BAB II LANDASAN TEORI G. Penelitian Sejenis yang Relevan - Tri Utami Anisa BAB II

BAB II LANDASAN TEORI G. Penelitian Sejenis yang Relevan Penelitian tentang pragmatik khususnya mengenai tindak tutur sebelumnya

  sudah pernah dilakukan, maka dari itu untuk membedakan penelitian yang berjudul “Kajian Bentuk Tindak Tutur Penjual dan Pembeli di Toko Yuyun Collection and

  Credit di Desa Madusari, Kecamatan Wanareja,

  Kabupaten Cilacap” dengan penelitian yang telah ada sebelumnya maka peneliti meninjau dua buah penelitian mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Pertama, penelitian Agustina Vivi S NIM 0801040073 Tahun 2013 yang berjudul

  “Kajian Tindak Tutur Komunikasi Penjual dan Pembeli Sepatu Sandal di Pasar Banjarnegara (Sebuah Kajian Pragmatik).

  ” Sumber data dalam penelitian tersebut adalah penjual dan pembeli yang melakukan tawar menawar sepatu sandal di Pasar Banjarnegara dengan jumlah tiga kios, dua los, dan satu pedagang kaki lima. Data penelitiannya adalah tuturan yang digunakan oleh penjual dan pembeli dalam komunikasi jual beli sepatu sandal di Pasar Banjarnegara. Metode penelitian yang digunakan adalah pada tahap penyediaan data menggunakan metode simak dengan teknik Simak Bebas Libat Cakap (SBLC) kemudian teknik rekam dan terakhir dengan teknik catat. Pada tahap penganalisisan data dianalisis dengan menggunakan metode padan dengan teknik dasar PUP dan teknik lanjutan HBS.

  Penelitian yang kedua adalah penelitian Esa Apriaditya NIM 0901040107 Tahun 2013 yang berjudul

  “Alih Kode dan Campur Kode Pada Tuturan Transaksi Jual Beli Sandang di Toko Jaya Mukti Abadi Pasar Wage Purwokerto.

  ” Sumber data dalam penelitian tersebut adalah penjual dan pembeli yang berbelanja di toko tersebut,

  9 sedangkan data dalam penelitiannya adalah tuturan penjual dan pembeli dalam transaksi jual beli sandang di toko Jaya Mukti Abadi Pasar Wage Purwokerto.

  Landasan teori yang digunakan adalah Alih kode, macam-macam alih kode, faktor penyebab alih kode, campur kode, macam-macam campur kode, faktor penyebab campur kode dan tindak tutur. Metode penelitian yang dilakukan adalah pada tahap penyediaan data digunakan metode simak dengan teknik sadap dan teknik lanjutan teknik Simak Bebas Libat Cakap (SBLC). Teknik selanjutnya adalah teknik rekam dan terakhir teknik catat. Pada tahap penganalisisan data digunakan metode agih dengan teknik dasar BUL dan teknik lanjutan teknik ganti.

  Berdasarkan kedua hasil penelitian di atas, maka penelitian mengenai pemakaian bahasa memiliki persamaan dan perbedaan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Esa Apriaditya memiliki perbedaan pada landasan teori dan metode penelitiannya. Landasan teori yang digunakan oleh Esa Apriaditya selain menggunakan kajian tentang tindak tutur juga menggunakan teori tentang alih kode dan campur kode, sedangkan pada penelitian ini tidak menggunakan teori tentang alih kode dan campur kode. Pada metode penelitiannya, Esa Apriaditya menggunakan metode agih dengan teknik dasar BUL dan teknik lanjutan teknik ganti sedangkan pada penelitian ini menggunakan metode padan dengan teknik dasar PUP dan teknik lanjutan HBS. Pada penelitian Agustina Vivi S terdapat perbedaan pada metode penelitiannya yaitu sumber data yang digunakan pada penelitiannya adalah penjual dan pembeli yang melakukan tawar menawar sepatu sandal di pasar Banjarnegara di 3 kios, dua los dan satu pedagang kaki lima, sedangkan dalam penelitian ini adalah penjual dan pembeli di satu toko yakni di Toko Yuyun Collection and Credit. Data dalam penelitian Agustina Vivi S adalah tuturan yang digunakan oleh penjual dan pembeli dalam komunikasi jual beli sepatu sandal di pasar Banjarnegara sedangkan data dalam penelitian ini adalah tuturan yang digunakan oleh penjual dan pembeli di toko Yuyun Collection and Credit. Pada pengambilan data ini juga terdapat perbedaan dalam bahasa yang digunakan. Pada penelitian Agustina Vivi S banyak yang menggunakan bahasa Jawa. Hal itu terjadi karena sebagian besar masyarakat di daerah Banjarnegara menggunakan bahasa Jawa sedangkan pada penelitian ini tuturan yang dianalisis yakni tuturan yang berbahasa Sunda. Dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut, maka telah terbukti bahwa penelitian ini berbeda dengan penelitian- penelitian sebelumnya.

H. Pengertian Pragmatik

  Pragmatik merupakan ilmu yang menelaah ucapan-ucapan khusus dalam situasi-situasi khusus. Hal itu berarti bahwa pragmatik memusatkan perhatian pada aneka ragam cara yang merupakan wadah aneka konteks sosial performansi bahasa yang dapat mempengaruhi tafsiran atau interpretasi. Dalam mengatakan sebuah kalimat seseorang tidak hanya semata-mata mengatakan sesuatu dengan pengucapan kalimat tersebut akan tetapi juga menindakkan sesuatu. Pragmatik merupakan studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan konteksnya (Levinson 1983 dalam Rahardi, 2005: 48). Hal tersebut menegaskan bahwa konteks memiliki peranan kuat dalam menentukan maksud penutur dalam berinteraksi dengan lawan tutur.

  Senada dengan peryataan yang di atas, Leech (2011: 5) mengatakan bahwa

  

pragmatics studies meaning in relation to speech situation . Menurutnya, pragmatik itu

  mempelajari bagaimana bahasa digunakan dalam komunikasi, dan bagaimana pragmatik menyelidiki makna sebagai konteks, bukan sebagai sesuatu yang abstrak dalam komunikasi. Berbicara mengenai konteks dan pragmatik, Mey (dalam Nadar, 2009: 4) juga sangat menekankan tentang konteks. Ia mengatakan bahwa pragmatik merupakan kajian tentang kondisi penggunaan bahasa manusia sebagaimana ditentukan oleh konteks masyarakatnya. Pendapat lain juga dikemukakan oleh Verhaar (2012: 14), yaitu bahwa pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang membahas tentang apa yang termasuk struktur bahasa sebagai alat komunikasi antara penutur dan pendengar, dan sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa pada hal-hal ekstralingual yang dibicarakan.

  Sejalan dengan pendapat tersebut Wijana (1996: 2) mengungkapkan juga bahwa pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal. Ia mengatakan bahwa pragmatik adalah bagaimana satuan kebahasaan digunakan dalam komunikasi. Dapat dikatakan bahwa makna yang dikaji pragmatik adalah makna yang terikat konteks. Hal itu menegaskan bahwa pragmatik mengkaji maksud dari seorang penutur. Berdasarkan beberapa pandapat di atas, maka dapat ditegaskan bahwa hubungan antara bahasa dengan konteks merupakan dasar dalam pemahaman pragmatik.

I. Aspek-Aspek Situasi Ujar

  Seperti yang telah diketahui bersama bahwa pragmatik merupakan kajian bahasa yang terikat oleh konteks. Menurut Sperber & Wilson (dalam Wijana, 1996: 10), sebuah tuturan tidak senantiasa merupakan representasi langsung elemen makna unsur-unsurnya. Hal tersebut dapat diartikan bahwa sebuah tuturan dapat digunakan untuk menyampaikan beberapa maksud dan sebaliknya satu maksud dapat disampaikan dengan beraneka ragam tuturan. Sehubungan dengan bermacam-macam maksud yang mungkin dikomunikasikan oleh penuturan sebuah tuturan, ada satu hal perlu diperhatikan yakni bahwa situasi ujar merupakan salah satu hal yang cukup penting bagi pragmatik sebagai pembeda dengan ilmu semantik. Seperti yang telah diketahui bersama bahwa pragmatik dan semantik memiliki suatu persamaan yakni sama-sama mempelajari tentang makna. Namun perbedaannya disini bahwa semantik itu mempelajari makna yang tidak terikat dengan konteks sedangkan pragmatik seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pragmatik itu mempelajari tentang makna yang terikat konteks.

  Menurut Leech (2011: 19-21) untuk membedakan apakah yang sedang dihadapi adalah fenomena pragmatis atau semantis maka dalam pragmatik terdapat aspek-aspek situasi ujar sebagai pembedanya. Ada lima aspek yang seharusnya dipertimbangkan dalam studi pragmatik. Kelima aspek tersebut menurut Leech harus selalu diperhatikan dalam mengkaji setiap tuturan. Hal tersebut dikarenakan tuturan selalu terikat pada konteks dan situasi yang melingkupinya. Kelima aspek itu adalah penutur dan lawan tutur (penyapa dan pesapa), konteks sebuah tuturan, tujuan sebuah tuturan, tuturan sebagai bentuk tindakan atau kegiatan: tindak ujar, tuturan sebagai produk tindak verbal.

6. Penutur dan Lawan Tutur (Penyapa dan Pesapa)

  Penutur adalah orang yang bertutur, yaitu orang yang menyatakan fungsi pragmatis tertentu di dalam peristiwa komunikasi, sementara itu lawan tutur adalah orang yang menjadi sasaran sekaligus kawan penutur di dalam pentuturan (Leech, 2011: 19). Selain penutur dan lawan tutur atau penyapa dan pesapa, konsep ini juga meliputi penulis dan pembaca. Konsep pembaca dan penulis ini terjadi jika tuturan yang bersangkutan itu dikomunikasikan dengan media tulisan. Ia juga mengatakan bahwa apek-aspek yang terkait dengan komponen penutur dan lawan tutur antara lain usia, latar belakang sosial, ekonomi, jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat keakraban, dan sebagainya. Sejalan dengan pendapat yang diungkapkan oleh Leech, Hal tersebut mengandung implikasi bahwa penggunaan kata penutur dan lawan tutur tidak hanya membatasi pragmatik pada bahasa lisan saja tetapi juga mencakup bahasa tulis.

  7. Konteks sebuah Tuturan

  Istilah konteks didefinisikan oleh Mey (dalam Nadar, 2009: 3) sebagai situasi lingkungan dalam arti luas yang memungkinkan peserta pertuturan untuk dapat berinteraksi dan yang membuat ujaran mereka dapat dipahami. Pendapat lain juga dikemukakan oleh Leech (2011: 20) yang mengungkapkan bahwa konteks semua penelitian linguistik adalah konteks dalam semua aspek fisik atau setting sosial yang relevan dari tuturan yang bersangkutan. Konteks yang bersifat fisik lazim disebut koteks (cotexs), sedangkan konteks setting sosial disebut konteks. Di dalam pragmatik konteks merupakan suatu pengetahuan latar belakang yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan lawan tutur. Hal tersebut bermaksud agar lawan tutur dapat menafsirkan makna tuturan. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat ditegaskan bahwa konteks memang memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu ujaran, karena melalui konteks ujaran dapat lebih dipahami.

  8. Tujuan sebuah Tuturan

  Tujuan tuturan adalah apa yang ingin dicapai penutur dengan melakukan tindakan bertutur Leech (2011: 20). Komponen ini menjadikan hal yang melatarbelakangi tuturan karena semua tuturan memiliki suatu tujuan. Berkenaan dengan hal tersebut di dalam pragmatik sendiri berbicara merupakan aktivitas yang berorientasi pada tujuan (goal ariented activities) (Wijana, 2009: 11). Dalam hal ini bentuk tuturan yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang sama atau sebaliknya, berbagai macam maksud dapat diutarakan dengan tuturan yang sama. Seperti pada contoh bentuk tuturan pagi, selamat pagi dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang sama yakni menyapa lawan bicara yang dijumpai di pagi hari. Namun lain halnya dengan selamat pagi yang diucapkan dengan nada tertentu dan situasi yang berbeda, dapat juga digunakan untuk mengejek orang atau teman yang datang terlambat.

9. Tuturan sebagai Bentuk Tindakan atau Kegiatan: Tindak Ujar

  Berbicara mengenai tuturan sebagai bentuk tindakan, Tarigan (2009: 33) mengungkapkan bahwa tindak tutur sebagai bentuk tindakan atau aktivitas berarti tindak tutur juga merupakan suatu tindakan, yakni tindak berujar. Hal serupa juga diungkapkan oleh (Rohmadi, 2004: 51) yang mengatakan bahwa tuturan sebagai bentuk tindakan adalah tindak tutur yang merupakan kekuatan ujar dari penyapa. Pendapat lain diungkapkan oleh (Leech, 2011: 20) yang mengatakan bahwa jika tata bahasa menangani unsur-unsur kebahasaan yang abstrak, seperti kalimat dalam studi sintaksis, proposisi dalam studi semantik dan sebagainya, maka pragmatik berhubungan dengan tindak verbal yang lebih konkret dibanding dengan tata bahasa.

  Tuturan sebagai entitas yang kongkret, jelas penutur dan lawan tuturnya serta waktu dan tempat pengutaraannya. Maka dari itu dapat ditarik kesimpulan bahwa tindak tutur sebagai suatu tindakan tidak ubahnya sebagai tindakan memukul, hanya saja bagian tubuh yang berperan itu berbeda. Pada tindakan memukul yang berperan adalah tangan sedangkan pada tindakan bertutur alat ucaplah yang berperan.

10. Tuturan sebagai Produk Tindak Verbal.

  Tuturan itu merupakan hasil suatu tindakan, dan tindakan manusia itu dibedakan menjadi dua, yaitu tindakan verbal dan tindakan nonverbal. Berbicara atau bertutur itu merupakan suatu tindakan verbal karena dihasilkan ataupun tercipta melalui tindakan verbal (Leech, 2011: 20-21). Senada dengan pendapat yang diungkapkan oleh Leech, dalam bukunya Wijana (1996: 12) mengatakan bahwa selain sebagai tindak ujar atau tindak verbal, dalam pragmatik kata tuturan dapat digunakan dalam arti yang lain yaitu sebagai produk suatu tindak verbal. Lain halnya dengan Tarigan (2009: 33), ia mengatakan bahwa tuturan mengacu kepada produk suatu tindak verbal, bukan hanya pada tindak verbalnya itu sendiri sehingga yang dikaji dalam pragmatik bukan hanya tindak ilokusi tetapi juga makna atau kekuatan dari ilokusinya. Berdasarkan beberapa pandangan di atas dapat ditegaskan bahwa tuturan sebagai produk tindak verbal akan terlihat dalam setiap percakapan lisan maupun tertulis antara penutur dan lawan tutur, karena pada dasarnya tindak verbal merupakan tindak mengekpresikan kata-kata atau bahasa.

  J. Tindak Tutur

  Tindak tutur merupakan suatu kegiatan seseorang menggunakan bahasa kepada mitra tutur dalam rangka mengkomunikasikan sesuatu. Menurut Chaer dan Leonie Agustina (2004: 49) mengatakan bahwa tindak tutur adalah peristiwa tutur pada peristiwa sosial yang menyangkut pihak-pihak yang bertutur dalam satu situasi dan tempat tertentu. Peristiwa tutur ini pada dasarnya merupakan gejala sosial maka tindak tutur merupakan gejala sosial individual bersifat psikologis dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Sementara itu Suwito (dalam Rohmadi 2004: 30) mengungkapkan bahwa dalam suatu tindak tutur orang lebih memperhatikan makna atau arti tindak dalam tuturan itu. Pendapat lain juga diungkapkan oleh Yule (1996: 82) yang mengatakan bahwa tindak tutur sebagai tindakan yang dilakukan melalui ujaran. Hal serupa juga diungkapkan oleh Tarigan (2009: 36) bahwa tindak tutur atau tuturanyang dihasilkan oleh manusia dapat berupa ucapan. Ia juga mengatakan bahwa ucapan tersebut dianggap sebagai suatu bentuk kegiatan atau suatu tindak ujar. Tidak berbeda jauh dengan beberapa pandangan di atas, Kridalaksana (1992:154) mengungkapkan bahwa tindak tutur adalah pengujaran kalimat untuk menyatakan agar suatu maksud dari pembicara diketahui oleh pendengar. Dari beberapa pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa tindak tutur merupakan suatu ujaran yang mengandung tindakan sebagai suatu fungsional dalam komunikasi yang mempertimbangkan aspek situasi tutur.

  K. Bentuk Tindak Tutur

  Menurut Searle (dalam Rohmadi 2004: 30) yang dalam bukunya Speech Acts:

  

An Essay in The Philosophy of Language mengungkapkan sesuatu yang berkaitan

  dengan tindak tutur. Dalam bukunya tersebut ia mengungkapkan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur. Tindakan tersebut yakni tindak lokusi (lokutionary act), tindak ilokusi (ilokutionary act), dan tindak perlokusi (perlokutionary act). Dalam bukunya pun ia menjelaskan bagian dari masing-masing bentuk. Ketiga tindakan itu lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut :

4. Tindak Lokusi

  Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak tutur ini sering disebut The Act of Saying Something (Rohmadi 2004: 30). Pendapat lain juga dikemukakan oleh Rahardi (2005: 35) yang mengungkapkan bahwa tindak lokusi adalah tindak bertutur dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu. Sehubungan dengan tindak lokusi, Leech (2011: 316) memberikan rumus mengenai tindak lokusi yakni bahwa tindak tutur lokusi berarti penutur menuturkan kepada mitra tutur bahwa kata-kata yang diucapkan itu mempunyai suatu makna dan acuan tertentu. Tindak tutur lokusi paling mudah untuk diidentifikasi karena pengidentifikasiannya cenderung dapat dilakukan tanpa menyertakan konteks tuturan atau tanpa mengaitkan maksud tertentu, atau dapat juga dikatakan bahwa tindak lokusi hanya berupa tindakan menyatakan sesuatu dalam arti yang sebenarnya tanpa disertai unsur nilai dan efek terhadap mitra tuturnya. Berdasarkan hal tersebut Rohmadi (2004: 41) membagi tindak lokusi menjadi tiga tipe atau tiga bentuk, yaitu : (a) bentuk pernyataan (deklaratif), (b) bentuk pertanyaan (introgatif), dan (c) bentuk perintah (imperatif).

  a. Bentuk pernyataan (deklaratif) merupakan lokusi yang berfungsi untuk menyatakan atau memberitahu sesuatu kepada pendengar. Lokusi tipe ini hanya merupakan berita agar pendengar percaya dengan yang dikatakan oleh pembicara. Tanggapan yang diharapkan pun hanyalah berupa sebuah perhatian. Perhatian yang dimaksudkan dalam hal ini yakni misalnya perhatian yang tercermin pada pandangan mata. Pandangan mata yang ditunjukkan juga harus menunjukan perhatian (Rohmadi, 2004: 41).

  b. Bentuk pertanyaan (introgatif) merupakan lokusi yang berfungsi untuk menanyakan suatu hal kepada lawan tuturnya. Lokusi pertanyaan selalu mempergunakan kata tanya seperti, apa, bagaimana, kapan, di mana, siapa, mengapa, berapa, sesuai dengan tujuan atau sesuatu yang ingin ditanyakan. Selain mempergunakan kata tanya, lokusi pertanyaan (introgatif) juga mempergunakan kata tanya kah. Pola intonasi akhir kalimat tanya adalah naik dan diakhiri dengan tanda tanya (?). Jika dalam lokusi pernyataan (deklaratif) tanggapan yang diharapkan itu hanyalah sebuah perhatian, maka lokusi pertanyaan (introgatif) memerlukan sebuah jawaban dari apa yang telah ditanyakan oleh seorang penutur kepada lawan tuturnya (Rohmadi, 2004: 43).

  c. Bentuk perintah (imperatif) merupakan lokusi yang mempunyai ciri utamanya yakni memerintah atau melarang lawan tuturnya. Hal itu berarti penutur mengharapkan tanggapan yang berupa tindakan dari orang lain yang diajak bicara (Rohmadi, 2004: 43). Ciri lain dari lokusi tipe perintah ini adalah mempergunakan partikel pengeras lah. Pengeras lah digunakan pada akhir kata yang diucapkan oleh seorang penutur. Partikel lah ini digunakan sebagai penguat dari kata-kata yang telah diucapkan oleh penuturnya.

5. Tindak Ilokusi

  Tindak ilokusi adalah tindak tutur yang berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu dan dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Tindak ilokusi disebut sebagai The Act of Doing Something (Rohmadi 2004: 31).Menurut Wijana (1996:18 ), tindak ilokusi ini merupakan bagian yang sentral atau penting dalam memahami tindak tutur. Pendapat lain juga diungkapkan oleh Schmidt dan Richards (dalam Nadar 2009: 14) mengungkapkan bahwa tindak ilokusi adalah apa yang ingin dicapai oleh penuturnya pada waktu menuturkan sesuatu. Selanjutnya Searle (dalam Rohmadi 2004: 32) menggolongkan tindak tutur ilokusi dalam lima macam bentuk tuturan yang masing-masing mempunyai fungsi komunikatif yakni : a. Representatif ialah tindak ujar yang mengikat penuturnya kepada kebenaran atas hal yang dikatakannya. Hal itu menegaskan bahwa representatif berfungsi untuk menetapkan atau menjelaskan sesuatu apa adanya. Apa adanya dalam hal ini adalah tentang kebenaran dan kenyataan dari tuturan yang diucapkan oleh penutur dan lawan tutur. Menurut Searle (dalam Rohmadi 2004: 32) menegaskan bahwa terdapat beberapa ciri-ciri dari suatu bentuk tindak tutur ilokusi

  representatif. Beberapa ciri-ciri tersebut misalnya: menyatakan, melaporkan, menunjukkan dan menyebutkan.

  b. Direktif ialah tindak tutur yang dilakukan oleh penuturnya dengan maksud agar lawan tutur melakukan tindakan yang disebutkan dalam ujaran itu. Lebih jelas lagi Searle (dalam Rohmadi 2004: 32) mengungkapkan bahwa tindak ilokusi

  direktif itu bertujuan untuk menghasilkan suatu efek. Efek tersebut dapat berupa

  tindakan yang dilakukan oleh penutur. Searle (dalam Rohmadi 2004: 32) juga mengungkapkan tentang ciri-ciri dari ilokusi direktif. Ciri-ciri tersebut misalnya menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan, dan menantang.

  c. Ekspresif adalah tindak tutur yang dilakukan dengan maksud agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam ujaran. Ujaran dalam hal ini adalah ujaran yang dituturkan oleh penutur dan lawan tutur. Hampir sama dengan bentuk tindak tutur ilokusi lainnya, ilokusi ekspresif juga memiliki ciri-cirinya. Searle (dalam Rohmadi 2004: 32) juga tentang ciri-ciri dari ilokusi

  ekspresif. Ciri-ciri tersebut misalnya memuji, mengucapkan terima kasih, mengkritik, mengeluh.

  d. Komisif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan segala hal. Segala hal dalam hal ini adalah segala sesuatu yang disebutkan dalam ujaran. Searle (dalam Rohmadi 2004: 32) juga menambahkan bahwa ilokusi

  komisif ini bertujuan untuk mendorong pembicara melakukan sesuatu. Tidak

  hanya itu Searle (dalam Rohmadi 2004: 32) juga kembali mengungkapkan tentang ciri-ciri dari ilokusi komisif. Ciri-cirinya tersebut misalnya berjanji, bersumpah, atau mengancam.

  e. Deklarasi adalah tindak tutur yang dilakukan si penutur dengan maksud untuk menciptakan hal. Hal tersebut dapat berupa status, keputusan, dan keadaan yang baru. Semua itu dituturkan agar maksud penutur dapat tersampaikan. Searle (dalam Rohmadi 2004: 32) juga merincikan beberapa ciri-ciri dari ilokusi

  deklarasi. Ciri-cirinya seperti misalnya, memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan, dan memberikan maaf.

6. Tindak Perlokusi

  Tindak perlokusi adalah tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Tindak perlokusi disebut sebagai The Act of Affecting

  

Something (Rohmadi 2004: 31). Tindak perlokusi menghasilkan efek atau hasil yang

  ditimbulkan oleh ungkapan itu pada pendengar, sesuai dengan situasi dan kondisi pengucapan kalimat itu. Tanggapan tersebut tidak hanya berbentuk kata-kata, tetapi juga berbentuk tindakan atau perbuatan. Efek atau daya pengaruh ini dapat secara sengaja atau tidak sengaja dikreasikan oleh penuturnya (Wijana, 1996: 19). Pendapat lain juga dikemukakan oleh Tarigan (2009: 100), ia mengatakan bahwa ujaran yang diucapkan penutur bukan hanya peristiwa ujar yang terjadi dengan sendirinya, tetapi merupakan ujaran yang diujarkan mengandung maksud dan tujuan tertentu yang dirancang untuk menghasilkan efek, pengaruh atau akibat terhadap lingkungan mitra tutur atau penyimak. Sama halnya dengan lokusi dan ilokusi, Leech (1993: 323) membagi perlokusi menjadi beberapa macam, yakni :

  b. bring to learn that (membuat penutur tahu bahwa)

  c. bttract attention (menarik perhatian)

  d. relieve tension (melegakan)

  e. encourage (mendorong)

  f. amause (menyenangkan)

  g. get he to do (membuat petutur melakukan sesuatu

  h. distract (mengalihkan perhatian) i. get he to think about (membuat petutur berfikir tentang) j. inspire (mengilhami) k. impress (mengesankan) l. frigten (menakuti) m. irritate (menjengkelkan) n. deseive (menipu) o. hore (menjemukan) p. persuade (membujuk) L.

   Jenis Tindak Tutur 3. Tindak Tutur Langsung dan Tindak Tutur Tidak Langsung

  Menurut Wijana (1996: 30) dalam bukunya menyatakan bahwa secara umum tindak tutur langsung (direct speech) adalah tuturan yang digunakan sesuai dengan penggunaan yang seharusnya, yaitu bahwa kalimat tanya digunakan untuk menanyakan sesuatu, kalimat berita digunakan untuk memberitahukan sesuatu dan kalimat perintah digunakan untuk menyatakan perintah. Hal itu juga diperkuat dengan pandangan Parker (dalam Nadar, 2009: 18) yang mengatakan bahwa tindak tutur langsung merupakan tindak tutur yang sesuai dengan modusnya. Selanjutnya Wijana (1996: 30) juga mengungkapkan tentang pengertian dari tindak tutur tak langsung (indirect speech act) adalah tindak tutur untuk memerintah seseorang melakukan sesuatu secara tidak langsung. Tindak tutur tak langsung merupakan tindak tutur yang digunakan tidak sesuai dengan penggunaan tuturan tersebut secara umum, yaitu apabila kalimat tanya digunakan untuk menyuruh mitra tutur, kalimat berita digunakan untuk bertanya dan sebagainya. Sejalan dengan pernyataan yang diungkapkan Wijana, menurut Parker (dalam Nadar, 2009: 19) mengatakan bahwa tindak tutur tidak langsung adalah tuturan yang berbeda dengan modus kalimatnya, maka maksud dari tindak tutur tidak langsung dapat beragam dan tergantung pada konteksnya.

4. Tindak Tutur Literal dan Tindak Tutur Tidak Literal

  Selain tindak tutur langsung dan tak langsung Wijana (1996: 32) juga mengungkapkan tentang tindak tutur literal (literal speech act) dan tindak tutur tidak literal (nonliteral speech act). Tindak tutur literal (literal speech act) adalah tindak tutur yang maksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya. Tindak tutur tidak literal (nonliteral speech act) adalah tindak tutur yang maksudnya tidak sama atau berlawanan dengan kata-kata yang menyusunnya. Berdasarkan jenis tindak tutur yang dapat dicermati dari sudut pandang langsung dan tidak langsung serta literal dan tidak literal tersebut (Wijana, 1996: 35-36, Parker dalam Nadar, 2009: 20) juga menyatakan bahwa keduanya dapat berinteraksi. Apabila tindak tutur langsung dan tindak tutur tak langsung diinteraksikan dengan tindak tutur literal dan tak literal, maka akan tercipta tindak tutur sebagai berikut : (a) Tindak tutur langsung literal (direct literal speech act), (b) tindak tutur tidak lagsung literal (indirect literal speech

  

act ), (c) tindak tutur langsung tidak literal (direct nonliteral speech), (d) tindak tutur

tidak langsung tidak literal atau (indirect nonliteral speech).

  a. Tindak tutur langsung literal (direct literal speech act) adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus tuturan makna yang sama dengan maksud pengutaraannya. Maksud memerintah disampaikan dengan kalimat perintah, memberitakan dengan kalimat berita, dan menanyakan sesuatu dengan kalimat tanya. Tindak tutur ini dapat dijumpai misalnya dalam tuturan seorang dokter “Coba, buka mulutnya yang lebar agar saya dapat melihat tenggorokanmu!” Dokter ini sedang memeriksa kesehatan seorang anak yang terkena radang tenggorokan. Tuturan dokter tersebut dapat diklasifikasikan sebagai tuturan literal dan langsung karena dokter tersebut menggunakan modus kalimat perintah untuk menyuruh. Dokter tersebut benar-benar ingin agar sang anak membuka mulutnya lebar-lebar agar tenggorokannya dapat diperiksa (Wijana, 1996: 35-36, Parker dalam Nadar, 2009: 20).

  b. Tindak tutur tidak langsung literal (indirect literal speech act) merupakan tindak tutur yang diungkapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud pengutaraannya, akan tetapi makna kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan apa yang dimaksudkan penutur. Dengan kata lain bahwa tindak tutur tidak langsung literal adalah tindak tutur yang diungkapkan tidak sesuai modus tetapi sesuai dengan kenyataan yang ada. Sebagai contoh misalnya saja pada kalimat yang diucapkan oleh seorang ayah kepada anaknya, misalnya: “Lantainya kok kotor.” Kalimat tersebut dituturkan oleh seorang ayah kepada anaknya bukan hanya menginformasikan sesuatu tetapi sekaligus menyuruh untuk membersihkannya. Kalimat tersebut diungkapkan tidak sesuai modus kalimatnya, karena menggunakan kalimat tanya, akan tetapi makna kata-katanya itu sama dengan kenyataan yang ada bahwa memang lantainya kotor (Wijana, 1996: 35-36, Parker dalam Nadar, 2009: 20).

  c. Tindak tutur langsung tidak literal (direct nonliteral speech act) adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya. Tindak tutur ini dapat dijumpai dalam contoh tuturan berikut: Seorang mahasiswa mendapat nilai B untuk mata kuliah Sintaksis dan dia mengatakan kepada teman dekatnya “Wah, saya gagal lagi dalam ujian sintaksis, saya hanya mendapat nilai B.” Tuturan mahasiswa kepada teman dekatnya ini bukanlah tindak tutur literal karena yang dia maksudkan adalah dia lulus dan bukan gagal. Tuturan tadi merupakan tindak tutur langsung karena menggunakan kalimat berita untuk memberitakan hasil ujian sintaksis kepada teman dekatnya (Wijana, 1996: 35-36, Parker dalam Nadar, 2009: 20).

  d. Tindak tutur tidak langsung tidak literal (indirect nonliteral speech act) adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang diutarakan. Tuturan tersebut dapat dijumpai pada percakapan antara s eorang kakak yang menyuruh adiknya untuk belajar. “Terus saja nonton Televisi besok pasti bisa mengerjakan ulangan.” Tuturan sang kakak kepada adiknya tersebut tidak dapat dikatakan tuturan literal karena tidak demikian hal yang dimaksudkan. Justru yang dimaksudkan kakak ini adalah agar adiknya tersebut berhenti menonton Televisi karena besok ada ulangan. Tuturan kakak juga merupakan tuturan tidak langsung karena kalimat yang dipergunakan adalah kalimat tanya sedangkan maksudnya itu menyuruh (Wijana, 1996: 35-36, Parker dalam Nadar, 2009: 20).