THE FREEDOM OF HUMAN’S INDIVIDUALISM IN THE TWENTHIETH CENTURY: SARTRE’S PHILOSOPHY OF EXISTENTIALISM
EXISTENTIALISM
Sihol Farida Tambunan
Pusat Penelitan Kemasyarakatan dan Kebudayaan (P2KK) LIPI
tsiholfarida@gmail.com
Abstract
Existentialism was a label for many philosophical thoughts developed in the World War I and II. It becomes a break-through against the traditional ways of thinking, namely essentialism considering empirism and rationalism and the ontology of rationalistic being as the only ways of thinking. The traditional thinkers has agreed to dismish any possibility to change the answer to the question of being. The existentialist thinker made
a revolt against that traditional philosopher of essentialism which had developed since the era of Plato and Aristoteles as a deterministic philosophy. Jean-Paul Sartre, well-known French philosopher was one of existentialist thinker who discusses human as an existential subject. According to him, existentialism was also a philosophy of being, but he resists rationalizing it. In his thought, existentialism is the personal experience of human as a subject. He calls ‘etre-en soi’ for human conciousness object and etre pour-soi for human consciousness. The purpose of human existensialist, according to him, is to be etre-ensoi-etre pour soi ’ or the fully consciousness in the self. Subjectivism of human being was becoming the focus of thinking creating a new scientific mainstream called psychology.
Keywords: Existentialism, Anti-deterministic, World War, Psichology and Subjectifism, Being And Nothingnes ( L’Etre et Neant.)
Abstrak
Eksistensialisme merupakan sebuah label yang diberikan terhadap banyak pemikiran filsafat yang berkembang pada Perang Dunia I dan II. Aliran ini mendobrak aliran pemikiran tradisional sebelumnya yaitu Esensialisme yang hanya menganggap empirisme dan rasionalisme serta ontologi rasi onal tentang ‘ada’ sebagai hakikat pemikiran. Pemikir-pemikir tradisional telah menyepakati untuk menghilangkan setiap kemungkinan yang mengubah pertanyaan tentang ‘ada’. Pemikir-pemikir Eksistensialis melakukan revolusi terhadap para Filsuf Esensialis yang telah berkembang selama berabad-abad sejak zaman Plato dan Aristoteles sebagai suatu bentuk filsafat yang deterministik. Jean-Paul Sartre, filsuf Perancis yang terkenal adalah salah satu pemikir Eksistensialis yang membicarakan manusia sebagai subjek yang eksistensial. Menurutnya, Eksistensialisme juga merupakan filsafat tentang ‘ada’, tetapi dia menolak untuk membakukannya menjadi satu-satunya hakikat pemikiran. Ia menganggap bahwa Eksistensialisme merupakan pengalaman personal manusia sebagai subjek. Dia menyebut ‘etre-en soi’ terhadap objek kesadaran manusia dan ‘etre-pour soi’ terhadap kesadaran manusia itu sendiri. Tujuan kesadaran manusia menurut Sartre adalah menjadi ‘etre-en soi- etre-pour soi’ atau ‘kesadaran yang penuh pada dirinya.’ Subjektivitas manusia menjadi fokus pemikiran yang melahirkan aliran ilmu pengetahuan terbaru yaitu Psikologi.
Kata kunci: Eksistensialisme, Anti Deterministik, Perang Dunia, Psikologi, Subjektivisme, Ada dan tiada ( L’Etre et le Neant).
Pendahuluan
Munculnya budaya foto selfie pada masa sekarang ini merupakan dampak dari keinginan
Eksitensialime berkembang sesudah manusia untuk tampil exist. 1 Aliran ini awalnya Perang Dunia Pertama, sebagai suatu gerakan
berkembang di dunia Barat terutama Eropa, dalam pemikiran yang menonjolkan subjektifitas namun pengaruhnya dapat kita rasakan sekarang dan kebebasan manusia di seluruh dunia
termasuk di Indonesia. Aliran pemikiran ini mampu memengaruhi zaman moderen ini di 1 Kata ‘exist’ ini memang sebenarnya hanya
dunia termasuk di
diperuntukkan untuk manusia yang berkesadaran. menimbulkan berbagai perubahan gaya hidup.
Indonesia,
sehingga
Mahkhluk atau benda selain manusia cukup menggunakan kata ‘ada.’
Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 215 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 215
menolong manusia memahami dirinya sendiri. karena aliran ini pada awal abad XX sangat
Psikologi, cabang ilmu termuda, berkembang bermanfaat, karena melahirkan kesadaran akan
dari Eksistensialisme karena para Filsuf hak manusia untuk bebas secara kejiwaan.
Eksistensialisme sangat memperhatikan kejiwaan Eksistensialisme menjadi salah satu tonggak
manusia. Pada eksistensi manusia, diadakan penelitian pemikiran filsafat abad XX yang tujuannya
tentang emosi-emosi manusia yang merupakan membangkitkan aktualisasi diri untuk memiliki
yang merupakan bagian dari keunikan seorang otonomi dan kebebasan.
individu. Pandangan pesimistik tentang konsep kejiwaan manusia banyak menjadi pemikiran
Pemikiran Eksistensialisme juga turut para filsuf karena pada zaman itu penderitaan memengaruhi para tokoh-tokoh intelektual manusia seolah merupakan wabah akibat Perang Indonesia pada awal abad XX, yang kemudian Dunia I maupun Perang Dunia II. memunculkan kebangkitan nasional pada tahun
1908 dengan berkumpulnya para tokoh-tokoh di Sebelum Eksistensialisme berkembang gedung Stovia, Batavia (sekarang Jakarta).
pada masa Perang Dunia I, para pemikir seolah Mereka sadar bahwa objektivasi penjajahan
terpaku pada permasalahan epistemologi esensialisme, harus dibasmi untuk meningkatkan kebebasan
pemikiran yang bermuara pada rasionalisme dan subjek. Subjek sebenarnya merupakan individu-
empirisme spekulatif, dari zaman filsafat Yunani individu yang mempunyai potensi sebagai rakyat
hingga awal zaman modern. Keadaan di atas Indonesia.
merupakan kondisi berubahnya kondisi sejarah peradaban manusia yang memengaruhi sejarah
Pengaruh Eksistensialisme pada dunia pemikiran. Eksistensialisme juga muncul setelah pendidikan di Indonesia pun sangat besar, adanya pertentangan tentang essensi pada karena kebebasan berpikir merupakan awal dari
persoalan ‘being’ (ada) apakah materialisme ontologi atau idealisme metafisik sebagai yang
munculnya sekolah-sekolah
rakyat
jelata.
Sekolah-sekolah ini mulai menjamur pada awal utama. Perang Dunia I telah mengubah cara abad XX, setelah sebelumnya hanya rakyat berpikir manusia dari determinisme menjadi anti golongan atas yang bisa menikmatinya. Dari
determinisme.
perspektif Eksistensialisme, Rukiyati (2016) menjelaskan, bahwa pendidikan sejatinya adalah
Existentialism begins as a voice raised upaya pembebasan manusia dari belenggu-
in protest against the absurdity of Pure belenggu yang mengungkungnya, sehingga
Thought, a logic which is not the logic terwujudlah eksistensi manusia ke arah yang
of thinking but the immanent movement lebih humanis dan beradab. Secara filosofis, hal
of Being. It recalls the spectactor of all time and of all existence from the
tersebut merupakan pemberontakan terhadap speculations of Pure Thought to the
cara hidup individu dalam budaya populer. problems and the possibilities of his Harapan Kaum Eksistensialis, individu menjadi
own conditioned thinking as an existing pusat dari upaya pendidikan dan bukan
individual seeking to know how to live pembangunan organisasi pendidikan. Dengan
and to live the life he knows . mengembangkan pendidikan, maka manusia bisa
(Blackham, 1952: 2). merealisasikan diri secara penuh sebagai seorang
Pada era terakhir pemikiran Essensialisme, manusia.
Frederich Hegel banyak memengaruhi sejarah Eksistensialisme juga menyebabkan
pemikiran dengan Filsafat Idealisme Absolutnya. perkembangan ilmu-ilmu Humaniora seperti
Kemudian, muncullah persoalan ontologi pada Psikologi yang masuk ke dalam kurikulum
Materialisme yang dimotori oleh Karl Marx yang berbagai universitas termasuk di Indonesia,
berhasil meninggalkan persoalan Metafisika Idealisme karena langsung memperhatikan subjek manusia
Hegel tersebut. Menurut Karl Marx, infrastruktur sebagai individu. Humaniora, menurut Rukiyati
atau ekonomi lebih utama dari segala unsur (2016) mengembangkan tema-tema di seputar
suprastruktur atau Idealisme yang dilontarkan penentuan pilihan manusia dalam hal seks, cinta,
Hegel. Perut manusia harus makan dahulu baru benci, kematian, penyakit, dan berbagai aspek
bisa memikirkan ide-ide cemerlang. Sebagai kehidupan yang bermakna lainnya. Mereka
dampaknya, pemikiran Materialisme membuat menyampaikan pandangan tentang manusia
manusia mencari kepuasan pada benda-benda. secara menyeluruh, baik dari perspektif positif
Ternyata ontologi Materialisme lebih menarik
Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016
ini secara tak langsung disebabkan oleh adanya pada mekanisme teknologi. Pada awalnya,
liberalisme dalam budaya berpikir yang revolusi tersebut merupakan masa modern awal
menyebabkan perkembangan ilmu pengetahuan. di mana tenaga manusia bisa dihemat dengan
Setelah revolusi industri abad XVIII, barang- munculnya teknologi. Teknologi sebagai alat
barang yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik bantu manusia, menghasilkan pragmatisme atau
memerlukan modal besar dan pemasaran luas kepraktisan dalam hidup manusia. Awal masa
yang mau tak mau menjadikan para pelaku pasar modern yang dimulai dengan teknologi seperti
harus meninggalkan ekonomi tradisional. mesin kapal uap yang sederhana, ternyata
Eksistensialisme mulai lahir melalui berkembang pada berbagai aspek sampai pemikiran filsuf Denmark Soren Kierkegaard sekarang. (1813-1855) mengenai filsafat Kristiani, sehingga ia
Apakah teknologi itu senantiasa berdampak disebut sebagai sebagai bapak eksistesialisme 3 . membahagiakan manusia? Ternyata, kemajuan
Kierkegaard (1813-1855) sering membahas zaman menjadikan penderitaan pada manusia.
masalah-masalah hakekat iman menurut etika Munculnya Perang Dunia pertama seiring
teologi Kristen yang berhubungan dengan emosi dengan terciptanya senjata-senjata canggih.
keagamaan seorang individu dalam agama Kebebasan
Kristen. Hal ini dikaitkan dengan etika dan kehadirannya. Teknologi yang berkembang yang
teologi Kristen, dan emosi serta perasaan seharusnya mempermudah hidup manusia, justru
individu ketika diperhadapkan dengan pilihan- semakin membuat manusia terikat karena harus
pilihan eksistensial. Oleh Karena itu, karya mengikuti perkembangan zaman. Eksistensialisme
Kierkegaard kadang-kadang digambarkan sebagai pun muncul sebagai pemberontakan atas
Eksistensialisme Kristen dan Psikologi Eksistensial terbelenggunya subjektivitas individu manusia
tentang individu. Menurutnya, “eksistensi hanya dalam menentukan cara berpikirnya. Aliran ini
dapat diterapkan kepada manusia sebagai menjadi antitesa dari aliran-aliran sebelumnya
individu yang konkrit, karena hanya aku individu seperti Rasionalisme, Empirisme, Idealisme dan
yang konkrit ini yang bereksistensi, yang Materialisme yang yang sangat kaku dalam
sungguh-sungguh ada dan hadir dalam realitas menentukan hakikat atau esensi manusia.
yang sesungguhnya. ..” (dalam Baene, 2008). Para pemikir Eksistensialis mendobrak
Pada akhir abad XVIII-XX para Filsuf aliran-aliran filsafat tradisional yang sudah
Eksistensialisme lainnya bermunculan, seperti berkembang selama berabad-abad. Pada aliran-
aliran ini, essensi cara berpikir berdasarkan rasio
2 Pertanian subsisten saat ini terus berlanjut dan
dengan kawasan pedesaan di Afrika sebagai lokasi deterministik sifatnya. Mereka mulai melihat
empiris merupakan
sesuatu
yang
utama, juga kawasan di Asia dan Amerika Latin. bahwa kondisi pemikiran yang berlandaskan
Pertanian subsisten telah hilang di Eropa sejak radikalisme, esensi spekulatif sudah tak cukup
permulaan Perang Dunia I, dan di Amerika Utara untuk menandai keadaan zaman yang sudah
akibat gerakan bagi hasil pertanian (sharecropping) beralih dari manual ke mesin. Manusia harus
yang memunculkan kaum buruh tani pada tahun memperhatikan individunya sebagai eksistensi
1930an dan 1940an. Hingga tahun 1950an, masih yang memiliki keunikan dan mampu berkarya. umum terlihat keluarga petani yang bertani demi Kebebasan berpikir yang dimulai pada awal abad memenuhi kebutuhan keluarga sendiri dan menjual
sebagian untuk membeli komoditas seperti gula, kopi,
18 dengan tumbangnya absolutisme pada bidang dan teh; bahan bakar minyak, produk tekstil (jarum, politik melesat sampai sekarang.
kancing, dan benang); obat-obatan, produk perangkat Kebebasan berpikir karena pengaruh
keras seperti paku, kawat, dan mur; dan barang Eksistensialis juga menyebabkan perubahan rekreasi seperti permen dan buku. Banyak juga yang ingin membayar jasa dokter, dokter hewan, pandai
dalam perekonomian. Kapitalisme juga berkembang besi, dan lainnya, seringkali secara barter. Di Eropa menggantikan Ekonomi Subsistensi (Swasembada
tengah dan timur, pertanian subsisten kembali muncul Pertanian)
dalam masa ekonomi transisi pada tahun 1990-an industrialisasi dan berkembangnya teknologi
yang muncul
sebagai akibat
ketika terjadi pergolakan politik dan ekonomi besar- besaran di sana (bersatunya Jerman, pecahnya Yugoslavia, dan pecahnya Uni Soviet).
3 Encyclopedia of Philosophy.www.iep.utm. edu/kierkega/ J, diakses pada tanggal 12 Oktober 2016
Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 217 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 217
lalu. Karena itu, menurut Sartre selanjutnya, Gabriel Marcel dan Jean Paul Sartre. Dari
satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan mereka semua, Jean Paul Sartre merupakan
manusia.
Filsuf Eksistensialisme yang berhasil membuat Sartre dianggap sebagai pelopor aliran aliran ini berkembang dan terkenal. Masing- Eksistensialisme di Perancis. Ia menyatakan masing filsuf berkembang dengan pemikirannya bahwa eksistensi lebih dulu ada dibandingkan sendiri tentang manusia sebagai eksisensi dalam dengan esensi. Artinya, manusia akan memiliki menghadapi realita hidup. Persamaan pemikiran esensi jika ia telah eksis terlebih dahulu dan mereka hanya pada cara menonjolkan eksistensi esensi tersebut akan muncul ketika manusia manusia sebagai individu. Namun, individualitas mati. Dengan kata lain, manusia tidak memiliki yang anti deterministik telah melahirkan berbagai apa-apa saat dilahirkan. Satu-satunya landasan variasi pemikiran yang berbeda. Nietzche mengatakan “Tuhan telah mati”, sedangkan Karl nilai adalah kebebasan manusia itu sendiri.
Kebebasan berarti mampu memilih dan Jaspers menonjolkan cinta kasih Tuhan sebagai menentukan sikap dari sekian alternatif yang penentu eksistensi manusia yang juga memiliki dimungkinkan. Manusia bebas memilih jalan cinta kasih. Jaspers sangat memperhatikan hidupnya sendiri, namun kebebasan bukan kondisi spiritual manusia dalam menghadapi berarti lepas sama sekali dari kewajiban dan hidup. Heiddeger mengadakan perubahan dalam beban. Menurut Sartre, kebebasan merupakan filsafat barat dari pertanyaan-pertanyaan metafisis sesuatu yang sangat berkaitan dengan tanggung dan epistemologis ke arah pertanyaan-pertanyaan jawab dan tidak bisa dilepaskan satu sama lain. ontologis, yang merupakan pertanyaan-pertanyaan
tentang makna keberadaan manusia. Usaha Media massa Amerika menjuluki Sartre Heiddeger ini merupakan upaya perubahan awal
sebagai the king of existentialists. Selain sebagai dari determinisme filsafat tradisional kepada
filsuf, ia juga seorang penulis novel, essay dan subjektivitas manusia dari keberadaannya.
drama yang terkenal. Ia lahir di Perancis pada tanggal 21 Juni 1905 dalam suasana Perang
Pemikiran para filsuf yang diuraikan di Dunia pertama yang penuh dengan kerapuhan atas, sangat mempengaruhi filsuf Perancis suasana. Hal ini mempengaruhi pandangan terkenal abad XX, Jean-Paul Sartre (1905-1980) Eksistensialismenya yang agak pesimistik yang berhasil mengangkat aliran pemikiran ini mengenai hubungan antar individu. Ia wafat di menjadi gaya hidup pada masanya. Tulisan ini Paris pada tanggal 15 April 1980. Masa kecil merupakan sebuah studi terhadap pemikiran dilewatinya di rumah kakeknya, Charles filsuf Perancis terkenal tersebut yang mengatakan Scwitzer, sedangkan ayahnya telah meninggal "human is condemned to be free" atau “manusia sewaktu ia masih kecil. Dari tahun 1924 sampai dikutuk
untuk bebas ”. Ia menjadikan 1928, ia menempuh pendidikan pada Ecole Eksistensialisme tersebar luas melalui kemampuannya Normal Superieur dan lulus tahun 1929. Setelah menulis karya sastra yang banyak dipentaskan. lulus, ia mengajar filsafat pada beberapa Sekolah Ia seorang Filsuf Eksistensialisme yang berhak Menengah Tingkat Atas di Paris dan tempat- memperoleh hadiah nobel pada tahun 1964, tempat lain. Pada tahun 1933 sampai 1935, ia namun menolaknya. Pada saat ia meninggal belajar di Berlin dan kemudian kembali ke Paris. tahun 1980, di Paris ada sekitar 50.000 orang Sejak tahun 1936 dia mulai menulis karya-karya mengantarkannya ke tempat peristirahatannya novelisnya dan buku-buku filsafatnya yang yang terakhir. Menurutnya Sartre, Eksistensialisme juga merupakan filsafat tentang ‘ada’ atau ‘being’ banyak memengaruhi pemikiran dan perkembangan
zaman.
sebagaimana pandangan Heiddeger, tapi dia menolak untuk merasionalisasikannya. Ia menganggap
Karya-karya novel filosofis Sartre yang bahwa Eksistensialisme merupakan pengalaman
terkenal antara lain: La Nausse (1938) dan Le personal manusia sebagai subjek sehingga ia
Mur (1939). Karya itu ditulisnya pada masa- mengatakan ‘eksistensi mendahului essensi.’
masa menjelang Perang Dunia Pertama. Pada Bagi Sartre, manusia merupakan eksistensi yang
Perang Dunia pertama tahun 1939, Angkatan bebas
Perancis memanggilnya untuk berkembang sebagai individu tanpa terbelenggu
yang memiliki
bertugas pada bidang militer. Dalam tugas ini, ia masa lalu. Manusia tidak memiliki apa-apa saat
ditangkap oleh Jerman sebagai tawanan perang dilahirkan dan selama hidupnya tidak lebih hasil
pada tahun 1940. Setelah masa gencatan senjata,
Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016
filsafat Sartre, selain mulai lagi mengajar filsafat sampai tahun 1944.
Orientasi
dipengaruhi oleh filsuf –filsuf Eksistensialisme Pada tahun-tahun awal berakhirnya Perang
lainnya, juga dipengaruhi oleh Rasionalisme dan Dunia ke II, Sartre sudah menjadi pemikir
Idealisme dari Descartes, Kant, Hegel, Metode Eksistensialis yang cukup berpengaruh di Eropa,
Fenomenologi Husser dan Marxisme. Pemikiran di samping sebagai penulis drama dan novel.
para filsuf tersebut membuat Sartre menghasilkan Karya filsafatnya yang terkenal: L’Etre et Le
menonjolkan eksistensi Neant (Ada dan Tiada) ditulis pada masa-masa
karya-karya
yang
manusia dan kebebasannya, namun Sartre tidak ini (1943).
menonjolkan kritik-kritik khusus terhadap aliran- aliran filsafat terdahulu seperti Positivisme,
Hadiwijono (1985) menggambarkan Empirisme dan Materialisme. Padahal kebanyakan pengaruh pemikiran Sartre terhadap Perancis hasil karya pemikiran filsuf-filsuf pendahulu khususnya dan Eropa pada umumnya sebagai Sartre tersebut, merupakan reaksi atas pemikiran berikut: filsuf-filsuf sebelumnya. Tak dapat ditolak
Pada tahun 1940 ketika karena bahwa Sartre dalam banyak hal adalah pemikir penjajahan Jerman itu segala yang
asli. Demikian tertera dalam The Encyclopedia jasmaniah runtuh, maka runtuhlah juga
of Philosophy (Edward, 1967) mengenai segala cita-cita orang Perancis. Dimana- pembaharuan yang diadakan oleh Sartre pada mana yang ada hanya ketidak-percayaan,
kepahitan, keraguan terhadap tertib negara zamannya. Karya-karya Eksistensialisme Sartre
yang begitu cepat runtuh. Akan tetapi di kebanyakan berbentuk kritikan terhadap eksistensi lain pihak semua rakyat sehati untuk
manusia itu sendiri dari sudut pandang pribadinya. mengusir musuh. Agar supaya rakyat
Keadaan demikian menunjukkan keaslian karya memiliki semangat ketahanan nasional
Sartre sebagai seorang pemikir yang mempunyai itu diperluka suatu pandangan dunia
corak tersendiri.
yang kuat. Rakyat Perancis merasa diberi alat untuk bertahan oleh Sartre
Pokok pemikiran filsafat Satre lebih (Hadiwijono, 1985: 157).
banyak diarahkan kepada manusia sebagai individu, dan hubungan antar manusia dari segi
Bersama-sama dengan filsuf-filsuf Perancis keberadaannya secara khusus atau eksistensinya. lainnya, yaitu Maurice Merleau-Ponty dan
Aplikasinya banyak terlihat pada jurnal politik Simone de Beaufoir yang menjadi teman
dan hasil karya sastranya. Dalam karya hidupnya tanpa nikah sesuai dengan prinsip
dramanya yang berjudul Le Diable et Le Bon kebebasannya-, Sartre
Dieu (Setan dan Tuhan yang Baik), Sartre majalah bulanan yang dinamai Les Temps
mendirikan sebuah
menyatakan bahwa hanya manusialah mahluk Modernes (zaman-zaman Modern) pada tahun
yang sungguh eksis. Eksistensialisme bagi Sartre 1946. Majalah tersebut merupakan terbitan yang
adalah Humanisme ( L’Existentialisme Est Une berorientasikan masalah-masalah politik dan
Humanisme ). Minat Sartre tentang manusia kebudayaan termasuk di dalamnya kebudayaan
adalah mengenai keberadaan manusia secara yang bercirikan Faham Eksistensialis. Dari
individu maupun umum. Sebagai seorang orientasinya yang tertuang dalam majalah
individu manusia mempunyai kekhasannya tersebut, terlihat bahwa Sartre menaruh perhatian
untuk setiap pribadi. Untuk membentuk konsep besar terhadap politik selain terhadap sastra dan
umum mengenai keberadaan manusia, Sartre filsafat. Namun, dalam bidang politik ini Sartre
banyak dipengaruhi oleh filsuf Cartesian, tidak dapat dibilang sukses. Pada tahun 1951 ia
Hegelian dan pemikiran Kristen, yang tertuang mencoba mengadakan gerakan politik baru yang
pada Eksistensialismenya mengenai keberadaan dikenal sebagai golongan kiri yang non-komunis,
manusia secara umum.
namun usaha ini menemui kegagalan. Bahkan keaktifan dalam bidang politik ini sempat
Ia menolak hadiah Nobel untuk kesusastraan menimbulkan perselisihan dengan teman-temannya,
pada tahun 1964. Menurutnya, hadiah Nobel
A. Camus, novelis Perancis dan Merleau Ponty. merupakan beban dari luar yang bila Akhirnya Sartre mengambil keputusan untuk
ditambahkan pada kekuatan kata-kata dalam bekerja sama dengan partai komunis Prancis.
bidang penulisan, maka penulisan akan membuat Karya filsafat terbarunya yang berjudul: Critique
ketidakadilan terhadap pembaca yang berhak
de la Raison Dialectique (1960) yang hanya menilai karya tersebut. Karya-karya Sartre yang terbit dalam volume I adalah uraian Sartre
terkenal antara lain dalam karya Fenomenologi tentang Marxisme dengan eksistensialisme.
Psikologi, yaitu: La Transcendance de L’Ego
Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 219
(1936), Esquisse d’Une Theorie des Emotions menurutnya gagal atau tak pernah tercapai. (1939), L’ Imaginaire (1940). Sedangkan yang
Sartre memandang hubungan itu sebagai karyanya yang lain merupakan ontologi
hubungan subjek dan objek. Padahal sebagai eksistensi manusia yaitu: L’Etre et Le Neant
mahluk manusia, kita membutuhkan hubungan (1943), L’Existentialisme Est Une Humanisme
sosial yang dapat terjadi karena hubungan (1946).
subjek-subjek. Menurut Sartre, Tuhan pun perlu dihilangkan karena ia menolak Tuhan sebagai
Permasalahan Filosofis dalam
subjek yang dapat menghilangkan kebebasan
Eksistensialisme Sartre
manusia.
Pada Eksistensialisme,
termasuk
Definisi dan Konsep Eksistensialisme
Eksistensialisme Sartre, masalah kehidupan manusia menjadi sorotan utama. Eksistensialisme
Aliran filsafat yang dianut Jean Paul mempermasalahkan kondisi manusia secara
Sartre termasuk dalam kelompok Eksistensialisme holistik
atau aliran filsafat yang bertitik tolak dari esensialistik menurut cara berpikirnya yang
atau keseluruhan
bukan
hanya
eksistensi manusia. Etimologi dari ‘Ekstensialisme’ empiristik. Memang, pada akhirnya Eksistensialisme
terdiri dari kata ex (keluar ), sistere (ada) dan me mengakibatkan munculnya suatu keadaan yang
(aliran). Dalam Kamus Bahasa Indonesia, makna kompleks dan kacau. Mengapa? Karena, tentu
dari pada eksistensi , adalah “paham (nya) saja, setiap pribadi yang disebut eksistensi itu
berpusat pada manusia individu yang bertanggung mempunyai keunikannya masing-masing yang
jawab atas kemauannya yang bebas tanpa dapat bertentangan satu sama lain. Manusia itu
mengetahui mana yang benar dan mana yang sebagai
tidak benar (dalam Sazza, 2014). masing-masing sebagai individu, antara lain
Eksistensialisme, manusia dalam hal rasio, intuisi, perasan, kemauan
Menurut
intelektual dan lain sebagainya yang semuanya merupakan mahluk yang “keluar” atau dapat
dipisahkan dari mahluk lain yang non manusia berkaitan dengan kesadaran manusia itu sendiri. bila dilihat dari cara beradanya. Eksistensi Masing-masing manusia ingin menonjolkan manusia merupakan cara berada yang khas dari eksistensinya dan berusaha supaya pandangannya manusia. Di dunia ini hanya manusia yang dapat mempengaruhi lingkungannya. memiliki eksistensi. Mahluk bernyawa lainnya
Kekacauan dapat terjadi karena adanya tidak memilikinya. Dapat dikatakan bahwa berbagai macam pandangan mengenai manusia.
kekhasan manusia sebagai mahluk yang Apabila ada usaha untuk menyelaraskan pandangan-
berpribadi secara khusus dalam keberadaannya pandangan yang muncul dari eksistensi-eksistensi
itulah yang merupakan eksistensinya. Namun, tersebut maka tentu, usaha itu tidak mudah
walaupun manusia adalah satu-satunya mahluk dicapai. Manusia semakin mempertanyakan
yang terlihat bereksistensi di dunia ini, ia tak hidupnya dengan memikirkan reaksi apa yang
hanya berurusan dengan cara beradanya sendiri. harus dilakukan dalam menghadapi kekacauan
Ia juga harus melihat keberadaan mahluk lain atau absurditas tersebut. Eksistensialisme memang
dalam hubungan atau relasi dengannya walaupun mengadakan penelitian tentang emosi-emosi
cara berada mahluk lain itu tak dapat dikatakan manusia sebagai bagian dari keunikan seorang
bereksistensi. Mengapa? Manusia tidak sendirian di individu. Namun, pemikiran
dunia ini. Ia ada bersama-sama dengan lingkungannya Eksistensialisme lebih banyak menonjolkan
para filsuf
di dunia. Di dalam dunia ini jugalah manusia pandangan pesimistik tentang konsep kejiwaan
mengadakan hubungan dengan eksistensi selain manusia akibat penderitaan manusia seolah
dirinya sebagai manusia yang mempunyai cara merupakan wabah akibat Perang Dunia I
berada yang unik untuk bereksistensi. Setiap maupun ke II.
manusia juga mempunyai cara yang unik untuk bereksistensi yang berbeda dengan manusia
Secara khusus, permasalahan filosofis
lainnya.
pada Eksistensialisme Sartre dalam memandang kebebasan individu manusia adalah ciri pesimisnya,
Manusia yang bereksistensi sedapat mungkin karena dia menganggap manusia ‘terhukum
mempertahankan kebahagiaan yang menetap untuk bebas ’. Dia juga terlalu memberikan
dalam dirinya sebagai unsur dasariah keinginan keutamaan kepada subjek sebagai ego yang
hatinya. Dengan adanya kekacauan dan transendental sehingga hubungan intersubjektivitas
Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016
(being). Eksistensialiseme dapat dianggap sebagai pengalaman dalam pengembaraan
Di dalam eksistensialisme, manusia personal seseorang dimana filsafat dihadapkan kepada berbagai macam pilihan yang
sebagai panggilannya. 5 (Blackham, 1952: harus diambil, apakah ia harus hidup dalam
149-150).
kompleksitas atau tetap bertahan dalam keadaan
determinisme dalam tersebut
Situasi
anti
pemikiran Eksistensialisme juga menjadi lebih mempertahankan eksistensinya ataukah ia keluar kompleks dengan adanya usaha memutlakkan dari situasi demikian? Ada manusia yang merasa pemikiran Eksistensialisme yang tadinya anti terikat dan ingin keluar dari situasi yang kacau sistem menjadi suatu sistem pemikiran. tersebut. Apabila sesorang hendak keluar dari Eksistensialisme melihat manusia sebagai mahluk keadaan yang kompleks itu, kemana ia harus yang kompleks dan bukan deterministik. Dengan menuju? Situasi yang kacau dan kompleks dalam demikian, manusia disoroti dari berbagai macam alam pemikiran semakin menyebabkan manusia segi kehidupannya sebagai eksistensi. Manusia merefleksikan pengalamannya masing-masing.
sambil berjuang
terus
untuk
bukan pemilik eksistensi tetapi adalah eksistensi. Manusia kemudian ingin mengenal dan
menemukan dirinya masing-masing, bebas dari Pandangan terhadap manusia pada pandangan orang lain.
Eksistensialisme berubah-ubah seperti pandangan para filsuf Heiddeger, J.P Sartre, Gabriel Marcel
Menurut Walter Kaufmann (1989), “Eksistensialisme adalah label yang diberikan dan lain-lain yang saling berbeda. Konsep
pemikiran Eksistensialisme bersifat aktual, bebas kepada pemikiran-pemikiran yang berevolusi
dan mengandung kreatifitas si pemikir. Terlihat terhadap filsafat tradisional sebelumnya. Kenyataannya, bahwa Eksistensialisme merupakan aliran yang Eksistensialisme
yang mengutamakan kebebasan subjek secara pemikiran yang mengurangi nilai-nilai pemikiran
4 sebelumnya.” pribadi dalam melakukan kreativitas. Walaupun Manusia menurut Eksistensialisme, demikian, manusia bukanlah mahluk yang bukan hanya dapat dilihat dari cara berpikirnya terasing dari dunianya. Ia ada bersama-sama yang empiristik dan rasionalistik, tetapi juga dengan manusia lain dan mahluk lain di dunia dilihat dari keseluruhan manusia itu sebagai dan tidak tertutup terhadap lingkungannya. eksistensi yang memiliki kekhasannya masing- Manusia dipandang sebagai kenyataan yang masing sebagai individu, antara lain dalam hal terbuka dan tidak lengkap tanpa berhubungan rasio, intuisi, perasaan, kemauan intellektual dan dengan mahluk lain. Di tengah-tengah dunia lain sebagainya. Semuanya berkaitan dengan inilah setiap eksistensi mengalami situasinya kesadaran manusia itu sendiri. Eksistensialisme masing-masing secara pribadi, misalnya dalam menonjolkan eksistensi dan bukan essensi yang emosi, intellek, intuisi dan sebagainya. Setiap mempersoalkan empiri atau rasio sebagai Filsuf Eksistensialis akhirnya dapat dikatakan penentu. merupakan filsuf yang menganalisa keberadaan
H.J. Blackham mengungkapkan perbedaan manusia secara subjektif. Keadaan tersebut Filsafat Klasik dan Eksitensialisme. Menurutnya:
menyebabkan objek epistemologi sebagai teori Filsafat Klasik berusaha merasionalisasikan
pengetahuan pada Filsafat Eksistensi menjadi dan berpikir tentang ‘ada’ (Being).
individualistik sesuai dengan pemikiran para Penganut paham (filsafat klasik tesebut
yang muncul pada yaitu, red), skeptisisme dan agnositisme,
filsuf.
Filsafat
berasal dari pengalaman sepakat dalam menetapkan bahwa tak
Eksistensialisme
eksistensial yang berbeda-beda pada setiap ada kemungkinan dalam ketentuan
filsuf. Setiap filsuf eksistensi mengarahkan dalam jawaban-jawaban tentang being. Eksistensialisme juga merupakan filsafat
tentang being, filsafat yang membutuhkan 5 Classical philosohy attemps to rationalize pengesahan dan penerimaan, namun
and to think Being. The many forms of scepticism and agnosticism agree in finding no possibility of certainty in answer to question of being.
4 “Existentialism... is a label for several Existentialism also is a philosophy of Being, a widely
philosophy of attestation and acceptance, and refusal philosophy...Certainly existentialist is not a school of
different revolt
against
traditional
of the attemp of to rationalize and to think Being, can thought nor reducible to any set of tenets ”
be experienced in personal venture to which (Kaufmann, 1989).
philosophy is the call.
Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 221 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 221
kita tak dapat bernapas lega. Latar keunikan.
belakang kecemasan ini adalah pengalaman umum yang menjadikan kita tiba-tiba
Sartre, misalnya, menganggap bahwa merasa sendirian, dikepung oleh hubungan manusia merupakan konflik dan
kekosongan hidup, dimana kita merasa manusia memiliki kebebasan menghadapi keadaan
bahwa hidup kita tak ada artinya. tersebut. Manusia menjadi dinamis, aktif dan
(Hadiwijono, 1985: 84). kreatif terhadap lingkungannya untuk memperoleh
Eksistensialisme lain yang apa yang didambakannya, misalnya kebebasan
Filsuf
pesimisme Eksistensialisme menghadapi keadaan tersebut yang menurut
memengaruhi
adalah filsuf Jerman, Karl Jaspers (1883-1969) Sartre justru merupakan hukuman bagi manusia
yang mengungkapkan pandangannya akan itu sendiri. Manusia dapat berbuat, dinilai dan
kerapuhan manusia sebagai ‘ada’ (being). Dia menilai lingkungannya. Manusia dipandang
melihat manusia lebih kepada mahluk rohani. sebagai mahluk yang terbuka untuk ditelusuri.
Pemikiran Jaspers yang paling dikenal adalah Sebelum memahami pemikiran Eksistensialisme
tentang ‘chiffer-chiffer’ atau segala sesuatu yang Sartre selanjutnya, kita perlu mengetahui
ditangkap secara transenden, seperti pada pemikiran-pemikiran Eksistensialisme sebelumnya,
kutipan berikut: “Better, and unoidable, the terutama pemikiran Heiddeger, karena Sartre
silence of Transcendence, the riddle of chipers .” sangat terpengaruh oleh pemikiran mereka
(Blackham 1952:63). Selain itu Jaspers juga bahkan banyak mengutip pemikiran-pemikiran
terkenal dengan pandangannya tentang "situasi pendahulunya tersebut. Kita dengan lebih mudah
batas" hidup manusia.
memahami pemikiran Sartre setelah mengetahui Ada empat "situasi batas" yang ciri pemikiran Eksistensialisme sebelum Sartre.
menantang manusia untuk mewujudkan Kita dengan lebih mudah memahami pemikiran
dirinya dengan lebih penuh: (1) Kematian; Sartre setelah mengetahui ciri pemikiran
(2) Penderitaan; (3) Perjuangan; dan (4) Eksistensialisme sebelum Sartre. Misalnya,
Kesalahan. "Situasi batas" ini bersifat Heiddeger yang banyak mempengaruhi Sartre
mendua, sebab eksistensi seseorang melihat manusia dalam dorongan ke arah
dapat berkembang maju atau malah ‘kematian’, sedangkan Sartre melihat manusia ke mundur ketika berhadapan dengan arah ‘kemuakan’. "situasi batas" tersebut. Hal itu tergantung
dari pilihan yang diambil oleh orang Heiddeger (1917-1976) tokoh Eksistensialisme
tersebut. (Tjahjadi, 2007: 119-129). Jerman, melihat kepekaan emosi seseorang dapat
Hasil-hasil pemikiran para filsuf inipun semakin menguasai cara hidupnya. Emosi-emosi
akhirnya banyak memengaruhi perkembangan tersebut seperti: Angst (rasa cemas), dan Sorge
pemikiran Sartre, sehingga tampak usahanya (keprihatinan) memuncak ketika manusia menemukan
untuk kembali membuat suatu sistem pemikiran bahwa dirinya seolah ‘terlempar ke dunia’
Eksistensialisme yang baru. (Geworfemheit). Maka, manusia mulai bertanya
mengenai keseluruhan
dirinya.
Dalam
Konsep Eksitensialisme dalam Ontologi Sartre
pencahariannya itu ia merasa bahwa entah dari mana, nasib telah membawa dia berada di
Sartre, sebagai filsuf ‘dunia’ untuk merasakan kekacauan hidup atau
Jean
Paul
Eksistensialisme Perancis pada awal abad XX absurditas yang akhirnya menimbulkan emosi
yang sangat terkenal sangat berpengaruh kecemasan dalam diri yang memengaruhi
terhadap cara berpikir manusia di Perancis dan eksistensi manusia.
dunia Barat. Pandangan hidup Atheisme yang ada pada filsafat Jean Paul Sartre, turut
Di antara susana batin atau perasaan- berdampak pada meluasnya penganut pandangan perasaan itu, yang terpenting ialah rasa
tersebut pada masyarakat Eropa sekarang. 6 cemas (Angst). Rasa cemas inilah rasa yang asasi, yang dasariah, yang menjadi
Eksistensialisme ditentukan oleh banyak hal kunci guna mengetahui keberadaan kita,
yang berhubungan dengan psikologi manusia, yang terdalam... Kecemasan itu mengenai
terutama kesadaran yang hanya dimiliki manusia diri sendiri. Kecemasan adalah ketakutan
di dunia. Itulah sebabnya, Jean Paul Sartre yang datangnya tiba-tiba, yang menyertai kita, yang menjadikan kita bingung
6 Pemikiran Sartre tentang ‘atheisme’ akan seketika... Yang dicemaskan tidak berwujud
dibahas pada bagian selanjutnya dari tulisan ini.
Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016
1. Etre-en Soi (Thingness, Ujud)
filsafat psikologi imajinasinya yang terdapat Bahasa Inggris untuk etre-en soi adalah dalam bukunya yang berjudul L’Imaginaire. thingness (dunia benda-benda). Etre-en soi Keadaan pengalaman penghayatan subjektif adalah ada pada dirinya atau secara singkat merupakan objek yang subur untuk diteliti oleh disebut ujud. Pada etre-en soi (ujud), manusia para Filsuf Eksistensialis sebagaimana yang tidak sadar akan dirinya apakah ia berperan dilakukan oleh Jean-Paul Sartre, yang pemikirannya sebagai subjek atau objek. Ia bukan subjek mengenai Eksistensialisme sampai kepada persepsi, karena ia tak memiliki kesadaran yang dapat konsepsi manusia imajinasi sebagai kesadaran digunakannya. Ia bukan objek karena ia tak manusia. sadar akan kedudukannya sebagai objek. Ia juga
Secara ontologi, menurut Jean Paul tidak sadar akan lingkungannya. Ia tertutup dan Sartre, Eksistensialisme juga merupakan filsafat
gelap dalam segala macam hal. Ia tidak dapat tentang ‘ada’, tapi dia menolak untuk
mengerti dan tidak mengadakan pertanyaan merasionalisasikannya sebagai hakikat ‘ada’. Ia
terhadap apapun. Ia hanya penuh dengan dirinya menganggap bahwa Eksistensialisme merupakan
sendiri sebagai suatu ujud tanpa bersangkut paut pengalaman personal manusia sebagai subjek.
dengan hal apapun yang lain. Etre-en soi yang Dalam bukunya L’Etre et l’Neant, Sartre melihat
tak sadar akan apapun ini adalah dunia benda- eksistensi manusia itu dalam kenyataan sebagai
benda. Manusiapun apabila dilepaskan dari etre-en –soi dan etre pour-soi. Kedua kenyataan
kesadarannya atau apabila ia dipandang sebagai itu
benda, maka iapun merupakan etre-en soi. Tentu ‘kesadaran’ dan ‘yang disadari’, yang saling
merupakan dua
kenyataan
tentang
saja apa bila etre-en soi ini diterapkan pada berhadapan dan bertentangan dalam keberadaannya
mahkluk lain yang tak berkesadaran seperti sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Dr. Berling
manusia, maka dia menjadi objek dari kesadaran yang dikutip di bawah ini.
manusia.
Sebagai penganut ontologi, maka Sartre adalah seorang dualisme yang radikal.
2. Etre-pour-Soi. (Nothingness, Kesadaran)
Dibedakan dua lingkungan yang berhadapan Etre-pour Soi (Kesadaran) adalah ada satu sama lain. Lingkungan yang satu
untuk dirinya. Pada Etre pour-soi tampak dinamakan en-soi, yang kedua dinamakan
pour-soi . En-soi ialah “ujud itu sendiri”: keistimewan manusia sebagai suatu ada yang
benda-benda, peristiwa-peristiwa yang memiliki kesadaran akan segala sesuatu (subjek
kasar. Pour-soi adalah kesadaran yang yang sadar akan adanya objek yang merupakan terbentur pada benda-benda, peristiwa-
Etre-en soi ) baik dirinya sendiri maupun peristiwa, ketentuan-ketentuan dan yang
lingkungannya. Dengan kesadarannya, ia dapat dikonfrontasikan
bertanya mengenai apa saja dan berusaha pertentangan yang fundamental, yang
bersamanya. Jadi
mencari jawabannya. Ia dapat pula mencari makna menguasai alam fikiran Sartre adalah
mengenai segala sesuatu dengan menggunakan pertentangan antara “ujud” dan “kesadaran”
pikirannya yang sadar. Etre-pour –soi menunjukkan (Beerling, 1966: 227-228).
manusia yang mengerti dengan kesadarannya Manusia yang berkesadaran (to be
yang aktif, dan menunjukkan peran eksistensi consciusness ) bagi Sartre merupakan kesadaran
manusia sebagai subjek yang dapat sadar akan akan sesuatu (etre-pour soi), namun dia dapat
adanya objek yang dipikirkannya atau diamatinya. memisahkan diri dari yang disadarinya (etre-en
Dengan demikian, Etre-pour soi adalah ada yang soi ) itu, walaupun ia tak bermakna tanpa yang
tidak buta dan tidak berada dalam kegelapan disadari. Dengan sadar akan sesuatu, berarti
seperti Etre-en soi. Dengan kesadarannya, Etre seseorang dapat memisahkan diri dari sesuatu
pour-soi memperlihatkan adanya kemungkinan itu. Seseorang dapat berjaga-jaga terhadap
perubahan terhadap segala sesuatu yang ternyata sesuatu yang disadarinya. Keadaan inilah yang
berbeda dengan dirinya atau tidak sama dengan memberikan ruang untuk eksistensi manusia
dirinya, yang kemudian menjadi objeknya. Etre dalam memilih secara bebas apa yang mau
pour-soi dengan demikian mengadakan lobang ‘disadarinya’. Penjelasan mengenai kedua bentuk
pada dunia, benda-benda, atau dunia Etre en-soi kesadaran itu diuraikan dibawah ini.
yang sebenarnya sudah ”merasa” penuh atau ”puas” dengan dirinya yang tidak dapat memiliki kesadaran yang mempertanyakan. Tetapi, pada
saat Etre-pour soi dengan kesadarannya mengadakan
Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 223
224
Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016
pertanyaan terhadap Etre-en soi -atau dunia benda-benda-, maka terlihat suatu kemungkinan dalam dunia Eter en –soi di mana kemungkinan itu dapat berupa penyangkalan atau peniadaan (neantisation). Misalnya, Etre pour-soi melihat bahwa benda a tak sama dengan benda b, dan juga tak sama dengan dirinya yang menyadari ketidaksamaan itu. Etre-pour soi mengadakan peniadaan terhadap Etre-en soi pada saat ia sebagai subjek mengamati Etre en soi adalah
objek. 7
3. Etre-en Soi- Etre- pour Soi (Tujuan Akhir Manusia)
Sartre berpendapat bahwa tujuan akhir manusia adalah Etre-en soi-etre pour soi yang penuh dan sadar, dimana ia menjadi sebab atau dasar bagi diri sendiri yang tidak perlu bertanya lagi. Manusia hendak menjadi ‘Tuhan’ atas dirinya. Cita-cita itu akhirnya merupakan kegagalan belaka yang tak kunjung sampai dijangkau oleh manusia karena kesadarannya yang selalu meniadakan dengan bebas. Di sinilah, terlihat konsep pesimisme pada pemikiran Sartre. Pada awalnya Sartre mulai dengan konsep kebebasannya yang memukau. Namun pada akhirnya dia pesimis dengan pencapaian kebebasan itu. Semoga ini tidak terjadi pada kita sebagai bangsa yang berpancasila, yang menganut KeTuhanan Yang Maha, yang menganggap kita sebagai manusia bukan Tuhan atas diri kita, bahkan kita bisa berharap pada Tuhan Yang Maha Kuasa. Konsep manusia menjadi Tuhan atas dirinya dari pemikiran Eksistensialisme Sartre tidak perlu kita terima sebagai bangsa Indonesia.
Penggabungan antara Etre-en soi- dan Etre pour soi atau antara Thingness dan Nothingness; atau antara ketidaksadaran dan kesadaran atau Beingness and Nothingness, merupakan arah pemikiran Sartre sebagaimana judul bukunya yang terkenal l’Etre et le Neant atau Being and Nothingness atau Ada dan Tiada.
4. Atheisme Sartre
Sartre merupakan
seorang
Filsuf
Eksistensialis yang atheis. Ia menolak eksistensi Tuhan dengan meniadakan Tuhan itu. Menurutnya, adanya Tuhan yang menyoroti manusia sebagai subjek yang sadar akan diri dan mempunyai
7 Akan terlihat jelas pada penjelasan yang berjudul: Etre Pour –Autrui sebagai ‘intersubjektivitas
yang gagal ’ pada bagian 6.
kebebasan akan dapat menghilangkan kebebasan itu sendiri. Di samping itu, argumentasi prinsipil bagi penolakan Tuhan dalam pemikiran Sartre adalah Filsafat Atheistik. Rancangannya yang mengatakan karena manusia bebas dan harus sendiri bertanggung jawab, maka Tuhan dan segala penentuannya tidak boleh ada. Jika Tuhan ada, maka akan membatasi kebebasan manusia itu sendiri. Manusia akan taat pada nilai-nilai dari Tuhan dan kebebasan tidak mempunyai makna (Fauzia, 2013).
5. Kebebasan yang Menghukum
Etre pour soi merupakan dunia kesadaran manusia yang dapat menyangkal (mengadakan neantisation) keberadaan Etre-en soi (ujud benda-benda). Dengan kesadarannya,
manusia sebagai Etre pour-soi memiliki kebebasan (la liberte) untuk membedakan antara benda yang satu dengan benda yang lain dan juga membedakan antara benda-benda itu dengan dirinya sendiri. Kebebasan yang dimiliki Etre pour-soi itu dihasilkan manusia karena kemampuannya mencari kemungkinan-kemungkinan dan menidakkan atau menyangkal segala sesuatu yang berbeda satu dengan yang lain dengan menggunakan kesadarannya. Dengan bebas eksistensi bisa berkata bahwa, arang yang diamat-amatinya sekarang tidak lagi kayu yang digunakan untuk membuat arang itu. Manusia juga bebas untuk membedakan dirinya masa kini dengan dirinya di masa lampau atau mengatakan bahwa dirinya masa kini tidaklah sama dengan dirinya pada saat masa lampau. Manusia tidak pernah identik dengan dirinya sendiri karena kemungkinan-kemungkinan yang
berubah setiap saat. ’Eksistensi mendahului essensi’ (L'existence précède l'essence) yang artinya “manusia akan memiliki esensi jika ia telah eksis terlebih dahulu. Esensinya itu, akan muncul ketika manusia mati. Dengan kata lain, manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama hidupnya, ia tidak lebih hasil kalkulasi dari komitmen-komitmennya pada masa lalu. Karena itu, menurut Sartre selanjutnya, satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia (L'homme est condamné à être libre) .” Makna lainnya dari pandangan tersebut yaitu manusia tercipta di dunia tanpa ada tujuan hidup. Manusia berada di dunia terlebih dahulu kemudian ia mencari makna dalam hidupnya. Ia mencari dengan berpetualang ke berbagai tempat untuk menjumpai peristiwa yang terjadi dalam masyarakat.
Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 2 Tahun 2016 225
Manusia itu merupakan eksistensi yang bebas mengadakan penyangkalan (neantisation) terus menerus terhadap dirinya sendiri, atau terhadap sesuatu di luar dirinya setiap saat, karena kemampuannya untuk sadar akan setiap perbedaan atau ketidaksamaan. Si A yang baik, yang saya kenal sekarang, saya sadari tidak sama dengan si A yang jahat 5 tahun yang lalu, karena di dalam diri saya terdapat kesadaran yang melihat kemungkinan-kemungkinan ketidaksamaan tersebut, dan saya memiliki kemauan bebas untuk menyatakan perbedaan tersebut. Pada penyangkalan (neantisation) inilah terletak kebebasan manusia. Mengapa? Karena pada saat manusia mengadakan ketidaksamaan atara si A dan si B misalnya, ketidaksamaan itu dilakukan oleh kesadarannya yang bebas mempertanyakan ketidaksamaan tersebut. Kesadaran bagaikan kupu-kupu yang bebas terbang mengadakan peniadaan. Si A yang baik di masa kini, akan menidakkan dirinya di masa kini, dengan menyadari bahwa ia belumlah mencapai si A yang dikenal wataknya di masa yang akan datang. Penyangkalan berlangsung secara bebas sepanjang eksistensi memakai kesadarannya sebagai Etre pour –soi.