306609436 12 Analisis Variabel Makroekonomi Dan
1
ANALISIS VARIABEL MAKROEKONOMI DAN
PEMULIHAN EKONOMI DI INDONESIA :
STUDI DETEKSI DINI KRISIS MATA UANG
Sebagai Salah Satu Persyaratan Mengikuti Simposium Riset Ekonomi ke-4
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia
Cabang Surabaya
DIAJUKAN OLEH :
DIMAS BAGUS WIRANATA KUSUMA
Master Kandidate International Islamic University Malaysia
Asisten Dosen Departemen Ekonomi Syariah FE UNAIR
Email : [email protected]
Tel : +6285645337945/+60169026445
KULLIYAH OF ECONOMICS AND MANAGEMENT
SCIENCES
INTERNATIONAL ISLAMIC UNIVERSITY
MALAYSIA
DECEMBER 2009
ABSTRACT
Economy recovery on post-crises happened last year has to be viewed in many
angles. Ones is the source and the probability to coming back in the nearly time after
crises. In matter of fact, they normally need to be implemented in order to make sure that
the recovery done is able to bring the sustainable effect on economy and importantly they
will avoid much to re-back to the same problems. In terms of economy recovery, the
monitoring of macroeconomics variables need to be monitored indeed. So that. We can
justify whether the indicators are able to respond precisely or just false signal. Therefore,
this paper is attempting to implement a model that can apparently be justified as the basis
of economy recovery which use currency crises as the main issue happened. Finally, this
paper intends to convey the main cause of economic instability based on leading
indicators behavior observed
Keywords: Crises, leading indicators, early warning system model
PENDAHULUAN
Krisis keuangan yang menimpa Indonesia pada tahun 1997 – 1998 menjadi
sebuah pelajaran berharga akan pentingnya sebuah sistem yang dapat berfungsi sebagai
alarm peringatan yang dapat mendeteksi kemungkinan akan terjadinya krisis keuangan,
sehingga kita dapat mengantisipasi dampak terburuk yang mungkin terjadi akibat adanya
krisis. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah mengidentifikasi jenis krisis yang akan
2
terjadi berdasarkan gejalanya, sehingga antisipasi dan penanggulangannya menjadi lebih
efektif dan efisien. Krisis keuangan (Financial Crisis) dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu :
krisis mata uang (Currency Crisis), krisis perbankan (Banking Crisis) dan krisis utang
(Debt Crisis). Pada penelitian ini akan hanya akan dibahas krisis mata uang yang dialami
Indonesia, baik dari sisi fundamental ekonomi maupun dari sisi dampak penularan
(contagion effect) krisis yang terjadi di negara-negara yang memiliki hubungan ekonomi
yang kuat dengan Indonesia.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Kaminsky et al. (1997), definisi
krisis mata uang (Currency crises) adalah suatu situasi dimana adanya serangan pada
mata uang yang mengakibatkan depresiasi yang sangat tajam pada mata uang atau
penurunan besar – besaran pada cadangan devisa, atau merupakan kombinasi antara
keduanya. Definisi ini juga cukup komperehensif untuk menjelaskan tidak hanya
serangan pada sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate), tapi juga dapat digunakan
untuk menjelaskan serangan pada sistem nilai tukar yang lain.
Krisis mata uang diawali dengan serangan spekulatif terhadap mata uang Bath di
negara Thailand pada tahun 1997, yang kemudian sering disebut krisis Asian Flu. Sebagai
akibatnya, timbul krisis mata uang (currency crisis) yang ditandai dengan jatuhnya nilai
tukar Baht terhadap dollar Amerika , capital outflow, dan krisis cadangan devisa.
Keterbukaan perekonomian saat itu tidak hanya membuat krisis di Thailand saja, namun
dalam waktu singkat krisis ini menyebar ke negara-negara ASEAN lainnya terutama
Philipina, Malaysia dan Indonesia. Sementara itu beberapa negara yang dikenal dengan
sebutan macan Asia (Korea, Hongkong, Singapura dan Taiwan) karena berhasil menjadi
negara industri baru, juga mengalami serangan yang sama walaupun dampaknya berbeda.
Terjadinya krisis “Asian Flu” di Indonesia karena lembaga – lembaga keuangan di
Indonesia gagal memprediksi dan mendeteksi adanya krisis ini.
Pola perilaku dari indikator-indikator tersebut akan menggambarkan ketangguhan
maupun kerentanan sebuah perekonomian yang merupakan potensi terjadinya krisis.
Kondisi fundamental yang lemah ini selanjutnya menyebabkan mudahnya terkena efek
penularan krisis (contagion effect). Di Indonesia sendiri dari beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa efek penularan tampaknya lebih berperan sebagai penyebab
timbulnya krisis mata uang.
Berdasarkan latar belakang tersebut, makalah ini bermaksud untuk menganalisis
perilaku fundamental ekonomi dengan menganalisis indikator-indikator dari keempat
sektor tersebut (eksternal, keuangan, domestic and real public dan sector perekonomian
global) yang dapat dijadikan sinyal pada saat akan terjadinya krisis mata uang (currency
crisis) di Indonesia. Selain itu penelitian ini juga akan menganalisis dampak penularan
(contagion effect) dari krisis mata uang dan krisis perbankan di negara-negara yang
perekonomiannya paling erat hubungannnya dengan perekonomian Indonesia. Penelitian
ini bertujuan untuk menentukan periode krisis mata uang (currency crisis) dengan
menghitung indek tekanan spekulatif pasar valas (Index of Exchange Market Pressure),
membangun suatu model Sistem Peringatan Dini “Early Warning Systems” dari sisi
fundamental ekonomi dengan mengekstraksi indikator-indikator ekonomi makro yang
digunakan untuk melihat sinyal terjadinya krisis mata uang dari berbagai literatur yang
paling sesuai diterapkan di Indonesia selama pasca krisis yang bisa menimbulkan krisis
utang yang dapat digunakan untuk melihat indikasi terjadinya krisis financial sekaligus
sebagai mekanisme untuk memprediksi krisis mata uang, membangun suatu model
Sistem Peringatan Dini “Early Warning Systems” dari sisi contagion effect (dampak
penularan) pada krisis mata uang dan krisis perbankan
2. STUDI LITERATUR
Pada bagian ini akan dikemukakan studi literatur mengenai sejarah perkembangan teori
krisis mulai dari krisis generasi pertama, kedua dan ketiga, dilanjutkan dengan
mekanisme terjadinya twin crises (krisis kembar) yaitu krisis nilai tukar yang dibarengi
3
dengan krisis perbankan dan berbagai penyebab krisis krisis nilai tukar dengan
mengidentifikasi berbagai indikator potensial yang bisa digunakan sebagai peringatan
dini sebelum terjadinya krisis mata uang.
Sejarah Perkembangan Teori Krisis
a. Krisis Generasi Pertama
Krisis generasi pertama diperkenalkan oleh Salant dan Handerson (1978), yang
kemudian dikembangkan oleh Krugman (1978) dan Flood & Garber (1984) yang disebut
dengan teori Canonical Crisis adalah krisis nilai tukar atau krisis neraca pembayaran
yang dialami oleh suatu negara dengan perekonomian terbuka berukuran kecil dan
menerapkan rezim nilai tukar tetap (fixed exchange rate). Teori Canonical Crisis
dilatarbelakangi oleh model stabilitas harga Salant yang menerangkan terjadinya serangan
spekulatif pada suatu komoditi. Para spekulan akan mengambil inisiatif untuk membeli
persediaan suatu komoditas ketika mereka memperkirakan bahwa komoditas tersebut
meningkat secara cepat pada masa yang akan dating (misalnya komoditas emas), hal ini
dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan keuntungan. Dari model Salant tersebut
Krugman mengembangkannya untuk menganalisis proses terjadinya krisis mata uang
(currency crisis).
Dalam canonical crisis model terdapat dua asumsi yang melandasi. Pertama,
pemerintah suatu negara mencetak uang secara besar-besaran untuk membiayai defisit
anggarannya. Kedua, bank sentral memiliki sejumlah cadangan devisa yang digunakan
untuk melakukan intervensi pasar agar nilai tukar stabil sesuai yang ditargetkan.
Kebijakan pemerintah untuk mencetak uang secara terus menerus guna membiayai defisit
anggaran akan menyebabkan nilai tukar mata uang domestik terhadap luar negeri akan
mengalami trend yang terus melemah, untuk itu bank sentral akan melakukan intervensi
pasar dengan melepas cadangan devisa ke pasar valas. Pada titik tertentu ketika bank
sentral mulai mengalami kelangkaaan pada cadangan devisanya, maka spekulan akan
melakukan aksi borong mata uang asing atas dasar estimasi nilainya akan meningkat
tajam pada masa yang akan datang.
b. Krisis Generasi Kedua
Pada suatu perekonomian yang kondisi fundamental sistem kursnya
menunjukkan trend yang baik tidak menutup kemungkinan bahwa negara tersebut bisa
mengalami krisis. Perekonomian tersebut bisa mengalami krisis akibat serangan
spekulatif meskipun fakta yang ada menunjukkan fundamental sistem kurs yang kuat
(artinya bank sentral memiliki cadangan devisa yang cukup untuk menyokong kurs tetap),
krisis semacam ini dinamakan self-fullfing crises. Krisis Generasi kedua kembali dialami
oleh Meksiko pada tahun 1994-1995, setelah berhasil pulih dari krisis yang pertama
dimana kondisi fundamental ekonomi Meksiko semakin membaik dan stabil. Menurut
Martnez (1998) proses penyesuaian struktural yang dilakukan sepanjang pertengahan
tahun 1980-an hingga awal tahun 1990-an yang sangat memberikan kontribusi besar
terhadap kestabilan kondisi makroekonomi Meksiko selama periode tersebut. Berbagai
kebijakan ekonomi Meksiko memberikan harapan kepada pelaku pasar terhadap
perekonomian Meksiko. Optimisme para pelaku pasar tersebut dapat dilihat dari
mengalirnya aliran masuk modal asing yang mencapai USD 104 milliar selama tahun
1990-1994 atau setara dengan 20% dari total capital inflows ke seluruh negara
berkembang saat ini.
c. Krisis Generasi Ketiga
Krisis generasi ketiga adalah krisis yang terjadi secara bersamaan antara krisis
perbankan dan krisis nilai tukar ( twin crisis). Disisi perbankan yang menjadi akar
penyebab krisis di Asia adalah moral hazard problem. Hal ini terkait dengan adanya
penjaminan pemerintah terhadap lembaga keuangan domestik untuk memperoleh kredit
investasi meskipun lembaga keuangan tersebuat sebenarnya tidak kredibel. Adanya
4
penjaminan tersebut menyebabkan para investor asing memberikan dana investasi pada
aset-aset yang beresiko tinggi serta terjadinya capital inflow yang berlebihan pada negara
yang bersangkutan. Aset pemerintah yang dijadikan sebagai backing dari hutang-hutang
luar negeri itu merupakan cadangan devisa.
Penelitian Sebelumnya
Penelitian mengenai Early Warning System pada krisis moneter dengan
menggunakan pendekatan Signal Approach telah banyak dilakukan dan berkembang
dengan cepat. Antara lain : Kaminsky, Lizondo and Reinhart (1998), yang membahas
tentang krisis mata uang di Asia Tenggara serta Bustelo (2000) dan Bukart dan Coudert
(2002) mengenai topik bahasan yang sama. Penelitian lainnya, yaitu penelitian yang
dilakukan oleh Gonzalez-Hermosillo (1996) dan Dermirg¨u¸c-Kunt dan Detragiache
(1997) yang meneliti tentang krisis perbankan. Penelitian lainnya oleh Marchesi (2003),
yang melakukan survey pada krisis utang. Penelitian Tulus Tambunan (2002) yang
berjudul “Building An Early Warning System For Indonesia With The Signal Approach”,
menggunakan model dari pengembangan Kaminsky et.al. Periode penelitiannya yakni
dari tahun 1999-2001 menggunakan 9 varibel sinyal untuk mendeteksi akan terjadinya
krisis. Disamping itu, dalam menentukan Indeks Market Pressure (IEP), Tulus Tambunan
menentukannya dari perubahan cadangan internasional dengan perubahan nilai tukar
dengan standar deviasi 1,1 SD, menyebutkan bahwa dari sinyal leading indicator tahun
1997 menyebabkan terjadinya krisis tahun 1999.
3. METODE PENELITIAN
Model Nonparametrik dengan Pendekatan Sinyal (Signal Appaoach)
Model ini dikembangkan oleh Kaminsky et.al (1998) untuk memantau
sekumpulan indikator ekonomi atau keuangan yang akan memberikan sinyal yang
berbeda dan sistematis apabila akan terjadi krisis atau sering disebut dengan model
pendekatan sinyal (Signal Approach Model). Sinyal sinyal tersebut akan terlihat ketika
indikator-indikator yang digunakan melampau batas ambang yang dapat menyebabkan
krisis. Dalam penelitian ini ambang batas tiap indikator dihitung dari nilai rata-rata dan 1
(satu) standar deviasi. Indikator-indikator ekonomi yang telah dihitung dalam suatu
indeks komposit. digunakan untuk memprediksi kemungkinan terjadinya krisis dalam
periode waktu sampai 24 bulan kedepan.
Menentukan Periode Krisis Nilai Tukar
Pada bagian ini, khusus pada krisis nilai tukar terlebih dahulu akan digambarkan
definisi yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan krisis nilai tukar dengan
menggunakan Indeks tekanan pasar valuta asing (index of exchange market pressure,
disingkat dengan EMP) yang menunjukkan penghitungan besarnya nilai indeks. Memang
sangat sulit untuk mendefinisikan krisis itu sendiri, mengingat definisi dan parameter
yang digunakan tidak ada yang baku. Namun demikian, bisa dirasakan bagaimana krisis
itu terjadi dalam suatu perekonomian. Berdasarkan Goldstein, Kaminsky dan Reinhart
(2000) dan Edison (2000), definisi indeks pergolakan pasar valas (index of exchange
market turbulence) yaitu rata-rata tertimbang dari perubahan nilai kurs (disimbolkan
dengan et d ), tingkat perubahan cadangan devisa / rate of change of the reserve (dRt ).
Bobot yang dipilih merupakan dua komponen indeks yang sama dengan volatilitas
sampel. Jika diumpamakan de s merupakan simpangan baku/ standar deviasi dari tingkat
perubahan nilai tukar dan dR s merupakan simpangan baku/ standar deviasi dari tingkat
perubahan cadangan devisa, maka indeks tekanan pasar valas (EMP) didefinisikan
EMP = δet −
σ δe
• δRt …………………………………………………………….(1)
σ δR
5
Dimana δet =
et − et −1
R − Rt −1
dan δRt = t
……………………………………(2)
et −1
Rt −1
Antara perubahan nilai tukar dan perubahan cadangan devisa, masing-masing
berhubungan positip dan negatip dengan indeks tekanan pasar valas. Perekonomian
dikatakan krisis jika EMP melebihi rata-ratanya ditambah dengan standar deviasi yang
ditentukan, katakanlah sebesar m. Dalam penelitian yang dilakukan kali ini besarnya m
ditentukan sama dengan 1.5 mengacu pada penelitian sebelumnya (Dimas, 2008) dan
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Lestano, Jacobs dan Kuper (2003). Jika
EMP merupakan rata-rata dari indeks EMP dan EMP s menunjukkan standar deviasi dari
indeks EMP-nya, maka secara formal dikatakan krisis mata uang (currency crisis), jika
didefinisikan dengan dengan
Crisist =
1, jika EMP µEMP + mσ EMP
0, jika EMP µEMP + mσ EMP ……………………………..(3)
Menentukan indikator yang mempunyai peran penting terjadinya krisis
Seperti yang pernah dilakukan Kaminsky et al (1998), krisis mata uang yang
didahului masalah ekonomi dan bahkan politik, maka membangun model yang mampu
memprediksi krisis seharusnya memasukkan berbagai indikator ekonomi yang luas.
Sebagian besar penelitian, memasukkan berbagai indikator ekonomi seperti yang pernah
dilakukan oleh Kaminsky et al (1998). Dalam berbagai penelitian yang telah dilakukan
(lihat, misalnya Herrera&Garcia, 1999; Park, 2002; Adiningsih, 2002; Tambunan, 2002;
Bussiere&Fratszcher, 2002; Mariano et al, 2003, Leastano et al, 2003; Heun&Schlink,
2004 dan lain-lain), indikator yang digunakan dalam penelitian ini dapat disimpulkan
sebagai berikut:
Pendekatan “Sinyal” Untuk Mengukur Kinerja Indikator
Setelah indikator yang digunakan untuk memprediksi krisis ditentukan, sekarang
akan dilakukan penentuan sinyal tejadinya krisis dari indicator indikator di atas. Masingmasing indikator akan dianalisis secara terpisah dengan pendekatan univariate untuk
memprediksi terjadinya krisis. Masing-masing indikator akan dilihat apakah mengalami
deviasi dari perilaku “normal” melebihi pagu ketentuannya (beyond the treshold). Jika
indikator melewati batas pagu ketentuannya maka dikatakan ada isu sinyal (to issue a
signal) terjadinya krisis. Definisi sinyal, seperti yang dilakukan oleh Heun dan Schlink
(2004), adalah sebagai berikut. Jika X dinotasikan untuk menunjukkan vektor ke-14
indikator di atas, maka Xt,j adalah nilai indikator j pada periode t. Sehingga, sinyal untuk
indikator j periode t didefinisikan dengan
…………………(4)
Sebagai catatan di sini, beberapa indikator mengalami peningkatan di atas nilai
ketentuannya yang mengindikasikan kemungkinan terjadinya krisis yang semakin besar,
sementara indikator yang lain berada di bawah pagu ketentuannya.Melewatnya indikator
dari pagu ketentuannya dapat disimpulkan pada berdasarkan table berikut berikut.
Mensinyalkan waktu / signalling windows, (Kaminsky et al, 1998), adalah
periode dimana masing-masing indikator dapat diprediksi mampu mengantisipasi krisis
mata uang. Kaminsky et al (1998) menyusun masing-masing sinyal waktu ini ke dalam
24 bulan sebelum terjadinya krisis. Penentuan signalling windows ini memang kelihatan a
priori, namun sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh para peneliti yang lain,
seperti Kaminsky dan Reinhart (1999), Goldstein, Kaminsky dan Reinhart (2000).
6
Sementara Anailsis sensitifitas pernah dilakukan oleh Goldstein, Kaminsky dan Reinhart
(2000) yang menunjukkan kesimpulan yang hampir sama untuk mensinyalkan krisis
dalam waktu 18 dan untuk jangka waktu 12 bulan terlalu restriktif. Sinyal krisis yang
lebih panjang memberi kondisi yang lebih kondusif bagi pengambil kebijakan untuk
menyesuaikan kebijakan sekaligus mengambil langkahlangkah yang tepat dalam
mengantisipasi keadaan sebelum terjadinya krisis baru. Penggunaan jangka waktu
panjang (24 bulan) sebagai signaling windows memberikan hasil yang lebih akurat
dengan parameter seperti noise yang kecil, dan probabilitas krisis yang tinggi (Dimas,
2008). Dari definisi sinyal ini, maka kinerja indikator bisa diukur. Jika indicator
menunjukan sinyal yang mengarah pada kemungkinan kondisi terjadinya krisis, maka
dikatakan sinyal bagus (good signal). Sebaliknya, jika sinyal tidak mengarah pada
kondisi terjadinya krisis setelah 24 bulan kemudian, maka dikatakan sinyal
palsu/gangguan (false signal / noise). Rasio sinyal palsu terhadap sinyal bagus disebut
noise-to-signal ratio dan rasio ini memainkan peran penting dalam menentukkan
bekerjanya sistem peringatan dini (early warning system) sebelum krisis. Hasil dari
masing-masing indikator yang disebutkan diatas dapat disimpulkan dalam tabel matrik
2x2 berikut (Kaminsky et al, 1998):
TABEL 3.
MATRIKS SINYAL INDIKATOR
Krisis
Tidak ada krisis
(dalam 24 bulan)
(dalam 24 bulan)
Ada Sinyal (signal issued)
A
B
Tidak ada sinyal (No signal Issued)
C
D
Sumber: Kaminsky et al (1998)
• A = Jumlah bulan dimana indikator menunjukkan sinyal baik, indikator dalam
penelitian melewati batas atas pagu ketentuannya (treshold).
• B = Jumlah bulan dimana indikator menunjukkan sinyal palsu atau gangguan
(tidak terjadi krisis dalam kurun waktu 24 bulan)
• C = Jumlah bulan dimana indikator tidak menunjukkan sinyal untuk krisis,
namun dalam kurun waktu 24 bulan berikutnya terjadi krisis
• D = Jumlah bulan dimana indikator tidak menunjukkan sinyal untuk krisis dan
dalam kurun waktu 24 bulan berikutnya tidak terjadi krisis
Pemodelan Krisis
Setelah menentukan aturan signaling windows dan threshold krisis, maka
dilanjutkan dengan menyusun model, dengan leading indicator yang memiliki
probabilitas >50% yang akan diolah dalam estimasi model logit. Hal ini merupakan
langkah kedua untuk melihat konsistensi dari variabel-variabel yang memiliki
probabilitas terjadinya krisis, sehingga pada akhirnya diperoleh leading indicator yang
berpengaruh kuat mendorong terjadinya krisis mata uang di Indonesia. Pengukuran
kinerja indikator ini sangat konsisten dalam beberapa penelitian yang dilakukan, misalnya
oleh Kaminsky dan reinhart (1999); Kaminsky, Lazondo dan Reinhart (1998); Edison
(2000); Goldstein, Kaminsky dan Reinhart (2000). Beberapa penelitian yang dilakukan
ternyata menunjukkan bahwa peringkat masingmasing indikator tidak berubah banyak
jika diukur dengan pengukuran kinerja yang berbeda. Namun demikian, dalam penelitian
ini pengukuran kinerja indikator yang digunakan dipusatkan pada :
, merupakan probabilitas seluruh
1. % Of Obs. Correctly Called =
pengamatan yang menunjukkan tepat dalam memperingatkan krisis
7
2. Noise-to-signal-ratio.
Rasio
B/(B + D)
dengan noise − to − signal − ratio =
A /( A + C )
ini
didefinisikan
mengukur/membandingkan
jumlah sinyal yang salah (kesalahan tipe 2) terhadap jumlah sinyal benar (kesalahan
tipe 1), sehingga semakin kecil NTS maka semakin kecil NTS, maka semakin baik
untuk digunakan sebagai indicator
3. %
Of
Crises
Correctly
Called,
=
, merupakan ukuran yang menunjukkan seberapa tepatkah suatu indikator dapat
menginyaratkan bahwa suatu sinyal dapat memberikan respon terjadinya krisis secara
tepat. Sehingga semakin besar respon benar dalam peringatan krisis, maka semakin
baik sebagai indikator sistem peringatan dini
merupakan ukuran yang menunjukkan
4. % Of False Alarms Of Total Alarms, =
besar atau jumlah false alarm dalam dominasi terhadap total alarm. Sehingga semakin
kecil % false alarm, semakin baik indeks komposit indikator sebagai sistem
peringatan dini
, merupakan ukuran probabilitas
5. % Prob. Of Crisis given an Alarm (Pc )=
terjadinya krisis ketika sinyal dikeluarkan. Semakin tinggi peluang terjadinya krisis
saat sinyal muncul, semakin baik indeks komposit indikator sebagai sistem
peringatan dini
6. % Prob. Of Crisis given No Alarm =
merupakan ukuran yang menunjukkan
terjadinya krisis ketika sinyal tidak muncul. Dengan demikian semakin kecil peluang
terjadinya krisis saat sinyal tidak muncul, maka semakin baik indeks komposit
indikator sebagai sistem peringatan dini
Model Logit
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa model logit merupakan sebuah
konsep transformasi logaritma atas sebuah peluang (probabilitas). Hal tersebut
menyebabkan distribusi dari peluang (P) akan tampak seperti grafis berikut:
Sumber: Hadad, et al (2003)
GAMBAR 1
KURVA LOGISTIK
Prosedur estimasi untuk model logit dipengaruhi oleh hasil observasi terhadap P,
apakah berupa angka-angka diantara 0 dan 1 atau berupa angka binary yang hanya
menunjukkan angka 0 atau angka 1. Jika nilai P berada diantara angka 0 dan 1, maka
8
metoda yang dilakukan adalah dengan mentransformasikan P dan memperoleh Y=ln [P/
(1-P)]. Setelah itu, prosedur berikutnya adalah dengan melakukan regresi Y terhadap
suatu konstanta dan variabel Xi. Namun demikian apabila nilai P berupa angka binary [0,
1], maka prosedurnya adalah dengan menggunakan metoda maximum likelihood karena
nilai logaritmik P/(1-P) akan menjadi tidak terdefinisikan (Hadad et al, 2003).
Mangunsong (2005) menyebutkan bahwa kemungkinan terjadinya sebuah
peluang kejadian P dalam sebuah model logit dapat dituliskan sebagai berikut:
Pi =
1
1+ e
− ( β 1+ β 2 Xi )
Persamaan tersebut juga dapat ditulis sebagai berikut:
1
eZ
=
1 + e − Zi 1 + e Z
Dimana: Zi = β 1 + β 2 X i
Pi =
Jika Pi adalah kemungkinan terjadinya suatu peristiwa (dalam hal ini adalah krisis
ekonomi), maka kemungkinan tidak terjadinya suatu peristiwa (1-Pi) adalah:
1
1 + e Zi
Pi
1 + e Zi
Sehingga,
=
= e Zi
− Zi
1 − Pi 1 + e
Pi
Dimana
disebut dengan odds (resiko) suatu peristiwa, yaitu rasio kemungkinan
1 − Pi
1 − Pi =
terjadinya suatu peristiwa terhadap kemungkinan tidak terjadinya suatu peristiwa
(Mangunsong, 2005). Jika digunakan operasi transformasi logaritma, maka akan
diperoleh model sebagai berikut:
Li = ln
Pi
= Z = β1 + β 2 X i ……………………………………………………..(5)
1 − Pi
L merupakan log daripada odds suatu peristiwa, sehingga model tersebut merupakan
bentuk umum daripada model logit. Observasi yang dilakukan dalam model logit meliputi
3 hal, yaitu:
1. Penentuan signifikansi dengan uji Z
2. Pengukuran goodness of fit dengan pseudo R2 serta count R2
3. Pengukuran likelihood ratio
Dalam pengujian derajat signifikansi atas variabel-variabel dalam model logit
dipergunakan uji Z. Penggunaan ini didasari oleh pendapat bahwa dalam model logit
error terms terdistribusi secara normal (bell shaped). Penggunaan distribusi normal
tersebut memerlukan perhitungan tentang luas daerah x = + dan
x = – , serta
x = + 2 dan x = – 2 , serta x = + 3 dan x = – 3 (Pasaribu, 1986).
Hal tersebut disajikan dalam grafis berikut:
Sumber: Pasaribu, 1986
GAMBAR 2.
9
DISTRIBUSI KURVA NORMAL
Nilai batas (threshold) kurva normal tersebut apabila dibandingkan dengan nilai
z-statistic akan menghasilkan probabilita atas derajat signifikansi atas sebuaha variabel.
Observasi yang kedua dalam analisis model logit melibatkan nilai prediksi serta nilai
aktual atas variabel Y. Proses tersebut menghasilkan nilai count R2, yaitu sebuah nilai
(rasio) yang membandingkan antara nilai prediksi yang tepat dengan nilai aktual. Secara
matematis, rasio tersebut dituliskan sebagai berikut (Mangunsong, 2005):
countR 2 =
jumlah prediksi yang tepat
jumlah observasi
Sedangkan untuk goodness of fit dalam model logit menggunakan pseudo R2 atau yang
biasa disebut sebagai McFadden R2 (R2MCF).
Sebagaimana R2, nilai R2MCF juga berkisar antara angka 0 dan 1. Karena nilai
variabel terikat berkisar antara 0 dan 1, maka jika nilai R2MCF berada di atas nilai 0.5
disebut bahwa variabel bebas mempunyai pengaruh yang besar terhadap terjadinya
peristiwa 1 (fokus penelitian). Jika angka R2MCF menunjukkan nilai di bawah 0.5, maka
dsebut bahwa variabel bebas mempunyai pengaruh yang besar terhadap pembentukan
peristiwa 0. Dengan kata lain, variabel bebas tidak mempunyai pengaruh terhadap
pembentukan fokus penelitian.
Menurut Mangunsong (2005) bahwa observasi utama dalam model logit adalah
pada tanda dan signifikansi daripada variabel. Dalam hal tersebut, pengamatan
selayaknya difokuskan kepada tanda serta signifikansi variabel dan uji goodness of fit
menjadi prioritas kedua.
Uji simultanitas (keserempakan) pada model logit mengacu kepada nilai
likelihood ratio (LR). LRstatistic mengikuti kaidah distribusi 2 dengan derajat kebebasan
sama dengan jumlah variabel bebas (Mangunsong, 2005).
Financial Contagion Channel
Pada bagian ini akan dilakukan pengujian terhadap jalur krisis karena imbas
penularan (contagion effect) dari negara yang terkena krisis dalam satu kawasan. Metode
yang akan dipakai dalam melihat unsur contagion di sini adalah mengikuti model yang
dikembangkan oleh Fratzscher tahun 1998. Fratzscher tahun 1998, dalam Bussiere dan
Fratzscher (2002) menggunakan korelasi residual dari imbal hasil di pasar ekuitas
(correlation of equity market return residuals) t selama masa normal sebagai ukuran
dampak penularan pasar uang (measure of financial market contagion) di antara dua
pasar i dan j. Ide dasarnya adalah semakin tinggi integrasi pasar financial menunjukkan
krisis terjadi karena penyebaran/penularan antar pasar mata uang dalam
rentang waktu tertentu. Pertama, akan dicari terlebih dahulu residual imbal hasil (return
residuals) untuk masing-masing negara dengan cara melakukan regresi imbal hasil pasar
ekuitas (ri,t) pada indikator yang relevan pada masing-masing negara, seperti persamaan
berikut :
…..…(6)
Dengan variabel independen masing-masing adalah neraca perdagangan (TB),
perubahan tingkat bunga pada masing-masing negara (i), tingkat inflasi (P), dan kurs spot
(S) masing-masing negara i, sementara GRET adalah imbal hasil pasal modal global.
Selanjutnya, residu dari persamaan ini menjadi variabel baru yang mengukur tingkat
ketergantungan mata uang (degree of financial interdependence/FINCONT) pada saat
korelasi silang antar negara (cross country correlations) dari residual , yang merupakan
proxy ketergantungan mata uang antar berbagai pasar saham Index FINCONT
menunjukkan ukuran penularan krisis (contagion measures) jika suatu negara mengalami
krisis, maka krisis tersebut lebih disebabkan karena adanya krisis yang terjadi di negara
10
lain yang mengalami krisis terlebih dahulu. Dalam berbagai estimasi empiris, jalur
penularan mata uang (financial contagion channel) banyak memainkan peranan penting
dalam menyusun model Early Warning System untuk berbagai kawasan regional, seperti
Eropa, Amerika Latin dan Asia (untuk studi lebih lanjut, lihat Bussiere dan Fratzscher,
2002)
4. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Analisis Krisis Mata Uang
1. Periode Krisis Mata Uang di Indonesia
Pada penelitian ini periodisasi krisis dibedakan menjadi periode sebelum dan
setelah krisis. Pembagian periodisasi tersebut, tercermin dari perbedaan EMP (Exchange
Market Pressure) setiap bulannya mulai 1990.1 sampai dengan 2008.10. Untuk rata – rata
( ) dan standar deviasinya (s ), ditentukan dua, yaitu sebelum terjadi krisis moneter
(1990.1-1998.12) dan sesudah terjadinya krisis moneter (1999.1-2008.10).
GRAFIK 1
EMP DAN BATAS AMBANG MAKSIMUM (THRESHOLD)
Sumber : Data Diolah
TABEL 4
PERIODE KRISIS MATA UANG DI INDONESIA 1990.1-2008.10
DENGAN PENDEKATAN GARCIA
Pendekatan
Bulan-Bulan Krisis
April (4), Mei (5)
1990
Agustus (8), Oktober(10), Desember(12)
1997
Januari (1), Juni(6)
1998
September(9)
1999
September(9)
2000
April(4)
2001
Juni(6)
2006
Oktober(10)
2008
Sumber : data diolah
Menurut Herrera dan Conrando Garcia pada tahun 1999 (Adiningsih et.al, 2000)
menyatakan bahwa jika krisis terjadi dalam empat bulan dari krisis sebelumnya, maka
11
diperhitungkan sebagai satu episode. Dari tabel di atas, dapat kita ketahui bahwa krisis
yang menimpa Indonesia terjadi dalam 7 episode. Epsiode pertama terjadi pada tahun
1990 (April dan Mei), Episode kedua pada tahun 1997 – 1998 (Agustus, Oktober,
Desember, Januari, Juni), Episode ketiga pada 1999 (September). Episode keempat pada
tahun 2000 (September), Episode kelima pada tahun 2001 (April), Episode keenam pada
tahun 2006 (Juni). Episode 7 pada tahun 2008 (Oktober). Epsiode terpanjang terjadi pada
tahun 1997 – 1998, dimana terdapat 5 bulan krisis mata uang dalam satu episode.
Setelah diketahui kinerja indikator dari masing-masing variabel, maka tahap
selanjutnya yang juga merupakan tahap akhir untuk menentukan leading indicators, dapat
dilakukan. Pada tahap ini, proses yang dilakukan adalah dengan menghitung nilai noise to
signal ratio (NSR) dan probability of crisis (PC). NSR digunakan untuk mengukur
jumlah sinyal yang salah terhadap sinyal yang benar, sehingga nilai NSR yang semakin
kecil akan semakin baik. Jika nilai NSR sama dengan satu, hal tersebut menunjukan
bahwa sinyal palsu sama baiknya dengan sinyal yang benar. Sedangkan PC digunakan
untuk mengukur probabilitas terjadinya krisis setelah sinyal dikeluarkan oleh suatu
indikator. Nilai PC yang semakin besar maka semakin baik dengan nilai maksimal adalah
100%. Namun demikian, pada penelitian ini tidak melakukan ekstraksi leading indicator
karena mengadopsi model penelitian yang dilakukan oleh Herrera dan Garcia (1999).
Dalam model penelitian ini, mengacu pada model Garcia,dkk, menggunakan leading
indicator, M2/Reserve, Real Domestic Credit growth (GKRED), Real Effective Exchange
Rate(REER), dan inflasi. Adaptasi variable ini untuk kasus Indonesia sudah melalui
pengujian oleh oleh Susatyo (2002) menggunakaan ekstraksi sinyal seperti yang
dikembangkan oleh pendekatan Kaminsky dan Reinhart (1999). Dan ternyata model yang
dibangun oleh Garcia menunjukkan hasil yang bagus, ditandai dengan noise to signal
ratio yang rendah. Selengkapnya hasil indicator keempat variable dengan pendekatan
Garcia tampak sebagai berikut :
TABEL 5
HASIL MATRIK INDIKATOR
% Prob. % Prob.
%
Of
%
Of
Of
Of
noise-toFalse
% Of Obs.
Crises
Crisis
Crisis
signalAlarms
Correctly
Correctly
given an given
ratio
Of Total
Called
Indikator
Called
Alarm
No
Alarms
(Pc)
Alarm
(B/(B+D))/
(C+D)/
A/(A+C) B/(A+B) A/(A+B) C/(C+D)
(A/A+C))
((B+D)+(A+C))
M2/RESERVE 0.03
56.60
9.09
90.91
11.98
88.44
GKRED
0
29.41
0
100
5.97
94.17
REER
0
66.67
0
100
6.35
94.37
INFLASI
0
57.14
0
100
6.18
94.41
Sumber : Data diolah
Signaling Leading Indicator
Berdasarkan grafik di bawah ini digambarkan bahwa sinyal muncul pada periode
krisi, utamanya pada tahun 1997-1998 dan pada tahun 2008. Patahan tersebut
mengindikasikan adanya pemisahan dalam penentuan ambang batas sinyal sebelum dan
sesudah krisis mata uang di Indonesia.
12
GRAFIK 2
PERGERAKAN LEADING INDIKATOR TERHADAP PAGU KETENTUAN
Estimasi Variabel Contagion
Sebelum melakukan estimasi dengan model Logit, maka pertama – tama akan
dilakukan perhitungan variabel Financial Contagion sesuai dengan persamaan berikut.
Dari hasil estimasi di atas kemudian residunya menjadi variabel baru yang diberi nama
Financial Contagion dan kemudian variabel ini akan diikutsertakan dalam perhitungan
estimasi model logit. Hasil estimasi dari persamaan tersebut adalah :
L_STOCK = 9.988424206 + 0.09539689805TB_IND - 0.6185965226ER
(2.261456)
(0.708954)
(-1.457306)
……………(7)
+ 0.0501158292CPI + 0.3868786596LNASDAQ - 0.6564743484IR
(1.935817)
(1.314808)
(-4.201316)
Karena banyaknya variabel yang digunakan, terdapat kemungkinan akan terjadinya
multikol antar variabel sehingga mengurangi tingkat independensi masing – masing
variabel. Untuk menghindari terjadinya hal ini, maka perlu dilakukan pemilihan data,
agar hasil estimasi yang dilakukan tidak menjadi bias. Proses pemilihan variabel ini
dilakukan dengan menggunakan Matriks Korelasi pada program E-VIEWS. Variabel –
variabel yang mempunyai nilai korelasi antar variable lebih dari 0,70 dianggap
mempunyai multikol. Dari hasil di atas, maka diperoleh variabel – variabel yang
berkorelasi antara lain M2/RES dengan REER. Dengan demikian dalam model estimasi
13
logit nanti salah satu dari variable yang mengalami keterkaitan harus dibuang untuk
menghindari perhitungan yang bias.
Hasil Estimasi Model Logit
Dengan menggunakan estimasi model logit dapat dilihat seberapa besar elastisitas
atau pengaruh dari kesepuluh Leading Indicator yang terpilih dalam memicu terjadinya
krisis nilai tukar di Indonesia. Dalam penelitian ini model logit dibedakan menjadi dua
model, yaitu : model pertama, seluruh variabel yang terpilih sebagai Leading Indicator
dan telah melalui proses pemilihan variabel yang mengalami multikol, dimasukkan ke
dalam estimasi logit. Sedangkan pada model kedua, variabel - variabel yang memiliki
probabilitas lebih dari 10 % tidak disertakan dalam estimasi model logit. Tujuan dari
pembentukan dua model tersebut adalah untuk mencari nilai kriteria informasi model
ekonometri yang lebih baik dengan nilai kriteria informasi yang lebih rendah. Adapun
kriteria informasi model ekonometri tersebut adalah Akaike Info Criterion, Schwarz
Criterion dan Hannan-Quin Criterion
Berdasarkan model Herrera dan Garcia di atas, maka leading indicator yang akan
diestimasi setelah dikurangi variable yang terkena multikol adalah : inflasi, REER, dan
GKRED. Sehingga dapat diperoleh persamaan sebagai berikut :
KRISISt = ln
Pi
=
1 − Pi
1+
2
INFLi +
3
REERi +
4
GKREDi + i………………….(8)
Dimana : Pt = kemungkinan (probabilitas) terjadinya krisis
(1 - Pt) = kemungkinan (probabilitas) tidak terjadinya krisis
KRISISt = Krisis
1 = intercept
2…… 4 = koefisien variabel bebas
i = error term
INFL = Inflasi
REER = Real Effective Exchange Rate
GKRED = Pertumbuhan Riil Kredit Domestik
Model 1 Memasukkan semua variable leading indicator
KRISISt = ln
Pi
=289.141765+0.991251046 5INF+1.271577593 GKRED1 − Pi
z-stat
(-1.761887)
(-0.525644)
(-0.870379)
32.86026598 REER+16.14530904 FINCONT +ui
(1.751704)*
(-1.787017)*…………………………………………………(9)
Keterangan :
INF
= Inflasi
GKRED
= Pertumbuhan Kredit Domestik
REER
= Real Effective Exchange Rate
FINCONT
= Financial Contagion
*= Signifikansi pada nilai kritis 10%
Berdasarkan hasil perhitungan di atas, terdapat 2 variabel yang signifikan pada
=10%, yaitu Pertumbuhan Kredit Domestik (GKRED) dan Penyebaran Keuangan
(FINCONT). Kemudian Variabel-variabel yang tidak menunjukkan pengaruh yang
signifikan diatas 50% akan dikeluarkan dari dalam model, yaitu REER. Sehingga variabel
yang tersisa di dalam model hanya variabel-variabel yang memiliki pengaruh signifikan.
Selanjutnya ditunjukkan bahwa beberapa kriteria informasi pada model logit yaitu:
Akaike Criterion, Schwarz Criterion dan Hannan-Quin Criterion pada model 1
dan model 2 akan dilakukan perbandingan. Dimana semakin rendah kriteria informasi
14
tersebut maka semakin baik hasil estimasinya, sehingga usulan pemilihan model dengan
membandingkan nilai terendah dari ketiga kriteria informasi tersebut
Model 2. Mengeluarkan Variabel REER
KRISISt = ln
Pi
=3.586552436-0.4352289495INF+0.2757313508 GKRED
1 − Pi
z-stat
(-2.476954)
(0.461975)
(-0,252113)
+16.14530904 FINCONT +ui …………………………………………………………………(10)
(-1.940511)*
Keterangan :
INF
= Inflasi
GKRED
= Pertumbuhan Kredit Domestik
REER
= Real Effective Exchange Rate
FINCONT
= Financial Contagion
*= Signifikansi pada nilai kritis 10%
Dalam model 2 ini setelah mengeluarkan 1 variabel yang dimiliki, maka diperoleh hanya
variable contagion yang signifikan pada =10%. Dan hasil dari estimasi logit
menunjukkan hanya GKRED dan FINCONT yang berpengaruh terhadap terjadinya krisis
mata uang.
TABEL 6
PERBANDINGAN HASIL MODEL
Variabel
Model 1
Model 2
COEFFICIENT
ODDS
COEFFICIENT
ODDS
INF
-0.991251
73%
0.435229
39%
REER
32.86027
M2/RESERV
GKRED
1.272578
78%
-0.275731
57%
FINCONT*
16.14531
99%
-4.144247
98%
Dioagnosa Statistik dan Ekonometerik
Akaike info criterion 0.488603
0.644223
Schwarz criterion
0.691352
0.806422
Hannan-Quinn
0.563792
0.704374
criter.
McFadden R-squared
0.571078
0.241054
Sumber : Data Diolah
Interpretasi Model
Berdasarkan table di atas dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwa model pertama
merupakan model yang paling tepat dalam memprediksi krisis mata uang di Indonesia
pada periode penelitian. Beberapa pertimbangan yang dapat dijadikan yaitu :
1. Nilai odds ratio pada model 1 menunjukkan proporsi yang lebih besar. Odds ratio
merupakan nilai yang menindikasikan probabilitas suatu akan terjadi karena
perubahan sesuatu yang lain. Dengan demikian pada model 1 tampak bahwa krisis
mata uang memiliki probabilitas yang lebih tinggi bila variable yang diamati terjadi
tekanan/fluktuasi
2. Odds ratio pada variable FINCONT menunjukkan besaran yang mendekati
sempurna. Artinya memang krisis mata uang di Indonesia lebih dikarenakan dampak
penularan dari Negara lain dengan proporsi yang lebih besar dibandingkan model 2
3. Nilai Akaike, Schwarz, dan Hannan menunjukkan besaran yang lebih kecil. Sehingga
menunjukkan model dengan nilai terkecil adalah model
15
4. Memiliki nilai Mcfadden R-Square terbesar pada model 1, dimana nilai Mc Fadden
menunjukkan seberapa besarkan krisis dapat dijelaskan oleh model. Ternyata pada
model 1 krisis dapat dijelaskan oleh model sebesar 57% dibandingkan 24% (model 2)
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka diperoleh kesimpulan
sebagai berikut
1. Krisis nilai tukar yang menimpa Indonesia terjadi dalam 7 episode. Epsiode pertama
terjadi pada tahun 1990 (April dan Mei), Episode kedua pada tahun 1997 – 1998
(Agustus, Oktober, Desember, Januari, Juni), Episode ketiga pada 1999 (September).
Episode keempat pada tahun 2000 (September), Episode kelima pada tahun 2001
(April), Episode keenam pada tahun 2006 (Juni). Episode 7 pada tahun 2008
(Oktober). Epsiode terpanjang terjadi pada tahun 1997 – 1998, dimana terdapat 5
bulan krisis mata uang dalam satu episode
2. Berdasarkan model peringatan dini yang dibangun oleh Herrera dan Garcia didapat
bahwa leading indicators pertumbuhan kredit domestic (GKRED), Inflasi (INF), dan
ditambah dengan Penularan Keuangan (FINCONT) menjadi model terbaik dalam
melakukan antisipasi/deteksi terhadap krisis mata uang di Indonesia
3. Krisis mata uang di Indonesia pada rentang waktu penelitian, yaitu tahun 1997-2008
dominan lebih disebabkan oleh efek penularan keuangan (contagion effect) dari
Negara lain
4. Melalui estimasi logit, terdapat 2 variabel yang memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap krisis mata uang di Indonesia, yaitu Pertumbuhan Kredit Domestik
(GKRED), dan Penularan Keuangan (FINCONT)
SARAN
Berdasarkan kesimpulan yang telah diperoleh, maka pemerintah perlu
mewaspadai beberapa leading indicators yang secara signifikan mampu memprediksi
terjadinya krisis nilai tukar, yaitu pertumbuhan kredit domestic (GKRED), Inflasi (INF),
dan Penularan Keuangan (FINCONT). Oleh karena itu saran-saran yang perlu
diperhatikan oleh pemerintah terkait variable di atas adalah :
1. Untuk varibel inflasi, pemerintah perlu memperhatikan tekanan dari sisi permintaan
dan penawaran yang bisa berimbas pada kenaikan inflasi. Koordinasi secara intensif
dan akomodatif dengan otoritas fiscal menjadi hal yang penting untuk dilakukan.
Aspek permintaan seperti control pada permintaan atas asset-aset domestik,
perubahan pada suku bunga domestik dan asing, serta pengendalian terhadap
ekspektasi kurs yang akan dating. Aspek penawaran seperti pembelian dan penjualan
valuta domestic oleh bank sentral, perubahan suku bunga dan perubahan jumlah
uang beredar
2. Untuk variable pertumbuhan kredit domestic (GKRED), pemerintah dan Bank
Indonesia perlu melakukan kebijakan kredit yang selektif dengan mengedepankan
aspek prudential banking principle. Kebijakan kredit meliputi pembatasan kredit
untuk keperluan konsumtif, dan sebaliknya pertumbuhan kredit diarahkan untuk
mendukung pembiayaan usaha riil rakyat
3. Untuk variable Financial Contagion (FINCONT), adanya efek penyebaran atau
dikenal dengan istilah FINCONT mencerminkan ketakutan para pelaku pasar akan
adanya penularan krisis yang terjadi pada negara tetangga terhadap Indonesia. Oleh
karena itu, pemerintah seharusnya lebih mencermati kondisi perekonomian global,
terutama di negara – negara yang berada dalam satu kawasan regional dengan
Indonesia. Pemerintah juga dapat melakukan tindakan preventif, yaitu dengan
memperbanyak dan memperkuat kerja sama dengan negara – negara maju di Asia,
16
seperti Korea Selatan dan Jepang dan negara – negara yang berada dalam satu
kawasan regional (ASEAN) untuk menggalang dana cadangan bersama (stand by
loan) yang dapat digunakan sewaktu – waktu apabila ada serangan terhadap nilai
tukar Rupiah. Tindakan lain yang dapat dilakukan antara lain memperketat peraturan
yang mengatur tentang lalu lintas modal di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Adiningsih, S., D.N. Setiawati, and Sholihah, 2002, Early Warning Systems For
Macroeconomic Vulnerability in Indonesia, Final Report, EADN Regional
Project.
Aghion, P., P. Bacchetta dan A. Banerjee (2001), Currency Crises and Monetary Policy
in an Economy with Credit Constraints, European Economic Review, 45(7),
1121-1150.
Arias, Guillaume dan ULF G. Erlandsson. 2004. Regime Switching as an Alternative
Early Warning System of Currency Crises an Applicant to South-East Asia.
Department of Economics, Lund University, Sweden.
Arias, Guillaume dan ULF G. Erlandsson. 2005. improving EWS with Markov Switching
Model- An Application to South East Asian Crises. CEFI working papers
2005, Department of Economics, Lund University, Sweden.
Arifin, Sjamsul. 2007. IMF dan Stabilitas Keuangan Internasional: Suatu Tinjauan
Kritis. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Ariff, Mohamed, dan Ahmed M. Khalid. 2005. Liberalization and Growth in Asia : 21 st
Century Challenges. United Stated : Edward Elgar Publishing.
Asian Development Bank, 2005, East Aasi: Early Warning System For Financial Crises
Application To East Asia, Asian Development.
Bank Indonesia. Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia. Berbagai Nomor Penerbitan.
Berg, A. and C. Pattillo (1999), “Predicting currency crises: the indicator approach an
alternative”, Journl of International Money and Finance, 18 (4), 561-586.
Bussiere, Matthieu dan Fratzscher, Marcel, 2002, Toward A New Early Warning System
of Financial Crises, European Central Bank Working paper no. 145.
Boediono. 1997. Ekonomi Makro. Edisi Keempat.Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.
-----------, 1990. Ekonomi Internasional. Edisi Pertama. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta
Carbaugh, Robert J. 2002. International Economics. Eighth Edition. Ohio: South
Western- Thomson Learning.
Ciarlone, Alessio dan Giorgio Trebeschi. 2005. Designing an Early Warning System for
Debt Crises. Elsevier – Emerging Market Review. Roma: Bank of Italy.
Cramer, J. S. 2003. The Origins and Development of The Logit Model. Amsterdam:
University of Amsterdam and Tinbergen Institute.
Caprio, G., dan D. Klingebiel, 1996, Bank Insolvencies: cross country experience, Policy
Research Working Papers 1620, Worls Bank, Washington,DC.
Carbaugh, Robert J. 2004. International Economics. Ninth Edition. USA: South-Western.
Ciarlone, Alessio dan Trebeschi Giorgio, 2005, An Early Warning System for Debt Crisis,
Emerging Market Review 6, p. 376-395.33
Daniel, Hardy,CL dan Pazarbasioglu Ceyla. 1998, Leading Indicators of Banking Crises:
Was Asia Different?, IMF Working Paper 98/91, International Monetary
Fund, Washington.
Davis, Philip dan Dilruba Karim, Comparing Early Warning System for Banking Crises,
dikutip dari www. Zeni3767.zen.co.uk/early warning.pdf. West London :
Brunei University dan NIESR.
Diamond D dan Dybvig P. 1983. Bank Runs, Deposite Insurance and Liquidity. Journal
of Political Economiy, 91, 401-19.
Donrnbusch, Rodiger dan Stanley Fischer, Richard Startz. 2001. Macroeconomics, Eight
17
Edision. McGraw-Hill. New York.
Demirguc-Kunt, A. And E. Detrgiache (1997), “The determinants of banking crises in
developing and developed countries”, IMF Working Paper 106.
Demirguc-Kunt, A. And E. Detrgiache (2000), “Monitoring banking sector fragility: a
multivariate logit approach”, World Bank Economic Review, 14(2), 287-307.
Djalal, Nachrowi. et. al. 2002. Penggunaan Teknik Ekonometrika. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Dornbusch, Rudinger dan Stanley Fischer. 2004. Macroeconomics. 9th edition. Ohio:
South Western.
Edison, H.J. (2003), “Do Indicators of financial crises work? An evaluation an early
warning system”, International Journal of Finance and Economics, 8 (1), 1153
Eichengreen, B. And C. Arteta (2000), “Banking Crises in emerging markets:
presumptions and evidence”, Working ppers 115, Centre for International
and Development Economics Research, California, Berkley.
Eichengreen, B. And R.Portes (1987), “ The anatomy of financial crises”, in R. Portes
and A.K. Swoboda, editors, Threatsto International Financial Stability,
Cambridge University Press, Cambridge, 10-58
Eichengreen, B., A.K. Rose, and C. Wyplosz (1995), “Exchange rate mayhem: the
antecedents and aftermath of speculative attacks”, Economic Policy, 21,251312.
Eichengreen, B., A.K. Rose, and C. Wyplosz (1996), “Contagious currency crises”,
Scandinvian Journal of Economics, 98(4), 463-484
Flood, Robert, dab Peter Garber (1984) Gold Monetization and Global Dicipline. Journal
of Political Economy. 92 (1), pp.90-117.
Frankel, J.A., dan A.K. Rose, 1996, Currency Crashes in Emerging Markets: An
empirical treatment, Journal of International Economics, 98(4), 463-484
Girton, L dan D. Roper (1977), A Monetary Model of Exchange Market pressure applied
to the postwar Canadian Experience, American Economic Review, 67(4),
537-548.
Goldstein, Morris, 1996, Contagious Currency Crises: First Tests, Scandinavian Journal
Of Economics, 98, 434
Goldstein, Kaminsky dan Reinhart (2000). Assesing Financial Vulnerability: An Early
Warning System for Emerging Markets. Washington DC, Institute for International
Economics.
Goeltom, Miranda S dan Doddy Zulferdi. 1998. Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan
Permasalahnnya. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. Volume 1 Nomor 2. Jakarta:
Bank Indonesia.
Grauwe, P dan Marianni Grimaldi, 2002, Exchange Rate Regimes And Financial
Vulnerability, EIB Papers, vol 7, No.2
Gujarati Damodar N, 2003. Basic Econometrics. Fourth Edition. McGraw-Hill Inc.
Gunawan, H Anton. 1991. Anggaran Pemerintah dan Inflasi di Indonesia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Hadad, Muliaman D., Wimboh Santoso dan Bambang Arianto. 2003. Indikato Awal
Krisis Perbankan. http:www.bi.go.id/NR/rdonlyres/47E2ED4-9B4D-4EF997D36121DBD7C2E/1401/IndikatorAwalKrisisPerbankan.pdf yang diakses
pada 3 Maret 2007.
Hady, Hamdy. 2001. Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan Keuangan
Internasional. Buku Kedua. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Handoyo, Rossanto Dwi. 2006. Majalah Ekonomi: Early Warning System of Financial
Crisis- Implementation of a Currency Crises Model for Indonesia.Tahun
XVI, no.3.Desember, pp.245-260.
Heffernan, Shelagh. 2005. Modern Banking. England : John Wiley&Sons,Ltd
18
Herrera, Santiago and Conrado Garcia, 1999, User’s Guide to An Early Warning System
for Macroeconomics Vulnerability in Latin American Countries, Paper
presented in the XVII Latin American Meeting of the Econometric Society,
August, Cancun.
Heun, M dan T. Schelink, 2004, Early Warning Systems Of Financial CrisesImplementation Of Currency Crisis Model For Uganda, HfB-Business
School Of Finance And Management, 59
http//:www.parisdeclub.com. Dikutip Tanggal 16 Maret 2008. Jam 22.19.
http//:www.hukmas.depkeu.go.id. Dikutip Tanggal 16 Maret 2008. Jam 22.19.
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI),2005, Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi
di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir: Krisis dan Pemulihan,
Yogyakarta: Kanisius.
International Monetary Fund.2007. International Financial Statistics. http://
www.ifs.apdi.net.
Iswardono. 1997. Uang dan Bank. Edisi Keempat. Yogyakarta: BPFE Universitas Gajah
Mada. 35
Juddisseno, Rimsky K. 2002. Sistem Moneter dan Perbankan di Indonesia. Cetakan
Pertama.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Tama.
Kuncoro, Mudrajad, dan Suhardjono. 2002. Manajemen Perbankan. Edisi pertama.
Yogyakarta : BPFE Yogyakarta.
Kunt, Demirg_ç,A dan Detragiache Enrica, 1998. The Determinants of Banking Crises in
Developed and developing Countries. IMF Staff Paper, Vol. 45, No.1,
InternationalMonetary Fund.
Kaminsky, Graciela, Saul Lizondo , dan C.M Reinhart, 1997, Leading Indicators Of
Currency Crises, July, IMF Working Paper 97/98, Washington DC: IMF
Kaminsky, Graciela, Saul Lizondo dan Reinhart, 1998, Currency and Banking Crisis: The
Early Warning of Distress, International Finance Discussion Po.629, Board
Of Governors of the Federal Reserve System.
Kaminsky,G dan C.M., Reinhart, 1999, The Twin Crisis: The Caus
ANALISIS VARIABEL MAKROEKONOMI DAN
PEMULIHAN EKONOMI DI INDONESIA :
STUDI DETEKSI DINI KRISIS MATA UANG
Sebagai Salah Satu Persyaratan Mengikuti Simposium Riset Ekonomi ke-4
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia
Cabang Surabaya
DIAJUKAN OLEH :
DIMAS BAGUS WIRANATA KUSUMA
Master Kandidate International Islamic University Malaysia
Asisten Dosen Departemen Ekonomi Syariah FE UNAIR
Email : [email protected]
Tel : +6285645337945/+60169026445
KULLIYAH OF ECONOMICS AND MANAGEMENT
SCIENCES
INTERNATIONAL ISLAMIC UNIVERSITY
MALAYSIA
DECEMBER 2009
ABSTRACT
Economy recovery on post-crises happened last year has to be viewed in many
angles. Ones is the source and the probability to coming back in the nearly time after
crises. In matter of fact, they normally need to be implemented in order to make sure that
the recovery done is able to bring the sustainable effect on economy and importantly they
will avoid much to re-back to the same problems. In terms of economy recovery, the
monitoring of macroeconomics variables need to be monitored indeed. So that. We can
justify whether the indicators are able to respond precisely or just false signal. Therefore,
this paper is attempting to implement a model that can apparently be justified as the basis
of economy recovery which use currency crises as the main issue happened. Finally, this
paper intends to convey the main cause of economic instability based on leading
indicators behavior observed
Keywords: Crises, leading indicators, early warning system model
PENDAHULUAN
Krisis keuangan yang menimpa Indonesia pada tahun 1997 – 1998 menjadi
sebuah pelajaran berharga akan pentingnya sebuah sistem yang dapat berfungsi sebagai
alarm peringatan yang dapat mendeteksi kemungkinan akan terjadinya krisis keuangan,
sehingga kita dapat mengantisipasi dampak terburuk yang mungkin terjadi akibat adanya
krisis. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah mengidentifikasi jenis krisis yang akan
2
terjadi berdasarkan gejalanya, sehingga antisipasi dan penanggulangannya menjadi lebih
efektif dan efisien. Krisis keuangan (Financial Crisis) dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu :
krisis mata uang (Currency Crisis), krisis perbankan (Banking Crisis) dan krisis utang
(Debt Crisis). Pada penelitian ini akan hanya akan dibahas krisis mata uang yang dialami
Indonesia, baik dari sisi fundamental ekonomi maupun dari sisi dampak penularan
(contagion effect) krisis yang terjadi di negara-negara yang memiliki hubungan ekonomi
yang kuat dengan Indonesia.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Kaminsky et al. (1997), definisi
krisis mata uang (Currency crises) adalah suatu situasi dimana adanya serangan pada
mata uang yang mengakibatkan depresiasi yang sangat tajam pada mata uang atau
penurunan besar – besaran pada cadangan devisa, atau merupakan kombinasi antara
keduanya. Definisi ini juga cukup komperehensif untuk menjelaskan tidak hanya
serangan pada sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate), tapi juga dapat digunakan
untuk menjelaskan serangan pada sistem nilai tukar yang lain.
Krisis mata uang diawali dengan serangan spekulatif terhadap mata uang Bath di
negara Thailand pada tahun 1997, yang kemudian sering disebut krisis Asian Flu. Sebagai
akibatnya, timbul krisis mata uang (currency crisis) yang ditandai dengan jatuhnya nilai
tukar Baht terhadap dollar Amerika , capital outflow, dan krisis cadangan devisa.
Keterbukaan perekonomian saat itu tidak hanya membuat krisis di Thailand saja, namun
dalam waktu singkat krisis ini menyebar ke negara-negara ASEAN lainnya terutama
Philipina, Malaysia dan Indonesia. Sementara itu beberapa negara yang dikenal dengan
sebutan macan Asia (Korea, Hongkong, Singapura dan Taiwan) karena berhasil menjadi
negara industri baru, juga mengalami serangan yang sama walaupun dampaknya berbeda.
Terjadinya krisis “Asian Flu” di Indonesia karena lembaga – lembaga keuangan di
Indonesia gagal memprediksi dan mendeteksi adanya krisis ini.
Pola perilaku dari indikator-indikator tersebut akan menggambarkan ketangguhan
maupun kerentanan sebuah perekonomian yang merupakan potensi terjadinya krisis.
Kondisi fundamental yang lemah ini selanjutnya menyebabkan mudahnya terkena efek
penularan krisis (contagion effect). Di Indonesia sendiri dari beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa efek penularan tampaknya lebih berperan sebagai penyebab
timbulnya krisis mata uang.
Berdasarkan latar belakang tersebut, makalah ini bermaksud untuk menganalisis
perilaku fundamental ekonomi dengan menganalisis indikator-indikator dari keempat
sektor tersebut (eksternal, keuangan, domestic and real public dan sector perekonomian
global) yang dapat dijadikan sinyal pada saat akan terjadinya krisis mata uang (currency
crisis) di Indonesia. Selain itu penelitian ini juga akan menganalisis dampak penularan
(contagion effect) dari krisis mata uang dan krisis perbankan di negara-negara yang
perekonomiannya paling erat hubungannnya dengan perekonomian Indonesia. Penelitian
ini bertujuan untuk menentukan periode krisis mata uang (currency crisis) dengan
menghitung indek tekanan spekulatif pasar valas (Index of Exchange Market Pressure),
membangun suatu model Sistem Peringatan Dini “Early Warning Systems” dari sisi
fundamental ekonomi dengan mengekstraksi indikator-indikator ekonomi makro yang
digunakan untuk melihat sinyal terjadinya krisis mata uang dari berbagai literatur yang
paling sesuai diterapkan di Indonesia selama pasca krisis yang bisa menimbulkan krisis
utang yang dapat digunakan untuk melihat indikasi terjadinya krisis financial sekaligus
sebagai mekanisme untuk memprediksi krisis mata uang, membangun suatu model
Sistem Peringatan Dini “Early Warning Systems” dari sisi contagion effect (dampak
penularan) pada krisis mata uang dan krisis perbankan
2. STUDI LITERATUR
Pada bagian ini akan dikemukakan studi literatur mengenai sejarah perkembangan teori
krisis mulai dari krisis generasi pertama, kedua dan ketiga, dilanjutkan dengan
mekanisme terjadinya twin crises (krisis kembar) yaitu krisis nilai tukar yang dibarengi
3
dengan krisis perbankan dan berbagai penyebab krisis krisis nilai tukar dengan
mengidentifikasi berbagai indikator potensial yang bisa digunakan sebagai peringatan
dini sebelum terjadinya krisis mata uang.
Sejarah Perkembangan Teori Krisis
a. Krisis Generasi Pertama
Krisis generasi pertama diperkenalkan oleh Salant dan Handerson (1978), yang
kemudian dikembangkan oleh Krugman (1978) dan Flood & Garber (1984) yang disebut
dengan teori Canonical Crisis adalah krisis nilai tukar atau krisis neraca pembayaran
yang dialami oleh suatu negara dengan perekonomian terbuka berukuran kecil dan
menerapkan rezim nilai tukar tetap (fixed exchange rate). Teori Canonical Crisis
dilatarbelakangi oleh model stabilitas harga Salant yang menerangkan terjadinya serangan
spekulatif pada suatu komoditi. Para spekulan akan mengambil inisiatif untuk membeli
persediaan suatu komoditas ketika mereka memperkirakan bahwa komoditas tersebut
meningkat secara cepat pada masa yang akan dating (misalnya komoditas emas), hal ini
dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan keuntungan. Dari model Salant tersebut
Krugman mengembangkannya untuk menganalisis proses terjadinya krisis mata uang
(currency crisis).
Dalam canonical crisis model terdapat dua asumsi yang melandasi. Pertama,
pemerintah suatu negara mencetak uang secara besar-besaran untuk membiayai defisit
anggarannya. Kedua, bank sentral memiliki sejumlah cadangan devisa yang digunakan
untuk melakukan intervensi pasar agar nilai tukar stabil sesuai yang ditargetkan.
Kebijakan pemerintah untuk mencetak uang secara terus menerus guna membiayai defisit
anggaran akan menyebabkan nilai tukar mata uang domestik terhadap luar negeri akan
mengalami trend yang terus melemah, untuk itu bank sentral akan melakukan intervensi
pasar dengan melepas cadangan devisa ke pasar valas. Pada titik tertentu ketika bank
sentral mulai mengalami kelangkaaan pada cadangan devisanya, maka spekulan akan
melakukan aksi borong mata uang asing atas dasar estimasi nilainya akan meningkat
tajam pada masa yang akan datang.
b. Krisis Generasi Kedua
Pada suatu perekonomian yang kondisi fundamental sistem kursnya
menunjukkan trend yang baik tidak menutup kemungkinan bahwa negara tersebut bisa
mengalami krisis. Perekonomian tersebut bisa mengalami krisis akibat serangan
spekulatif meskipun fakta yang ada menunjukkan fundamental sistem kurs yang kuat
(artinya bank sentral memiliki cadangan devisa yang cukup untuk menyokong kurs tetap),
krisis semacam ini dinamakan self-fullfing crises. Krisis Generasi kedua kembali dialami
oleh Meksiko pada tahun 1994-1995, setelah berhasil pulih dari krisis yang pertama
dimana kondisi fundamental ekonomi Meksiko semakin membaik dan stabil. Menurut
Martnez (1998) proses penyesuaian struktural yang dilakukan sepanjang pertengahan
tahun 1980-an hingga awal tahun 1990-an yang sangat memberikan kontribusi besar
terhadap kestabilan kondisi makroekonomi Meksiko selama periode tersebut. Berbagai
kebijakan ekonomi Meksiko memberikan harapan kepada pelaku pasar terhadap
perekonomian Meksiko. Optimisme para pelaku pasar tersebut dapat dilihat dari
mengalirnya aliran masuk modal asing yang mencapai USD 104 milliar selama tahun
1990-1994 atau setara dengan 20% dari total capital inflows ke seluruh negara
berkembang saat ini.
c. Krisis Generasi Ketiga
Krisis generasi ketiga adalah krisis yang terjadi secara bersamaan antara krisis
perbankan dan krisis nilai tukar ( twin crisis). Disisi perbankan yang menjadi akar
penyebab krisis di Asia adalah moral hazard problem. Hal ini terkait dengan adanya
penjaminan pemerintah terhadap lembaga keuangan domestik untuk memperoleh kredit
investasi meskipun lembaga keuangan tersebuat sebenarnya tidak kredibel. Adanya
4
penjaminan tersebut menyebabkan para investor asing memberikan dana investasi pada
aset-aset yang beresiko tinggi serta terjadinya capital inflow yang berlebihan pada negara
yang bersangkutan. Aset pemerintah yang dijadikan sebagai backing dari hutang-hutang
luar negeri itu merupakan cadangan devisa.
Penelitian Sebelumnya
Penelitian mengenai Early Warning System pada krisis moneter dengan
menggunakan pendekatan Signal Approach telah banyak dilakukan dan berkembang
dengan cepat. Antara lain : Kaminsky, Lizondo and Reinhart (1998), yang membahas
tentang krisis mata uang di Asia Tenggara serta Bustelo (2000) dan Bukart dan Coudert
(2002) mengenai topik bahasan yang sama. Penelitian lainnya, yaitu penelitian yang
dilakukan oleh Gonzalez-Hermosillo (1996) dan Dermirg¨u¸c-Kunt dan Detragiache
(1997) yang meneliti tentang krisis perbankan. Penelitian lainnya oleh Marchesi (2003),
yang melakukan survey pada krisis utang. Penelitian Tulus Tambunan (2002) yang
berjudul “Building An Early Warning System For Indonesia With The Signal Approach”,
menggunakan model dari pengembangan Kaminsky et.al. Periode penelitiannya yakni
dari tahun 1999-2001 menggunakan 9 varibel sinyal untuk mendeteksi akan terjadinya
krisis. Disamping itu, dalam menentukan Indeks Market Pressure (IEP), Tulus Tambunan
menentukannya dari perubahan cadangan internasional dengan perubahan nilai tukar
dengan standar deviasi 1,1 SD, menyebutkan bahwa dari sinyal leading indicator tahun
1997 menyebabkan terjadinya krisis tahun 1999.
3. METODE PENELITIAN
Model Nonparametrik dengan Pendekatan Sinyal (Signal Appaoach)
Model ini dikembangkan oleh Kaminsky et.al (1998) untuk memantau
sekumpulan indikator ekonomi atau keuangan yang akan memberikan sinyal yang
berbeda dan sistematis apabila akan terjadi krisis atau sering disebut dengan model
pendekatan sinyal (Signal Approach Model). Sinyal sinyal tersebut akan terlihat ketika
indikator-indikator yang digunakan melampau batas ambang yang dapat menyebabkan
krisis. Dalam penelitian ini ambang batas tiap indikator dihitung dari nilai rata-rata dan 1
(satu) standar deviasi. Indikator-indikator ekonomi yang telah dihitung dalam suatu
indeks komposit. digunakan untuk memprediksi kemungkinan terjadinya krisis dalam
periode waktu sampai 24 bulan kedepan.
Menentukan Periode Krisis Nilai Tukar
Pada bagian ini, khusus pada krisis nilai tukar terlebih dahulu akan digambarkan
definisi yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan krisis nilai tukar dengan
menggunakan Indeks tekanan pasar valuta asing (index of exchange market pressure,
disingkat dengan EMP) yang menunjukkan penghitungan besarnya nilai indeks. Memang
sangat sulit untuk mendefinisikan krisis itu sendiri, mengingat definisi dan parameter
yang digunakan tidak ada yang baku. Namun demikian, bisa dirasakan bagaimana krisis
itu terjadi dalam suatu perekonomian. Berdasarkan Goldstein, Kaminsky dan Reinhart
(2000) dan Edison (2000), definisi indeks pergolakan pasar valas (index of exchange
market turbulence) yaitu rata-rata tertimbang dari perubahan nilai kurs (disimbolkan
dengan et d ), tingkat perubahan cadangan devisa / rate of change of the reserve (dRt ).
Bobot yang dipilih merupakan dua komponen indeks yang sama dengan volatilitas
sampel. Jika diumpamakan de s merupakan simpangan baku/ standar deviasi dari tingkat
perubahan nilai tukar dan dR s merupakan simpangan baku/ standar deviasi dari tingkat
perubahan cadangan devisa, maka indeks tekanan pasar valas (EMP) didefinisikan
EMP = δet −
σ δe
• δRt …………………………………………………………….(1)
σ δR
5
Dimana δet =
et − et −1
R − Rt −1
dan δRt = t
……………………………………(2)
et −1
Rt −1
Antara perubahan nilai tukar dan perubahan cadangan devisa, masing-masing
berhubungan positip dan negatip dengan indeks tekanan pasar valas. Perekonomian
dikatakan krisis jika EMP melebihi rata-ratanya ditambah dengan standar deviasi yang
ditentukan, katakanlah sebesar m. Dalam penelitian yang dilakukan kali ini besarnya m
ditentukan sama dengan 1.5 mengacu pada penelitian sebelumnya (Dimas, 2008) dan
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Lestano, Jacobs dan Kuper (2003). Jika
EMP merupakan rata-rata dari indeks EMP dan EMP s menunjukkan standar deviasi dari
indeks EMP-nya, maka secara formal dikatakan krisis mata uang (currency crisis), jika
didefinisikan dengan dengan
Crisist =
1, jika EMP µEMP + mσ EMP
0, jika EMP µEMP + mσ EMP ……………………………..(3)
Menentukan indikator yang mempunyai peran penting terjadinya krisis
Seperti yang pernah dilakukan Kaminsky et al (1998), krisis mata uang yang
didahului masalah ekonomi dan bahkan politik, maka membangun model yang mampu
memprediksi krisis seharusnya memasukkan berbagai indikator ekonomi yang luas.
Sebagian besar penelitian, memasukkan berbagai indikator ekonomi seperti yang pernah
dilakukan oleh Kaminsky et al (1998). Dalam berbagai penelitian yang telah dilakukan
(lihat, misalnya Herrera&Garcia, 1999; Park, 2002; Adiningsih, 2002; Tambunan, 2002;
Bussiere&Fratszcher, 2002; Mariano et al, 2003, Leastano et al, 2003; Heun&Schlink,
2004 dan lain-lain), indikator yang digunakan dalam penelitian ini dapat disimpulkan
sebagai berikut:
Pendekatan “Sinyal” Untuk Mengukur Kinerja Indikator
Setelah indikator yang digunakan untuk memprediksi krisis ditentukan, sekarang
akan dilakukan penentuan sinyal tejadinya krisis dari indicator indikator di atas. Masingmasing indikator akan dianalisis secara terpisah dengan pendekatan univariate untuk
memprediksi terjadinya krisis. Masing-masing indikator akan dilihat apakah mengalami
deviasi dari perilaku “normal” melebihi pagu ketentuannya (beyond the treshold). Jika
indikator melewati batas pagu ketentuannya maka dikatakan ada isu sinyal (to issue a
signal) terjadinya krisis. Definisi sinyal, seperti yang dilakukan oleh Heun dan Schlink
(2004), adalah sebagai berikut. Jika X dinotasikan untuk menunjukkan vektor ke-14
indikator di atas, maka Xt,j adalah nilai indikator j pada periode t. Sehingga, sinyal untuk
indikator j periode t didefinisikan dengan
…………………(4)
Sebagai catatan di sini, beberapa indikator mengalami peningkatan di atas nilai
ketentuannya yang mengindikasikan kemungkinan terjadinya krisis yang semakin besar,
sementara indikator yang lain berada di bawah pagu ketentuannya.Melewatnya indikator
dari pagu ketentuannya dapat disimpulkan pada berdasarkan table berikut berikut.
Mensinyalkan waktu / signalling windows, (Kaminsky et al, 1998), adalah
periode dimana masing-masing indikator dapat diprediksi mampu mengantisipasi krisis
mata uang. Kaminsky et al (1998) menyusun masing-masing sinyal waktu ini ke dalam
24 bulan sebelum terjadinya krisis. Penentuan signalling windows ini memang kelihatan a
priori, namun sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh para peneliti yang lain,
seperti Kaminsky dan Reinhart (1999), Goldstein, Kaminsky dan Reinhart (2000).
6
Sementara Anailsis sensitifitas pernah dilakukan oleh Goldstein, Kaminsky dan Reinhart
(2000) yang menunjukkan kesimpulan yang hampir sama untuk mensinyalkan krisis
dalam waktu 18 dan untuk jangka waktu 12 bulan terlalu restriktif. Sinyal krisis yang
lebih panjang memberi kondisi yang lebih kondusif bagi pengambil kebijakan untuk
menyesuaikan kebijakan sekaligus mengambil langkahlangkah yang tepat dalam
mengantisipasi keadaan sebelum terjadinya krisis baru. Penggunaan jangka waktu
panjang (24 bulan) sebagai signaling windows memberikan hasil yang lebih akurat
dengan parameter seperti noise yang kecil, dan probabilitas krisis yang tinggi (Dimas,
2008). Dari definisi sinyal ini, maka kinerja indikator bisa diukur. Jika indicator
menunjukan sinyal yang mengarah pada kemungkinan kondisi terjadinya krisis, maka
dikatakan sinyal bagus (good signal). Sebaliknya, jika sinyal tidak mengarah pada
kondisi terjadinya krisis setelah 24 bulan kemudian, maka dikatakan sinyal
palsu/gangguan (false signal / noise). Rasio sinyal palsu terhadap sinyal bagus disebut
noise-to-signal ratio dan rasio ini memainkan peran penting dalam menentukkan
bekerjanya sistem peringatan dini (early warning system) sebelum krisis. Hasil dari
masing-masing indikator yang disebutkan diatas dapat disimpulkan dalam tabel matrik
2x2 berikut (Kaminsky et al, 1998):
TABEL 3.
MATRIKS SINYAL INDIKATOR
Krisis
Tidak ada krisis
(dalam 24 bulan)
(dalam 24 bulan)
Ada Sinyal (signal issued)
A
B
Tidak ada sinyal (No signal Issued)
C
D
Sumber: Kaminsky et al (1998)
• A = Jumlah bulan dimana indikator menunjukkan sinyal baik, indikator dalam
penelitian melewati batas atas pagu ketentuannya (treshold).
• B = Jumlah bulan dimana indikator menunjukkan sinyal palsu atau gangguan
(tidak terjadi krisis dalam kurun waktu 24 bulan)
• C = Jumlah bulan dimana indikator tidak menunjukkan sinyal untuk krisis,
namun dalam kurun waktu 24 bulan berikutnya terjadi krisis
• D = Jumlah bulan dimana indikator tidak menunjukkan sinyal untuk krisis dan
dalam kurun waktu 24 bulan berikutnya tidak terjadi krisis
Pemodelan Krisis
Setelah menentukan aturan signaling windows dan threshold krisis, maka
dilanjutkan dengan menyusun model, dengan leading indicator yang memiliki
probabilitas >50% yang akan diolah dalam estimasi model logit. Hal ini merupakan
langkah kedua untuk melihat konsistensi dari variabel-variabel yang memiliki
probabilitas terjadinya krisis, sehingga pada akhirnya diperoleh leading indicator yang
berpengaruh kuat mendorong terjadinya krisis mata uang di Indonesia. Pengukuran
kinerja indikator ini sangat konsisten dalam beberapa penelitian yang dilakukan, misalnya
oleh Kaminsky dan reinhart (1999); Kaminsky, Lazondo dan Reinhart (1998); Edison
(2000); Goldstein, Kaminsky dan Reinhart (2000). Beberapa penelitian yang dilakukan
ternyata menunjukkan bahwa peringkat masingmasing indikator tidak berubah banyak
jika diukur dengan pengukuran kinerja yang berbeda. Namun demikian, dalam penelitian
ini pengukuran kinerja indikator yang digunakan dipusatkan pada :
, merupakan probabilitas seluruh
1. % Of Obs. Correctly Called =
pengamatan yang menunjukkan tepat dalam memperingatkan krisis
7
2. Noise-to-signal-ratio.
Rasio
B/(B + D)
dengan noise − to − signal − ratio =
A /( A + C )
ini
didefinisikan
mengukur/membandingkan
jumlah sinyal yang salah (kesalahan tipe 2) terhadap jumlah sinyal benar (kesalahan
tipe 1), sehingga semakin kecil NTS maka semakin kecil NTS, maka semakin baik
untuk digunakan sebagai indicator
3. %
Of
Crises
Correctly
Called,
=
, merupakan ukuran yang menunjukkan seberapa tepatkah suatu indikator dapat
menginyaratkan bahwa suatu sinyal dapat memberikan respon terjadinya krisis secara
tepat. Sehingga semakin besar respon benar dalam peringatan krisis, maka semakin
baik sebagai indikator sistem peringatan dini
merupakan ukuran yang menunjukkan
4. % Of False Alarms Of Total Alarms, =
besar atau jumlah false alarm dalam dominasi terhadap total alarm. Sehingga semakin
kecil % false alarm, semakin baik indeks komposit indikator sebagai sistem
peringatan dini
, merupakan ukuran probabilitas
5. % Prob. Of Crisis given an Alarm (Pc )=
terjadinya krisis ketika sinyal dikeluarkan. Semakin tinggi peluang terjadinya krisis
saat sinyal muncul, semakin baik indeks komposit indikator sebagai sistem
peringatan dini
6. % Prob. Of Crisis given No Alarm =
merupakan ukuran yang menunjukkan
terjadinya krisis ketika sinyal tidak muncul. Dengan demikian semakin kecil peluang
terjadinya krisis saat sinyal tidak muncul, maka semakin baik indeks komposit
indikator sebagai sistem peringatan dini
Model Logit
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa model logit merupakan sebuah
konsep transformasi logaritma atas sebuah peluang (probabilitas). Hal tersebut
menyebabkan distribusi dari peluang (P) akan tampak seperti grafis berikut:
Sumber: Hadad, et al (2003)
GAMBAR 1
KURVA LOGISTIK
Prosedur estimasi untuk model logit dipengaruhi oleh hasil observasi terhadap P,
apakah berupa angka-angka diantara 0 dan 1 atau berupa angka binary yang hanya
menunjukkan angka 0 atau angka 1. Jika nilai P berada diantara angka 0 dan 1, maka
8
metoda yang dilakukan adalah dengan mentransformasikan P dan memperoleh Y=ln [P/
(1-P)]. Setelah itu, prosedur berikutnya adalah dengan melakukan regresi Y terhadap
suatu konstanta dan variabel Xi. Namun demikian apabila nilai P berupa angka binary [0,
1], maka prosedurnya adalah dengan menggunakan metoda maximum likelihood karena
nilai logaritmik P/(1-P) akan menjadi tidak terdefinisikan (Hadad et al, 2003).
Mangunsong (2005) menyebutkan bahwa kemungkinan terjadinya sebuah
peluang kejadian P dalam sebuah model logit dapat dituliskan sebagai berikut:
Pi =
1
1+ e
− ( β 1+ β 2 Xi )
Persamaan tersebut juga dapat ditulis sebagai berikut:
1
eZ
=
1 + e − Zi 1 + e Z
Dimana: Zi = β 1 + β 2 X i
Pi =
Jika Pi adalah kemungkinan terjadinya suatu peristiwa (dalam hal ini adalah krisis
ekonomi), maka kemungkinan tidak terjadinya suatu peristiwa (1-Pi) adalah:
1
1 + e Zi
Pi
1 + e Zi
Sehingga,
=
= e Zi
− Zi
1 − Pi 1 + e
Pi
Dimana
disebut dengan odds (resiko) suatu peristiwa, yaitu rasio kemungkinan
1 − Pi
1 − Pi =
terjadinya suatu peristiwa terhadap kemungkinan tidak terjadinya suatu peristiwa
(Mangunsong, 2005). Jika digunakan operasi transformasi logaritma, maka akan
diperoleh model sebagai berikut:
Li = ln
Pi
= Z = β1 + β 2 X i ……………………………………………………..(5)
1 − Pi
L merupakan log daripada odds suatu peristiwa, sehingga model tersebut merupakan
bentuk umum daripada model logit. Observasi yang dilakukan dalam model logit meliputi
3 hal, yaitu:
1. Penentuan signifikansi dengan uji Z
2. Pengukuran goodness of fit dengan pseudo R2 serta count R2
3. Pengukuran likelihood ratio
Dalam pengujian derajat signifikansi atas variabel-variabel dalam model logit
dipergunakan uji Z. Penggunaan ini didasari oleh pendapat bahwa dalam model logit
error terms terdistribusi secara normal (bell shaped). Penggunaan distribusi normal
tersebut memerlukan perhitungan tentang luas daerah x = + dan
x = – , serta
x = + 2 dan x = – 2 , serta x = + 3 dan x = – 3 (Pasaribu, 1986).
Hal tersebut disajikan dalam grafis berikut:
Sumber: Pasaribu, 1986
GAMBAR 2.
9
DISTRIBUSI KURVA NORMAL
Nilai batas (threshold) kurva normal tersebut apabila dibandingkan dengan nilai
z-statistic akan menghasilkan probabilita atas derajat signifikansi atas sebuaha variabel.
Observasi yang kedua dalam analisis model logit melibatkan nilai prediksi serta nilai
aktual atas variabel Y. Proses tersebut menghasilkan nilai count R2, yaitu sebuah nilai
(rasio) yang membandingkan antara nilai prediksi yang tepat dengan nilai aktual. Secara
matematis, rasio tersebut dituliskan sebagai berikut (Mangunsong, 2005):
countR 2 =
jumlah prediksi yang tepat
jumlah observasi
Sedangkan untuk goodness of fit dalam model logit menggunakan pseudo R2 atau yang
biasa disebut sebagai McFadden R2 (R2MCF).
Sebagaimana R2, nilai R2MCF juga berkisar antara angka 0 dan 1. Karena nilai
variabel terikat berkisar antara 0 dan 1, maka jika nilai R2MCF berada di atas nilai 0.5
disebut bahwa variabel bebas mempunyai pengaruh yang besar terhadap terjadinya
peristiwa 1 (fokus penelitian). Jika angka R2MCF menunjukkan nilai di bawah 0.5, maka
dsebut bahwa variabel bebas mempunyai pengaruh yang besar terhadap pembentukan
peristiwa 0. Dengan kata lain, variabel bebas tidak mempunyai pengaruh terhadap
pembentukan fokus penelitian.
Menurut Mangunsong (2005) bahwa observasi utama dalam model logit adalah
pada tanda dan signifikansi daripada variabel. Dalam hal tersebut, pengamatan
selayaknya difokuskan kepada tanda serta signifikansi variabel dan uji goodness of fit
menjadi prioritas kedua.
Uji simultanitas (keserempakan) pada model logit mengacu kepada nilai
likelihood ratio (LR). LRstatistic mengikuti kaidah distribusi 2 dengan derajat kebebasan
sama dengan jumlah variabel bebas (Mangunsong, 2005).
Financial Contagion Channel
Pada bagian ini akan dilakukan pengujian terhadap jalur krisis karena imbas
penularan (contagion effect) dari negara yang terkena krisis dalam satu kawasan. Metode
yang akan dipakai dalam melihat unsur contagion di sini adalah mengikuti model yang
dikembangkan oleh Fratzscher tahun 1998. Fratzscher tahun 1998, dalam Bussiere dan
Fratzscher (2002) menggunakan korelasi residual dari imbal hasil di pasar ekuitas
(correlation of equity market return residuals) t selama masa normal sebagai ukuran
dampak penularan pasar uang (measure of financial market contagion) di antara dua
pasar i dan j. Ide dasarnya adalah semakin tinggi integrasi pasar financial menunjukkan
krisis terjadi karena penyebaran/penularan antar pasar mata uang dalam
rentang waktu tertentu. Pertama, akan dicari terlebih dahulu residual imbal hasil (return
residuals) untuk masing-masing negara dengan cara melakukan regresi imbal hasil pasar
ekuitas (ri,t) pada indikator yang relevan pada masing-masing negara, seperti persamaan
berikut :
…..…(6)
Dengan variabel independen masing-masing adalah neraca perdagangan (TB),
perubahan tingkat bunga pada masing-masing negara (i), tingkat inflasi (P), dan kurs spot
(S) masing-masing negara i, sementara GRET adalah imbal hasil pasal modal global.
Selanjutnya, residu dari persamaan ini menjadi variabel baru yang mengukur tingkat
ketergantungan mata uang (degree of financial interdependence/FINCONT) pada saat
korelasi silang antar negara (cross country correlations) dari residual , yang merupakan
proxy ketergantungan mata uang antar berbagai pasar saham Index FINCONT
menunjukkan ukuran penularan krisis (contagion measures) jika suatu negara mengalami
krisis, maka krisis tersebut lebih disebabkan karena adanya krisis yang terjadi di negara
10
lain yang mengalami krisis terlebih dahulu. Dalam berbagai estimasi empiris, jalur
penularan mata uang (financial contagion channel) banyak memainkan peranan penting
dalam menyusun model Early Warning System untuk berbagai kawasan regional, seperti
Eropa, Amerika Latin dan Asia (untuk studi lebih lanjut, lihat Bussiere dan Fratzscher,
2002)
4. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Analisis Krisis Mata Uang
1. Periode Krisis Mata Uang di Indonesia
Pada penelitian ini periodisasi krisis dibedakan menjadi periode sebelum dan
setelah krisis. Pembagian periodisasi tersebut, tercermin dari perbedaan EMP (Exchange
Market Pressure) setiap bulannya mulai 1990.1 sampai dengan 2008.10. Untuk rata – rata
( ) dan standar deviasinya (s ), ditentukan dua, yaitu sebelum terjadi krisis moneter
(1990.1-1998.12) dan sesudah terjadinya krisis moneter (1999.1-2008.10).
GRAFIK 1
EMP DAN BATAS AMBANG MAKSIMUM (THRESHOLD)
Sumber : Data Diolah
TABEL 4
PERIODE KRISIS MATA UANG DI INDONESIA 1990.1-2008.10
DENGAN PENDEKATAN GARCIA
Pendekatan
Bulan-Bulan Krisis
April (4), Mei (5)
1990
Agustus (8), Oktober(10), Desember(12)
1997
Januari (1), Juni(6)
1998
September(9)
1999
September(9)
2000
April(4)
2001
Juni(6)
2006
Oktober(10)
2008
Sumber : data diolah
Menurut Herrera dan Conrando Garcia pada tahun 1999 (Adiningsih et.al, 2000)
menyatakan bahwa jika krisis terjadi dalam empat bulan dari krisis sebelumnya, maka
11
diperhitungkan sebagai satu episode. Dari tabel di atas, dapat kita ketahui bahwa krisis
yang menimpa Indonesia terjadi dalam 7 episode. Epsiode pertama terjadi pada tahun
1990 (April dan Mei), Episode kedua pada tahun 1997 – 1998 (Agustus, Oktober,
Desember, Januari, Juni), Episode ketiga pada 1999 (September). Episode keempat pada
tahun 2000 (September), Episode kelima pada tahun 2001 (April), Episode keenam pada
tahun 2006 (Juni). Episode 7 pada tahun 2008 (Oktober). Epsiode terpanjang terjadi pada
tahun 1997 – 1998, dimana terdapat 5 bulan krisis mata uang dalam satu episode.
Setelah diketahui kinerja indikator dari masing-masing variabel, maka tahap
selanjutnya yang juga merupakan tahap akhir untuk menentukan leading indicators, dapat
dilakukan. Pada tahap ini, proses yang dilakukan adalah dengan menghitung nilai noise to
signal ratio (NSR) dan probability of crisis (PC). NSR digunakan untuk mengukur
jumlah sinyal yang salah terhadap sinyal yang benar, sehingga nilai NSR yang semakin
kecil akan semakin baik. Jika nilai NSR sama dengan satu, hal tersebut menunjukan
bahwa sinyal palsu sama baiknya dengan sinyal yang benar. Sedangkan PC digunakan
untuk mengukur probabilitas terjadinya krisis setelah sinyal dikeluarkan oleh suatu
indikator. Nilai PC yang semakin besar maka semakin baik dengan nilai maksimal adalah
100%. Namun demikian, pada penelitian ini tidak melakukan ekstraksi leading indicator
karena mengadopsi model penelitian yang dilakukan oleh Herrera dan Garcia (1999).
Dalam model penelitian ini, mengacu pada model Garcia,dkk, menggunakan leading
indicator, M2/Reserve, Real Domestic Credit growth (GKRED), Real Effective Exchange
Rate(REER), dan inflasi. Adaptasi variable ini untuk kasus Indonesia sudah melalui
pengujian oleh oleh Susatyo (2002) menggunakaan ekstraksi sinyal seperti yang
dikembangkan oleh pendekatan Kaminsky dan Reinhart (1999). Dan ternyata model yang
dibangun oleh Garcia menunjukkan hasil yang bagus, ditandai dengan noise to signal
ratio yang rendah. Selengkapnya hasil indicator keempat variable dengan pendekatan
Garcia tampak sebagai berikut :
TABEL 5
HASIL MATRIK INDIKATOR
% Prob. % Prob.
%
Of
%
Of
Of
Of
noise-toFalse
% Of Obs.
Crises
Crisis
Crisis
signalAlarms
Correctly
Correctly
given an given
ratio
Of Total
Called
Indikator
Called
Alarm
No
Alarms
(Pc)
Alarm
(B/(B+D))/
(C+D)/
A/(A+C) B/(A+B) A/(A+B) C/(C+D)
(A/A+C))
((B+D)+(A+C))
M2/RESERVE 0.03
56.60
9.09
90.91
11.98
88.44
GKRED
0
29.41
0
100
5.97
94.17
REER
0
66.67
0
100
6.35
94.37
INFLASI
0
57.14
0
100
6.18
94.41
Sumber : Data diolah
Signaling Leading Indicator
Berdasarkan grafik di bawah ini digambarkan bahwa sinyal muncul pada periode
krisi, utamanya pada tahun 1997-1998 dan pada tahun 2008. Patahan tersebut
mengindikasikan adanya pemisahan dalam penentuan ambang batas sinyal sebelum dan
sesudah krisis mata uang di Indonesia.
12
GRAFIK 2
PERGERAKAN LEADING INDIKATOR TERHADAP PAGU KETENTUAN
Estimasi Variabel Contagion
Sebelum melakukan estimasi dengan model Logit, maka pertama – tama akan
dilakukan perhitungan variabel Financial Contagion sesuai dengan persamaan berikut.
Dari hasil estimasi di atas kemudian residunya menjadi variabel baru yang diberi nama
Financial Contagion dan kemudian variabel ini akan diikutsertakan dalam perhitungan
estimasi model logit. Hasil estimasi dari persamaan tersebut adalah :
L_STOCK = 9.988424206 + 0.09539689805TB_IND - 0.6185965226ER
(2.261456)
(0.708954)
(-1.457306)
……………(7)
+ 0.0501158292CPI + 0.3868786596LNASDAQ - 0.6564743484IR
(1.935817)
(1.314808)
(-4.201316)
Karena banyaknya variabel yang digunakan, terdapat kemungkinan akan terjadinya
multikol antar variabel sehingga mengurangi tingkat independensi masing – masing
variabel. Untuk menghindari terjadinya hal ini, maka perlu dilakukan pemilihan data,
agar hasil estimasi yang dilakukan tidak menjadi bias. Proses pemilihan variabel ini
dilakukan dengan menggunakan Matriks Korelasi pada program E-VIEWS. Variabel –
variabel yang mempunyai nilai korelasi antar variable lebih dari 0,70 dianggap
mempunyai multikol. Dari hasil di atas, maka diperoleh variabel – variabel yang
berkorelasi antara lain M2/RES dengan REER. Dengan demikian dalam model estimasi
13
logit nanti salah satu dari variable yang mengalami keterkaitan harus dibuang untuk
menghindari perhitungan yang bias.
Hasil Estimasi Model Logit
Dengan menggunakan estimasi model logit dapat dilihat seberapa besar elastisitas
atau pengaruh dari kesepuluh Leading Indicator yang terpilih dalam memicu terjadinya
krisis nilai tukar di Indonesia. Dalam penelitian ini model logit dibedakan menjadi dua
model, yaitu : model pertama, seluruh variabel yang terpilih sebagai Leading Indicator
dan telah melalui proses pemilihan variabel yang mengalami multikol, dimasukkan ke
dalam estimasi logit. Sedangkan pada model kedua, variabel - variabel yang memiliki
probabilitas lebih dari 10 % tidak disertakan dalam estimasi model logit. Tujuan dari
pembentukan dua model tersebut adalah untuk mencari nilai kriteria informasi model
ekonometri yang lebih baik dengan nilai kriteria informasi yang lebih rendah. Adapun
kriteria informasi model ekonometri tersebut adalah Akaike Info Criterion, Schwarz
Criterion dan Hannan-Quin Criterion
Berdasarkan model Herrera dan Garcia di atas, maka leading indicator yang akan
diestimasi setelah dikurangi variable yang terkena multikol adalah : inflasi, REER, dan
GKRED. Sehingga dapat diperoleh persamaan sebagai berikut :
KRISISt = ln
Pi
=
1 − Pi
1+
2
INFLi +
3
REERi +
4
GKREDi + i………………….(8)
Dimana : Pt = kemungkinan (probabilitas) terjadinya krisis
(1 - Pt) = kemungkinan (probabilitas) tidak terjadinya krisis
KRISISt = Krisis
1 = intercept
2…… 4 = koefisien variabel bebas
i = error term
INFL = Inflasi
REER = Real Effective Exchange Rate
GKRED = Pertumbuhan Riil Kredit Domestik
Model 1 Memasukkan semua variable leading indicator
KRISISt = ln
Pi
=289.141765+0.991251046 5INF+1.271577593 GKRED1 − Pi
z-stat
(-1.761887)
(-0.525644)
(-0.870379)
32.86026598 REER+16.14530904 FINCONT +ui
(1.751704)*
(-1.787017)*…………………………………………………(9)
Keterangan :
INF
= Inflasi
GKRED
= Pertumbuhan Kredit Domestik
REER
= Real Effective Exchange Rate
FINCONT
= Financial Contagion
*= Signifikansi pada nilai kritis 10%
Berdasarkan hasil perhitungan di atas, terdapat 2 variabel yang signifikan pada
=10%, yaitu Pertumbuhan Kredit Domestik (GKRED) dan Penyebaran Keuangan
(FINCONT). Kemudian Variabel-variabel yang tidak menunjukkan pengaruh yang
signifikan diatas 50% akan dikeluarkan dari dalam model, yaitu REER. Sehingga variabel
yang tersisa di dalam model hanya variabel-variabel yang memiliki pengaruh signifikan.
Selanjutnya ditunjukkan bahwa beberapa kriteria informasi pada model logit yaitu:
Akaike Criterion, Schwarz Criterion dan Hannan-Quin Criterion pada model 1
dan model 2 akan dilakukan perbandingan. Dimana semakin rendah kriteria informasi
14
tersebut maka semakin baik hasil estimasinya, sehingga usulan pemilihan model dengan
membandingkan nilai terendah dari ketiga kriteria informasi tersebut
Model 2. Mengeluarkan Variabel REER
KRISISt = ln
Pi
=3.586552436-0.4352289495INF+0.2757313508 GKRED
1 − Pi
z-stat
(-2.476954)
(0.461975)
(-0,252113)
+16.14530904 FINCONT +ui …………………………………………………………………(10)
(-1.940511)*
Keterangan :
INF
= Inflasi
GKRED
= Pertumbuhan Kredit Domestik
REER
= Real Effective Exchange Rate
FINCONT
= Financial Contagion
*= Signifikansi pada nilai kritis 10%
Dalam model 2 ini setelah mengeluarkan 1 variabel yang dimiliki, maka diperoleh hanya
variable contagion yang signifikan pada =10%. Dan hasil dari estimasi logit
menunjukkan hanya GKRED dan FINCONT yang berpengaruh terhadap terjadinya krisis
mata uang.
TABEL 6
PERBANDINGAN HASIL MODEL
Variabel
Model 1
Model 2
COEFFICIENT
ODDS
COEFFICIENT
ODDS
INF
-0.991251
73%
0.435229
39%
REER
32.86027
M2/RESERV
GKRED
1.272578
78%
-0.275731
57%
FINCONT*
16.14531
99%
-4.144247
98%
Dioagnosa Statistik dan Ekonometerik
Akaike info criterion 0.488603
0.644223
Schwarz criterion
0.691352
0.806422
Hannan-Quinn
0.563792
0.704374
criter.
McFadden R-squared
0.571078
0.241054
Sumber : Data Diolah
Interpretasi Model
Berdasarkan table di atas dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwa model pertama
merupakan model yang paling tepat dalam memprediksi krisis mata uang di Indonesia
pada periode penelitian. Beberapa pertimbangan yang dapat dijadikan yaitu :
1. Nilai odds ratio pada model 1 menunjukkan proporsi yang lebih besar. Odds ratio
merupakan nilai yang menindikasikan probabilitas suatu akan terjadi karena
perubahan sesuatu yang lain. Dengan demikian pada model 1 tampak bahwa krisis
mata uang memiliki probabilitas yang lebih tinggi bila variable yang diamati terjadi
tekanan/fluktuasi
2. Odds ratio pada variable FINCONT menunjukkan besaran yang mendekati
sempurna. Artinya memang krisis mata uang di Indonesia lebih dikarenakan dampak
penularan dari Negara lain dengan proporsi yang lebih besar dibandingkan model 2
3. Nilai Akaike, Schwarz, dan Hannan menunjukkan besaran yang lebih kecil. Sehingga
menunjukkan model dengan nilai terkecil adalah model
15
4. Memiliki nilai Mcfadden R-Square terbesar pada model 1, dimana nilai Mc Fadden
menunjukkan seberapa besarkan krisis dapat dijelaskan oleh model. Ternyata pada
model 1 krisis dapat dijelaskan oleh model sebesar 57% dibandingkan 24% (model 2)
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka diperoleh kesimpulan
sebagai berikut
1. Krisis nilai tukar yang menimpa Indonesia terjadi dalam 7 episode. Epsiode pertama
terjadi pada tahun 1990 (April dan Mei), Episode kedua pada tahun 1997 – 1998
(Agustus, Oktober, Desember, Januari, Juni), Episode ketiga pada 1999 (September).
Episode keempat pada tahun 2000 (September), Episode kelima pada tahun 2001
(April), Episode keenam pada tahun 2006 (Juni). Episode 7 pada tahun 2008
(Oktober). Epsiode terpanjang terjadi pada tahun 1997 – 1998, dimana terdapat 5
bulan krisis mata uang dalam satu episode
2. Berdasarkan model peringatan dini yang dibangun oleh Herrera dan Garcia didapat
bahwa leading indicators pertumbuhan kredit domestic (GKRED), Inflasi (INF), dan
ditambah dengan Penularan Keuangan (FINCONT) menjadi model terbaik dalam
melakukan antisipasi/deteksi terhadap krisis mata uang di Indonesia
3. Krisis mata uang di Indonesia pada rentang waktu penelitian, yaitu tahun 1997-2008
dominan lebih disebabkan oleh efek penularan keuangan (contagion effect) dari
Negara lain
4. Melalui estimasi logit, terdapat 2 variabel yang memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap krisis mata uang di Indonesia, yaitu Pertumbuhan Kredit Domestik
(GKRED), dan Penularan Keuangan (FINCONT)
SARAN
Berdasarkan kesimpulan yang telah diperoleh, maka pemerintah perlu
mewaspadai beberapa leading indicators yang secara signifikan mampu memprediksi
terjadinya krisis nilai tukar, yaitu pertumbuhan kredit domestic (GKRED), Inflasi (INF),
dan Penularan Keuangan (FINCONT). Oleh karena itu saran-saran yang perlu
diperhatikan oleh pemerintah terkait variable di atas adalah :
1. Untuk varibel inflasi, pemerintah perlu memperhatikan tekanan dari sisi permintaan
dan penawaran yang bisa berimbas pada kenaikan inflasi. Koordinasi secara intensif
dan akomodatif dengan otoritas fiscal menjadi hal yang penting untuk dilakukan.
Aspek permintaan seperti control pada permintaan atas asset-aset domestik,
perubahan pada suku bunga domestik dan asing, serta pengendalian terhadap
ekspektasi kurs yang akan dating. Aspek penawaran seperti pembelian dan penjualan
valuta domestic oleh bank sentral, perubahan suku bunga dan perubahan jumlah
uang beredar
2. Untuk variable pertumbuhan kredit domestic (GKRED), pemerintah dan Bank
Indonesia perlu melakukan kebijakan kredit yang selektif dengan mengedepankan
aspek prudential banking principle. Kebijakan kredit meliputi pembatasan kredit
untuk keperluan konsumtif, dan sebaliknya pertumbuhan kredit diarahkan untuk
mendukung pembiayaan usaha riil rakyat
3. Untuk variable Financial Contagion (FINCONT), adanya efek penyebaran atau
dikenal dengan istilah FINCONT mencerminkan ketakutan para pelaku pasar akan
adanya penularan krisis yang terjadi pada negara tetangga terhadap Indonesia. Oleh
karena itu, pemerintah seharusnya lebih mencermati kondisi perekonomian global,
terutama di negara – negara yang berada dalam satu kawasan regional dengan
Indonesia. Pemerintah juga dapat melakukan tindakan preventif, yaitu dengan
memperbanyak dan memperkuat kerja sama dengan negara – negara maju di Asia,
16
seperti Korea Selatan dan Jepang dan negara – negara yang berada dalam satu
kawasan regional (ASEAN) untuk menggalang dana cadangan bersama (stand by
loan) yang dapat digunakan sewaktu – waktu apabila ada serangan terhadap nilai
tukar Rupiah. Tindakan lain yang dapat dilakukan antara lain memperketat peraturan
yang mengatur tentang lalu lintas modal di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Adiningsih, S., D.N. Setiawati, and Sholihah, 2002, Early Warning Systems For
Macroeconomic Vulnerability in Indonesia, Final Report, EADN Regional
Project.
Aghion, P., P. Bacchetta dan A. Banerjee (2001), Currency Crises and Monetary Policy
in an Economy with Credit Constraints, European Economic Review, 45(7),
1121-1150.
Arias, Guillaume dan ULF G. Erlandsson. 2004. Regime Switching as an Alternative
Early Warning System of Currency Crises an Applicant to South-East Asia.
Department of Economics, Lund University, Sweden.
Arias, Guillaume dan ULF G. Erlandsson. 2005. improving EWS with Markov Switching
Model- An Application to South East Asian Crises. CEFI working papers
2005, Department of Economics, Lund University, Sweden.
Arifin, Sjamsul. 2007. IMF dan Stabilitas Keuangan Internasional: Suatu Tinjauan
Kritis. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Ariff, Mohamed, dan Ahmed M. Khalid. 2005. Liberalization and Growth in Asia : 21 st
Century Challenges. United Stated : Edward Elgar Publishing.
Asian Development Bank, 2005, East Aasi: Early Warning System For Financial Crises
Application To East Asia, Asian Development.
Bank Indonesia. Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia. Berbagai Nomor Penerbitan.
Berg, A. and C. Pattillo (1999), “Predicting currency crises: the indicator approach an
alternative”, Journl of International Money and Finance, 18 (4), 561-586.
Bussiere, Matthieu dan Fratzscher, Marcel, 2002, Toward A New Early Warning System
of Financial Crises, European Central Bank Working paper no. 145.
Boediono. 1997. Ekonomi Makro. Edisi Keempat.Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.
-----------, 1990. Ekonomi Internasional. Edisi Pertama. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta
Carbaugh, Robert J. 2002. International Economics. Eighth Edition. Ohio: South
Western- Thomson Learning.
Ciarlone, Alessio dan Giorgio Trebeschi. 2005. Designing an Early Warning System for
Debt Crises. Elsevier – Emerging Market Review. Roma: Bank of Italy.
Cramer, J. S. 2003. The Origins and Development of The Logit Model. Amsterdam:
University of Amsterdam and Tinbergen Institute.
Caprio, G., dan D. Klingebiel, 1996, Bank Insolvencies: cross country experience, Policy
Research Working Papers 1620, Worls Bank, Washington,DC.
Carbaugh, Robert J. 2004. International Economics. Ninth Edition. USA: South-Western.
Ciarlone, Alessio dan Trebeschi Giorgio, 2005, An Early Warning System for Debt Crisis,
Emerging Market Review 6, p. 376-395.33
Daniel, Hardy,CL dan Pazarbasioglu Ceyla. 1998, Leading Indicators of Banking Crises:
Was Asia Different?, IMF Working Paper 98/91, International Monetary
Fund, Washington.
Davis, Philip dan Dilruba Karim, Comparing Early Warning System for Banking Crises,
dikutip dari www. Zeni3767.zen.co.uk/early warning.pdf. West London :
Brunei University dan NIESR.
Diamond D dan Dybvig P. 1983. Bank Runs, Deposite Insurance and Liquidity. Journal
of Political Economiy, 91, 401-19.
Donrnbusch, Rodiger dan Stanley Fischer, Richard Startz. 2001. Macroeconomics, Eight
17
Edision. McGraw-Hill. New York.
Demirguc-Kunt, A. And E. Detrgiache (1997), “The determinants of banking crises in
developing and developed countries”, IMF Working Paper 106.
Demirguc-Kunt, A. And E. Detrgiache (2000), “Monitoring banking sector fragility: a
multivariate logit approach”, World Bank Economic Review, 14(2), 287-307.
Djalal, Nachrowi. et. al. 2002. Penggunaan Teknik Ekonometrika. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Dornbusch, Rudinger dan Stanley Fischer. 2004. Macroeconomics. 9th edition. Ohio:
South Western.
Edison, H.J. (2003), “Do Indicators of financial crises work? An evaluation an early
warning system”, International Journal of Finance and Economics, 8 (1), 1153
Eichengreen, B. And C. Arteta (2000), “Banking Crises in emerging markets:
presumptions and evidence”, Working ppers 115, Centre for International
and Development Economics Research, California, Berkley.
Eichengreen, B. And R.Portes (1987), “ The anatomy of financial crises”, in R. Portes
and A.K. Swoboda, editors, Threatsto International Financial Stability,
Cambridge University Press, Cambridge, 10-58
Eichengreen, B., A.K. Rose, and C. Wyplosz (1995), “Exchange rate mayhem: the
antecedents and aftermath of speculative attacks”, Economic Policy, 21,251312.
Eichengreen, B., A.K. Rose, and C. Wyplosz (1996), “Contagious currency crises”,
Scandinvian Journal of Economics, 98(4), 463-484
Flood, Robert, dab Peter Garber (1984) Gold Monetization and Global Dicipline. Journal
of Political Economy. 92 (1), pp.90-117.
Frankel, J.A., dan A.K. Rose, 1996, Currency Crashes in Emerging Markets: An
empirical treatment, Journal of International Economics, 98(4), 463-484
Girton, L dan D. Roper (1977), A Monetary Model of Exchange Market pressure applied
to the postwar Canadian Experience, American Economic Review, 67(4),
537-548.
Goldstein, Morris, 1996, Contagious Currency Crises: First Tests, Scandinavian Journal
Of Economics, 98, 434
Goldstein, Kaminsky dan Reinhart (2000). Assesing Financial Vulnerability: An Early
Warning System for Emerging Markets. Washington DC, Institute for International
Economics.
Goeltom, Miranda S dan Doddy Zulferdi. 1998. Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan
Permasalahnnya. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. Volume 1 Nomor 2. Jakarta:
Bank Indonesia.
Grauwe, P dan Marianni Grimaldi, 2002, Exchange Rate Regimes And Financial
Vulnerability, EIB Papers, vol 7, No.2
Gujarati Damodar N, 2003. Basic Econometrics. Fourth Edition. McGraw-Hill Inc.
Gunawan, H Anton. 1991. Anggaran Pemerintah dan Inflasi di Indonesia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Hadad, Muliaman D., Wimboh Santoso dan Bambang Arianto. 2003. Indikato Awal
Krisis Perbankan. http:www.bi.go.id/NR/rdonlyres/47E2ED4-9B4D-4EF997D36121DBD7C2E/1401/IndikatorAwalKrisisPerbankan.pdf yang diakses
pada 3 Maret 2007.
Hady, Hamdy. 2001. Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan Keuangan
Internasional. Buku Kedua. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Handoyo, Rossanto Dwi. 2006. Majalah Ekonomi: Early Warning System of Financial
Crisis- Implementation of a Currency Crises Model for Indonesia.Tahun
XVI, no.3.Desember, pp.245-260.
Heffernan, Shelagh. 2005. Modern Banking. England : John Wiley&Sons,Ltd
18
Herrera, Santiago and Conrado Garcia, 1999, User’s Guide to An Early Warning System
for Macroeconomics Vulnerability in Latin American Countries, Paper
presented in the XVII Latin American Meeting of the Econometric Society,
August, Cancun.
Heun, M dan T. Schelink, 2004, Early Warning Systems Of Financial CrisesImplementation Of Currency Crisis Model For Uganda, HfB-Business
School Of Finance And Management, 59
http//:www.parisdeclub.com. Dikutip Tanggal 16 Maret 2008. Jam 22.19.
http//:www.hukmas.depkeu.go.id. Dikutip Tanggal 16 Maret 2008. Jam 22.19.
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI),2005, Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi
di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir: Krisis dan Pemulihan,
Yogyakarta: Kanisius.
International Monetary Fund.2007. International Financial Statistics. http://
www.ifs.apdi.net.
Iswardono. 1997. Uang dan Bank. Edisi Keempat. Yogyakarta: BPFE Universitas Gajah
Mada. 35
Juddisseno, Rimsky K. 2002. Sistem Moneter dan Perbankan di Indonesia. Cetakan
Pertama.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Tama.
Kuncoro, Mudrajad, dan Suhardjono. 2002. Manajemen Perbankan. Edisi pertama.
Yogyakarta : BPFE Yogyakarta.
Kunt, Demirg_ç,A dan Detragiache Enrica, 1998. The Determinants of Banking Crises in
Developed and developing Countries. IMF Staff Paper, Vol. 45, No.1,
InternationalMonetary Fund.
Kaminsky, Graciela, Saul Lizondo , dan C.M Reinhart, 1997, Leading Indicators Of
Currency Crises, July, IMF Working Paper 97/98, Washington DC: IMF
Kaminsky, Graciela, Saul Lizondo dan Reinhart, 1998, Currency and Banking Crisis: The
Early Warning of Distress, International Finance Discussion Po.629, Board
Of Governors of the Federal Reserve System.
Kaminsky,G dan C.M., Reinhart, 1999, The Twin Crisis: The Caus