HUBUNGAN FREKUENSI MENONTON SINETRON DENGAN SIKAP KONSUMTIF PADA REMAJA PUTRI SKRIPSI

HUBUNGAN FREKUENSI MENONTON SINETRON DENGAN SIKAP KONSUMTIF PADA REMAJA PUTRI SKRIPSI

  Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

  Program Studi Psikologi Disusun Oleh:

  Cicilia Agnes Oktavia Pastora 029114132 PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

  

ABSTRAK

Cicilia Agnes Oktavia Pastora (2008). Hubungan Frekuensi Menonton

Sinetron Dengan Sikap Konsumtif Pada Remaja Putri. Yogyakarta; Fakultas

Psikologi; Jurusan Psikologi: Universitas Sanata Dharma.

  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana hubungan antara frekuensi menonton sinetron dengan sikap konsumtif pada remaja putri. Latar belakang penelitian ini adalah bahwa sinetron saat ini disiarkan sepanjang hari oleh hampir semua stasiun televisi, padahal sinetron banyak mendapat kritik. Kritik tersebut diantaranya adalah sinetron selalu menampilkan kemewahan duniawi, mengandung unsur kapitalis, dan mengajarkan gaya hidup konsumtif. Hipotesis yang diajukan yaitu ada hubungan yang positif antara frekuensi menonton sinetron dengan sikap konsumtif pada remaja putri.

  Definisi sikap konsumtif yang digunakan adalah keadaan internal yang dapat mempengaruhi pilihan seseorang untuk bersikap boros dan berlebihan, yang lebih mendahulukan keinginan daripada kebutuhan, serta tidak ada skala prioritas, juga dapat diartikan sebagai gaya hidup yang bermewah-mewah. Frekuensi menonton sinetron sendiri dapat dimaknai sebagai tingkatan seberapa sering seseorang itu menonton acara sinetron yang ditayangkan di televisi.

  Subyek penelitian adalah 60 orang remaja putri berusia antara 15 sampai dengan 20 tahun. Pengumpulan data dilakukan dengan penyebaran angket frekuensi menonton sinetron dan skala sikap konsumtif. Koefisien reliabilitas skala sikap konsumtif adalah sebesar 0,962. Analisis data penelitian dilakukan menggunakan statistik nonparametik karena data yang diperoleh tidak berdistribusi normal. Analisis dilakukan dengan bantuan SPSS 15.0 for Windows menggunakan koefisien korelasi Spearman.

  Hasil analisis data penelitian diperoleh koefisien korelasi (r) sebesar 0,354 pada taraf signfikansi (p) 0,01. Nilai koefisien korelasi yang positif menunjukkan bahwa frekuensi menonton sinetron mempunyai hubungan yang positif dengan sikap konsumtif, sehingga semakin tinggi frekuensi menonton sinetronnya maka sikap konsuntif juga akan semakin tinggi. Kata kunci: frekuensi menonton sinetron, sikap konsumtif, remaja putri.

  

ABSTRACT

Cicilia Agnes Oktavia Pastora (2008). The Correlation between Frequency of

Watching Sinetron and Consumptive Attitude on Female Teenagers.

Yogyakarta: Faculty of Psychology; Department of Psychology: Sanata

Dharma University.

  The aim of this research was to find out the correlation between frequency of watching sinetron and consumptive attitude on female teenagers. The background of this research was the fact that now sinetron is broadcasted by almost all of the TV station everyday, although it also receives many criticisms. Some of the critics say that sinetron only conveys the luxury of the world. It has capitalist aspects, and it teaches a consumptive lifestyle. The hypothesis presented in this thesis was that there was a positive correlation between frequency of watching sinetron and consumptive attitude on female teenagers.

  The definition of consumptive attitude used in this thesis is the attitude to consume everything unwisely, to put the will before the need, and not to have a priority scale. It also can be defined as a luxurious lifestyle. The frequency of watching sinetron can be defined in terms of how often someone watches sinetron on television.

  The subjects of this research were fifteen-year-old through twenty-year- old female teenagers. The numbers of the subjects were sixty teenagers. The data gathering method was by distributing watching sinetron frequency questioners and consumptive attitude scale. The consumptive attitude scale reliability coefficient was 0.960. The data analysis was done using statistics non-parametric method because the data gathered was not distributed normally. The analysis was conducted using SPSS 15.0 for Windows. Spearman correlation coefficient was used.

  The result of the data research analysis was the correlation coefficient (r) was 0.354 at the level of significant (p) 0.01. Because of the correlation coefficient was positive, it meant that there was a positive correlation between the frequency of watching sinetron and consumptive attitude on female teenagers. The higher the frequency of watching sinetron, the higher consumptive attitude on female teenagers would be.

  Keywords: frequency of watching sinetron, consumptive attitude, female teenagers.

KATA PENGANTAR

  Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, karena tanpa anugerah dan pertolongan-Nya skripsi ini tidak akan dapat saya selesaikan. Mulai dari merencanakan sampai dengan menyelesaikan skripsi ini, saya telah mendapatkan banyak bantuan dari berbagai pihak, baik langsung ataupun tidak langsung. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati saya ingin mengucapkan terima kasih kepada :

  1. Bapak P. Edy Suhartanto, S.Psi., M.Si, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, atas ijin dan kesempatan yang diberikan kepada saya untuk melakukan penelitian.

  2. Ibu Sylvia Carolina Maria Yuniarti Murtisari, S.Psi., M.Psi., selaku Kaprodi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, atas bimbingan dan saran yang diberikan selama saya menempuh pendidikan dan selama proses penyelesaian skripsi ini.

  3. Ibu Maria Magdalena Nimas Eki Suprawati, S.Psi., Psi., M.Si., selaku Dosen Pembimbing Akademik, atas segala perhatian dan dorongan semangat yang tidak pernah henti.

  4. Bapak Y. Heri Widodo, S.Psi., M.Psi., selaku dosen pembimbing skripsi yang telah dengan sabar memberikan banyak petunjuk serta bimbingan dan juga mengajarkan kedisiplinan sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini.

  5. Ibu Dr. Ch. Siwi Handayani, M.Si, atas saran yang diberikan selama proses penyelesaian skripsi ini.

  6. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah mengasuh, mendampingi serta memberikan bekal ilmu selama saya menempuh masa perkuliahan.

  7. Para karyawan dan staf Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, Mas Muji, Mas Gandung, Mas Doni, Mbak Nani, dan Pak Gik, untuk

  8. Papa dan Mama tersayang, Bapak Yohannes Pastora dan Ibu Sri Lestari, untuk segala kepercayaan, kesabaran, pengertian, dukungan, dorongan semangat, dan doa yang tidak pernah berhenti.

  9. Kak Monik-ku yang paling cantik, terima kasih buat abstract-nya, juga Adri yang sudah membantu selama proses pengambilan data. Terima kasih juga atas semua yang telah kita bagi dan lewati selama ini.

  10. Mbak Fajar dan Mas Ncop yang sudah membantu selama proses pengambilan data dan selama persiapan ujian, terima kasih juga Mbak buat semua cerita-ceritanya.

  11. Sahabat-sahabatku yang cerewet, Delia dan Ririn untuk dorongan semangatnya, Iban (Kapan mau SMS dan telepon lagi???), Mia juga Dewi untuk persahabatannya.

  12. Kembaranku Friska, Winda (miss you..), Sutrie untuk segala kesabarannya membantu selama ini, Katrin, Ohaq (Mana traktirannya?), Ayu dan jagoan kecilnya, juga teman-teman dan sahabat yang tidak mungkin disebutkan satu persatu, atas segala pengalaman, dan suka duka yang telah kita lewati.

  13. Ana dan Kowok yang selalu memberi semangat lewat telepon dan SMS- nya.

  14. Semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung, juga semua subjek yang telah bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan berkatNya kepada semua pihak yang telah memberikan semua bantuan tersebut di atas. Skripsi ini tentu saja masih jauh dari sempurna, sehingga dengan senang hati saya menerima saran demi perbaikan. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

  Yogyakarta, 10 Oktober 2008

  

DAFTAR ISI

Halaman

  Halaman Judul .................................................................................................... i Halaman Persetujuan .......................................................................................... ii Halaman Pengesahan .......................................................................................... iii Halaman Pernyataan Keaslian Karya.................................................................. iv Abstrak ................................................................................................................ v Abstract ............................................................................................................... vi Halaman Lembar Pernyataan Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah .................... vii Kata Pengantar .................................................................................................... viii Daftar Isi ............................................................................................................. x Daftar Tabel ........................................................................................................ xii Daftar Lampiran.................................................................................................. xiii

  BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 1 A. Latar Belakang........................................................................................ 1 B. Rumusan Masalah .................................................................................. 10 C. Tujuan Penelitian .................................................................................... 10 D. Manfaat Penelitian .................................................................................. 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 12 A. Sikap Konsumtif ..................................................................................... 12

  1. Definisi Sikap Konsumtif ................................................................. 12

  2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumtif .................. 14

  3. Aspek-aspek Sikap Konsumtif ......................................................... 21

  4. Perilaku Konsumtif pada Remaja..................................................... 22

  B. Sinetron ................................................................................................... 24

  3. Tema Sinetron .................................................................................. 26

  4. Kritik Terhadap Sinetron ..................................................................27

  5. Perilaku Menonton Sinetron pada Remaja .......................................29

  C. Hubungan Antara Frekuensi Menonton Sinetron dengan Sikap Konsumtif Pada Remaja Putri.................................................................................. 30

  D. Hipotesis ................................................................................................. 34

  BAB III METODE PENELITIAN ....................................................................... 35 A. Jenis Penelitian ....................................................................................... 35 B. Variabel Penelitian.................................................................................. 35 C. Definisi Operasional ............................................................................... 35 D. Subjek Penelitian .................................................................................... 38 E. Metode dan Alat Pengumpulan Data ...................................................... 39 F. Pengujian Alat Ukur................................................................................ 42 G. Metode Analisis Data ............................................................................. 45 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...................................... 46 A. Pelaksanaan Penelitian............................................................................ 46 B. Hasil Penelitian ....................................................................................... 46

  1. Deskripsi Data Penelitian................................................................ 46

  2. Uji Asumsi ...................................................................................... 49

  3. Uji Hipotesis ................................................................................... 51

  C. Pembahasan ............................................................................................ 53

  BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 58 A. Kesimpulan ............................................................................................. 58 B. Saran ....................................................................................................... 58 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 59 LAMPIRAN.......................................................................................................... 63

  

DAFTAR TABEL

  Halaman Tabel I Blue Print Skala Sikap Konsumtif ........................................................... 41 Tabel II Blue Print Skala Sikap Konsumtif Pada Saat Uji Coba .......................... 44 Tabel III Blue Print Nomor Aitem Baru Setelah Uji Coba................................... 44 Tabel IV Deskripsi Data Skor Skala Sikap Konsumtif......................................... 46 Tabel V Deskripsi Data Frekuensi Menonton Sinetron ........................................ 47 Tabel VI Deskripsi Sekolah Subjek ...................................................................... 48 Tabel VII Hasil Uji Normalitas .............................................................................49 Tabel VIII Hasil Uji Linearitas ............................................................................. 50 Tabel IX Hasil Uji Hipotesis................................................................................. 51

  

DAFTAR LAMPIRAN

  Lampiran 1. Surat Keterangan Penelitian ............................................................ 66 Lampiran 2. Skala Uji Coba................................................................................. 67 Lampiran 3. Reliability dan Aitem Total Statistik (Sebelum Pengguguran Item 78 Lampiran 4. Item Total Statistics (Setelah Pengguguran Item) ........................... 80 Lampiran 4. Skala Penelitian ............................................................................... 82 Lampiran 6. Data Penelitian ................................................................................ 91 Lampiran 7. Uji Normalitas dan Linearitas ......................................................... 93 Lampiran 8. Uji Nonparametric Correlations ...................................................... 94 Lampiran 9. Deskripsi Data ................................................................................. 95

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan remaja Indonesia saat ini tidak terpisahkan dari media

  massa. Mereka mendengarkan radio dalam perjalanan menuju sekolah. Mereka juga mengakses internet, membaca tabloid, majalah, koran, serta novel, dan komik. Sepulang dari sekolah mereka menyaksikan beragam acara yang disiarkan di televisi seperti sinetron, reality show, kuis, ataupun infotainment. Terkadamg sambil belajar di kamarnya remaja juga mendengarkan radio dan di akhir pekan mereka pergi menonton film di bioskop bersama teman-teman sebaya mereka.

  Menggunakan dan menikmati beragam media massa memang sudah menjadi bagian hidup sehari-hari para remaja. Mereka takut dikatakan kurang pergaulan apabila tidak mengikuti tren dan beragam informasi yang disajikan oleh media massa. Remaja juga menjadikan media massa sebagai sarana mencari hiburan atau sekedar untuk mengisi waktu senggang sambil mengusir rasa jenuh setelah belajar di sekolah, sehingga tidaklah mengherankan apabila disebagian besar waktunya remaja melaluinya bersama atau dekat dengan beragam media.

  Data yang disampaikan Bauer (2005) mendukung hal tersebut. Ia menulis bahwa di Kanada aktivitas anak-anak dan remaja yang berhubungan dengan media (termasuk TV, radio, internet, dan permainan komputer), mencapai 5,5 jam per hari. Sementara itu menurut data yang dimiliki Dr Sigman, anak-anak di Inggris berusia 11 hingga 15 tahun kini banyak yang menghabiskan hampir dari setengah waktunya dengan menonton TV dan bermain komputer (‘Televisi dan komputer”, 2008). Selanjutnya Santrock (2003) dengan lebih jelas menyatakan bahwa remaja menghabiskan sepertiga atau lebih waktu terjaga mereka dengan beberapa bentuk media massa, baik sebagai fokus utama atau sebagai latar belakang melakukan kegiatan lain.

  Televisi dan radio merupakan media massa yang murah meriah. Remaja tidak perlu mengeluarkan banyak uang, bahkan sama sekali tidak perlu mengeluarkan uang untuk dapat menikmati televisi dan radio. Ini tentu berbeda dengan media massa yang lainnya. Majalah dan tabloid harus dibeli setiap jangka waktu tertentu agar dapat dinikmati, begitu pula dengan novel ataupun menonton film di bioskop.

  Televisi dan radio juga menyuguhkan informasi dan acara yang cukup beragam, seperti acara musik, kuis, film, drama seri, reality show, berita, sampai

  

infotainment; meskipun begitu televisi tampaknya tetap lebih populer

  dibandingkan radio. Penyebabnya sudah pasti karena sifat televisi yang dapat menyajikan informasi secara audio visual. Bentuk informasi audio visual inilah yang menjadi daya tarik khas yang hanya dimiliki oleh televisi. Hal ini sejalan dengan pendapat Wirodono (2006) yang menulis bahwa televisi adalah media yang paling luas dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Jenis media ini, sebagai media audio-visual, tidak membebani banyak syarat bagi masyarakat untuk menikmatinya.

  Remaja sendiri dapat menghabiskan waktu berjam-jam menonton televisi, bahkan Santrock (2003) menyatakan bahwa remaja menonton televisi Beberapa remaja sedikit atau sama sekali tidak menonton televisi, yang lain menonton selama 8 jam sehari. Sementara itu, riset yang dilakukan oleh Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI), waktu menonton TV pada anak Indonesia sangat tinggi, mencapai 30-35 jam seminggu (“Sayang Anak, Sayang Anak….”, 2005). Lebih lanjut data Badan Pusat Statistik tahun 2003 yang dimuat dalam majalah Reader’s Digest Indonesia edisi September 2005, memberikan persentase jumlah anak usia 10 tahun keatas yang menonton TV. Data tersebut menyebutkan bahwa persentase anak usia 10 tahun keatas yang menonton TV pada tahun 1998 mencapai 88,72% dan pada tahun 2000 mencapai 87,97%.

  Penelitian lain yang meneliti kebiasaan menonton pada remaja dilakukan oleh Muizzudin pada tahun 1997. Hasil penelitian yang dapat diakses dari perpustakaan digital ITB ini, memang subjeknya baru terbatas pada 70 orang remaja yang bertempat tinggal di Kabupaten Dati II Blitar. Hasilnya sebanyak 31.43% responden menghabiskan waktu sekitar 2 - 3 jam/hari untuk menonton TV, sebagian besar menonton dalam waktu tak menentu (tergantung acara yang diminati). Pada waktu hari libur lebih dari separuh responden (57.14%) menghabiskan waktu 3 - 4 jam/hari, dengan motif menonton untuk memperoleh hiburan (58.9%). Lembaga survei AGB Nielsen memberi data yang mendukung hasil penelitian Muizzudin. Hasil survei lembaga tersebut yang dapat dilihat dalam AGB Nielsen Newsletter edisi Agustus 2008, dilakukan pada April – Juni 2008 di 10 kota besar di Indonesia dan memperoleh hasil bahwa waktu menonton TV remaja usia 15-19 tahun rata-rata 2 jam 47 menit per harinya, padahal menurut Teresa Orange dan Louise O’Flynn (”Saatnya Diet” , 2008), keduanya praktisi menikmati hiburan layar kaca maksimal dua jam sebagai batasan rata-rata per hari.

  Siaran televisi di Indonesia saat ini diisi oleh TVRI dan 10 stasiun televisi swasta yang mengudara secara nasional. Jumlah tersebut belum temasuk stasiun televisi lokal, seperti Jogja TV dan TATV yang mengudara di wilayah Yogyakarta, Solo, dan sekitarnya, juga Jak-TV dan O-Channel di Jakarta, dan masih banyak lagi yang lainnya. Selama sekitar 20 jam mengudara, sebuah stasiun televisi setidaknya membutuhkan sekitar 25 hingga 30 program acara, di luar acara-acara tayang ulang (Wirodono, 2006). Acara-acara yang disiarkan biasanya terdiri dari acara berita yang bermaksud memenuhi kebutuhan penontonnya akan berbagai informasi, dan acara-acara yang bermaksud menghibur penontonnya, seperti kuis, infotainment, sinetron, film, reality dan talk show, serta acara musik.

  Selanjutnya Wirodono (2006) menjelaskan bahwa acara film (sinetron, film kartun, film impor, maupun drama komedi) mencapai antara 50-60%, jauh lebih tinggi dari lainnya (kecuali di Metro TV, komposisi berita mencapai 50- 60%, dan selebihnya adalah film dokumenter dan talk-show. Penayangan film, khususnya impor, hanya sekitar 3%). Sementara itu survei yang dilakukan oleh AGB Nielsen pada periode 10-16 Desember 2006 untuk mendata 100 program televisi dengan rating tertinggi di Indonesia, menghasilkan temuan bahwa sepuluh peringkat teratas ternyata dihuni oleh tayangan sinetron. Tayangan sinetron (drama series) mendominasi daftar tersebut dengan 43%, sedangkan tayangan berita hanya 2% (“Sinetron Indonesia”, 2006). Data tersebut didukung oleh Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo), seperti yang dilansir mendominasi tayangan televisi, sedangkan, tayangan yang mengandung edukasi hanya 0,07 persen (Nainggolan, 2008) .

  Banyaknya stasiun televisi di Indonesia seperti yang telah disebutkan sebelumnya, tidak menjamin akan munculnya banyak acara yang berkualitas dan beragam. Acara-acara yang saat ini disiarkan oleh stasiun televisi umumnya menggarap tema yang seragam, sehingga menimbulkan kesan bahwa setiap stasiun televisi tidak memiliki ciri khas yang benar-benar membedakannya dari stasiun televisi yang lainnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Wirodono (2006) yang menyatakan bahwa salah satu ciri khas televisi sebagai media adalah persoalan ketidakmatangan media ini. Selanjutnya ia juga menulis tidak adanya karakter yang jelas dan matang pada akhirnya tercermin pada masing-masing stasiun televisi.

  Salah satu contohnya adalah acara reality show yang bertujuan mengorbitkan seseorang menjadi bintang. Sebut saja AFI yang dibuat oleh Indosiar, kemudian diikuti oleh Indonesian Idol dan Saatnya Jadi Idola di RCTI, serta KDI di TPI, Sing Like A Star di Global TV, dan masih banyak lagi acara- acara reality show sejenis yang mengajak pemirsanya untuk berpartisipasi melalui SMS. Begitu pula dengan sinetron. Keberhasilan sebuah sinetron yang ditayangkan di satu stasiun televisi, kemudian akan diikuti oleh stasiun-stasiun televisi lainnya yang ikut menyiarkan sinetron-sinetron bertema sama. Tren sinetron remaja misalnya, saat muncul sebuah sinetron yang mengangkat tema dari rubrik-rubrik majalah remaja atau memakai judul lagu yang sudah lebih dulu tren, maka hampir semua stasiun televisi kemudian akan menayangkan sinetron bertema religi, cerita rakyat, ataupun menyadur dari drama seri luar negeri, maka hampir disetiap stasiun televisi kita dapat menyaksikan sinetron yang juga mengangkat tema-tema tersebut.

  Sinetron Indonesia saat ini menuai banyak kritik dari berbagai kalangan. Salah satu hal yang seringkali dikritik adalah bahwa sinetron seringkali tidak realistis dan berlebihan. Misalnya anak-anak sekolah dalam sinetron seringkali digambarkan menggunakan berbagai aksesoris yang tidak sepantasnya digunakan di sekolah atau berdandan berlebihan seperti akan pergi ke pesta. Anak-anak SMP dan SMA tidak jarang digambarkan membawa mobil mewah atau diantar sopir pribadi ke sekolah.

  Memang sebagian besar sinetron Indonesia menyoroti atau mengangkat tema kehidupan masyarakat kota. Wirodono (2006) juga berpendapat demikian, menurutnya kita bisa melihat problem-problem sosial ataupun kejiwaan yang dimunculkan lewat film-film seri, drama seri, atau sinetron-sinetron (meski yang unggulan sekalipun) lebih sering merupakan problem sosial-psikologis masyarakat kota. Problema masyarakat kota yang sering diangkat oleh sinetron Indonesia selanjutnya memang lebih banyak menyoroti kehidupan masyarakat kelas sosial atas.

  Ada juga beberapa judul sinetron yang sukses menggarap tema kehidupan masyarakat sosial kelas bawah, seperti ‘Si Doel Anak Sekolahan’ dan ‘Bajaj Bajuri’, tetapi pada akhirnya keduanya harus menyerah ketika berbenturan dengan keterbatasan kreativitas sehingga penonton menjadi bosan atau produksinya dihentikan. Menurut Wirodono (2006) hal ini disebabkan setting sosial kelas bawah cenderung dihindari karena tidak diminati oleh pemasang iklan.

  Akibat sering menggarap kehidupan masyarakat kota dan kelas sosial atas, sinetron Indonesia cenderung menampilkan kemewahan. Tokoh dalam sinetron biasanya digambarkan tinggal di rumah atau apartemen mewah, memiliki mobil yang juga mewah, dan mempunyai perusahaan sendiri. Tokoh yang menggunakan pakaian, sepatu, dan tas serba mahal, serta perhiasan berlebihan sudah menjadi pemandangan yang biasa dalam sinetron. Tampaknya memperlihatkan dan mengumbar kemewahan duniawi sudah menjadi salah satu ciri khas sinetron (“Sinetron Berseri”, 2007). Di tengah krisis ekonomi dan politik yang melanda, kemewahan dalam sinetron menjadi hal yang biasa (“Sinetron: rating”, 2001).

  Kehidupan keluarga dalam sinetron digambarkan sebagai keluarga yang kaya raya, figur cantik dan tampan, perusahaan milik keluarga, rumah mewah, mobil mewah, baju mahal, belanja berlebihan, restoran mewah, handphone, merupakan atribut visual yang seolah menjadi keharusan (“Sinetron: rating”, 2001). Nina M Armando, Sekretaris Utama Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) dan Dosen Universitas Indonesia dalam www.entertainment.kompas.com bahkan mengatakan bahwa kapitalistik masih menjadi unsur yang tak pernah lepas dari sinetron. Kenyataan tersebut membuat sinetron seringkali dinilai kurang berkualitas. Sugiyatma dan Wahyuni (2006) mengatakan bahwa tayangan film/sinetron sebagai hiburan kosong dan kurang makna.

  Remaja pun terkena imbasnya. Mereka menjadi terbiasa menyaksikan kehidupan kota besar beserta hingar-bingar dan kemewahannya lewat sinetron, padahal menurut Sinta Indra Astuti, MSi, dosen Unisba Bandung, para remaja dan anak-anak masih sangat rentan terhadap siaran berbagai media, terutama sinetron (”Sinetron Remaja”, 2008). Menurutnya mereka belum memiliki bekal yang cukup untuk mengkritisi sebuah produk seperti sinetron dan gampang meniru setiap adegan yang ada didalam sinetron.

  Sugiyatma dan Wahyuni (2006) mendukung pendapat tersebut dengan menyatakan bahwa tidak mengherankan kalau anak-anak dan remaja sangat mudah meniru apa yang ditayangkan televisi, karena itulah yang disebut modern menurut pandangannya. Begitu pula dengan Lina dan Rosyid (1997), mereka mengatakan bahwa pada kenyataannya banyak dijumpai kecenderungan di kalangan remaja Indonesia untuk meniru gaya hidup mewah, dan sikap yang sedang mewabah di Negara-negara maju.

  Ketika seorang remaja menonton sinetron dan menyaksikan salah satu tokohnya menggunakan handphone keluaran terbaru misalnya, ia mungkin saja menjadi ingin memiliki handphone tersebut dan meminta kepada orang tuanya untuk membelikan, padahal handphone milik remaja itu sendiri masih bisa berfungsi baik. Contoh lainnya ketika remaja menyaksikan tokoh dalam sinetron mengenakan tas dan sepatu mahal model terbaru, maka ia kemudian juga membeli tas dan sepatu yang sama dengan yang dipakai tokoh tersebut agar tidak dikatakan ketinggalan jaman oleh teman-temannya, padahal di rumah ia sudah memiliki 10 buah tas dan 10 pasang sepatu yang masih bagus. Hal ini bisa berlangsung terus

  Perilaku konsumtif seringkali dialami oleh remaja putri. Wahyono (dalam Lina dan Rosyid, 1997) mendukung pernyataan tersebut dengan mengatakan kenyataan menunjukkan bahwa gerakan gaya hidup mewah atau konsumtif ini juga dilakukan oleh kaum muda dan remaja putri. Hasil penelitian Yuliana pada tahun 2006 yang dapat diakses melalui www.library.gunadarma.ac.id juga mendukung hal tersebut. Penelitian tersebut memperoleh hasil bahwa remaja putri memiliki perilaku konsumtif terhadap barang yang berdiskon.

  Perilaku konsumtif yang berlebihan pada remaja bisa mendatangkan berbagai permasalahan. Remaja dapat tumbuh menjadi pribadi yang terbiasa hidup boros dan jauh dari kebiasaan menabung. Perilaku konsumtif juga dapat membuat remaja menjadi materialistik sehingga mereka selalu melihat segala sesuatu dari segi materi saja. Dampak lainnya yang dapat timbul dari perilaku konsumtif disampaikan oleh Tambunan (2008) yang mengatakan bahwa terkadang orang tua sebagai sumber dana, tidak mampu memenuhi tuntutan remaja sehingga masalah ini dapat menjadi masalah ekonomi keluarga.

  Selanjutnya ia juga mengatakan bahwa perilaku konsumtif ini akan terus mengakar dan berkembang menjadi gaya hidup, tetapi bila kemudian tingkat finansial kurang mendukung, maka seseorang tersebut dapat menggunakan cara- cara yang tidak sehat seperti bekerja berlebihan sampai melakukan korupsi. Masih menurut Tambunan (2008) pada akhirnya perilaku konsumtif bukan saja memiliki dampak ekonomi, tapi juga dampak psikologis, sosial, dan etika. Salah satu contohnya adalah meningkatnya angka kriminalitas. Memang menurut Kepala Hendarsono Danuri, kecenderungan motif ekonomi dan budaya konsumtifisme memang saling bertautan memancing praktik kriminal (Kompas, 2008).

  Anggarasari (1997) bahkan mengatakan bahwa sikap hidup konsumtif merupakan salah satu masalah sosial yang cukup serius, sebab akan membawa dampak negatif bagi masyarakat Indonesia.

  Dampak perilaku konsumtif yang demikian kompleks membuat peneliti tertarik untuk meneliti masalah konsumtifitas ini di kalangan remaja dan membuat masalah ini menjadi penting untuk diteliti. Berdasarkan latar belakang tersebut dan melihat makin maraknya perilaku konsumtif di kalangan remaja, maka peneliti tertarik untuk mengetahui apakah ada hubungan antara frekuensi menonton sinetron dengan sikap konsumtif pada remaja.

  B. Rumusan Masalah

  Apakah ada hubungan antara frekuensi menonton sinetron dengan sikap konsumtif pada remaja?

  C. Tujuan Penelitian

  Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan antara frekuensi menonton sinetron dengan sikap konsumtif pada remaja.

  D. Manfaat Penelitian

  Penelitian ini mempunyai dua manfaat, yaitu manfaat yang bersifat teoritis dan manfaat yang bersifat praktis. Kedua manfaat yang dimaksud adalah

  1. Manfaat Teoritis Bagi para peneliti, penelitian ini diharapkan dapat merangsang penelitian baru yang hendak mengkaji topik yang berkaitan dengan media massa televisi dan sikap konsumtif pada remaja, sehingga dapat menambah khasanah ilmu Psikologi terutama Psikologi Media Massa dan Psikologi Konsumen.

  2. Manfaat Praktis Bagi subjek penelitian, hasil penelitian ini kiranya berguna sebagai sumber informasi dan refleksi untuk lebih kritis dalam menyaksikan acara televisi khususnya sinetron, sehingga diharapkan dapat lebih mengontrol sikap konsumtifnya.

  Bagi orang tua dan pendidik, hasil penelitian ini kiranya berguna sebagai sumber informasi untuk membantu mereka lebih memahami dan mendampingi remaja dalam menghadapi berbagai informasi yang disampaikan media massa dan dalam pergaulan remaja sehari-hari.

BAB II LANDASAN TEORI A. SIKAP KONSUMTIF

1. Definisi

  Sikap, menurut Gagne dan Briggs (dalam Aiken, 2002) adalah sebuah keadaan internal yang dapat mempengaruhi pilihan seseorang untuk bereaksi mengenai sesuatu, baik itu objek, orang, maupun kejadian tertentu. Konsumtif sendiri menurut Retno Widiastuti (2003), anggota Pengurus Harian YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) adalah sebuah perilaku yang boros, yang mengkonsumsi barang atau jasa secara berlebihan. Dalam arti yang lebih luas konsumtif adalah perilaku bekonsumsi yang boros dan berlebihan, yang lebih mendahulukan keinginan daripada kebutuhan, serta tidak ada skala prioritas, juga dapat diartikan sebagai gaya hidup yang bermewah-mewah (Widiastuti, 2003). Selanjutnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia juga memberikan batasan konsumtivisme, yaitu kecenderungan manusia untuk menggunakan konsumsi tanpa batas, dan manusia lebih mementingkan faktor keinginan daripada kebutuhan (Mahdalela, dalam Lina dan Rosyid, 1997).

  Sembiring (2007) mendukung pendapat tersebut, menurutnya konsumtivisme merupakan paham untuk hidup secara konsumtif, sehingga orang yang konsumtif dapat dikatakan tidak lagi mempertimbangkan fungsi atau kegunaan ketika membeli barang melainkan membertimbangkan prestise yang melekat pada barang tersebut, oleh karena itu arti kata konsumtif (consumtive) secara berlebihan. Evanita, Afnidarti, dan Armida (tanpa tahun) dalam penelitian mereka yang dipublikasikan melalui situs resmi Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan, menulis bahwa seseorang yang melakukan tindakan dalam bentuk pembelian barang atau jasa tanpa pertimbangan rasional dapat digolongkan orang yang konsumtif dan tindakannya disebut dengan perilaku konsumtif.

  Tambunan (2007) juga memberikan definisi konsumtif. Menurutnya konsumtif lebih khusus menjelaskan keinginan untuk mengkonsumsi barang- barang yang sebenarnya kurang diperlukan secara berlebihan untuk mencapai kepuasan yang maksimal. Ia lebih jauh menerangkan bahwa konsumtif biasanya digunakan untuk menunjuk pada perilaku konsumen yang memanfaatkan nilai uang lebih besar dari nilai produksinya untuk barang dan jasa yang bukan menjadi kebutuhan pokok. Hal senada juga dikemukakan oleh Lina dan Rosyid (1997). Mereka menulis bahwa predikat konsumtif biasanya melekat pada seseorang bila orang tersebut membeli sesuatu diluar kebutuhan yang rasional, sebab pembelian tidak lagi didasarkan pada faktor kebutuhan, tetapi sudah pada taraf keinginan yang berlebihan.

  Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa sikap konsumtif adalah keadaan internal yang dapat mempengaruhi pilihan seseorang untuk berperilaku yang boros dalam arti mengkonsumsi barang atau jasa yang sebenarnya kurang diperlukan secara berlebihan cenderung tanpa batas dan didasarkan pada pertimbangan yang tidak rasional, yaitu untuk memenuhi keinginan dan prestise yang tergambar dari sebuah barang daripada pertimbangan kebutuhan dan kegunaannya, serta tidak ada skala prioritas, juga dapat diartikan sebagai gaya hidup yang bermewah-mewah.

2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Konsumtif

  Tinjauan mengenai perilaku konsumtif perlu ditelusuri melalui pemahaman mengenai perilaku konsumen (Lina dan Rosyid, 1997). Perilaku konsumen sendiri dalam membeli barang sebenarnya dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut menurut Dharmmesta dan Handoko (2000) dapat dibedakan menjadi dua yaitu:

  I. Faktor-faktor lingkungan eksternal faktor-faktor ini terdiri dari: a. Kebudayaan Kebudayaan menurut Stanton (dalam Dharmmesta dan Handoko, 2000) adalah simbol dan fakta yang komplek, yang diciptakan oleh manusia, diturunkan dari generasi ke generasi sebagai penentu dan pengatur perilaku manusia dalam masyarakat yang ada. Kebudayaan yang tercermin dalam cara hidup, kebiasaan, dan tindakan dalam permintaan bermacam-macam barang di pasar sangat mempengaruhi perilaku konsumen (Engel, Kollet, dan Blackwell, 1994). Tidak adanya homogenitas dalam kebudayaan suatu daerah, misal karena banyaknya kolompok etnis, akan membentuk pasar dan peilaku konsumen yang berbeda-beda (Dharmmesta dan Handoko, 2000). b. Kebudayaan khusus Kebudayaan yang khusus ada pada suatu golongan masyarakat yang berbeda dari kebudayaan golongan masyarakat lain maupun kebudayaan seluruh masyarakat, tentu saja mengenai beberapa bagian yang tidak pokok, hal ini dinamakan kebudayaan khusus (subculture) (Dharmmesta dan Handoko, 2000). Menurut Dharmmesta dan Handoko (2000) kebudayaan-kebudayaan khusus ini memainkan peranan penting dalam pembentukan sikap konsumen dan merupakan petunjuk penting mengenai nilai-nilai yang akan dianut oleh seseorang konsumen. Kebudayaan khusus yang berbeda dengan kebudayaan khusus lain akan menyebabkan berbedanya pula perilaku konsumennya.

  c. Kelas sosial Pengertian kelas sosial dalam hal ini adalah sama dengan istilah lapisan sosial, sedangkan lapisan sosial sendiri menurut ahli sosiologi Pitirim A. Sorokin, adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (secara hirarki) (Dharmmesta dan Handoko, 2000). Engel, Kollet, dan Blackwell (1994) mengatakan bahwa keanggotaan seseorang dalam suatu kelas dapat mempengaruhi pola konsumsinya dan sifat kepemilikan produk yang membedakan dengan kelas sosial yang lain. Dharmmesta dan Handoko (2000) mendukung pendapat tersebut, menurut mereka keanggotaan seseorang dalam suatu kelas dapat mempengaruhi perilaku pembeliannya. Lebih perilaku konsumen antara kelas sosial yang satu akan sangat berbeda dengan kelas lain, karena golongan sosial ini menyangkut aspek-aspek sikap yang berbeda-beda.

  d. Kelompok sosial dan kelompok referensi Kelompok-kelompok sosial tersebut adalah kesatuan sosial yang menjadi tempat individu-individu berinteraksi satu sama lain, karena adanya hubungan diantara mereka (Dharmmesta dan Handoko, 2000). Bentuk-bentuk kelompok sosial yang terjadi di dalam masyarakat terdiri dari:

  1) Kelompok yang berhubungan langsung (face to face group) Yaitu kelompok yang anggotanya saling kenal-mengenal secara erat, seperti misalnya keluarga, teman dekat, tetangga, kawan sekerja dan sebagainya, keanggotaannya untuk sebagian besar dipengaruhi oleh jabatannya, tempat kediamannya, dan usia (Dharmmesta dan Handoko, 2000). Menurut Dharmmesta dan Handoko (2000) kelompok ini mempunyai pengaruh langsung terhadap pendapat dan selera orang.

  2) Kelompok primer dan kelompok sekunder (primary groups dan secondary groups) Kelompok-kelompok primer adalah kelompok-kelompok yang ditandai dengan ciri-ciri adanya saling mengenal antara anggota-anggota serta kerja sama yang erat yang bersifat pribadi (Dharmmesta dan Handoko, 2000). Kelompok primer menjadi anggotanya, sedangkan pada kelompok sekunder anggotanya tidak perlu mengenal secara pribadi, meski begitu kelompok sekunder akan tetap memiliki ciri kelompok primer (Dharmmesta dan Handoko, 2000).

  3) Kelompok formal dan informal (formal group dan informal

  group)

  Kelompok formal adalah kelompok-kelompok yang mempunyai peraturan-peraturan yang tegas dan dengan sengaja diciptakan untuk mengatur hubungan antar anggota-anggotanya (Dharmmesta dan Handoko, 2000). Sebaliknya kelompok informal tidak mempunyai struktur dan organisasi tertentu (Dharmmesta dan Handoko, 2000). Kelompok referensi (reference group) adalah kelompok sosial yang menjadi ukuran seseorang (bukan anggota kelompok tersebut) untuk membentuk kepribadian dan perilakunya (Dharmmesta dan Handoko, 2000). Menurut Dharmmesta dan Handoko (2000) kelompok referensi ini juga mempengaruhi perilaku seseorang dalam pembeliannya, dan sering dijadikan pedoman oleh konsumen dalam bertingkah laku. Engel, Kollet, dan Blackwell (1994) sendiri berpendapat bahwa kelompok referensi remaja salah satunya adalah kelompok teman sebaya, dimana tekanan konformitas dari kelompok benar-benar dapat menimbulkan dampak pada keputusan pembelian produk. e. Keluarga Setiap anggota keluarga memiliki selera dan keinginan yang berbeda, meskipun begitu keluarga memainkan peranan terbesar dan terlama dalam pembentukan sikap dan perilaku manusia (Dharmmesta dan Handoko, 2000).

  II. Faktor-faktor internal.

  a. Motivasi Dharmmesta dan Handoko (2000) mengemukakan bahwa motif adalah keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai suatu tujuan. Motif-motif manusia dalam melakukan pembelian terdiri dari:

  1) Motif pembelian primer dan selektif Motif pembelian primer (primary buying motive) adalah motif yang menimbulkan perilaku pembelian terhadap kategori- kategori umum (biasa) pada suatu produk, seperti membeli televisi atau pakaian (Dharmmesta dan Handoko, 2000).

  Sedangkan motif pembelian selektif (selective buying motive) adalah motif yang mempengaruhi keputusan tentang model dan merek dari kelas-kelas produk, atau macam penjual yang dipilih untuk suatu pembelian (Dharmmesta dan Handoko, 2000). 2) Motif rasional dan emosional

  Motif rasional menurut Dharmmesta dan Handoko (2000) adalah motif yang didasarkan pada kenyataan-kenyataan seperti yang ditunjukkan oleh suatu produk kepada konsumen. Berbeda dengan motif rasional, motif emosional adalah motif pembelian yang berkaitan dengan perasaan atau emosi individu, seperti pengungkapan rasa cinta, kebanggaan, kenyamanan, kesehatan, keamanan, dan kepraktisan (Dharmmesta dan Handoko, 2000).

  b. Proses belajar Belajar menurut Dharmmesta dan Handoko (2000) dapat didefinisikan sebagai perubahan-perubahan perilaku yang terjadi sebagai hasil akibat adanya pengalaman. Proses belajar pada suatu pembelian terjadi apabila konsumen ingin menanggapi dan memperoleh suatu kepuasan, atau sebaliknya, tidak terjadi apabila konsumen merasa dikecewakan oleh produk yang kurang baik (Dharmmesta dan Handoko, 2000).

  c. Kepribadian dan konsep diri Dharmmesta dan Handoko (2000) mendefinisikan kepribadian sebagai organisasi dari faktor-faktor biologis, psikologis dan sosiologis yang mendasari perilaku individu. Menurut Hawkin, Coney, dan Bert (1980) kepribadian sangat berpengaruh pada perilaku pengambilan keputusan untuk membeli produk: minuman, mobil, warna pakaian, dan kegiatan yang bersifat rekreasional. Sedangkan konsep diri menurut Theodore M. New Combe (dalam Dharmmesta dan Handoko, 2000) dalam kerangka kehidupannya dalam suatu masyarakat yang menentukan. Dharmmesta dan Handoko (2000) berpendapat konsep diri mempunyai implikasi dan aplikasi (penerapan) yang luas pada perilaku konsumen.

  d. Sikap William G. Nickels (dalam Dharmmesta dan Handoko, 2000) memberikan definisi dari sikap yang diterapkan pada pemasaran sebagai suatu kecenderungan yang dipelajari untuk bereaksi terhadap penawaran produk dalam masalah-masalah yang baik ataupun kurang baik secara konsekuen. Lebih jauh Engel, Kollet, dan Blackwell (1994) menyatakan bahwa sikap merupakan keseluruhan evaluasi atau reaksi perasaan positif dan negatif terhadap suatu produk yang didasarkan pada pengalaman masa lalu, keadaan sekarang, dan harapan di masa datang. Faktor lain yang mempengaruhi perilaku konsumtif disampaikan oleh

  Tuti Indra Fauziansyah (dalam Herawati, 2008) seorang Psikolog dari Iradat Konsultan, yang mengungkapkan bahwa beberapa tahun belakangan ini, yang dibangun oleh pemerintah adalah karakter masyarakat yang materialistis.

  Menurutnya menjamurnya pusat perbelanjaan, kafe, dan tempat hiburan, membuat orang jadi konsumtif, begitu pula perlakuan orang-orang yang terlibat didalamnya. Perlakuan terhadap orang yang dipandang kaya akan berbeda dengan perlakuan yang didapat oleh orang-orang kalangan menengah ataupun bawah.

  Fauziansyah (dalam Herawati, 2008) menambahkan bahwa orang kaya atau istimewa, maka tak heran jika orang berlomba-lomba agar bisa masuk kalangan tersebut, atau paling tidak terlihat demikian.

3. Aspek-Aspek Sikap Konsumtif

  Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa sikap konsumtif adalah keadaan internal yang dapat mempengaruhi pilihan seseorang untuk berperilaku yang boros dalam arti mengkonsumsi barang atau jasa yang sebenarnya kurang diperlukan secara berlebihan cenderung tanpa batas dan didasarkan pada pertimbangan yang tidak rasional, yaitu untuk memenuhi keinginan dan prestise yang tergambar dari sebuah barang daripada pertimbangan kebutuhan dan kegunaannya, serta tidak ada skala prioritas, juga dapat diartikan sebagai gaya hidup yang bermewah-mewah. Berdasarkan definisi tersebut maka dapat terungkap mengenai aspek-aspek sikap konsumtif yang terdiri dari:

  a. Boros Perilaku konsumtif selalu ditandai dengan perilaku boros. Boros dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) didefinisikan sebagai berlebihan memakai, mengeluarkan uang atau barang, tidak hemat.

  Intinya boros adalah berlebih-lebihan dalam mengkonsumsi barang atau jasa yang sebenarnya kurang dibutuhkan atau bahkan tidak dibutuhkan.