

  Keseluruhan .619

  JJA .659

  MAM .586

  SON .740

  2016 DJF .697

  JJA .799

  MAM .662

  JF .737

  Periode 0 cm 5 cm 10 cm 20 cm n

  • .000 .769
  • .000 .577
  • .000 .111 .067 273

  • .000 .648
  • .000 .500
  • .000 .315
  • .000 273
  • .000 .455
  • .000 .427
  • .000 .207
  • .001 276

  • .000 .528
  • .000 .403
  • .000 .067 .265 276
  • .000 .572
  • .000 .467
  • .000 .209
  • .000 1917

  38 Tabel 4.8. Korelasi Suhu Udara dan Suhu Tanah Berumput

  Keseluruhan y = 0,7762x + 8,8382 y = 0,4406x + 17,751 y = 0,2175x + 24,034 y = 0,0714x + 28,1 Keterangan : Kolom berwarna abu-abu berarti tidak berkorelasi

  39

5. Citra Satelit Himawari dan Suhu Tanah

  Suhu tanah diharapkan dapat diduga dari citra satelit himawari. Setelah sebelumnya dilakukan analisis korelasi dan regresi terhadap data citra dengan suhu udara dan suhu udara dengan suhu tanah, dari analisis tersebut didapatkan citra satelit memiliki korelasi dengan suhu udara begitu juga suhu udara dengan suhu tanah. Selanjutnya dilakukan analisis korelasi dan regresi terhadap data citra satelit dengan data suhu udara. Hasil analisis ditampilkan pada Tabel 4.10, 4.11, 4.12, 4.13, 4.14 dan 4.15.

a. Citra Satelit Himawari dan Suhu Tanah Gundul 1) Korelasi

  Dari Tabel 4.11 menunjukkan bahwa suhu tanah per-periode gerak semu matahari berkorelasi sangat nyata dengan suhu tanah berumput pada hampir semua periode. Terkecuali pada kedalaman 10 cm pada periode JF 2015 dan MAM 2016 serta kedalaman 20 cm pada periode JF 2015, SON 2015, DJF 2015, dan JJA 2016.

  Kedalaman 0 cm (permukaan) nilai korelasi tertinggi pada periode DJF 2016 dengan nilai -0,352, terendah pada periode SON 2015 dengan nilai -0,174, keseluruhan dengan nilai -0,280. Kedalaman 5 cm nilai korelasi tertinggi pada periode JJA 2015 dengan nilai -0,274, terendah pada periode SON 2015 dengan nilai - 0,177, keseluruhan dengan nilai -0,246. Kedalaman 10 cm nilai korelasi tertinggi pada periode JJA 2015 dengan nilai -0,259, terendah pada periode DJF 2016 dengan nilai -0,128, keseluruhan dengan nilai -0,206. Kedalaman 20 cm nilai koelasi tertinggi pada

  40

2) Regresi

  Tabel 4.10.Koefisien Regresi Citra dan Suhu Tanah Gundul

  2 R

  Periode 0 cm 5 cm 10 cm 20 cm 2015

  JF 0,149 0,074 MAM 0,134 0,096 0,042 0,033 JJA 0,153 0,226 0,215 0,110 SON 0,047 0,051 0,042

  2016 DJF 0,192 0,102 0,055 MAM 0,192 0,094 0,016 JJA 0,131 0,097 0,064

  Keseluruhan 0,147 0,143 0,122 0,093 Keterangan : Kolom berwarna abu-abu berarti tidak berkorelasi

  Dari Tabel 4.10 dapat dilihat hubungan antara citra satelit dan suhu tanah gundul. Seperti pada analisis korelasi, pada analisis regresi setiap periode berbeda besaran hasil regresinya. Kedalaman 0 cm nilai terbesar terdapat pada periode DJF 2016 dengan nilai 19,2%, terendah pada periode SON 2015 dengan nilai 4,7%, keseluruhan memiliki nilai 14,7%. Kedalaman 5 cm nilai terbesar terdapat pada periode JJA 2015 dengan nilai 22,6%, terendah pada periode SON 2015 dengan nilai 5,1%, keseluruhan memiliki nilai 14,3%. Kedalaman 10 cm nilai terbesar terdapat pada periode JJA 2015 dengan nilai 21,5%, nilai terendah pada periode SON 2015 dengan nilai 4,2%, keseluruhan memiliki nilai 12,2%. Kedalaman 20 cm nilai terbesar terdapat pada periode JJA 2015 dengan nilai 11%, nilai terendah pada periode MAM 2016 dengan nilai 0,2%,

  • .000 -.159
    • .034 -.028 .713 .021 .785 177

  • .001 -.181
  • .003 -.133
    • .028 -.185

  • .002 276

  2016 DJF y = -3ln(x)+36,482 y = -1,817ln(x)+34,333 y = -0,937ln(x)+32,253 MAM y = -2,986ln(x)+36,216 y = -1,825ln(x)+34,521 y =0,1738ln(x)+31,069 JJA y = -2,747ln(x)+34,606 y = -2,234ln(x)+33,851 y = -1,268ln(x)+32,2

  2015 JF y = -3,342ln(x)+36,557 y = -1,79ln(x)+33,976 MAM y = -2,999ln(x)+36,465 y = -1,992ln(x)+34,54 y = -0,87ln(x)+32,196 y = -0,266ln(x)+30,726 JJA y = -6,11ln(x)+35,971 y = -6,734ln(x)+36,525 y = -4,135ln(x)+33,942 y = -0,795ln(x)+31,281 SON y = -2,856ln(x)+36,808 y = -3,203ln(x)+38,554 y = -1,85ln(x)+36,55

  Periode Model pada kedalaman 0 cm 5 cm 10 cm 20 cm

Tabel 4.12. ModelCitra Satelit dan Suhu Tanah Gundul

  Keterangan : (**) hubungan pada tingkat 0,01 (*) hubungan pada tingkat 0,05

  Keseluruhan -.280

  JJA -.276

  MAM -.334

  2016 DJF -.352

  JJA -.224

  SON -.174

  MAM -.206

  JF -.282

  P Sig P Sig P Sig P Sig 2015

  Periode 0 cm 5 cm 10 cm 20 cm n

  • .000 -.274
  • .000 -.259
  • .000 -.177
  • .003 276

  • .004 -.177
  • .003 -.163
  • .007 -.065 .286 273

  • .000 -.225
  • .000 -.128
  • .034 .002 .987 273
  • .000 -.200
  • .001 -.106 .077 .172
  • .004 276

  • .000 -.211
  • .000 -.141
    • .019 .013 .824 276

  • .000 -.246
  • .000 -.206
  • .000 -.167
  • .000 1917

  41 Tabel 4.11. Korelasi Citra dan Suhu Tanah Gundul

  Keseluruhan y = -2,944ln(x)+35,856 y = -2,777ln(x)+35,755 y = -1,775ln(x)+33,83 y = -0,585ln(x)+31,679 Keterangan : Kolom berawarna abu-abu berarti tidak berkorelasi

  42

b. Citra Satelit dan Suhu Tanah Berumput 1) Korelasi

  Dari Tabel 4.14 menunjukkan bahwa citra satelit per-periode gerak semu matahari berkorelasi sangat nyata dengan suhu tanah berumput hanya pada beberapa periode. Kedalaman 0 cm (permukaan) pada periode JF 2015, JJA 2015, SON 2015, DJF 2016, dan keseluruhan. Kedalaman 5 cm hanya pada periode JJA 2015. Kedalaman 10 cm hanya pada periode MAM 2016. Kedalaman 20 cm hanya pada periode SON 2016.

  Kedalaman 0 cm (permukaan) nilai tertinggi pada periode JJA 2015 dengan nilai -0,175, terendah pada keseluruhan dengan nilai - 0,130. Kedalaman 5 cm memiliki nilai -0,120. Kedalaman 10 memiliki nilai 0,145. Kedalaman 20 cm memiliki nilai 0,222. Secara umum citra satelit Himawari hanya bisa memprediksi suhu tanah berumput pada permukaan (0 cm) saja. Sedangkan kedalaman 5 cm, 10 cm dan 20 cm secara umum tidak dapat diduga menggunakan citra satelit Himawari.

2) Regresi

  Tabel 4.13.Koefisein Regresi Citra Satelit dan Suhu Tanah Berumput

  2 R

  Bulan 0 cm 5 cm 10 cm 20 cm 2015

  JF 0,076 MAM JJA 0,123 0,078 SON 0,033 0,04

  43 nilai 0,4%. Model Citra Satelit dan Suhu Tanah Berumput ditampilkan pada Tabel 4.15.

  Kedalaman suhu tanah berumput yang dapat diprediksi menggunakan citra satelit Himawari hanya pada 0 cm (permukaan). Kedalaman 5, 10 dan 20 cm banyak periode yang tidak berkorelasi secara nyata antara citra satelit dengan suhu tanah berumput. Hal ini menurut Liang et al (2014) penutup vegetasi dan seresah mempengaruhi suhu tanah dengan menghalangi radiasi matahari, bertindak sebagai buffer perubahan suhu tanah. Menurut Song et al (2013) tinggi dan kepadatan vegetasi berbanding terbalik dengan suhu tanah, yang dikaitkan dengan peningkatan pantulan vegetasi, dan penurunan penyerapan radiasi matahari oleh tanah yang mendasar.

  44 Tabel 4.14. Korelasi Citra Satelit dan Suhu Tanah Berumput Bulan 0 cm 5 cm 10 cm 20 cm n P Sig P Sig P Sig P Sig

  2015 JF -.162

  • ** .031 -.047 .531 -.014 .853 .036 .637 177 MAM -.028 .643 .084 .162 .050 .411 .043 .476 276 JJA -.175 **

  .004 -.120 * .047 -.071 .239 .030 .616 276 SON -.134

  • * .026 -.066 .274 .020 .741 .222 **

  .000 273 2016 DJF -.146 * .016 -.081 .181 -.036 .554 -.032 .600 273 MAM -.003 .954 .118 .050 .145

  • * .016 .074 .223 276 JJA -.095 .116 .014 .822 .029 .635 .029 .626 276 Keseluruhan -.130 **

  .000 -.042 .068 .006 .797 .017 .454 1917

  Keterangan : (**) hubungan pada tingkat 0,01 (*) hubungan pada tingkat 0,05

Tabel 4.15. Model Citra Satelit dan Suhu Tanah Berumput

  Periode Model pada kedalaman 0 cm 5 cm 10 cm 20 cm

  2015 JF y = -0,736ln(x)+29,846 MAM JJA y = -1,872ln(x)+29,846 y = -0,905ln(x)+29,321 SON y = -1,868ln(x)+34,723 y = 0,322ln(x)+31,298

  2016 DJF y = -0,52ln(x)+30,875 MAM y = 0,0773ln(x)+30,199

  JJA Keseluruhan y = -1,049ln(x)+31,139

  Keterangan : Kolom berwarna abu-abu tidak berkorelasi

V. KESIMPULAN DAN SARAN

  A. Kesimpulan

  Citra satelit Himawari 8 dapat digunakan untuk prediksi suhu udara dan suhu tanah gundul. Pada suhu tanah gundul dapat memprediksi pada kelaman 0 (permukaan) dan 5 cm. Berikut model yang dihasilkan : y = -1,269ln(x) + 28,172 (model untuk suhu udara) y = -2,944ln(x) + 35,856 (model untuk suhu tanah gundul kedalaman 0 cm) y = -2,777ln(x) + 35,755 (model untuk suhu tanah gundul kedalaman 5 cm)

  B. Saran

  1. Penggunaan data citra satelit Himawari yang utama, bukan hasil turunan agar pengamatan dapat lebih maksimal.

  2. Diperlukan penelitian lanjutan dengan tambahan unsur cuaca dan unsur tanah lain yang mungkin mempengaruhi pemodelan suhu udara dan suhu tanah dengan citra satelit Himawari 8.

  3. Penelitian ini agar dapat dijadikan sebagai dasar untuk penentuan kebijakan dalam peramalan suhu udara ataupun suhu tanah.

  4. Hasil prediksi suhu menggunakan citra satelit Himawari 8 dapat digunakan untuk pembuatan peta distribusi komoditas yang sesuai.

DAFTAR PUSTAKA

  Aditya H, Lestari S, Lestiana H. 2012. Studi Pulau Panas Perkotaan Dan Kaitannya Dengan Perubahan Parameter Iklim Suhu Dan Curah Hujan Menggunakan Citra Satelit Landsat Tm Studi Kasus Dki Jakarta Dan Sekitarnya. Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca, Vol. 13, No. 1, 2012: 19-24.

  Badan Meteorologi, Klimatologi, dan, Geofisika [BMKG]. 2006. Peraturan Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Nomor : SK.31/TL.202/KB/BMG- 2006. Tentang Tata Cara Tetap Pelaksanaan Pengamatan dan Pelaporan Data Radar Cuaca.

  Badan Meteorologi, Klimatologi, dan, Geofisika [BMKG]. 2014. Peraturan Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Nomor 10 Tahun 2014. Tentang Uraian Tugas Stasiun Klimatologi.

  Badan Meteorologi, Klimatologi, dan, Geofisika [BMKG]. 2016. Peraturan Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Nomor 4 Tahun 2016. Tentang Pengamatan dan Pengelolaan Data Iklim Di Lingkungan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika.

  Bessho K, Date K, Hayashi M, Ikeda A, Imai T, Inoue H, Kumagai Y, Miyakawa T, Murata H, Ohno T, Okuyama A, Oyama R, Sasaki Y, Shimazu Y, Shimoji K, Sumida Y, Suzuki M, Taniguchi H, Tsuchiyama H, Uesawa D, Yokota H, Yoshida R. 2016. An introduction to Himawari-8/9 - Japan's new-generation geostationary meteorological satellites. Journal of the Meteorological Society of Japan. Vol. 94, No. 2: 151−183. DOI:10.2151/jmsj.2016-009

  Bryan DS, Sukotjo BM, Wahyu UD. 2013. Analisa Relasi Perubahan Tutupan Lahan Dan Suhu Permukaan Tanah Di Kota Surabaya Menggunakan Citra Satelit Multispektral Tahun 1994

  • – 2012. Jurnal Teknik Pomits Vol. 2, No. 1. 2301- 9271. (2013). ISSN: 2337-3539.

  Fan J, McConkey B, Wang H, Henry J. 2016. Root Distribution by depth for temperate agricultural crops. Field Crops Research 189 (2016) 68-74. DOI: 10.1016/j.fcr.2016.02.013

  Faridah SAN, Krisbiantoro A. 2014. Analisis Distribusi Temperatur Permukaan Tanah

  Iriawan N, Astuti SP. 2006. Mengolah Data Statistik dengan Mudah Menggunakan Minitab 14. Andi Offset. Yogyakarta. Indonesia. Jackson IJ. 1977. Climate, Water, and Agriculture in the Tropics. Longman Group Limited. New York. United States of America. Jungqvist G, Oni SK, Teutschbein C, Futter MN. 2014. Effect of Climate Change on Soil Temperature in Swedish Boreal Forests. Plos One. 9(4): e93957.

  DOI: 10.1371/journal.pone.0093957 Kätterer T, Andrén O. 2009. Predicting daily soil temperature profiles in arable soils in cold temperate regions from air temperature and leaf area index.

  Soil and Plant Science, 2009; 59: 77-86. DOI: 10.1080/09064710801920321. Liang LL, Riveros-Iregui DA, Emanuel RE, McGlynn BL. 2014. A simple framework to estimate distributed soil temperature from discrete air temperature measurements in data-scarce regions. American Geophysical Union. DOI: 10.1002/2013JD020597

  Liang X, Ignatov A, Kramar M, Yu F. 2016. Preliminary Inter-Comparison between AHI, VIIRS and MODIS Clear-Sky Ocean Radiances for Accurate SST Retrievals. Remote Sensing. 8, 203; DOI: 10.3390/rs8030203. Liu T, Xu ZZ, Hou YH. 2016. Effects of warming and changing precipitation rates on soil respiration over two years in a desert steppe of northern China.

  Plant Soil (2016) 400:15

  • –27. DOI: 10.1007/s11104-015-2705-0 Martono. 2014. Pola dan Tren Suhu Udara Pameungpeuk. Prosiding Pertemuan Ilmiah XXVIII HFI Jateng & DIY, Yogyakarta, 26 April 2014. ISSN : 0853- 0823.

  Menzel WP, Tobin DC, Revercomb HE. 2016. Infrared Remote Sensing with Meteorological Satellites. Advances in Atomic, Molecular, and Optical Physics, Volume 65.

  ISSN 1049-250X. DOI: 10.1016/bs.aamop.2016.04.001 Pioh DD, Rayes L, Polii B, Hakim L. 2013. Analisis Suhu Tanah Di Kawasan Wisata Alam Danau Linow Kota Tomohon Sulawesi-Utara. Journal of Indonesian Tourism and Development Studies Vol. 1 No.2. E-ISSN : 2338-1647.

  Rahaman KR, Hassan QK. 2017. Quantification of Local Warming Trend: A Remote Sensing-Based Approach. Plos One. 12(1) DOI: 10.1371/journal.pone.0169423

  Sadeghi M, Babaeian E, Tuller M, Jones SB. 2017. The optical trapezoid model: A novelapproach to remote sensing of soilmoisture applied to Sentinel-2 and Landsat-8 observations. Remote Sensing of Environment 198 (2017) 52

  • –68. DOI : 10.1016/j.rse.2017.05.041 Song Y, Zhou D, Zhang H, Li G, Jin Y, Li Q. 2013. Effects of vegetation height and density on soil temperature variations. Chinese Science Bulletin. DOI: 10.1007/s11434-012-5596-y

  Wang X, Zhang W, Miao Y, Gao L. 2016. Root-Zone Warming Differently Benefits Matureand Newly Unfolded Leaves ofCucumis sativus L.

  Seedlings under Sub Optimal Temperature Stress. Plos One. DOI:10.1371/journal.pone.0155298 Weidong X, Martin JW, Takayuki K, Jiangping H, Tianran Z, Daniel F. 2017.

  Major Advances in Geostationary Fire Radiative Power (FRP) Retrieval Over Asia and Australia Stremming From Use of Himawari-8 AHI. Remote Sensing of Environment 193 (2017) 138

  • –149. DOI: 10.1016/j.rse.2017.02.024

  Wicaksono A, Muhsoni FF, Fahrudin A. 2010. Aplikasi Data Citra Satelit Noaa-17 Untuk Mengukur Variasi Suhu Permukaan Laut Jawa. Jurnal kelautan, volume 3, No.1. ISSN : 1907-9931

  Wiweka. 2014. Pola Suhu Permukaan Dan Udara Menggunakan Citra Satelit Landsat Multitemporal. Ecolab Vol. 8 No. 1

  Yener D, Ozgener O, Ozgener L. 2017. Prediction of soil temperatures for