BAB III HARMONISASI PENGATURAN TENTANG PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN (ABUSE OF DOMINANT POSITION) DALAM ASEAN - HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA Repository - UNAIR REPOSITO

BAB III HARMONISASI PENGATURAN TENTANG PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN (ABUSE OF DOMINANT POSITION) DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY

3.1 Pentingnya Harmonisasi Pengaturan tentang Penyalahgunaan Posisi Dominan dalam ASEAN Economic Community

  Salah satu tujuan dibentuknya ASEAN seperti yang tercantum dalam Deklarasi Bangkok adalah mewujudkan percepatan pertumbuhan ekonomi dan kemajuan sosial di kawasan. Dalam rangka mewujudkan hal tersebut berbagai kebijakan kerjasama ekonomi telah dilakukan salah satunya adalah pembentukan Komunitas Ekonomi ASEAN atau AEC pada tahun 2015.

  Dengan adanya kebijakan AEC pada tahun 2015 ini negara-negara di kawasan ASEAN menghendaki adanya liberalisasi perdagangan barang, jasa, investasi, tenaga kerja terampil secara bebas dan arus modal yang lebih bebas diantara negara kawasan ASEAN, hal ini nantinya akan mengintegrasikan negara- negara di kawasan ASEAN menjadi suatu pasar tunggal yang bebas. Perwujudan integrasi ekonomi merupakan langkah penting bagi pencapaian AEC yang memiliki daya saing yang tinggi serta dapat turut serta berperan aktif dalam kegiatan ekonomi global.

  Kebijakan dalam AEC 2015 yang mengintegrasikan negara-negara di kawasan ASEAN ke dalam suatu pasar tunggal tentu tidak akan luput dari permasalahan. Dengan terintegrasinya kawasan ASEAN kedalam satu pasar tunggal, maka pelaku usaha di negara-negara ASEAN dapat dengan bebas melakukan transaksi-transaksi bisnis di kawasan ASEAN, keadaan ini membuat kawasan ASEAN tumbuh menjadi kawasan ekonomi dengan tingkat kompetisi

  86

  yang tinggi. Tingkat kompetisi yang tinggi diantara pelaku-pelaku usaha di ASEAN ini berpotensi menimbulkan permasalahan terutama yang berkaitan dengan praktek persaingan usaha tidak sehat salah satunya adalah penyalahgunaan posisi dominan (abuse of dominant position).

  Dengan terbentuknya kawasan ASEAN sebagai pasar tunggal, pelaku usaha di kawasan ASEAN dapat dengan mudah melakukan transaksi-transaksi bisnis yang bersifat lintas batas negara. Dengan adanya kebijakan AEC ini tentu akan memungkinkan pelaku usaha yang berasal dari suatu negara di ASEAN untuk melakukan penetrasi pasar ke negara ASEAN lainnya dan memegang posisi dominan di pasar tempat ia melakukan penetrasi tersebut. Dengan posisi dominan yang dimilikinya, pelaku usaha tersebut berpotensi untuk melakukan penyalahgunaan yang nantinya akan menimbulkan persaingan yang tidak sehat di pasar yang ia kuasai tersebut.

  Sifat transaksi yang melibatkan lintas batas negara serta belum adanya kebijakan terpadu tentang persaingan usaha di antara negara-negara ASEAN terutama yang mengatur mengenai posisi dominan dan penyalahgunaannya tentu berpotensi menimbulkan berbagai persoalan terlebih pada saat kebijakan AEC nanti resmi diberlakukan. 86                                                             

  Rhido Jusmadi, Konsep Hukum Persaingan Usaha ; Sejarah, Kaidah Perdagangan Bebas dan Pengaturan Merger-Akuisisi,

Setara Press, Malang, 2014, h.71.

  Belum adanya keseragaman pengaturan mengenai posisi dominan yang berlaku secara global bagi pelaku usaha di kawasan ASEAN dapat menimbulkan permasalahan terlebih ketika AEC akan resmi diberlakukan pada 2015. Permasalahan yang mungkin timbul dari disharmonisasi ini terkait dengan: 1.

  Definisi pelaku usaha Definisi dari pelaku usaha merupakan salah satu unsur paling penting untuk menentukan keberlakuan kebijakan persaingan usaha khususnya mengenai pengaturan posisi dominan bagi pelaku usaha. Dengan adanya kebijakan AEC yang menghendaki adanya integrasi ekonomi ke dalam satu pasar tentu akan meningkatkan lalu lintas transaksi bisnis di kawasan ASEAN. Pelaku usaha dari negara ASEAN dapat dengan bebas melaksanakan kegiatan bisnisnya di negara ASEAN lainnya tanpa ada lagi batasan antar negara di kawasan ASEAN.

  Namun seiring dengan akan diberlakukannya kebijakan AEC pada 2015 masih terdapat permasalahan diantara negara-negara ASEAN yaitu masih terdapat ketidakseragaman mengenai definisi pelaku usaha diantara negara-negara ASEAN. Masih banyak negara ASEAN yang mendefinisikan pelaku usahanya secara sempit yaitu hanya mencakup pelaku usaha dalam negeri ataupun pelaku usaha yang beroperasi di negara tersebut, padahal dengan adanya kebijakan AEC ini kegiatan bisnis yang terjadi akan semakin luas dan melibatkan banyak pelaku usaha asing yang berasal dari negara lain di ASEAN. Berikut tabel yang menunjukkan adanya perbedaan definisi pelaku usaha yang terjadi di ASEAN

  Tabel III.1 Definisi pelaku usaha di ASEAN

  No Negara Definisi Pelaku Usaha

  1 Indonesia subjek/badan hukum yang berdiri dan berkedudukan atau melakukan kegiatan di wilayah Indonesia

2 Filipina subjek/badan hukum Filipina

  3 Laos perorangan/badan hukum yang bergerak di bidang barang dan jasa

  4 Malaysia semua badan yang melakukan kegiatan komersial di bidang barang dan jasa di dalam/luar malaysia yang berpengaruh di pasar Malaysia

  5 Singapura semua pelaku usaha domestik maupun asing yang kegiatannya berdampak terhadap pasar Singapura

  6 Thailand distributor, produsen, importir ke dalam wilayah Thailand

  7 Vietnam pelaku usaha domestik maupun asing yang beroperasi di Vietnam Sumber : diolah dari berbagai sumber.

  Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa diantara negara-negara ASEAN masih belum terdapat keseragaman mengenai definisi dari pelaku usaha. Masih terdapat beberapa negara yang mendefinisikan pelaku usahanya secara sempit sehingga hanya mencakup pelaku usaha domestik saja hal ini ditemui di Filipina dan Laos.

  Indonesia mendefinisikan pelaku usaha sebagai subjek atau badan hukum yang berdiri dan berkedudukan atau melakukan kegiatan di wilayah Indonesia.

  Dilihat dari sisi normatif, pelaku usaha asing yang melakukan kegiatan di wilayah Indonesia termasuk pelaku usaha yang diatur dalam undang-undang yang berlaku.

  Kondisi yang sama juga ditemui di Thailand dan Vietnam yang juga memberlakukan undang-undangnya bagi pelaku usaha asing yang melakukan kegiatan usahanya di wilayah negaranya. Namun terdapat kelemahan dalam definisi pelaku usaha yang terdapat dalam ketiga negara ini yaitu tidak adanya kekuatan keberlakuan yang bersifat ekstra teritorial dalam definisi tersebut.

  Dengan diberlakukannya kebijakan AEC yang menghendaki ASEAN terintegrasi ke dalam suatu pasar tunggal yang bebas tentu akan membuat pelaku usaha-pelaku usaha di kawasan ASEAN semakin bebas melakukan transaksi bisnis nya dimana saja. Dengan terbentuknya pasar bebas ini tidak selalu penyalahgunaan posisi dominan yang akhirnya berdampak negatif bagi pasar domestik suatu negara, dilakukan oleh pelaku usaha yang menjalankan kegiatan usahanya di wilayah yang terkena dampak penyalahgunaan tersebut. Pelaku usaha asing yang berasal dari negara ASEAN lain bisa saja melakukan bentuk penyalahgunaannya di luar wilayah suatu negara ASEAN lainnya namun tindakan itu memberikan dampak negatif bagi persaingan di negara tersebut. Sebagai contoh adalah ilustrasi kasus sebagai berikut:

  Dalam pasar penyedian jasa layanan telekomunikasi di ASEAN terdapat lima pelaku usaha yang berasal dari negara-negara di ASEAN yaitu perusahaan A (Singapura), perusahaan B (Singapura), perusahaan C (Indonesia), perusahaan D (Malaysia), perusahaan E (Vietnam) dan perusahaan F (Filipina). Perusahaan A (Singapura) menguasai pangsa pasar sebesar 25%, perusahaan B (Singapura) menguasai pangsa pasar 30%, perusahaan C (Indonesia) 25%, perusahaan D (Malaysia) 10% dan perusahaan E (Vietnam) serta perusahaan F (Filipina) masing-masing menguasai 5% pangsa pasar. Kemudian kedua pelaku usaha yaitu A dan B yang sama-sama berasal dari Singapura melakukan merger di Singapura yang kemudian mengakibatkan kedua perusahaan tersebut menguasai 55% pangsa pasar dan memegang posisi dominan di pasar penyedia jasa layanan telekomunikasi di ASEAN, hal ini tentu dapat menimbulkan dampak bagi pasar domestik jasa layanan telekomunikasi di Indonesia. Dengan tidak adanya kekuatan keberlakuan ekstra teritorial dari undang-undang yang berlaku di Indonesia maka akan menyulitkan komisi pengawas persaingan usaha di Indonesia untuk melakukan penindakan dari tindakan merger yang dilakukan oleh pelaku usaha Singapura tersebut.

  Pendefinisian pelaku usaha yang lebih luas terdapat di Malaysia dan Singapura. Definisi pelaku usaha di negara ini mencakup pelaku usaha dalam negeri maupun asing baik yang berada di dalam maupun luar wilayah negara tersebut dan tindakannya berdampak pada pasar masing-masing negara tersebut.

  Dengan masih tidak seragamnya pendefinisian mengenai pelaku usaha diantara negara-negara ASEAN tentu akan berpotensi menimbulkan permasalahan terkait dengan penindakan terhadap pelaku usaha yang melakukan penyalahgunaan posisi dominan.

  Bentuk harmonisasi yang harus dilakukan terkait dengan masalah ini adalah harus segera dilakukan penyeragaman terkait definisi pelaku usaha dan menetapkan definisi yang lebih luas serta mempunyai daya berlaku ekstra teritorial sehingga dapat mencakup seluruh pelaku usaha di kawasan ASEAN khususnya dalam menghadapi kebijakan AEC nanti.

2. Penetapan posisi dominan

  Unsur yang paling utama dari penyalahgunaan posisi dominan adalah tindakan-tindakan anti persaingan yang dilakukan sebagai bentuk penyalahgunaan posisi dominan tersebut dilakukan oleh pelaku usaha yang memegang posisi dominan di suatu pasar bersangkutan.

  Masih adanya perbedaan kriteria dalam penetapan posisi dominan diantara negara-negara di ASEAN tentu akan menimbulkan permasalahan dalam AEC nanti. Perbedaan kriteria dalam penetapan posisi dominan di kawasan ASEAN dapat dilihat dari: a.)

  Definisi pasar bersangkutan Seperti yang diuraikan sebelumnya, pasar bersangkutan merupakan salah satu indikator utama untuk mengukur apakah suatu pelaku usaha memegang posisi dominan dalam suatu pasar bersangkutan. Ketepatan dalam mengukur pasar bersangkutan diperlukan untuk mengukur struktur pasar dan batasan dari perilaku

  87 anti persaingan yang dilakukan.

  Dalam UU No.5/1999 pasal 1 angka 10 mendefinisikan pasar bersangkutan sebagai pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis atau subtitusi

  88

  dari barang dan/atau jasa tersebut. Berdasarkan definisi pasal diatas terdapat 2 (dua) aspek yang terdapat dalam pasar bersangkutan yaitu pasar produk (product market ) dan pasar geografis (relevant geographic market). 87                                                              88 Andi Fahmi Lubis et al., Op.Cit., h.50.

  Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Loc.Cit.  

  Cakupan pasar produk ini terkait dengan dengan kesamaan, kesejenisan dan/atau tingkat subtitusi suatu produk. Sedangkan cakupan pasar geografis ini

  89 terkait dengan jangkauan daerah pemasaran suatu produk.

  Dalam pasar produk untuk menentukan apakah suatu barang dengan barang

   

  lain dapat dinyatakan sama atau menjadi subtitusi terhadap barang tertentu perlu dilihat dari empat aspek yaitu: a. bentuk dan sifat barang tersebut; b. fungsi barang; c. harga barang; dan d. fleksibilitas barang tersebut bagi konsumen

  90

  (interchangeable). Apabila suatu produk sudah ditetapkan mempunyai barang sejenis atau subtitusi maka pangsa pasar produk tersebut termasuk dalam satu

  91 pasar bersangkutan secara objektif.

  Di Uni Eropa pernah terjadi suatu kasus mengenai penentuan pasar bersangkutan terkait dengan pengukuran definisi pasar produk yaitu United

92 Brands Case .

  Kasus ini terjadi antara United Brands Company and United Brands

  Continentaal BV versus Commission of the European Communities .Dalam kasus

  ini United Brands Company dianggap melanggar ketentuan pasal 106 Treaty on

  the Functioning of the European Union (untuk selanjutnya disebut TFEU) yang

  melarang negara anggota menerapkan kebijakan khusus atau ekslusif yang bertentangan dengan yang diatur dalam pasal 101-109 TFEU. 89                                                              90 Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 3 Tahun 2009, Op.Cit., h.5. 91 Andi Fahmi Lubis, et al., Loc.Cit. 92 Ibid.

  Judgment of the Court of 14 February 1978. - United Brands Company and United Brands Continentaal BV v Commission of the European Communities. - Chiquita Bananas. - Case 27/76. www.eur-lex.europa.eu  

  Dalam kasus ini United Brands perusahaan yang memproduksi Chiquita

  Bananas dianggap telah melakukan tindakan penyalahgunaan posisi dominan

  dalam bentuk unfair condition yang diwujudkan dengan melarang distributor di Belgo-Luxembourg Economic Union, Denmark, Jerman, Irlandia dan Belanda untuk menjual kembali pisang dari United Brands apabila masih dalam keadaan mentah. Selain itu United Brands juga dianggap menetapkan unfair condition dan

  discriminatory prices terhadap distributor yang tidak termasuk kedalam the spicio group . United Brands juga telah melakukan refusal to supply kepada TH.Olesen A/S, Valby, Copenhagen, Denmark .

  Dalam rangka membuktikan adanya penyalahgunaan tersebut maka diperlukan analisis terlebih dahulu mengenai penguasaan United Brands atas suatu produk tertentu dalam hal ini pisang.Analisa ini dimulai dengan pengukuran terhadap pasar bersangkutan yang terdiri dari dua aspek yaitu pasar produk dan pasar geografis.

  Terdapat hal yang menarik dalam kasus ini yaitu terkait dengan penilaian terhadap pasar bersangkutan dilihat dari aspek pasar produk. Dalam kasus ini

  United Brands menolak bahwa ia memegang posisi dominan di pasar dan

  mendalilkan bahwa pisang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari buah lainnya seperti apel, orange, anggur dan lain lain. Pisang termasuk produk sejenis dengan buah lainnya dikarenakan pisang dan buah segar lain mempunyai sifat interchangeable.

  Namun Comission of the European Communities memberikan penilaian berbeda dan membedakan produk pisang dengan produk buah lainnya. Pembedaan ini didasarkan pada elatisitas silang pada permintaan. Statistik menunjukkan bahwa pembelian pisang oleh konsumen berada di tingkat paling rendah diantara bulan Juni dan Desember dimana saat itu terdapat banyak pasokan dari buah segar domestik di dalam pasar. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh the Food and Agriculture Organization (FAO) menunjukkan harga produk pisang cenderung lemah selama musim panas dan harga dari produk buah lain seperti apel memiliki dampak statistik yang cukup besar terhadap tingkat konsumsi pisang di negara Jerman. Pada musim puncak dimana terdapat pasokan yang melimpah dari produk buah segar lain memberikan pengaruh tidak hanya terhadap harga namun juga terhadap volume penjualan pisang hal ini juga berdampak terhadap tingkat impor produk ini.

  Komisi berpendapat bahwa terdapat perbedaan tingkat permintaan antara pisang dengan produk buah segar lainnya, selain itu terdapat kualitas khusus dalam pisang yang mempengaruhi tingkat preferensi dari konsumen yang menyebabkan mereka tidak serta merta dapat mengganti pisang dengan buah lain.

  Berdasarkan analisa tersebut komisi memutuskan bahwa pisang dan buah segar lain bukanlah produk yang sejenis. Sempitnya pembatasan terhadap pasar produk yang dilakukan komisi ini membawa dampak terhadap United Brands, dominasi

  United Brands atas produk pisang ini terlihat jelas sehingga United Brands dianggap memiliki posisi dominan terhadap produk pisang.

  Dalam pasar geografis pengukuran terhadap pasar bersangkutan ditentukan berdasarkan luas wilayah pemasaran produk oleh pelaku usaha. Penetapan pasar bersangkutan berdasarkan aspek geografis ditentukan oleh ketersediaan produk. Dalam pasar geografis faktor-faktor yang digunakan menentukan luas dan cakupan wilayah dari suatu produk adalah kebijakan perusahaan, biaya transportasi, lamanya perjalanan, tarif dan peraturan yang membatasi lalu lintas

  93 perdagangan antar kota/wilayah.

  Dalam pasar geografis penetapan pasar bersangkutan ini mengacu pada lokasi pelaku usaha melakukan kegiatan usahanya dan/atau lokasi peredaran produk dan jasa dan/atau dimana beberapa daerah memiliki kondisi persaingan

  94 yang relatif seragam dan berbeda dengan kondisi persaingan di daerah lainnya.

  Berdasarkan analisa terhadap pengaturan persaingan usaha di negara-negara ASEAN masih terdapat ketidakseragaman terkait dengan pendefinisian pasar bersangkutan. Dalam kawasan ASEAN masih terdapat beberapa negara yang tidak mendefinisikan secara spesifik mengenai pasar bersangkutan dalam instrumen hukum persaingan usahanya.

  Tabel III.2 Definisi pasar bersangkutan di ASEAN

  No Negara Definisi Pasar Bersangkutan terdiri dari pasar produk dan pasar

  1 Indonesia geografis

  2 Filipina tidak ditemui definisi pasar bersangkutan

  3 Laos tidak ditemui definisi pasar bersangkutan

  4 Malaysia tidak didefinisikan secara spesifik terdiri dari pasar produk dan pasar

  5 Singapura geografis

  6 Thailand tidak ditemui definisi pasar bersangkutan terdiri dari pasar produk dan pasar

  7 Vietnam geografis 93                                                              94 Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 3 Tahun 2009, Op.Cit., h.16.

  Ibid, h.6.

    Sumber: diolah dari berbagai sumber.

  Berdasarkan tabel diatas terlihat masih terdapat perbedaan terkait dengan pengaturan mengenai definisi pasar bersangkutan. Tidak semua negara ASEAN mencantumkan definisi yang spesifik di dalam aturan persaingan usaha negaranya mengenai apa yang dimaksud dengan pasar bersangkutan serta aspek-aspek didalamnya.

  Berdasarkan analisis terhadap pengaturan persaingan usaha yang dimiliki negara-negara ASEAN hanya Indonesia, Singapura dan Vietnam yang mendefinisikan secara spesifik mengenai pasar bersangkutan. Di ketiga negara ini terdapat dua aspek dalam pasar bersangkutan yaitu pasar produk (product market) dan pasar geografis (geographic relevant market). Sedangkan di Malaysia definisi pasar bersangkutan tidak disebutkan secara spesiifik dalam undang-undang yang berlaku namun terdapat ketentuan yang menyebutkan penilaian yang dilakukan oleh komisi pengawas persaingan di negara ini terhadap pasar mencakup analisa terhadap: struktur pasar, perilaku pelaku usaha di pasar, perilaku distributor dan

  95

  konsumen terhadap pelaku usaha di pasar dan hal lain yang dianggap relevan. Di ketiga negara lainnya di ASEAN yaitu Filipina, Laos dan Thailand tidak ditemui adanya pengaturan mengenai definisi pasar bersangkutan dalam undang-undang yang berlaku di negara-negara tersebut.

  Ketidakseragaman mengenai pengaturan definisi pasar bersangkutan yang terjadi di negara-negara ASEAN ini tentu berpotensi menimbulkan permasalahan pada saat AEC resmi diberlakukan. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya pasar 95                                                             

  The Competition Act 2010, Op.Cit., part 11(2) . bersangkutan merupakan salah satu indikator utama dalam mengukur apakah suatu pelaku usaha memegang posisi dominan atau tidak. Definisi pasar bersangkutan ini penting untuk mengidentifikasi seberapa besar penguasaan produk tertentu dalam suatu pasar oleh pelaku usaha. Definisi pasar bersangkutan dapat digunakan untuk mengukur luasnya dampak dari tindakan anti persaingan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Melalui pendefinisian pasar bersangkutan ini

  96 kondisi faktual di pasar bisa dianalisis melalui perspektif persaingan.

  Ketepatan dalam mendefinisikan pasar bersangkutan sangat diperlukan untuk menghasilkan pengukuran terhadap dominasi pelaku usaha atas produk tertentu di suatu pasar yang akurat, semakin sempit pembatasan terhadap pasar bersangkutan maka dominasi pelaku usaha atas produk tertentu akan sangat terlihat sedangkan apabila pengukuran terhadap pasar bersangkutan terlalu luas akan menyebabkan dominasi pelaku usaha dalam pasar tersebut tidak akan terlihat. Mengingat hal tersebut maka diperlukan ketepatan dalam mendefinisikan pasar bersangkutan.

  Masih adanya ketidakseragaman terkait dengan definisi pasar bersangkutan ini tentu akan menimbulkan kesulitan bagi suatu komisi pengawas persaingan usaha di suatu negara untuk melakukan penilaian yang akurat terkait dengan apakah suatu pelaku usaha tersebut memegang posisi dominan atau tidak.

  Bentuk harmonisasi yang diperlukan terkait dengan perbedaan definisi pasar bersangkutan ini adalah perlu adanya suatu kesepahaman diantara negara-negara anggota ASEAN tentang apa yang dimaksud dengan pasar bersangkutan serta 96                                                             

  Ibid , h.9 aspek-aspek yang terkait dengan penilaian pasar bersangkutan agar terdapat suatu definisi yang seragam diantara negara-negara anggota ASEAN mengenai apa yang dimaksud dengan pasar bersangkutan dan aspek-aspek penilaian apa saja yang ada di dalamnya sehingga terdapat suatu batas penilaian yang jelas untuk mengukur kepemilikan posisi dominan suatu pelaku usaha di kawasan ASEAN, yang kemudian akan menghasilkan penilaian yang akurat terkait dengan kepemilikan posisi dominan pelaku usaha di kawasan ASEAN.

  b.) Jumlah penguasaan pangsa pasar

  Dalam menentukan dominasi suatu pelaku usaha di suatu pasar, selain menetapkan batas pengukuran yang tepat terhadap pasar bersangkutan suatu produk tertentu, hal lain yang juga harus dilihat adalah presentase penguasaan pangsa pasar oleh pelaku usaha. Penentuan jumlah presentase penguasaan pangsa pasar ini sangat dipengaruhi oleh struktur pasar yang berada di suatu pasar di negara tersebut.

  Dalam UU No. 5/1999 pasal 1 angka 11 yang dimaksud struktur pasar adalah keadaan pasar yang memberikan petunjuk tentang aspek-aspek yang memiliki pengaruh penting terhadap perilaku pelaku usaha dan kinerja pasar antara lain jumlah penjual dan pembeli, hambatan masuk dan keluar pasar, keragaman produk, sistem distribusi, dan penguasaan pangsa pasar.

  Struktur pasar merupakan kondisi lingkungan dimana pelaku usaha melakukan aktivitasnya sebagai produsen.Struktur pasar dalam ilmu ekonomi

  

97

  dibagi ke dalam empat bentuk yaitu: a.

  Pasar persaingan sempurna (perfect competition) 97                                                              Andi Fahmi Lubis, et al., Loc.Cit.

  Pasar persaingan sempurna merupakan suatu pasar dimana jumlah antara penjual dan pembeli relatif seimbang.

  b.

  Pasar persaingan monopolistik (monopolistic competition) Hampir sama dengan pasar persaingan sempurna, pasar monopolistik jumlah penjual relatif banyak dan produk yang terdapat dalam pasar ini terdiferensiasi yang berarti produk dalam pasar ini memiliki perbedaan karakteristik dengan produk sejenis lain sehingga menimbulkan preferensi

  

98

konsumen terhadap produk tertentu.

  c.

  Pasar oligopoli (oligopoly) Dalam suatu pasar oligopoli hanya terdapat beberapa penjual yang ada di pasar. Para pelaku usaha dalam pasar oligopoli ini cenderung memilliki ketergantungan satu dengan yang lain, dalam artian dalam struktur pasar ini keputusan strategis pelaku usaha sangat dipengaruhi oleh keputusan strategis

  99 pelaku usaha lain.

  d.

  Pasar monopoli (monopoly) Pasar monopoli merupakan industri satu perusahaan dimana dalam suatu pasar hanya terdapat satu penjual. Produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha ini juga tidak dapat dibeli di tempat lainnya serta produk tersebut tidak mempunyai

  100 subtitusi yang ada hanyalah barang pengganti yang sangat berbeda sifatnya. 98                                                              Ibid, 99 h.34-35.

  Ibid, h.36. 100   Ibid, h.33.

  Menurut ilmu hukum struktur pasar terbagi kedalam dua bentuk yaitu pasar persaingan sempurna dan pasar persaingan tidak sempurna. Perbedaan struktur pasar tersebut disebabkan adanya perbedaan degree of market power atau

  101 kemampuan pelaku usaha dalam mempengaruhi keseimbangan harga pasar.

  Suatu pasar dapat dikategorikan memiliki struktur persaingan sempurna

  102

  apabila memiliki karakteristik sebagai berikut : a.

  Banyaknya penjual dan pembeli Jumlah penjual dan pembeli dalam pasar yang memiliki struktur persaingan sempurna cenderung seimbang atau sama banyaknya antara penjual dan pembeli.

  Kondisi ini merupakan kondisi yang ideal karena harga yang didapatkan konsumen ditentukan dari kinerja mekanisme pasar.

  b.

  Produk yang homogen Produk yang homogen yaitu produk yang mampu memeberikan kepuasan kepada konsumen tanpa mengetahui siapa produsennya, sehingga disini konsumen membeli kegunaan barang dan konsumen menganggap semua pelaku usaha mampu memproduksi barang dan jasa dengan kualitas dan karakter yang sama.

  c.

  Bebas masuk dan keluar pasar Dalam struktur pasar persaingan sempurna, faktor mobilitas produksi menjadi tidak terbatas dan tidak memerlukan biaya. Tidak terbatasnya mobilitas suatu produksi ini menyebabkan pelaku usaha mudah untuk masuk keluar pasar.

  d.

  Informasi sempurna 101                                                              102 Ibid.

  Ibid, h. 30.

    Dalam struktur pasar persaingan sempurna pelaku usaha maupun konsumen memiliki pengetahuan yang sempurna terhadap harga suatu produk dan input yang dijual. Keadaan ini akan mencegah adanya pemberlakuan harga jual yang berbeda antara pelaku usaha satu dengan pelaku usaha lainnya.

  Berbeda halnya dengan struktur pasar persaingan sempurna, karakteristik yang dimiliki oleh struktur pasar persaingan tidak sempurna adalah: a.

  Tidak seimbangnya jumlah penjual dan pembeli Berbeda dengan struktur pasar persaingan sempurna dalam struktur pasar ini jumlah antara penjual dan pembeli cenderung tidak seimbang. Contohnya dalam pasar monopoli yang hanya terdapat satu penjual dengan banyak pembeli serta pasar oligopoli dimana hanya terdapat beberapa penjual dengan banyak pembeli.

  Dengan kondisi ini konsumen cenderung dirugikan karena pelaku usaha cenderung memiliki bargaining position yang lebih tinggi dari konsumen.

  b.

  Terdapat hambatan teknis Dalam pasar dengan struktur persaingan tidak sempurna cenderung terdapat hambatan teknis bagi pelaku usaha yang menyebabkan pelaku usaha tersebut sulit

  103

  bersaing dengan pelaku usaha yang telah ada di pasar. Keadaan ini sering ditemui dalam pasar dengan struktur monopoli.

  c.

  Produknya terdiferensiasi Tidak seperti dalam pasar persaingan sempurna yang produknya bersifat homogen. Dalam pasar ini produk yang ada di pasar cenderung terdiferensiasi, antara satu produk dengan produk lain memiliki karakteristik yang berbeda 103                                                             

  Ibid, h.32. sehingga menyebabkan konsumen mempunyai kecenderungan terhadap produk tertentu dibanding produk lainnya. Hal ini biasa ditemui dalam pasar persaingan monopolistik.

  d.

  Dapat menguasai penentuan harga Dalam pasar persaingan tidak sempurna jumlah penjual dan pembeli relatif tidak seimbang. Dalam struktur pasar ini biasanya jumlah penjual cenderung lebih sedikit daripada jumlah pembeli contohnya dalam pasar monopoli dan oligopoli. Dengan keadaan tersebut pelaku usaha tentu mempunyai bargaining position yang lebih tinggi dari konsumen sehingga pelaku usaha mempunyai kemampuan untuk menentukan harga suatu produk tersebut bagi konsumen.

  Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, struktur pasar ini merupakan faktor yang mempengaruhi penetapan jumlah presentase penguasaan pangsa pasar yang diperlukan bagi pelaku usaha untuk dapat dikatakan memiliki posisi dominan terutama terkait dengan banyaknya jumlah pelaku usaha yang ada di dalam suatu pasar tersebut. Dalam struktur pasar yang terdapat banyak pelaku usaha di dalamnya seperti pasar persaingan sempurna maupun pasar persaingan monopolistik tentu penguasaan pangsa pasar yang dibutuhkan untuk menduduki posisi dominan tidaklah terlalu besar, sedangkan dalam struktur pasar yang jumlah pelaku usahanya terbatas seperti pasar oligopoli dan monopoli penguasaan pangsa pasar yang dibutuhkan untuk menduduki posisi dominan tentu akan lebih besar.

  Perbedaan struktur pasar terutama terkait dengan jumlah pelaku usaha yang terdapat dalam suatu pasar inilah yang menyebabkan terjadinya perbedaan terkait dengan presentase penguasaan pasar oleh pelaku usaha untuk dapat dikatakan memiliki posisi dominan.

  Dalam negara-negara di kawasan ASEAN masih terdapat adanya perbedaan terkait dengan jumlah presentase pangsa pasar yang diperlukan bagi pelaku usaha untuk dapat dikatakan memiliki posisi dominan.

  Perbedaan presentase pangsa pasar diantara negara di kawasan ASEAN ini dapat disebabkan oleh adanya perbedaan struktur pasar yang terdapat di negara- negara ASEAN.

  Tabel III.3 Presentase penguasaan pangsa pasar di ASEAN presentase penguasaan pasar

  No Negara satu pelaku usaha dua/lebih pelaku usaha

  1 Indonesia ≥ 50% ≥ 75% 2 - - Filipina 3 - - Laos 4 - - Malaysia

  5 Singapura ≥ 60% ≥ 60% 6 > 50% > 75% Thailand

  7 Vietnam ≥ 30% ≥ 50% , ≥ 65% , ≥ 75% Sumber: diolah dari berbagai sumber.

  Dalam tabel diatas terdapat perbedaan mengenai presentase penguasaan pasar sehingga pelaku usaha dapat dikatakan memiliki posisi dominan di suatu pasar. Di Indonesia berdasarkan UU No.5/1999 pelaku usaha dapat dikatakan memiliki posisi dominan apabila menguasai 50% atau lebih untuk pelaku usaha perseorangan dan 75% atau lebih untuk dua pelaku usaha atau lebih. Di dalam pengaturan persaingan usaha di negara Filipina tidak ditemui pengaturan terkait besaran penguasaan pangsa pasar bagi pelaku usaha dominan sedangkan untuk Malaysia dan Laos dalam undang-undang yang berlaku di negaranya pelaku usaha dikatakan memiliki posisi dominan apabila menguasai pangsa pasar melebihi nilai yang ditetapkan komisi pengawas persaingan masing-masing negara. Tidak ditemui besaran pasti terkait presentase pangsa pasar yang diperlukan bagi pelaku usaha untuk memegang posisi dominan di negara-negara tersebut.Singapura menetapkan pelaku usaha dapat dikatakan memiliki posisi dominan apabila menguasai 60% pangsa pasar hal ini berlaku bagi pelaku usaha perseorangan atau lebih. Di Thailand seorang pelaku usaha dapat dikatakan memegang posisi dominan apabila menguasai lebih dari 50% pangsa pasar dan lebih dari 75% pangsa pasar bagi dua/lebih pelaku usaha. Berbeda dengan negara lainnya Vietnam menetapkan penguasaan pangsa pasar sebesar 30% atau lebih untuk seorang pelaku usaha dan membagi kelompok usaha menjadi tiga bagian yaitu untuk dua pelaku usaha menguasai 50% atau lebih pangsa pasar, tiga dan empat pelaku usaha berturut turut 65% atau lebih dan 75% atau lebih pangsa pasar.

  Perbedaan terkait presentase pangsa pasar ini tentu akan berpotensi menimbulkan permasalahan terutama dalam pelaksanaan AEC pada 2015. Hal ini disebabkan karena penguasaan pangsa pasar merupakan salah satu indikator penting dalam mengukur kepemilikan posisi dominan suatu pelaku usaha.

  Bentuk harmonisasi yang perlu dilakukan terkait dengan perbedaan presentase penguasaan pangsa pasar ini adalah perlu adanya kesepahaman diantara negara-negara anggota ASEAN mengenai kriteria yang digunakan dalam menetapkan nilai presentase penguasaan pangsa pasar bagi pelaku usaha untuk dapat dikatakan memiliki posisi dominan di suatu pasar.

3. Bentuk penyalahgunaan

  Dalam penyalahgunaan posisi dominan terdapat dua bentuk penyalahgunaan yang ada yaitu: penyalahgunaan yang bersifat eksploitatif (exploitative abuse) dan penyalahgunaan yang bersifat penyingkiran (exclutionary abuse).

  Penyalahgunaan yang bersifat eksploitatif disini merupakan bentuk upaya maksimalisasi keuntungan dengan cara mereduksi iuaran dan menaikkan harga diatas level kompetitif sehingga terjadi suatu eksploitasi dari pelaku usaha

  104

  terhadap konsumen. Penyalahgunaan jenis ini dapat berupa excessive price yang merupakan penerapan harga yang bersifat monopolistik, unfair condition yaitu penerapan syarat-syarat yang tidak adil bagi konsumen atau pelaku usaha pesaing dan the quite life yakni penolakan penggunaan teknologi tertentu dengan

  105

  alasan-alasan yang tidak dapat diterima. Penyalahgunaan lainnya adalah penyalahgunaan yang bersifat penyingkiran. Dalam penyalahgunaan ini pelaku usaha pemegang posisi dominan berusaha membatasi akses terhadap pasar baik dari pelaku usaha pesaing maupun pelaku usaha potensial. Tujuan dari penyalahgunaan ini adalah menyingkirkan pelaku usaha pesaing yang telah ada di pasar dan mencegah masuknya pelaku usaha potensial ke dalam suatu pasar yang

  106

  dikuasainya. Penyalahgunaan ini dapat berupa: a.

  Hambatan masuk ke pasar (barrier to entry) bagi pelaku usaha potensial, 104                                                              105 Vegitya Ramadhani Putri, Loc.Cit. 106 Ibid.

  Ibid, Loc.Cit .

    b.

  Export bans yang merupakan pelarangan ekspor, c. Pricing strategies yang meliputi discount and rabates dan predatory pricing, d. Tying and leverage, e. Merger f. Refusal to supply yang meliputi refusal to deal dan refusal to allow consumers

  access to essential facility

  Diantara negara-negara anggota ASEAN masih terdapat perbedaan mengenai bentuk penyalahgunaan posisi dominan yang dilarang di dalam legislasi mereka masing-masing. Hal ini dapat dilihat berdasarkan tabel di bawah ini

  Tabel

  III.4 Bentuk penyalahgunaan posisi dominan di ASEAN

  Negara Bentuk

   

No

    Penyalahgunaan   Indonesia Filipina Laos   Malaysia  Singapura  Thailand  Vietnam 

  × × × × × 1                   excessive price 

  2   unfair condition  √        √  √  √  √  × 3 √        √  √    √ 

    the quite life  

  4   barrier to entry  √        √  √  √  √  × × × × × 5                

    export bans  pricing  

  ×         √  √  √  √  6 strategies     tying  and 

  × × × ×         √        7 leverage

     

  × 8 √          √  √  √    merger  

  × 9 √        √    √  √    refusal to supply  Sumber: diolah dari berbagai sumber.

  Keterangan: untuk Filipina dan Laos tidak terdapat pengaturan penyalahgunaan posisi dominan. Keterangan : × = tidak diatur

  √ = diatur Berdasarkan tabel diatas terlihat masih terdapat ketidakseragaman pengaturan mengenai bentuk penyalahgunaan posisi dominan yang dilarang. Di kawasan ASEAN hampir semua menetapkan penerapan unfair condition terhadap konsumen atau pelaku usaha pesaing merupakan bentuk dari penyalahgunaan posisi dominan. Negara-negara anggota ASEAN kecuali Thailand menetapkan pembatasan penggunaan teknologi (the quite life) sebagai salah satu bentuk penyalahgunaan posisi dominan.

  Terdapat keseragaman terkait dengan bentuk penyalahgunaan berupa

  barrier to entry , semua negara ASEAN yang mengatur mengenai penyalahgunaan

  posisi dominan mengatur bahwa hambatan masuk ke pasar merupakan salah satu bentuk penyalahgunaan posisi dominan yang dilarang. Di negara ASEAN tidak ada yang mengatur pelarangan ekspor (export bans) sebagai bentuk penyalahgunaan posisi dominan, selain itu untuk bentuk penyalahgunaan berupa

  pricing strategies hanya Indonesia yang tidak memasukkannya ke dalam bentuk

  penyalahgunaan posisi dominan. Malaysia menjadi satu-satunya negara di ASEAN yang mengatur secara spesifik mengenai kebijakan tying and leverage sebagai bentuk penyalahgunaan posisi dominan yang dilarang. Merger yang dapat mengakibatkan posisi dominan dilarang hampir di seluruh negara ASEAN hanya Malaysia yang tidak mengatur secara spesifik mengenai merger. Selain di Singapura, tindakan refusal to supply oleh pelaku usaha pemegang posisi dominan dikategorikan oleh negara-negara di ASEAN sebagai bentuk penyalahgunaan yang dilarang.

  Kesimpulan berdasarkan analisis diatas adalah masih terdapat perbedaan diantara negara-negara di ASEAN mengenai bentuk-bentuk penyalahgunaan posisi dominan yang dilarang. Perbedaan pengaturan ini tentu dapat menjadi celah bagi pelaku usaha untuk melakukan penyalahgunaan posisi dominan terutama pada saat AEC diberlakukan karena tidak semua negara ASEAN mengatur bentuk penyalahgunaan posisi dominan yang sama.

  Bentuk harmonisasi yang perlu dilakukan oleh negara-negara anggota ASEAN adalah menyeragamkan pengaturan mengenai bentuk-bentuk penyalahgunaan posisi dominan yang dilarang bagi pelaku usaha, hal ini untuk menutup celah timbulnya praktek penyalahgunaan posisi dominan oleh pelaku usaha di kawasan ASEAN.

4. Jenis pendekatan yang digunakan dalam penyalahgunaan posisi dominan

  Dalam hukum persaingan usaha terdapat dua jenis pendekatan yang digunakan dalam menerapkan pasal-pasal yang mengatur tindakan anti persaingan yaitu per se illegal dan rule of reason.

  Pendekatan per se illegal adalah menyatakan setiap perjanjian atau kegiatan usaha tertentu illegal tanpa memerlukan pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan dari perjanjian atau kegiatan usaha tersebut, sedangkan pendekatan rule of reason adalah pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi terhadap akibat yang ditimbulkan oleh perjanjian atau kegiatan usaha tertentu untuk menentukan apakah perjanjian atau kegiatan usaha tersebut bersifat menghambat atau

  107 mendukung persaingan.

  Terdapat kelebihan dan kelemahan dalam masing-masing pendekatan tersebut. Kelebihan dalam menggunakan metode pendekatan per se illegal adalah 107                                                              Andi Fahmi Lubis, et al., Loc.Cit. pada proses penyelidikan yang relatif mudah dan sederhana. Dalam pendekatan

  108 ini tidak diperlukan lagi suatu evaluasi terhadap situasi dan karakteristik pasar.

  Pada pendekatan per se illegal keputusan melawan hukum diberikan tanpa adanya analisa lebih lanjut terkait dengan dampak dari perbuatan tersebut, sehingga terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam penerapan pendekatan ini yaitu adanya dampak kerugian yang signifikan dari perilaku tersebut dan kerugian

  109

  tersebut harus tergantung pada kegiatan yang dilarang. Kelebihan lain yang terdapat dalam pendekatan ini adalah penerapan per se illegal dianggap lebih memberikan kepastian hukum terutama bagi pelaku usaha. Kelemahan yang terdapat dalam pendekatan ini adalah berkaitan dengan pembuktian adanya suatu perjanjian atau kegiatan usaha tertentu yang dilarang tersebut, hal ini dikarenakan pada umumnya pelaku usaha tidak melakukan perjanjian maupun kegiatan usaha yang dilarang tersebut secara terang-terangan sehingga dalam hal ini perlu kejelian dari otoritas pengawas persaingan usaha untuk membuktikan adanya perjanjian maupun kegiatan usaha tersebut.

  Berbeda dengan pendekatan per se illegal, dalam pendekatan rule of reason memungkinkan adanya interpretasi terhadap undang-undang sehingga tidak serta merta suatu perjanjian atau kegiatan usaha tertentu yang dilarang dianggap melanggar undang-undang, melainkan dianalisis terlebih dahulu apakah perjanjian atau kegiatan usaha yang dilakukan itu menghambat proses persaingan atau tidak. 108                                                             

  Andi Fahmi Lubis, et al., Op.Cit., h. 60 dikutip dari Carl Kaysen and Donald F.Turner, Antitrust Policy an Economic and Legal Analysis, 109 (Cambridge: Harvard University Press, 1971) p.142.

  Ibid, h.61 dikutip dari Carl Kaysen and Donald F. Turner Op.Cit.  

  Kelebihan dalam pendekatan rule of reason adalah adanya analisis ekonomi untuk mencapai efisiensi guna mengetahui secara pasti apakah tindakan pelaku

  110

  usaha tersebut berdampak terhadap persaingan. Pendekatan rule of reason ini juga mengandung kelemahan yaitu dipersyaratkannya pengetahuan tentang teori ekonomi dan data-data ekonomi yang kompleks untuk menganalisa tindakan pelaku usaha tersebut apakah bersifat menghambat persaingan. Kelemahan lainnya adalah proses penyelidikan yang lebih rumit dan waktu yang lebih panjang hal ini dikarenakan perlu suatu analisis ekonomi terlebih dahulu untuk menilai apakah tindakan pelaku usaha tersebut menimbulkan dampak terhadap persaingan.

  Di kawasan ASEAN masih terdapat perbedaan terkait dengan jenis pendekatan yang digunakan oleh komisi pengawas persaingan usaha di masing- masing negara dalam menerapkan pasal mengenai penyalahgunaan posisi dominan.

  Tabel III.5 Jenis pendekatan yang digunakan di ASEAN

  Jenis Pendekatan yang digunakan No

  Negara

  1 Indonesia Per Se Illegal

  • 2 Filipina -

  3 Laos Rule of reason

  4 Malaysia

  5 Rule of reason Singapura Rule of reason

  6 Thailand Per Se Illegal

Dokumen yang terkait

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PETANI DAN PRODUSEN ROKOK KECIL DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA - PENGATURAN TERKAIT TEMBAKAU DAN DAMPAKNYA BAGI PERSAINGAN USAHA Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 21

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - PERATURAN TENDER DALAM HUKUM PERSAINGAN USAHA MENGHADAPI ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015 Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 11

BAB II KESIAPAN ATURAN TENDER DI INDONESIA MENGHADAPI - PERATURAN TENDER DALAM HUKUM PERSAINGAN USAHA MENGHADAPI ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015 Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 38

BAB III HARMONISASI ATURAN TENDER DALAMASEAN ECONOMIC - PERATURAN TENDER DALAM HUKUM PERSAINGAN USAHA MENGHADAPI ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015 Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 32

PERATURAN TENDER DALAM HUKUM PERSAINGAN USAHA MENGHADAPI ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015 Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 37

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - HARMONISASI HUKUM PERSAINGAN USAHA DALAM MENGHADAPI ASEAN ECONOMIC COMMUNITY (AEC) Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 14

BAB II HUKUM PERSAINGAN USAHA DI ASEAN 2.1 Definisi Kebijakan Persaingan - HARMONISASI HUKUM PERSAINGAN USAHA DALAM MENGHADAPI ASEAN ECONOMIC COMMUNITY (AEC) Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 58

BAB III HARMONISASI KEBIJAKAN PERSAINGAN USAHA DI ASEAN DALAM MENGHADAPI ASEAN Economic Community 3.1 Harmonisasi Hukum di European Union - HARMONISASI HUKUM PERSAINGAN USAHA DALAM MENGHADAPI ASEAN ECONOMIC COMMUNITY (AEC) Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 41

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA Repository - UNAIR REPOSITORY

0 1 13

BAB II KRITERIA PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN (ABUSE OF - HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 43