PENANGANAN KASUS KORUPSI DI SULAWESI SELATAN (STUDI KASUS DI KEJAKSAAN TINGGI SULAWESI SELATAN TAHUN 20152016)

  

PENANGANAN KASUS KORUPSI DI SULAWESI SELATAN (STUDI KASUS DI

KEJAKSAAN TINGGI SULAWESI SELATAN TAHUN 2015/2016)

Skripsi

  Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar Sarjana Hukum Jurusan Hukum Pidana dan Ketatanegaraan Pada Fakultas Syariah dan Hukum

  UIN Alauddin Makassar

  

Oleh

AZHAD ZADLY ZAINAL

NIM. 10300113117

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

  

2017

  DAFTAR ISI

  JUDUL ....................................................................................................................... i PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI .................................................................... ii PENGESAHAN ......................................................................................................... iii KATA PENGANTAR................................................................................................ iv DAFTAR ISI .............................................................................................................. vii PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................................ ix ABSTRAK ................................................................................................................. xvii

  BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1-12 A. Latar Belakang Masalah ...................................................................

  1 B. Fokus Penelitian dan Deskripsi Fokus .............................................

  8 C. Rumusan Masalah ............................................................................

  9 D. Kajian Pustaka ..................................................................................

  10 E. Tujuan dan Kegunaan .......................................................................

  12 BAB II TINJAUAN TEORETIS ....................................................................... 13-55 A. Tinjauan Umum Terhadap Tindak Pidana .......................................

  13 1. Pengertian Tindak Pidana dalam Hukum Nasional .....................

  13 2. Unsur-Unsur Tindak Pidana dalam Hukum Nasional ..................

  15 B. Tinjauan Umum Terhadap Tindak Pidana Korupsi..........................

  24 1. Pengertian Korupsi ......................................................................

  24 2. Dasar Hukum Kejahatan Korupsi ...............................................

  27 3. Pembagian, Bentuk, dan Jenis Korupsi .......................................

  29 4. Korupsi dalam Perspektif Hukum Pidana Islam .........................

  39

  C. Tinjauan Umum Kejaksaan ..............................................................

  59 G. Pengujian dan Keabsahan Data ........................................................

  80 DAFTAR RIWAYAT HIDUP ...................................................................................

  75 KEPUSTAKAAN ...................................................................................................... 76-79 LAMPIRAN-LAMPIRAN .........................................................................................

  74 B. Implikasi Penelitian ..........................................................................

  72 BAB V PENUTUP ............................................................................................. 74-75 A. Kesimpulan ......................................................................................

  62 B. Kendala yang Dihadapi oleh Kejaksaan Tinggi dalam Penanganan Kasus Tindak Pidana Korupsi ..........................................................

  A. Penanganan Kasus Tindak Pidana Korupsi oleh Kejaksaan Tinggi di Sulawesi Selatan ..........................................................................

  60 BAB IV PERANAN KEJAKSAAN TINGGI DALAM MENANGGULANGI KORUPSI DI SULAWESI SELATAN ................................................ 62-78

  59 F. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ..............................................

  50 1. Pengertian Kejaksaan ..................................................................

  58 E. Instrumen Penelitian .........................................................................

  57 D. Metode Pengumpulan Data ..............................................................

  57 C. Sumber Data .....................................................................................

  56 B. Pendekatan Penelitian .......................................................................

  55 BAB III METODOLOGI PENELITIAN ............................................................ 56-61 A. Jenis dan Lokasi Penelitian ..............................................................

  51 3. Tugas dan Wewenang Kejaksaan................................................

  50 2. Dasar Hukum Kejaksaan .............................................................

  97

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN DAN SINGKATAN

A. Transliterasi Arab-Latin

  Daftar huruf bahasa Arab dan transliterasinya ke dalam huruf Latin dapat dilihat pada tabel berikut:

  1. Konsonan Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama

  ا alif tidak dilambangkan tidak dilambangkan ب ba b be ت ta t te ث

  ṡa ṡ es (dengan titik di atas) ج jim j je ح

  ḥa ḥ ha (dengan titik di bawah) خ kha kh ka dan ha

  د dal d de ذ

  żal ż zet (dengan titik di atas) ر ra r er ز zai z zet

  س sin s es ش syin sy es dan ye

  ص ṣad ṣ es (dengan titik di bawah)

  ض ḍad ḍ de (dengan titik di bawah)

  ط ṭa ṭ te (dengan titik di bawah)

  ظ ẓa ẓ zet (dengan titik di bawah) gain g ge غ fa f ef

  ف qaf q qi ق kaf k ka ك lam l el ل mim m em

  م nun n en ن wau w we

  و ha h ha ه hamzah ʼ apostrof

  ء ya y ye ى

  Hamzah (ء) yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa diberi tanda apa pun. Jika ia terletak di tengah atau di akhir, maka ditulis dengan tanda (‘).

  2. Vokal Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

  Vokal tuggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat, transliterasinya sebagai berikut: Tanda Nama Huruf Latin Nama

  fatḥah a a

  ا

  kasrah i i

  ا

  ḍammah u u

  ا

  Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara harakat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu: Tanda Nama Huruf Latin Nama ai a dan i

  fatḥah dan yā’

  ٸ

  fatḥah dan wau au a dan u

  ٷ Contoh:

  : kaifa

  َﻒْﻴَﻛ

  : haula

  َلْﻮَﻫ

  3. Maddah Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harakat dan huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:

  Harakat dan Nama Huruf dan Tanda Nama Huruf

  fatḥah dan alif

  ā a dan garis di atas َى ... | َا ... atau yā’

  kasrah dan yā’ ī i dan garis di atas

  ِى

  dammah dan

  ū u dan garis di atas ُو

  wau

  Contoh: َتﺎﻣ : māta ﻰَﻣَر : ramā

  ُتْﻮَﳝ : yamūtu

  4. Tā’ marbūṭah Transliterasi untuk tā’ marbūṭah ada dua, yaitu: tā’ marbūṭah yang hidup atau mendapat harakat fatḥah, kasrah, dan ḍammah, transliterasinya adalah [t]. Sedangkan

  tā’ marbūṭah yang mati atau mendapat harakat sukun, transliterasinya adalah [h].

  Kalau pada kata yang berakhir dengan tā’ marbūṭah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka tā’

  marbūṭah itu ditransliterasikan dengan ha (h).

  Contoh: :rauḍah al-aṭfāl

  ؙ ا ْﻃ ﻷ

  ِلﺎَﻔ ﺔَﺿْوَر

  : al-madīnah al-fāḍilah ﺔَﻠِﺿﺎﻔ

  ْﻟا ُﺔَﻨْـﻳ ِﺪَﻤَﻟا

  : al-ḥikmah ﺔَﻤْﻜَِﳊا

  5. Syaddah (Tasydīd)

  Syaddah atau tasydīd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan

  sebuah tanda tasydīd ( ّ◌ ), dalam transliterasi ini dilambangkan dengan perulangan huruf (konsonan ganda) yang diberi tanda syaddah. Contoh: َﺎﻨّﺑَر : rabbanā َﺎﻨْﻴَّﳒ : najjainā ّﻖََﳊا : al-ḥaqq َﻢﱡﻌﻧ : nu“ima ّوُﺪَﻋ : ‘aduwwun

  Jika huruf ى ber-tasydid diakhir sebuah kata dan didahului oleh huruf kasrah ( ّى) maka ia ditransliterasi seperti huruf maddah menjadi ī. Contoh: ّﻰِﻠَﻋ : ‘Alī (bukan ‘Aliyy atau ‘Aly) ّﰉَﺮَﻋ : ‘Arabī (bukan ‘Arabiyy atau ‘Araby)

  6. Kata Sandang Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf لا (alif

  

lam ma‘arifah). Dalam pedoman transliterasi ini, kata sandang ditransliterasi seperti

  biasa, al-, baik ketika ia diikuti oleh huruf syamsiyah maupun huruf qamariyah. Kata sandang tidak mengikuti bunyi huruf langsung yang mengikutinya. Kata sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya dan dihubungkan dengan garis mendatar (-). Contoh: ُﺲْﻤّﺸَﻟا : al-syamsu (bukan asy-syamsu) ﺔﻟَﺰﻟّﺰَﻟا : al-zalzalah (bukan az-zalzalah) ﺔَﻔَﺴْﻠَﻔَﻟا : al-falsafah َﺪﻠﺒَﻟا : al-bilādu

  7. Hamzah Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof (’) hanya berlaku bagi

  

hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila hamzah terletak di awal

kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab ia berupa alif.

  Contoh: ْﻣﺄﺗ

  َنْوُﺮ : ta’murūna ُعْﻮّـﻨَﻟا : al-nau‘ ٌءْﻲَﺷ : syai’un

  ُتْرِ◌ُمأ : umirtu

  8. Penulisan Kata Arab yang Lazim Digunakan dalam Bahasa Indonesia Kata, istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata, istilah atau kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia. Kata, istilah atau kalimat yang sudah lazim dan menjadi bagian dari perbendaharaan bahasa Indonesia, atau sering ditulis dalam tulisan bahasa Indonesia, atau lazim digunakan dalam dunia akademik tertentu, tidak lagi ditulis menurut cara transliterasi di atas. Misalnya, kata al-Qur’an (dari al-Qur’ān), alhamdulillah, dan munaqasyah. Namun, bila kata-kata tersebut menjadi bagian dari satu rangkaian teks Arab, maka harus ditransliterasi secara utuh.

  Contoh:

  Fī Ẓilāl al-Qur’ān Al-Sunnah qabl al-tadwīn

9. Lafẓ al-Jalālah (ﷲ)

  Kata “Allah” yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf lainnya atau berkedudukan sebagai muḍāf ilaih (frasa nominal), ditransliterasi tanpa huruf hamzah. Contoh:

  ﻳِد ِﷲ ُﻦ dīnullāh ِ ِﺎﺑ billāh

  Adapun tā’ marbūṭah di akhir kata yang disandarkan kepada Lafẓ al-Jalālah, ditransliterasi dengan huruf [t]. Contoh: ِﷲ ِﺔَﲪر ِْﰲ ْﻢُﻫ hum fī raḥmatillāh

  10. Huruf Kapital Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital (All Caps), dalam transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai ketentuan tentang penggunaan huruf kapital berdasarkan pedoman ejaan Bahasa Indonesia yang berlaku (EYD). Huruf kapital, misalnya, digunakan untuk menuliskan huruf awal nama diri (orang, tempat, bulan) dan huruf pertama pada permulaan kalimat. Bila nama diri didahului oleh kata sandang (al-), maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Jika terletak pada awal kalimat, maka huruf A dari kata sandang tersebut menggunakan huruf kapital (Al-). Ketentuan yang sama juga berlaku untuk huruf awal dari judul referensi yang didahului oleh kata sandang al-, baik ketika ia ditulis dalam teks maupun dalam catatan rujukan (CK, DP, CDK, dan DR). Contoh:

  Wa mā Muḥammadun illā rasūl Inna awwala baitin wuḍi‘a linnāsi lallażī bi Bakkata mubārakan Syahru Ramaḍān al-lażī unzila fīh al-Qur’ān Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī Abū Naṣr al-Farābī Al-Gazālī Al-Munqiż min al-Ḍalāl

  Jika nama resmi seseorang menggunakan kata Ibnu (anak dari) dan Abū (bapak dari) sebagai nama kedua terakhirnya, maka kedua nama terakhir itu harus disebutkan sebagai nama akhir dalam daftar pustaka atau daftar referensi. Contoh: Abū al-Walīd Muḥammad ibn Rusyd, ditulis menjadi: Ibnu Rusyd, Abū al-Walīd

  Muḥammad (bukan: Rusyd, Abū al-Walīd Muḥammad Ibnu) Naṣr Ḥāmid Abū Zaīd, ditulis menjadi: Abū Zaīd, Naṣr Ḥāmid (bukan: Zaīd, Naṣr

  Ḥāmid Abū)

B. Daftar Singkatan

  Beberapa singkatan yang dibakukan adalah: swt. = subḥānahū wa ta‘ālā saw. = ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam a.s. = ‘alaihi al-salām H = Hijrah M = Masehi SM = Sebelum Masehi l. = Lahir tahun (untuk orang yang masih hidup saja) w. = Wafat tahun QS …/…: 4 = QS al-Baqarah/2: 4 atau QS Āli ‘Imrān/3: 4 HR = Hadis Riwayat

  ABSTRAK NAMA : AZHAD ZADLY ZAINAL NIM : 10300113117

JUDUL : Penanganan Kasus Korupsi di Sulawesi Selatan (Studi Kasus di

Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan Tahun 2015/2016)

  Pokok masalah dalam penelitian ini, yaitu: 1) Bagaimana penanganan kasus tindak pidana korupsi oleh Kejaksaan Tinggi di Sulawesi Selatan?, 2) Apa yang menjadi kendala-kendala yang dihadapi oleh Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dalam menangani kasus korupsi di Sulawesi Selatan?

  Jenis penelitian ini tergolong kualitatif lapangan dengan pendekatan penelitian yang dipergunakan adalah: yuridis empiris/sosiologis dan yuridis normatif. Adapun sumber data penelitian ini adalah Jaksa Penyidik Pidana Khusus dan Jaksa Penuntut Umum di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan masing-masing berjumlah 2 orang. Selanjutnya, metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi, dan studi kepustakaan. Lalu, teknik pengolahan dan analisis data dilakukan dengan melalui empat tahapan, yaitu: pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, pengambilan kesimpulan.

  Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penanganan kasus tindak pidana korupsi oleh Kejaksaan Tinggi di Sulawesi Selatan masih belum konsisten dan optimal dan terjadi peningkatan kasus kurun waktu tahun 2015/2016. Adapun yang menjadi kendala kejaksaan dalam menangani kasus korupsi yaitu saksi-saksi yang kurang memberikan keterangan yang sebenar-benarnya, kesulitan kejaksaan dalam menyita aset tersangka yang didapat dari hasil korupsi untuk dijadikan barang bukti, perhitungan kerugian keuangan negara membutuhkan waktu yang lama, serta ada intervensi dalam proses penanganan kasus korupsi.

  Implikasi dari penelitian ini adalah perlunya kejaksaan meningkatkan kinerjanya dalam menangani kasus tindak pidana korupsi, kejaksaan dapat menyelenggarakan kegiatan sosialisasi dan penyuluhan hukum terkait bahaya korupsi. Peran masyarakat juga diperlukan dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dengan cara meberikan informasi atau data awal tentang adanya tindak pidana korupsi serta melaksanakan pengawasan dan pengawalan terhadap penanganan perkara tindak pidana korupsi.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum. Kesadaran

  hukum merupakan faktor yang penting dalam tegaknya hukum dan keadilan di Indonesia, karena tanpa adanya kesadaran hukum sangatlah mustahil dapat ditegakkannya hukum dan keadilan. Hukum tersebut harus selalu ditegakkan guna mencapai cita-cita dan tujuan negara Indonesia dimana tertuang dalam pembukaan Alinea ke-empat yaitu membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan

  1 keadilan sosial.

  Dalam pengertian yang sederhana, hukum adalah sekumpulan peraturan- peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, yang dibuat dan ditegakkan oleh penguasa atau manusia itu sendiri seperti hukum adat, hukum pidana dan sebagainya. Dimana pun manusia berada, tentunya harus ada sebuah aturan atau hukum yang membatasi tingkah lakunya. Untuk itu hukum sebagai suatu sistem yang dibuat oleh manusia sendiri berguna dalam membatasi tingkah laku manusia, sehingga tingkah laku mereka dapat lebih terkontrol. Hukum adalah komponen yang sangat erat hubungannya dengan 1 Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, Undang-Undang Dasar

  

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 & Undang-undang Tentang Mahkamah Konstitusi (Jakarta: masyarakat. Setiap tingkah laku masyarakat selalu di monitor oleh hukum, baik hukum yang tertulis maupun tidak tertulis. Hukum hadir untuk menjamin hak-hak manusia sehingga tercipta keadilan. Kejahatan yang merupakan masalah sosial dapat dicegah dan diatasi dengan konsekuensi akan mendapat sanksi bagi para pelanggar hukum.

  Salah satu kajian hukum yang paling penting adalah kajian hukum pidana. Hukum pidana dapat dirumuskan sebagai sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan atau perintah atau keharusan yang terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana (sanksi hukum) bagi yang mewujudkannya. Hukum pidana terbagi atas 2 (dua) yaitu:

  1. Hukum pidana materiil, yaitu mengenai petunjuk dan uraian tentang tindak pidana.

  2. Hukum pidana formil, yaitu cara negara dengan perantara para pejabatnya dalam menegakkan hukum materil. Perbuatan yang melanggar aturan-aturan inilah yang disebut dengan tindak pidana.

  Salah satu tindak pidana yang cukup fenomenal dan akrab bagi masyarakat Indonesia ialah tindak pidana korupsi. Dalam pengertian yang sederhana, korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan sebagai tempat

  2

  seorang bekerja untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Sedangkan jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 ayat (1) apabila dirinci, maka yang dinamakan tindak pidana korupsi adalah:

  2

  1. Perbuatannya.

  a. Memperkaya diri sendiri;

  b. Memperkaya orang lain;

  c. Memperkaya suatu korporasi; 2. Dengan cara melawan hukum.

  3 3. Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

  Tindak pidana korupsi merupakan salah satu dari sekian banyak kejahatan non-konvensional yaitu kejahatan baru yang tidak diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP). Meski begitu, di Indonesia sendiri korupsi telah lama tumbuh dan mengakar dalam kultur masyarakat Indonesia. Pemerintahan masa orde baru yang bertahan sampai lebih dari tiga puluh tahun merupakan masa tumbuh suburnya korupsi. Orang-orang yang menduduki jabatan dalam pemerintahan atau lembaga negara berlomba-lomba mengumpulkan kekayaan melalui korupsi. Di Indonesia korupsi dikenal dengan istilah KKN singkatan dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

  Masalah korupsi di Indonesia terus menjadi berita utama (headline) setiap hari di media Indonesia. Bagaimana tidak, korupsi sudah menjelma menjadi wabah penyakit yang menular disetiap aparat negara dari tingkat yang paling rendah hingga tingkat yang paling tinggi. Tindak pidana korupsi tidak hanya merugikan negara, tetapi juga dapat menghancurkan negara. Dalam al-Qur’a>n, tindakan ini disebut “memerangi Allah dan Rasul-Nya serta berbuat kerusakan di muka bumi” yang

  4

  disebut h}i>raba>h. Allah swt. mengisyaratkan memberi hukuman yang berat bagi 3 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia (Malang: Bayumedia Publishing, 2005), h. 34-35. 4 Marzuki Wahid dan Hifdzil Alim, Jihad Nahdlatul Ulama Melawan Korupsi, dengan kata

  mereka yang melakukan tindakan demikian sebagaimana dalam firman-Nya QS al- Ma>idah /5: 33.

  

ۡوَأ ْا ٓﻮ ُﻠﱠﺘَﻘُﯾ نَأ اًدﺎَﺴَﻓ ِض ۡرَ ۡﻷٱ ﻲِﻓ َن ۡﻮَﻌۡﺴَﯾ َو ۥُﮫَﻟﻮُﺳ َر َو َ ﱠ ٱ َنﻮُﺑ ِرﺎَﺤُﯾ َﻦﯾِﺬﱠﻟٱ ْاُؤ َٰٓﺰَﺟ ﺎَﻤﱠﻧِإ

ﻲِﻓ ٞي ۡﺰ ِﺧ ۡﻢُﮭَﻟ َﻚِﻟَٰذ ِۚض ۡرَ ۡﻷٱ َﻦِﻣ ْا ۡﻮَﻔﻨُﯾ ۡوَأ ٍﻒَٰﻠ ِﺧ ۡﻦِّﻣ ﻢُﮭُﻠُﺟ ۡرَأ َو ۡﻢِﮭﯾِﺪۡﯾَأ َﻊﱠﻄَﻘُﺗ ۡوَأ ْا ٓﻮُﺒﱠﻠَﺼُﯾ

٣٣ ٌﻢﯿِﻈَﻋ ٌباَﺬَﻋ ِة َﺮ ِﺧٓ ۡﻷٱ ﻲِﻓ ۡﻢُﮭَﻟ َو ۖﺎَﯿۡﻧﱡﺪﻟٱ

  Terjemahnya: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang

  5 besar.

  Dalam hukum Islam, korupsi dipandang sebagai salah satu tindak kejahatan perampasan hak milik, yaitu memakan harta manusia dengan cara yang batil sebagaimana dijelaskan dalam QS al-Baqarah/2: 188.

  

ِسﺎﱠﻨﻟٱ ِل َٰﻮ ۡﻣَأ ۡﻦِّﻣ ﺎٗﻘﯾ ِﺮَﻓ ْاﻮُﻠُﻛۡﺄَﺘِﻟ ِمﺎﱠﻜُﺤۡﻟٱ ﻰَﻟِإ ٓﺎَﮭِﺑ ْاﻮُﻟۡﺪُﺗ َو ِﻞِﻄَٰﺒۡﻟﭑِﺑ ﻢُﻜَﻨۡﯿَﺑ ﻢُﻜَﻟ َٰﻮ ۡﻣَأ ْا ٓﻮُﻠُﻛۡﺄَﺗ َﻻ َو

١٨٨ َنﻮُﻤَﻠۡﻌَﺗ ۡﻢُﺘﻧَأ َو ِﻢۡﺛِ ۡﻹﭑِﺑ

  Terjemahnya: Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta

  6 benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.

  Atau lebih spesifik lagi, korupsi termasuk dalam kategori ghulu>l (pengkhianatan wewenang) yang terdapat dalam firman Allah QS Ali ‘Imra>n /3: 161. 5 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia, 1971), h. 164. 6

  ۡﺖَﺒَﺴ َﻛ ﺎﱠﻣ ٖﺲۡﻔَﻧ ﱡﻞُﻛ ٰﻰﱠﻓ َﻮُﺗ ﱠﻢُﺛ ِۚﺔَﻤَٰﯿِﻘۡﻟٱ َم ۡﻮَﯾ ﱠﻞَﻏ ﺎَﻤِﺑ ِتۡﺄَﯾ ۡﻞُﻠۡﻐَﯾ ﻦَﻣ َو ۚﱠﻞُﻐَﯾ نَأ ٍّﻲِﺒَﻨِﻟ َنﺎَﻛ ﺎَﻣ َو ١٦١ َنﻮُﻤَﻠ ۡﻈُﯾ َﻻ ۡﻢُھ َو

  Terjemahnya: Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang.

  Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan

  7 (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.

  Dalam perkembangannya, korupsi di Indonesia menjelma menjadi kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) dan menjadi salah satu penyebab munculnya berbagai penyimpangan sosial. Tidak saja karena modus nan teknik yang sistematis, tetapi juga akibat yang ditimbulkan kejahatan korupsi bersifat paralel dan merusak seluruh sistem kehidupan, baik dalam ekonomi, politik, sosial-budaya dan bahkan

  8

  sampai pada kerusakan moral serta mental masyarakat. Korupsi dalam berbagai modusnya benar-benar menjadi penyakit yang menggorogoti daya tahan bangsa ini. Hampir semua lini kehidupan masyarakat tidak bisa sepenuhnya dilepaskan dari perilaku koruptif.

  Meningkatnya kasus korupsi di Indonesia membuat upaya penanganan kasus korupsi di Indonesia terkesan lambat dan belum mampu membuat jera para koruptor. Ini dapat dilihat dari beberapa survei yang dilakukan oleh lembaga independen, misalnya data yang dikeluarkan oleh Transparency International yang menunjukkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2015 Indonesia memiliki skor 36 (skala 0-100) dan berada pada peringkat 88 dari 168 negara yang diukur. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia belum mampu menandingi skor dan peringkat yang dimiliki 7 8 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 104.

  Malaysia (skor 50), dan Singapura (skor 85), dan sedikit di bawah Thailand (skor

  9 38).

  Dalam upaya pemberantasan dan penanganan tindak pidana korupsi tidak bisa lagi menggunakan cara bertindak dan berfikir biasa, tetapi harus sebaliknya yaitu bertindak dan berfikir luar biasa. Oleh karena itu harus tumbuh sikap keberanian dari para penegak hukum untuk melakukan lompatan-lompatan yuridis dan diimbangi dengan kesadaran hukum masyarakat untuk menerima putusan-putusan yang di luar kebiasaan. Korupsi yang sudah meluas dalam masyarakat dan perkembangannya yang terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan kerugian keuangan negara yang di akibatkan tentu saja tidak lepas dari penanganan dan penegakan hukumnya yang masih jauh dari harapan.

  Pada dasarnya penegakan hukum harus melibatkan seluruh warga negara Indonesia, dimana dalam pelaksanaannya dilakukan oleh penegak hukum. Penegakan hukum tersebut dilakukan oleh aparat yang berwenang. Aparat negara yang berwenang dalam pemeriksaan perkara pidana adalah aparat Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. Polisi, jaksa, dan hakim merupakan tiga unsur penegak hukum yang masing-masing mempunyai tugas, wewenang, dan kewajiban yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam menjalankan tugasnya unsur aparat penegak hukum mempunyai peranan yang berbeda-beda sesuai dengan bidangnya serta sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, akan tetapi secara bersama-bersama mempunyai kesamaan dalam tujuan pokoknya yaitu pemasyarakatan kembali para narapidana.

  9

  Dalam hal penegakan hukum terhadap tindak pidana umum yang terjadi dalam masyarakat, jaksa berperan sebagai penuntut umum sebagimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 1 butir 6:

  1. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

  2. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang

  10 untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hukum.

  Akan tetapi dalam menangani perkara-perkara tindak pidana khusus seperti korupsi, jaksa dapat berperan sebagai penyidik, penuntut umum, dan eksekutor pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat 2 jo Pasal 10 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Politik Kejaksaan Republik

11 Indonesia , Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1979 tentang Pemberantasan Tindak

  12 Pidana Korupsi, Pasal 284 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 KUHAP ,

  Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK, Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, dan fatwa MA No. KMA/102/III/2005 atas Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Kejaksaan.

  Sebagai salah satu lembaga penegak hukum, Kejaksaan dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, 10 Marwan Effendi, Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 105. 11 Ilham Gunawan, Peran Kejaksaan dalam Menegakkan Hukum dan Stabilitas Politik (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), h. 60-61. 12

  penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi. Kejaksaan juga sebagai pengendali proses perkara atau Dominus Litis mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah

  

13

sebagaimana menurut hukum acara pidana.

  Atas dasar itulah keahlian yang profesional harus dimiliki oleh aparat Kejaksaan, baik mengenai pemahaman dan pengertian serta penguasaan Peraturan Perundang-Undangan dan juga terhadap perkembangan teknologi. Hal ini agar penanganan tindak pidana korupsi bisa berhasil.

  Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik melakukan penelitian di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dengan judul “Penanganan Kasus

  

Korupsi di Sulawesi Selatan (Studi Kasus di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan

Tahun 2015/2016).”

B. Fokus Penelitian dan Deskripsi Fokus

  1. Fokus Penelitian

  Fokus penelitian ini adalah pada penanganan kasus korupsi di Sulawesi Selatan oleh Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan.

  2. Deskripsi Fokus

  a. Penanganan;

  b. Tindak Pidana korupsi; c. Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan.

  13

  Fokus Penelitian Deskripsi Fokus

  Penanganan Penyelesaian satu atau serangkaian proses pekerjaan Tindak Pidana Korupsi Penyelewengan atau penggelapan

  (uang negara atau perusahaan) dan sebagainya untuk kepentingan pribadi atau kepentingan orang lain

  Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan Lembaga penegak hukum yang mempunyai wewenang dalam bidang penyelidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana

C. Rumusan Masalah

  Agar suatu penelitian yang dilakukan lebih terfokus dan mengarah sesuai dengan tujuan penelitian, maka perlu dirumuskan masalah-masalah yang diteliti. Permasalahan dalam penelitian yaitu:

  1. Bagaimana penanganan kasus tindak pidana korupsi oleh Kejaksaan Tinggi di Sulawesi Selatan?

  2. Bagaimana kendala-kendala yang dihadapi oleh Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dalam menangani kasus korupsi di Sulawesi Selatan?

D. Kajian Pustaka

   Dalam penulisan skripsi ini, ada beberapa literatur yang dijadikan acuan

  dasar, antara lain:

  1. Adami Chazawi, dalam bukunya “Pelajaran Hukum Pidana bagian 1” membahas mengenai pengantar umum hukum pidana, stelsel pidana, tindak pidana, teori-teori pemidanaan, dan ruang lingkup berlakunya hukum pidana.

  2. Andi Hamzah, dalam bukunya “Korupsi di Indonesia Masalah dan Permasalahannya.” Ia memandang korupsi sebagai ancaman destruktif terhadap eksistensi negara dan perkembangan masyarakat. Situasi tersebut dapat diatasi bila Undang-Undang tentang tindak pidana korupsi ditegakkan dahulu oleh para aparat penegak hukum tanpa pandang bulu.

  3. Andi Hamzah, dalam bukunya “Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional” membahas mengenai pengertian korupsi, sebab dan akibat korupsi, sejarah perundang-undangan korupsi di Indonesia, serta rumusan delik dalam UUPTPK.

  4. Edi Suandi Hamid dan Muhammad Suyuti, dalam bukunya “Menyingkap Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di Indonesia” berisi pendapat peneliti dan pengamat hukum mengenai definisi korupsi dan seluk beluknya. Akan tetapi dalam buku ini tidak ada penjelasan yang detail mengenai pencegahan dan sanksi hukum pelaku tindak pidana korupsi. Secara garis besar semua sependapat bahwa tindakan korupsi merupakan tindakan yang merugikan negara dan masyarakat. Buku ini meliputi kajian dibidang sosio kultur, perilaku birokrasi, norma hukum dan agama serta peran negara dalam menanggulangi tindak pidana korupsi.

  5. Komisi Pemberantasan Korupsi dalam bukunya “Memahami Untuk Membasmi” berisi mengenai bentuk/jenis perbuatan yang bisa dikategorikan sebagai korupsi. Dalam buku ini juga berisi tentang contoh menganalisis suatu kejadian berdasarkan unsur-unsur tindak pidana korupsi.

  6. R. Wiyono, dalam bukunya “Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” berisi penafsiran pasal demi pasal Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan mengaitkan pada peraturan perundang-undangan yang relevan, teori-teori pakar hukum, putusan-putusan MA terhadap kasus-kasus korupsi terdahulu.

  7. Nurul Irfan, dalam bukunya “Korupsi dalam Hukum Pidana Islam” membahas perihal korupsi pada umumnya. Selain itu beliau juga mengkaji dan mencermati tindak pidana korupsi di Indonesia dengan menggunakan fiqh jinayah atau Hukum Pidana Islam sebagai pisau analisisnya.

  8. Rahman Syamsuddin, dalam bukunya Hukum Acara Pidana dalam Integritas Keilmuan.

  9. Ilham Gunawan, dalam bukunya Peran Kejaksaan dalam Menegakkan Hukum dan Stabilitas Politik.

  10. Leden Marpaung, dalam bukunya “Proses Penanganan Perkara Pidana (di Kejaksaan & Pengadilan Negeri Upaya Hukum & Eksekusi)” berisi tentang bagaimana proses pelimpahan berkas perkara kejaksaan; pelimpahan berkas perkara ke pengadilan negeri; sikap pengadilan atas pelimpahan berkas perkara (biasa); prinsip-prinsip pemeriksaan di persidangan; Rekuisitor- Pledoi-Replik- Duplik-putusan Pengadilan Negeri; syarat-syarat putusan; upaya hukum kasasi; upaya hukum luar biasa; eksekusi; serta tentang Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

E. Tujuan dan Kegunaan

  1. Tujuan

  a. Untuk mengetahui penanganan kasus tindak pidana korupsi oleh Kejaksaan Tinggi di Sulawesi Selatan;

  b. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dialami Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dalam menangani kasus korupsi di Sulawesi Selatan.

  2. Kegunaan

  a. Secara Teoretis Secara teoritis penulisan skripsi ini diharapkan dapat menambah referensi bagi pihak yang ingin mengetahui lebih lanjut tentang penanganan kasus korupsi di

  Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan.

  b. Secara Praktis 1) Memberikan jawaban terhadap pokok permasalahan yang diteliti.

  2) Menambah dan memperluas wawasan pengetahuan penulisan dalam karya ilmiah, dimana penulisan ini merupakan sarana untuk memaparkan dan memantapkan ilmu pengetahuan yang telah diterima dalam perkuliahan. 3) Dapat memberikan sumbangan pemikiran pada semua pihak yang terkait dalam menangani masalah tindak pidana korupsi.

BAB II TINJAUAN TEORETIS A. Tinjauan Umum Terhadap Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana Pidana Dalam Hukum Nasional

  Tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda

  1

  yaitu “strafbaar feit. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional dalam menerjemahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dari bahasa Belanda

  2 ke bahasa Indonesia juga menerjemahkan istilah strafbaar feit sebagai tindak pidana.

  Namun demikian beluma ada konsep yang secara utuh menjelaskan definisi strafbaar

  

feit tersebut. Strafbaar feit terdiri dari 3 kata, yakni straf, baar, dan feit. Secara

  literlijk kata “straf” artinya pidana, “baar” artinya dapat atau boleh, dan “feit” adalah

  3 perbuatan.

  Tindak pidana sendiri merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Dalam hukum pidana, istilah “tindak pidana” timbul dari pihak Kementerian Kehakiman yang sering dipakai dalam perundang-undangan. Kata “tindak” tidak menunjukkan pada suatu

  4 abstrak seperti perbuatan, tapi hanya menyatakan perbuatan yang konkrit. 1 Beberapa pendapat ahli mengenai pengertian tindak pidana antara lain: Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Edisi Pertama (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 67. 2 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan tertulis di Indonesia, Edisi Pertama (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 55. 3 4 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Edisi Pertama, h. 69. a. Menurut Wirjono Prodjodikoro tindak pidana ialah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana.

  5

  b. Menurut P.A.F Lamintang tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, dimana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.

  6 Dari uraian mengenai pengertian tindak pidana tersebut, maka dapat ditarik

  sebuah kesimpulan sederhana mengenai pengertian tindak pidana, yakni perbuatan melanggar hukum yang dapat dimintai pertanggungjawabannya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan pelakunya dimana perbuatannya tersebut melanggar atau melawan hukum ketentuan undang-undang dan peraturan lainnya.

  Selain istilah tindak pidana, ada juga beberapa istilah lain yang digunakan, yaitu: a. Perbuatan pidana, dimuat dalam Pasal 5 ayat (3) huruf b Undang-Undang

  Nomor 1/Drt/1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan- Pengadilan Sipil, antara lain dapat dibaca kalimat, “Perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, …”. Istilah perbuatan pidana ini juga digunakan oleh Moeljatno.

  7 b. Delik, yang berasal dari bahasa latin “delictum”.

  8 5 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (Jakarta: Eresco, 1981), h. 12. 6 P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), h. 16. 7 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan tertulis di Indonesia, Edisi Pertama, h. 55. 8 c. Peristiwa pidana, digunakan oleh Mr. R. Tresna dalam bukunya “Azas-Azas Hukum Pidana.” Istilah ini juga dimuat dalam Undang-Undang Dasar Sementara Pasal 14 ayat 1.

  d. Pelanggaran Pidana, yang ditulis dalam buku “Pokok-Pokok Hukum Pidana” karya Mr. M.H Tirtaamidjaja.

  e. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh Mr. Karni dalam buku beliau “Ringkasan tentang Hukum Pidana”.

  f. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh Pembentuk Undang-Undang dalam Undang-Undang Nomor 12/Drt/1951 Pasal 3 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak.

  9

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Dalam Hukum Nasional

  Pada hakikatnya, setiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahiriah (fakta) oleh perbuatan, mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan karenanya.

10 Sebuah perbuatan tidak bisa begitu saja dikatakan perbuatan pidana.

  Oleh karena itu, harus diketahui apa saja unsur atau ciri dari perbuatan pidana itu sendiri. Mengenai unsur-unsur tindak pidana, dapat dibedakan setidak-tidaknya dari 2 sudut pandang, yakni dari sudut pandang teoritis dan sudut pandang undang-undang.

  Unsur-unsur tindak pidana dari sudut pandang teoritis yaitu berdasarkan pendapat para ahli hukum yang tercermin pada bunyi rumusannya, diantaranya ialah: a. Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana adalah:

  1) Perbuatan; 2) Yang dilarang (oleh aturan hukum); 9 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Edisi Pertama, h. 68. 10

  3) Ancaman pidana ( bagi yang melanggar larangan).

  Perbuatan manusia saja boleh dilarang, yang melarang adalah aturan hukum. Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, maka pokok pengertian ada pada perbuatan itu, tapi tidak dipisahkan dengan orangnya. Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan itu dalam kenyataannya benar- benar dipidana. Pengertian diancam pidana adalah pengertian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana.

  b. Menurut R. Tresna, tindak pidana terdiri dari unsur-unsur yaitu: 1) Perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia); 2) Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; 3) Diadakan tindakan penghukuman.

  Dari unsur ketiga, kalimat diadakan tindakan penghukuman, terdapat pengertian bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilanggar itu selalu diikuti dengan penghukuman (pemidanaan). Walaupun mempunyai kesan bahwa setiap perbuatan yang bertentangan dengan Undang-Undang selalu diikuti dengan pidana, namun dalam unsur-unsur itu tidak terdapat kesan perihal syarat-syarat (subjektif) yang melekat pada orangnya untuk dijatuhkannya pidana.

  c. Menurut Vos, unsur-unsur tindak pidana adalah: 1) Kelakuan manusia; 2) Diancam dengan pidana; 3) Dalam peraturan perundang-undangan.

  d. Menurut Jonkers, unsur- unsur tindak pidana adalah: 1) Perbuatan (yang); 2) Melawan hukum (yang berhubungan dengan);

  3) Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat); 4) Dipertangungjawabkan.

  e. Menurut Scbravendijk, unsur-unsur tindak pidana dapat dirincikan yaitu: 1) Kelakuan (orang yang); 2) Bertentangan dengan keinsyafan hukum; 3) Diancam dengan hukuman; 4) Dilakukan oleh orang (yang dapat); 5) Dipersalahkan/kesalahan.

11 Walaupun rincian dari 5 pendapat ahli diatas tampak berbeda-beda, namun

  pada hakekatnya ada persamaanya, ialah tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatannya dengan unsur yang mengenai diri orangnya.

  Unsur-unsur tindak pidana dari sudut pandang undang-undang yaitu berdasarkan bagaimana kenyataan tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang ada. Dalam buku II Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memuat rumusan-rumusan tindak pidana tertentu yang masuk dalam kelompok kejahatan, dan Buku III adalah pelanggaran.

  Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu, maka dapat diketahui adanya 8 unsur tindak pidana yaitu:

  a. Unsur Tingkah Laku Tindak pidana adalah mengenai larangan berbuat, oleh karena itu perbuatan atau tingkah laku harus disebutkan dalam rumusan. Tingkah laku adalah unsur mutlak tindak pidana. Tingkah laku dalam tindak pidana terdiri dari tingkah laku 11 yang untuk mewujudkan atau melakukannya diperlukan wujud gerakan atau gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian tubuh. Sebagian besar (hampir semua) tindak pidana tentang unsur tingkah lakunya dirumuskan dengan perbuatan aktif, dan sedikit sekali dengan perbuatan pasif. Tingkah laku pasif adalah berupa tingkah laku membiarkan (nalaten), suatu bentuk tingkah laku yang tidak melakukan aktivitas tertentu tubuh atau bagian tubuh, yang seharusnya seseorang itu dalam keadaan-keadaan tertentu harus melakukan perbuatan aktif, dan dengan tidak berbuat demikian seseorang itu disalahkan karena tidak melaksanakan kewajiban hukumnya.

  Dilihat dari syarat penyelesaian tindak pidananya, maka tingkah laku dibedakan menjadi 2 macam, yaitu sebagai berikut: 1) Tingkah laku sebagai syarat penyelesaian tindak pidana. Syarat selesainya tindak pidana bergantung sepenuhnya pada selesainya tingkah laku.