BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Kurniati Rahmani BAB I

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja putri yang telah masuk masa pubertas akan mengalami siklus

  menstruasi. Menstruasi merupakan perubahan fisiologis yang terjadi secara berkala dan dipengaruhi oleh hormon reproduksi pada setiap wanita, terjadi setiap bulan antara remaja sampai menopause (Joseph & Nugroho, 2010). Terdapat kelainan atau gangguan ketika menstruasi berlangsung. Hal tersebut diantaranya (ketegangan sebelum

  

premenstrual tension

  menstruasi), mastodinia (mastalgia), yaitu terasa pembengkakan dan pembesaran payudara sebelum menstruasi,

  mittelschmerz (rasa nyeri saat

  ovulasi) dan

  dismenore (rasa nyeri saat menstruasi) (Manuaba, et. al., 2009).

  Dismenore diwujudkan dalam nyeri spasme abdomen bagian bawah,

  dengan gejala yang ditimbulkan tidak hanya terbatas pada daerah perut maupun punggung bagian bawah tetapi dapat menyebar ke daerah pinggang dan paha (Brown & Brown, 2010). Hal ini dirasakan sesaat atau pada saat menstruasi dan menggangu aktivitas perempuan, bahkan seringkali mengharuskan penderita beristirahat dan meninggalkan pekerjaannya selama berjam-jam akibat dismenore. Dismenore dimulai saat perempuan berumur 2-3 tahun setelah

  menarche (Bobak, et. al., 2004; Hendrik, 2006).

  Dismenore merupakan gangguan sekunder menstruasi yang paling

  sering dikeluhkan. Nyeri tersebut timbul diakibatkan oleh hormon

  1 prostaglandin yang membuat otot uterus berkontraksi (Celik et. al., 2009; Durham et. al., : 2010).

  Dismenore yang dirasakan bersifat subjektif. Dismenore yang sering terjadi pada remaja adalah dismenore primer.

  Dismenore primer adalah

  suatu nyeri haid yang tidak terdapat hubungan dengan kelainan ginekologik (Simanjuntak, 2008).

  Beberapa yang mengalami dismenore saat menstruasi menunjukkan gejala-gejala sebagai berikut : 98,3% mengalami nyeri perut, 71,7% mengalami pusing, 70% mengalami nyeri pinggang, 68,3% mengalami mual, 58,3% mengalami nyeri punggung, 56,7% mengalami keringat dingin, 46,7% sampai berguling-guling saat dismenore dan 15% mengalami pingsan (Kurniawati & Kusumawati, 2011).

  Angka prevalensi

  dismenore primer di dunia masih sangat tinggi. Rata-

  rata lebih dari 50% perempuan disetiap Negara mengalami dismenore. Di Amerika dan Kanada angka prosentasenya sekitar 60% sedangkan di Swedia berkisar antara 72% (Proverawati & Maisaroh, 2009; Dawood, 2006).

  Angka kejadian

  dismenore di Indonesia adalah sekitar 64,25% yang

  terdiri dari

  dismenore primer 54,89%, sedangkan 9,36% adalah penderita dismenore dengan tipe sekunder. Walaupun pada umumnya kondisi nyeri

  pada

  dismenore primer tidak berbahaya, namun seringkali dirasa

  mengganggu bagi wanita yang mengalaminya. Derajat nyeri dan kadar gangguan tentu tidak sama untuk setiap wanita. Ada yang masih dapat beraktivitas, adapula yang tidak mampu melakukan aktivitas dan ini akan menurunkan kualitas hidup pada individu masing-masing (Proverawati & Maisaroh, 2009).

  Sebuah studi yang dilakukan pada siswi SMK Batik 1 Surakarta ada beberapa gangguan aktivitas saat menderita

  dismenore primer. Jumlah siswi

  yang tidak mengikuti pelajaran di kelas pada saat

  dismenore adalah

  sebanyak 68%, tidak mengikuti kegiatan sekolah 45%, hanya tiduran 48%, dan yang sulit berjalan sebanyak 65% (Kurniawati & Kusumawati, 2011).

  Suhartatik (2003) menunjukkan bahwa ada hubungan gejala saat menstruasi dengan produktivitas kerja perawat di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta.

  Dismenore mempengaruhi lebih dari 50% wanita dan menyebabkan

  ketidakmampuan selama 1-3 hari setiap bulan. Ketidakhadiran wanita akibat dismenore mancapai 25%.

  Masalah yang sering muncul dalam dismenore adalah penanganan dismenore untuk menurunkan tingkat nyerinya. Hal ini disebabkan ketika nyeri timbul, ada beberapa efek yang biasanya menyertai yaitu mual, muntah, sakit kepala dan diare. Ada tiga perlakuan managemen penanganan nyeri pada

  dismenore primer : farmakologi, non farmakologi

  dan pembedahan (Dawood, 2006). Pada penanganan nyeri secara farmakologi dapat dilakukan dengan cara pemberian obat-obatan, yaitu obat anti inflamasi non steroid (NSAIDs),

  Cyclooxygenase II Inhibitors (COX), pil

  kontrasepsi,

  glyceryl trinitrate, magnesium, calcium antagonists, vitamin B, vitamin E, dan obat herbal.

  Penanganan secara non-farmakologis dapat dilakukan dengan cara : stimulasi syaraf (TENS/

  Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation),

acupuntur dan acupressure, dan self-help therapy (kompres hangat,

  massage, latihan fisik atau olahraga, hipnoterapi, terapi musik, aromaterapi).

  Pada penanganan melalui teknik bedah dilakukan dengan cara : Nerve Ablation, Spinal Manipulation (Dawood, 2006).

  Penanganan

  dismenore selama ini lebih terbatas kepada pemberian

  terapi farmakologik, seperti pemberian obat analgesik. Obat analgesik dapat menimbulkan efek toleransi, ketergantungan dan gejala putus obat (Hopfer & Vallerand, 2004; Munaf, 2008). Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi intensitas nyeri pada dismenore primer adalah kompres panas, aromaterapi dan yoga.

  Kompres hangat merupakan pemberian hotpack (kantong) air panas yang telah diisi air panas dan dibungkus handuk diletakkan pada perut bagian bawah (Berman et. al., 2009; Mahmud, 2008). Yoga merupakan teknik relaksasi yang mengajarkan seperangkat teknik seperti pernafasan, meditasi dan posisi tubuh untuk meningkatkan keseimbangan dan kekuatan (Nag & Kodali, 2013).

  Aromaterapi adalah cara penyembuhan dengan menggunakan konsentrasi minyak esensial yang sangat aromatik yang diekstraksi dari tumbuh-tumbuhan. Menghirup minyak aromaterapi dianggap sebagai cara penyembuhan yang paling langsung dan cepat. Hal ini dikarenakan molekul- molekul dari minyak esensial yang mudah menguap bereaksi langsung dengan organ penciuman dengan cara dipersepsikan oleh otak.

  Kompres hangat yang diberikan berfungsi untuk melebarkan pembuluh darah, meningkatkan aliran darah, menghangatkan otot abdomen dan meningkatkan relaksasi fisik (Hidayat, 2005). Hal ini meningkatkan aliran oksigen ke uterus sehingga spasme otot berkurang dan akan menurunkan intensitas nyeri (Ernawati, et. al., 2010).

  Panas dapat disalurkan melalui konduksi (botol air panas, bantalan pemanas listrik, lampu, kompres hangat kering dan lembab) atau konveksi.

  Nyeri akibat spasme otot berespon baik terhadap panas, karena panas melebarkan pembuluh darah dan meningkatkan aliran darah lokal. Panas dapat meredakan nyeri dengan menyingkirkan produk-produk inflamasi seperti bradikinin, histamine, dan prostaglandin yang akan menimbulkan nyeri lokal. Panas juga merangsang serat saraf yang menutup gerbang nyeri kemudian transmisi impuls nyeri ke medulla spinalis dan otak dapat dihambat sehingga akan memberikan rasa nyaman pada remaja yang menderita dismenore (Potter & Perry, 2006).

  Teknik relaksasi dalam yoga dapat merangsang tubuh untuk melepaskan opioid endogen yaitu

  endorphin dan enkefalin (senyawa yang

  berfungsi untuk menghambat nyeri) sehingga akan terjadi penurunan intensitas nyeri. Jika relaksasi dilakukan berulang maka akan meningkatkan rasa nyaman dan dapat meningkatkan toleransi seseorang terhadap nyeri (adaptasi nyeri) (Ernawati, et. al., 2010; Nag & Kodali, 2013).

  Aromaterapi tidak hanya bekerja bila ada gangguan, tetapi juga dapat menjaga kestabilan ataupun keseimbangan sistim yang terdapat dalam tubuh sehingga tubuh menjadi sehat dan menarik. Oleh sebab itu, aromaterapi merupakan pengobatan holistik untuk menyeimbangkan semua fungsi tubuh.

  Aromaterapi yang masuk akan mempengaruhi komplek sensorik

  somatic-cascade yang secara instan mengaktifkan sistim saraf otonom,

  memori dan emosi melalui amigdala dan struktur limbik lainnya. Bau yang dihirup akan mengaktifkan pelepasan neurotransmitter seperti serotonin, endorphin dan norepinephrine di hipotalamus hipofisis axia dan memodulasi neuroreseptor dalam kekebalan tubuh, sistim suasana hati, mengubah, mengurangi kecemasan dan mengganggu respon stress (Rohimawati, 2009).

  Studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 8 November 2013 di SMP Negeri I Wangon menunjukkan bahwa dari 426 siswi yang dilakukan pengkajian, ada 287 siswi yang sudah menstruasi, ada sekitar 59,67% mengalami

  dismenore primer. Dan dari mereka yang mengeluh nyeri, 14%

  berat; 37% sedang; dan 46% ringan. Dan sekitar 14% siswi tidak masuk sekolah dikarenakan

  dismenore. Dari yang mengeluhkan nyeri 6% meminum

  obat anti nyeri dan meminum jamu kunyit asam, 25% mengatasi nyeri dengan memakai minyak kayu putih atau balsam sedangkan selebihnya dibiarkan saja.

  Adanya permasalahan tentang dismenore di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti mengenai perbedaan efektifitas aromaterapi, kompres hangat, dan yoga pada penanganan dismenore primer.

B. Rumusan Masalah

  “Adakah perbedaan efektifitas aromaterapi, kompres hangat dan yoga pada penanganan

  dismenore

  primer ?”

  C. Tujuan Penelitian

  1. Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan efektifitas aromaterapi, kompres hangat dan yoga pada penanganan

  dismenore primer.

  2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui penurunan nyeri dismenore dengan aromaterapi.

  b. Untuk mengetahui penurunan nyeri dismenore dengan kompres hanngat.

  c. Untuk mengetahui penurunan nyeri dismenore primer dengan yoga.

  d. Untuk mengetahui perbedaan efektifitas aromaterapi, kompres hangat dengan yoga.

  D. Manfaat Penelitian

  1. Manfaat Teoritis Memberikan sumbangan ilmiah kepada dunia kebidanan berupa bukti empiris bahwa ada pengaruh dari aromaterapi, kompres hangat dan yoga untuk menurunkan intensitas nyeri pada dismenore primer.

  2. Manfaat Praktis Memperoleh data yang diharapkan mampu memberikan informasi dan solusi bagi remaja putri yang mengalami dismenore primer.

E. Keaslian Penelitian

  Setelah melakukan berbagai pencarian, ditemukan beberapa penelitian yang berkaitan dengan penurunan intensitas nyeri dismenore primer yang telah dilakukan sebelumnya : 1. Nag & Kodali (2013).

  Effect of Yoga on Primary Dysmenorrheal and Stress in Medical Student. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk

  mengetahui keefektifan yoga sebagai terapi alternatif untuk penanganan

  dismenore primer dan stress. Metode penelitian yang digunakan adalah

  eksperimental, dengan jumlah total responden 113 mahasiswa kesehatan, remaja putri belum menikah dengan

  dismenore primer dan

  stress. Diambil secara acak dengan 60 sampel sebagai kelompok kasus dan 53 sampel sebagai kelompok kontrol. Pengukuran dilakukan sebelum dan sesudah dilakukan intervensi yoga selama 3 bulan. Hasil dari penelitian adalah adanya keefektifan dari yoga untuk menurunkan intensitas nyeri dan menurunkan level stress.

  2. Puji, I. (2009).

  Efektifas Senam Dismenore dalam Mengurangi Nyeri Dismenore pada Remaja Putri di SMU N 5 Semarang. Penelitian ini

  dilakukan pada bulan Maret-April 2009. Penelitian ini menggunakan desain

  quasi eksperimen dalam satu kelompok. Variabel bebasnya

  adalah senam

  dismenore. Sedangkan variabel terikatnya adalah nyeri dismenore. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling

  dimana

  purposive sampling didasarkan pada suatu pertimbangan

  tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri, dengan ciri dan syarat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Peneliti mengumpulkan data dan menyajikannya dalam tabel uji

  Paired Sample t-Test. Uji Paired Sample

  

t-Test didapatkan nilai signifikansi yaitu 0,000 yang nilainya lebih kecil

  dari taraf kesalahan (α) 0,05 atau dengan signifikansi 95 % dan nilai mean 3,733, standar deviasi 3,195, standar error mean 0,825. Nilai t tabel adalah 1,761, maka daerah penerimaan Ho antara -1,761 sampai dengan 1,761. Pada penelitian ini, nilai t hitung 4,525, maka nilai di luar daerah penerimaan Ho, artinya Ho ditolak dan Ha diterima. Sehingga dapat diputuskan bahwa hipotesis efektivitas senam

  dismenore dalam

  mengurangi nyeri haid atau dismenore pada remaja diterima.

  3. Akin,

  et. al. (2001). Continuous Topical Heat Was As Effective As

Ibuprofen For Dysmenorrhea. Penelitian menggunakan consecutive

  sampling dalam pengambilan samplenya. Hasil penelitian menunjukan bahwa kompres hangat sama efektifnya dengan penurunan tingkat nyeri menggunakan ibuprofen.

4. Rho, Kook-Hee et. al. (2006). Effects of Aromatherapy Massage on Anxiety and Self-Esteem in Korean Elderly Women: A Pilot Study.

  Penelitian ini meneliti efek dari pijat aromaterapi pada kecemasan dan kepercayaan diri yang dialami oleh wanita lanjut usia di Korea.

  Penelitian yang digunakan adalah sebuah

  quasi-eksperimental, kontrol

  kelompok,

  pretest-posttest desain. Subyek terdiri 36 perempuan lanjut

  usia: 16 pada kelompok eksperimen dan 20 pada kelompok kontrol. Pijat aromaterapi menggunakan lavender, chamomile, rosemary, dan lemon diberikan kepada kelompok eksperimen. Setiap sesi pijat berlangsung 20 menit, dan dilakukan 3 kali per minggu selama dua periode 3 minggu dengan istirahat 1 minggu intervensi. Intervensi menghasilkan perbedaan yang signifikan dalam kecemasan dan kepercayaan diri dan tidak signifikan perbedaan tekanan darah atau denyut nadi antara kedua kelompok. hasil ini menunjukkan bahwa pijat aromaterapi memberikan efek positif pada kecemasan dan selfesteem. Namun, untuk hasil yang lebih obyektif, tindakan klinis harus diterapkan pada studi selanjutnya dengan randomized placebocontrolled design.

  5. Davis,

  et.al. (2005).The Effect of Aromatherapy Massage with Music on

the Stress and Anxiety Levels of Emergency Nurses. Staf departemen

  gawat darurat terpapar oleh stresor yang signifikan selama pekerjaan mereka. Penelitian terbaru telah menghubungkan antara tingkat stress yang tinggi dan cuti sakit. Perawat yang bekerja di Unit Gawat Darurat, Unit Perawatan Intensif, dan para pekerja baru menderita stres tingkat tinggi. Penelitian ini mengevaluasi penggunaan pijat aromaterapi dan musik sebagai intervensi untuk mengurangi stres kerja dan tingkat kecemasan perawat darurat. Penelitian ini menggunakan kelompok satu pretest-posttest, kuasi-eksperimental dengan desain acak. Tingkat stres kerja yang dirasakan dinilai pra dan pasca 12 minggu aromaterapi pijat dan musik. Tingkat kecemasan diukur sebelum dan sesudah masing- masing sesi pijat. Jumlah cuti sakit juga diukur. Hasilnya, temuan menunjukkan bahwa pijat aromaterapi dan musik secara signifikan mengurangi tingkat kecemasan. Meskipun untuk tingkat stres kerja yang tinggi dalam kaitannya dengan beban kerja, tidak terdapat perbedaan yang signifikan setelah periode intervensi selama 12 minggu.