Pengenaan PBB atas Sektor Industri Hulu

Pengenaan PBB atas Sektor Industri Hulu Migas: Suatu Peninjauan Ulang
dan Alteratif Desain Natural Resources Tax 1
Maria R.U.D. Tambunan2
1. Pendahuluan
Produksi Migas di Indonesia cenderung terus mengalami penurunan. Penurunan
tersebut tidak hanya berdampak pada semakin menurunnya penerimaan negara, tetapi juga
ketersediaan energi dalam negeri. Selain permasalahan penurunan produksi migas,
kemampuan Indonesia untuk mengolah minyak mentah di dalam negeri juga masih relatif
belum memadai. Akibatnya saat ini Indonesia melakukan impor minyak mentah sebesar
350.000 barel per hari dan BBM 400.000 barel per hari.
Selain permasalahan teknologi, masalah perpajakan juga dikhawatirkan berpotensi
mengganggu keberlangsungan investasi di sektor hulu migas. Hal ini dikaitkan dengan
pengenaan PBB sektor Pertambangan khususnya sejak diterbitkannya Peraturan Pemerintah
No. 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak
Penghasilan Di Bidang Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi (PP No. 79 Tahun 2010),
meskipun saat ini pemerintah telah mengeluarkan peraturan yang merevisi regulasi tersebut
melalui PMK 267/PMK.011/2014 tentang Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor
Pertambangan untuk Pertambangan Minyak dan Gas Bumi pada Tahap Eksplorasi.
Sebelum diberlakukannya PP No. 79/2010, Indonesia menganut konsep assume and
discharge dimana seluruh seluruh pengenaan PBB Migas ditanggung oleh pemerintah, dalam


hal ini pengenaan PBB Migas dibayarkan oleh Pemerintah (Direktorat Jenderal Anggaran,
Kemenkeu) kepada pemerintah (Direktorat Jenderal Pajak, Kemenkeu). Namun, sejak
diberlakukannya PP Nomor 79 Tahun 2010 ditegaskan bahwa seluruh pengenaan PBB
Migas dimasukkan sebagai komponen biaya bagi KKKS dan akan dikembalikan melalui
mekanisme reimbursement. Pasal 7 ayat (1) PP Nomor 79 Tahun 2010 mangatur bahwa
kontraktor mendapatkan kembali biaya operasi sesuai dengan rencana kerja dan anggaran
yang telah disetujui oleh Kepala Badan Pelaksana, setelah wilayah kerja menghasilkan
produksi komersial (Rosdiana dkk, 2014, 2).

1

Tulisan ini merupakan bagian dari riset tema penelitian pada kelompok Klaster Riset Politik Perpajakan,
Ketahanan dan Kesejahteraan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Haula Rosdiana, M.Si dan Dra. Inayati, M.Si (FIA UI) dan seluruh
tim peneliti klaster Politik Perpajakan, Ketahanan dan Kesejahteraan serta Prof. Sudjati (Teknik Perminyakan
ITB)
2
Pengurus Harian Tax Centre Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia

1


Mengutip penelitian yang dilakukan oleh Rosdiana (2014), disebutkan bahwa pada
Juni 2013, SKK Migas melaporkan bahwa sebanyak dua belas KKKS Minyak dan Gas Bumi
asing mengalami kerugian sebesasar US$1,9 miliar atau Rp19 triliun di enam belas Blok
Eksplorasi di laut dalam akibat gagal mendapatkan cadangan minyak dan gas yang ekonomis.
Pengeboran eksplorasi minyak dan gas bumi di laut dalam telah dimulai sejak tahun 2009
hingga tahun 2013 oleh dua belas KKKS di enam belas blok. Pengeboran sebanyak 25 sumur
eksplorasi telah dilakukan dan telah menghabiskan biaya sekitar US$1,9 miliar, namun
hingga saat ini belum berhasil menemukan cadangan migas yang komersil. Berdasarkan
kondisi tersebut sejumlah KKKS asing tersebut berniat mundur dari wilayah kerja tersebut
dan

berencana

mengembalikan

wilayah

kerja


eksplorasi

kepada

Pemerintah

(relinquish/dikembalikan ke negara).
Sebagai gamabaran mengenai distribusi cadangan minyak Indonesia yang terambil
dan belum terambil sebagai berikut:
Gambar 1
Distribusi Cadangan Minyak

Sumber: Sudjati Rachmat, Jenis-jenis Kontrak Pengusahaan Kegiatan Hulu Minyak dan Gas
Dengan penggambaran yang lebih sederhana, permasalahan dalam produksi pengusahaan
migas di Indonesia dapat disarikan sebagai berikut:

Gambar 2
Resume Permasalahan Produksi Minyak

2


Sumber: Sudjati Rachmat, Jenis-jenis Kontrak Pengusahaan Kegiatan Hulu Minyak dan Gas

Dalam keadaan demikian, pemerintah perlu memikirkan kembali kebijakan yang telah
ditetapkan. Merupakan suatu yang wajar jika pemerintah “mengamankan bagiannya”, namun
semestinya kebijakan yang diambil tidak bersifat distortif yang mengakibatkan investor
meninggalkan kegiatan usahanya. Tulisan ini akan membahas resiko-resiko yang dihadapi
oleh industri hulu migas serta hubungannya dengan permasalahan pajak khususnya PBB serta
alternatif desain pajak yang pernah dilakukan di negara lain terkait industri hulu migas.
2. Gambaran Umum Resiko yang Diharapi Industri Hulu Migas

Perusahaan migas adalah usaha yang penuh risiko. Risiko tersebut tentunya
berhubungan dengan cadangan dan produksi, pembiayaan, pendapatan pemerintah dan harga.
Sebelum membahas mengenai risiko, perlu dipahami terlebih dahulu statistik untuk proyek
migas terutama mengenai besaran-besaran yang mewakili populasi seperti nilai rata-rata, nilai
paling mungkin, minimum, maksimum serta distribusi frekuensi relatif dan distribusi
kumulatif frekuensi relatif. Biaya dalam kegiatan industri hulu Migas merupakan besaran
yang sangat menentukan keuntungan. Biaya dalam proyek hulu migas terdiri dari biaya
eksplorasi, biaya investasi untuk delineasi dan appraisal, investasi pengembangan untuk
sumur, instalasi permukaan dan transportasi serta biaya operasi.

Isu-isu utama dalam kontrak pengusahaan migas terdiri dari kepemilikan hidrokarbon
dan kedaulatan negara atas sumber daya alam, cara eksplorasi dan produksi dilaksanakan,
3

pilihan regulasi, isi peraturan perminyakan hulu, tujuan dari pihak-pihak terkait, rekonsiliasi
tujuan dan berbagi keuntungan serta jenis kontrak. Karakteristik industri hulu migas terkait
resiko yang dihadapi dapat digambarkan melalui gambar berikut:
Gambar 1
Karakteristik Usaha Hulu Migas

Sumber: Sudjati Rachmat, Jenis-jenis Kontrak Pengusahaan Kegiatan Hulu Minyak dan Gas
Mengutip pendapat Partowidagdo (2009), walaupun mengutungkan, investasi di
sektor migas tidak selalu dilakukan tergantung pada ketersediaan dana dan urutan prioritas
investasi pada seluruh investasi yang ada (portofolio). Keputusan investasi migas tergantung
pada keuntungan yang diperoleh serta risiko pengusahaannya. Risiko pengusahaan migas
terdiri dari risiko teknologi, pasar, kebijakan negara. Selanjutnya, Partowidagdo juga
menekankan bahwa dalam keekonomian migas, disamping anggapan tentang nilai
hidrokarbon, diperlukan pemahaman mendalam mengenai 3 hal sebelum melakukan
investasi:
1. Profil produksi, dibuat oleh ahli teknik reservoir dari analisis mekanisme pengeringan

(drainage)
2. Biaya kapital dan operasi, evaluasi oleh penilai biaya
3. Kondisi kontrak dan fiskal yang merupakan faktor penentu pengambilan keputusan
Terkait dengan ketersedian biaya untuk melakukan investasi di bidang hulu migas, maka
biaya-biaya operasional yang umumnya harus dikeluarkan ketika melakukan bisnis ini dapat
digambarkan dalam gambar 3
Gambar 2
Biaya-biaya Operasional Usaha Hulu Migas
4

Sumber: Sudjati Rachmat, Jenis-jenis Kontrak Pengusahaan Kegiatan Hulu Minyak dan Gas
Dalam pengembangan lapangan/blok migas, pembiayaan yang akurat serta
pengontrolan pengeluaran merupakan hal yang krusial. Berbeda dengan sektor hilir, sektor
hulu memiliki kompleksitas yang lebih tinggi. Sektor hulu lebih sederhana karena investasi
yang menghasilkan kegiatan produksi hanya akan dilaksanakan apabila terdapat keuntungan,
sementara keuntungan adalah fungsi produksi, harga, biaya, pajak dan resiko. Untuk sektor
hulu, biaya dipengaruhi oleh teknologi, lingkungan dan keadaan geologi. Sektor hilir
dipengaruhi oleh produksi yang merupakan bagian dari fungsi permintaan. Gambaran biaya
dan potensi resiko sektor usaha hulu migas dapat digambarkan sebagai berikut:


Gambar 3
Gambaran Biaya dan Potensi Resiko Usaha Hulu Migas

5

Sumber: Sudjati Rachmat, Jenis-jenis Kontrak Pengusahaan Kegiatan Hulu Minyak dan Gas
Pemungutan pajak merupakan bentuk dari sovernitas suatu negara. Namun, dalam
pemungutannya seyogiyanya tidak membebani pelaku usaha serta dilakukan dengan prosedur
yang cukup sederhana (less administrative burden). Pemungutan pajak dan PNBP dengan
jenis yang cukup beragam dan dilakukan oleh berbagai instansi dianggap cukup menyita
waktu, tenaga dan dana. Pemerintah perlu membuat suatu desain yang sederhana atas
pungutan-pungutan tersebut dimana pemerintah tetap dapat melaksanakan kepentingannya
dalam pemenuhan anggaran dan tidak terlalu membebani pelaku usaha.

3. Konsep Dasar Property Tax dan Natural Resource Tax
International tax glossary mendefinisikan property tax sebagai “generic term for a tax
or taxes imposed in respect of, in particular, the use or ownership of relevant form of
property. A property tax typically taxes in rem rights relating to property and may therefore
be distinguished from other property-related taxes such as turnover tax or other taxes
imposed on the transfer of property as well as taxes imposed on income (real or deemed)

derived from property. Pemungutan property tax didasarkan pada nilai kekayaan bersih (net
worth tax) atau atas kekayaan tidak bergerak (immovable property tax).

Pajak atas properti dikenakan pada subyek pajak yang merupakan pemilik harta tetap
atau harga bergerak berupa individu maupun entitas usaha. Untuk kategori individu,
pengenaan pajak atas properti pada umumnya dikenakan atas kepemilikan misalnya
kendaraan, rumah dan jenis-jenis sekuritas. Sementara untuk entitas bisnis, kategori properti
6

memiliki cakupan yang lebih luas seperti persediaan bahan baku, mesin-mesin, peralatanperalatan produksi. Selain itu harta tidak bergerak juga tercakup dalam kategori ini meliputi
bangunan atau non bangunan atau suatu khawasan atau gabungannya. Penentuan besaran
pengenaan pajaknya didasarkan pada nilai dari masing-masing properti sesuai harga pasar
wajar atau harga sewa atas penggunaan suatu aktiva.
Pajak atas properti sering digunakan sebagai sumber penerimaan melalui pemungutan
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Pajak properti umumnya tidak bersifat personal,
melainkan dikenakan berdasarkan nilai properti. Isu penting dalam pembuatan desain pajak
properti meliputi (i) apa yang menjadi dasar pengenaan pajak (ii) jenis properti apa yang akan
dikenakan pajak (iii) jenis properti apa yang akan dikecualikan dari pengenaan pajak (iv)
bagaimana pengklasifikasian property untuk tujuan pemungutan pajak.
Pajak properti di Indonesia terdiri dari (i) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan (ii)

Bea Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Terdapat 5 sektor yang dikenal
dalam pemungutan PBB, yaitu sector pertambangan, sector perkebunan, sector perhutanan,
sector pedesaan, sector perkotaan. Atas industri hulu migas di Indonesia dikenakan PBB
sector pertambangan.
Jika kembali mengulas mengenai permasalahan perpajakan atas industri hulu migas,
khususnya PBB pertambangan sector hulu migas, karakteristik industri ini yang merupakan
industri dengan risiko tinggi dan padat modal merupakan tantangan tersendiri dalam
mendesain skema pajak yang sesuai. Dalam melakukan desain pemungutan pajak atas sektor
ini, berbagai negara tengah melakukan simplifikasi yang saat ini sering dikenal dengan
“natural resources tax” sebagai suatu skema baru atas industri ekstraktif yang diharapkan
mampu memberikan bentuk yang lebih sederhana, sudah selayaknya mempertimbangkan
karakeristik industri ini. Menyitir pendapat Daniel et. Al (2010), dalam mendesain skema
natural resources tax, konsep ideal yang sudah selayaknya terkandung di dalamnya adalah

bahwa skema tersebut telah mempertimbangkan aspek production sharing, royalty,
partisipasi pemerintah, contract fee beserta ketentuan mengenai pengadministrasiannya.
Sebelum membahas lebih jauh mengenai natural resources tax, perlu memahami
prinsip dasar yang terkandung di dalamnya. Land (2010) menyebutkan bahwa tujuan
pengenaan natural resources tax adalah untuk memberikan ruang kepada pemerintah untuk
mengenakan pajak atas potensi deposit sumber daya alam yang dimilikinya yang tidak

mungkin tidak dapat dicapture ketika melakukan kontrak yang disebabkan oleh dinamika
proses pengusahaan. Natural resource tax dapat didefinisikan sebagai “the ex-post surplus of
the total project lifetime value arising from the exploitation of a deposit, in present value
7

terms, over the sum of all cost exploitation of a deposit, in present value term, over the sum of
all costs of exploitation, including compensation to all factor of production ” (Land, 2010,

245).
Selain itu, Land juga menekankan posisi dari natural resource tax seperti dalam
kutipan berikut, resources rent tax can be said as combination of other taxes and changes.
Thus, in royalty/tax regime, a resources tax is typically combined with royalty and
corporation tax. The resources rent tax may either be used as final tax levied on after -tax
cash flows or as supplementary levy on pre-tax income, payment of which would be
deductible for corporation tax purpose (Land, 2010, 252). Dengan kata lain natural
resources tax ditujukan untuk mengcapture tax burden yang sesungguhnya dan penerimaan

bagi negara secara adil tanpa menghambat kegiatan investasi.
Dalam membuat desain kebijakan natural resource tax, Boadway dan Keen (2010)
menyarankan untuk mempertimbangkan 3 hal fundamental berikut: (i) discount rates (ii)

sharing risk dan (iii) respon atas informasi yang asimetris. Bagi investor, perhitungan atas
discount rate ditujukan untuk memberikan gambaran nyata atas cashflow perusahaan selama

proses eksplorasi hingga produksi serta potensial biaya atas barang-barang modal yang
digunakan untuk kegiatan usaha. Dengan kata lain, discount rate diharapkan mampu
memberikan informasi kepada shareholder mengenai potensi resiko dan potensi keuntungan
yang akan didapatkan serta flexibilitas dan dukungan pemerintah atas bisnis tersebut.

4. Pengenaan PBB atas Sektor Hulu Migas di Indonesia: Sudah Tepatkah?
Merupakan suatu hal yang logis ketika pemerintah suatu negara berkepentingan untuk
memperoleh penerimaan atas sumber daya yang dimiliki melalui pungutan-pungutan negara.
Adanya pungutan negara yang jenis pungutannya berbeda-beda dibawah otoritas pemerintah
yang berbeda-beda cenderung menimbulkan biaya kepatuhan dan administrasi yang tinggi.
Selain itu, pungutan yang dilakukan oleh berbagai instansi yang berbeda-beda juga
menunjukkan kurang terkordinasinya kegiatan pemerintah atas sektor yang sama. Hal ini
cenderung distortif bagi pelaku usaha. Disaat yang sama, terutama negara berkembang yang
belum memiliki teknologi yang memadai atas pengusahaan industri hulu migas, negaranegara tersebut masih membutuhkan investasi dari swasta. Kondisi pungutan PBB atas sektor
hulu migas dapat digambarkan sebagai berikut:

8

Gambar 4
Objek PBB Pertambangan Hulu Migas

Sumber: Direktorat Jenderal Pajak
Pengenaan PBB dikenakan atas permukaan bumi yang meliputi daerah onshore maupun
offshore. Pengenaan PBB atas areal onshore dapat digambarkan dengan gambar 5 berikut:

Gambar 5
Obyek Pajak Permukaan Bumi Areal Onshore

Sumber: Direktorat Jenderal Pajak

Sementara, pengenaan PBB pertambangan migas untuk daerah onshore dapat digambarkan
dalam gambar 6 berikut:
9

Gambar 6
Obyek Pajak Permukaan Bumi Areal Onshore

Sumber: Direktorat Jenderal Pajak
Dalam kerangka yang lebih detail, adapun obyek PBB pada tubuh bumi dapat digambarkan
dalam diagram berikut:
Gambar 7
Obyek Pajak Tubuh Bumi

Sumber: Direktorat Jenderal Pajak

Adapun perhitungan PBB atas sector pertambangan hulu migas sebagai berikut:

Gambar 8
Perhitungan Nilai Jual Obyek Pajak
10

Pengenaan PBB atas kegiatan eksplorasi dimana pajak dikenakan atas potensi minyak
bumi dari sisi dunia usaha cukup mempengatuhi bagi ketersediaan cashflow perusahaan,
meskipun biaya tersebut nantinya dapat direimburse melalui mekanisme cost recovery.
Namun, pengeluaran yang cukup besar di awal usaha bahkan sebelum kegiatan usaha belum
menghasilkan secara komersial dianggap cukup memberatkan. Hal ini semakin menjadi
kendala ketika Indonesia sudah tidak menganut lagi sistem assume and discharge atas
kontrak-kontrak yang ditandatangani setelah tahun 2010. Perlakukan PBB atas kegiatan hulu
migas sebelum dan pasca pemberlakukan PP No. 70 tahun 2010 sebagai berikut:
Tabel 1
Rezim Kontrak terkait PBB Migas
Assume and discharge
Dibayarkan terlebih dahulu oleh
kontraktor migas
Kontrak migas sebelum tahun Kontrak migas setelah terbitnya
2011
PP No.79 tahun 2010
Besaran PBB dibebankan pada Besaran PBB dibayar dulu oleh
penerimaan migas
kontraktor migas
Beban PBB yang dibebankan baik Besaran PBB akan menjadi biaya
PBB atas kontraktor migas yang yang akan dikembalikan ke
sudah produksi maupun belum kontraktor migas setelah ada
produksi
produksi
Dalam melakukan desain pungutan, hal kedua yang cukup fundamental adalah risk
sharing. Pemerintah juga seharusnya memperhatikan resiko dan mengakomodasi potensi
kesulitan yang dihadapi pelaku usaha. Adanya skema natural resources tax diharapkan dapat
mencerminkan risk sharing antara pemerintah dan kontraktor. Keduanya akan memberikan
reaksi yang berbeda mengenai potensi resiko. Namun, dalam hal ini perlu ditekankan bahwa
pihak yang bersedia menanggung resiko lebih besar akan mendapat keuntungan yang
11

sepadan. Dalam melakukan desain skema pajak ini, terlebih dahulu dilakukan studi dan
simulasi mengenai potensi resiko dan keuntungan sehingga dapat dirumuskan bagian
tanggungan masing-masing pihak. Dengan adanya natural resource tax ditujukan untuk
memberikan gambaran kepada pemerintah mengenai komitmennya selama proses ekplorasi
hingga komersial.
Pertimbangan ketiga, respon atas informasi asimetris. Pembuat kebijakan juga perlu
mempertimbangkan adanya informasi asimetris, dalam arti adanya ruang dimana pemerintah
tidak mendapatkan informasi utuh mengenai kondisi bisnis dari investor, misalnya kondisi
geologi dan kondisi komersial. Pemerintah perlu memikirkan potensi informasi unbalance
tersebut melalui skema natural resource tax. Berikut beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan sebagai tools untuk mengevaluasi kebijakan yang ada sebelum mendesain
kebijakan natural resource rent yang sesuai.
Sebagai sebuah lesson learned, beberapa negara yang telah menetapkan sistem natural
resource sebagai berikut:

Tabel 6.4
Pelaksanaan Natural Resource Tax di Beberapa Negara
Countries

Australia
(Resource rent
tax)

Namibia
Petroleum
Additional
profit tax
Malawi
(Resource Rent
Tax)
Ghana
(Additional
Profit Tax)
Liberia
(Resource rent
tax)

Single
rate/sliding
rate
Single rate
of 40%

IRR threshold Legislated/
contractual

Biddable

Long term
borrowing
rate (6,18%
for 2008) +
5% for
exploration
cost/+ 15% for
capital cost
15%
20%
25%

legislated

no

legislated

2nd and 3rd
tier tax
rates

Post-tax

20%

legislated

no

Post tax

35%

25%

legislated

no

Post-tax

20%

22,5%

legislated

Yes-rate in
excess of
prescribed
rate

Pre-tax

3-tier
sliding scale
starting at
25%
10%

Levied pretax or posttax status
Pre-tax

Sumber: Daniel Philip et. Al (2010), Evaluating Fiscal Regimes for Resources Projects,
5. Kesimpulan

12

Industri hulu migas merupakan industri beresiko tinggi serta padat modal terutama
ketika masih berada pada tahap eksplorasi. Untuk menjamin ketersediaan energi di Indonesia,
pemerintah sudah semestinya menciptakan iklim usaha yang ramah. Salah satu penciptaan
iklim usaha yang ramah adalah dengan simplifikasi pungutan-pungutan negara. Seluruh biaya
operasi menjadi beban investor sepenuhnya pada masa eksplorasi dan memperoleh
pengembalian ketika telah berada pada tahap komersial.
Adanya pungutan negara berupa PBB pada masa eksplorasi dikhawatirkan akan
mengganggu cash flow perusahaan. Namun, disatu sisi pemerintah tidak ingin kehilangan
potensi penerimaannya. Untuk menciptakan kondisi yang fair , perlu dipikirkan untuk
membuat suatu skema perpajakan yang mampu mengakomodasi kepentingan pemerintah
tanpa mengabaikan resiko bisnis yang dijalankan investor. Dengan mengadopsi skema
perpajakan yang baru, natural resources tax diharapkan mampu menjembatani permasalahan
tersebut.
Dalam membuat suatu desain kebijakan natural resources tax, pemerintah perlu
memperhatikan 3 hal yang sangat fundamental, yaitu (i) (i) discount rates (ii) sharing risk
dan (iii) respon atas informasi yang asimetris. Selain itu, pemerintah juga dapat
mempertimbangkan implementasi kebijakan natural resources tax di negara lain sebagai
suatu lesson learned.

6. Referensi
Boadway Robin, (2010), Theoretical Perspective on Resources Tax Design, New York:
Routledge International Monetary Fund.
Boadway Robin, (1993), The Taxation of Natural Resources: Principles and Policy Issue,
Working Paper Policy Research Department International Monetary Fund
Daniel Philip et al., (2010), Evaluating Fiscal Regimes for Resource Projects: An Exmple
from Oil Development, New York: Routledge International Monetary Fund.
Hogan Lindsat and Goldsworthy, (2010) International Mineral Taxation: Experience and
Issue, New York: Routledge International Monetary Fund.
Land Bryan C. (2010), Resource Rent Tax: A-Reappraisal, New York: Routledge
International Monetary Fund.
Mullins Peter, (2010), International Tax Issue for the Resources Sector, New York:
Routledge International Monetary Fund.
Nakhle Caroline, (2010), Petroleum Fiscal Regime: Evolution and Changes, New York:
Routledge International Monetary Fund.

13

Rosdiana et. Al (2015), Indonesia Property Tax Policy on Oil and Gas Upstream Business
Activities to Promote National Energy Security: Quo Vadis? Procedia Environmental
Science, Elsevier.

14