BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Haniva Hanum BAB I

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan merupakan hal yang penting dalam kehidupan. Seseorang

  dikatakan dalam keadaan sehat apabila orang tersebut mampu menjalani perannya dalam masyarakat dan berperilaku sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku, sehingga memungkinkan orang tersebut menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai makhluk sosial. Namun kenyataannya selama ini sehat selalu diidentikkan dengan keadaan seseorang secara fisik saja bukan secara keseluruhan.

  Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan dalam pasal 1 mendefinisikan kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Definisi ini menegaskan bahwa kesehatan harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh terdiri dari unsur – unsur fisik, mental dan sosial sehingga seseorang dikatakan sehat apabila seseorang tersebut berada dalam suatu kedaan sejahtera secara kesuluruhan bukan sekedar keadaan tanpa penyakit (UU no 36 tahun 2009). Sedangkan pengertian dari kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sehat emosional, psikologis dan sosial yang terlihat dari hubungan interpersonal yang

  1 memuaskan, perilaku dan koping yang efektif, konsep diri yang positif, dan kestabilan emosional (Videbeck, 2008).

  Gangguan jiwa merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Gangguan jiwa dapat menyerang semua usia dengan sifat serangan penyakit bisa bersifat akut dan bisa juga bersifat kronis atau menahun. Maramis (2004) menyebutkan penderita gangguan jiwa dengan usia dibawah 20 tahun sekitar 10%, terjadi pada rentang usia 20-40 tahun sekitar 65%, dan terjadi pada usia diatas 40 tahun sekitar 25%.

  Gangguan jiwa memang tidak menyebabkan penderita mengalami kematian secara langsung, namun akan menimbulkan beban bagi penderita, keluarga penderita maupun masyarakat. Selain mengenai biaya perawatan dan hilangnya waktu produktif, penderita dan keluarga cenderung dikucilkan oleh orang lain. Oleh karena itu, penanganan yang paling tepat bagi penderita gangguan jiwa dilakukan secara holistic atau menyeluruh, tidak sekedar penderita gangguan jiwa meminum obat saja namun meliputi pengobatan yang lain seperti terapi psikologis, terapi psikoreligius, dan terapi psikososial yang melibatkan berbagai pihak sehingga tidak terjadi peningkatan jumlah penderita gangguan jiwa (Hawari, 2007).

  Hasil studi yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO) menyebutkan dalam kurun waktu tiga tahun, sejak 2005 hingga 2007 diketahui sedikitnya ada 50.000 orang Indonesia yang melakukan bunuh diri. Berdasarkan data yang juga diperoleh dari (WHO) di tahun 2011 terdapat sebanyak 12-16% atau sekitar 26 juta dari 260 juta penduduk Indonesia yang mengalami gangguan jiwa. Data tersebut menggambarkan tingginya jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia oleh karena itu diperlukan adanya peran serta dari berbagai pihak khususnya rumah sakit dalam menangani masalah gangguan jiwa ini (Ardani, 2007).

  Di Indonesia berdasarkan Data Profil Kesehatan Indonesia (2008) menunjukkan bahwa dari 1000 penduduk terdapat 185 penduduk yang mengalami gangguan jiwa. Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) yang dilakukan Kementerian Kesehatan pada 2007, prevalensi masalah mental emosional yakni depresi dan ansietas ada sebanyak 11,60 persen dari jumlah penduduk Indonesia atau sekitar 24.708.000 jiwa. Kemudian prevalensi gangguan jiwa berat yakni psikosis ada sekitar 0,46 persen dari jumlah penduduk Indonesia atau sekitar 1.065.000 juta jiwa, dan diperkiraan saat ini jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan ditiap tahunnya (Teguh, 2011).

  Menurut Direktur RSJD Amino Gondohutomo, Semarang, dr. Sri Widiya Yati SPPK MKes, mengatakan, angka kejadian penderita gangguan jiwa di Jawa Tengah berkisar antara 3.300 orang hingga 9.300 orang. Angka kejadian ini merupakan penderita yang sudah terdiagnosa 2011). Sementara untuk wilayah Banyumas sendiri menurut data dalam dua tahun terakhir relevansi gangguan jiwa berat sekitar 0,6 dengan perbandingan jumlah 1 540.000 jumlah penderita sebanyak 7700 sedangkan prefensi ganguan mental emosional mencapai 19 % dengan jumlah penduduk

  1.540.000 angka penderita 277.200 2011). Berdasarkan survey pendahuluan yang telah dilakukan didapatkan hasil bahwa di Desa Kedondong sendiri dari jumlah total masyarakat desa sebanyak 3077 orang terdapat 15 orang menderita gangguan cacat fisik, dan 12 orang yang mengalami gangguan jiwa dan cacat mental (Daftar Isian Potensi Desa dan Tingkat Perkembangan Desa, 2009). Dan menurut Ny. S dan Tn. D (komunikasi personal, 11 Desember 2012) penderita gangguan jiwa tersebut sebagian besar dikurung diruangan tertentu bahkan terkadang diikat tangannya jika penderita tersebut sedang mengamuk. Masyarakat beranggapan bahwa mengurung atau mengikat merupakan cara termudah dalam menghadapi penderita gangguan jiwa.

  Tingginya jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor yang bervariasi tergantung pada jenis-jenis gangguan jiwa yang dialami. Secara umum gangguan jiwa disebabkan karena adanya tekanan psikologis yang disebabkan oleh adanya tekanan baik dari luar individu maupun tekanan dari dalam individu itu sendiri. Beberapa hal lain yang menjadi penyebab adalah keterbatasan fasilitas yang ada, rendahnya kesadaran masyarakat, ketidaktahuan keluarga dan masyarakat terhadap jenis gangguan jiwa itu sendiri, dan adanya beberapa stigma atau pandangan mengenai gangguan jiwa ini (Hawari, 2001).

  Di masyarakat sendiri berkembang beberapa stigma negatif mengenai gangguan jiwa. Masyarakat menganggap bahwa gangguan jiwa merupakan penyakit yang sulit disembuhkan, memalukan dan menjadi aib bagi keluarga. Pandangan lain yang beredar di masyarakat bahwa gangguan jiwa disebabkan oleh guna-guna yang dilakukan oleh orang lain. Sejak dahulu hingga abad ke-19 gangguan jiwa dipandang sebagai kerasukan setan, hukuman karena pelanggaran sosial atau agama, kurang minat atau semangat dan pelanggaran norma sosial. Penderita gangguan jiwa dianiaya, dihukum, dikucilkan dari masyarakat “normal” (American Psychiatric Association dalam Videbeck, 2008). Karena hal tersebut, penanganan klien gangguan jiwa di masyarakat menjadi salah. Sebagai contoh, di masyarakat terdapat keluarga yang melakukan pemasungan, mengurung penderita gangguan jiwa, dan memperlakukan dengan tidak manusiawi.

  Masyarakat dan bahkan terkadang pihak keluarga juga dengan sengaja mengasingkan anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, karena menampakkan gejala gangguan jiwa, dan dianggap kemasukan roh halus sehingga dijauhi, diejek, dan dikucilkan dari masyarakat normal (Videbeck, 2008). Berdasarkan cap dan stigma negatif inilah penderita gangguan jiwa terkadang mengalami diskriminasi, dan masyarakat terkadang bersikap kurang peduli terhadap penderita gangguan jiwa sehingga upaya pencegahan penyakit ini menjadi tidak maksimal. Padahal salah satu upaya penting dalam penyembuhan dan pencegahan terkena gangguan jiwa atau kekambuhan kembali pada penderita gangguan jiwa adalah dengan adanya dukungan keluarga, masyarakat, dan lingkungan yang baik. Oleh karena itu diharapkan adanya partisipasi positif dari berbagai pihak untuk hal yang berkaitan dengan gangguan jiwa ini.

B. Rumusan Masalah

  Kesehatan merupakan hal yang penting dalam kehidupan. Seseorang dikatakan dalam keadaan sehat apabila orang tersebut mampu menjalani perannya dalam masyarakat dan berperilaku sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku, sehingga memungkinkan orang tersebut menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai makhluk sosial. Kesehatan meliputi berbagai aspek bukan hanya secara fisik melainkan secara spiritual, sosial, dan mental. Kesehatan secara mental ini salah satunya adalah bebas dari gangguan jiwa.

  Jumlah penderita gangguan jiwa di Desa Kedondong tercatat sebanyak 12 orang dengan rincian penderita gangguan jiwa 9 orang dan gangguan mental 3 orang. Dan di Indonesia sendiri menurut berbagai sumber, didapatkan hasil bahwa jumlah penderita gangguan jiwa masih cukup tinggi dan mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hal ini disebabkan oleh berbagai macam hal, antara lain terbatasnya fasilitas yang ada, rendahnya kesadaran masyarakat, ketidaktahuan keluarga dan masyarakat terhadap jenis gangguan jiwa itu sendiri, dan adanya beberapa stigma atau pandangan mengenai gangguan jiwa. Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa di Desa Kedondong, Kecamatan Sokaraja, Kabupaten Banyumas.

C. Tujuan Penelitian 1.

  Tujuan Umum Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan masyarakat Desa Kedondong terhadap penderita gangguan jiwa di lingkungan sekitar tempat tinggalnya.

2. Tujuan Khusus a.

  Mengidentifikasi karakteristik responden meliputi umur, jenis kelamin, dan pendidikan.

  b.

  Mengidentifikasi tingkat pengetahuan, persepsi, dan sikap masyarakat Desa Kedondong tentang gangguan jiwa.

  c.

  Menganalisis faktor yang mempengaruhi penerimaan masyarakat Desa Kedondong terhadap penderita gangguan jiwa.

  d.

  Menganalisis pengaruh tingkat pengetahuan, persepsi, dan sikap masyarakat mengenai gangguan jiwa dengan penerimaan masyarakat terhadap gangguan jiwa di Desa Kedondong.

  e.

  Menganalisis faktor yang paling dominan yang berhubungan dengan penerimaan masyarakat terhadap gangguan jiwa di Desa Kedondong.

D. Manfaat Penelitian 1.

  Bagi Masyarakat Sebagai tambahan informasi dan pengetahuan mengenai gangguan jiwa, dan sebagai referensi tentang sikap dalam menghadapi penderita gangguan jiwa.

  2. Bagi Peneliti Hasil penelitian ini bisa menambah wawasan dan ilmu pengetahuan peneliti tentang sikap masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa dan sebagai pengalaman bagi peneliti dalam menghadapi penderita pasien jiwa dilingkungan masyarakat.

  3. Bagi Instansi Kesehatan Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terkini di bidang keperawatan jiwa tentang penderita gangguan jiwa dan sebagai upaya untuk menambah kelengkapan kepustakaan.

E. Penelitian Terkait

  Berdasarkan hasil penelusuran jurnal yang telah dilakukan peneliti belum menemukan penelitian yang sama dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti yaitu tentang “Analisis Faktor-Faktor Penerimaan Masyarakat Terhadap Penderita Gangguan Jiwa di Desa Kedondong Kecamatan Sokaraja Kabupaten Banyumas”. Namun demikian, peneliti menemukan beberapa penelitian yang hampir serupa, antara lain:

1. Kurihara, dkk. (2000) meneliti tentang “Public Attitudes Towards the

  Mentally Ill: a Cross-cultural Study Between Bali and Tokyo ”, dimana

  penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan sikap masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa atau individu yang memiliki riwayat gangguan jiwa di dua tempat yang berbeda, yakni Bali dan Tokyo. Penelitian ini menggunakan pendekatan comparative study (studi perbandingan) dengan responden sebanyak 77 orang responden di Bali dan 66 orang sebagai responden di Tokyo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Bali memiliki sikap yang lebih positif terhadap gangguan jiwa apabila dibandingkan dengan sikap masyarakat Tokyo dengan skor rata-rata 20,8 dengan standar deviasi 2,96. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang peneliti lakukan adalah pada analisa faktor-faktor yang mempengaruhi sikap masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa.

2. Angermeyer dan Matschinger H. (2003) melakukan penelitian tentang

  “The Stigma of Mental Illness: Effect of Labelling on Public Attitudes

  

Towards People with Mental Disorder ” dengan tujuan untuk mengetahui

  dampak atau efek dari label dan sikap masyarakat terhadap orang yang mengalami gangguan jiwa dengan skizofrenia dan depresi berat.

  Penelitian menggunakan representative survey yang dilakukan di Jerman dengan melibatkan 5025 orang dewasa yang berkebangsaan Jerman.

  Hasil yang diperoleh yaitu pelabelan terhadap orang dengan gangguan jiwa dimana dalam penelitian ini penderita skizofrenia dan depresi berat berpengaruh pada sikap masyarakat yang secara jelas lebih banyak memberikan dampak negatif daripada dampak positif. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah pada sikap dari masyarakatnya dimana peneliti tertarik untuk mengetahui faktor-faktor yang memberi pengaruh terhadap sikap masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa.

  3. Kermode, dkk. (2009) melakukan penelitian dengan judul “Community

  

Beliefs About Causes and Risks for Mental Disorder: a Mental Health

Literacy Survey in a Rural Area of Maharashtra, India ”. Tujuan

  dilakukannya penelitian ini yaitu untuk menilai pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang penyebab dan resiko gangguan jiwa di daerah pedesaan di Maharashtra, dan untuk menilai prevalensi terhadap kemungkinan terkena gangguan mental secara umum. Metode yang digunakan adalah cross-sectional dengan membagikan kuesioner kepada 240 orang masyarakat dan 60 orang petugas kesehatan desa, dan didapatkan hasil bahwa menurut masyarakat penyebab paling umum dari gangguan jiwa adalah faktor sosial-ekonomi, sedangkan untuk resiko gangguan jiwa menurut masyarakat lebih besar kepada perempuan usia sedang, pengangguran, dan masyarakat miskin.

  4. Adilamarta (2011) melakukan penelitian dengan judul “Hubungan

  Tingkat Pengetahuan dan Sikap Masyarakat dengan Penerimaan Masyarakat Terhadap Individu Yang Menderita Gangguan Jiwa di Kelurahan Surau Gadang Wilayah Kerja Puskesmas Nanggalo engetahui hubungan

  Padang”. Tujuan penelitian ini adalah untuk m

tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat dengan penerimaan masyarakat terhadap individu yang menderita gangguan jiwa di Kelurahan Surau

Gadang wilayah kerja Puskesmas Nanggalo Padang. Hasil penelitian menyebutkan bahwa masyarakat memiliki pengetahuan yang tinggi

mengenai gangguan jiwa, namun lebih dari sebagian masyarakat memiliki

sikap negative terhadap penderita gangguan jiwa sehingga masyarakat tidak menerima keberadaan penderita gangguan jiwa tersebut. Untuk hubungan

antara tingkat pengetahuan masyarakat dengan penerimaan masyarakat

terhadap individu yang mengalami gangguan jiwa tidak bermakna,

sedangkan untuk hubungan sikap masyarakat dengan penerimaan penderita gangguan jiwa bermakna.