Sastra sosiologi sosiologi sosiologi sosiologi

Sastra & Sosio-Kultural Masyarakat
Oleh: Ahmad Makki Hasan*)
Abstrak
Sastra atau lebih dikenal dengan karya sastra adalah hal yang tidak dapat dilepaskan dalam
suatu masyarakat tertentu. Keberadannya –oleh banyak kalangan- merupakan replika
kondisi suatu masyarakat. Baik itu merupakan imitasi akan sosio-kultural yang telah ada
maupun dapat juga merubah bentuk tatanan yang sudah ada dalam masyarkat. Terlepas
dari itu semua peranan akan sastra dalam pembentukan sosio-kultural masyarakat bukanlah
hal yang sepele. Apalagi dalam masa (global) universalitas seperti saat ini.
Prolog
Dalam sekelompok masyarakat yang memiliki keragaman (homogen), seperti halnya Bangsa
Indonesia, dengan kesatuan budaya nusantara, sangat memungkinkan untuk mampu
mempertahankan ragam seni dalam artian sastra. Dalam masyarakat yang demikian, masalah
kesusastraan dan sastra masih dapat dilakukan secara komprehensif walaupun sarat akan
kesederhanaan. Masyarakat Indonesia yang modern pun merupakan campuran berbagai
ragam etnik, ras, budaya, bahasa, adat dan masih harus ditambah dengan masuknya berbagai
pengaruh kebudayaan luar.
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang tidak autis dalam hal sastra. Oleh sebab itu,
menjadikan sastra sebagai salah satu kebutuhan hidup masyarakatnya. Hal ini dapat ditelusuri
sampai seribu tahun yang lalu. Sejak jaman Mataram-Hindu, pada masa itu, sejarah
kebudayaan Indonesia tidak pernah sepi membicarakan sastra pada setiap zamannya. Untuk

itulah, kebutuhan akan pentingnya sastra bagi kehidupan masyarakat telah lama dikenal
bangsa Indonesia.
Sebagaimana dikatakan oleh Yoseph Yapi Taum (1997: 9) secara potensial, setiap orang
disetiap zaman dan pada setiap tempat dapat bersastra, baik secara aktif (pengarang) maupun
hanya sekedar penerima (pasif). Sehingga seni sastra merupakan sebuah bidang kebudayaan
manusia yang dianggap paling tua. Mendahului cabang-cabang dari kebudayaan yang
lainnya.
Dalam perjalannya, saat ini Indonesia disinyalir sangatlah tidak sensitif pada sastra atau karya
sastra –entah yang salah karya sastra atau pengarang atau bahkan mungkin pemahamannya
akan sastra yang dangkal. Bagaimana pun, unsur hiburan di sini sangatlah dominan
ketimbang hal-hal yang lebih substansial. Sehingga keberadaan sastra tidak memberikan
peran yang besar dalam pembentukan sosio-kultural masyarakat kita. Hal ini tidak lepas dari
perubahan pemahaman masyarakat Indonesia pada sastra.
Sastra dan Kesusastraan
Untuk mendudukkan sebuah penelurusan agar dapat terarah, definisi mengenai subyek studi
tampaknya tidak dapat dihindari. Akan tetapi ketika telaah itu dikaitkan dengan pertanyaan

“apa sastra itu?”, tampaknya akan sulit –jika tidak dapat dikatakan tidak mungkindidapatkan sebuah kesepakatan final.
Menurut Siti Chamamah, istilah sastra dipakai untuk menyebut gejala budaya yang dapat
dijumpai pada semua lapisan masyarakat meskipun secara sosial, ekonomi dan keagamaan,

keberedaannya tidak merupakan keharusan (Jabrohim, 2002: 9). Kalau menengok lebih
dalam pada masa filosof Yunani, kenyataan dilematis seperti ini secara tidak langsung sudah
diakui bahkan oleh Plato dalam bukunya yang berjudul republic. Mengenai dilema ini sudah
dibahas panjang lebar oleh David Daiches. Bagaimana kerumitan ini bisa terjadi, tulisan
berikut ini akan mencoba memberi gambaran tentang peliknya masalah ini.
Plato dalam salah satu bab buku tersebut, pada dasarnya tidak berbicara mengenai definisi
sastra, namun dari pembahasannya mengenai fungsi sastra –yang merupakan inti pokok
bahasannya- dapat ditarik sebuah definisi bahwa sastra adalah sebuah karya tiruan realitas,
yang nota bene adalah wujud tiruan dari dunia ide. Akibatnya, sastra jauh dari kebenaran.
Oleh karenanya, keberadaannya tidak begitu mendapat penghargaan dari Plato. Namun
demikian, ini tidak berarti bahwa ia mengesampingkannya begitu saja. Sebaliknya, jika
dikontrol isinya, ia akan dapat memanfaatkan dengan baik agar penikmatnya menjadi warga
negera yang sesuai dengan keinginan penguasa. Ini bisa terjadi karena karya sastra
mempunyai kekuatan untuk menarik penikmatnya melakukan identifikasi diri pada tokoh
ciptaan pengarangnya. Inilah dasar pemikiran yang kemudian melahirkan lembaga sensor
sastra. Kasus The Satanic Verses-nya Salman Rusdy adalah salah satu contohnya.
Berbeda dengan Plato, Aristoteles bahkan menempatkan karya sastra dan pengarangnya pada
posisi yang sangat terhormat. Bagi Aristoteles, sastra, terutama tragedi adalah dunia
kemungkinan yang ditemukan dan diciptakan secara nyata oleh pengarangnya. Sehingga
penikmatkan akan dapat memperoleh nuansa baru (penyucian jiwa) melalui identifikasinya

pada tokoh tragis yang dihadirkannya, dengan nilai kebenaran yang mampu melintasi ruang
dan waktu, misalnya Oedipus Rex karya Sophocles. Karena kehebarannya meciptakan dunia
kemungkinan tersebut, pengarang tragedi dinilai lebih hebat dari pada filosof dan sejarawan.
Tidak sebagaimana gurunya, Plato, yang menempatkan pengarang bahkan lebih rendah dari
pada seorang tukang kayu. Pemikiran inilah yang kemudian melahirkan teori bahwa sastra
adalah dunia kemungkinan ciptaan pengarang dan dapat bersifat secara universal.
Berasal dari pemikiran kedua filosof di atas itulah kemudian berkembang berbagai teori
sastra. Dari gagasan mimesisnya Plato misalnya, melahirkan paham realisme sosial yang
dianut oleh mereka yang beraliran Marxisme klasik. Akibatnya, karya sastra yang dianggap
baik adalah yang mampu menampilkan realitas perjuangan kelas proletar.
Analisis atau kritik yang menekankan pada perlunya pengaruh karya sastra terhadap
masyarakat ni menggunakan pendekaran pragmatik. Kriterianya, semakin besar pengaruh
karya sastra terhadap masyarakat, semakin baiklah sastra itu. Selain itu, konsep tiruan
(mimesis) Plato juga paham bahwa sastra adalah refleksi atau bahkan potret sosial
masyarakat yang melahirkannya. Dengan demikian, karya sastra yang baik adalah yang
mampu menampilkan potret sosial senyata-nyatanya. Konsep ini kemudian melahirkan
pendekatan mimetik dalam kritik sastra.
Sementara itu, mimesis Aristoteles dengan dunia kemungkinannya telah melahirkan paham
realisme universal, yang selanjutnya mengilhami lahirnya pendekatan objektif. Pendekatan
ini menganggap karya sastra mempunyai dunia otonom sehingga terbebas dari faktor


ekstrinsiknya. Namun ia mengandung kebenaran universal. Kriterianya, karya sastra yang
baik adalah mengandung nilai estetik yang tinggi. Terbentuk dari keterkaitan antar pirantipiranti sastranya. Selanjutnya, yang agaknya bisa dibilang lepas dari kedua tokoh tersebut
adalah pendekatan ekspresif. Dalam analisisny, pendekatan ini menekankan pada pentingnya
kedudukan pengarang agar dapat memamhi karya yang dihasilkannya. Akibatnya, segala
informasi mengenai pengarang menjad sangat penting. Sedangkan teks yang dihasilkannya
hanya sebagai alat pembenaran saja. Pendekatan ini diilhami oleh karya sastra aliran
romantisme dan psikoanalisisnya Freud. Kriterianya, semakin hebat karya itu
mengkespresikan ide pengarang, semakin hebat pula nilai sastranya.
Sastra, Sosial dan Budaya
Kultur atau budaya sering dipahami sebatas kesenian. Padahal, kesenian hanya salah satu dari
produk budaya. Budaya itu sendiri memiliki arti penting dalam pembentukan sebuah
identitas. Ketika budaya sebuah komunitas mengalami penindasan -baik secara sadar maupun
tidak- di dalamnya akan ada kesadaran yang makin melemah atas identitas anggota
komunitas itu sendiri. Implikasinya tidaklah sederhana, karena aspek kehidupan lainnya akan
segera terpengaruh. Oleh karena itu, meminjam istilah Levi-Strauss, Bahasa -apalagi sebuah
karya sastra- dapat dikatakan suatu kondisi budaya dalam suatu masyarakat (Alex Sobur,
2004: 298).
Kajian akan budaya memang seringkali harus memiliki interdisipliner yang utuh. Tetapi pada
prakteknya, untuk menyandingkan sejumlah bentuk dan porses budaya, kajian budaya harus

memecahkan masalah antar disiplin sebagaimana ditekankan oleh Arif Rokhman (2003: 4).
Wolff mengkritik kebiasaanya memakai karya seni dalam studi-studi non-seni. Sebut saja
sosiologi, sejarah, politik dll. Dengan memperlakukan karya sebgai sebuah fakta. Tetapi saat
ini berkembang pendapat bahwa dalam kajian sastra khususnya, selain dituntut menguasai
materi sastra itu sendiri, pengkaji juga harus melihat kaitannya dengan disiplin atau persoalan
lain yang lebih luas di luar karya sastra itu sendiri.
Untuk itulah kajian budaya memperkaya sastra dalam sosiologi. Dalam sejarahnya, karya
sastra dalam dijadikan tumpuan dalam meniliti kaitan teks dengan sistem-sistem yang ikut
menentukan keberadaannya (reproduksi, pengayom, pengarang, pembaca dan bahkan juga
kritikus). Maka dari itu, kita mengetahui bagaimana bisa, budaya kritikus, kebijakan nasional,
iklim budaya politik dan sasaran pembaca ikut menentukan unsur-unsur formal teks,
penciptaan penerbitan karya dan kalsifikasi sastra (popular). Kajian kebudayaan melakukan
penelitian-penelitian yang menarik tentang berbagai genre fiksi popular.
Kecendrungan seperti itulah, sosiologi dan sastra, dianggap terlalu reduksionis dan simplistic
dan searah. Karena memang persoalan yang bersangkut-paut dengan hubungan antara
kesusastraan dan masyarakat merupakan persoalan yang komplek. Karya sastra pada intinya,
bukan tanpa tujuan sosial, sastra bukan terapi jiwa untuk mengobati sakit yang diderita
sastrawannya (Jakob Sumardjo, 1995: 99). Lebih dari itu, sastra atau karya sastra tidak lain
juga untuk dicerna oleh masyarakat dan mendapatkan pengalaman-pengalaman lebih dari
sastra tanpa harus mengalaminya sendiri.

David Glover dan Cora Kaplan, misalnya, membahasa sejumlah asumsi dibalik genre fiksi
kriminal. Jika dalam wacana intelektual sastra yang beraliran new critism atau leavism,
budaya pop dianggap membuat kolusi budaya, Glover dan Kaplan menunjukkan genre yang

didukung oleh industri penerbitan ini mengontraskan sifat-sifat yang diagungkannya, yakni
kegagahan dan dinamisme dengan mengembangkan sastra.
Pemahaman sastra hanya sekedar sebagai dokumen sosial bahkan tidak lebih tinggi, atau
tidak lebih penting dari dokumen sosial lain, semisal praktik hidup sehari-hari (everyday
practices) yang ditawarkan oleh budaya massa dan budaya media. Apa yang disebut nilainilai keindahan yang menjadikan teks sastra selama ini diletakkan dalam poisis high culture
ternyata hanyalah suatu konstruksi sosial, bukan sesuatu yang alamiah.
Posisinya adiluhung dalam budaya adalah hasil pemaksaan selera dan cita rasa kelas sosial
tertentu yang dominan. Mungkin persisnya bukan pemaksaan, melainkan hegemoni.
Pemaksaannya tidak berlangsung dengan kekerasan melainkan dengan bujukan dan
kesukarelaan, yang ditutup-tutupi atau dilupakan, sehingga selera dan cita rasa kelas tertentu
itu seolah-olah merupakan nilai universal yang bernama keindahan.
Epilog
Dewasa ini, banyak orang mengkaji dan membaca sastra, tetapi sesungguhnya mereka
mengabaikan sastra. Dalam mengkaji sastra, mereka tidak lagi seperti kalangan kritikus yang
melihat sastra sebagai medium kesenian yang bernilai pada dirinya sendiri. Karena di mata
mereka, sastra hanyalah suatu teks budaya atau dokumen sosial yang mengandung -di

baliknya atau di luarnya- praktik-praktik penandaan (signifying practices) yang selalu
merupakan hubungan kekuasaan yang timpang. Dan, sastra dikaji dengan kepentingan
menyingkap bekerjanya kontestasi kuasa dalam setiap praktik penandaan itu.
Jika dilihat dalam konteks lahirnya kesadaran nasional maupun regional, dan dalam konteks
pencarian sisi-sisi perbedaan antara dunia poskolonial dengan pusat imperial, kesusastraan
poskolonial berkembang melalui beberapa tahap. Tentu saja tidak bisa dipungkiri bahwa
selama masa imperial, karya-karya tersebut lebih sering ditulis dalam bahasa pusat imperial.
Mereka memang memecah kebekuan, ketika menyatakan kebudayaan sebagai konstruksi
sosial dan ketika mengapresiasi budaya sehari-hari. Tetapi intensi pembebasan yang terlalu
bersemangat itu telah memiskinkan bacaan mereka terhadap sastra. Dengan hanya membatasi
sastra sebagai dokumen sosial, mereka sesungguhnya melupakan dimensi lain yang jauh lebih
penting, yakni sastra sebagai dunia imajinasi dengan segala kesubtilan dan kegilaannya.
Sekian.
*) Ahmad Makki Hasan
Mahasiswa Program Pasca Sarjana UIN Malang