BAB II LANDASAN TEORI A. Kajian Penelitian yang Relevan - GEJALA BAHASA DALAM PEMBENTUKAN KATA PADA BAHASA GAUL GRUP CHAT LINE REMAJA PERUMAHAN KARTIKA WANASARI INDAH CIBITUNG BEKASI - repository perpustakaan

BAB II LANDASAN TEORI A. Kajian Penelitian yang Relevan Untuk membedakan penelitian yang berjudul “Gejala Bahasa dalam Pembentukan Kata pada Bahasa Gaul Grup Chat LINE Remaja Perumahan Kartika Wanasari Indah Cibitung Bekasi

  ” dengan penelitian yang telah ada sebelumnya,maka peneliti meninjau dua laporan penelitian, yaitu skripsi mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto: 1.

   Kajian Pembentukan Kata Ragam Bahasa Alay dalam Status Jejaring Sosial FACEBOOK oleh Achmad Harun Arrasyid, NIM 0901040034

  Penelitian tersebut bertujuan mendeskripsikan proses pembentukan ragam bahasa alay dalam status jejaring Facebook. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, dan penerapannya melalui tiga tahap; (a) tahap penyediaan data, dalam tahap ini digunakan metode simak dan metode catat, (b) tahap analis berisi data, dalam tahap ini digunakan metode agih, (c) tahap penyajian hasil analisis data, dalam tahap ini digunakanmetode penyajian informal dan formal.

  Berdasarkan kajian pustaka tersebut, maka penelitian yang berjudul “Gejala Bahasa dalam Pembentukan Kata pada Bahasa Gaul Grup Chat LINE Remaja Perumahan Kartika Wanasari Indah Cibitung Bekasi

  ” berbeda dengan penelitian terdahulu. Perbedaanya terdapat pada data dan sumber datanya.Pada penelitian Arrasyid datanya berupa ragam bahasa alay dan sumbernya dari FACEBOOK. Sedangkan pen elitian yang berjudul “Gejala Bahasa dalam Pembentukan Kata pada Bahasa Gaul Grup Chat LINE Remaja Perumahan Kartika Wanasari Indah Cibitung

  5 Bekasi ” datanya berupa kata gaul dalam tuturan (teks) dari remaja Perumahan Kartika

  Wanasari Indah Cibitung Bekasi. Sumber datanya screenshot chat grup Line dari handphone remaja perumahan Kartika Wanasari Indah Cibitung Bekasi tersebut.

2. Deskripsi Penggunaan Bahasa Gaul dalam Kajian Etnolinguistik oleh Hartini, NIM 0001540012

  Penelitian Hartini mendeskrikan proses pembentukan istilah dalam bahasa gaul dan memaparkan keterkaitan bahasa gaul dengan pandangan hidup dan perubahan dalam masyarakat. Dalam penelitian Hartini, tujuan penelitian mendeskripsikan asal mula munculnya istilah bahasa gaul di kalangan remaja, menelaah istilah bahasa gaul dari segi bentuk dan makna serta hubungan bahasa gaul dengan bahasa, budaya dan pola pikir masyarakat. Data diambil dari kosakata dalam bentuk tulisbahasa gaul yang terdapat dalam majalah KawanKu, Keren Beken, Gaul dan Fantasi periode September-Desember 2002. Tahap analisis data menggunakan metode padan dan metode pustaka.Tahap penyajian hasil analisis data menggunakan metode formal dan informal.Perbedaan penelitian Hartini dengan penelitian ini terletak pada rumusan tahap penyediaan datamenggunakan metode simak dengan teknik dasar sadap dan menggukan teknik lanjut simak bebas libat cakap, teknik catat.Selain itu peneliti menggunakan metode cakapatau percakapan.Tahap analisis data menggunakan metode agih dengan teknik dasar bagi unsure langsung (BUL) dan di analisis dengan teknik lesap, ganti, sisip, dan teknik perluas. Data berupa kosa kata yang terdapat pada grup chat LINEdan sumber datanya berasal dari salah satu anggota grup chat LINE tersebut bernama Gian Arjun Saputra. Dalam penelitian ini peneliti mendeskripsikan gejala bahasa dalam pembentukan kata pada bahasa gaul grup chat LINE remaja Perumahan Kartika Wanasari Indah Cibitung Bekasi tersebut.

  B. Pengertian Bahasa

  Bahasa adalah suatu sistem simbol lisan yang arbiter yang dipakai oleh anggota suatu masyarakat bahasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi antar sesamanya, berlandasan pada budaya yang mereka miliki bersama (Dardjowidjojo, 2010:16).Berkaitan dengan pengertian oleh pakar di atas, menurut Keraf (1984: 16), bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia.Depdiknas (2007: 116) mendefinisikan bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang arbiter , yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasi diri. Dari pengertian yang dikemukakan para pakar tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa bahasa sebuah sistem lambang bunyi yang arbiter yang dihasilkan oleh alat ucap manusia, digunakan untuk berinteraksi dan mengidentifikasi diri berdasarkan pada budaya yang dimilikibersama.Bahasa dan manusia menjadi kesatuan yang utuh.

  C. Pengertian Ragam Bahasa Gaul

  Menurut Chaer(2007: 56), ragam bahasa adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi, keadaan, atau untuk keperluan tertentu. Untuk situasi formal digunakan ragam bahasa yang disebut ragam baku atau ragam standar, untuk situasi yang tidak formal digunakan ragam yang tidak baku atau ragam nonstandard. Ragam bahasa baku adalah ragam bahasa yang digunakan pada saat situasi resmi, seperti pidato kenegaran, bahasa pengantar dalam pendidikan, khotbah, surat menyurat resmi dan buku pelajaran. Ragam tidak baku atau nonstandard adalah ragam bahasa yang digunakan pada situasi santai atau ragam bahasa yang digunakan dengan teman akrab.Ragam bahasa tidak baku dibagi menjadi dua yaitu ragam bahasa santai atau ragam bahasa akrab. Ragam bahasa santai adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tidak resmi untuk berbincang-bicang dengan keluarga atau teman karib pada saat beristirhat, berolahraga, berekreasi dan sebagainya.Ragam bahasa akrab adalah variasi bahasa yang biasa digunakan oleh penutur yang hubunganya sudah akrab, seperti antara anggota keluarga atau antar teman yang sudah karib (Chaer dan Leoni Agustina, 2004: 71). Dalam hal ini bahasa gaul termasuk ragam bahasa akrab karena bahasa gaul itu sendiri digunakan oleh suatu komunitas atau grup tertentu yang anggotanya sudah mengenal satu sama lain namun dapat juga digunakan untuk perkenalan sesama remaja di lingkungannya. Penjelasan itu bisa dikaitkan dengan pendapat Mastuti (2008: 45), yaitu awalnya istilah-istilah dalam bahasa gaul itu untuk merahasiakan isi obrolan dalam komunitas tertentu, tetapi karena sering digunakan di luar komunitasnya, lama kelamaan istilah-istilah tersebut menjadi bahasa sehari-hari.

  Dari keseluruhan pendapat yang ada dapat disimpulkan bahasa bahasa gaultermasuk ragam bahasa tidak baku yaitu bahasa akrab. Ragam bahasa gaul digunakan oleh sekelompok remaja tertentuuntuk menjaga identitas perkataan juga untuk menunjang eksistensi mereka. Namun lama kelamaan bahasa digunakan untuk bahasa sehari-hari untuk menjalin keakraban atau pun perkenalan sesame remaja di sekitarnya.

D. Pengertian Pembentukan Kata

  Sebuah kata terbentuk melalui sebuah proses pembentukan kata atau proses morfologis. Proses pembentukan kata merupakan proses pengubahan sebuah bentuk satuan gramatikal menjadi sebuah kata yang baru. Kita telah mengenal bahwa berbagai bahasa, terutama bahasa Indonesia, selalu tumbuh dan berkembang. Dalam proses pertumbuhan dan perkembangan itu, sangat dimaklumi akan ada peristiwa perubahan, terutama perubahan bentuk kata. Pada umumnya, perubahan bentuk kata itu disebabkan oleh adanya beberapa perubahan bentuk kata asli karena pertumbuhan dalam bahasa itu sendiri, atau karena memang adanya perubahan bentuk dari kata-kata pinjaman (Muslich, 2008: 101).Menurut Keraf (1984: 132) perubahan bentuk kata adalah perubahan dari bentuk kata-kata asli suatu bahasa karena pertumbuhan dalam bahasa itu sendiri.Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpukan bahwa, perubahan pembentukan kata adalah perubahanbentuk suatu satuan gramatikal menjadi bentuk gramatikal baru yang disebut kata, perubahan bentuk tersebut dapat berbentuk asli dari bahasa yang biasa, bisa juga bentuk-bentuk pinjaman dari bahasa lain.

E. Proses Pembentukan Kata Ragam Bahasa Gaul

  Menurut Mastuti (2008:56-58) proses pembentukan ragam bahasa gaul mempunyai 11 cara yaitu : 1) Proses nasalisasi “kata kerja aktif –in” untuk membentuk kata kerja transitif. Contoh : pikir

  mikirin

  cari

  nyariin

  2) Bentuk pa sif 1 : “ di + kata dasar + in”. Contoh : dua

  diduain

  jalan

  dijalanin

  3) Bentuk pasif 2 : “ ke + kata dasar”

  Contoh : tangkep

   ketangkep

  timpa

  ketimpa 4) Pengghilangan huruf (fonem) awal.

  Contoh : habis

  abis

  sudah

  udah

  5) Penghilangan huruf “h” pada awal suku kata bentuk baku. Contoh : tahu

  tau

  habis

  abis 6) Pemendekan kata atau kontaksi dari dua kata yang berbeda.

  Contoh : bagaimana

  gimana

  terima kasih

  makasih 7) Penggunaan istilah lain.

  Contoh : cantik

  kece

  mati

  koit

  8) Penggantian huruf “a” dan “e”. Contoh : benar

  bener

  pintar

  pinter

  9) Penggantian diftong „au‟ dengan „o‟ dan „ai‟ dengan „e‟. Contoh : kalau

  kalo

  sampai

  sampe 10) Pengindonesiaan bahasa asing (Inggris).

  Contoh : sorry

  sori

  comment

  komen 11) Penggunaan bahasa Inggris secara utuh.

  Contoh : what

  apa

  Selain itu, menurut Mastuti (2008 : 70) ragam bahasa gaul juga dapat dibentuk dari singkatan atau akronim, serta istilah-istilah baru yang sangat asing dan bahkan tidak terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

  Menurut Wijana (2010: 25-48 ) pembentukan kata bahasa gaul meliputi : 1) Proses perubahan bunyi

a) Proses perubahan vokal, misalnya vokal „e‟ menjadi „i‟ dan „o‟ menjadi „e‟.

  Contoh : benar

  binar

  ngomong

  ngemeng

b) Proses perubahan konsonan, misalnya konsonan „s‟ menjadi „c‟.

  Contoh : selamat

  celamat

  2) Proses penambahan bunyi , misalnya penambahan vokal “ok” disisipkan di tengah kata.

  Contoh : bapak

  bokap (bap+ok)

  3) Proses penghilangan bunyi, penghilangan fonem di depan sehubungan dengan jatuhnya tekanan pada kata yang cenderung lebih banyak pada suku yang ke dua.

  Contoh : eyang Putri

  eyang ti

  4) Proses perpindahan bunyi,bantuk kata dipindahkan atau ditukarkan dengan fonem lainya.

  Contoh : piye

  yipe

  iyo

  yoi

  5) Proses pembalikan bunyi, pengucapan atau penulisan yang secara total membalik bunyi kata-kata.

  Contoh : sego

  oges

  pecah

  hacep 6) Perulangan, bagian akhir kata diulang-ulang.

  Contoh : sayang

  yayang

  dingin

  ninin 7) Perubahan ejaan.

  a) Perubahan ejaan meniru ejaan asing, lambang vokal “i” yang harusnya ditulis “I” namun disini dilambangkan dengan “y”.

  Contoh : sialan

  syellen

  nikmat

   nykmat

  b) Perubahan bentuk bahasa asing meniru bahasa Indonesia, proses pinjaman kata- kata yang masih dipertahankan ucapanya dan ejaannya sama atau hampir sama.

  Contoh : married

  merit (kawin)

  cool

  kul (keren) Selain itu, menurut Wijana (2010: 18- 21) pembentukan bahasa gaul terdapat bentuk pemendekan meliputi : 8) Singkatan yaitu proses abreviasi yang menggambil awal hurul. Contoh : bekas orang susah

   BOS

  blue film

  BF

  9) Akronim yaitu kata yang dibentuk dari gabungan suku pembentukan frasa sehingga memungkinkan diucapkan seperti kata biasa.

  Contoh : anak basket

  abas

  anak desa irama dangdut sonata

   adidas

  Menurut Sumarsono (2014: 151-153), proses pembentukan kata meliputi: 1) Penyisipan konsonan v+vocal, di tempatkan di belakang setiap suku kata.

  Contoh : mata

  ma+ta (ma+va)+(ta+va) mavatava

  2) Penggantian suku kata akhir denga

  • –sye, setiap kata diambil hanya suku pertama dan suku yang lain diganti dengan –sye.

  Contoh : kunci

  kunsye

  tambah

  tamsye

  3) Membalikan fonem-fonem dalam kata (ragam walikan), fonem-fonem dibaca menurut urutan fonem dari belakang, dibaca terbalik (Jawa= Walikan).

  Contoh : tidak

  kadit

  sari

  iras 4) Variasi baru, Ragam walikan namun disisipi bunyi-bunyi tertentu.

  Contoh : tidak

  kadit kadodit

  sehat

   tahes tahohes

  Menurut Kridalaksana (1992: 12-163) proses pembentukan katameliputi: 1) Derivasi zero yaitu dalam proses ini leksem menjadi kata tunggal tanpa perubahan apa-apa.

  2) Afiksasi yaitu dalam proses ini leksem berubah menjadi kata kompleks. Afiksasi dibagi menjadi bebrapa jenis: a) Prefiks, yaitu afik yang diletakan di muka dasar. Contoh : me-, di-, ber-, ke-, ter-, pe-, per-, se- b) Infiks, yaitu afik yang diletakan di dalam dasar.

  Contoh : -el-, -er-, -em- dan

  • –in- c) Sufiks, yaitu afik yang diletakan di belakang dasar. Contoh : -an, -kan, -i

  d) Simulfiks, yaitu afiks yang dimanifestasikan dengan ciri-ciri segmental yang dileburkan pada dasar.

  Contoh : kopi

  ngopi

  sate

  nyate

  e) Konfiks, afiks yang terdiri dari dua unsur, satu di muka bentuk dasar dan satu di belakang bentuk dasar dan berfungsi sebagai satu morfem terbagi.

  Contoh : ke-an, pe-an, per-an dan ber-an

  f) Superfiks atau suprafiks yaitu afiks yang dimanifestasikan dengan ciri-ciri suprasegmental atau afik yang berhubungan dengan morfem suprasegmental.

  Contoh : suwe

  lama

  wedi

  takut

  g) Kombinasi afiks, yaitu kombinasi dari dua afiks atau lebih yang bergabung dengan dasar.

  Contoh : pe-an 3) Reduplikasi yaitu dalam proses ini leksem berubah menjadi kata kompleks dengan beberapa macam proses pengulangan.

  a) Repduplikasi fonologis, pengulangannya hanya bersifat fonologis. Contoh : dada b) Repduplikasi morfemis, proses perubahan makna gramatikal atau leksem yang di ulang, sehingga terjadilah satuan kata.

  Contoh : bongkar- bongkar

  c) Repduplikasi sintaksis, proses yang terjadi atas leksem yang meng hasilkan satuan yang berstatus klausa.

  Contoh : jauh- jauh 4) Abreviasi (bentuk pemendekan) yaitu proses penanggalan satu atau beberapa bagian leksem atau kombinasi leksem sehingga terjadi bentuk baru yang berstatus kata.

  a) Singkatan, yaitu salah satu hasil proses pemendekan yang berupa huruf atau gabungan huruf.

  Contoh : kuliah kerja nyata

  KKN

  b) Penggalan, yaitu proses pemendekan yang mengekalkan salah satu bagian dari leksem.

  Contoh : profesor

  prof

  c) Akronim, yaitu proses pemendekan yang menggabungkan huruf atau suku kata atau bagian lainya yang di tulis atau di lafalkan selayaknya kata.

  Contoh : mobile rak ono

  moreno

  d) Kontraksi, yaitu proses pemendekan yang meringkaskan leksem dasar atau gabungan leksem.

  Contoh : tidak

  tak

  e) Lambang huruf, yaitu proses pemendekan yang menghasilkan satu huruf atau lebih menggambarkan konsep dasar kuantitas, satuan atau unsur.

  Contoh : sentimeter

  cm

  5) Komposisi (perpaduan) adalah proses dua leksem atau lebih berpadu yang membentuk kata.

  a) Ketaktersisipan artinya di antara komponen-komponen kompositum tidak dapat disisipi apa pun.

  Contoh : buta warna

  b) Ketakterluaskan artinya komponen kompositum itu masing-masing tidak dapat diafiksasikan atau di modifikasi.

  Contoh : kereta api c) Keterbalikan artinya komponen kompositum tidak dapat di pertukarkan.

  Contoh : pulang pergi 6) Derivasi balik adalah proses pembentukan kata karena bahasawan membentuknya berdasarkan pola-pola yang ada tanpa mengaenal unsure-unsurnya.

  Contoh : pinta

  minta

  Masih terkait dan proses pembentukan kata, berikut ini diuraikan proses pembentukan dalam bahasa Betawi,Sahara (2014: 120-121).

  1) Orang Betawi menunjukkan kekhasan dengan banyak mengucapkankata berfonem /a/ menjadi /e/, fonem /u/ menjadi /o/, fonem /o/menjadi /u/.

  Contoh : apa

  ape

  rabu

   rebo

  2) Bahasa Betawi tidak mengenal vokal rangkap (diftong). Kata yangdalam bahasa Indonesia mengandung diftong /ai/ dan /au/diucapkan dengan bunyi /e/ dan /o/ dalam bahasa Betawi.

  Contoh : cerai

  cere

  pulau

  pulo

  3) Kata- kata yang berakhiran maupun pertengahan konsonan “h” dalambahasa Indonesia, dalam bahasa Betawi diucapkan tanpa “h”. BahasaBetawi banyak menghilangkan konsonan “h” pada kata kerja,katasifat, kata bilangan, bahkan nama orang.

  Contoh: salah

  sale

  4) Bahasa Betawi memnggunakan awalan verba prenasal. Kata kerjadalam bahasa Betawi sering kali berupa nasal yang mengawali bentukdasar.

  Contoh : pukul mukul. 5) Awalan ber- hampir tidak pernah muncul utuh dalam bahasa Betawi.

  Contoh : berbisik

   bebisik

  6) Sufiks

  • –i dan –kandalam bahasa Indonesia berubah menjadi akhiran–in dalam bahasa Betawi.

  Contoh : ambilkan

  ambilin

7) Dalam bahasa Betawi akhiran –an menyatakan lebih.

  Contoh : lebih baik

  baikan

  8) Bentuk kata ulang sebagian dalam bahasa Betawi mewakili maknaberkelanjutan dalam bahasa Indonesia.

  Contoh : memberes-bereskan bebenah. 9) Dalam bahasa Betawi terdapat verba maen dan keje yang produktifdigunakan sebagai awalan yang berarti “melakukan dengansembarangan” dan “menunjukkan arti kausat if”. Contoh : menyebabkan marah

  keje mare

  Berbeda dengan bahasa Betawi, pembentukan kata dalam bahasa Jawa memiliki karakter yang khas menurut Setiyanto (2007: 54) dalam pembentukan kata bahasa Jawa terdapat Tembung Owah, antara lain tembung owah saka linggane (kata- kata yang sudah mengalami perubahan dari dasarnya). Terdapat pula Tembung Andhahan (kata jadian). Proses pembentukan kata Tembung Andhahan ada beberapa cara : 1) Diberi ater-ater (awalan)

  Macam-macam ater-ater : (n), (ny), (m), (ng) bisa di sebut ater-ater hanuswara atau swara irung (suara sengau); tak-, ko-, di-, ka-, ke,sa-, pa-, pi-, pra-, tar-, kuma-, kap-I, a, ma-, pan-, pam-, pang- dan sebagainya. 2) Diberi seselan (sisipan): um, in, ,er, el 3) Diberi penambang (akhiran): a, i, e, an, en, ana, ake, na, ne, ku, mu.

  Contoh : ro → paro arsa

  karsa F. Gejala Bahasa dalam Pembentukan Kata

  Dalam proses pembentukan terdapat gejala bahasa. Menurut Badudu (1985: 47-65) gejala bahasa ialah peristiwa yang menyangkut bentuk-bentukan kata atau kalimat dengan segala macam proses pembentukanya. Terkait dengan pembentukan kata, gejala bahasa dibagi menjadi beberapa macam meliputi: (a) gejala analogi, (b) gejala kontaminasi, (c) gejala pleonasme, (d) hiperkorek, (e) penambahan fonem, (f) penghilangan fonem, (g) gejala kontraksi, (h) gejala metatesis dan (i) gejala adaptasi. Sedangkan menurut Muslich (2008: 101-109), gejala bahasa dapat diuraikan sebagai berikut: (a) analogi, (b) adaptasi, (c) kontaminasi, (d) hiperkorek, (e) varian, (f) asimilasi, (g) disimilasi, (h) adisi, (i) reduksi, (j) metatesis, (k) diftongisasi, (i) monftongisasi, (m) anaptiksis, (n) haplology, dan (o) kontraksi . Dari ke dua pakar tersebut dapat disimpulkan bahwa gejala dibagi menjadi bebrapa macam yaitu gejala analogi, gejala kontaminasi, gejala Pleonasme, gejala hiperok, penambahan fonem (adisi), penghilangan fonem (reduksi), kontraksi, metatesis, adaptasi, varian, asimilasi, disimilasi, diftongisasi, monoftongisasi, anaptiksis dan hapologi

1. Gejala Analogi

  Menurut Badudu (1985: 47),gejala analogi adalah peristiwa bentukan bahasa yang meniru contoh yang sudah ada.Menurut Muslich (2008: 101-108),gejala analogi adalah suatu bentukan bahasa dengan meniru contoh yang sudah ada. Sedangkan menurut Kridalaksana (2008: 15) analogi merupakan proses atau hasil pembentukan unsur bahasa karena pengaruh pola lain dalam bahasa. Jadi, dapat disimpulkan bahwa gejala analogi bentukan bahasa dengan meniru contoh yang sudah ada sebelumnya.

  Contoh : saudara- saudari

  dewa-dewi 2.

   Gejala Kontaminasi

  Menurut Badudu (1985: 51) kontaminasi ialah gejala bahasa yang dalam bahasa Indonesia diistilahkan dengan kerancuan.

  Rancu artinya “kacau”, jadi kerancuan artinya “kekacauan”.Yang dirancukan ialah susunan, perserangkaian, penggabungan kata. Dua kata yang harusnya berdiri masing-masing sendiri di satukan dalam satu perserangkaian baru yang tidak berpasangan atau berpandanan. Menurut Muslich (2008: 101-108) kontaminasi sama dengan kerancuan. Kata rancu berarti „campur aduk‟, „tumpang tindih‟, „kacau‟.Dalam bidang bahasa kata rancu (kerancuan dipakai sebagai istilah yang berkaitan dengan pencampuradukan dua unsure bahasa (imbuhan, kata, frasa, atau kalimat) yang tidak wajar.Kridalaksana (2008: 134) kontaminasi adalah proses atau hasil pengacauan atau penggabungan dua bentuk yang secara tidak sengaja atau tidak lazim dihubung-hubungkan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa gejala kontaminasi adalah dua kata yang bida berdiri sendiri namun disatukan menjadi kata yang tidak wajar. Contoh : berkali-kali berulang-ulang

  3. Gejala Pleonasme

  Kata ini berasal dari bahasa latin “pleonasmus” dalam bahasa Grika “pleonazein” artinya kata-kata berlebih-lebihan”.Menurut Badudu (1985: 55) gejala pleonasme dalam bahasa berarti pemakaian kata yang berlebih-lebihan yang sebenarnya tidak diperlukan.Menurut Kridalaksana (2008: 195) pleonasme merupakan pemakaian kata-kata lebih dari pada yang diperlukan.Jadi, dapat disimpulkan gejala pleonasme merupakan pemakaian kata yang berlebihan atau pemakaian kata yang tak seharusnya dipakai.

  Contoh : zaman dahulu kala sejak dari kecil\

  4. Gejala Hiperkorek

  Gejala hiperkorek atau dengan istilah lain “over elegant” banyak kita jumpai dalam bahasa Indonesia. Menurut H.D. Van Pernis (Badudu, 1985: 58) gejala bahasa ini sebagai proses bentuk betul dibalik. Maksudnya, yang sudah betul dibetul-betulkan lagi akhirnya menjadi salah.Muslich (2008: 101-108) proses pembentukan bentuk yang sudah betul lalu malah menjadi salah. Kridalaksana (2008: 83) hiperkorek bersangkutan dengan bentuk atau pemakaian kata secara salah karena menghindari pemakaian substandard.Jadi, dapat disimpulkan bahwa pembentukan kata yang sudah betul dibetulkan lagi menjadi salah. Contoh : islam

  isylam

  kabar

  khabar

  pihak

  fihak 5. Penambahan Fonem (Adisi)

  Gejala adisi ialah perubahan yang terjadi dalam suatu tuturan yang ditandai oleh penambahan fonem. Gejala adisi dapat dibedakan menjadi tiga sabagai berikut:

a. Protesis Protesis adalah penambahan fonem di depan kata (Badudu, 1985: 63).

  MenurutMuslich (2008: 101-108) proses penambahan fonem pada awal kata. Depdiknas (2007: 1107) protesis adalah penambahan vokal atau konsonan di awal kata. Dapat disimpulkan protesis adalah penambahan fonem vokal atau konsonan di depan kata. Misalnya : lo elo

  

  desa ndes → b.

   Epentesis Epentesis adalah penambahan fonem di tengah kata (Badudu, 1985: 63).

  Menurut Muslich (2008: 101-108) proses penambahan fonem di tengah kata. Depdiknas (2007: 377) epentesis adalah penambahan vokal atau konsonan di tengah kata.Dapat disimpulkan bahwa epentesis merupakan penambahan fonem vokal dan konsonan di tengah kata. Misalnya: perih peurih

  → apa apha → c.

   Paragog

  Paragog adalah penambahan fonem di akhir kata(Badudu, 1985: 63).Menururt Muslich (2008: 101-108) proses penambahan fonem pada akhir kata.Depdiknas

  (2007:1020) paragog adalah penambahan fonem atau bunyi di akhir kata.Dapat disimpulkan bahwa paragog merupakan penambahan fonem vokal dan konsonan di akhir kata. Misalmya: aku akuh

  → ini inih → 6.

   Penghilangan Fonem (Reduksi)

  Gejala reduksi ialah peristiwa pengurangan fonem dalam suatu kata. Gejala reduksi dapat dibedakan menjadi tiga yaitu:

a. Afersis Afersis adalah penghilangan fonem pada awal kata (Badudu, 1985: 63).

  Menurut Muslich (2008: 101-108) proses penghilangan fonem pada awal kata. Depdiknas (2007: 14) afersis adalah penanggalan huruf awal atau suku awal kata.Menurut Kridalaksana (1992: 161) afersis adalah penghilangan suku di awal kata termasuk dalam pemendekan atau penggalan.Dari ke tiga pakar tersebut dapat disimpulkan afersis adalah penghilangn fonem vokal dan konsonan di awal kata.

  Misalnya: lagi agi → sama ama → b.

   Sinkop Sinkop adalah proses penghilangan fonem di tengah kata (Badudu, 1985: 63).

  Menurut Muslich (2008: 101-108) penghilangan fonem di tengah-tengah kata.Depdiknas (2007: 1314) sinkop adalah hilangnya bunyi atau huruf di tengah kata.Dapat disimpulkan bahwa sinkop merupakan penghilangan fonem vokal atau konsonan di tengah kata. Misalnya: bangun → banun mau → mu c.

   Apokop

  Apokop adalah proses penghilangan fonem pada akhir kata (Badudu, 1985: 63). Menurut Muslich (2008: 101-108) proses penghilangan fonem pada akhir kata.Depdiknas (2007: 82) apokop adalah hilangnya satu bunyi atau lebih pada akhir sebuah kata.Dapat disimpulkan bahwa apokop merupakan penghilangan fonem vokal dan konsonan di akhir kata. Misalnya: ada

  → ad apa → ap 7.

   Kontraksi

  Kontraksi yaitu proses pemendekan yang meringkas leksem dasar atau gabungan dari leksem (Kridalaksana, 1992: 162) atau gejala yang memperlihatkan adanya satu atau lebih fonem yang dihilangkan (Muslich, 2008: 101-109). Menurut Badudu (1985: 64) kontraksi memiliki gejala adanya satu atau lebih fonem yang dihilangkan kadang-kadang ada perubahan atau penggalan fonem. Kontraksi adalah proses atau hasil pembentukan suatu bentuk kebahasaan (Depdiknas, 2007: 729). Jadi dapat disimpulkan gejala kontraksi adalah pemendekan leksem dasar atau gabungan leksem dengan caramembuang satu atau lebih fonem yang ada.Misalkan: tidak

  → tak tidak akan → takan tidak ada → tiada 8.

   Metatesis

  Metatesis adalah pertukaran tempat satu atau beberapa fonem (Badudu, 1985: 64).Menurut Muslich (2008: 101-108) perubahan kata yang fonem-fonemnya bertukar tempat,Kridalaksana (2009: 153) perubahan letak huruf, bunyi, atau suku dalam kata.Dapat disimpulkan bahwa metatesis adalah pertukaran fonem-fonem dari kata yang sudah ada.Misalnya : lekuk

  → keluk sapu → usap, apus 9.

   Adaptasi

  Adaptasi artinya penyesuain.Kata-kata pungut yang diambil dari bahsa asing berubah bunyinya sesuai dengan penerimaan pendengaran atau ucap lidah orang Indonesia (Badudu, 1985: 67).Menurut Muslich (2008: 101-108) adaptasi ialah perubahan bunyi dan struktur bahasa asing menjadi bunyi dan struktur yang sesuai dengan penerimaan pendengaran atau ucap lidah bangsa pemakai bahasa yang dimasukinya.Jadi, dapat disimpulkan adaptasi adalah kata-kata pungut yang disesuaikan dengan pendengaran atau alat ucap seseorang dimana dia tinggal.Misalnya: muwafakat

  → mupakat fardhu → perlu 10.

   Varian

  Menurut Muslich (2008: 101-108), gejala varian sering kita jumpai dalam ucapan pejabat pada Era Orde Baru. Vokal /a/ pada sufiks

  • –kan menjadi /ə/. Sedangkan Kridalaksana (2008: 253) varian adalah nilai tertentu dari suatu variable. Jadi, dapat disimpulkan bahwa gejala varian merupakan perubahan fonem pada sufik tertentu atau suatu tuturan yang dianggap sistematis karena merupakan interaksi antara faktor social dan bahasa.misalnya:
d irencanakan → direncanaken b erdasarkan → berdasarken

  11. Asimilasi

  Menurut Muslich (2008: 101-108) gejala asimilasi berarti proses penyamaan atau penghampirsamaan bunyi yang tidak sama. Menurut Kridalaksana (2008: 20) asimilasi adalah proses perubahan bunyi yang mengakibatkannya mirip atau sama dengan bunyi lain di dekatnya.Jadi, dapat disimpulkan bahwa gejala asimilasi merupakan penghampir samaan bunyi dengan wujud kata yang berbeda dan arti yang berbeda.Missalnya : m ertua → mentua i nmoral → immoral

  12. Disimilasi

  Menurut Muslich (2008: 101-108) disimilasi adalah proses berubahnya dua buah fonem yang sama menjadi tidak sama. Menurut Kridalaksana (2008: 51) disimilasi adalah perubahan yang terjadi bila dua bunyi yang sama berubah menjadi tidak sama. Jadi, dapat disimpulkan bahwa gejala disimilasi merupakan suatu perubahan fonem yang mengubah arti yang sama menjadi berbeda. Misalnya: c itta → cipta s ajjana → sarjana 13.

   Diftongisasi

  Menurut Muslich (2008: 101-108) diftongisasi adalah proses perubahan suatu monoftong jadi diftong. Sedangkan menurut Kridalaksana(2008: 50) diftongisasi merupakan proses perubahan vokal menjadi diftong. Jadi, disimpulkan bahwa diftongisasi merupakan proses perubahan vokal tunggal menjadi dua bunyi vokal rangkap. Misalnya: sodara

  → saudara suro → surau 14.

   Monoftongisasi

  Menurut Muslich (2008: 101-108), monoftongisasi adalah proses perubahan suatu diftong (gugus vokal) menjadi monoftong. Menurut Kridalaksana (2009:157), monoftongisasi merupakan proses perubahan dari sebuah diftong menjadi sebuah monoftong.Jadi, dapat disimpulkan bahwa monoftongisasi merupakan perubahan dua bunyi vokal rangkap menjadi vokal tunggal. Misalnya: gurau

  → guro s ungai → sunge 15.

   Anaptiksis

  Menurut Muslich, 2008: 101-108), anaptiksis adalah proses penambahan suatu bunyi dalam suatu kata guna melancarkan ucapanya. Menurut Kridalaksana (2008: 15), anaptiksis merupakan penyisipan vokal pendek diantara dua konsonan atau lebih untuk mensderhanakan struktur suku kata.Jadi, dapat disimpulkan anaptiksis merupakan penyisipan fonem pada suatu suku kata. Misalnya: putra

  → putera c andra → candera 16.

   Haplologi

  Menurut Muslich (2008: 101-108) haplologi adalah proses penghilangan suku kata yang ada di tengah-tengah kata. Menurut Kridalaksana (2008: 80) haplology merupakan penghilangan satu atau dua bunyi yang sama dan berurutan. Jadi, dapat disimpulkan haplologi merupakan penghilangan suku kata pada suatu kata.Misalnya: m ahardhika → merdeka b udhidaya → budaya

  Pembentukan kata bahasa gaul tampaknya memiliki keterkaitan dengan teori gejala bahasa: a. Dalam teori gejala bahasa terdapat gejala hiperkorek (Badudu, 1985: 57), yaitu gejala yang mengubah kata yang sudah betul menjadi salah dengan mengubah ejaan atau pun huruf. Gejala tersebut juga terdapat pada pembentukan kata dengan penggantian huruf (Mastuti, 2008: 56-58), dengan perubahan bunyi, atau denganperubahan ejaan yang meniru ejaan asing (Wijana, 2010: 25-39). Jadi, Dapat disimpulkan bahwa terdapat persamaan antara proses penggantian fonem dengan gejala hiperkorek.

  Contoh : panas → fanas p ihak → fihak

  b. Wijana (2010: 25-48 )di dalam pembentukan bahasa gaul terdapat proses penambahan bunyi. Proses pembentukan ini sejalan dengan gejala bahasapenambahan fonem (protesis, epentesis, paragog) (Badudu, 1985: 63) atauterdapat gejala adisi dan anaptiksis(Muslich, 2008: 101-108). Jadi, dapat disimpulkan bahwa terdapat keterkaitanantara gejala penambahan fonem atau adisi dan anaptiksis dengan pembentukan kata bahasa gaul.

  Contoh : rokok

  ngrokok

  p eduli → perduli c. Menurut Wijana (2010: 25-48 ),di dalam proses pembentukan kata bahasa gaul terdapat proses penghilangan bunyi atau penghilangan huruf (fonem) awal dan penghilangan huruf „h‟ pada awal suku kata bentuk baku(Mastuti, 2008: 56-58). Proses ini sejalan dengan gejala bahasa, penghilangan fonem (aferisis, sinkop, apokop), (Badudu, 1985: 63)ataudengan gejala reduksi dan haplology (Muslich, 2008 : 101-108). Jadi, dapat disimpulkanbahwa terdapatketerkaitan antara proses pembentukan bahasa gaul dengan gejala penghilangan fonem atau gejala reduksi dan haplology. Contoh : sebatang

  sebat

  memang

  emang

  tahu

  tau

  d. Menurut Mastuti (2008:56-58), dalam proses pembentukan kata ragam gaul terdapat proses pemendekan kata atau kontraksi. Prosesnya tidak berbeda dengan pemendekan salah satunya kontraksi (Kridalaksana, 1992: 162). Proses pembentukan tersebut terdapat pula di dalam gejala bahasa(Badudu, 1985: 64) dan Muslich (2008: 101-108) di dalam gejala bahasa terdapat pula gejala kontraksi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terdapat relevansi antara proses pemendekan kata dengan gejala kontraksi dalam pembentukan kata.Meskipun demikian, proses pemendekan ini tidak hanya yang relevan dengan gejala kontraksi. Proses pemendekan tersebut, menyangkut penyingkatan, penggalan, dan akronimisasi (Wijana, 2010: 25-48; Mastuti, 2008: 70; Kridalaksana, 1992: 162). Semuanya tergabung dalam proses abreviasi. Dapat disimpulkan bahwa gejala kontraksi atau pemendekan termasuk gejala bahasa.

  Contoh : kurang pergaulan

  kuper

  gerak cepat

  

gercep

  e. Dalam pembentukan kata bahasa gaul terdapat proses perpindahan bunyi(Wijana, 2010: 25-48). Pola pembentukan tersebut sejalan dengan gejala bahasa yaitugejala metatesis (Badudu, 1985: 64) dan (Muslich, 2008 : 101-108) terdapat pula gejala metatesis yaitu perubahan kata yang fonem-fonemnya bertukar tempat. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa proses perpindahan bunyi dengan gejala metatesis memiliki persamaan.

  Contoh : piye

  yipe

  f. Dalam proses pembentukan kata bahasa gaul terdapat pengindonesiaan bahasa asing (Mastuti, 2008: 58) atau pembentukan katadengan perubahan meniru bahasa Indonesia (Wijana, 2010: 42). Pola pembentukan tersebut sejalan dengan gejala adaptasi (Badudu, 1985: 65), (Muslich, 2008 : 101-108). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam pembentukan kata (yang di serap dari bahasa asing) dengan cara pegindonesiaan bahasa asing tersebut terdapat gejala adaptasi. Dalam hal ini kata-kata asing yang di serap, pengucapan dan penulisanya disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia.

  Contoh : sorry

  sori

  shock

  siyok

  g. Dalam pembentukan kata bahasa gaul terdapat penggantian diftong „au‟ dengan „o‟ dan „ai‟ dengan „e‟ (Mastuti, 2008: 56-58). Pembentukan ini sejalan dengan gejala diftongisasi yang di kemukakan oleh Muslich (2008: 101-108). Dapat disimpulkan bahwaproses pembentukan kata bahasa gaul diftong memiliki persamaan dengan gejala diftongisasi yaitu vokal tunggalmenjadi perubahan dua bunyi vokal rangkap.

  Contoh : pete

   petai

  pulo

  pulau

  Dengan adanya pernyataan di atas, maka dapat disimpulkanbahwa pembentukan kata ragam bahasa gaul memiliki keterkaitan dengan gejala bahasa.Keterkaitan tersebut ada dalam proses pembentukan kata itu sendiri. Dengan kata lain, proses pembentukan kata tertentu sejalan dengan jenis gejala bahasa tertentu. Walaupun demikian ada beberapa proses pembentukan kata tertentu yang tidak dapat dikaitkan dengan gejala bahasa dalam teori.

G. LINE

  LINE adalah suatu aplikasi yang digunakan untuk kegiatan berkirim pesan

  (chatting) secara gratis di perangkat smartphone.Namun, aplikasi LINEsebenarnya juga bisa disebut sebagai aplikasi jejaring sosial karena terdapatnya fitur timeline sebagai wadah untuk berbagi status, pesan suara, video, foto, kontak dan informasi grup ( www.ardilas.com ). Di dalam informasi grup inilah komunitas-komunitas tertentu berbagai informasi atau terjadi interaksi sosial yang menggunakan bahasa- bahasa yang sulit dipahami orang lain atau hanya dipergunakan pada komunitasnya sendiri.

  H. PETA KONSEP P eta K Gejala Bahasa dalam Pembentukan Kata padaBahasa Gaul Grup Chat

  LINE RemajaPerumahanKartikaWanasari Indah Cibitung Bekasi o n se p GEJALA BAHASA

PEMBENTUKAN KATA

  VersiBadudu (1985: 47-65) VersiMuslich (2008: 101109)

  1. Gejala analogi

  1. Gejala analogi Versi Mastuti (2008 : 56-58) Versi Sumarsono (2014 : 151-153)

  2. Gejala Kontaminasi

  2. GejalaAdaptasi

  1. Proses nasalisasi “kata kerja aktif-in”

  1. Penyisipan konsonan v+vocal

  3. Gejala Pleonasme pasif 1: “di+ kata dasar + in” –sye

  3. Gejala kontaminasi

  

2. Bentuk

  2. Penggantian suku kata akhir dengan

  4. Gejala Hiperkorek

  4. Gejala hiperkorek

  3. Bentuk pasif 2: “ke+ kata dasar”

  3. Membalikan fonem-fonem dalam kata (ragam

  5. Penambahan fonem

  5. Gejala Varian

  4. Penghilangan huruf ( fonem) awal walikan)

  6. Penghilangan fonem

  6. Gejala Asimilasi huruf “h” pada suku kata awal

  5. Pengghilangan

  4. Variasi baru

  7. Gejala kontraksi

  7. Gejala Disimilasi

  6. Pemendekan kata atau kontraksi dari dua

  8. Gejala metatesis Versi Kridalaksana (1992: 12-163)

  8. Gejala adisi suku kata yang berbeda

  9. Gejalaa daptasi

  1. Derivasi zero

  9. Gejala reduksi

  7. Penggunaan istilah lain

  2. Afiksasi

  10. Gejala metatesis

  8. Penggantian huruf “a” dan “e”

  3. Reduplikasi

  11. Gejala diftongisasi

  9. Penggantian diftong „au‟ dengan „o‟ dan „ai‟ Gejala Bahasa Dalam..., Kukuh Adi Atmoko, FKIP

  4. Abreviasi (bentuk pemendekan)

  12. Gejala monoftongisasi dengan „e‟

  5. Komposisi (perpaduan)

  13. Gejala Anaptiksis

  10. Pengindonesiaan bahasa asing (inggris)

  6. Derivasibalik

  14. Gejala haplology

  11. Penggunaan bahasa inggris secara utuh

  15. Gejala kontraksi Versi Sahara (2014: 120-121) Versi Wijana (2010: 25-48)

  1. Mengucap kata berfonem /a/ menjadi /e/, fonem

  1. Proses perubahan bunyi /u/ menjadi /o/, fonem /o/ menjadi /u/

  2. Proses penambahan bunyi

  2. Bahasa Betawi mengena lvokal rangkap

  3. Proses penghilangan bunyi (diftong). Kata dalam bahasa Indonesia

  4. Proses perpindahan bunyi mengandung diftong /ai/ dan /au/ diucapkan

  5. Proses pembalikan bunyi dengan bunyi /e/ dan /o/ dalam bahasa Betawi

  

6. Perulangan

pertengahan „h‟ dalam

  3. Kata akhiran maupun

  7. Perubahan ejaan bahasa Indonesia dalam bahasa Betawi di

  

8. Singkatan

ucapkan „h‟

  

9. Akronim

  1. Penambahan fonem (adisi)

  4. BahasaBetawi menggunakan awalan verbal (Protesis, Epentesis, Paragog) prenasal. Versi Setiyanto (2007: 54)

  2. Penghilangan fonem (reduksi)

  5. Awalan ber- hamper tidak pernah muncul untuh

  1. Diberiater-ater (awalan) : (n), (ny), (m), (ng) (Afaresis, Sinkop, Apokop) dalam bahasa Betawi atau (tak-, ko-, di-, ka-, ke-, sa-, pa-, pi-, pra-,

  3. Gejala kontraksi

  6. Sufik –I dan –kan berubah menjadi –in tar-, kuma-, kap-l, , ma-, pan-, pam-, pang-,

  4. Gejala metatesis

  7. Akhiran –an menyatan lebih

dsb.

  5. Adaptasi

  8. Kata ulang sebagai mewakili berkelanjutan

  2. Diberiseselan (sisipan) : um, in, er, el

  6. Monoftongisasi

  9. Bahasa Betawi terdapat verba maen dan keje

  3. Diberipenambangan (akhiran) : a, I, e, an, en, UMP, 2018

  7. Ragam walikan ana, ake, na, ne, ku, mu

  8. Penggantian fonem

  30