TINJAUAN HUKUM TATA NEGARA INDONESIA TENTANG KEDUDUKAN WAZIR MENURUT IMAM AL-MAWARDI - Raden Intan Repository

  

TINJAUAN HUKUM TATA NEGARA INDONESIA TENTANG

KEDUDUKAN WAZIR MENURUT IMAM AL-MAWARDI

Skripsi

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat

  

Guna Mendapatkan Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Dalam Ilmu Syariah

  Oleh

  

NUR ALFIYAN

NPM : 1421020204

Jurusan : Hukum Tata (Siyasah Syar’iyyah)

  

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI RADEN INTAN

LAMPUNG

1440/2018 M

  

TINJAUAN HUKUM TATA NEGARA INDONESIA TENTANG

KEDUDUKAN WAZIR MENURUT IMAM AL-MAWARDI

Skripsi

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat

  

Guna Mendapatkan Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Dalam Ilmu Syariah

  Oleh

  

NUR ALFIYAN

NPM : 1421020204

Jurusan : Hukum Tata Negara (Siyasah Syar’iyyah

Pembimbing I : Drs. Susiadi AS., M.Sos.I.

  

Pembimbing II : Relit Nur Edi, S.Ag., M.H.I.

  

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI RADEN INTAN

LAMPUNG

1440/2018 M

  

ABSTRAK

TINJAUAN HUKUM TATA NEGARA INDONESIA TENTANG

KEDUDUKAN WAZIR MENURUT IMAM AL-MAWARDI

Oleh:

NUR ALFIYAN

  Wazir merupakan pembantu kepala negara (raja atau khalifah) dalam menjalankan tugas-tugasnya. Sebab pada dasarnya kepala negara tidak mampu menangani seluruh permasalahan politik dan pemerintahan tanpa orang-orang terpercaya dan ahli di bidangnya masing-masing. Karena kepala negara membutuhkan bantuan tenaga dan pikiran wazir, sehingga sebagian persoalan- persoalan kenegaraan yang berat tersebut dapat dilimpahkan kewenanganya kepada wazir. Keberadaan kementerian Indonesia di atur secara tegas dalam pasal

  17 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan: 1) Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. 2) Menteri-menteri di angkat dan di berhentikan oleh presiden. 3) Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintah. 4) Pembentukan, pengubahan dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang. Selain UUD diatas Perpres No 7 Tahun 2015 juga mengatur tentang kementerian.

  Permasalahan yang hendak di teliti dalam skripsi ini adalah bagaimana kedudukan wazir menurut Imam Al-Mawardi dan Tinjauan Hukum Tata Negara Indonesia terhadap kedudukan wizarah menurut Imam Al-Mawardi. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui, kedudukan wazir menurut Imam Al-Mawardi dan Hukum Tata Negara Indonesia. Metode penelitian ini adalah Jenis penelitan adalah kepustakaan (liblary research). dengan pendekatan yuridis normative adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka. Kemudian data yang terkumpul diolah melalui proses editing, coding dan rekontruksi data sehingga menjadi bentuk karya ilmiah yang baik. Sedangankan analisis data dengan menggunakan analisis secara kualitatif. Dengan menggunakan metode induktif.

  Hasil penelitian yang di dapat, bahwa Imam Al-Mawardi memandang wazir merupakan pembantu Imam (Khalifah) dalam menjalankan pemerintahan negara berdasarkan bidang dan tugasnya masing-masing. Karna pada dasarnya kepala negara tidak sanggup melakukan tugas negara seorang diri Ia butuh bantuan dari orang lain yaitu wazir. ditinjau dari Hukum Tata Negara kedudukan mentri adalah sebagai pembantu Presiden. Kedudukan mentri hanya sebatas menjalankan tugas yang diputuskan oleh Presiden. Sesuai dengan sistem yang dianut oleh negara Indonesia yaitu sistem Presidensial, dimana Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Lain halnya dengan negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer seperti contoh negara Malaysia, Brunei Darussalam, yang menempatkan mentri sebagai kepala pemerintahan. diamana menteri dapat memutuskan hukum sendiri berdasarkan ijtihadnya. Sangat relevan jika teori Imam al-Mawardi diterapkan di negara dengan sistem pemerintahan parlementer.

  

MOTTO

              

 

  ) –

  29 92 : ه ى ط( Artinya: “ Dan jadikanlah untukku seorang wazir (pembantu) dari keluargaku,

(yaitu) Harun, saudaraku. Teguhkanlah denganya kekuatanku dan jadikanlah ia

  1 sekutu dalam urusanku.” (Qs. Thaha : 29-32)

1 Departemen Agama RI, Al-Q ur’an dan Terjemahanya, (Semarang, CV. Asy Syifa’), h.

  254.

  

PERSEMBAHAN

  Dengan penuh rasa syukur atas keesaan Allah swt, dengan semua pertolongan-Nya sehingga dapat tercipta karya tulis ini. Maka kupersembahkan skripsi ini kepada orang-orang yang tercinta dan tersayang diantaranya: 1.

  Bapak dan Ibu tercinta yang telah mendidikku sejak balita hingga dewasa, dan selalu berdo’a dengan penuh kesabaran demi keberhasilan studi dan karirku. Terimakasih banyak bapakku (Sarmin) dan Ibuku (Rustinah) Alfiyan saying kalian.

  “Ya Allah Ampunilah segala dosa bapak dan ibuku, limpahkan

  segala karunia nikmat, serta ridho-Mu.

  2. Adik-adikku tercinta Hidayatul Mu’azis dan Bilal Anugerah, yang selalu memberi semangat dan motivasi dan keceriaan dalam penyusunan skripsi ini.

  3. Sahabat-sahabat seperjuanagn jurusan Siyasah Syar’iyyah terimakasih atas dukungan dan bantuanya.

  4. Keluarga besar UKM Volley Ball UIN Raden Intan Lampung,yang senantiasa memberikan semangat dan motivasi untuk meneyelesaiakan skripsi ini.

  5. Almamaterku tercinta UIN Raden Intan Lampung.

RIWAYAT HIDUP PENELITI

  Peneliti lahir pada tanggal 12 April 1996 di desa Sinar Gading, Kecamatan Kasui, Kabupaten Way Kanan Provinsi Lampung. Dengan nama lengkap Nur Alfiyan, Peneliti dilahirkan oleh ibu kandung yang bernama Rustinah, dan ayah kandung bernama Sarmin. Peneliti merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.

  Menyelesaikan pendidikan dasarnya di SDN 01 Sinar Gading Kecamatan Kasui Kabupaten Way kanan (Tahun 2007), pendidikan lanjut di SMP N 02 Adiluwih Kecamatan Adiluwih Kabupaten Pengsewu (Tahun 2010), dan lanjut di SMA N 01 Kasui Kecamatan Kasui Kabupaten Way kanan (Tahun 2013).

  Ketiganya dijalani dan dislesaikan dengan lancar. Kemudian pada tahun 2014 melanjutkan ke UIN Raden Intan Lampung Fakultas Syariah dengan mengambil program studi Siyasah sampai sekarang.

  Bandar Lampung 06 Desember 2018 Penulis Nur Alfiyan

KATA PENGANTAR

  Alhamdulillah, puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah swt, yang telah melimpahkan Rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

  Skripsi denga n judul “Tinjauan Hukum Tata Negara Indonesia tentang Kedudukan Wazir Menurut Imam Al-Mawardi

  ” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Hukum Tata Negara Siyasah

  Syar’iyyah, Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung.

  Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, motivasi, saran dan kritik yang telah diberikan oleh semua pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih seluruhnya kepada :

  1. Prof. Dr. H.Moh Mukri, M.Ag, selaku Rektor UIN Raden Intan Lampung.

  2. Dr. Alamsyah, S.Ag., M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Raden Intan Lampung.

  3. Dr. H. Khairuddin, M.H., selaku Wakil Dekan I Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Raden Intan Lampung.

  4. Drs. Haryanto H, M.H., selaku Wakil Dekan II Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Raden Intan Lampung.

  5. Drs. H. Chaidir Nasution, M.H., selaku Wakil Dekan III Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Raden Intan Lampung.

  6. Drs. Susiadi, M.Sos.I., selaku Ketua Jurusan Siyasah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Raden Intan Lampung dan selaku pembimbing I yang telah membimbing penulis untuk penyelesaian skripsi ini.

  7. Relit Nur Edi, S.Ag. M.H.I. selaku Pembimbing II yang telah banyak memotivasi dan meluangkan waktu untuk penyelesaian skripsi ini.

  8. Seluruh Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum khususnya Program Studi Siyasah Syar’iyyah, atas ilmu dan didikan yang telah diberikan.

  9. Seluruh Staf Karyawan Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum dan Perpustakaan Pusat UIN Raden Intan Lampung.

  10. Ayah dan Ibu yang selalu mendukung setiap langkahku serta do’a yang tak pernah henti dihaturkan setiap sujudmu.

  11. Teman-teman Siyasah kelas B angkatan 2014, yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, terimakasih atas kebersamaan perjuangan selama ini.

  Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun akan penulis terima dengan tangan terbuka dan ucapan terimakasih. Namun demikian, penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya. Aamiin.

  Bandar Lampung, 10 Desember 2018 Penulis Nur Alfiyan

  

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .........................................................................................i

ABSTRAK .........................................................................................................ii

LEMBAR PERSETUJUAN .............................................................................iii

LEMBAR PENGESAHAN ..............................................................................iv

MOTTO .............................................................................................................v

PERSEMBAHAN ..............................................................................................vi

RIWAYAT HIDUP ...........................................................................................vii

KATA PENGANTAR .......................................................................................viii

DAFTAR ISI ......................................................................................................xi

  

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................1

A. Penegasan Judul .............................................................................1 B. Alasan Memilih Judul ....................................................................2 C. Latar Belakang Masalah ................................................................3 D. Rumusan Masalah ..........................................................................10 E. Tujuan Penelitian Dan Kegunaan Penelitian .................................10 F. Metode Penelitian ..........................................................................11 BAB II MENTRI DALAM PERSPEKTIF HUKUM TATA NEGARA INDONESIA .........................................................16 A. Kementrian Negara Berdasarkan Uud 1945 ..................................16 B. Kedudukan Mentri Dalam Hukum Tata Negara Indonesia ...........23 C. Sistem Pengangkatan Dan Pemberhentian Mentri Menurut Undang- Undang ...........................................................................................29 1. Pelaksanaan pengangkatan ............................................................33 2. Pelaksanaan pemberhentian ...........................................................36

  BAB III PANDANGAN IMAM AL-MAWARDI TENTANG KEDUDUKAN WAZIR ....................................................................41 A. Biografi Imam al-Mawardi ..........................................................41 B. Pendidikan Dan Guru-Guru Imam al-Mawardi ...........................42 C. Karya-Karya Imam al-Mawardi ..................................................45 D. Pokok-Pokok Pemikiran Politik Imam al-Mawardi ....................47 E. Kedudukan Wazir Menurut Imam al-Mawardi ...........................59 F. Sistem Pengangkatan Wazir Menurut Imam al-Mawardi ...........65

BAB IV ANALISIS KEDUDUKAN WAZIR MENURUT IMAM AL-

MAWARDI DAN HUKUM TAT NEGARA INDONESIA ...........72 A. Pandangan Imam al-Mawardi Tentang Kedudukan Wazir ............72 B. Tinjauan Hukum Tata Negara Indonesia terhadap kedudukan Wazirmenurut Imam al-Mawardi ..................................................76

BAB V PENUTUP ...........................................................................................79

A. Kesimpulan ....................................................................................79 B. Saran ..............................................................................................80 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ LAMPIRAN-LAMPIRAN ...............................................................................

BAB I PENDAHULUAN A. Penengasan Judul Penegasan judul ini untuk memudahkan dan menghindari kesalahpahaman

  dari berbagai interpretasi dalam memahami judul skripsi yang penulis ajukan, maka diperlukan adanya penegasan pengertian istilah yang terdapat pada judul skripsi:

  ”Tinjauan Hukum Tata Negara Indonesia Tentang Kedudukan Wazir Menurut Imam al-Mawardi

  ” adalah sebagai berikut: 1. Tinjauan adalah adalah pemeriksaan yang teliti, penyelidikan, kegiatan pengumpulan data, pengolahan, analisis dan penyajian data yang dilakukan secara sistematis dan objektif untuk memecahkan suatu persoalan.

  1 2.

  Hukum Tata Negara berdasarkan doktrin ilmu pengetahuan hukum, lazimnya dipahami sebagai bidang ilmu hukum tersendiri yang membahas mengenai struktur ketatanegaraan dalam arti statis, mekanisme hubungan antara kelembagaan negara, dan hubungan antara negara dengan warga negara.

  2 3.

  Kedudukan menurut Soerjono Soekanto merupakan posisi hubungan antara satu orang atau lembaga dengan yang lainya dalam lingkungan masyarakat.

  3 4.

  Kementrian (Al-Wizarah) kata “wizarah” diambil dari kata “ al-wazr” yang berarti “al-tsuql” atau berat. Dikatakan demikian karena seorang wazir memikul beban tugas-tugas kenegaraan yang berat. Kepadanya dilimpahkan sebagian kebijaksanaan pemerintahan dan pelaksanaanya. Dalam bahasa Arab 1 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 157. 2 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negra Indonesia-Edisi Revisi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), h.3. 3

  dan Persia modern, wazir mempunyai pengertian yang sama dengan menteri

  4 yang mengepalai departemen dalam pemerintahan.

5. Imam al-Mawardi, Ia adalah Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-

  Mawardi Al-Bashari. Ia seorang pemikir Islam terkenal, ahli fiqh terkemuka dari ahlin mazhab Syafui’i, dan tokoh politik yang cukup berpengaruh pada masa daulah Abbasiyah. Ia hidup antara 364 dan 450 H. Ia belajar hadis di negeri Basrah kepada Hasan bin Ali Muhammad Al-Jabali, fiqh kepada Abul Qasim Abdul Wahid bin Muhammad Ash-Shamiry Al-Qady, kemudian berangkat ke Baghdad untuk memperdalam ilmu dan menemui Syekh Abu

  5 Hamid Ahmad bin Abi Thahir Al-Isfirayani dan belajar fiqh kepadanya.

  Jadi dari beberapa penjelasan diatas penulis menegaskan kembali bahwa judul skripsi ”Tinjauan Hukum Tata Negara Indonesia Tentang Kedudukan Wazir

  Menurut Imam al- Mawardi ” adalah Studi analisis bagaimana pandangan Hukum

  Tatanegara Indonesia terhadap kedudukan Wazir (kementrian), menurut Imam al- Mawardi.

B. Alasan memilih Judul

  Ada beberapa alasan yang menjadi motivasi penulis untuk memilih judul ini sebagai bahan untuk penelitian, diantaranya sebagai berikut :

  1. Penulis sangat tertarik mengkaji pemikiran-pemikiran Imam al-mawardi tentang Wazir karena menurut penulis pemikiran aL-Mawardi sangat baik untuk dijadikan bahan kajian ilmiah. 4 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstual Doktrin Politik Islam, (Jakarta : Gaya Media Pratama,2014), h.166. 5 Rosihon Anwar, Filsafat Politik Antara Barat dan Islam, (Bandung : CV Pustaka Setia,

  2. Penulis ingin mengetahui lebih jauh peran dan kedudukan wazir menurut konsep Imam al-Mawardi dan menurut Hukum Tata Negara Indonesia dalam hal kementrian Indonesia.

3. Karena kebutuhan prodi dan ketersediaan data yang diajukan dan kesesuaian dengan jurusan yang saya ambil.

C. Latar belakang masalah

  Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) menegaskan bahwa “Negara Indonesia adal ah negara hukum”. salah satu ciri dalam negara hukum, yang dalam bahasa Inggris disebut legal state atau state based on the rule of law, dalam bahasa Belanda dan Jerman disebut rehtsstaat, adalah dianutnya pemisahan atau

  6

  pembagian kekuasaan dalam penyelenggaraan Negara. Pentingnya pemisahan atau pembagian kekuasaan dalam sebuah negara menurut Montesquieu didasarkan atas logika bahwa kekuasaan yang terlalu besar dan dikonsentrasi pada satu tangan sangat potensial untuk disalahgunakan karena tidak ada kekuasaan lain yang dapat menjadi penyeimbang dan kontrol. Suatu kekuasaan hanya mungkin dikontrol oleh fungsi kekuasaan lainya yang dipisah dan memliki kedudukan yang setara.

  Konkretisasi pemikiran Montesquieu ia tuangkan dalam karyanya

  L’Esprit

  dengan membagi kekuasaan negara dalam tiga cabang yaitu. (1)

  des Lois

  7 Kekuasaan Legislatif, (2) Kekuasaan Eksekutif, dan (3) Kekuasaan Yudikatif.

  Kekuasaan Eksekutif adalah kekuasaan negara yang melaksanakan Undang- 6 Jimly Ashidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta : Rajawali Pers, 2014), h. 281. 7

  Undang, menyelenggarakan urusan pemerintahan dan mempertahankan tata tertib

  8

  keamanan, baik di dalam maupun diluar negeri. Sedangkan menurut Jimmly Ashiddiqie cabang kekuasaan eksekutif adalah cabang kekuasaan yang memegang

  9 kewenangan administrasi pemerintahan negara yang tertinggi.

  Dalam konteks negara hukum Indonesia, khusus cabang kekuasaan eksekutif dilaksanakan oleh Presiden, hal ini dilandaskan secara normatif pada Pasal 4 ayat (1) UUD NRI 1945 bahwa “ Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-

  Undang Dasar”. Ketentuan Pasal tersebut mempunyai makna bahwa Presiden dalam kedudukanya dapat disebut sebagai kepala pemerintahan yang memiliki kewenangan penuh untuk menjalankan tugas pemerintahan di Indonesia.

  Dalam rangka menjalankan tugas pemerintahan, Presiden sebagaimana diamanatkan UUD NRI 1945 dibantu oleh mentri-mentri negara. Dalam bab V tentang Kementrian Negara pasal 17 UUD NRI 1945 disebutkan bahwa: 1.

  Presiden dibantu oleh Mentri-mentri negara.

  2. Mentri-mentri itu dangkat dan diberhentikan oleh Presidien.

  3. Setiap mentri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.

  4. Pembentukan, pengubahan dan pembubaran kementrian negara diatur dalam Undang-undang.

  Hadirnya kewenangan Presiden dalam mengangkat dan memberhentikan mentri sebagaimana diamanatkan pada Pasal 17 ayat (2) bermakna bahwa Presiden mempunyai kewenangan Konstitsional dalam menyusun Kementrian 8 Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Pasca Amandemen(Jakarta : Kencana , 2011), h. 111. 9 yang akan membantunya dalam menjalankan tugas dan fungsi pemerintahan. Ketentuan ini sekaligus bermakna bahwa Mentri-mentri negara yang membidangi urusan tertentu tersebut berada dibawah Presiden dan bertanggungjawab kepada Presiden.

  Secara esensil, eksistensi dan kedudukan mentri dalam penyelenggaraan pemerintahan sangatlah penting. Berdasarkan penjelasan UUD 1945 sebelum amandemen dinyatakan bahwa mentri-mentri itu bukanlah pejabat yang biasa, kedudukanya sangat tinggi sebagai pemimpin pemerintahan eksekutif sehari-hari.

  Artinya para mentri itulah pada pokonya yang merupakan pimpinan pemerintahan

  10

  dalam ati yang sebenarnya dibidang tugas-tugasnya masing-masing. Dengan kedudukan tersebut mentri memiliki pengaruh besar terhadap Presdien dalam

  11 menentukan politik Negara.

  Ketentuan lebih lanjut tentang mentri diatur dalam Undang-Undang No 39 Tahun 2008 tentang kementrian Negara. Lahirnya UU tersebut merupakan hasil perubahan ketiga UUD NRI 1945 yang menambah satu Pasal dalam hal terkait Kementrian Negara yaitu Pasal 17 ayat (4) UUD NRI 1945 bahwa pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementrian Negara diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang. Dalam penjelasannya, diuraikan bahwa Undang-Undang tersebut juga didasarkan atas semangat hadirnya pedoman konkret yang dapat memudahkan Presiden dalam menyusun kementrian Negara karena dalam Undang-Undang ini secara jelas dan tegas mengatur kedudukan, tugas, fungsi dan susunan organisasi kementrian Negara. 10 11 Ibid, h. 148.

  Dalam hal pelaksanaan pengangkatan dan pemberhentian mentri, Undang- Undang a Quo mengatur tentang persyaratan pengangkatan dan pemberhentian mentri. Pengaturan persyaratan pengangkatan maupun pemberhentian mentri tidak dimaksudkan untuk membatasi hak Presiden dalam memilih seorang mentri, namun hadirnya ketentuan tersebut dimaksudkan agar seorang mentri yang diangkat oleh Presiden memiliki integeritas dan memiliki integeritas dan kepribadian yang baik, serta memiliki kompetensi dalam bidang tugas kementrian, memiliki pengalaman kepemimpinan, dan sanggup bekerjasama sebagai

  12 pembantu Presiden.

  Selanjutnya dalam Khazanah intelektual Islam era kekhalifahan Abbasiyah pernah mengukir sejarah emas dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan pemikiran tentang keagamaan. Salah satu tokoh terkemuka sekaligus pemikir dan peletak dasar keilmuan politik Islam penyangga kemajuan Abbasiyah itu adalah Imam al- Mawardi. Tokoh yang pernah menjadi qadhi (hakim) dan duta keliling Khalifah ini, menjadi penyelamat berbagai kekacauan politik di negaranya, Basrah ( kini Irak), beliau juga sebagai seorang penasehat politik, Imam al-Mawardi menempati kedudukan yang paling penting di antara sarjana-sarjana muslim.

  Istilah kementrian yang digagas Imam al-Mawardi dalam sistem pemerintahan Islam meskipun dalam Fiqih Siyasah digunakan istilah Wazir, namun istilah ini digunakan dengan konotasi bahasa, yaitu pembantu Khalifah. bukan dengan konotasi mentri kabinet sebagaimana yang disebut dalam pemerintahan kontenporer. penguasa yang mempunyai otoritas pemerintahan 12 secara utuh adalah para mentri, bukan hanya seorang mentri, karena seorang mentri hanya mempunyai kewenangan terbatas sebagaimana yang telah ditetapkan oleh kepala negara.

  Imam al-Mawardi berpendapat bahwa wazir atau kementrian terbagi menjadi dua yaitu wazir tafwidhi dan wizarah tanfidzi. Jenis yang pertama adalah jabatan

  

wazir yang diangkat oleh kepala Negara untuk diserahkan kepadanya urusan

  pemerintahan dan diberi hak penuh untuk bertindak. Wazir ini bukan seorang perantara tetapi merupakan kepala negara yang kedua. Dari pengertian ini, tentu akan muncul anggapan bahwa akan ada tumpang tindih atau pertentangan antara tugas dan kekuasaan wazir dengan kepala negara, karena keduanya sama dalam tugas dan kekuasaan. Lalu seberapa banyak fungsi kepala negara bila wazir ini sudah ada, begitu pula sebaliknya. Bagaimana pula mekanisme pertanggungjawaban perdana mentri ini kepada kepala negara sedangkan keduanya mempunyai kesetaraan tugas dan wewenang.

  Wazir

  jenis yang kedua adalah :“jabatan wazir yang bertugas melaksanakan rupa urusan, tanpa mempunyai kekuasaan otonom. Segala ketentuan dan ketetapan tetap ditangan kepala negara. Wazir petugas ini hanya melaksanakan

  13

  hukum-

  Wazir ini hanyalah

  hukum yang dikeluarkan oleh kepala negara.” perantara antara kepala negara dengan rakyatnya, namun boleh mengemukakan tentang pendapatnya, yaitu wizarah tanfidzi. Wizarah tanfidzi tidak memiliki kuasa atas urusan apapun kecuali hanya apa yang diperintahkan oleh kepala negara, dan ini sangat berbeda sekali dengan wizarah tafwidhi menurut Imam Al- 13 Al-mawardi, al-ahkam al-sultoniyah wu ul-wilayah, (Bairut, al-makatab al-islami, 1416 Mawardi, seluruh yang boleh dilakukan kepala negara boleh pula dilakukan oleh

  

wazir tafwidhi kecuali tiga hal : pertama, memberi mandat kekuasaan kepala

  negara karena kepala negara dapat memberikan mandat yang ia pegang kepada siapa saja yang ia nilai pantas, sedangkan mentri tidak memiliki wewenang itu.

  

Kedua , kepala negara dapat mencukupi kebutuhan umat terhadap institusi

pimpinan pemerintahan, sedangkan Wazir Tafwidhi tidak dapat melakukanya.

  

Ketiga , kepala negara dapat memberhentikan pejabat yang diangkat oleh Wazir

Tafwidhi sedangkan Wazir Tafwidhi tidak dapat memberhentikan pejabat yang

14 diangkat oleh kepala negara.

  Sebenarnya letak perbedaan dalam hal istilah yang digunakan dalam Islam di Barat kurang jelas, seperti apa Wizarah dalam Islam dan seperti apa perkembangan dalam teori kementrian barat dewasa ini. Menurut Diyu,ud-din ar-

  

Rais ; bila dibandingkan dengan tata hukum sekarang terdapat dalam undang-

  undang modern, maka wazir Tafwidhi hampir sama dengan yang dikatakan “ perdana mentri”, dan wazir dalam pemerintahan sekarang, hanyalah wazir

  

Tafwidhi yang harus melaksanakan putusan-putusan kabinet saja. Fiqh Islam

  menamakanya dengan para wali, karena harus bekerjasama dan tunduk di bawah

  15

  putusan kabinet. Islam lebih dulu mengenal masalah dusturiyah dan idariyyah ketimbang Barat, berarti teori kementrian juga telah dikenal Islam sebelum Barat menggagas tentang kementrian. Meskipun telah berusia tua, kementrian ini selalu eksis sampai saat ini karena merupakan ujung tombak pemerintahan. Mungkin saja disebabkan karena Islam berhenti dalam berjihad di bidang pemikiran 14 15 Ibid, h. 221.

  pemerintahan, sehingga Barat mengadopsi dan kemudian mengembangkan pemikiran yang sudah dicapai oleh Islam, akibatnya sampai abat modern ini Baratlah yang kemudian mendominasi semua dalam hal sistem pemerintahan.

  Termuat prinsip-prinsip politik kontenporer dan kekuasaan, yang pada masyarakat dapat dikatakan sebagai pemikiran maju, bahkan sampai kini sekalipun. Misalnya, dalam buku itu dibahas masalah pengangkatan Imam (kepala Negara atau pemimpin), pengangkatan mentri, gubernur, panglima perang, ijtihad bagi kemaslahatan umum, jabatan hakim, jabatan wali pidana.

  Selain itu juga dibahas imam shalat, zakat, fa’i dan ghanimah ( harta peninggalan

  

16

  perampasan perang) dan sebagainya. Khususnya dalam konteks sistem pemerintahan kontenporer, sulit rasanya menerapkan konsep dan pemikiran Imam al-Mawardi secara penuh. Barangkali, hanya beberapa bagian, semisal dalam masalah kualifikasi dan pengangkatan seorang Imam, juga masalah pembagian kekuasaan di bawahnya. Namun demikian, wacana Imam al-Mawardi sangat berbobot ketika diletakan sebagai antithesis dari kegagalan teori demokrasi, dan

  17 sumbang khazanah berharga bagi perkembangan politik Islam modern.

  Dari latar belakang masalah yang penulis uraikan di atas, penulis tertarik untuk menggali lebih mendalam tentang pemikiran Imam Al-Mawardi yang berkenaan dengan Wazir (Kementrian) kemudian dikomparasikan dengan Hukum Tata negara Indonesia. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan antara Wazir menurut Imam al-Mawardi dan Hukum Tata Negara Indonesia. Dalam skripsi ini 16 Imam Munawir, Asas-Asas Kepemimpinan dalam Islam, ( Surabaya : Usaha Nasional, 1980), h.5. 17 Munawir Sjadli, Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, ( Jakarta :

  penulis harapkan dapat memberikan sumbangan terhadap ilmu pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan Wazir (kementrian).

D. Rumusan Masalah

  Berdasaran latar belakang masalah tersebut, ada beberapa pokok masalah yang mendasari penelusuran terhadap pemikiran Imam al-Mawardi, yaitu:

  1. Bagaimana kedudukan Wazir (kementrian) menurut Imam aL-Mawardi ? 2.

  Tinjuan Hukum Tata Negara Indonesia terhadap kedudukan wazir (Kementrian) menurut Imam al-mawardi ? E.

   Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian 1.

  tujuan penelitian Tujuan yang hendak dcapai dalam penelitian ini adalah : a.

  Untuk mengetahui kedudukan Wazir menurut Imam al-Mawardi b. Untuk mengetahui tinjauan Hukum Tata Negara Indonesia terhadap kedudukan wazir menurut Imam al-Mawardi.

  2. Kegunaan penelitian Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah: 1.

  Kegunaan Teoritis a.

  Memberikan pemahaman bagi pembaca mengenai kedudukan wazir (kementrian).

  b.

  Dapat membawa perkembangan terhadap ilmu pengetahuan dan dapat dijadikan rujukan tentang kedudukan wazir (Kementrian).

  c.

  Untuk menambah refrensi, bahan Literatur atau pustaka, khususnya dalam memahami wazir (Kementrian). d.

  Dapat menjadikan dasar bahan kajian untuk penelitian lebih lanjut dan lebih mendalam tentang permasalahan yang terkait.

2. Kegunaan Praktis a.

  Memberikan wawasan kepada penulis dan dalam rangka meningkatkan disiplin ilmu yang akan dikembangkan sesuai dengan bidang studi yang merupakan mata kuliah pokok dan diperdalam lebih lanjut lagi melalui studi-studi yang serupa dengan disiplin ilmu tersebut.

  b.

  Memberikan manfaat bagi semua kalangan masyarakat luas terutama setiap orang yang ingin memperdalam ilmu hukum ketatanegaraan di setiap perguruan tinggi, khususnya yang mengkaji bidang wazir (mentri).

  c.

  Memberikan sumbangan khususnya bidang ilmu ketatanegaraan sehingga berfungsi untuk mengetahui tentang wazir (Kementrian) menurut pandangan Imam al-Mawardi dan Hukum Tata Negara Indonesia.

  d.

  Memberikan informasi dan masukan bagi para peneliti berikutnya yang ingin melakukan penelitian di bidang ini.

F. Metode Penelitian

  Secara etimologis penelitian dalam bahasa inggris yitu research yang berasal dari dua kata yaitu re dan search. Re berarti kembali atau berulang dan search berarti mencari, menjelajahi, atau menemukan makna. Dengan demikian metode penelitian atau riset berarti mencari, menjelajahi atau menemukan makna kembali

  18 secara berulang.

  Metode ini adalah metode yang paling tepat untuk melakukan sesuatu dengan menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai tujuan. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode yang sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas. Metode ini sekaligus sesuai dengan penulisan karya ilmiah maupun menjawab rumusan masalah yang telah ditetapkan sesuai dengan jenis dan sifat

  19

  penelitian Agar suatu penelitian mendapatkan hasil yang maksimal, perlu ditentukan metode-metode tertentu dalam melaksanakan penelitian, ada beberapa hal yang perlu dikemukakan dalam metode penelitian, antara lain: 1.

  Jenis dan pendekatan Dilihat dari jenisnya, penelitian dalam skripsi ini termasuk dalam penelitian pustaka (library research). Penelitian pustaka yaitu penelitian yang dilaksanakan dengan menggunakan literatur (kepustakaan) baik berupa buku, catatan, maupun laporan hasil penelitian dari peneliti terdahulu yang

  20

  digunakan sebagai data primer. Kemudian pendekatan di dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, yang dimaksud pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan hukum

  18 Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif, (Bandung: CV.Pustaka Setia, 2002), h.

  25. 19 Cholid Nurbuko dan Abu Ahmadi, Metode Penelitian, (Jakarta : Bumi Aksara. 1997), h.30. 20 Susiadi, Metodologi Penelitian, (Bandar Lampung : Pusat Penelitian dan Penerbitan utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini.

2. Jenis dan Sumber Data

  Jenis data yang digunakan adalah dengan mengkaji dan menelusuri bahan- bahan pustaka terhadap pemikiran-pemikiran Imam al-Mawardi mengenai

  Wazir (Kementrian) baik literatur primer maupun sekunder yang jadi penunjang dalam pemecahan pokok-pokok masalah.

  Adapun sumber datanya dapat dikategorikan menjadi dua yaitu : a.

  Data Primer Data yang diperoleh dari literatur yang langsung berhubungan dengan permasalahan penulis yaitu berasal dari Al-

  Qur’an, hadist, dan buku-buku karya Imam al-Mawardi di antaranya, al-ahkam as-Sultanniyyah dan

  Qawain al-Wizarah wa Styasat al-mulk , kemudian buku Hukum Tata

  Negara di antaranya, Pengantar Hukum Tata Negara dan Struktur UU No 39 Tahun 2008. Dan literatur buku

  Ketatanegaraan Indonesia, lainya yang menyangkut permasalahan skripsi ini.

  b.

  Data Sekunder Sumber data yang diperoleh melalui data yang telah diteliti dan dikumpulkan oleh pihak lain yang berkaitan dengan permasalahan penelitian berupa buku, koran, med ia “online”, karya tulis, jurnal dan artikel-artikel yang dapat mendukung dalam penulisan penelitian dan relevan dengan penelitian ini.

  3. Tehnik Pengumpulan Data Tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini melalui dokumentasi dengan cara penelusuran dan penelitian kepustakaan, yaitu

  21

  mencari data mengenai obyek penelitian. Dan mengumpulkan data mengenai suatu hal atau variabel tertentu yang berupa catatan, buku, surat kabar, artikel dan lain sebagainya. Teknik ini dilakukan dengan cara mencari, mencatat, menginventarisasi, menganalisis dan mempelajari data-data yang berupa bahan-bahan pustaka yang berkaitan serta dengan cara menelaah sumber-sumber kepustakaan tersebut.

  4. Tehnik Pengelolaan Data Secara umum pengelolaan data setelah data terkumpul dapat dilakukan: a.

  Pemeriksaan data (editing) yaitu pengecekan atau pengoreksian data yang telah dikumpulkan karena kemungkinan data yang terkumpul itu tidak logis. Dan memeriksa ulang, kesesuaian dengan permasalahan yang akan diteliti setelah data tersebut terkumpul.

  b.

  Penandaan data (coding) yaitu memberi catatan data yang menyatakan jenis dan sumber data baik itu sumber dari Al- Qur’an dan hadis, atau buku-buku literatur yang sesuai dengan masalah yang diteliti.

21 Suharsini Arikunto, Prosedur Peneltian Suatu Pendekatan Praktek (Ed.) Cet.4, (Jakarta :Rineka Cipta, 1998), h. 236.

  c.

  Rekontruksi data yaitu menyusun ulang secara terartur berurutan, logis sehingga mudah dipahami sesuai dengan permasalahan kemudian ditarik

  22 kesimpulan sebagai tahap akhir dalam proses penelitian .

5. Metode Analisa Data

  Dalam menganalisis data dilakukan dengan analisis secara kualitatif, yaitu dengan cara menganalisis data menggunakan sumber informasi yang relevan untuk melengkapi data yang penulis inginkan. Metode yang dgunakan dalam menganalisis data ini yaitu dengan metode Induktif. Metode induktif adalah suatu cara fikir yang berangkat dari fakta-fakta yang khusus, pristiwa-pristiwa yang konkrit, kemudian dari fakta-fakta yang khusus konkrit generalisasi yang bersifat umum.

22 Amiruddin Dan Zainal Arifin Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta :

BAB II MENTRI DALAM PERSPEKTIF HUKUM TATA NEGARA INDONESIA A. Kementerian Negara Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan (UUD 1945) mengatur

  1

  bahwa Indonesia menjalankan sistem pemerintahan presidensial. Presiden memegang kekuasaan penuh untuk menjalankan roda pemerintahannya. Salah satu kewenangan Presiden adalah mengangkat dan menetapkan pejabat tinggi

  2 negara, seperti mengangkat menteri-menteri.

  Pasal 17 ayat (1) menegaskan bahwa kedudukan menteri adalah sebagai pembantu Presiden. Para menteri ini bertanggung jawab kepada Presiden bukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) karena statusnya sebagai pembantu Presiden. Disinilah terlihat bahwa UUD 1945 menganut sistem presidensial, karena kekuasaan dan tangung jawab pemerintahan tetap berada di tangan Presiden. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri didasarkan pada Pasal 17 ayat (2) UUD 1945. Presidenlah yang memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara karena kedudukannya sebagai kepala pemerintahan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kedudukan menteri-menteri tidak tergantung pada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tetapi bergantung pada Presiden.

  Meskipun Pasal 17 ayat (3) menyatakan bahwa menteri-menteri itu memimpin Departemen Pemerintahan, tetapi dalam prakteknya terdapat beberapa 1 2 Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. menteri yang tidak memimpin Departemen Pemerintahan, seperti Menteri Sekretaris Negara dan ada juga diangkat Menteri Koordinator dan Menteri Muda.

  Secara yuridis hal ini tidak bertentangan dengan ketentuan UUD 1945, sebab Menteri Koordinator itu hanya berfungsi untuk mengkoordinir beberapa menteri yang memimpin departemen pemerintahan, sedangkan menteri muda adalah membantu untuk menangani bidang khusus dari seorang menteri yang memimpin departemen pemerintahan. Jika ditafsirkan dari Pasal 17 pun bahwa menteri adalah pembantu presiden maka tidak ada persoalan sebab Presiden sebagai kepala pemerintahan bisa saja menentukan pembantu yang diberi tugas khusus tanpa harus memimpin departemen, artinya ketentuan pasal 17 ayat (3) bahwa menteri itu memimpin departemen pemerintahan bukanlah suatu keharusan,

  3 semuanya tergantung pada Presiden sesuai dengan kebutuhan yang dihadapi.

  Penjelasan UUD 1945 menyatakan bahwa “menteri-menteri negara bukan pegawai tinggi biasa.” Berdasarkan ketentuan UUD 1945 menunjukkan bahwa menteri negara tergantung pada Presiden baik pengangkatan maupun pemberhentiannya, akan tetapi menteri-menteri tersebut bukan pegawai tinggi biasa. Hal ini dikarenakan menteri-menterilah yang menjalankan kekuasaan pemerintahan (pouvoir executive) dalam prakteknya. Sebagai Pemimpin Departemen, Menterilah yang paling mengetahui hal-hal mengenai lingkungan pekerjaannya. Menteri memiliki pengaruh besar terhadap Presiden dalam menentukan politik negara mengenai departemen yang dipimpinnya. Sehingga jelas bahwa menteri-menteri itu berkedudukan sebagai pemerintah atau pemegang 3 Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta : Rineka kekuasaan sebagai pembantu Presiden di tingkat pusat. Untuk menetapkan politik pemerintahan dan koordinasi dalam pemerintahan negara maka para menteri bekerja sama, satu sama lain seerat-eratnya di bawah kepemimpinan seorang Presiden.

  Pasal 68 ayat (2) Konstitusi RIS menyatakan bahwa, “Yang dimaksud dengan pemerintah menurut Konstitusi RIS ialah Presiden dengan seorang atau beberapa atau para Menteri, yakni menurut tanggung jawab khusus atau tanggung jawab

  4

  umum mereka itu. Berbeda dengan UUD 1945 yang menempatan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan sekaligus Kepala Negara, pada Konstitusi RIS Presiden hanya berkedudukan sebagai Kepala Negara, sedangkan kekuasaan pemerintahan dijalankan oleh kabinet yang dikepalai oleh Perdana Menteri. Hal ini dikarenakan dalam Konstitusi RIS, Indonesia menganut sistem pemerintahan parlementer.

  Pada masa pemberlakuan Konstitusi RIS, menteri-menteri adalah bagian dari alat-alat perlengkapan sekaligus bagian dari pemerintah bersama Presiden. Sistem pemerintahan yang diterapkan adalah sistem pemerintahan parlementer sehingga kekuasaan pemerintahan dan segala tindakan pemerintah yang bertanggung jawab adalah menteri-menteri. Presiden tidak bisa dimintai pertanggungjawabannya. Oleh karena itu, segala pemerintahan harus melibatkan menteri-menteri yang terkait. Sementara itu keterlibatan Presiden hanya bersifat formalitas untuk

  5

  sekedar mengetahui. Semua keputusan atau peraturan harus diambil oleh 4 5 Ibid, h. 95.

  Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Sekretaris Jendral dan kabinet, kemudian keputusan atau peraturan tersebut ditandatangani oleh Presiden

  6 dan ditandatangani oleh Menteri.

  Dalam Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950), sistem pemerintahan yang dianut Indonesia adalah sistem pemerintahan parlementer atau pertanggungjawaban Dewan Menteri kepada Parlemen, sedangkan Presiden hanyalah merupakan Kepala Negara, bukan Kepala Pemerintahan (Pasal 45

7 UUDS 1950). Sehingga penanggung jawab atas pemerintahan dipegang oleh

  menteri-menteri yang dipimpin oleh seorang perdana menteri. Sedangkan

  8 Presiden sebagai kepala negara tidak bisa dimintai pertanggungjawabannya.

  Sebagaimana dalam Konstitusi RIS, kedudukan menteri pada masa pemberlakuan UUDS 1950 lebih tinggi daripada pada saat diberlakukan UUD 1945. Pada masa ini menteri-menteri menjadi bagian dari alat-alat perlengkapan

  9

  negara (Pasal 44). Dari beberapa ketentuan pasal-pasal dalam UUDS 1950 dapat disimpulkan bahwa menteri-menteri atau pemerintah mempunyai kewenangan yang cukup besar. Selain sebagai bagian dari alat-alat kelengkapan negara, ia juga mempunyai kewenangan dan previllege. Ia terlibat secara langsung dalam proses pembuatan Undang-Undang, proses pembuatan anggaran belanja negara sekaligus pemegang umum anggaran, penerbitan uang, serta dalam kaitan dengan hubungan luar negeri.

  UUDS 1950 secara tegas memberikan kekuasaan kepada Presiden untuk mengangkat menteri-menteri (Pasal 50) dan perdana menteri. Dalam menjalankan 6 Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 Dengan Delapan Negara Maju , (Jakarta: Kencana, 2009), h. 82. 7 8 Moh. Mahfud MD, Op.cit, h. 97. 9 Pasal 83 UUDS 1950.

  kewenangannya ini, UUDS 1950 juga mengatur lebih lanjut bahwa presiden dapat

  

10