Mengapa Seseorang dapat Berubah Menjadi

Mengapa Seseorang dapat Berubah Menjadi Penghina di Media Sosial?
Analisis Mengenai Perubahan Kepribadian dalam Berinteraksi di Media Sosial
Diana Putri Arini
Magister Sains Psikologi Universitas Gadjah Mada
Abstrak
Pada satu dekade ini telah banyak kasus penghinaan di media sosial yang masuk ke
dalam ranah hukum. Penghina merupakan orang yang tidak disangka, mereka
melakukan penghinaan di media sosial bukan karena tujuan yang lebih spesifik
seperti melakukan kudeta atau menjatuhkan martabat orang lain. Dalam artikel ini
berusaha menjelaskan bagaimana interaksi di media sosial dapat mengubah
kepribadian seseorang. Dari hasil penjabaran teori dan penelitian sebelumnya
kepribadian pengguna internet dapat kontras di dunia nyata karena menganggap dunia
maya sebagai tempat aman mengekspresikan diri. Sehingga tanggung jawab pribadi
terhadap diri sendiri menjadi kabur.
Kata kunci: kepribadian, interaksi di media sosial, dunia maya
Latar belakang masalah
Data dari kemenkominfo menyebutkan pengguna internet di Indonesia
mencapai 63 juta jiwa, 95% menggunakan internet untuk melakukan aktivitas media
sosial. Salah satu media sosial yaitu twitter sangat terkenal di Indonesia, survei
menyebutkan Indonesia sebagai pengguna twitter terbesar ke 5 di duna setelah US,
Brazil, Jepang dan Inggris (kominfo.go.id). Sosial media menjadi salah satu bagian

dari gaya hidup masyarakat saat ini bukan hanya untuk keperluan bersosilisasi,
namun juga melakukan transaksi jual beli, mengekspresikan diri dan pendapat.
Sayangnya, kominfo melaporkan mayoritas pengguna media sosial (medsos) di

Indonesia menggunakan medsos bukan untuk keperluan produktif. Konsumen di
Indonesia sering mengunggah status di facebook dan twitter (kominfo.go.id.).
Media sosial memberikan wadah pada siapapun untuk mengekspresikan diri
dan memberikan kesempatan pada setiap orang untuk berkreasi. Namun kemudahan
medsos ini disalahgunakan oleh para oknum pengguna medsos. Status tidak dikenal
atau anymous membuat seseorang bebas mengekspresikan diri tanpa memikirkan
konsekuensi apa yang dilakukan, termasuk menghina atau menyebarkan fitnah pada
orang lain.
UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) No. 11 tahun 2008 pada pasal
27 ayat 3 menyebutkan “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”Sanksi pidana bagi yang melakukan
pasal 27 ayat 3 diatur di Pasal 45 ayat 1: Setiap Orang yang memenuhi unsur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling

banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Berdasarkan Undang-undang tersebut, mengunggah kiriman berisi penghinaan
atau pencemaran nama baik seseorang merupakan perbuatan kriminal. Telah banyak
kasus penghinaan di media sosial dilaporkan ke ranah pidana. Pada tahun 2014,
publik dikejutkan dengan tertangkapnya pemuda berprofesi tukang tusuk daging sate
yang telah merekayasa gambar bermuatan pornografi antara Joko Widodo dan
Megawati (m.tempo.com). Pelaku tidak memiliki alasan kuat menyebarkan berita
fitnah bernuansa pornografi. Pelaku tidak memiliki pemikiran untuk melakukan
revolusi atau semacam kudeta untuk menentang pemerintah.
Di tahun 2016, publik kembali dikejutkan dengan syembara mencari hater
yang dilakukan artis bernama Deddy Corbuizer. Deddy Corbuizer menyewa IT dan

melaporkan kiriman berisi penghinaan dan sara ke polisi, akhirnya pelaku yang
berasal dari Jambi ditangkap dan dibawa ke Jakarta. Pelaku berinisial A mengaku
tidak punya kebencian terhadap orang yang dihinanya, hal yang dia lakukan hanya
untuk mencari perhatian artis yang disukainya (tribunnews.com).
Kiriman mengenai kebencian terhadap seseorang, kelompok atau agama
tertentu seringkali ditemukan di media sosial, malah kelompok penghina ini
membuat suatu forum tersendiri agar dapat menghina orang yang tidak disukainya
secara massal. Banyak orang yang tidak menyangka, sosok yang keseharian tampak

santun dan terpelajar dapat menghina orang lain. Brooks (2015) melaporkan
penelitiannya bahwa perilaku seseorang berinteraksi di media sosial tidak sama
dengan perilaku pada umumnya yang nampak dalam keseharian.
Apa yang membuat perilaku seseorang di media sosial dan di dunia nyata
pada kesehariannya tidak sama? Apa yang membuat seseorang berani menyebarkan
kebencian, fitnah dan hinaan pada orang lain bahkan orang lain yang tidak dikenalnya
sama sekali? makalah ini berusaha menjelaskan mengapa perilaku seseorang berbeda
ketika berinteraksi di media sosial.
Efek Perubahan Prilaku
Ketika berada di dunia nyata untuk berinteraksi dengan orang lain kita
dibekali oleh norma-norma sosial. Kita akan berpikir ulang mengenai perilaku dan
ucapan kita apakah pantas .atau tidak. Ketika di dunia maya, kita menjadi ‘anymous’
menghilangkan tanggung jawab mengenai diri kita sendiri saat berinteraksi dengan
orang lain. Suller (2003) menjelaskan alasan seseorang mampu melepaskan hambatan
psikologis saat berinteraksi yaitu dissociative anonymity, ketika berinteraksi di dunia
maya sebagian besar orang hanya mengetahui identitas seseorang berdasarkan data
yang ditampilkan di media sosial. Data tersebut bisa saja data fiktif, seseorang bisa
menyembunikan identitas aslinya dengan memiliki nama yang bukan nama
sebenarnya. Dengan menjadi identitas yang bukan sebenarnya, seseorang dapat


memisahkan identitas asli mereka dan di dunia nyata dan identitas fiktif mereka.
Ketika mengunggah pesan hinaan, seseorang dengan identitas fiktif akan kehilangan
tanggung jawab atas tindakan yang telah dilakukan. Bahkan pelaku menyakini diri
bahwa identitas fiktif bukanlah bagian dari diri mereka. Dalam psikologi, fenomena
ini disebut disosiasi.
Alasan kedua adalah invisibility, di dalam dunia maya orang lain di media
sosial tidak dapat melihat pengguna secara langsung atau mengetahui apa yang dia
lakukan dan dimana keberadaannya saat ini. Ketika berinteraksi di dunia nyata, gestur
tubuh, ekspresi dan intonasi suara akan menentukan suasana perasaan orang lain.
Namun di media sosial, kita tidak melihat ekspresi orang lain apakah mereka sedang
cemberut, bosan, menunjukkan gestur ketidak setujuan atau ketidakpedulian
mengenai apa yang anda tuangkan dalam pikiran.
Alasan ketiga adalah asynchronicity, ketika berinteraksi di dunia nyata
perilaku yang kita lakukan akan mendapatkan umpan balik secara langsung saat itu
juga, hal ini berbeda dengan kejadian di media sosial. Interaksi di media sosial tidak
berlangsung saat ini juga. pengguna internet bisa membalas pesan atau menambah
komentar beberapa menit, jam, hari atau berbulan-bulan setelah kiriman itu
ditampilkan di medsos. Di saat munculnya konflik di media sosial, karena pendapat
kita diserang orang lain, anda dapat mengabaikan pesan tersebut atau menghapus
pesan tersebut. Fenomena ini seakan melarikan diri dari kenyataan, para terapis

online menyebutkan fenomena ini sebagai hit and run.
Suller (2003) menganologikan media sosial seakan menawarkan tempat perlindungan
yang aman penuh dengan mimpi-mimpi pengguna. Apakah kiriman yang ditulis seseorang
dan disebarkan di dunia maya merupakan kejadian sebenarnya? Kemungkinan bisa tidak,
bisa saja apa yang dituliskan oleh pengguna merupakan hanyalah fantasi atau isi pikirannya
saja. Suller menyebutkannya sebagai solipsistic introjections. Ketika melihat teks yang akan
ditulis dan disebarkan, seseorang telah melakukan transferensi untuk menyajikan dirinya
melalui komunikasi teks. Transferens merupakan konsep dari psikoanalitik mengacu pada

perasaan seksual yang kuat atau agresif baik positif maupun negatif yang berangkat dari masa
lalu (Feist & Feist, 2013). Di konteks sosial media dapat dipahami transferensi adalah
kecenderungan pengguna untuk memproyeksikan keinginan, fantasi, ketakutan ke sosok yang
ambigu di dunia maya (Suller, 2003). Kiriman berisi perdebatan dengan atasan, fantasi
mengenai seksual atau secara jujur menceritakan apa yang dirasakan kepada seorang teman.
Di dalam imajinasi pengguna, apa yang mereka tuliskan tidak akan diketahui orang lain dan
merasa aman mengekspresikan diri, mereka merasa bebas mengatakan segala macam hal
yang tidak dapat diucapkan dalam kenyataan.
Ketika ditanya apa yang membuat tersangka A pada kasus pencemaran nama baik
yang dilaporkan Deddy Corbuizer, A menjawab hanya sekedar bercanda. Alasan ini disebut
Suller sebagai it’s just a game. Buckless. Trappnels & Paulhus (2014) melaporkan pengguna

internet menghina orang lain di media sosial hanya untuk candaan atau bersenang-senang
saja. Di dalam dunia maya, pengguna seakan dapat melampaui hukum ruang dan fisika hanya
sekali dalam mengklik tombol. Beberapa orang menganggap media sosial adalah permainan,
interaksinya tidak sama dengan dunia nyata. Seperti fenomena yang dilakukan A ketika
mengirim pesan berisi penghinaan dan SARA, setelah mereka meninggalkan media sosial,
mereka akan kembali lagi ke rutinitas sehari-hari dan menganggap apa yang telah mereka
lakukan di media sosial tidak akan berpengaruh pada kehidupan di dunia nyata.
Seorang tukang sate dapat merekayasa foto bernuansa porno antara presiden sebagai
kepala negara dan politikus suatu partai besar, apakah di dunia nyata seorang tukang sate
masih dapat menghina presiden di depannya? Jawabannya tidak mungkin, relasi kuasa antara
presiden dan tukang sate terlalu timpang. Namun peraturan mengenai hirarki ataupun relasi
kuasa sama sekali tidak berlaku di dunia maya. Suller menyebutkan alasan ini sebagai we’re
equals atau minimizing authority. Dunia maya menawarkan kesempatan yang sama pada

setiap orang untuk menyuarakan dirinya tanpa memandang status, jabatan, ras, jenis
kelamin dan sebagainya. Ketika orang yang memiliki kekuasaan mengutarakan
pendapatnya, pendapatnya akan menjadi hal absolut atau penting. Namun ketika dia
menuliskan ke media sosial, mungkin saja gagasannya tidak terlalu diperhatikan.

Gagasan yang unik, kualitas ide, keterbaruan ide yang membuat tulisan orang dilihat,

disebar dan dikutip oleh pengguna internet lainnya.
Interaksi Medsos Mempengaruhi Perilaku dan kepribadian
Blumer & Doring (2012) melakukan penelitian dengan pertanyaan penelitian
“Are we the same online?” peneliti berusaha mengkaji apakah pengguna internet
memiliki kepribadian berbeda saat berinteraksi di media sosial. Hasil penelitiannya
menunjukkan interaksi dan situasi di media sosial dapat mengubah kepribadian
pengguna. Brooks (2015) juga melakukan penelitian sejenis, namun Brooks
membedakan tipe kepribadian menjadi tiga tipe yaitu ekstrovert, introvert dan
ambivert. Ada 26 partisipan terdiri dari 10 ekstrovert, 14 introvert dan 2 ambivert.
Dari hasil penelitian surveynya tidak ada perbedaan interaksi sosial media antara
ekstrovert, introvert dan ambivert. Para partisipan mengaku bahwa interaksi di media
sosial dapat mengubah kepribadiannya.
Suller (.2003) menyebutkan disosiasi untuk menyebutkan fenomena
perubahan kepribadian pengguna internet ketika berinteraksi di dunia maya dan
berinteraksi di kehidupan sehari-hari. Suller menjelaskan perubahan fenomena
tersebut karena status pengguna sebagai ‘anymous’ membuat rasa tanggung jawab
terhadap diri sendiri hilang. Suller (2003) menjelaskan media sosial menawarkan
tempat perlindungan bagi pengguna internet untuk menunjukkan eksistensi diri.
Brooks (2015) menjelaskan dari penelitiannya mengapa interaksi di media sosial
dapat mengubah kepribadian seseorang, hal ini disebabkan karena kesulitan untuk

mengekspresikan diri dalam bentuk tulisan.
Menurut Rogers (dalam Feist&Feist, 2013) dalam diri manusia terdapat ideal
self dan real self. Real self adalah keadaan diri manusia sebenarnya dalam bentuk
fisik, manifestasi prilaku yang konsisten dilakukan di kehidupan sehari-hari. Ideal
self adalah gambaran mengenai diri yang diharapkan berdasarkan hal-hal yang
menurutnya dianggap baik.

Media sosial menawarkan interaksi dengan siapapun tanpa mengenal batas
ruang dan waktu. Di media sosial interaksi setiap orang adalah egaliter tanpa
memandang status ekonomi, jabatan, ataupun pendidikan. Pengguna internet
melupakan tanggungjawab terhadap diri karena menganggap apa yang terjadi di
media sosial hanyalah permainan atau perbuatannya tidak akan diketahui orang lain.
Media sosial menawarkan kebebasan ekspresi yang tidak bisa didapatkan di media
sosial karena adanya norma dan nilai-nilai di kehidupan masyarakat. Oleh karena itu
interaksi di media sosial dapat mengubah kepribadian penggunanya.

Daftar Pustaka
Blumer, T., & Doering, N. (2012). Are we the same online? The expression of the five factor
personality traits on the computer and the Internet. Cyberpsychology: Journal of
Psychosocial Research on Cyberspace, 6(3), article 1. doi: 10.5817/CP2012-3-5

Buckels, E. E., et al. (2014) Trolls just want to have fun.Personality and Individual
Differences. http://dx.doi.org/10.1016/j.paid.2014.01.016
Brooks, P. (2015).Does Your Personality Trait Affect Behavior On Social Media. Faculty
Curated Undergraduate Works.Paper 25.
http://scholarworks.arcadia.edu/undergrad_works/25
Feist & Feist. (2013). Psikologi Kepribadian. Jakarta:Salemba Humanika

Kominfo. (2013). Pengguna Internet di Indonesia Mencapai 63 juta orang. Diakses
darihttps://kominfo.go.id/index.php/content/detail/3415/Kominfo+
%3A+Pengguna+Internet+di+Indonesia+63+Juta+Orang/0/berita_satker
Maulidar, R. (2014). Hina Jokowo di FB Tukang Sate ini Ditahan. Diakses dari
http://www.tribunnews.com/seleb/2016/02/09/deddy-corbuzier-tangkap-haters-asaljambi-yang-sebut-chika-psk-dan-singgung-sara
Rafiq, A. (2016). Deddy Corbuizer Tangkap Haters asal Jambi Sebut Chika PSK dan
Menyinggung SARA. diakses dari
http://www.tribunnews.com/seleb/2016/02/09/deddy-corbuzier-tangkap-haters-asaljambi-yang-sebut-chika-psk-dan-singgung-sara
Suler, J.R. (2003). The psychology of cyberspace [On-line]. Available:
www.rider.edu/suler/psycyber/ psy-cyber.html.
Suller, J.R. (2004). The Online Dishinbination Effect. Cyber Psychology & Behavior, Volume
7, number 3
Undang-undang Republik Indonesia nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Online