IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Letak Administratif - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Potensi Karakter Keinovatifan Petani dalam Adopsi Pertanian Padi Secara Organik di Kelurahan Pulutan Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga = The P

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Letak Administratif

  Kelurahan Pulutan terletak di Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah dengan perbatasan wilayah kelurahan sebagai berikut:

  Batas sebelah Timur : Kelurahan Sidorejo Lor Batas sebelah Selatan : Kelurahan Sidorejo Lor dan Kelurahan Kecandran Batas sebelah Barat : Kecamatan Tuntang Batas sebelah Utara : Kelurahan Blotongan

Gambar 4.1. Peta Wilayah Kelurahan Pulutan, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga (Sumber: Arsip Kelurahan, 2015)

  Secara administratif luas wilayah Kelurahan Pulutan adalah 237,099 hektar, dengan luas lahan sawah sebesar 130,214 hektar, lahan kering 101,214 hektar dan lainnya sebesar 5,671 hektar. Kelurahan Pulutan memiliki 5 kelompok tani binaan Dinas Pertanian dan Perikanan Kota Salatiga diantaranya Makmur II, Makmur III, Sido Umbul I, Sido Umbul II dan Sido Makmur. Seluruh kelompok tani yang ada di Kelurahan Pulutan tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani Sumber Makmur yang diketuai oleh Bapak Ashadi Komjajin.

  4.2. Program Budidaya Padi Organik di Kelurahan Pulutan Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga

  Program Budidaya Padi Organik merupakan program hasil kerja sama antara Dinas Pertanian dan Perikanan Kota Salatiga dengan PT. Sidomincul yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan petani serta meminimalisir ketergantungan petani terhadap pupuk anorganik. Selain itu, dalam program budidaya padi organik petani diarahkan agar mampu membuat pupuk maupun pestisida organik secara mandiri sehingga dapat menekan pengeluaran usahatani.

  Dalam program ini dilakukan pelatihan selama empat kali musim tanam berturut-turut berupa demplot seluas satu hektar dengan fasilitas saprodi gratis dari PT. Sidomuncul berupa pupuk dan pestisida organik serta pengarahan dan pendampingan dari PT. Sidomuncul dan Pemerintah dengan tahap awal perencanaan, pengenalan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi program setiap pasca panen. Selain berupaya untuk menigkatkan pendapatan dan mengurangi ketergantungan petani terhadap pupuk anorganik, program ini juga bertujuan untuk menciptakan pertanian ramah lingkungan, petani yang mandiri serta dalam jangka panjang terjalin hubungan kerja sama antara kelompok tani dengan PT. Sidomuncul.

  4.3. Karakteristik Responden 4.3.1. Umur

  Umur merupakan usia petani sejak dilahirkan hingga saat penelitian dilakukan.

Tabel 4.1. Distribusi Responden Berdasarkan Umur Jumlah Sampel

  Umur (tahun) Orang % Produktif (14

  24

  71

  • – 64 th)

  10

  29 Tidak Produktif (≥65) Total 34 100 Rata-rata umur (tahun)

  55 Sumber: Analisis Data Primer, 2016

  Tabel 4.1, menunjukkan sebagian besar responden masuk kedalam kriteria umur produktif yaitu 24 orang (71%). Sedangkan untuk umur tidak produktif sebanyak 10 orang (29%). Burhansyah (2014) menyatakan bahwa pada umumnya petani berada pada usia produktif, sehingga dapat diandalkan untuk mengembangkan usaha padi dengan baik. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Wahyuniarti (2011) yang menyatakan bahwa sebagian besar (90%) petani padi terdiri dari usia produktif sedangkan sisanya responden dengan umur tidak produktif. Selain itu, Susanti (2008) menyatakan bahwa sebagian besar petani padi organik berumur lebih dari 55 tahun dan antara 46-55 tahun.

  4.3.2. Jumlah Tanggungan Keluarga

  Jumlah tanggungan keluarga responden merupakan anggota keluarga (anak dan istri) yang masih menjadi tanggung jawab kepala keluarga dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Tabel 4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Tanggunan Keluarga Jumlah Sampel

  Jumlah Tanggungan Keluarga (orang) Orang % < 3

  9

  26

  3

  23

  68

  • – 5 > 5

  2

  6 Total 34 100 Rata-rata Jumlah Tanggungan Keluarga 3 (orang)

  Sumber: Analisis Data Primer, 2016

  Berdasarkan Tabel 4.2, sebagian besar responden memiliki jumlah tanggungan keluarga 3 sampai 5 orang yaitu 23 orang (68%). Responden dengan jumlah anggota keluarga kurang dari 3 sebanyak 9 orang (26%), sedangkan responden dengan jumlah tanggungan keluarga lebih dari 5 orang yaitu hanya 2 orang (6%). Jumlah tanggungan keluarga yang ikut berpartisipasi berpengaruh terhadap kategori adopter, hal ini dikarenakan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan usahatani bergantung pada kepala keluarga (Sari, dkk. 2009).

  4.3.3. Pendidikan

  Pendidikan merupakan pendidikan formal petani terakhir yang pernah ditempuh.

Tabel 4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Jumlah Sampel

  Pendidikan Orang % Tidak Sekolah

  1

  3 SD

  17

  50 SMP

  9

  26 SMA

  6

  18 Universitas

  1

  3 Total 34 100 Rata-rata Pendidikan SD Sumber: Analisis Data Primer, 2016

  Berdasarkan Tabel 4.3, responden dengan tingkat pendidikan SD paling mendominasi yaitu sebanyak 17 orang (50%). Responden dengan tingkat pendidikan SMP sebanyak 9 orang (26%), SMA yaitu 6 orang (18%) dan pada jenjang universitas 1 orang (3%), sedangkan responden yang tidak menempuh pendidikan formal yaitu 1 orang (3%). Fenomena pendidikan petani padi sebagian besar rendah sejalan dengan penelitian Wahyuniarti (2011) menyatakan bahwa responden dengan lama pendidikan 6 tahun mendominasi dari seluruh responden. Susanti, dkk (2008), juga menyatakan bahwa responden sebagian responden hanya menempuh pendidikan sampai jenjang SD karena kondisi pendidikan saat petani berusia sekolah belum semudah saat ini.

4.3.4. Luas Lahan Usahatani

  Luas lahan merupakan luas penguasaan lahan usahatani baik milik sendiri atau kontrak lahan.

Tabel 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Luas Lahan Usahatani Jumlah Sampel

  Luas Lahan (ha) Orang % Sempit (< 0,5)

  23

  68 Sedang (0,5

  11

  32

  • – 2) Luas (> 2) Total

  34 100 Rata-rata Luas Lahan (ha) 0,4343 Sumber: Analisis Data Primer, 2016

  Tabel 4.4, menunjukkan mayoritas respoden memiliki luas lahan usahatani dengan kriteria sempit yaitu sebanyak 23 orang (68%). Responden dengan luas lahan usahatani kriteria sedang sebanyak 11 orang (32%), sedangkan responden dengan luas lahan usahatani dengan kriteria luas yaitu tidak ada. Lahan yang dimaksud meliputi lahan sewa maupun kepemilikan sendiri yang ditanami tanaman padi pada musim tanam 3 tahun 2015. Fardiaz (2008) dalam dari 35 responden luas lahan usahatani padi yang dimiliki tiap responden merupakan lahan sempit (<0,5 ha).

  4.3.5. Pendapatan Usahatani

  Pendapatan usahatani merupakan selisih pendapatan kotor dengan pengeluaran total usahatani dari responden.

Tabel 4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Pendapatan Usahatani Pendapatan Usahatani (Rupiah/Hektar/Musim Jumlah Sampel

  Tanam) Orang %

  1

  3

  • – 10.000.000 >10.000.000

  18

  53

  • – 20.000.000 >20.000.000

  12

  35

  • – 30.000.000 >30.000.000

  3

  9 Total 34 100

Rata-rata Pendapatan 19.818.033

Sumber: Analisis Data Primer, 2016

Tabel 4.5 menunjukkan bahwa sebagian besar responden dalam kelompok tani Makmur II berpendapatan usahatani lebih besar dari Rp 10.000000,000-Rp

  20.000.000,00 yaitu sebanyak 18 responden (53%). Menurut Wahyuniarti (2011) sebagian petani padi berpendapatan di bawah Rp 10.000.000,00 yang dipengaruhi oleh luasan lahan yang digunakan untuk usahatani dan tingkat keberhasilan petani dalam menjalankan usahatani mereka.

  4.3.6. Lama Berusahatani

  Lama berusahatani merupakan lama petani telah bekerja sebagai petani baik itu pekerjaan utama maupun sampingan.

Tabel 4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Lama Berusahatani Jumlah Sampel

  Lama Berusahatani (tahun) Orang %

  4

  13

  38

  • – 16

  17

  10

  29

  • – 29

  30

  5

  15

  • – 42

  43

  6

  18

  • – 55 Total

  34 100 Rata-rata Lama Berusahatani (tahun)

  24 Sumber: Analisis Data Primer, 2016

  Tabel 4.6, menunjukkan bahwa responden dengan lama usahatani 4-16 tahun lebih mendominasi yaitu sebanyak 13 orang (38%). Petani dengan lama usahatani 17-29 tahun sebanyak 10 orang (29%), 30-42 tahun sebanyak 5 orang (15%), sedangkan 43-55 tahun sebanyak 6 orang (18%). Lama berusahatani berhubungan dengan pengalaman petani terhadap permasalahan maupun pengelolaan sistem pertaniannya sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan agar tidak terjadi kesalahan yang sama dalam usahataninya (Hasyim, 2006).

4.3.7. Kosmopolitan

  Kosmopolitan merupakan tingkat hubungan dengan “dunia luar” diluar sistem sosialnya sendiri.

Tabel 4.7. Distribusi Responden Berdasarkan Kosmopolitan Jumlah Sampel

  Kosmopolitan Orang % Rendah (9-15)

  3

  9 Sedang (16-22)

  25

  74 Tinggi (23-39)

  6

  17 Total 34 100 Rata-rata Kosmopolitan 19,47 Sumber: Analisis Data Primer, 2016

  Berdasarkan Tabel 4.7, tingkat kosmopolitan responden dibagi menjadi rendah, sedang dan tinggi. Kosmopolitan berhubungan dengan tingkat informasi yang didapatkan oleh responden dari luar sistem sosialnya atau kelompok tani di kelurahan tersebut. Sebagian besar responden, memiliki keingintahuan yang cukup untuk mencari informasi dari luar mengenai budidaya padi secara organik. Sedangkan tingkat kosmopolitan yang rendah disebabkan karena tingkat keingintahuan dan usaha mencari informasi di luar sistem sosialnya juga rendah. Sebaliknya dengan tingkat kosmopolitan yang tinggi disebabkan karena responden mempunyai keingintahuan yang tinggi untuk mencari informasi tentang budidaya padi secara organik di luar sistem sosialnya. Berdasarkan wawancara petani mencari informasi di luar sistem sosialnya melalui kunjungan ke sentra produksi padi organik, mengikuti seminar, bertanya langsung kepada penyuluh pertanian maupun melakukan studi banding dengan kelompok tani di luar daerah.

4.4. Potensi Karakter Keinovatifan Petani Menurut Kategori Rogers

  Pengkategorian petani adopter didasarkan pada kategori Rogers dimana pada kategori Rogers terdapat 5 kategori adopter yaitu innovator, early adopter,

  

early majority, late majority dan laggard. Penentuan setiap kategori adopter

  ditentukan dengan pengambilan nilai tertinggi dari setiap item pertanyaan keinovatifan petani. Persentase kategori petani berdasarkan karakteristik menurut kategori Rogers dapat dilihat pada gambar 4.2 :

  35% 30% 25% 20% 15% 10%

  5% 0% Innovator Early Early Later Laggard Non Adopter Adopter Majority Majority

Gambar 4.2 Grafik Potensi Karakter Keinovatifan Kelompok Tani Makmur II (Sumber: Analisis Data Primer, 2016)

  Kategori petani kelompok tani Makmur II Kelurahan Pulutan, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga digolongkan berdasarkan kategori adopter menurut teori Rogers. Namun, terdapat 2 orang petani yang tidak memenuhi karakteristik adopter yang kemudian digolongkan menjadi kategori non adopter.

  Pengkategorian petani adopter maupun non adopter berdasarkan item pertanyaan yang disusun berdasarkan karakteristik tiap-tiap kategori petani. Skor tertinggi yang diperoleh pada setiap pertanyaan kategori petani berarti menunjukkan kategori petani adopter berdasarkan kategori Rogers.

  Berdasarkan karakteristiknya, deskripsi karakteristik petani pada setiap kategori dapat dilihat pada Tabel 4.8 :

Tabel 4.8. Kategori Petani Berdasarkan Karakteristik Petani

  Early Early Late Non Innovator Laggard Adopter Majority Majority Adopter

  Umur Produktif (14-64

  1

  8

  6

  6

  1

  2 tahun) Tdk Produktif ( ≥

  1

  3

  5

  1 64 tahun) Jumlah Tanggungan Keluarga

  < 3

  2

  3

  2

  1

  1 3-5

  1

  6

  5

  9

  1

  1 > 5

  1

  1 Pendidikan Tidak Sekolah

  1 SD

  3

  4

  8

  2 SMP

  2

  4

  2

  1 SMA

  2

  2

  1

  1 Universitas

  1 Luas Lahan Sempit ( < 0,5 ha)

  1

  2

  8

  9

  1

  2 Sedang (0,5 – 2

  1

  6

  1

  2

  1 ha) Luas (> 2 ha) Pendapatan

  Usahatani

  • – 10.000.000

  1

  • – > 10.000.000

  2

  9

  4

  2

  1 20.000.000

  • – > 20.000.000

  6

  5

  1 30.000.000 > 30.000.000

  2

  1 Lama Usahatani 4 – 16 tahun

  4

  4

  4

  1

  17

  1

  4

  3

  2

  • – 29 tahun 30 – 42 tahun

  2

  1

  1

  1

  43

  1

  4

  1

  • – 55 tahun Kosmopolitan Rendah (9-15)

  1

  2 Sedang (16-22)

  4

  9

  11

  1 Tinggi (23-29)

  2

4 Total Respoden

  2

  8

  9

  11

  2

  2 %

  6

  24

  26

  32

  6

  6 Tabel 4.8 menunjukkan bahwa dari 34 responden Kelompok Tani Makmur II, hanya terdapat 2 orang (6%) yang dikategorikan sebagai petani innovator. Responden yang tergolong sebagai innovator adalah Bapak Ashadi dan Bapak Sofyani, dimana Bapak Ashadi merupakan ketua Kelompok Tani Makmur II sedangkan Bapak Sofyani adalah salah satu anggota kelompok yang lahannya tergabung dalam demplot program budidaya padi organik. Bapak Ashadi dan Bapak Sofyani dikatakan sebagai innovator karena sesuai dengan karakteristik seorang innovator, selain itu mereka mampu melakukan budidaya padi secara organik sebelum anggota kelompok lain melakukannya. Berdasarkan karakteristik

  

innovator bapak Ashadi dan Sofyani merupakan petani yang berani menanggung

  risiko dalam menghadapi kegagalan dari percobaannya serta mampu mengatasi masalah pertanian. Selain itu golongan innovator lebih berani mengambil risiko, mampu mengatur, mampu mengaplikasikan suatu inovasi serta mampu mengatasi ketidakpastian informasi.

  Petani dengan kategori early adopter pada kelompok tani Makmur II berjumlah 8 orang (24%). Responden yang tergolong sebagai early adopter diantaranya Bapak Muzani dan Bapak Dzikroni yang merupakan pengurus dari Kelompok Tani Makmur II. Selain itu Bapak Najmudin dan Bapak Abdul Mutholib merupakan anggota kelompok yang lahannya digunakan sebagai dempot program pertanian padi organik. Bapak Fauzan sebagai anggota kelompok dengan jenjang pendidikan tertinggi yang ditempuh tergolong dalam early adopter. Beberapa anggota kelompok maupun pengurus yang tergolong sebagai early

  

adopter merupakan responden dengan karakteristik yang sesuai dengan petani

  kategori early adopter karena merupakan anggota yang dapat dijadikan opinion

  

leader yang berpengaruh dalam kelompok tani serta dapat dapat dijadikan role

model dari anggota tersebut. Berdasarkan karakteristik early adopter Bapak

  Dzikroni, Abdul Mutholib, Najmudin dan Fauzan tergolongan adopter yang mempunyai karakteristik lebih terbuka dan lebih luwes, sehingga mereka dapat bergaul lebih rapat dengan petani umumnya. Golongan ini mempunyai pendidikan yang cukup dan lebih aktif mencari informasi melalui penyuluh maupun media massa yang tersedia. Petani yang tergolong dalam kelompok early adopter adalah petani yang mempunyai karakteristik sesuai dengan kategori Rogers yaitu opinion

  

leader yang paling berpengaruh, role model dalam sebuah sistem serta dihargai

dan disegani orang disekitarnya.

Tabel 4.8 menunjukkan bahwa kategori early majority berjumlah 9 orang

  (26%). Sebagian besar responden yang tergolong dalam early majority yaitu berpendidikan SMP. Responden yang tergolong dalam early majority sebagian sudah ada yang menerapkan budidaya padi secara organik, namun terdapat juga responden yang masih ragu-ragu. Responden yang masih ragu-ragu pada dasarnya ingin melihat hasil yang nyata dari budidaya padi secara organik, mereka akan melakukan budidaya padi secara organik apabila hasil dari budidaya padi organik lebih baik dari budidaya padi secara konvensional. Golongan early majority merupakan golongan yang lebih lambat mengadopsi suatu inovasi daripada golongan innovator dan early adopter akan tetapi lebih mudah terpengaruh dan mengikuti suatu inovasi yang diberikan. Namun golongan ini masih memiliki sifat hati-hati akan kegagalan dan akan mengadopsi inovasi jika sudah terdapat bukti yang nyata. Karakteristik katogori early majority antara lain sering berinteraksi dengan orang-orang sekitar, jarang mendapatkan posisi sebagai opinion leader, sepertiganya adalah bagian dari sistem (kategori atau tipe terbesar dalam sistem) dan berhati-hati sebelum mengadopsi inovasi baru. Rogers (1983) mengemukakan bahwa kategori early majority merupakan kategori penganut cepat.

  Berdasarkan Tabel 4.8, kategori petani yang paling dominan adalah late

  

majority sebanyak 11 orang (32%). Responden golongan late majority merupakan

  responden dengan jumlah terbanyak. Dari seluruh responden, sebagian responden merupakan golongan late majority dengan pendidikan SD. Dari data yang demikian, pendidikan akan mempengaruhi pola pikir yang akan mempengaruhi persepsi petani terhadap suatu inovasi. Late majority yaitu golongan petani yang kurang mampu, lahan pertanian yang dimiliki sangat sempit, rata-rata dibawah 0,5 hektar, yang menyebabkan golongan late majority berbuat lebih waspada dan hati- hati terhadap adanya inovasi karena takut mengalami kegagalan. Golongan late

  

majority akan mengadopsi inovasi apabila kebanyakan petani sekitar sudah

  mengikuti dan menerapkan inovasi yang diberikan. Jadi penerapan inovasi teknologi terhadap golongan ini sangat lambat. Sari, dkk. (2009) mengemukakan bahwa late majority digolongkan dalam adopter lambat. Dalam pengambilan keputusan faktor yang mempengaruhi kategori adopter cepat maupun lambat adalah umur, pendidikan formal serta persepsi terhadap inovasi tersebut. Keadaan petani Makmur II yang digolongkan dalam late majority sesuai dengan kategori yang disebutkan oleh Rogers yaitu berjumlah sepertiga dari suatu sistem sosial, mendapatkan tekanan dari orang-orang sekitarnya, terkelurahank ekonomi, skeptis dan sangat berhati-hati.

  Golongan laggard pada Tabel 4.8 diketahui berjumlah 2 orang (6%). Responden yang tergolong laggard adalah Bapak Bilal Nurdin dan Bapak Asrori. Berdasarkan hasil wawancara, responden tersebut mengatakan lebih nyaman bertani secara konvensional meskipun tidak menutup kemungkinan akan melakukan budidaya secara organik karena pengetahuan terhadap potensi dari budidaya padi secara organik. Namun demikian, untuk saat ini responden tersebut belum berkeinginan melakukan budidaya padi secara organik karena input produksi serta perawatan membutuhkan tenaga yang lebih banyak daripada budidaya padi secara konvensional. Petani yang tergolong laggard merupakan petani usia lanjut, fanatik terhadap tradisi dan sulit diberikan pengertian- pengertian yang dapat mengubah pola pikir, cara kerja dan hidupnnya. Laggard bersikap apatis terhadap adanya teknologi baru. Sulitnya golongan laggard dalam mengadopsi suatu inovasi dikarenakan mereka tidak mudah terpengaruh oleh adanya opinion leader, lebih berorientasi pada masa lalu dan berprasangka buruk terhadap inovasi. Namun demikian, laggard akan mengadopsi inovasi dalam waktu yang cukup lama dibandingkan kelompok adopter yang lainnya.

  Golongan non adopter merupakan golongan petani yang tidak mau mengadopsi suatu inovasi meskipun dalam jangka waktu yang lama. Perbedaan antara laggard dengan non adopter adalah dalam proses penerimaan inovasi. Golongan laggard kemungkinan menerima inovasi, tetapi proses adopsinya membutuhkan waktu yang lama. Sedangakan non adopter tidak mau menerima dan tidak mengadopsi adanya inovasi. Tabel 4.8 menunjukkan jumlah non

  

adopter yaitu 2 orang (6%) yang menunjukkan bahwa dari sebagian besar sampel

  merupakan golongan adopter. Hal ini dipengaruhi karena non adopter tidak mau menerima adanya inovasi. Faktor umur dan pendidikan juga sangat berpengaruh dimana pada golongan non adopter terdapat petani yang tidak sekolah dengan usia tidak produktif. Responden yang tergolong dalam non adopter adalah Bapak Ali Maksum dan Ibu Rukanah. Bapak Ali Maksum dan Ibu Rukanah tidak mau menerima informasi dan mengadopsi pertanian padi secara organik. Mereka lebih nyaman bertani secara konvensional karena sudah lama melakukannnya dan juga karena cara bertani dari orangtuanya dulu. Selain itu, faktor pendidikan yang menjadi faktor yang berpengaruh terhadap cara pandang seseorang terhadap suatu inovasi. Ibu Rukanah sendiri merupakan salah satu responden yang tidak bersekolah sehingga dalam penerimaan informasi mengenai pertanian padi organik beliau kurang mampu memahami dan menerima.

4.5. Analisis Hubungan Antara Karakteristik Responden dengan Potensi Karakter Keinovatifan Petani

  Analisis hubungan antara faktor karakteristik responden yang terdiri dari umur, jumlah tanggungan keluarga, pendidikan, luas lahan usahatani, pendapatan usahatani, lama berusahatani dan kosmopolitan dengan potensi karakter keinovatifan petani menggunakan uji korelasi Rank Spearman dengan program SPSS 16,0 for Windows. Hasil analisis hubungan antara karakteristik responden yang terdiri dari umur, jumlah tanggungan keluarga, pendidikan, luas lahan usahatani, pendapatan usahatani, lama berusahatani dan kosmopolitan dengan potensi karakter keinovatifan petani di Kelurahan Pulutan, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga dapat dilihat pada Tabel 4.9 :

Tabel 4.9. Hubungan Karakteristik Petani (X) dengan Potensi Karakter Keinovatifan Petani (Y)

  Kategori Petani Adopter (Y) No Variabel (X) Kesimpulan rs p

  α

  1 Umur (X 1 ) -0,128 0,472 0,05 Tidak signifikan *

2 Jumlah Tanggungan Keluarga (X ) 0,105 0,556 0,05

  2 Tidak signifikan **

  3 Pendidikan (X

3 ) 0,358 0,037 0,05

Signifikan
  • * 4 Luas Lahan Usahatani (X ) 0,451 0,007 0,01
  • 4 Signifikan

      5 Pendapatan Berusahatani (X 5 ) 0,400 0,019 0,05 Signifikan

    • **

      6 Lama Usahatani (X ) -0,165 0,351 0,05 Tidak signifikan

    • 6

        7 Kosmopolitan (X 7 ) 0,752 0,000 0,01 Signifikan Sumber: Analisis Data Primer, 2016

        Keterangan: rs : koefisian korelasi Rank Spearman p : probabilitas : taraf kepercayaan

        α : signifikan pada taraf kepercayaan 95% *

      • : sangat signifikan pada taraf kepercayaan 99%

        1. 1 ) dengan Potensi Karakter Keinovatifan Hubungan Antara Umur (X Petani (Y)

        Berdasarkan hasil olah data dengan aplikasi SPSS 16.0 menunjukkan bahwa variabel tidak terdapat hubungan yang signifikan antara variabel umur dengan potensi karakter keinovatifan petani. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.9 dimana pada taraf kepercayaan 95% nilai p > 0,05 (0,472 > 0,05), sehingga H diterima dan H

        1 ditolak. Pada nilai koefisiensi korelasi rs = -0,128 yang menunjukkan korelasi antara kedua variabel sangat rendah dengan arah yang negatif.

        Mengacu Tabel 4.8, umur petani produktif dan tidak produktif merata, sehingga tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara setiap kategori yang menunjukkan semakin muda umur petani maka potensi karakter keinovatifan petani semakin tinggi. Pernyataan ini bertolak belakang dengan hasil penelitian Sari, dkk. (2009) yang menyatakan bahwa umur mempengaruhi adopsi inovasi, yaitu adopter dengan umur yang lebih muda lebih inovatif dan lebih cepat dalam mengadopsi suatu inovasi. Penelitian ini sejalan dengan pernyataan Susanti, dkk. (2008), bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara umur dengan pengambilan keputusan. Hal ini dipengaruhi oleh kebiasaan petani dalam budidaya padi secara konvensional. Petani dengan usia lanjut akan berorientasi pada pengalaman bertani secara konvensional yang sudah dilakukan sebelumnya, sehingga petani dengan usia lanjut lebih sulit dalam menerima suatu hal baru terutama budidaya padi secara organik. Wahyuniarti (2011) menyatakan faktor umur dapat mempengaruhi sesorang untuk mempersepsikan suatu hal yang sedang berlangsung. Petani yang berumur matang lebih mudah dalam menerima inovasi dan memahami mengenai manfaat bahan pangan organik.

        2.

        2 ) dengan Potensi Hubungan Antara Jumlah Tanggungan Keluarga (X Karakter Keinovatifan Petani (Y)

        Variabel jumlah tanggungan keluarga dengan potensi karakter keinovatifan petani memiliki nilai rs sebesar 0,105 yang menunjukkan bahwa kedua veriabel berkorelasi sangat lemah dengan arah yang positif. Tabel 4.9 menunjukkan pada diterima. taraf kepercayaan 95% nilai p > α (0,556 > 0,05), sehingga H

        Mengacu Tabel 4.8, jumlah tanggungan keluarga setiap kategori petani merata sehingga tidak terdapat perbedaan yang signifikan yang menunjukkan semakin banyak jumlah tanggungan keluarga maka akan semakin tinggi potensi karakter keinovatifan petani. Pernyataan tersebut bertolak belakang dengan penelitian Sari, dkk. (2013) yang menyatakan bahwa jumlah keluarga yang ikut berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan usahatani bergantung pada kepala keluarga. Sedangkan Hasyim (2006) mengemukakan jumlah tanggungan keluarga berhubungan dengan hal pemenuhan kebutuhan yang mengacu pada tingkat pendapatan. Hal ini dapat dilihat dari jumlah petani yang masih tergolong dalam kelompok early majority dimana mereka masih sangat berhati-hati dalam mengadopsi budidaya padi secara organik. Sikap hati-hati yang ditunjukkan oleh petani menunjukkan bahwa petani masih ragu-ragu terhadap hasil budidaya padi secara organik dan takut jika usahataninya mengalami kerugian. Lalla, dkk. (2012) mengemukakan bahwa jumlah tanggungan keluarga tidak berpengaruh terhadap tingkat adopsi inovasi karena tenaga kerja yang digunakan merupakan tenaga dari luar anggota keluarganya. Pada budidaya padi secara organik sendiri kebutuhan tenaga kerja lebih banyak karena dalam budidayanya proses perawatan dan pemupukan lebih sering dilakukan dibandingkan dengan budidaya padi secara konvensional.

        3.

        3 ) dengan Potensi Karakter Hubungan Antara Pendidikan (X Keinovatifan Petani (Y)

      Tabel 4.9 menunjukkan nilai rs sebesar 0,358 yang berarti variabel pendidikan dengan potensi karakter keinovatifan petani mempunyai korelasi

        rendah dengan arah yang positif yang berarti terdapat hubungan searah antara kedua variabel dimana semakin tinggi pendidikan maka peluang petani menjadi

        

      innovator semakin tinggi, demikian juga sebaliknya. Pada taraf kepercayaan 95%

        nilai p < α (0,037 < 0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa antara variabel pendidikan dengan potensi kategori keinovatifan petani mempunyai hubungan yang signifikan.

        Mengacu Tabel 4.8, semakin tingginya pendidikanpada setiap kategori petani maka potensi karakter keinovatifan petani akan lebih tinggi pula. Hal ini sejalan dengan penelitian Hasyim (2006) yang mengemukakan bahwa tingkat pendidikan yang dimiliki petani akan menunjukkan tingkat pengetahuan serta wawasan petani dan akan mempengaruhi penerapan inovasi untuk meningkatkan usahataninya. Tingkat pendidikan yang dimiliki petani dapat mempengaruhi suatu inovasi akan diadopsi oleh petani. Petani dengan tingkat pendidikan yang tinggi menunjukkan pola pikir yang terbuka serta dapat menerima informasi dan hal-hal baru dari luar sistem sosialnya. Sehingga petani dengan pendidikan yang lebih tinggi cenderung ingin mengetahui suatu hal baru tersebut.

        Menurut Wahyuniarti (2011), pendidikan yang tinggi akan mempengaruhi petani dalam berfikir sehingga petani akan mempunyai kemampuan menganalisa situasi, pencarian informasi, referensi dan pertimbangan dalam pertanian organik. Selain itu petani juga dapat membandingkan antara pertanian organik dengan konvensional dalam manfaat positif bagi kehidupan. Soekartawi (2005) menyatakan bahwa petani dengan pendidikan tinggi relatif lebih cepat dalam melaksanakan adopsi inovasi, sebaliknya petani dengan pendidikan rendah akan sulit untuk melaksanakan adopsi.

        4.

        4 ) dengan Potensi Karakter Hubungan Antara Luas Lahan Usahatani (X Keinovatifan Petani (Y)

        Berdasarkan tabel 4.9 diketahui bahwa pada taraf kepercayaan 99%, nilai p ditolak dan H

        1 diterima yang berarti terdapat

        < α ( 0,007 < 0,01), sehingga H hubungan yang signifikan antara luas lahan usahatani dengan potensi karakter keinovatifan petani dengan arah yang positif dengan nilai rs sebesar 0,451 yang dapat dikatakan kedua variabel mempunyai korelasi sedang. Nilai rs yang positif menunjukkan hubungan searah antara kedua variabel, dimana semakin luas suatu lahan usahatani maka semakin tinggi pula peluang petani menjadi innovator.

        Mengacu Tabel 4.8, potensi karakter keinovatifan petani akan semakin tinggi seiring dengan semakin tingginya luas lahan usahatani. Hal ini sejalan dengan pernyataan Burhansyah (2014) bahwa setiap 1 ha lahan yang dimiliki petani memberikan peluang untuk mempercepat adopsi inovasi sekitar 3 kali lipat. Selain itu, Harinta (2011) dalam penelitiannya menyatakan bahwa penguasaan lahan berpengaruh secara signifikan dengan kecepatan adopsi inovasi pertanian yang berarti semakin luas lahan usahataninya maka semakin cepat mengadopsi inovasi pertanian. Mardikanto (2009) yang menyatakan bahwa semakin luas lahan usahatani maka akan semakin cepat mengadopsi inovasi, karena mempunyai kemampuan ekonomi yang yang lebih. Yusnita (2010) mengemukakan bahwa petani dengan lahan yang luas berharap keuntungan yang besar sekalipun risiko kegagalan juga besar. Petani dengan lahan yang luas akan lebih serius dan aktif dalam mengusahakan usahataninya.

        5.

        5 ) dengan Potensi Karakter Hubungan Antara Pendapatan Usahatani (X Keinovatifan Petani (Y)

        Berdasarkan tabel 4.9, diketahui pada taraf kepercaya an 99% nilai p < α (0,019 < 0,05) sehingga H ditolak dan H

        1 diterima, yang berarti bahwa antara

        variabel pendapatan usahatani dengan potensi karakter keinovatifan petani terdapat hubungan yang signifikan dengan arah yang positif dengan nilai rs = 0,400 yang menunjukkan bahwa kedua variabel memiliki korelasi sedang. Nilai rs yang positif menunjukkan hubungan searah antara kedua variabel, dimana semakin tinggi pendapatan usahatani maka peluang petani menjadi innovator semakin tinggi, demikian juga sebaliknya.

        Mengacu Tabel 4.8, semakin tingginya pendapatan usahatani maka akan semakin tinggi pula potensi karakter keinovatifan petani. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mardikanto (2009) bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan usahatani biasanya petani lebih inovatif dan lebih cepat mengadopsi inovasi. Menurut Yusnita (2010), pendapatan mempunyai hubungan yang signifikan dengan tingkat adopsi inovasi, yang berarti semakin tinggi pendapatan petani maka tingkat adopsi petani semakin tinggi pula. Responden dengan yang memiliki tingkat pendapatan tinggi dapat melakukan tindakan untuk keberhasilan usahataninya meskipun dalam penyiapan bibit dan pupuk mendapat bantuan dari pemerintah. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di lapangan, dimana responden dengan pendapatan yang tinggi lebih inovatif dan lebih cepat mengadopsi inovasi meskipun mendapat bantuan pupuk dan pestisida dari PT. Sidomuncul.

        6.

        6 ) dengan Potensi Karakter Hubungan Antara Lama Berusahatani (X Keinovatifan Petani (Y)

        Berdasarkan Tabel 4.9, pada taraf kepercayaan 95% nilai p > α (0,351 > 0,05) maka H diterima yang berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan antara variabel lama berusahatani dengan potensi karakter keinovatifan petani.

        Nilai rs = -0,165 yang menunjukkan bahwa korelasi antara variabel lama berusahatani dengan kategori petani sangat rendah dengan arah yang negatif. Mengacu Tabel 4.8, potensi karakter keinovatifan petani tidak terlihat perbedaan yang signifikan antara setiap kategori petani. Pernyataan tersebut bertolak belakang dengan pendapat Fardiaz (2008), yang menyatakan bahwa lama berusahatani berpengaruh terhadap pengalaman petani yang mengacu pada dampak pertanian konvensional sehingga petani akan cenderung tertarik pada pertanian organik. Selain itu, pengalaman bertani organik memberikan berbagai macam keuntungan diantaranya kemudahan dalam penerapan, hasil lebih sehat, kesuburan tanah tetap terjaga dan harga jual produk yang lebih tinggi dibandingkan produk non organik.

        Berdasarkan penelitian di lapangan, responden masih merasakan nyaman dengan cara bertani secara konvensional. Hal ini dikarenakan pertanian secara konvensional sudah dilakukan sejak lama sehingga kemauan untuk beralih ke pertanian organik masih sulit. Program budidaya padi organik yang baru berjalan selama 2 musim tanam juga belum dapat memberikan bukti yang signifikan kepada petani untuk segera beralih ke budidaya padi secara organik.

        7.

        7 ) dengan Potensi Karakter Hubungan Antara Kosmopolitan (X Keinovatifan Petani (Y)

        Berdasarkan Tabel 4.9, pada taraf kepercayaan 99% nilai p < 0,01 (0,000 < 0,01) yang berarti H ditolak dan H

        1 diterima, maka antara variabel kosmopolitan

        dengan potensi karakter keinovatifan petani terdapat hubungan yang signifikan dengan arah yang positif dengan nilai rs = 0,752 yang menunjukkan bahwa kedua variabel memiliki korelasi yang kuat. Nilai rs yang positif menunjukkan hubungan searah antara kedua variabel, dimana semakin tinggi kosmopolitan maka semakin tinggi pula peluang petani menjadi innovator.

        Mengacu Tabel 4.8, kosmopolitan yang semakin tinggi maka petani memiliki potensi karakter keinovatifan lebih tinggi yang menunjukkan petani itu lebih inovatif. Hal ini bertolak belakang dengan pernyataan Valentinawati (2010) bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat kosmopolit dengan adopsi inovasi. Tidak adanya hubungan antara tingkat kosmopolit dengan adopsi inovasi dikarenakan informasi yang diperoleh petani sudah cukup sehingga mereka tidak perlu mencari informasi di luar sistem sosialnya. Namun demikian, Mardikanto (2009) yang menyatakan bahwa masyarakat yang kosmopolit akan mempercepat berlangsungnya adopsi inovasi karena ada keinginan untuk mencoba sesuatu hal baru seperti yang telah dinikmati oleh orang-orang di luar sistem sosialnya sendiri. Petani dengan tingkat kosmopolitan yang tinggi cenderung aktif dalam menggali informasi, sehingga dengan informasi yang dimiliki akan mendorong dalam mengadopsi suatu inovasi.

Dokumen yang terkait

Welcome to Repositori Universitas Muria Kudus - Repositori Universitas Muria Kudus

0 0 19

Welcome to Repositori Universitas Muria Kudus - Repositori Universitas Muria Kudus

0 0 18

Welcome to Repositori Universitas Muria Kudus - Repositori Universitas Muria Kudus

0 0 27

Welcome to Repositori Universitas Muria Kudus - Repositori Universitas Muria Kudus

0 0 21

BAB IV HASIL DAN ANALISIS 4.1 Hasil Karya Dan Implementasi - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Imlplementasi Private Cloud Menggunakan Linux Ubuntu 16.04 LTS dan Mikrotik

0 0 35

14 BAB IV HASIL DAN ANALISIS 4.1 Implementasi 4.1.1 Implementasi Sharing file Tanpa Stabilizer

0 0 17

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dasar Teori 2.1.1 Kesetaraan jender - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tingkat Kesetaraan Gender pada Usahatani Buncis Organik di Dusun Selongisor, Desa Batur, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang = G

0 0 7

III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tingkat Kesetaraan Gender pada Usahatani Buncis Organik di Dusun Selongisor, Desa Batur, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang = Gender

1 0 5

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Letak Geografis Desa Penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tingkat Kesetaraan Gender pada Usahatani Buncis Organik di Dusun Selongisor, Desa Batur, Kecamatan Getasan, Kabupaten S

0 0 21

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dasar Teori 2.1.1 Teori Adopsi dan Difusi Inovasi - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Potensi Karakter Keinovatifan Petani dalam Adopsi Pertanian Padi Secara Organik di Kelurahan Pulutan Kecamatan Sidor

0 1 10