13 Bab 2 Hermeneutik Poskolonial dengan Perspektif Ritus Oli Somba dalam Komunitas Masyarakat Aramaba 2.1 Pendahuluan - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Memahami Ulang Yesus sebagai Korban (Mat.26:36-46):Perspektif Poskolonial

  

Bab 2

Hermeneutik Poskolonial dengan Perspektif Ritus Oli Somba

dalam Komunitas Masyarakat Aramaba

  2.1 Pendahuluan

  Untuk melakukan pembacaan terhadap teks Matius 26:36-46 dalam perspektif poskolonial, maka sangat penting bagi penulis untuk mendefinisikan apa itu poskolonial dalam kaitannya dengan penafsiran Alkitab. Oleh karena itu, bagian pertama dalam bab ini akan berisi definisi poskolonial dan hermeneutik poskolonial dalam Alkitab. Selanjutnya, penulis juga akan memaparkan tentang ritus korban yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Aramaba. Hal ini diperlukan untuk menolong penulis merekonstruksi sebuah pemahaman baru tentang Yesus sang korban.

  2.2 Poskolonial

  Studi poskolonial (sering juga disebut dengan istilah “posko” atau “pascakolonial”)

  1

  merupakan studi yang relatif masih baru dalam perkembangan ilmu sosial di dunia. Studi ini menimbulkan kegairahan, kebingungan maupun skeptisisme dari pelbagai pihak yang mendalaminya.

  Setelah Edward Said menggebrak dunia dengan dengan paradigma orientalismenya di tahun 1978 dan istilah pascakolonial dipopulerkan antara lain oleh Bill Ashcroft pada tahun 1989, sampai menjelang abad ke 21, para pakar masih saja tetap mempersoalkan

  2

  masalah-masalah yang primer menyangkut teori ini. Memang benar bahwa pendalaman terhadap ist 1 ilah “poskolonialisme” menjadi heterogen dan membingungkan sehingga sulit

  

Nanang Martono, SosisologI Perubahan Sosial, Perpektif Klasik, Modern, Posmodern dan Poskolonial, ED.1 (Jakarta: Rajawali Pers, Cet. 1. 2012), 102 2 Melani Budianta, Membaca Poskolonial (di) Indonesia: Oposisi Biner dalam Wacana Kritik Pascakolonial, Budi Susanto (edt.), (Yogyakarta: Kanisisus, 2008), 15 menjelaskan sepenuhnya apa yang tercakup sebenarnya dalam bidang studi ini. Kesulitan ini sebagai akibat interdisipliner studi-studi pascakolonial yang merentang dari analisis literer hingga ke riset atas arsip-arsip pemerintah kolonial, dari kritik atas naskah medis hingga

  3 teori ekonomis, serta terkadang menggabungkan bidang tertentu dengan bidang lainnya.

  Teori poskolonial menganalisis praktik-prakti k “penjajahan” (kolonialisme) yang masih berlanjut sampai era modern ini. Selain penjajahan Barat atas Timur, juga penjajahan yang dilakukan kelompok mayoritas (Barat) terhadap kelompok minoritas (Timur) dalam struktur masyarakat (sublaterm-dalam bahasa Gayatri Chakravot Spivak). Selain itu, tokoh- tokoh lain melihat dampak dari kolonisasi dari sudut pandang yang berbeda. Franz Fanon misalnya, tertarik pada pembangunan nasionalisme dengan mengurai problem penjajahan kelompok kulit putih atas kelompok kulit hitam. Ia mengartikan kolonialisme sebagai penonmanusiawian (dehumanization) rakyat di daerah koloni. Orang-orang yang dijajah tidak diperlakukan sebagai manusia, tetapi lebih sebagai benda. Menurutnya, rakyat terjajah itu bukan hanya kerja mereka yang dirampas, tetapi mereka yang dalam jiwanya diciptakan kompleks inferioritas yang diakibatkan oleh kematian dan penguburan orisinalitas budaya lokal mereka. Kompleks inferioritas ini ditanamkan dalam kesadaran budaya masyarakat koloni. Sementara itu, Said dan Bhabha lebih tertarik pada masalah percampuran unsur- unsur budaya sebagai dampak kolonisasi. Pada akhirnya proses penjajahan ini akan

  4 melahirkan hibriditas.

  Oleh karena itu, untuk masuk pada defenisi poskolonial, pertama-tama perlu dihubungkan dengan istilah kolonialisme. Kolonialisme (dari kata Latin: Colonia=

  

pertanian-pemukiman ) berarti penaklukan dan penguasaan atas tanah dan harta penduduk

  asli oleh penduduk pendatang. Di dalam membe 3 ntuk pemukiman baru “oleh pendatang”

  Gading Sianipar, Hermeneutika Paskakolonial: Soal Identitas, Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (edt.), (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 7. 4 Nanang Martono, Sosisologi Perubahan ..., 104 kerap terjadi hubungan yang kompleks dan traumatik dalam sejarah manusia antara penduduk lama dengan pendatang baru. Terkadang pembentukan komunitas (koloni) baru ini ditandai oleh usaha membubarkan dan membentuk kembali komunitas-komunitas yang sudah ada dengan melibatkan praktik-praktik perdagangan, penjarahan, pembunuhan masal,

  5 perbudakan, dan pemberontakan-pemberontakan.

  Ania Loomba dalam tulisannya mengartikan kata post dengan “kejadian setelah” yang merujuk pada dua definisi, yakni: pertama, waktu, yaitu datang setelah. Dari pengertian ini dibatasi pada masa dimana suatu negara mengalami penjajahan oleh negara lain yang menduduki negara tersebut. Oleh karena abad kolonialisme itu sudah lewat dan keturunan rakyat-rakyat yang dulu dijajah itu kini hidup dimana-mana, maka seluruh dunia adalah poskolonial. Kedua, ideologis, dalam arti menggantikan. Poskolonialisme hadir untuk menggantikan masa kolonial yang telah berakhir. Arti ini mengalami perdebatan yang coba diurai oleh Loomba. Para pengkritik istilah ini menyampaikan bahwa bagaimana mengatakan poskolonialisme atau kolonialisme telah berakhir jika berbagai ketimpangan dari pemerintah kolonial belum bisa dihapuskan? Istilah ini prematur. Sebuah negara pada saat yang sama poskolonial (merdeka secara formal) dan juga neokolonial (tergantung

  6 secara ekonomi dan kultural).

  Ini bukan berarti bahwa teori atau pendekatan pascakolonial sudah berjalan di tempat. Publikasi tentang teori ini, termasuk berbagai penelitian yang menarik di macam- macam aspek kehidupan terus dikembangkan. Masalahnya barangkali terletak pada konsep- konsep dasar teori pascakolonial itu sendiri yang memang problematis, yakni oposisi biner dan konstruksi identitas budaya. Masalah kedua adalah pada terminologi yang menggabungkan kata “pasca” dengan kata “kolonialisme.” Hal ini bisa mengacu pada wilayah yang pernah dirambah oleh kolonialisme, tetapi kemudian melampauinya. 5 6 Gading Sianipar, Hermeneutika Paskakolonial ..., 9.

  Ania Loomba, Kolonialisme/Poskolonialisme, Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003, 9. Ketegangan antara kedua kata itu, beserta interpretasi dan aplikasinya yang beraneka

  7 membuat batasan sehingga teori pascakolonial tidak pernah stabil.

  Poskolonial lahir dari konteks negara-negara dunia ketiga yang mengalami penjajahan sebagai sebuah pengalaman kolektif. Realita yang dialami oleh negara-negara dunia ketiga dapat dirangkum dalam beberapa hal, yaitu: Pertama, adanya realitas berkelanjutan dimana terdapat kemiskinan yang dialami oleh sebagian besar orang dan kemewahan yang dinikmati hanya oleh segelintir orang. Kedua, adanya kontrol ekonomi yang berkelanjutan dan hegemoni imperial yang dialami oleh negara-negara dunia ketiga.

  Ketiga, dikeluarkannya negara-negara dunia ketiga dari berbagai proses pengambilan keputusan penting dalam masyarakat. Keempat, terjadi militerisasi tidak hanya dalam

  8 kehidupan politik, tetapi juga sebagai cara hidup. Kelima, adanya persaingan ideologi.

  Poskolonial mempelajari banyak masalah yang dihadapi negara-negara Timur akibat penjajahan negara-negara Barat. Ia mencoba mengajukan beberapa kritik mengenai akibat hegemoni dan dominasi Barat yang ternyata masih banyak terjadi dibanyak negara Timur, meskipun negara-negara tersebut telah merdeka secara politik. Dominasi ini masih terjadi

  9

  sampai saat ini. Menurut Ashcroft, seperti yang dikutip Adeline, poskolonial adalah wacana atau studi mengenai analisis pendudukan teritori oleh orang-orang Eropa, pelbagai institusi kolonial Eropa, operasi imperialis, seluk-beluk pembentukan subjek dalam wacana kolonial dan perlawanan dari subjek-subjek tersebut, dan yang terpenting respons berbeda atas serangan-serangan tersebut dan warisan kolonial kontemporer dalam masa sebelum dan

  

10

sesudah kemerdekaan negara atau komunitas.

  7 8 Melani Budianta, Membaca Poskolonial (di) Indonesia,..., 16 Yusak B. Setyawan, Bahan Kuliah Hermeneutik Poskolonial: Postcolonial Studies and The Third World Context (Hour 2), Salatiga, 2010, 1 9 10 Nanang Martono, SosisologI Perubahan Sosial, 101 Adeline M.T., Politik Informasional dan Krisis Demokrasi, dalam Hermeneutika Paskakolonial: Soal

  Identitas, Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (edt), Yogyakarta: Kanisius, 2004, 63.

  Dari segi budaya, defenisi poskolonial kerap dihubungkan dengan proses konstruksi budaya menuju budaya “putih global.” Kebudayaan kulit putih dipandang sebagai acuan perkembangan dan model bagi budaya yang lain. Masyarakatnya tetap dipandang sebagai penduduk yang misterius, terbelakang, percaya takhayul, dan sebagainya, sehingga mereka

  11 harus dididik dan diangkat agar sejajar dengan masyarakat negara lainnya.

  Dari penjelasan di atas, menunjukkan bahwa istilah poskolonial memiliki makna yang sangat kompleks dan membingungkan. Akan tetapi, bagi penulis teori ini menunjukkan bahwa ia tidak hanya berlaku pada satu masa atau waktu tertentu melainkan teori ini berlaku terus menerus dari masa ke masa. Teori ini menjadi sarana untuk menyuarakan ketidakadilan dan ketertindasan untuk mendapatkan setidaknya pembebasan dan pemberdayaan. Indonesia menjadi salah satu negara yang sangat relevan untuk diberlakukannya teori ini. Hal ini karena Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh dunia Barat, baik itu dalam bidang politik, agama, ekonomi, dan lain sebagainya.

2.3 Hermeneutik Poskolonial

  Di dalam berbagai bidang ilmu termasuk di dalamnya ilmu teologi, metode hermeneutik sangat dibutuhkan untuk menjelaskan, menginterpretasi dan menerjemahkan teks-teks. Metode ini menurut sejarahnya telah dipakai dalam penelitian teks-teks kuno yang autoritatif, misalnya kitab suci, kemudian juga diterapkan dalam teologi dan direfleksikan secara filosofis, sampai pada akhirnya juga menjadi metode di dalam ilmu-ilmu sosial. Hermeneutik terutama berurusan dengan teks-teks. Persoalannya ialah teks yang ada seringkali berasal dari zaman dulu. Di sini tentu kita berusaha keras untuk menangkap makna sebagaimana dimaksudkan oleh pengarangnya. Budi Hardiman menyebutnya dengan problematik hermeneutik, bagaimana menafsir teks. Problematika ini dihadapi dalam 11 Hendar Putranto, Wacana Pascakolonial dalam Masyarakat Jaringan dalam Hermeneutika

  Paskakolonial: Soal Identitas, Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (edt.), (Yogyakarta: Kanisius, 2004). 78 berbagai bidang sejarah menyangkut penafsiran, misalnya bidang kesusasteraan, tradisi- tradisi religius (kitab-kitab suci, doktrin-doktrin, hukum-hukum), bidang hukum, ilmu sejarah, musikologi, politikologi, dan sebagainya. Oleh karena itu, hermeneutik sangat dibutuhkan untuk menambah wawasan atau cara pandang kita terhadap produk-produk

  12

  budaya masa lalu atau tradisi beserta ilmu-ilmu yang berkenaan dengannya. Meskipun demikian, kita perlu menyadari bahwa suatu identifikasi total dengan pengarang teks adalah mustahil. Hermeneutik romantis Schleiermacher dan Dilthey berusaha mencapai identifikasi, sehingga menafsirkan teks merupakan tugas reproduktif. Menafsir berarti menghadirkan kembali seluruh perasaan, pikiran, kehendak pengarang seasli mungkin lewat empati dan rekonstruksi. Namun, Gadamer menyampaikan sesuatu yang berbeda karena menurutnya metode tersebut tidaklah tepat. Ia melihat menafsirkan teks sebagai tugas produktif atau tugas kreatif. Maksudnya ialah bahwa kita justru membiarkan diri mengalami perbenturan antara cakrawala kita dan cakrawala pengarang, dan dengan cara ini pemahaman kita diperkaya dengan unsur-unsur yang tak terduga. Suatu teks perlu dipahami

  13 dalam cakrawala masa lampau dan masa depan, demi manfaatnya untuk masa kini.

  Konsep ini menunjukkan bahwa kita tidak tinggal dalam cakrawala yang tertutup juga bukan dalam cakrawala yang unik. Selama perpaduan cakrawala menafikan konsep totalitas dan keunikan pengetahuan, maka konsep ini akan selalu menunjukkan ketegangan yang akrab dan yang asing, antara yang dekat dengan yang jauh; dan karenanya permainan

  14 perbedaan dilibatkan dalam proses pertautan (konvergensi).

  Memahami teks dan istilah-istilah dalam Alkitab telah dilakukan dengan sangat intens sebagaimana diusahakan dalam hermeneutik. Pendekatan-pendekatan hermeneutik dalam memahami teks-teks Alkitab telah dilakukan ahli-ahli. Secara singkat terdapat tiga 12 F. Budi Hardiman, Melampaui Posistifisme dan Modernisme, Diskursus Filosofis tentang Metode

  Ilmiah dan Problem Modernitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 36-37 13 14 F. Budi Hardiman, Melampaui Posistifisme dan Modernisme,..., 48 Paul Ricoeur, Hermeneutika Ilmu Sosial, terj. Muhammad Syukri (Bantul: Kreasi Wacana, 2006),

  83. pendekatan hermeneutik jika dilihat dari bagaimana makna teks diperoleh. Pertama, makna teks didapatkan dibalik teks. Teks diasumsikan sebagai jendela yang dengannya penafsir melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi dibaliknya. Pendekatan-pendekatan yang dikembangkan adalah pendekatan-pendekatan historis kritis dengan pelbagai variannya.

  Kedua, makna didapatkan di dalam teks. Pendekatan-pendekatan yang digunakan adalah pendekatan-pendekatan naratif yang mengharuskan penafsir memasuki dunia teks, menghayati teks dan kemudian memperoleh makna teks setelah masuk ke dalamnya. Ketiga, makna teks ditemukan di depan teks, yakni makna yang ditemukan oleh penafsir sebelum memahami teks. Pendekatan-pendekatan yang digunakan sangat beragam, mulai dari

  15 pendekatan-pendekatan feminis dan pendekatan-pendekatan reader-response criticism.

  Metode penafsiran respons pembaca (the reader-response method), tumbuh dan berkembang atas pemikiran dari Gadamer dan Ricoeur. Metode ini menekankan perlunya keikutsertaan pembaca dan penerjemah dalam menentukan apa arti teks itu sekarang,

  16 kemungkinan perbedaannya, dan sebagian dari pertentangan artinya.

  Yusak Setyawan berpendapat bahwa studi-studi poskolonial sangat menolong dalam menghubungkan teologi biblika dan konteks Indonesia. Hal ini ia sampaikan tentunya dengan tidak mengatakan bahwa berbagai pendekatan dalam teologi biblika tidak penting, walaupun sebagian tidak terlalu relevan. Menurutnya, interaksi antara studi-studi poskolonial dengan hermeneutik biblis menghasilkan apa yang untuk sementara disebut sebagai hermeneutik poskolonial. Hermeneutik poskolonial menekankan kembali hermeneutik sebagai strategi pemahaman dari sudut pandang yang melakukan pemahaman. Mengingat pemaham berada pada konteks aktual tertentu yang walaupun bereksistensi pada masa kini, tetapi juga memuat jalinan pengalaman masa lampau dan berpengharapan pada 15 Yusak B. Setyawan, Tuhan Yesus Kristus, Sebagai Diskursus Politik, Suatu Perspektif Poskolonial

  Terhadap Pernyataan Tuhan Yesus Kristus dalam Kitab Efesus, (Wasakita, Jurnal Studi Agama dan Masyarakat), 3 16 Lukman Tambunan, Khotba dan Retorika, Peranan Retorika dalam Penyampaian Firman, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 111 masa yang akan datang, maka prapaham dalam proses interpretasi mendapatkan pengertian yang baru. Penafsiran adalah bagian dari olah hermeneutik atau bisa juga dikatakan olah hermeneutik memuat praktik penafsiran. Hal ini tercakup dalam konstelasi jaring-jaring penjajahan (kolonial), tetapi yang terus berlanjut dalam kekinian (poskolonial). Lebih dari itu, hermeneutik poskolonial melakukan perubahan radikal dengan tidak menjadikan konteks sebagai objek berteologi, tetapi menonjolkan pentingnya konteks poskolonial sebagai penentu untuk memahami teks-teks biblis. Dengan demikian, hermeneutik poskolonial menekankan peran pemaham atau penafsir teks dengan perspektif, pendirian, komitmen dan pemihakan sambil mencoba melihat teks dari dimensi konteksnya sendiri yang mencakup konteks kesejarahan. Dengan kata lain, proses pemahaman terhadap teks biblis tidak pernah bersif at netral, bebas nilai, dan “objektif” walaupun tetap dimensi kesejarahan dari dan dalam teks (hostory of text dan history in text ) tetap perlu diperhatikan

  17 dengan serius.

  Studi poskolonial mendapat perhatian dengan cepat sebagai bagian dari kategori studi kritis yang menyangkut suara dari orang-orang minoritas dan tenggelam, diabaikan dan ditekan dalam sejarah dan narasi-narasi. Tujuannya untuk mengangkat dan menghadirkan suara-suara kaum minoritas dan terabaikan serta yang telah hilang dalam sejarah. Keterlibatan konteks melibatkan pengalaman pribadi, sosial, budaya, dan politik. Dengan demikian diharapkan akan muncul asumsi- asumsi yang mendobrak “penjajahan” dan menata hidup dalam kemerdekaan yang sesungguhnya. Studi poskolonial menyarankan juga teks-teks mesti harus didekati dari perpektif penafsir dalam konteks pengalamannya sebagai orang yang mengalami kolonisasi bangsa-bangsa Barat dan dampaknya yang masih tetap dirasakan sampai sekarang ini. Dalam kaitannya dengan hermeneutik terhadap teks- 17 Yusak B. Setyawan, Teologi Biblika dalam Arena Publik Menuju Corak Baru dalam Berteologi

Boblika di Indonesia, dalam Sosiologi Agama, Pilihan Berteologi di Indonesia, Izak Lattu, R. T. Pilakoannu, E. I.

  Nuban Timo dan Steve Gasperz, (edt.), (Salatiga: Satya Wacana Press, 2016), 220-221 teks Alkitab, defenisi yang dikemukakan oleh Sugirtharajah menjadi sangat krusial. Studi- studi poskolonial adalah strategi pembacaan terhadap teks dari perspektif orang yang mengalami penjajahan dan dampak dari penjajahan yang sampai sekarang masih tetap berlangsung dan peduli dengan identitas diri agar dapat memberikan alternatif pemahaman yang barangkali merupakan perlawanan dari pemahaman-pemahaman yang didiktekan dari konteks yang berbeda. Perspektif poskolonial menyarankan bahwa ketika penafsir memahami teks, penafsir membawa agenda sesuai dengan pengalaman aktual dalam konteks poskolonial. Oleh karena itu yang sangat krusial dalam hermeneutik bukan persoalan eksegese atau eisegese sesuai dengan yang ditekankan dalam pendekatan historis kritis, melainkan bagaimana penafsir memahami teks dengan tidak hanya menyadari melainkan menyertakan perspektif dan kepentingannya. Di sini penafsiran tidak lagi sekadar merupakan usaha untuk memahami teks melainkan upaya yang bersifat etis dalam

  18 memahami teks sebagaimana dikatakan oleh Daniel Patte.

  Karena itu, sebagai penafsir dan teolog (juga sosiolog) Indonesia, yang tinggal di Indonesia hendaknya melibatkan diri dan menyajikan konteks Indonesia dalam fokus “pembebasan” dan “sensitivitas” kultural bersanding pada teks-teks kitab suci yang dimaksud. Hermeneutik Postkolonial bukanlah bangunan metode yang tunggal, melainkan jamak. Mendefinisikannya dalam bentuk definisi tunggal akan mendapat kritik pada dirinya sendiri. Meskipun demikian, secara simplistis, Hermeneutik Postkolonial berarti bahwa teks dipahami atau ditafsirkan dari perspektif konteks. Konteks yang dimaksud adalah identitas diri penafsir dan identitas locus-nya. Karena itu, aspek yang mesti ada dalam proses penafsiran menggunakan Hermeneutik Postkolonial adalah liberation focused dan cultural

  

sensitivity . Indonesia menjadi loci postkolonial, yang di dalamnya termaktub beberapa

  problematika yang khas dalam studi-studi postkolonial, seperti: kolonialisme dan 18 Yusak B. Setyawan, Tuhan Yesus..., 4 imperialisme, wacana-wacana kolonial, oposisi biner, kaum subaltern, feminisme dan

  19 gender, serta ideologi dan identitas kultural.

  Indonesia sebagai negara dalam pengalamannya yang dikolonialisasi mengalami penjajahan yang berlapis, bahkan masuknya Kekristenan yang dihantar oleh orang Eropa menggunakan Alkitab dalam tugas misi termasuk dalam kolonialisasi. Penginjilan dan kolonialisasi memiliki hubungan yang berjalan beriringan. Hal ini menyebabkan integrasi kultur dalam agama atau kepercayaan maupun gaya hidup. Secara pragmatis, Alkitab melanggengkan ekslusivisme bagi penganutnya dan tak jarang digunakan sebagai alat untuk menaklukkan dan menguasai yang lain, sehingga penginjilan dan teks Alkitab yang beriringan dengan kolonialisasi mengabaikan bahkan menolak unsur-unsur lokal, termasuk

  20 agama-agama suku yang dianggap kafir.

  Di sini Alkitab dilihat sebagai literatur yang dipenuhi dengan indikasi-indikasi kolonial dan berbagai upaya dominasi entah itu ras, gender, kebangsaan, dan lain sebagainya. Ada dua jenis interpretasi dalam hermeneutik poskolonial. Pertama, interpretasi untuk menginterogasi cerita-cerita Alkitab dan interpretasinya yang melegitimasi indikasi kolonial. Kedua, interpretasi untuk mengikat atau menimbulkan sebuah pembacaan teks yang emansipatif (emancipatory reading of the texts) yang dihadirkan oleh hermenutik dalam keprihatinan poskolonial. Ketertarikan kritik poskolonial tidak terletak pada kebenaran teks tersebut, tapi pada pertanyaan apakah ada indikasi ideologi kolonial dalam

  21 teks tersebut.

  Berdasarkan apa yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dikatakan bahwa tujuan hermeneutik poskolonial yang berfokus pada isu-isu ekspansi, dominasi, dan imperialisasi, menjadi pusat kekuatan dalam menginterpretasi Alkitab. Poskolonial adalah teori yang 19 Bayu Laksono, Tanah yang Ditaklukkan, Tanah yang Diberikan: Ambivalensi pada kisah teks Yosua

  6, Fakultas Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2016 20 21 R. Styers. Postcolonial Theory and the Study of Christian History. (Church History ,2009), 853.

  R.S. Sugirtharajah, Asian Biblical Hermeneutics and Postcolonialism: Contesting The Interpretation, Sheffield: Sheffield Academy Press, 1999, ix. memberikan kebebasan penafsir untuk mendekati teks-teks dari perspektif penafsir dalam konteks pengalaman sebagai orang yang mengalami kolonisasi bangsa-bangsa Barat dan

  22

  dampak yang masih dirasakan sampai saat ini. Oleh karena itu, di dalam menafsir sebuah teks dalam hal ini yang berhubungan dengan penelitian penulis, maka penulis akan menggunakan pendekatan reader-response. Pendekatan ini akan memudahkan penulis untuk membaca teks berdasarkan pengalaman yang terjadi dalam sebuah wilayah di Kabupaten Alor-NTT. Pengalaman tentang sebuah ritus korban yang membuat penulis menyimpulkan makna sebuah teks dalam Alkitab.

2.4 Ritus Oli Somba dalam Masyarakat Aramaba

  Dalam bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa pekerjaan menafsir membutuhkan perspektif dan konteks dari penafsir. Oleh karena itu, penulis akan memaparkan tentang konteks ritus korban yang dalam masyarakat Aramaba yang dikenal dengan sebutan oli somba. Hal inilah yang akan penulis gunakan untuk menafsir teks Matius 26:36-46.

  Secara geografis, Aramaba merupakan salah satu desa yang terletak di Pulau Pantar. Desa ini meruapakan bagian dari wilayah kecamatan Pantar Tengah Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan luas wilayah 10,73Km² dan 1,073Ha. Batas-batas wilayahnya, sebagai berikut:

  Sebelah timur berbatasan dengan Desa To’ang, sebelah barat berbatasan dengan Desa Mauta, sebelah utara berbatasan dengan Desa Muriabang, dan

  23 sebelah selatan berbatasan dengan Selat Ombay.

  Desa Aramaba termasuk daerah yang beriklim tropis dan merupakan daerah dataran rendah yang di kelilingi gunung. Oleh karena letaknya yang berada dekat gunung berapi yakni Gunung Sirung, maka tekstur tanahnya tergolong sebagai tanah vulkanis. Hal inilah 22 23 Yusak B. Setyawan, Tuhan Yesus..., 4 Data PBS Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang menyebabkan tanahnya termasuk tanah yang gembur dan subur. Namun, oleh karena

  24 keterbatasan air, maka daerahnya terlihat kering.

  Nama untuk desa ini merupakan sebuah nama yang diberikan oleh seorang ibu kepada masyarakat setempat. Konon dikisahkan bahwa ibu tersebut rela mengorbankan dirinya sebagai pemberian kepada yang Ilahi (Lahatala) karena telah memberikan sumber mata air yang menjadi kesulitan hidup mereka. Secara harafiah nama Aramaba terdiri dari dua kata yakni, ara dan maba. Ara artinya besar dan maba artinya dingin. Jadi, Aramaba dapat diartikan sebagai air yang mengalir deras dan dingin. Nama itu sesuai dengan sumber

  25 mata air yang telah ditemukan oleh ibu tersebut.

  Meskipun kontak awal dengan Agama Kristen sudah terjadi pada 1916, namun seperti pandangan agama suku lainnya di Indoneisa, orang Pantar Barat termasuk orang Aramaba masih setia mempertahankan pandangan mereka tentang alam semesta. Maksudnya ialah bagaimana masyarakat Aramaba memahami hubungannya dengan suatu kesatuan kosmis yang memberikan suatu gaya hidup tersendiri. Menurut mereka, alam semesta merupakan kesatuan berlapis tiga, yakni: Ir tang butang atau alam atas, ir tawagang atau alam tengah, dan

  ir mo’ang atau alam bawah sebagai tempat. Ir tang butang dipercaya

  sebagai tempat bersemayam illah tertinggi atau dalam bahasa setempat disebut Lahatala. Ir

  

tawagang sebagai tempat tinggal manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan. Sementara itu,

ir mo’ang diyakini sebagai tempat kediaman orang mati (bena), arwah leluhur (talle tapas

gorma’ang) dan roh jahat (ir neda/ir gaiyaning). Meskipun demikian, ketiganya merupakan

  suatu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, keseimbangan di antara ketiganya harus tetap dijaga agar tidak menciptakan ketidakteraturan dalam tata tertib alam semesta. Masyarakat Aramaba tentu saja berupaya untuk menjaga keseimbangan alam semesta ini. Mereka meyakini bahwa jika keseimbangan alam ini tidak dijaga dan 24 25 Data PBS Kabupaten Alor Provisni Nusa Tenggara Timur (NTT) Wawancara, Soleman Biri (Tokoh Adat), 22 April 2017, Kalabahi, Pukul 09.00 WITA dipelihara dengan baik, maka akan terjadi malapetaka atau hal-hal yang tidak diinginkan seperti, bencana banjir, gempa bumi, dan lain-lain. Selain itu, keseimbangan alam semesta perlu untuk dijaga agar tercipta keharmonisan relasi antara mereka dengan Lahatala, roh para leluhur, dan para jin serta memulihkan hubungan antar manusia. Harun Hadiwijono menyatakan bahwa seluruh kekuatan alam semesta ini diyakini sebagai yang

  26

  mengorientasikan pemikiran, ucapan, tindakan, dan tujuan hidup. Oleh karena itu, pelaksanaan upacara atau ritus-ritus keagamaan memainkan peranan sentral. Pihak yang

  27 dipandang layak bertindak sebagai pelaksana ritus adalah imam (marang/labbe).

  Ada berbagai jenis upacara atau ritus keagamaan yang berlaku di dalam kehidupan masyarakat Aramaba. Di antaranya yaitu, ritus penanaman dan penuaian padi atau hasil kebun lainnya dan juga ritus pendamaian. Upacara atau ritus keagamaan ini tidak hanya berlaku di Aramaba saja, tetapi secara umum berlaku juga bagi masyarakat yang tinggal di wilayah Pantar Tengah.

  Dalam hubungannya dengan tulisan ini, penulis akan membahas mengenai ritus pendamaian. Ritus pendamaian tersebut terdiri dari beberapa jenis, yaitu ritus Galoming, ritus Tung Pinni, ritus Ber Gasaru, ritus Tang

  Pi’uwang Solang, dan ritus Oli Somba. Ritus

galoming bertujuan untuk mengembalikan nama baik kepada seseorang yang telah

  dicemarkan nama baiknya. Ritus Tung Pinni bertujuan untuk memulihkan harga diri atau martabat akibat perbuatan amoral, yakni perzinahan. Ritus Ber Gasaru merupakan ritus yang bertujuan untuk memulihkan dua pihak yang telah bermusuhan akibat perkataan atau bahasa yang menyinggung dan menyakiti perasaan pihak lain. Ritus ini juga biasanya disebut sebagai “acara buka hati.” Ritus Tang Pi’uwang Solang berkaitan dengan bagaimana mendamaikan dua pihak yang berselisih (terlibat pertengkaran) yang mengakibatkan 26 Nelman Asrianaus Weny, Tang Pi’u-Wang Solang, Menyambung yang Terputus, Menambal yang

  

Tersobek, Sebuah Kristologi Pendamaian darri Perspektif Orang Pantar Barat, dalam Sosiologi Agama, Pilihan Beteologi di Indonesia (Salatiga: Satya Wacana Press, 2016), 231 27 Nelman Asrianaus Weny, Tang Pi’u-Wang Solang,..., 232 kerusakan hubungan antara satu terhadap yang lainnya. Sementara itu, ritus Oli Somba biasanya dilakukan sebagai reaksi atas terjadinya kasus pembunuhan dengan tujuan untuk melakukan upaya pemulihan hubungan antara keluarga korban dan juga pelaku agar terlepas dari ancaman penyakit bahkan juga kematian. Ritus ini berbeda dengan ritus lainnya karena ada darah yang harus ditumpahkan dalam rangka upaya pemulihan atau pendamaian. Untuk itulah, maka selanjutnya penulis akan memaparkan secara jelas ritus Oli Somba yang

  28 berlaku di wilayah Aramaba.

2.5 Ritus Oli Somba (Persembahan Korban) dalam Suku Aramaba

  Oli Somba merupakan salah satu dari sekian ritus pendamaian yang telah menjadi

  budaya orang Aramaba. Namun demikian, ritus ini bukan hanya terdapat dalam Desa Aramaba, tetapi juga menjadi budaya dari seluruh masyarakat yang berada di wilayah Pantar khususnya Pantar Barat (kini telah dimekarkan menjadi Pantar Tengah dan Pantar Barat) yang meliputi wilayah Tubbe, Lamma, Mauta, dan De’ing.

  Secara harafiah, Oli berarti korban dan Somba berarti sembah. Dengan demikian, maka Oli Somba dapat diartikan sebagai persembahan korban. Oli Somba mengandung makna korban atau pengganti hidup (awa gawenung). Ritus ini biasanya dilakukan untuk mengakhiri suatu pertikaian atau peperangan antara suku/kampung yang diakibatkan oleh karena terjadinya kasus pembunuhan. Di dalam ritual tersebut, pihak yang saling bermusuhan atau yang berperang mengangkat sumpah untuk menghindari terjadinya konflik yang berkepanjangan. Sumpah yang dilakukan dalam bahasa setempat dikenal dengan istilah bela sakang (sumpah saudara). Ada dua jenis ritus Oli Somba yakni aname somba (korban manusia) dan

  mo’bai somba (korban hewan/binatang). Meskipun demikian, ritus

  yang biasanya kerap digunakan adalah aname somba, sedangkan 28

  mo’bai somba hanyalah

Wawancara, Thomas La’a (Tokoh Masyarakat), 1 Juni 2017, Desa Aramaba, 10.00 WITA

  29 alternatif kedua jika tidak ditemukan manusia/budak/hamba yang layak dijadikan korban.

  Berbicara mengenai budak menunjukkan bahwa dalam komunitas masyarakat Aramaba juga berlaku sistem kasta atau pembagian kelas sosial masyarakat setempat. Zadrak Magang dalam penelitiannya tentang kehidupan orang Aramaba menemukan tentang adanya pembagian kelas sosial tersebut. Pembagian kelas tersebut terdiri dari kelas atas (rayang

  

kawasang atau penguasa/raja/bangsawan), kelas menengah (tawaka kapitang atau wakil

  raja, hukung marang/labbe atau imam, kora-madda atau kepala suku/tua adat), dan kelas

  30

  bawah (tabbang-kola atau hamba/budak belian). Hamba/budak belian semata-mata dipandang sebagai obyek kekuasaan kalangan atas dan menengah. Kewajiban mereka hanya mengabdi dan takluk di bawah perintah tuannya. Seluruh milik kepunyaan mereka sepenuhnya adalah milik raja. Dengan demikian, raja berhak menentukan setiap apa yang menjadi keinginannya terhadap mereka tanpa ada sanggahan atau protes dari mereka atau para hamba/budak belian tersebut. Termasuk ketika mereka dipilih untuk menjadi korban

  31 dalam ritus oli somba/aname somba.

  Ritus oli somba dilakukan dengan melewati beberapa tahap, mulai dari tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap pasca pelaksanaan. Adapun tahap-tahap tersebut,

  32

  sebagai berikut:

2.5.1 Tahap Persiapan

  Pada tahap ini, seluruh peserta yang terlibat dikumpulkan di lokasi di mana ritus ini akan diadakan. Peserta tersebut adalah Rayang-Kawasang (raja dan atau para bangsawan,

  

Tawaka-Kapitang (wakil raja), Kora-Madda (kepala suku atau para tetua adat), Hukung-

29 30 Wawancara, Thomas La’a (Tokoh Masyarakat), 3 Juni 2017, Desa Aramaba, 09.00 WITA Zadrak E. Maggang, Hukum Pembalasan, Suatu Konfrontasi Antara Konsep Penuntutan Darah di dalam Agama Suku Pantar Barat dengan Pengertian Paqad menurut Alkitab Perjanjian Lama, (Skripsi Fakultas Teologi Universitas Kristen Artha Wacana, 1994), 8 31 32 Wawancara, Thomas La’a (Tokoh Masyarakat), 1 Juni 2017, Desa Aramaba, 09.00 WITA Wawan cara, Thomas La’a (Tokoh Masyarakat), 3 Juni 2017, Desa Aramaba, 09.00 WITA

  

Marang/Labbe (Imam), dan seluruh rakyat kecuali perempuan. Alasan mengapa perempuan

  tidak diperbolehkan untuk mengikuti ritual tersebut oleh karena mereka menganggap bahwa perempuan itu tidak kudus/suci (darah kotor/haid). Setelah semua peserta berkumpul, maka akan dipilih Labbe (Imam) dari salah satu suku untuk bertugas sebagai pemimpin ritual Oli Somba. Biasanya akan dipilih dari suku/kampung yang cukup berpengaruh atau yang paling besar. Selain itu, dalam tahap ini akan disiapkan juga alat dan bahan yang akan dipergunakan dalam ritual. Alat/bahan yang tersebut yaitu:

  2.5.1.1 Korban

  Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa terdapat dua jenis korban dalam ritus ini, yakni korban manusia (aname somba) dan korban binatang (mo-bai somba). Dalam ritus aname somba, korban yang disiapkan adalah seorang manusia yang berasal dari kaum lapisan bawah, yakni yang berstatus hamba/budak belian (tabbang-kola). Budak ini biasanya dibeli dari kampung yang jauh dengan pertimbangan agar tidak terjadi komplain dan pembalasan dendam. Dalam ritus

  mo’bai somba, jenis hewan yang layak dikorbankan haruslah babi/kambing betina yang tak bercacat cela (tidak pernah dikawinkan sebelumnya).

  2.5.1.2 Alat-alat/bahan

  Selain korban, ada beberapa alat dan bahan lainnya yang diperlukan untuk menjalankan ritus ini. Pertama, Kota atau Mezbah Batu (Kota), yakni sebuah batu yang digunakan sebagai mezbah yang berbentuk bundar atau ceper. Mezbah ini dijadikan sebagai altar dalam upacara/ritus Oli Somba. Selain itu yang disiapkan juga dar-marasa (darah nifas), to (tuak putih), mosang (parang panjang), tawali (kuali besar), dan teku (tempurung kelapa). Seluruh alat dan bahan yang telah disiapkan diletakkan di atas kota (mezbah) dan selanjutnya upacara/ritus tersebut siap untuk dilaksanakan.

2.5.2 Tahap Pelaksanaan

  Pada tahap ini, para peserta khususnya Rayang-kawasang, Tawaka-kapitang, Kora-

  

madda , dan Labbe berdiri mengelilingi altar. Selanjutnya, para Kora-madda memegang

  korban yang akan disembelih tepat di atas tawali (kuali besar). Labbe yang bertugas sebagai pemimpin ritus, berdiri sambil memegang mosang (parang panjang) lalu diarahkan ke langit seraya mengucapkan mantera/doa kepada Lahatala. Ada tiga pokok doa/mantera yang diucapkan oleh sang Labbe, yakni: pertama, Lahatala gai ber sosoli wang dogging-nattang

  Gai mura- dipa aggi ma ppi’i rasa. Artinya, kiranya persembahan ini dapat memuaskan hati

  Lahatala sehingga menghindarkan kami dari angkara murka. Kedua, damaya-

  bali’ang,

taume-anuku takalli-anuku, gaddi ma aname tanggolang Lahatala, aname tanggolang ni

marungper tang tanggolang gunnang geguaddang. Artinya, kiranya kami mendapatkan

  damai sejahtera dan terciptanya hubungan atau relasi yang baik antara kami sesama manusia dan juga antara kami manusia dengan Lahatala, termasuk alam semesta dan segala sesuatu yang ada di kolong langit ini. Ketiga, Aggi ma pir kalalang ta, taume-anuku takalli-anuku

  

sinaddi ati’ang, sekang gatenang-kawwa. Artinya, kiranya persembahan ini menjadi suatu

pertanda bahwa kesatuan hati dan kesetiaan di antara kami tidak akan pernah berakhir.

  Setelah mantera itu diucapkan, ia kemudian menancapkan mosang ke dalam tanah lalu menariknya kembali dan menggorok leher korban dan membiarkan darah korban menetes ke dalam tawali. Darah itu kemudian dicampurkan dengan bahan-bahan lainnya yang telah disiapkan sebelumnya (tuak putih dan darah nifas). Selanjutnya, Labbe mengambil campuran darah tersebut dengan menggunakan teku (tempurung kelapa) dan dibagi-bagikan kepada seluruh peserta untuk diminum secara bergiliran. Selesai proses minum darah, daging korban dibakar di atas mezbah untuk disantap bersama. Darah yang diminum dipercaya sebagai lambang kehidupan yang mengikat secara turun temurun.

  Korban yang dibakar dianggap sebagai persembahan syukur bagi leluhur terkhususnya kepada Lahatala. Selain itu, daging yang disantap bersama juga sebagai pertanda bahwa mereka sudah berdamai karena hubungan mereka telah dipulihkan. Sementara proses pembakaran berlangsung, seluruh peserta melakukan lego-lego/sauke (merupakan tarian adat orang Pantar) mengelilingi altar sampai daging selesai dimakan. Menjadi catatan penting bagi mereka ialah selama ritual ini dilakukan, peserta dilarang keras untuk bersin/pessing karena akan menggagalkan kekudusan ritual.

2.5.3 Tahap Pascapelaksanaan

  Dalam tahap ini akan diadakan sumpah adat atau sumpah saudara yang dipimpin oleh Labbe. Sumpah tersebut dalam bahasa setempat disebut bela sakkang. Bahwa mereka yang bertikai telah berdamai dan untuk itu di antara mereka tidak diperkenankan/tidak diperbolehkan bahkan dilarang keras untuk saling kawin/mawin.

  Selain itu, jika ada sesuatu barang/benda milik kepunyaan salah satu pihak yang diambil, baik itu secara sengaja maupun tidak sengaja, maka pihak yang kehilangan dilarang untuk mencela atau bahkan memarahi. Jika sumpah saudara ini dilanggar, maka mereka meyakini bahwa mereka akan mendapatkan malapetaka dalam kehidupan mereka bahkan sampai pada keturunan mereka. Setelah sumpah ini diucapkan, mereka lalu berjabatan

  33 tangan dan mengakhiri ritual tersebut.

  Demikian penjelasan mengenai ritual Oli Somba dimulai dari pengertian sampai pada prosesnya. Ritus ini, diakui oleh masyarakat setempat bahwa hingga kini sudah tidak lagi dilaksanakan. Akan tetapi, mereka meyakini bahwa kekuatan sumpah tersebut terasa nyata dan menyatu dalam kehidupan mereka. Artinya bahwa, jika mereka melakukan larangan-larangan yang telah diucapkan dalam proses ritual tersebut, mereka tentu akan

  34 mendapatkan malapetaka dari para leluhur dan Lahatala. 33 34 Wawancara , Zabdi Adisony (Tokoh Masyarakat), 4 Juni 2017, Desa Aramaba, 16.00 WITA

Wawancara, Thomas La’a (Tokoh Masyarakat), 3 Juni 2017, Desa Aramaba, 09.00 WITA Akan tetapi, setelah Kekristenan masuk di Pulau Pantar, ritus ini tidak lagi dilakukan karena dianggap sebagai ajaran sesat sesuai dengan pemberitaan dari para penginjil yang masuk di wilayah mereka. Selain itu, alasan mereka yang lain ialah karena mereka merasa

  35

  jijik untuk meminum darah manusia/hewan yang dijadikan sebagai korban. Tidak hanya ritus oli somba yang ditiadakan tetapi beberapa ritus lainnya pun turut ditiadakan.

  Kekristenan telah benar-benar menghapus budaya yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Aramaba. Sangkaan bahwa budaya yang mereka miliki adalah sebuah ajaran sesat/kafir telah diterima dan diikuti bahkan dipercaya sebagai sebuah kebenaran dari yang kuasa. Akan tetapi, nilai-nilai yang terkandung dalam ritus

  • –ritus tersebut tetap dijaga hingga saat ini. Sebagai contoh, dasar-dasar dari bela sakang juga masih dijadikan sebagai dasar

  36 pembicaraan damai jika terjadi konflik di antara mereka.

2.6 Makna atau Hakekat Ritus Oli Somba dalam Komunitas Aramaba

  Upacara korban merupakan akta pemberian persembahan berupa makanan, minuman atau binatang sebagai konsumsi bagi suatu makhluk supernatural. Upacara korban sebagai suatu komunikasi non-verbal antara manusia dan mahkluk adikodrati,

  37

  meliputi persembahan, persekutuan, dan silih. Sindhunata menyebutkan bahwa ritus korban adalah salah satu praktik yang terpenting bagi agama dalam mempertahankan

  38

  eksistensinya. Pemberian korban erat kaitannya dengan pendamaian, baik itu antara manusia dan sesama, manusia dan alam semesta terlebih kepada yang ilahi atau yang disebut Tuhan oleh hampir sebagian besar manusia di bumi ini. Kirchberger juga menjelaskan bahwa pemberian korban mengandung beberapa makna. Pertama, persembahan korban mengandung aspek persekutuan karena dilakukan dalam upacara yang dirayakan

  35 36 Wawancar

a, Thomas La’a (Tokoh Masyarakat), 3 Juni 2017, Desa Aramaba, 09.00 WITA

37 Wawancara , Zabdi Adisony (Tokoh Masyarakat), 4 Juni 2017, Desa Aramaba, 16.00 WITA

  38 Maria Susai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 214 Sindhunata, Kambing Hitam, Teori Rene Girard, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), 98 secara bersama-sama. Kedua, kurban mengandung arti silih dosa/pemulihan hubungan

  39 manusia dengan Allah.

  Merujuk kepada tahap-tahap pelaksanaan ritus Oli Somba di atas, maka sesungguhnya ritus ini juga memiliki makna yang bersifat mengikat bagi semua pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung yang melakukan ritual tersebut. Makna dan hakekat inilah yang akan penulis gunakan untuk menafsir teks pada bagian selanjutnya.

  Penulis menyimpulkan tiga makna dari pelaksanaan ritus Oli Somba, sebagai berikut:

2.6.1 Oli Somba Sebagai Bentuk Penyatuan Masyarakat (Pendamaian)

  Tujuan utama dari ritus Oli Somba adalah mendamaikan kembali dua pihak, yakni keluarga korban dengan pelaku dan keluarga pelaku, atas peristiwa pembunuhan yang terjadi. Oleh karena tujuan utamanya adalah mendamaikan, maka ritus ini memiliki nilai yang tinggi. Tidak mudah bagi seseorang atau sebuah keluarga yang kehilangan anggota keluarganya karena dibunuh, mau memaafkan apalagi berdamai dengan pelaku pembunuhan. Kenyataan umum dalam komunitas masyarakat adalah adanya upaya balas dendam terhadap pihak pelaku. Jadi, jika dalam sebuah komunitas masyarakat terjadi sebuah ritual pendamaian seperti ritual Oli Somba, maka hal ini menunjukkan bahwa kedua belah pihak, baik keluarga korban maupun pelaku dan keluarga pelaku memiliki kesadaran tinggi akan pentingnya hidup dalam suasana damai dan rukun.

  Dampak dari ritual Oli Somba bagi kedua belah pihak yang bersifat mengikat turun- temurun merupakan bukti bahwa ritual ini memiliki kekuatan yang tidak dapat dilepaskan.

  Tahap pascapelaksaan ritual Oli Somba, dimana masing-masing pihak mengucapkan sumpah yang menguatkan pelaksanaan ritual merupakan bukti tak terbantahkan bahwa ritual

39 G. Kirchberger, Gereja, Yesus Kristus, Sakramen, Roh Kudus (Ende: Penerbit Nusa Indah, 1991), 58-

  65 ini menjadi alat pendamaian yang ampuh untuk menyelesaikan sebuah persoalan hidup bermasyarakat yang kompleks.

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Penggunaan Pendekatan Saintifik Melalui Model Pembelajaran Discovery Learning dan Problem Based Learning terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas 3 SD

0 0 8

Welcome to Repositori Universitas Muria Kudus - Repositori Universitas Muria Kudus

0 0 21

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Penggunaan Pendekatan Saintifik Melalui Model Pembelajaran Discovery Learning dan Problem Based Learning terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas 3 SD

0 0 23

Welcome to Repositori Universitas Muria Kudus - Repositori Universitas Muria Kudus

0 1 22

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Penggunaan Pendekatan Saintifik Melalui Model Pembelajaran Discovery Learning dan Problem Based Learning terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas 3 SD

0 0 14

HALAMAN JUDUL - Welcome to Repositori Universitas Muria Kudus - Repositori Universitas Muria Kudus

0 1 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Penggunaan Pendekatan Saintifik Melalui Model Pembelajaran Discovery Learning dan Problem Based Learning terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas 3 SD

0 0 23

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN EXAMPLE NON EXAMPLE DENGAN MEDIA PICTORIAL RIDDLE UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR PKn SISWA KELAS V SD 2 TENGGELES

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Penggunaan Pendekatan Saintifik Melalui Model Pembelajaran Discovery Learning dan Problem Based Learning terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas 3 SD

0 7 125

1 Bab 1 Memahami Ulang Yesus Sebagai Korban (Mat.26:36-46): Perspektif Poskolonialis Oli Somba Dalam Agama Suku Aramaba Terhadap Yesus Sang Korban 1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Memahami U

0 0 12