BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori 1. Hasil Belajar - RUCHIE MARETA SARI BAB II

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori 1. Hasil Belajar a. Pengertian Belajar Kegiatan belajar merupakan kegiatan pokok dalam setiap proses

  pendidikan. Setiap orang memiliki pandangan yang berbeda tentang belajar. Secara psikologis, belajar merupakan suatu proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengertian belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Slameto, 2010:2). Sedangkan terhadap masalah belajar, Gagne (dalam Slameto, 2010:13), memberikan dua definisi yaitu: (1) Belajar ialah suatu proses untuk memperoleh motivasi dalam pengetahuan, keterampilan, kebiasaan, dan tingkah laku; (2) Belajar adalah penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang diperoleh dari instruksi.

  Menurut Winataputra (2008:1.4), belajar dapat diartikan sebagai proses mendapatkan pengetahuan dengan membaca dan menggunakan pengalaman sebagai pengetahuan yang memandu perilaku pada masa yang akan datang. Sedangkan menurut Uno (2011:54), belajar pada

  12 hakikatnya merupakan kegiatan yang dilakukan secara sadar untuk menghasilkan suatu perubahan, menyangkut pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai. Manusia tanpa belajar akan mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak lain juga merupakan produk kegiatan berpikir manusia-manusia pendahulunya. Dalam Sudjana (2010:28), belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Belajar adalah proses yang aktif, belajar adalah proses mereaksi terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu. Dari beberapa pengertian mengenai belajar diatas, dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu usaha yang dilakukan seseorang secara sadar, agar memperoleh pengetahuan dan keterampilan, sehingga terjadi perubahan tingkah laku pada diri seseorang itu, karena berinteraksi dengan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya pada masa yang akan datang.

  b.

  Pengertian Pembelajaran Menurut Gagne, Briggs, dan Wager (1992) dalam Winataputra

  (2008:1.19), pembelajaran adalah serangkaian kegiatan yang dirancang untuk memungkinkan terjadinya proses belajar pada siswa. Sedangkan menurut Uno (2011:54), pembelajaran dapat diartikan sebagai suatu proses interaksi antara peserta belajar dengan pengajar/instruktur dan/atau sumber belajar pada suatu lingkungan belajar untuk pencapaian tujuan belajar tertentu. Menurut Sagala (2010:61), pembelajaran ialah membelajarkan siswa menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan. Pembelajaran mengandung arti setiap kegiatan yang dirancang untuk membantu seseorang mempelajari suatu kemampuan dan atau nilai yang baru. Berdasarkan beberapa pengertian pembelajaran diatas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah serangkaian interaksi dan kegiatan antara peserta didik dengan pendidik yang memungkinkan terjadinya proses belajar pada peserta didik/siswa untuk pencapaian tujuan belajar tertentu.

  c.

  Pengertian Hasil Belajar Menurut Sudjana (2010:3) hasil belajar siswa pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku. Tingkah laku sebagai hasil belajar dalam pengertian yang luas mencakup bidang kognitif, afektif dan psikomotoris. Hasil belajar merupakan suatu hasil yang diperoleh siswa setelah mengalami pembelajaran. Sedangkan hasil belajar menurut Purwanto (2011:44) dapat dijelaskan dengan memahami dua kata yang membentuknya, yaitu “hasil” dan “belajar”. Pengertian hasil menunjuk pada suatu perolehan akibat dilakukannya suatu aktivitas atau proses yang mengakibatkan berubahnya input secara fungsional. Hasil produksi adalah perolehan yang didapatkan karena adanya kegiatan mengubah bahan menjadi barang jadi. Menurut Winkel dalam Purwanto (2011:45), hasil belajar adalah perubahan yang mengakibatkan manusia berubah dalam sikap dan tingkah lakunya. Aspek perubahan itu mengacu kepada taksonomi tujuan pengajaran yang dikembangkan oleh Bloom, Simpson dan Harrow mencakup aspek kognitif, afektif dan psikotomotor. Lebih lanjut, Purwanto (2011:46) menyimpulkan bahwa hasil belajar adalah perubahan perilaku siswa akibat belajar. Perubahan perilaku disebabkan karena siswa mencapai penguasaan atas sejumlah bahan yang diberikan dalam proses belajar mengajar. Pencapaian itu didasarkan atas tujuan pengajaran yang telah ditetapkan. Hasil itu berupa perubahan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Berdasarkan beberapa pengertian hasil belajar diatas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah hasil yang diperoleh siswa setelah mengalami pembelajaran sehingga menghasilkan perubahan tingkah laku yang mencakup bidang kognitif, afektif dan psikomotor.

  d.

  Tipe Hasil Belajar Beradasarkan taksonomi Bloom dalam Depdiknas (2004:4), aspek belajar yang harus diukur keberhasilannya adalah aspek kognitif, afektif dan psikomotor, sehingga dapat menggambarkan tingkah laku menyeluruh sebagai hasil belajar siswa. Hasil belajar dapat dilihat pada proses maupun hasil pembelajaran. Ketiga aspek tersebut saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan sebagai hasil belajar yang merupakan tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Aspek kognitif berhubungan dengan penguasaan intelektual, aspek afektif berhubungan dengan sikap dan nilai, sedangkan aspek psikomotor berhubungan dengan kemampuan atau keterampilan bertindak atau berperilaku.

  Tipe hasil belajar aspek kognitif meliputi pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan penilaian. (1) pengetahuan berkaitan dengan kemampuan mengenal atau mengingat materi yang sudah dipelajari, (2) pemahaman berkaitan dengan kemampuan menangkap makna atau arti dari suatu konsep, (3) aplikasi berkaitan dengan kemampuan menggunakan atau menerapkan suatu konsep, ide, rumus, hukum dalam situasi yang baru, (4) analisis berkaitan dengan kemampuan memecah, mengurai suatu integritas dan mampu memahami hubungan antar unsur/bagian sehingga struktur dan aturannya dapat lebih dimengerti, (5) sintesis berkaitan dengan kemampuan menyatukan unsur/bagian menjadi satu kesatuan yang bermakna, dan (6) penilaian berkaitan dengan kemampuan memberikan pertimbangan nilai tentang sesuatu berdasarkan kriteria yang dimilikinya.

  Berdasarkan uraian diatas, Standar Kompetensi serta Kompetensi Dasar materi Geometri di kelas V mengenai luas bangun datar trapesium dan layang-layang, maka hasil belajar aspek kognitif dalam penelitian difokuskan pada sub-aspek kognitif yaitu pengetahuan, pemahaman, dan aplikasi. Pengembangan sub-aspek kognitif tersebut juga menyesuaikan tingkat kemampuan siswa, yaitu siswa SD Negeri 1 Brobot dengan mempertimbangkan KKM agar perolehan nilai siswa dapat melampaui KKM tersebut. Hasil belajar aspek kognitif dalam penelitian ini secara lebih rinci dapat diketahui sebagai berikut:

Tabel 2.1 Hasil Belajar Aspek Kognitif Pada Materi Luas Bangun Datar

  No Indikator Aspek

  Kognitif Soal 1.

  Menjelaskan rumus luas persegi panjang Pengetahuan

  Disajikan gambar persegi panjang

  2. Menemukan dan menjelaskan rumus luas trapesium

  Pemahaman Disajikan gambar trapesium

  3. Menemukan dan menjelaskan rumus luas layang-layang

  Pemahaman Disajikan gambar layang-layang

  4. Menghitung luas trapesium dan layang- layang

  Aplikasi Disajikan soal mengitung luas trapesium dan layang-layang

  5. Menyelesaikan masalah berkaitan dengan luas bangun datar

  Aplikasi Disajikan soal cerita dalam kehidupan sehari-hari

  Tipe hasil belajar aspek afektif antara lain berupa sikap, minat belajar, kebiasaan dan kecenderungan dalam menilai terhadap sesuatu objek. Tingkatan pada aspek afektif dalam Sudjana (2010:53), adalah (1) receiving atau penerimaan, yaitu semacam kepekaan dalam menerima rangsangan dari luar yang datang pada siswa, baik dalam bentuk masalah situasi, gejala, (2) responding atau jawaban, yaitu reaksi yang diberikan seseorang terhadap stimulus yang datang dari luar, (3) valuing atau penilaian, yaitu berkenaan dengan nilai dan kepercayaan terhadap gejala atau stimulus tadi, (4) organisasi, yaitu pengembangan nilai ke dalam suatu sistem organisasi, termasuk menentukan hubungan satu nilai dengan nilai lain dan kemantapan, dan prioritas nilai yang telah dimilikinya, (5) karakteristik nilai atau internalisasi nilai, yaitu keterpaduan dari semua sistem nilai yang telah dimiliki seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya.

  Mengenai aspek afektif, dalam Kemendiknas (2010:6) pendidikan adalah suatu proses enkulturasi yang berfungsi mewariskan nilai-nilai dan prestasi masa lalu ke generasi mendatang. Selain mewariskan, pendidikan juga memiliki fungsi untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan prestasi masa lalu itu menjadi nilai-nilai budaya bangsa yang sesuai dengan kehidupan masa kini dan masa yang akan datang, serta mengembangkan prestasi yang menjadi karakter baru bangsa. Oleh karena itu, pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan inti dari suatu proses pendidikan. Proses pengembangan nilai-nilai yang menjadi landasan dari karakter tersebut menghendaki suatu proses yang berkelanjutan, dilakukan melalui berbagai mata pelajaran yang ada dalam kurikulum. Lebih lanjut dalam Kemendiknas (2010:2), pendidikan budaya dan karakter bangsa disesuaikan dengan rumusan tujuan pendidikan nasional yang menjadi dasar dalam pengembangannya, sebagaimana tercantum dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 3 yang menyebutkan bahwa:

  “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Sedangkan tujuan pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah: 1. mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif siswa sebagai manusia dan warganegara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa; 2. mengembangkan kebiasaan dan perilaku siswa yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius; 3. menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab siswa sebagai generasi penerus bangsa;

  4. mengembangkan kemampuan siswa menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan; dan

  5. mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity) (Kemendiknas, 2010:7).

  Berdasarkan uraian diatas, hasil belajar aspek afektif pada penelitian ini meliputi receiving atau penerimaan, responding atau memberi respon/jawaban, valuing atau penilaian dan organisasi yang berkaitan pula dengan karakter bangsa, dapat dilihat dalam tabel berikut ini:

Tabel 2.2 Hasil Belajar Aspek Afektif Pada Materi Luas Bangun Datar

  Perilaku Aspek No Indikator

  Berkarakter Afektif Mematuhi petunjuk dan

  1. Disiplin Penerimaan perintah guru

  Mengerjakan LKS dan tugas

  2. Tanggung jawab Penilaian dengan baik Menanyakan materi yang

  Memberi

  3. Rasa ingin tahu belum dipahami kepada guru respon atau teman

  Bersahabat/ Bekerja sama dalam 4.

  Organisasi Komunikatif kelompok

  Menjawab pertanyaan yang diajukan guru atau Memberi

  5. Toleransi menyanggah respon jawaban/pertanyaan teman

  Tipe hasil belajar aspek psikomotor adalah penilaian terhadap penampilan siswa. Hasil belajar psikomotor tampak dalam bentuk keterampilan bertindak seseorang. Dalam Jihad dan Haris (2010:18-19), ada lima tingkatan keterampilan, yaitu (1) menirukan, apabila ditunjukkan suatu tindakan yang dapat diamati, maka siswa akan mulai membuat suatu tiruan sesuai tindakan, (2) manipulasi, siswa dapat menampilkan tindakan seperti yang diajarkan dan tidak hanya seperti yang diamati, (3) keseksamaan, meliputi kemampuan siswa dalam penampilan yang telah sampai pada tingkat lebih tinggi dalam mereproduksi suatu kegiatan, (4) artikulasi, dapat mengkoordinasikan serentetan tindakan dengan urutan secara tepat, (5) naturalisasi, siswa telah melakukan secara alami suatu tindakan. Dalam penelitian ini mengenai aspek psikomotor yaitu keterampilan siswa dalam membuat dan menggunakan alat peraga, dapat dilihat dalam tabel berikut ini:

Tabel 2.3 Hasil Belajar Aspek Psikomotor Pada Materi Luas Bangun Datar

  No Indikator Aspek

  Psikomotor Kegiatan 1.

  Mengubah alat peraga sesuai petunjuk Menirukan

  Menggabungkan dan mengubah alat peraga bongkar pasang sesuai dengan petunjuk 2. Menggabungkan bagian- bagian alat peraga sesuai petunjuk

  Memanipulasi Menggabungkan dan mengubah alat peraga bongkar pasang sesuai dengan petunjuk 3.

  Menempatkan keping- keping alat peraga sesuai tempatnya

  Memanipulasi Terampil menggunakan alat peraga bongkar pasang

2. Matematika a.

  Pengertian Matematika Istilah matematika berasal dari kata Yunani yaitu “mathein” atau

  “manthenein”, yang artinya “mempelajari”. Mungkin juga, kata tersebut erat hubungannya dengan kata Sansekerta “medha” atau “widya” yang artinya “kepandaian”, “ketahuan”, atau “intelegensi” (Masykur, 2008:42). Sedangkan Russeffendi ET, dalam Suwangsih dan Tiurlina (2006:3), kata matematika berasal dari perkataan Latin mathematika yang mulanya diambil dari perkataan Yunani “mathematike” yang berarti mempelajari. Kata tersebut mempunyai asal kata “mathema” yang berarti pengetahuan atau ilmu, dan berhubungan pula dengan kata lain yang hampir sama yaitu “mathein” dan “mathenein”. Berdasarkan asal katanya, kata matematika berarti ilmu pengetahuan yang didapat dengan berpikir atau bernalar. Matematika lebih menekankan pada kegiatan dalam dunia rasio, bukan menekankan dari hasil eksperimen atau observasi, matematika terbentuk karena pikiran manusia yang berhubungan dengan idea, proses dan penalaran. Menurut James dan James (1976) dalam Suwangsih dan Tiurlina (2006:4), matematika adalah ilmu tentang logika, mengenai bentuk, susunan, besaran dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan yang lainnya. Berdasarkan pendapat-pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa matematika adalah ilmu yang terbentuk berdasarkan logika yaitu kemampuan berpikir atau bernalar serta dalam mempelajarinya memerlukan kemampuan berpikir atau bernalar pula.

  b.

  Tujuan Matematika Secara umum, tujuan diberikannya matematika di sekolah adalah untuk mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan didalam kehidupan melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran yang logis, rasional dan kritis. Dalam peraturan menteri pendidikan nasional RI nomor 22 tahun 2006, dijelaskan bahwa tujuan pelajaran matematika di sekolah adalah agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut (Masykur, 2008:52-53). 1)

  Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau alogaritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah;

  2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika;

  3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh;

  4) Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah;

  5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

  c.

  Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar (SD) Menurut Masykur dan Fathani (2008:52), untuk menguasai dan menciptakan teknologi di masa depan, diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini. Atas dasar itu, pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua siswa sejak sekolah dasar (SD), untuk membekali siswa dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, kreatif dan kemampuan bekerja sama. Siswa memerlukan kompetensi tersebut agar mampu memperoleh, mengelola dan memanfaatkan informasi untuk kehidupannya. Sedangkan menurut Suwangsih dan Tiurlina (2006:15), matematika adalah ilmu deduktif, formal hierarki dan menggunakan bahasa simbol yang memiliki arti yang padat. Karena adanya perbedaan karakteristik antara matematika dan anak usia SD, maka matematika akan sulit dipahami oleh anak SD jika diajarkan tanpa memperhatikan tahap berpikir anak SD.

  Pembelajaran matematika di SD memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Suwangsih dan Tiurlina, 2006:25-26).

  1) Pembelajaran matematika menggunakan metode spiral, yaitu pendekatan dimana pembelajaran konsep atau suatu topik matematika selalu mengaitkan atau menghubungkan dengan topik sebelumnya yang digunakan sebagai prasyarat dalam mempelajari suatu topik matematika.

  2) Pembelajaran matematika bertahap, materi yang disampaikan bertahap yaitu dimulai dari konsep sederhana menuju konsep yang lebih sulit. Pembelajaran matematika pun dimulai dari yang konkrit, semi konkrit dan akhirnya pada konsep abstrak.

  3) Pembelajaran matematika menggunakan metode induktif, meskipun matematika merupakan ilmu deduktif namun karena sesuai tahap perkembangan mental siswa maka pada pembelajaran matematika di SD digunakan pendekatan induktif.

  4) Pembelajaran matematika menganut kebenaran konsistensi, kebenaran matematika merupakan kebenaran yang konsisten yaitu tidak ada pertentangan antara satu kebenaran dengan kebenaran yang lain. Suatu pernyataan dianggap benar jika didasarkan pada pernyataan sebelumnya yang telah diterima kebenarannya. Meskipun dalam pembelajaran matematika di SD menggunakan metode induktif, namun pada tahap selanjutnya generalisasi suatu konsep dilakukan secara deduktif.

  5) Pembelajaran matematika hendaknya bermakna, yaitu mengajarkan materi pelajaran yang mengutamakan pengertian dari pada hafalan.

  Dalam belajar bermakna aturan, sifat dan dalil-dalil ditemukan oleh siswa melalui contoh-contoh secara induktif di SD, kemudian dibuktikan secara deduktif pada jenjang selanjutnya.

  Sedangkan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran matematika adalah mengkondisikan siswa untuk melakukan penemuan, berfokus pada pemecahan masalah, guru memperhatikan penguasaan materi prasyarat, serta membimbing siswa untuk mengenal masalah yang sesuai dengan situasi sehari-hari. Dalam melakukan penemuan, guru mengkondisikan siswa untuk menemukan kembali rumus, konsep atau prinsip dalam matematika melalui bimbingan guru agar siswa terbiasa melakukan penyelidikan dan menemukan sesuatu. Kemudian mengenai fokus pemecahan masalah dapat dilakukan dengan keterampilan memahami soal, menggunakan pendekatan pemecahan, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi (Suwangsih dan Tiurlina, 2006:28).

  d.

  Penilaian Pembelajaran Matematika di SD Tindak lanjut dari pelaksanaan pembelajaran adalah melakukan penilaian. Penilaian yang dilaksanakan disusun berdasarkan tujuan yang ingin dicapai. Dalam BSNP (2007:4), penilaian pendidikan adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk menentukan pencapaian hasil belajar siswa. Sedangkan inti penilaian menurut Sudjana (2010:3) adalah proses memberikan atau menentukan nilai kepada objek tertentu berdasarkan suatu kriteria tertentu. Sedangkan lebih lanjut, penilaian hasil belajar adalah proses pemberian nilai terhadap hasil-hasil belajar yang dicapai siswa dengan kriteria tertentu.

  Sejalan dengan pengertian tersebut, penilaian berfungsi sebagai (1) alat untuk mengetahui tercapai-tidaknya tujuan instruksional, (2) umpan balik bagi perbaikan proses belajar-mengajar, (3) dasar dalam menyusun laporan kemajuan belajar siswa kepada para orang tuanya.

  Penilaian hasil belajar juga memiliki tujuan, baik tujuan umum maupun khusus. Dalam BSNP (2007:5), tujuan umum penilaian hasil belajar adalah (1) menilai pencapaian kompetensi siswa; (2) memperbaiki proses pembelajaran; (3) sebagai bahan penyusunan laporan kemajuan belajar siswa. Sedangkan tujuan khusus penilaian hasil belajar adalah untuk (1) mengetahui kemajuan dan hasil belajar siswa; (2) mendiagnosis kesulitan belajar; (3) memberikan umpan balik/perbaikan proses belajar mengajar; (4) penentuan kenaikan kelas; (5) memotivasi belajar siswa dengan cara mengenal dan memahami diri dan merangsang untuk melakukan usaha perbaikan. Lebih lanjut, dalam BSNP (2007:5), fungsi penilaian hasil belajar sebagai berikut (1) bahan pertimbangan dalam menentukan kenaikan kelas; (2) umpan balik dalam perbaikan proses belajar mengajar; (3) meningkatkan motivasi belajar siswa; (4) evaluasi diri terhadap kinerja siswa.

  Penilaian pembelajaran matematika di sekolah dasar, dimaksudkan untuk mengukur tingkat keberhasilan siswa dalam belajar matematika. Selain itu, penilaian pembelajaran matematika juga dimaksudkan untuk mengetahui seberapa jauh pemahaman dan penguasaan siswa terhadap materi yang telah diajarkan. Dalam penilaian pembelajaran matematika, perlu memperhatikan tujuan dari pembelajaran matematika tersebut, dimana hakikat tujuan pembelajaran matematika adalah mengutamakan proses sekaligus hasil belajar matematika. Karena itu, penilaian pembelajaran matematika selain menilai hasil akhir dari pembelajaran juga harus menilai proses dalam memperoleh hasil akhir tersebut.

  Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penilaian pembelajaran matematika merupakan sebuah proses pengumpulan dan pengolahan informasi dengan pemberian nilai untuk menentukan pencapaian hasil belajar matematika siswa berdasarkan suatu kriteria tertentu. Penilaian dalam hal ini berfungsi sebagai (1) alat untuk mengetahui tercapai atau tidaknya tujuan instruksional; (2) umpan balik bagi perbaikan proses belajar-mengajar; dan (3) dasar dalam menyusun laporan kemajuan belajar siswa. Sedangkan tujuan penilaian hasil belajar dalam hal ini dapat disimpulkan bertujuan untuk (1) mengetahui kemajuan dan hasil belajar siswa; (2) memperbaiki proses pembelajaran; dan (3) sebagai bahan penyusunan laporan kemajuan belajar siswa.

3. Materi Pembelajaran Geometri

  Materi pembelajaran adalah materi pokok yang harus dipelajari siswa untuk dapat memiliki kompetensi dasar. Materi pelajaran ini dijabarkan dari kompetensi dasar. Jika kompetensi dasar dirumuskan dalam bentuk kata kerja, maka materi pembelajaran dirumuskan dalam bentuk kata benda, atau kata kerja yang dibendakan (Aisyah, 2008:12-13).

Tabel 2.4 Pemetaan Kompetensi Dasar dan Materi Pelajaran

  Kompetensi Dasar Materi Pembelajaran

  • 3.1

  Menghitung luas trapesium dan Luas trapesium

  • layang-layang

  Luas layang-layang

  • 3.2

  Menyelesaikan masalah yang Luas persegi panjang berkaitan dengan luas bangun datar

  Setiap materi pembelajaran dijabarkan lebih lanjut ke dalam uraian materi pembelajaran atau lazim disebut uraian materi. Uraian materi ini harus memuat fakta, konsep, prinsip, dan operasi pengerjaan.

  a.

  Fakta, fakta adalah sembarang semufakatan dalam matematika. Fakta matematika meliputi istilah (nama), notasi (lambang), dan semufakatan.

  Dalam hal ini, adalah lambang “L” untuk menyatakan luas.

  b.

  Konsep, konsep adalah pengertian yang dapat digunakan atau memungkinkan seseorang untuk mengelompokkan/menggolongkan sesuatu objek. Suatu konsep dapat dibatasi dengan suatu ungkapan yang disebut definisi. Dalam hal ini, adalah konsep luas trapesium dan layang-layang.

  c.

  Prinsip, prinsip adalah rangkaian konsep beserta hubungannya.

  Umumnya prinsip berupa pernyataan yang disebut teorema, dalil, sifat- sifat atau langkah kerja. Dalam hal ini, adalah rumus luas trapesium dan layang-layang.

  d.

  Operasi (Pengerjaan), operasi dalam matematika adalah pengerjaan dan prosedur yang harus dikuasai siswa dengan kecepatan dan ketepatan

  yang tinggi. Dalam hal ini, adalah menentukan luas trapesium dan layang-layang.

  Berdasarkan fakta, konsep, prinsip, dan operasi (pengerjaan) ini, maka uraian materi pada penelitian ini dijabarkan dari materi pembelajaran matematika mengenai luas bangun datar trapesium dan layang-layang sebagai berikut:

Tabel 2.5 Pemetaan Materi Pelajaran dan Uraian Materi

  Materi Pelajaran Uraian Materi

  • Luas trapesium
  • Lambang luas
  • Luas layang-layang
  • Menemukan rumus luas trapesium dan layang-layang dengan pendekatan luas persegi panjang
  • Luas persegi panjang
  • Menentukan luas trapesium dan layang-layang
  • Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan luas bangun datar

  Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan materi pembelajaran matematika dalam penelitian ini adalah: a.

  Luas Bangun Datar 1)

  Menemukan luas trapesium dengan pendekatan luas persegi panjang 2)

  Menemukan luas layang-layang dengan pendekatan luas persegi panjang b.

  Memecahkan Masalah Berkaitan dengan Luas Bangun Datar Contoh : Pak Aldi memiliki papan berbentuk trapesium dengan tinggi 30cm, dan panjang sisi yang sejajar 40cm dan 55cm. Pak Aldi juga memiliki papan berbentuk layang-layang dengan panjang diagonalnya 45cm dan 30cm. Berapa selisih luas papan Pak Aldi?

4. Motode Penemuan

  Metode pembelajaran menurut Uno (2011:65), merupakan cara- cara yang digunakan pengajar atau instruktur untuk menyajikan informasi atau pengalaman baru, menggali pengalaman peserta belajar, menampilkan unjuk kerja peserta belajar dan lain-lain. Dalam Djamarah (2005:19), metode adalah suatu cara yang diperguanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam melaksanakan tugas guru sangat jarang menggunakan satu metode, tetapi selalu memakai lebih dari satu metode. Karena karakteristik metode yang memiliki kelebihan dan kelemahan menuntut guru untuk menggunakan metode yang bervariasi.

  Metode pembelajaran matematika adalah cara untuk mencapai tujuan pembelajaran matematika. Penggunaan metode yang tepat akan menentukan efektifitas dan efisiensi pembelajaran. Dalam memilih metode yang tepat tersebut dapat dilakukan dengan memperhatikan metode pembelajaran yang dapat meningkatkan motivasi dan minat anak dalam pembelajaran serta mempertimbangkan kesesuaian pemilihan metode dengan materi pelajaran. Menurut Suwangsih dan Tiurlina (2006:177), berkenaan dengan metode pembelajaran yang dapat meningkatkan motivasi dan minat anak adalah metode permainan dan penemuan. Karena itu, berdasarkan kesesuaian materi yang menjadi objek penelitian, maka metode yang digunakan adalah metode penemuan. Lebih lanjut, dalam Suwangsih dan Tiurlina (2006:177), dijelaskan bahwa metode penemuan merupakan metode pembelajaran yang mengatur pembelajaran sedemikian rupa sehingga anak memperoleh pengetahuan yang sebelumnya belum diketahuinya, proses mengetahuinya tidak melalui pemberitahuan namun sebagian atau seluruhnya ditemukan oleh siswa sendiri. Pembelajaran dengan menggunakan metode penemuan berpusat pada siswa. Dalam metode penemuan tidak berarti sesuatu yang ditemukan oleh siswa merupakan sesuatu yang benar-benar baru, melainkan sebenarnya sudah diketahui oleh orang yang lain atau guru. Berdasarkan jenisnya, metode penemuan dibagi dalam tiga jenis yaitu penemuan murni, penemuan terbimbing dan penemuan laboratory. Jenis metode penemuan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penemuan terbimbing.

  a.

  Metode Penemuan Terbimbing Metode penemuan merupakan metode pembelajaran yang memungkinkan anak memperoleh pengetahuan yang sebelumnya belum diketahuinya, dengan tidak melalui pemberitahuan melainkan sebagian atau seluruhnya ditemukan oleh siswa sendiri. Pada pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing guru mengarahkan mengenai materi pelajaran, kemudian membimbing siswa agar dapat menyimpulkan sesuai dengan rancangan guru. Bentuk bimbingan yang diberikan guru dapat berupa petunjuk, arahan, pertanyaan, langkah- langkah kegiatan, dan lain sebagainya.

  b.

  Langkah-langkah Penemuan Terbimbing Dalam Suwangsih dan Tiurlina (2006:185), cara mengajar dengan metode penemuan menempuh langkah-langkah berikut :

  1) Adanya masalah yang akan dipecahkan

  2) Sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa

  3) Konsep atau prinsip yang harus ditemukan oleh siswa melalui kegiatan tersebut perlu dikemukaan dan ditulis secara jelas

  4) Harus tersedia alat dan bahan yang diperlukan

  5) Susunan kelas diatur sedemikian rupa sehingga memudahkan terlibatnya arus bebas pikiran siswa dalam kegiatan belajar mengajar

  6) Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengumpulkan data

  7) Guru harus menggunakan jawaban dengan cepat dan tepat dengan data dan informasi yang diperlukan siswa.

  c.

  Kelebihan Metode Penemuan Kelebihan atau kebaikan metode penemuan dalam Suryosubroto

  (2009:185-186) diantaranya sebagai berikut: 1)

  Dianggap membantu siswa mengembangkan atau memperbanyak persediaan dan penguasaan keterampilan dan prosese kognitif siswa; 2)

  Pengetahuan diperoleh dari strategi ini sangat pribadi sifatnya dan mungkin merupakan suatu pengetahuan yang sangat kukuh; 3)

  Strategi penemuan membangkitkan gairah pada siswa; 4)

  Memberi kesempatan pada siswa untuk bergerak maju sesuai dengan kemampuannya sendiri; 5)

  Menyebabkan siswa mengarahkan sendiri cara belajarnya, sehingga siswa lebih merasa terlibat dan termotivasi sendiri untuk belajar;

  6) Dapat membantu memperkuat pribadi siswa dengan bertambahnya kepercayaan pada diri sendiri melalui proses-proses penemuan;

7) Strategi ini berpusat pada anak.

  Selain beberapa kelebihan metode penemuan tersebut, dalam Hawa (2008:13), manfaat belajar penemuan adalah: 1)

  Belajar penemuan dapat digunakan untuk menguji apakah belajar sudah bermakna; 2)

  Pengetahuan yang diperoleh siswa akan tertinggal lama dan mudah diingat; 3)

  Belajar penemuan sangat diperlukan dalam pemecahan masalah sebab yang diinginkan dalam belajar agar siswa dapat mendemonstrasikan pengetahuan yang diterima;

  4) Transfer dapat ditingkatkan dimana generalisasi telah ditemukan sendiri oleh siswa dari pada disajikan dalam bentuk jadi;

  5) Penggunaan belajar penemuan mungkin mempunyai pengaruh dalam menciptakan motivasi siswa;

  6) Meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berpikir secara bebas.

  d.

  Kekurangan Metode Penemuan Terbimbing Pembelajaran dengan menggunakan metode penemuan membutuhkan waktu yang lebih lama karena kegiatan dalam metode ini mengembangkan konsep dan keterampilan matematika dalam kaitannya dengan pemecahan masalah. Sedangkan dalam Suryosubroto

  (2009:186-187), kekurangan atau kelemahan metode penemuan adalah sebagai berikut: 1)

  Disyaratkan keharusan adanya persiapan mental untuk cara belajar ini; 2)

  Metode ini kurang berhasil untuk mengajar kelas besar; 3)

  Harapan yang ditumbuhkan pada strategi ini mungkin mengecewakan guru dan siswa yang sudah biasa dengan perencanaan dan pengajaran secara tradisonal;

  4) Mengajar dengan penemuan mungkin akan dipandang sebagai terlalu mementingkan memperoleh pengertian dan kurang memperhatikan diperolehnya sikap dan keterampilan;

  5) Dalam beberapa ilmu fasilitas yang dibutuhkan untuk mencoba ide- ide mungkin tidak ada;

  6) Strategi ini mungkin tidak akan memberi kesempatan untuk berpikir kreatif, kalau berpikir kreatif, kalau pengertian-pengertian yang akan ditemukan telah diseleksi terlebih dahulu oleh guru, demikian pula proses-proses dibawah pembinaannya.

5. Alat Peraga

  Dalam menerapkan suatu metode pembelajaran matematika sebelumnya harus menyusun strategi dan kegiatan belajar mengajar, serta memilih alat peraga yang mendukung materi pelajaran yang akan diajarkan. Pemilihan alat peraga yang tepat, dalam hal ini alat peraga matematika digunakan untuk meningkatkan minat serta keaktifan siswa dalam pembelajaran matematika. Minat belajar merupakan salah satu faktor penunjang keberhasilan proses pembelajaran matematika. Dengan adanya minat belajar pada anak dapat memudahkan membimbing dan mengarahkan anak untuk belajar matematika. Beberapa hal yang dapat dilakukan guru dalam menumbuhakan minat anak dalam belajar matematika adalah dengan menggunakan alat peraga terutama alat peraga yang dapat membangkitkan aktivitas anak.

  a.

  Pengertian Alat Peraga Dalam kamus Inggris-Indonesia disebutkan bahwa media memiliki arti yang sama dengan medium yang memiliki arti antara lain adalah perantara atau perantaraan. Dengan demikian media pembelajaran adalah sesuatu yang dapat dijadikan sarana penghubung untuk mencapai pesan belajar. Sering kita temukan istilah lain yang serupa atau mempunyai makna yang sama yaitu “alat peraga” dan “alat bantu belajar”. Suatu sumber belajar dikatakan alat peraga jika fungsinya sebagai alat bantu pembelajaran sedangkan media tidak sekedar alat bantu, namun dapat merupakan sarana utama dalam penyampaian pesan (Widyantini, 2010:6).

  Peraga, berasal dari kata raga yang berarti jasad atau bentuk, dalam Anitah (2009:3). Kemudian menurut Anitah (2009:4), alat peraga pengajaran, sebagai suatu alat yang digunakan untuk menunjukkan wujud atau bentuk sesuatu yang diajarkan. Alat peraga dalam pembelajaran pada hakekatnya merupakan suatu alat yang digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang riil sehingga memperjelas pengertian pebelajar. Dari beberapa pengertian mengenai alat peraga diatas, maka dapat disimpulkan alat peraga pembelajaran adalah suatu alat bantu atau sarana yang dapat dijadikan perantara antara pendidik dengan siswa dalam penyampaian informasi yang dapat memperjelas sesuatu yang nyata dan memungkinkan siswa menerima pengetahuan, keterampilan, dan sikap.

  Beberapa fungsi alat peraga matematika dalam Widyantini (2010:10) adalah untuk: (1) memahami suatu konsep dalam matematika, (2) menguatkan atau menerampilkan konsep yang telah diberikan, (3) memotivasi atau untuk membangkitkan ketertarikan siswa pada suatu konsep, dan (4) sumber belajar. Sedangkan untuk tujuan penggunaan alat peraga dibagi menjadi tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan secara umum adalah: (1) memberikan pengetahuan/ pengertian, pendapat dan konsep-konsep sesuai dengan kompetensi dasar (KD) yang akan dicapai, (2) mengubah sikap dan persepsi terhadap matematika menjadi lebih baik, (3) menanamkan tingkah laku/kebiasaan dan pola pikir yang baru. Tujuan khusus adalah: (1) sebagai alat bantu dalam pembelajaran, (2) memantapkan suatu konsep yang telah dipelajari, (3) menimbulkan perhatian terhadap sesuatu konsep maupun permasalahan, (4) untuk meningkatkan sesuatu informasi/pengetahuan, (5) untuk membangkitkan motivasi, (6) untuk membantu menjelaskan fakta-fakta, konsep, prinsip dan keterampilan.

  b.

  Alat Peraga Bongkar Pasang Pembelajaran matematika di SD memiliki ciri-ciri yang salah satunya adalah bahwa pembelajaran matematika dilakukan secara bertahap, yaitu materi yang disampaikan bertahap dengan dimulai dari konsep sederhana menuju konsep yang lebih sulit. Pembelajaran matematika pun dimulai dari yang konkrit, semi konkrit dan akhirnya pada konsep abstrak. Untuk mempermudah siswa dalam memahami objek matematika maka benda-benda konkrit digunakan pada tahap konkrit, kemudian dengan gambar-gambar pada tahap semi konkrit dan akhirnya dengan simbol-simbol pada tahap abstrak. Sesuai dengan pendapat Jerome S. Bruner seorang ahli psikologi dari Universitas Havard, Amerika Serikat, yang telah mempelopori aliran psikologi kognitif yang memberi dorongan agar memberikan perhatian pada pentingnya perkembangan berpikir. Menurut Bruner melalui teori perkembangan kognitif dalam Hawa (2008:6), mengungkapkan bahwa dalam proses belajar anak sebaiknya diberi kesempatan memanipulasi benda-benda atau alat peraga yang dirancang secara khusus dan dapat diotak-atik oleh siswa dalam memahami suatu konsep matematika. Agar pembelajaran dapat mengembangkan keterampilan intelektual anak dalam mempelajari suatu konsep matematika, maka materi pelajaran perlu disajikan dengan memperhatikan tahap perkembangan kognitif anak agar pengetahuan dapat diinternalisasi dalam pikiran. Proses internalisasi terjadi jika pengetahuan dipelajari dalam tiga model tahapan, yang dikenal dengan teori Belajar Bruner (dalam Hawa, 2008:6), yang diuraikan sebagai berikut: 1)

  Model Tahap Enaktif Dalam tahap ini penyajian yang dilakukan melalui tindakan anak secara langsung terlibat dalam memanipulasi (mengotak-atik) objek. Pada tahap ini anak belajar suatu pengetahuan yang dipelajari secara aktif, dengan menggunakan benda-benda konkret atau menggunakan situasi yang nyata. Anak akan memahami sesuatu dari berbuat atau melakukan sesuatu.

  2) Model Tahap Ikonik

  Tahap ikonik, yaitu suatu tahap pembelajaran mengolah pengetahuan dengan cara diwujudkan dalam bentuk bayangan visual, gambar, atau diagram yang menggambarkan kegiatan konkret yang terdapat pada tahap enaktif. Dalam tahap ini kegiatan penyajian dilakukan berdasarkan pada pikiran internal. Pengetahuan disajikan melalui serangkaian gambar-gambar atau grafik yang dilakukan anak, berhubungan dengan mental yang merupakan gambaran dari objek yang dimanipulasinya.

  3) Model Tahap Simbolis

  Dalam tahap ini, bahasa adalah pola dasar simbolis, anak memanipulasi simbol-simbol atau lambang-lambang objek tertentu. Pada tahap simbolis ini, pembelajaran diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol abstrak, yaitu simbol-simbol yang dipakai berdasarkan kesepakatan orang-orang dalam bidang yang bersangkutan, baik simbol-simbol verbal, lambang-lambang matematika, maupun lambang-lambang abstrak yang lain. Anak pada tahap ini sudah mampu menggunakan notasi tanpa ketergantungan terhadap objek riil.

  Penggunaan alat peraga juga menyesuaikan tahap-tahap tersebut. Pada tahap enaktif atau konkrit digunakan alat peraga bongkar pasang luas bangun datar. Pada tahap ikonik atau semi konkrit dengan menggunakan gambar bangun datar pada kertas dengan petak-petak yang digunakan untuk mengetahui luasnya serta mengembangkan aspek psikomotor siswa dalam membuat alat peraga yang dapat digunakan dalam pembelajaran. Sedangkan tahap terakhir yaitu tahap simbolis, dilakukan dengan menerjemahkan hasil penemuan yaitu menggunakan simbol-simbol berupa rumus luas bangun datar.

  Alat peraga bongkar pasang atau dapat juga disebut dengan puzzle, dalam Misbach (2010) memiliki manfaat antara lain adalah: (1) Mengasah otak, bongkar pasang atau puzzle merupakan cara yang bagus untuk mengasah otak serta dapat melatih otak dalam memecahkan masalah; (2) Melatih koordinasi mata dan tangan, yaitu dengan membongkar keping puzzle dan menyusunnya menjadi suatu gambar atau bentuk; (3) Melatih nalar, yaitu membantu menyimpulkan dimana letak kepingan puzzle agar menjadi suatu bentuk yang diharapkan; (4) Melatih kesabaran, bongkar pasang atau puzzle dapat melatih kesabaran dalam menyelesaikan tantangan; (5) Pengetahuan, dari puzzle dapat membantu belajar mengenai konsep dasar melalui bimbingan dari orang lain yang mendampinginya.

B. Hasil Penelitian Yang Relevan

  Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sri Muryaningsih dengan judul Peningkatan Hasil Belajar Matematika Materi Bangun Datar Melalui Metode Penemuan Terbimbing di Kelas VB SD Negeri Karanglo Tahun

  Pelajaran 2010/2011. Metode penemuan terbimbing dapat digunakan untuk meningkatkan hasil belajar matematika, yaitu pada materi bangun datar mengenai sifat-sifat bangun datar, kesebangunan dan simetri serta penyelesaian masalah berkaitan dengan bangun datar. Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa metode penemuan terbimbing dapat meningkatkan hasil belajar matematika di kelas VB SD Negeri Karanglo Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, dengan hasil belajar ranah kognitif siklus I ke siklus II mengalami peningkatan dari 46,15% menjadi 76,92% dan siklus

  III menjadi 88,5%. Hasil belajar ranah afektif mengalami kenaikan dari siklus I 58,23% menjadi 73,60% pada siklus II dan siklus III 86,25%. Dan hasil belajar ranah psikimotor siklus I 63,17%, siklus II 65,66% dan meningkat menjadi 86,50% pada siklus ke III.

C. Kerangka Berpikir

  Metode penemuan terbimbing dalam penelitian ini diupayakan untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada materi luas bangun datar kelas V semester I SD Negeri 1 Brobot dengan kerangka berpikir sebagai berikut:

  Hasil belajar siswa rendah Kondisi awal

  Guru menggunakan metode Tindakan penemuan terbimbing

  Kondisi akhir Pelaksanaan Siklus dengan metode

  Hasil belajar penemuan terbimbing dan alat matematika peraga bongkar pasang meningkat

  

Gambar 2. 1 Kerangka Berpikir Penelitian

  Dalam model Penemuan Terbimbing siswa diberi petunjuk dalam menemukan suatu konsep rumus matematika, dalam hal ini yaitu rumus luas trapesium dan layang-layang yang harus dipahami mengenai cara menentukannya, petunjuk penemuan tersebut tertulis dalam lembar kerja siswa (LKS). Dengan LKS tersebut siswa diminta untuk melaksanakan petunjuk yang diberikan serta menganalisis, mengidentifikasi dan melakukan penyelidikan sebagai upaya menemukan rumus yang dimaksud. Kemudian, setelah siswa menemukan rumus yang dimaksud, siswa dihadapkan pada penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pelajaran sekaligus masalah sehari-hari agar dapat mencapai hasil belajar yang maksimal. Permasalahan yang diberikan adalah permasalahan yang berkaitan dengan kehidupan sehari- hari, tujuannya adalah agar siswa dapat melihat masalah dari berbagai sudut pandang yang berbeda dan dapat mengembangkan suatu gagasan sebagai upaya menemukan cara penyelesaian masalah yang ada.

  Dapat dikemukakan bahwa kerangka berpikir dalam penelitian ini secara garis besar adalah: 1)

  Metode Penemuan Terbimbing pada mata pelajaran matematika pokok bahasan Geometri dapat meningkatkan hasil belajar pada aspek kognitif.

  2) Metode Penemuan Terbimbing mata pelajaran matematika pokok bahasan Geometri dapat meningkatkan hasil belajar pada aspek afektif.

  3) Metode Penemuan Terbimbing pada mata pelajaran matematika pokok bahasan Geometri dapat meningkatkan hasil belajar pada aspek psikomotor.

D. Hipotesis Tindakan

  Berdasarkan kerangka berpikir tersebut, maka dapat dirumuskan mengenai hipotesis tindakan dalam penelitian yaitu pembelajaran matematika dengan metode penemuan terbimbing menggunakan media bongkar pasang dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam aspek kognitif, aspek afektif dan aspek psikomotor pada materi luas bangun datar.