Mendengar suara purba di tengah budaya: telaah semiotik atas musik "Daily" karya I Wayan Sadra - USD Repository
MENDENGARKAN SUARA PURBA DI TENGAH BUDAYA
Telaah Semiotik atas Musik “Daily” Karya I Wayan Sadra Tesis
Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Oleh Joko Suranto NIM: 046322007 Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 2009
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Mendengarkan Suara Purba di
Tengah Budaya: Telaah Semiotik atas Musik “Daily” Karya I Wayan Sadra”
merupakan hasil karya dan penelitian saya sendiri. Di dalam tesis ini tidak terdapat karya
yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi.
Peminjaman karya-karya sarjana lain di dalam tesis ini adalah semata-mata untuk
keperluan ilmiah, sebagaimana diacu secara tertulis dalam daftar pustaka.Klaten, 30 Juni 2009 Joko Suranto NIM: 046322007
MOTTO
Orang lupa, apabila pada waktu pagi, ia memandang apa yang akan ia kerjakan.
Sedangkan orang yang berakal, ia melihat (memikirkan) apa yang akan ditetapkan Allah
bagi dirinya. (Syekh Ahmad Atailah)
PERSEMBAHAN
Tesis ini kupersembahkan pada almarhumah istri tercinta, anak-anak kami yang sangat
kami cintai, juga pada dunia pemikiran (ethno)musikologi yang senantiasa bergerak.
KATA PENGANTAR
Tesis ini, sebagai sebuah teks, tidak lepas dari cakrawala pemikiran yang dibentuk
oleh lingkungan ruang dan waktu di mana penulis berada dan berkarya. Untuk itu peran
serta manusia dan kebudayaan di sekitar penulis adalah hal penting bagi lahirnya teks
seperti tesis ini.Ucapan terima kasih pertama kali diucapkan kepada Tuhan yang senantiasa
menjaga di setiap waktu di mana saya berkarya. Tak lupa kepada Pak Nardi selaku
pembimbing utama yang, dengan kesabarannya mau menemani untuk “mencari bersama”
proses kajian musik secara semiotika ini. Juga kepada Mas Djohan Salim selaku
pembimbing pendamping yang memompa spirit penulis untuk segera merampungkan
penulisannya.Kepada almarhumah istri tercinta, Nana Agustina, “Nafasmu masih berasa
menemaniku setiap waktu berkarya, sayang”. Juga kepada anak-anak terkasih, si kembar
Kinnara dan Gitakara, “Gairah hidupku membuncah setiap menatapmu, sayang”. Ucapan
terimakasih juga disampaikan kepada staf akademika Program Pascasarjana IRB-USD
dan teman-teman yang telah menemani untuk menyelami studi Kajian Budaya. Dan
ucapan tak terkira disampaikan kepada Beli Wayan Sadra yang telah berkenan
menyediakan data-data yang dibutuhkan, keluarga besar Syamsu—Mas Dwi, Mas Gono,
Mas Bali, Mbak Tri, Mas Bagong, Mas Prie berikut keluarganya semua—juga Wuk Popi.
Mereka semua telah berjasa mewarnai pemikiran penulis sehingga lahirlah tesis ini
dengan kelebihan dan kekurangannya.Sidowayah, 30 Juni 2009
ABSTRAK
Salah satu yang menarik dari musik kontemporer adalah munculnya keniscayaan
komposer untuk memilih, mencari, atau menemukan cara baru dalam membangun
komposisi musiknya. I Wayan Sadra, sebagai salah satu komposer yang bekerja di
wilayah itu, telah banyak melakukan cara atau pendekatan tersebut hingga melahirkan
karya-karya yang menjadi perbincangan dalam jagat musik kontemporer. Salah satu
karya yang berjudul “Daily” dianggap sebagai milestone, menjadi tonggak sejarah dalam
karya musik multimedia dan mendapat penghargaan bergengsi New Horizons Award dari
International Society for Art, Sciences and Technology di Berkeley California pada tahun
1991.Penelitian ini menganalisis bagaimana cara tersebut beroperasi dan makna apa yang
diproduksi dari karya tersebut. Melalui pendekatan semiotik yang dipadukan dengan teori
dekonstruksi Derrida, penelitian ini menunjukkan bahwa “Daily” tidak menampakkan
adanya jalinan struktur musik yang secara musikologis mengacu pada konvensi-konvensi
musik yang sudah ada, baik tradisional maupun modern. Pengkaburan unsur-unsur
(tanda) musikologis (nada, melodi, jalinan ritme) tersebut pada akhirnya mengacaukan
hubungan sintagmatik dalam struktur karya musiknya. Di sisi lain, pengkaburan tanda-
tanda musikologis ini dengan sendirinya juga menunjukan adanya dekonstruksi atas
struktur komposisi musiknya. Kekacauan sintagmatik dan struktur komposisi “Daily”
yang tidak bisa dinilai dengan ukuran estetika baku ini, berujung pada apa yang disebut
“khaos” atau sublim—semacam fenomena (suara) purba—seperti kerusakan linguistik
yang oleh Jakobson disebut aphasia.Rupanya, momen seperti itulah yang dikehendaki Sadra. Bahwa dengan “mengacaukan”
hubungan sintagmatik maupun paradigmatiknya, ia telah melakukan new configuration
Derridean atau dekomposisi (“teks baru”—Bartesian). Dekomposisi yang dilakukannya
itu telah melahirkan efek pembongkaran pemahaman alat musik gong tidak lagi dimaknai
sebagai sesuatu yang sakral. ”Daily” dengan demikian mengantarkan audiens untuk
bertamasya ke wacana posmodern yang di dalamnya bernaung ruang-ruang pembebasan
hasrat manusia, termasuk pembebasan dari dogmatisme tradisional. Tradisi, bagi Sadra,
hanyalah bahan baku yang senantiasa lentur dan terbuka terhadap berbagai model
pembaruan.Cara bermusik seperti ini, dalam khasanah musik, ditempatkan sebagai karya Concept
Art: ialah karya yang mendasarkan pada konsep sinestesis antar semua cabang seni yang
kemudian dikenal sebagai konsep “indeterminacy” dan “Mixed Media”. Eksistensi musik
seperti ini sering diperolok sebagai karya yang seakan-akan “membiarkan” para pemusik
untuk bertindak semaunya, karena komposer lebih menekankan pelaksanaannya daripada
hasil konkritnya. Namun demikian, karya seperti ini memperlihatkan kepada kita bahwa
sebuah kebudayaan tak pernah diam. Ia menginspirasi hasrat orang untuk mencari hal-hal
baru. Kehadirannya menjadi sangat penting terutama untuk memberi alternatif pilihan
dari dominasi kesenian (musik) pop.DAFTAR ISI
Halaman Judul………………………………………………………………. i Halaman Persetujuan……..………………………………………………… ii Halaman Pengesahan…….………………………………………………… iii Pernyataan…………….……..………………………………………………iv Motto…………………..…….……………………………………………… v Persembahan……………………………………………………………….. vi Lembar Pernyataan Persetujuan Publikasi Karya untuk Kepentingan Akademis…………………………………………….. vii Kata Pengantar…………………………………………………………….. viii Abstrak…………………………………………………………………….. ix Daftar isi………………………………………………………………….… x
BAB I: PENDAHULUAN
1. Latar Belakang……….………………………………………………….. 1
2. Batasan dan Rumusan Masalah…………………………………………. 3
3. Tujuan Penelitian…………….………………………………………….. 5
4. Manfaat Penelitian………………………………………………………. 6
5. Tinjauan Pustaka………………………………………………………… 7
6. Landasan Konseptual……………………………………………………. 9
7. Metode Penelitian……………………………..……………………….. 14
BAB II: SADRA: “BEBASKAN MUSIK DARI BEBAN KULTURNYA”
1. Kesenian Itu Mencakup Semua Media………..……………………….. 17
2. Dari Banjar Menuju Seniman Kosmopolitan…….…………….……… 20
3. Bebaskan Musik dari Beban Kulturnya…………..……………….…… 28
4. Medan Kreatif: dari Idealis hingga Konformis……..………….………. 32
BAB III: KOMPOSISI “DAILY” KOMPOSISI “DAILY” KHAOS, SUBLIM, DAN PURBAWI
1. Fisika Bunyi: Deskripsi Komposisi………………….………………… 39
1.1. Elemen Musikal………………………………….………………... 45
1.2. Elemen Gerak…………………………………….……………….. 46
1.3. Elemen Visual…………………………………….……………….. 47
2. Peran dan Kontribusi Alat dan/atau Media……………..….………….. 49
3. Gramatika Musikal Komposisi Daily……………………..…………… 51
3.1. Mencoba Mencari (Post) Struktur……………………..………….. 53
3.2. Kontribusi Media Memproduksi Makna Concept Art…...………... 61
BAB IV: DEKOMPOSISI, REKOMPOSISI, DAN REKULTURASI GONG DALAM
“DAILY”1. Gong: Pada Mulanya…………………………………………..………. 67
2. Sakralitas (Sakralisasi) Gong………………………………….………. 68
3. Peran dan Fungsi Gong dalam Ensambel………………………..…….. 74
3.1 Pemegang Mat……………………………………………..……74
3.2 Penggiat Ritme…………………………………………….…... 77
3.3 Peranan Melodis…………………………………………….…. 78
2. Dekomposisi atau Rekomposisi Gong………………………………..... 79
3. Rekulturisasi-Demitologisasi Kultur Gong………………………….… 85
BAB V: PENUTUP Penutup………………………………………………………………….… 88 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………... 97
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Musik garapan baru—sering pula disebut dengan istilah musik kontemporer,
musik eksperimental, new age, concept art—telah mendapat tempat tersendiri dalam
diskursus para komponis dan akademisi musik di Indonesia. Ia sekaligus telah menjadi
praktik bermusik “baru” bagi para komponisnya. Di Indonesia, gejala ini muncul
terutama sejak diadakannya even Pekan Komponis Muda yang diprakarsai oleh Dewan
1 Kesenian Jakakarta pada akhir 1970-an . Boleh dikata, inilah era munculnya komponis
yang mempertontonkan praktik garapan musik “baru”, dengan mendasarkan pada
semangat kepenolakan pada kemapanan (tradisi) musik tertentu. I Wayan Sadra, seniman
musik yang bergelut pada dunia musik ini, adalah satu di antara para komponis di
Indonesia yang muncul pada era tersebut dan hingga kini konsisten membuat karya-karya
eksperimental.2 I Wayan Sadra, sebagaimana disebut Dieter Mack , hampir tidak melewatkan
obyek apapun tanpa mengeksplorasikan bunyi-bunyinya. Dalam artian, Sadra memiliki
minat yang kuat atas segala bunyi dan media, tetapi sekaligus dia sangat sadar tentang
implikasi masing-masing sumber itu dan dia selalu mengolah materi itu secara sangat
terkonsentrasi. Bisa saja dia menggarap musik dari batu-batu yang terserak di jalanan,
namun pengolahan bunyi-bunyi itu yang paling penting buat dia. Di sinilah kekayaan
1 Sadra, yaitu mengolah sesuatu yang sederhana menjadi sesuatu yang sangat kaya dan 2 Suka Hardjana, Corat Coret Musik Kontemporer, Dulu dan Kini Sejarah Musik Jilid 4, hal. 559.
bervariasi. Minatnya yang cukup besar pada garapan musik seperti itulah yang kemudian
3 menjadikan karya-karyanya bersifat “mixed media”.
Mixed media, di dalam khasanah musik Barat, sering dianalogkan dengan
karya-karya para pemusik “Fluxus”. Mack menyebut, fluxus merupakan salah satu aliran
yang tak mempunyai batasan estetis tertentu. Bahkan istilah ini justru menggambarkan
cirri khasnya, yaitu sesuatu yang mengalun antar semua kategori, baik yang berhubungan
dengan kategori seni itu sendiri maupun yang berhubungan dengan suatu gaya atau hal-
hal di luar seni. Fluxus mencabut diri dari sebuah pendekatan ilmiah dan rasional, karena
justru pendekatan demikian ini merupakan salah satu sasaran utama yang ingin dibongkar
4 oleh para penganutnya.
Sadra, menurut Mack, adalah salah satu komponis Indonesia yang kerap
menciptakan karya musik secara mixed media. Salah satu karya mixed media Sadra
lainnya yang cukup fenomenal adalah “Daily”. Karya yang menurut dirinya berangkat
dari rasa empati setelah melihat realitas kaum black smith (pembuatan alat musik Gong)
di besalen tersebut, secara embrional telah ditampilkan pada tahun 1994 dengan judul
“Otot Kawat Balung Wesi.”. Karya ini dipentaskan dalam Asian Composer League di
Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Solo. Kemudian, pada even seni Nur Gora Rupa
(1995), komposisi ini diolah ulang menjadi karya yang diberi judul “Gong Seret.” Dan
selanjutnya, secara berturut-turut karya ini pernah dipentas-ulangkan di beberapa even
musik di Indonesia. Di antaranya—setelah diolahkembangkan menjadi karya berjudul
“Kesibukan Mengamati Batu-batu Dari Balik Pintu”—karya ini dipentaskan di Taman
3 Ismail Marzuki (Jakarta) pada tahun 1996. Pada pementasan waktu itu, Sadra 4 Ibid. hal 260.Ibid, hal 249.
berkolaborasi dengan teaterawan Afrizal Malna. Empat tahun kemudian, komposisi yang
memiliki pendekatan dan cara ungkap seperti yang dilakukan oleh para penganut mixed
media yang fenomenal dalam jagat musik posmodern itu, juga dimainkan pada acara
Sacred Rhythm di Denpasar; dan terakhir—setelah diadaptasikan dengan konteks yang
berbeda hingga kemudian diberi judul “Daily”—karya yang hendak dipakai untuk
membongkar mitos (gamelan) Gong ini dipentaskan di acara Art Summit IV pada tahun
2004 di Jakarta.Sadra memulai karir musiknya sejak kecil di dunia karawitan Bali. Setelah
merampungkan studinya di Sekolah Konservatori Karawitan di Denpasar Bali, dia
melanjutkan kuliah di Jurusan Seni Rupa, Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta -
Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Namun sebelum merampungkan studinya di IKJ, Sadra
diminta untuk mengajar mata kuliah Karwitan Bali di Akademi Seni Karawitan Indonesia
(ASKI) Surakarta. Pada saat yang sama, Sadra menempuh studi kesarjanaan di jurusan
tempat ia mengajar tersebut. Di sinilah Sadra bukan saja menguasai karawitan Bali, tetapi
juga mahir memainkan Karawitan Jawa, bahkan beberapa jenis musik lainnya. Peristiwa
ini telah melapangkan proses kreatif Sadra yang menghasilkan muara pencapaian karya-
karya eksperimental yang kerap mendekonstruksi latar belakang (budaya) musik
sebelumnya. Di level ini, Sadra, selanjutnya acap disebut sebagai komponis postmodern
di Indonesia. Lantas, apa ciri-ciri kecenderungan dekonstruktif dalam karya musiknya?
Bagaimana pendekatannya? Bagaimana kepenolakan Sadra terhadap budaya (tradisi)
musik tertentu lewat karya gubahannya? Pesan apa yang hendak disampaikan melalui
karyanya itu? Pertanyaan-pertanyaan tersebut mendasari penelitian untuk penulisan thesis
ini.2. Batasan dan Rumusan Masalah
Persoalan musik eksperimental, lebih khusus lagi yang beraliran mixed media
atau fluxus, teramat kompleks permasalahannya. Mencoba untuk mendefinisikan saja,
sebenarnya sudah bertentangan dengan sifat dasarnya, yang oleh para penganutnya
ditolak untuk didekati dengan pendekatan ilmiah dan rasional lantaran, justru pendekatan
itulah yang terutama hendak dibongkar olehnya. Karena itu, untuk tidak terjebak pada
wacana peristilahan (definitif), maka pembahasan tentangnya akan fokus pada praktik
musik yang dilakukan oleh komponis I Wayan Sadra, yang oleh banyak
pengamat/kritikus dipandang mewakili aliran musik tersebut. Pembahasan ini terutama
dengan cara melakukan operasi atas salah satu karyanya yang berjudul: “Daily”.Komposisi “Daily”, menurut Sadra, secara konseptual merupakan bentuk
kritisisme atas mitos (alat musik) Gong—yang demikian diagungkan dalam tradisi musik
gamelan di Jawa—yang, seturutnya sangat ironis dengan realitas pada saat pembuatannya
di besalen (dapur pembuatan gamelan). Menurut Sadra, impresi awalnya adalah rasa
kagum atas realitas tempat pembuatan gamelan tersebut. Namun, setelah secara berkala
Sadra mengunjungi besalen itu, Sadra mendapati sesuatu yang mengubah persepsinya.
Keindahan yang romantis berubah menjadi potret kelabu tentang nasib para pekerjanya.
Di situ, realitas yang paling dominan di matanya adalah para pekerja yang setiap hari
begitu banyak mengeluarkan peluh dan tenaga; ruangan bengkel penuh debu yang setiap
detik menyerang paru-paru; cipratan material panas yang sanggup melepuhkan kulit;
juga, ketiadaan jaminan kesehatan kerja! Sebuah medan perjuangan untuk sekadar
mempertaruhkan kebutuhan hidup sehari-hari. Sama sekali tidak ada aura wingit, mitos
dan magi seperti yang dikatakan orang. Terlebih ketika Sadra mengikuti upacara
Selamatan Gong yang dimaksudkan untuk memohon berkah dan keselamatan
pemesannya yang dilakukan oleh seorang penari spiritual, Suprapto Suryodarmo. Dari
pengamatannya atas upacara ini Sadra sampai pada kesimpulan bahwa sesaji dan piranti
ritus hanya disikapi dengan kegembiraan asumsi tunggal yang melahirkan bentuk-bentuk
penghalusan yang diciptakan pada saat Gong berpindah tangan ke kaum “kuat”:
saudagar, calo, pejabat atau birokrat yang merangkap bakul (penjual). Di sini, mitos
5 berpendar-pendar menjadi nilai jual yang mahal.
“Daily” merupakan komposisi yang dibangun dari beberapa alat musik Gong,
gergaji berukuran besar, plat baja, lempeng (panel) baja yang dipanaskan, dan hampir
seratusan butir telur. Gong dimainkan dengan cara diseret di atas lantai (alas) panggung,
dan dipukul oleh para pemain dengan tidak secara lazimnya memukul alat musik
tersebut; gergaji digesek dan dipukul dengan tongkat besi; puluha telur dilemparkan ke
lempeng baja yang dipanaskan.Dengan memfokuskan pada karya komposisi “Daily” yang dimaksudkan oleh
sang komposer sebagai satu untuk melakukan upaya demitologi alat musik Gong,
selanjutnya bisa dirumuskan permasalahannya seperti berikut:1. Bagaimana struktur (semiotikk) komposisi “Daily” karya I Wayan Sadra?
2. Bagaimana peran dan kontribusi media-media yang digunakan dalam karya tersebut?
3. Bagaimana Gong didekomposisi dan direkomposisi dalam “Daily”?
5 Wawancara kepada Sadra.
3. Tujuan Penelitian
1. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan semua unsur (tanda) dalam komposisi “Daily”, baik secara (bunyi) musikal, visual, maupun gerak yang dilakukan oleh para pemainnya.
2. Di samping itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mencari struktur komposisi “Daily” serta menunjukkan peran yang dihadirkan oleh alat atau media-media yang digunakan, baik yang berupa material bunyi, visual, maupun gerak pemainnya.
3. Dan dari dua temuan tersebut, tujuan selanjutnya adalah untuk mengetahui dan mendiskripsikan makna komposisi musik tersebut. Darinya diharapkan akan terungkap juga referensi, dasar-dasar pijakan karya (resources), gaya dan atau aliran musikal, serta penerapan metode penciptaan yang didedahkan oleh I Wayan Sadra.
4. Manfaat Penelitian
1. Dari kajian pembacaan atas “teks” komposisi musik tersebut, hasilnya diharapkan akan banyak manfaatnya untuk pengembangan studi semiotika, terutama kajian semiotik non linguistik (semiology), yaitu: musik—sebuah obyek (korpus) yang secara substansi homogen, namun dalam kasus “Daily”, sekaligus bersifat heterogen lantaran sifatnya yang mixed media. “Daily” memang sebaiknya tidak cukup ‘dinikmati’ secara audial, lantaran di dalamnya juga melingkupi aspek warna (visual) dan mode (pakaian), bahkan aroma (bau).
2. Selain itu, penelitian ini tentu juga diharapkan sangat bermanfaat bagi pengembangan studi Kajian Budaya, terutama bagi yang hendak mengembangkan minatnya pada studi musik kontemporer yang pendekatan kompositoriknya cenderung personal, subversif, atau melawan arus utama kesenian yang menjadi tradisinya.
5. Tinjauan Pustaka Penilitian tentang musik kontemporer masih cukup jarang dilakukan oleh para
peneliti kesenian, terlebih yang menggunakan pendekatan teori semiotik. Sungguhpun
beberapa buku tentang semiotika telah mencoba mendiskusikan persoalan semiotika
musik, namun perdebatan tentang material (obyek musik) yang hendak dibaca secara
6 semiotik masih kerap dijumpai.
Penelitian ini tidak dimaksudkan untuk semakin meramaikan perdebatan
wacana tersebut, melainkan justru ingin langsung mempraktikkan teori tersebut untuk
melihat fenomena musik. Karenanya buku-buku teori semiotik sangat dibutuhkan sebagai
pijakan untuk operasionalnya.Jean Jacques Nattiez, dengan bukunya Music and Discourse: Toward a
Semiology of Music , selain membahas basis teori semiologi, fokus studinya tentang
semiologi musik sangat membantu, setidaknya untuk melihat dan memulai untuk
memparktikkan prosedur atau cara membaca musik secara semiotik: Bagaimana status
suara sebagai obyek semiotik (obyek dari sebuah analisa musik)? Bagaimana maknanya?
6 Dan, bagaimana musik mengonstruksi dan mengorganisasi bunyi dalam komposisinya?Winfried Noth, Handbook of Semiotics, hal. 429-434
Memang seperti yang ditulis oleh Winfried Noth dalam Handbook of Semiotics,
penelitian tentang semiotika musik masih sering diperdebatkan. Dan eksplanasi Noth,
yang lebih merupakan bunga rampai kajian semiotika di hampir seluruh bidang kajian
(iklan, seni rupa, film, gerak/tari, dst.), menjadi penting terutama untuk melihat
perdebatan semiotika musik tersebut. Darinya justru bisa diambil “celah” di mana
penelitian ini akan masuk, dan dari mana pendekatan semiotika ini akan dioperasikan.Buku Semiotika Negativa sangat penting terutama untuk menentukan langkah
atau metode analisis semiotik dari momen ilmiah Saussurean menuju analisis tekstual
pos-Saussurean. Bahasan semiotika Barthesian di dalam buku karangan ST. Sunardi ini
sangat membantu untuk memulai memasuki wilayah bahasa “baru”, after the fact—
Sebuah wilayah yang menurut ST. Sunardi bisa dipakai untuk memasuk diskusi tentang
hubungan antara modern dan posmodern.Sementara, tulisan Rustopo berjudul Panggah dan Sadra, Anak Desa yang menjadi Komponis Dunia cukup penting terutama untuk melihat perjalanan karir Sadra
semasa menekuni dunia musik (karawitan) di bangku sekolah konservatori dan akademi
seni. Naskah ini lebih merupakan laporan (sejarah) deskriptip, tapi justru dari tulisan
itulah persoalan-persoalan yang tersembunyi di balik peristiwa (beyond) musik yang
dibuatnya itu niscaya akan terkuak. Dengan mengeksplorasi beberapa naskah lain, seperti
Corat Coret Musik Kontemporer: Dulu dan Kini karya Suka Hardjana, juga buku Sejarah
Musik Jilid 3 dan Sejarah Musik Jilid 4 karya Dieter Mack, penelitian ini akan menelusup
pada persoalan kajian musik baik dalam skope intra maupun ekstra musikal yang jarang
diteliti oleh para peneliti sebelumnya. Yaitu, kajian musik yang mentransliterasikan
struktur material bunyi menjadi bahasa sebagai basis operasionalnya.6. Landasan Konseptual
Fenomena munculnya fluxus, mixed media (termasuk juga new age, happening
art, postminimalism, world music, sound art, cross culture ) beriringan dengan kehadiran
7
posmodernisme dalam dunia sastra. Gejala tersebut merupakan bias dari teori-teori
sosial postmodernisme yang berkembang pada era itu. Jika dikaitkan dengan sejarah
musik modern dalam dunia musik Barat—yang telah memiliki hukum-hukum (struktur)
tetap, beserta perkembangannya yang ditandai dengan munculnya beragam gaya, corak,
aliran, baik yang mengacu pada struktur maupun jaman (era) di mana (gaya) musik itu
muncul (seperti: gaya dan atau era musik klasik, romantik, barock, reanaisance hingga
kemunculan istilah musik modern itu sendiri}—sinyalemen itu relevan, sebab dengan
adanya konstruks dalam musik modern, dengan sendirinya memungkinkan untuk
“dibongkar” sebagaimana yang terjadi dalam posmodernisme (post-strukturalisme).Istilah “dekonstruksi” yang muncul dalam posmodernisme kemudian acap
dipakai seniman musik dengan melahirkan karya-karya di atas. I Wayan Sadra, dalam
berbagai kesempatan, sering mengaskan bahwa karya musiknya selalu berangkat dari
jargon: “Bebaskan musik dari beban kulturalnya”. Jargon ini bukan saja mendekonstruksi
strukturnya, melainkan juga membongkar dimensi kultur musik itu sendiri. Dengan kata
lain, konsep “membebaskan” bagi Sadra bukan hanya untuk menolak konstruksi material
musik modern, tetapi juga menolak kultur (ekstra-musikal) yang membelenggu
kreativitas bermusik. Seperti terlihat dalam salah satu konsep karyanya yang berjudul
“Gong Seret”. Di sini, Gong secara struktural (musik) sudah tidak lagi berperan untuk
mengakhiri sebuah “bentuk” gending, sebagaimana struktur (pakem) gending yang terjadi
7dalam karawitan Jawa. Dan, cara memainkannya pun tidak lagi dipukul secara digantung,
Dieter Mack, Sejarah Musik Jilid 3, hal 271.
tapi diseret di lantai, dan dipukul dengan tangan secara langsung untuk menjalin
komposisinya. Di sinilah Sadra, selain mendobrak struktur, ia juga “menghancurkan”, ia
mendemitologisasikan kultur Gong yang, setidaknya bagi masyarakat Jawa acap
8 dianggap sebagai sesuatu yang sakral.
Dengan menggunkan konsep dekonstruksi Derrida, penelitian ini hendak
mengkaji adakah “pendobrakan” Sadra atas (teks) kultur Gong merupakan usaha
sebagaimana dekonstruksi Derrida yang berusaha memperlihatkan tumbangnya hierarki
konseptual yang menstukturkan sebuah teks. Dengan kata lain, lewat dekonstruksi,
sebuah teks tak lagi merupakan tatanan makna yang utuh, melainkan sebuah pergulatan
9
antara upaya penataan dan khaos. Derrida dalam hal ini memperkenalkan konsep “New
Configuration” sebagai jalan dekonstruksi dalam menemukan bentuknya.Dengan melihat musik modern yang telah memiliki struktur (hukum) musik
yang pakem (nada, struktur melodi, harmoni, irama, warna nada, dan seterusnya), dengan
demikian bisa dipastikan bahwa musik telah memiliki gramatika yang jelas sebagaimana
gramatika dalam ilmu bahasa. Di sinilah teori posmodernisme itu kemudian dipakai
untuk mendekonstruksi struktur tersebut.Karya musik I Wayan Sadra cukup representatif untuk memulai diskusi tentang
musik posmodern. Musik ini, selain asing di telinga awam, pengertiannya pun kerap
beragam. Ia bisa dikaji secara material musik, sekaligus aspek ekstra-musikalnya. Dari
sini kita bisa melihat bahwa karya musik Sadra telah menunjukkan dua arti sekaligus:
aliran (suatu kesatuan ide, characteristic of present) dan era (time frame).8 9 Wawancara dengan Sadra I Bambang Sugiharto, Posmodernisme, Tantangan bagi Filsafat, hal. 46.
Di sisi lain, karya seperti ini juga tidak dapat dipisahkan dari sejarah musik
diatonis Barat (musik seni, musik klasik, atau apapun padanannya). Dan ini tidak sekadar
berhubungan dengan kurun waktu, namun menunjuk pada gaya atau aliran-aliran yang
spesifik: dari musik-musik abad ke 20 atau sejak masa emansipasi disonan (ada juga yang
berpendapat sejak impressionisme), lalu liberasi bunyi paska PD II, hingga trend
munculnya new age, happening art, posminimalis, world music, sound art, cross
culture —entah dalam satuan-satuan ide yang masih berujud gerakan maupun yang sudah
terkulminasi menjadi gaya atau aliran. Dari pandangan ini, Arnold Schoenberg, Bella
Bartok, Igor Stravisky, Philip Corner, Philip Glass, John Adams, Sinakagawa, Abdul
Syukur atau I Wayan Sadra dikategorikan sebagai komponis-komponis yang berhaluan
10 liberasi bunyi tersebut.
Perdebatan yang muncul dalam postmodern adalah bahwa gejala
posmodernisme (termasuk yang terjadi di jagat musik) dianggap telah mengobarkan
semangat anything goes (apapun boleh-boleh saja), penganjur “relativisme” yang
ekstrem, terlalu permisif, membiarkan dan membenarkan apa saja. Di sisi lain,
dekonstruksi yang dirayakan posmodernisme juga kerap dituduh serba negatif,
menghancurkan yang sudah ada, bersikap nihilistik, atau melumpuhkan perjuangan yang
11 mulia.
Sebaliknya, kalangan yang sepaham dengannya melihat postmodernisme
membuka berbagai kemungkinan yang semula tidak masuk akal, mustahil atau tabu. Ia
pejuang keterbukaan yang radikal. Dalam bahasa Ariel Heryato, postmodernisme
10bagaikan bunyi sebuah puisi ketimbang instruksi militer atau resep makanan. Puisi,
11 Gong, edisi 64/VI/2004.Kalam, edisi I/1994.
seturut Ariel, membentangkan kemungkinan makna-makana dan terbuka pada
pembaca(an) yang bermacam-macam. Banyak puisi yang “bagus” bersifat ambigu, serba
menantang pembacaan yanga aktif dan bisa membingungkan. Tapi ini tidak berarti semua
teks yang membingungkan dan penuh ambiguitas-seperti ramalan lotre nasional- dengan
sendirinya adalah puisi yang “bagus”. Dalam dunia postmodern persoalannya bukan pada
mana yang “salah” dan “benar” atau mana yang “bagus” dan “buruk”, tapi bagaimana
12 karya itu membentangkan makna yang terbuka.
Penelitian ini lebih merupakan studi tekstual atas karya musik I Wayan Sadra.
Dan pendekatan tekstual ini akan dilakukan dengan “membaca” secara semiotik atas
karyanya. Pendekatan semiotika musik memang masih rawan debat, misalnya terhadap
pertanyaan-pertanyaan seperti: Bagaimana musik menghadirkan makna bagi
penikmatnya (audiens)? Apakah “bunyi” bisa dipelajari sebagai “tanda”, “komposisi”
sebagai “pesan”, dan “musik” sebagai sebuah “sistem semiotik”—sebagaimana pernah
13 diperdebatkan oleh Benveniste dan Ruwet —sehingga bisa digali maknanya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut telah lama menjadi perdebatan dalam diskursus
studi semiotika, karena “sistem tanda” dalam musik itu non linguistik, tidak juga visual.
Lebih dari itu, musik juga mensyaratkan prosedur yang membuat musik itu ada (baca:
score [partitur] dan kehadiran bunyinya). Apakah dengan demikian musik tidak bisa
diperiksa maknanya secara semiotik?14 Jean-Jacques Nattiez mengemukakan, memang musik bukan sekadar seperti
“teks” (bahasa), bukan juga sekadar struktur komposisi bunyi. Tetapi, ia tetap
12merangsang aksi penafsirkan. Dengan demikian, dengan melihat sistem semiotik
13 Ibid, hal 84. 14 Winfried Noth, hal 429.Music and Discourse: Toward A Semiology of Music, hal. Ix.
Saussurean, yang mengandaikan “tanda” bisa berupa apapun (termasuk fenomena/citra
bunyi), maka makna musik sebenarnya bisa dilihat dari bagaimana musik
mengkonstruksi dan mengorganisir nada dalam komposisinya. Barthes—yang
mengembangkan ide Saussure yang telah disempurnakan Hjelemslev dalam memeriksa
tanda non linguistik dengan memformulasikan significatioan sebagai hubungan (relation)
antara ungkapan (expression) dan isi (content)—menyejajarkan expression dengan
15 signifier, dan content dengan signified.
Jika teori-teori tersebut dipakai untuk memeriksa komposisi musik, maka—
16
sebagaimana disebutkan Eco —susunan nada (juga irama, pola ritme, warna nada, dst.)
adalah signifier, sedangkan keseluruhan komposisi (isi) adalah signified. Signification
tergantung pada hubungan antara signifier dan signified-nya. Namun karena struktur
“bahasa” musik adalah struktur non linguistik (nada, warna nada, kontur melodi,
harmoni, irama, pola ritme dan seluruh material musiknya terbaca lewat bunyi), maka
transfer of meaning barangkali hanya terjadi pada audiens yang telah mengalamiinternalisasi bunyi dan telah menstruktur dalam ingatan kolektif pemusik dan audiensnya.
Pandemen musik gamelan Jawa, misalnya, dengan mudah menyebut gending ketawang
hanya dengan mendengar pola ritme suara kendangnya. Kenapa demikian, sebab
pandemen tersebut sudah mengalami internalisasi bunyi kendang dalam gending
ketawang yang telah mempunyai struktur yang tetap. Begitupun para pecinta musik-
musik konvensional pada umumnya. Fenomena seperti inilah yang kemudian
memproduksi pola hubungan paradigmatik yang muncul dalam serangkaian hubungan
15 sintagmatiknya sendiri. 16 ST. Sunardi, Semiotika Negativa, hal. 71-72.A Theory of Semiotic, hal. 86-88.
7. Metode Penelitian
Seperti telah dijelaskan dalam landasan teoritisnya, penelitian ini lebih
merupakan studi semiotik “tingkat lanjut” (negatife) atas karya musik I Wayan Sadra.
Semiotika negatife tidak sekedar merekonstruksi struktur atau sistem signifikasi obyek
yang sedang diperiksa, melainkan tulisan. Untuknya, seperti disebut Barthes dalam St.