Makalah seminar Kebijakan Publik Kebijak

BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bali menjadi daya tarik tersendiri bagi kehidupan masyarakat, bagi untuk
masyarakat asli Bali maupun masyarakat di luar Bali. Kekayaan adat-istiadat dan
trasdisi yang senatiasa dijaga oleh penduduknya, menjadikan Bali dipandang
sebagai masyarakat adat tradisional yang tetap bertahan di tengah arus
perkembagan zaman. Keteguhan masyarakat Bali dalam mempertahankan adat
istiadat dan tradisi juga tercermin pada pola kehidupan pemerintahan desa yang
sampai saat ini menjaga keutuhan desa adat yang ada. Secara pemerintahan juga
terdapat hal yang beda dari daerah lainnya, yaitu adanya desa adat dan desa
administrasi atau lebih dikenal desa dinas.
Secara historis belum diketahui kapan dan bagaimana proses awal
terbentuknya desa adat di Bali. Ada yang menduga bahwa desa adat telah ada di
Bali sejak zaman neolitikum dalam zaman prasejarah. Desa adat mempunyai
identitas unsur-unsur sebagai persekutuan masyarakat hukum adat, serta
mempunyai beberapa ciri khas yang membedakannya dengan kelompok sosial
lain. Ciri pembeda tersebut antara lain adanya wilayah tertentu yang mempunyai
batas-batas yang jelas, dimana sebagian besar warganya berdomisili di wilayah
tersebut dan adanya bangunan suci milik desa adat berupa kahyangan tiga atau
kahyangan desa.

Eksistensi desa adat di Bali hingga sampai saat ini tetap terjaga bahkan bisa
melampau peran pemerintah desa adminitrasi dalam pengaruhnya kepada
masyarakat. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat kepercayaan dan pelaksanaan nilainilai yang dianut masyarakat Bali tentang keyanikan agama Hindu. Nilai-nilai
tersebut dikenal sebagai konsep trihita karana yaitu nilai yang mengatur hubungan
manusia dengan tuhan atau sang hyang, hubungan manusia dengan manusia, dan
hubungan manusia dengan alam atau lingkungan. Ketaatan masyarakat Bali dalam
menjalankan nilai-nilai tersebut membuat keberadaan lembaga adat sangat diakui
dan dihormati oleh masyarakat Bali.

1

Bentuk Desa di Bali terutama didasarkan atas kesatuan tempat. Disamping
kesatuan wilayah maka sebuah desa merupakan pula suatu kesatuan keagamaan
yang ditentukan oleh suatu kompleks pura desa yang disebut Kahyangan Tiga,
ialah Pura Puseh, Pura Bale Agung dan Pura Dalem. Ada kalanya Pura Puseh dan
Pura Bale Agung dijadikan satu dan disebut Pura Desa Wasa), (2) Pelemahan
mewujudkan hubungan manusia dengan alam lingkungan tempat tinggalnya), dan
(3) Pawongan (mewujudkan hubungan antara sesama manusia, sebagai makhluk
ciptaan-Nya).
Dengan diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1979, di Bali dikenal adanya dua

pengertian desa. Pertama, 'desa' dalam pengertian hukum nasional, sesuai dengan
batasan yang tersirat dan tersurat dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1979
tentang pemerintahan desa. Desa dalam pengertian ini melaksanakan berbagai
kegiatan administrasi pemerintahan atau kedinasan sehingga dikenal dengan
istilah 'Desa Dinas' atau 'Desa Administratif'. Desa dalam pengertian yang kedua,
yaitu desa adat atau Desa Pakraman, mengacu kepada kelompok tradisional
dengan dasar ikatan adat istiadat dan terikat oleh adanya tiga pura utama
(Kahyangan Tiga). Dasar pembentukan desa adat dan desa dinas memiliki
persyaratan yang berbeda, sehingga wilayah dan jumlah penduduk pendukung
sebuah desa dinas tidak selalu kongruen dengan desa adat.
Desa Pakraman pada hakikatnya adalah pengejawantahan ajaran agama
Hindu dalam menata umatnya dalam suatu wilayah desa. Awig-awig adalah
norma utama untuk menata dinamika kehidupan di Desa Pakraman. Sumber awigawig adalah ajaran agama Hindu. Ciri pokok dari Desa Pekraman adalah adanya
Kahyangan Tiga yang disebut sebagai unsur Parhyangan, Krama Desa sebagai
unsur Pawongan dan ada wilayah desa disebut unsur Palemahan.
Dalam sejarah panjang pembentukan desa adat pakraman tersebut, tidak
dapat dipungkiri bahwa terjadinya intervensi intervensi dari luar melalui
pembentukan desa dinas yang dipelopori oleh pemerintah kolonial Belanda dan
kemudian penyeragaman bentuk administrasi desa dinas melalui model desa di
Jawa sejak keluarnya keputusan tentang pemerintahan desa pada tahun 1974, desa

adat pakraman telah menunjukkan kontinuitas sejarah yang menarik dan sekaligus
peran pentingnya bagi masyarakat Bali. Perubahan perubahan yang terjadi dalam
2

lingkup makro politik di Indonesia sejak periode reformasi tahun 1999 yang
disusul kemudian dengan kebijakan yang lahir tentang pengakuan desa adat
pakraman oleh pemerintah propinsi Bali, memberikan momentum penting bagi
desa adat pakraman untuk kembali hadir sebagai sebuah lembaga penting di dalam
struktur paling bawah administrasi pemerintahan Republik Indonesia.
Melihat berbagai momentum dari kelahiran desa adat pakraman tersebut
yang telah berdiri jauh sebelum kemerdekaan bangsa, maka pemerintah dirasa
perlu untuk memberikan sebuah payung hukum guna mempertahankan dan
mengembangkan ke eksistensian dan ketahanan desa adat pakraman di Bali itu
agar tidak tertgilas oleh kebudayaan lain yang masuk dalam area desa adat.
Terkait dengan pengaturan terhadap desa adat baik dalam bidang pembuatan
peraturan atau awig awig, terkait pengembangan wilayah desa, serta pengelolaan
kekayaan asli daerah adat serta keterlibatan partisipasi masyarakat dalam
pembuatan peraturan perlu juga di tentukan oleh pemerintah daerah propinsi Bali
dalam membuat perda tentang desa adat pakraman tersebut. Disamping itu, perda
yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah propinsi Bali dapat dijadikan sebagai

payung hukum guna tetap mempertahankan adat istiadat dan kehidupan tradisi asi
masyarakat desa adat tersebut.
Dalam pembentukan perda yang mengatur tentang segala hal yang terkait
dengan desa adat tersebut, maka sedikit banyak akan menimbulkan beberapa
dampak bagi kehidupan sosial dan budaya masyarakat setempat. Peran
pembentukan desa adat melalui Peraturan Daerah No 3 tahun 2001 tentang desa
pakraman menjadi sangat jelas dan terstruktur serta memiliki kekuatan hukum
yang mengikat bagi aktivitas masyarakat desa adat pakraman tersebut. Disamping
itu peranan perda tersebut juga akan sangat central bagi perkembangan sosial dan
budaya serta bagi kelestarian budaya asli dari desa adat pakraman sendiri sehingga
desa adat dapat mempertahankan kearifan lokal yang menjadi ciri khas dan
pembeda dengan desa desa yang lain.
Adanya desa adat di Bali juga menjadi daya tarik tersendiri bagi masyaraat
bali maupun dari luar daerah. Selain dari segi adat istiadat adanya desa adat di
Bali juga berpengaruh terhadap kehidupan sosial yang ada di dalam masyarakat.
Berdasarkan dari pemaparan latar belakang desa adat dan penetapan peraturannya
3

tersebut, Maka dari itu penulis tertarik untuk mengambil tema “Kebijakan
adanya desa adat di Prov Bali sebagai wujud pembangunan sosial budaya

masyarakat (studi di Desa Pakraman, Bali).
B. Rumusan Masalah
1. Bagamana kebijakan Pemerintah Provinsi Bali dalam pembentukan desa
adat?
2. Bagaimana dampa adanya kebijakan pembuatan desa adat bagi kehidupan
sosial dan budaya masyarakat Bali?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui kebijakan pemerintah Prov. Bali dalam pembentukan
desa adat.
2. Untuk mengetahui dampak adanya kebijakan pembuatan desa adat bagi
kehidupan sosial dan budaya di Bali.
D. Manfaat
1.

Secara Teoritis
Melalui makalah ini diharapkan akan dapat menambah wawasan, dan
membantu dalam pengembangan studi dalam penanganan isu penetapan
atau

pengambilan


keputusan

dan

kebijakan

pubik

dalam

ilmu

pemerintahan dalam bidang pengembangan sosial dan budaya.
2.

Secara Praktis
Bagi pembaca, penulisan ini diharapkan memberikan sumbangan referensi
yang memberikan informasi tambahan yang berguna.
Bagi penulis, diharapkan dapat menambah wawasan dan lebih memahami

tentang

permasalahan kebijakan pengambilan keptusan dan kebijakan

publik oleh pemerintah khususnya dalam bidang sosial dan budaya.

4

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.

Kebijakan Publik
Kebijakan publik adalah keputusan atau peraturan yang dibuat oleh yang

berwewenang untuk mengatasi masalah publik, sehingga diharapkan tujuan
organisasi dapat dicapai dengan baik. Ciri-ciri utama kebijakan publik adalah
suatu peraturan atau ketentuan yang diharapkan dapat mengatasi masalah publik.
Cochran dan Malone mengemukakan “Public policy is the study of governments
decision and actions designed to deal with matter of Public Concern”.

Dye mendefinisikan kebijakan sebagai apa yang dilakukan oleh pemerintah,
bagaimana mengerjakannya, mengapa perlu dikerjakan dan perbedaan apa yang
dibuat. Dye seperti yang dikutip Winarno berpandangan lebih luas dalam
merumuskan pengertian kebijakan, yaitu sebagai pilihan pemerintah untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu (whatever goverment choose to do or
not to do). Konsep kebijakan yang ditawarkan oleh Anderson ini menurut Budi
Winarno (2007: 18) dianggap lebih tepat karena memusatkan perhatian pada apa
yang sebenarnya dilakukan dan bukan pada apa yang diusulkan atau
dimaksudkan. Selain itu konsep ini juga membedakan secara tegas antara
kebijakan (policy) dengan keputusan (decision) yang mengandung arti pemilihan
diantara berbagai alternatif yang ada.
Lingkup dari studi kebijakan publik sangat luas karena mencakup berbagai
bidang dan sektor seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum, dan
sebagainya. Disamping itu dilihat dari hirarkirnya kebijakan publik dapat bersifat
nasional, regional maupun lokal seperti undang-undang, peraturan pemerintah,
peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan pemerintah daerah/provinsi,
keputusan

gubernur,


peraturan

daerah

kabupaten/kota,

dan

keputusan

bupati/walikota. Secara terminologi pengertian kebijakan publik (public policy)
itu ternyata banyak sekali, tergantung dari sudut mana kita mengartikannya.
Easton memberikan definisi kebijakan publik sebagai the authoritative allocation
of values for the whole society atau sebagai pengalokasian nilai-nilai secara paksa
kepada seluruh anggota masyarakat. Laswell dan Kaplan juga mengartikan
5

kebijakan publik sebagai a projected program of goal, value, and practice atau
sesuatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dalam praktek-praktek yang
terarah.

B.

Otonomi Pemerintahan Desa
Secara etimologi kata desa berasal dari bahasa Sansekerta, deca yang berarti

tanah air, tanah asal, atau tanah kelahiran. Dari perspektif geografis, desa atau
village diartikan sebagai “a groups of hauses or shops in a country area, smaller
than a town”. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan hak asal-usul
dan adat istiadat yang diakui dalam Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah
Kabupaten.
Desa menurut H.A.W. Widjaja dalam bukunya yang berjudul “Otonomi
Desa” menyatakan bahwa “Desa adalah sebagai kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa.
Landasan pemikiran dalam mengenai Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman,
partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat” (Widjaja,
2003: 3).
Desa menurut UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
mengartikan Desa sebagai berikut :
“Desa atau yang disebut nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah

kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan
asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem
Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU No. 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah pasal 1 ayat 12).
Desa memiliki wewenang sesuai yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah
No 72 Tahun 2005 tentang Desa yakni:
a.

Menyelenggarakan urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak
asal-usul desa

b.

Menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
kabupaten/ kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa, yakni urusan

6

pemerintahan yang secara langsung dapat meningkatkan pelayanan
masyarakat.
c.

Tugas pembantuan dari pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah
Kabupaten/Kota.

d.

Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundangundangan
diserahkan kepada desa.
Tujuan pembentukan desa adalah untuk meningkatkan kemampuan

penyelenggaraan pemerintahan secara berdaya guna dan berhasil guna dan
peningkatan pelayanan terhadap masyarakat sesuai dengan tingkat perkembangan
dan kemajuan pembangunan. Dalam menciptakan pembangunan hingga di tingkat
akar rumput, maka terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk
pembentukan desa yakni:
1) Faktor penduduk, minimal 2500 jiwa atau 500 kepala keluarga,
2) Faktor luas yang terjangkau dalam pelayanan dan pembinaan masyarakat,
3) Faktor letak yang memiliki jaringan perhubungan atau komunikasi antar
dusun,
4) Faktor sarana prasarana, tersedianya sarana perhubungan, pemasaran, sosial,
produksi, dan sarana pemerintahan desa,
5) Faktor sosial budaya, adanya kerukunan hidup beragama dan kehidupan
bermasyarakat dalam hubungan adat istiadat,
6) Faktor kehidupan masyarakat, yaitu tempat untuk keperluan mata
pencaharian masyarakat.
Dalam konsep otonomi desa menurut pendapat Widjaja (2003: 165)
menyatakan bahwa otonomi desa merupakan otonomi asli, bulat, dan utuh serta
bukan

merupakan

pemberian

dari

pemerintah.

Sebaliknya

pemerintah

berkewajiban menghormati otonomi asli yang dimiliki oleh desa tersebut. Sebagai
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak
istimewa, desa dapat melakukan perbuatan hukum baik hukum publik maupun
hukum perdata, memiliki kekayaan, harta benda serta dapat dituntut dan menuntut
di muka pengadilan.
Dengan dimulai dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
yang kemudian disempurnakan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor
7

32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan landasan kuat bagi
desa dalam mewujudkan “Development Community” dimana desa tidak lagi
sebagai level administrasi atau bawahan daerah tetapi sebaliknya sebagai
“Independent Community” yaitu desa dan masyarakatnya berhak berbicara atas
kepentingan masyarakat sendiri. Desa diberi kewenangan untuk mengatur desanya
secara mandiri termasuk bidang sosial, politik dan ekonomi. Dengan adanya
kemandirian ini diharapkan akan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat desa
dalam pembangunan sosial dan politik.
Bagi desa, otonomi yang dimiliki berbeda dengan otonomi yang dimiliki
oleh daerah propinsi maupun daerah kabupaten dan daerah kota. Otonomi yang
dimiliki oleh desa adalah berdasarkan asal-usul dan adat istiadatnya, bukan
berdasarkan penyerahan wewenang dari Pemerintah. Desa atau nama lainnya,
yang selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem
Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten. Landasan pemikiran
yang perlu dikembangkan saat ini adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi
asli, demokrasi, dan pemberdayaan masyarakat.
Pengakuan otonomi di desa, Taliziduhu Ndraha (1997:12) menjelaskan
sebagai berikut :
a. Otonomi desa diklasifikasikan, diakui, dipenuhi, dipercaya dan dilindungi
oleh pemerintah, sehingga ketergantungan masyarakat desa kepada
“kemurahan hati” pemerintah dapat semakin berkurang.
b. Posisi dan peran pemerintahan desa dipulihkan, dikembalikan seperti
sediakala atau dikembangkan sehingga mampu mengantisipasi masa depan.
Otonomi desa merupakan hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
berdasarkan hak asal-usul dan nilai-nilai sosial budaya yang ada pada masyarakat
untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan desa tersebut. Urusan
pemerintahan berdasarkan asal-usul desa, urusan yang menjadi wewenang
pemerintahan Kabupaten atau Kota diserahkan pengaturannya kepada desa.

8

C.

Konsep Pengembangan Sosial Budaya
Sesuai dengan Propenas 2000–2004, pembangunan sosial dan budaya

merupakan bagian integral dari prioritas pembangunan nasional keempat, yaitu
membangun kesejahteraan rakyat, meningkatkan kualitas kehidupan beragama,
dan ketahanan budaya. Prioritas pembangunan ini dilaksanakan melalui
pembangunan bidang agama, bidang pendidikan, serta bidang sosial dan budaya.
Tujuan pembangunan di bidang sosial dan budaya adalah untuk
mewujudkan kesejahteraan rakyat yang ditandai dengan meningkatnya kualitas
kehidupan yang layak dan bermartabat serta memberi perhatian utama pada
tercukupinya kebutuhan dasar. Sasaran umum yang akan dicapai adalah
meningkatnya usia harapan hidup, menurunnya laju pertumbuhan penduduk,
menurunnya angka kelahiran total, menurunnya angka kematian kasar,
meningkatnya ketahanan sosial dan budaya, meningkatnya kedudukan dan
peranan perempuan, meningkatnya partisipasi aktif pemuda, serta meningkatnya
pembudayaan dan prestasi olahraga. Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut,
telah dilaksanakan berbagai kebijakan dan program-program pembangunan di
bidang sosial dan budaya, yang meliputi bidang kesehatan dan kesejahteraan
sosial, termasuk kependudukan dan keluarga berencana; kebudayaan; kedudukan
dan peranan perempuan; serta pemuda dan olah raga.
Secara garis besar arah kebijakan pembangunan sosial dan budaya adalah
sebagai berikut :
a) Di bidang kesehatan adalah peningkatan mutu sumber daya manusia dan
lingkungan yang saling mendukung dengan pendekatan paradigma sehat,
serta peningkatan mutu lembaga dan pelayanan kesehatan.
b) Di bidang kesejahteraan sosial meliputi pengembangan ketahanan sosial,
peningkatan apresiasi terhadap penduduk lanjut usia dan veteran,
peningkatan kepedulian terhadap penyandang masalah sosial, serta
peningkatan aksesibilitas fisik dan nonfisik bagi penyandang cacat.
c) Di bidang kependudukan dan keluarga berencana yaitu: peningkatan
kualitas penduduk melalui pengendalian kelahiran, penurunan angka
kematian,

peningkatan

pengembangan

dan

kualitas
keserasian

program

keluarga

kebijakan

berencana

kependudukan

serta
dengan
9

memperhatikan aspek kependudukan dan lingkungan sebagai sentral
pembangunan.
d) Di bidang kebudayaan dan pariwisata adalah pengembangan dan pembinaan
kebudayaan

nasional,

perumusan

nilai-nilai

budaya

Indonesia,

pengembangan sikap kritis terhadap nilai-nilai budaya, pengembangan
kebebasan berkreasi dalam berkesenian, pengembangan dunia perfilman
Indonesia, pelestarian apresiasi nilai kesenian dan kebudayaan tradisional,
perwujudan kesenian dan kebudayaan tradisional Indonesia sebagai wahana
pengembangan

pariwisata,

dan

pengembangan

pariwisata

dengan

pendekatan sistem yang utuh berdasarkan pemberdayaan masyarakat.
e) Di bidang kedudukan dan peranan perempuan meliputi: peningkatan
kedudukan dan peran perempuan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, dan peningkatan kualitas peran dan kemandirian organisasi
perempuan.
f) Di bidang pemuda dan olahraga meliputi: penumbuhan budaya olahraga,
peningkatan

usaha

pembibitan

dan

pembinaan

olahraga

prestasi,

pengembangan iklim kondusif bagi pengembangan generasi muda,
pengembangan minat dan semangat kewirausahaan di kalangan generasi
muda, dan pelindungan bagi generasi muda dari narkoba.

10

BAB III
PEMBAHASAN
A.

Kebijakan Pemerintah Provinsi Bali Dalam Pembentukan Desa Adat
Pakraman
Pasca proses reformasi politik dan pergantian pemerintahan pada tahun

1998, kemudian telah diikuti dengan lahirnya UU No. 22/1999 tentang
pemerintahan daerah. UU ini berisi antara lain, mencabut UU No. 5/1979. Dalam
UU yang baru ini, spirit pelaksanaan sentralisasi, birokrasi dan uniformitas tidak
lagi dilanjutkan sehingga deregulasi dan debirokratisasi terhadap pemerintahan
desa mulai terjadi. Hal ini diwujudkan dengan adanya kesempatan bagi hidupnya
kembali pemerintahan asli di tingkat desa, pengaturan tentang pemerintahan desa
yang tidak lagi di atur di tingkat nasional dan diserahkan untuk dikelola di tingkat
daerah Kabupaten dan Kota dan lain sebagainya. Dalam pasal 99 UU No. 22/1999
mengenai kewenangan tercantum secara tegas bahwa kewenangan desa mencakup
kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa. Kewenangan inilah
yang kemudian dibaca sebagai pengakuan terhadap desa sebagai sebuah entitas
politik, kultural dan hukum.
Dalam UU No. 22/1999 tersebut terkandung beberapa perubahan mendasar
yang menyangkut penyelenggaraan pemerintahan daerah yaitu: pertama,
pelimpahan wewenang mengenai pengaturan pemerintahan di tingkat desa dari
pemerintah pusat. kepada pemerintah Kabupaten dan Kota. Kedua, dimungkinkan
munculnya variasi di tiap-tiap daerah mengenai model-model pemerintahan di
tingkat desa akibat perubahan kebijakan dari yang bersifat sentralistik
mengedepankan

uniformitas

menuju

kebijakan

yang

desentralistik

dan

memperhatikan heterogenitas budaya dan politik lokal. Ketiga, dominasi peran
birokrasi mengalami pergeseran digantikan dengan menguatnya peran institusi
masyarakat lokal atau adat. Implikasi diterapkannya UU No. 22/1999 adalah
munculnya bentuk-bentuk pemerintahan asli yang digali dari identitas kultur
daerah sebagai pengganti model penyeragaman bentuk pemerintahan desa, salah
satu contoh bentuk pemerintahan desa sesuai dengan identitas kultur yaitu
pembentukan desa adat pakraman di Bali.
11

Di Bali terdapat dua organisasi pemerintahan desa yang berbeda secara
substansial dan fungsional, yaitu Desa Adat dan Desa Dinas. Masing-masing
mempunyai Struktur dan fungsi sendiri, sehingga sifat dari keterikatan anggota
masyarakat terhadap organisasi itu berbeda pula. Desa dinas dalam pengertian ini
bertugas untuk melaksanakan berbagai kegiatan administrasi pemerintahan atau
kedinasan sehingga dikenal dengan istilah 'Desa Dinas' atau 'Desa Administratif'.
Sedangkan Desa adat atau Desa Pakraman, mengacu kepada kelompok tradisional
dengan dasar ikatan adat istiadat dan terikat oleh adanya tiga pura utama
(Kahyangan Tiga). Dasar pembentukan desa adat dan desa dinas memiliki
persyaratan yang berbeda, sehingga wilayah dan jumlah penduduk pendukung
sebuah desa dinas tidak selalu kongruen dengan desa adat.
Eksistensi Desa adat di Bali diakui oleh pasal 18 UUD 1945 dan
dikukuhkan oleh Peraturan Daerah Propinsi Bali No. 6 Tahun 1986, yang
mengatur tentang kedudukan, fungsi dan peranan Desa adat sebagai kesatuan
masyarakat Hukum Adat di Propinsi Daerah Bali. Kelembagaan Desa adat bersifat
permanen dilandasi oleh Tri Hita Karana. Pengertian Desa adat mencakup dua hal,
yaitu : (1) Desa adatnya sendiri sebagai suatu wadah, dan (2) adat istiadatnya
sebagai isi dari wadah tersebut. Desa adat merupakan suatu lembaga tradisional
yang mewadahi kegiatan sosial, budaya dan keagamaan masyarakat umat Hindu
di Bali. Desa adat dilandasi oleh Tri Hita Karana, yaitu : (1) Parahyangan
(mewujudkan hubungan manusia dengan pencipta-Nya yaitu Hyang Widhi Wasa),
(2) Pelemahan (mewujudkan hubungan manusia dengan alam lingkungan tempat
tinggalnya), dan (3) Pawongan (mewujudkan hubungan antara sesama manusia,
sebagai makhluk ciptaan-Nya) .
Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi dan
Peranan Desa Adat sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Propinsi
Daerah Tingkat I Bali mempunyai arti yang sangat penting karena peraturan
daerah ini telah memberikan landasan yuridis formal pada eksistensi desa adat
di Bali, Namun, dengan berkembangnya masyarakat dan terjadinya perubahan
sosial yang demikian cepat serta dicabutnya Undang-undang Nomor 5 Tahun
1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dan Undang undang Nomor 5
Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, dipandang perlu untuk mengadakan
12

perubahan terhadap Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 1986 sesuai dengan
perkembangan dan perubahan sosial yang terjadi di Bali. Maka sehubungan dengan
hal tersebut, lahirlah Peraturan Daerah (Perda) No 3 Tahun 2001 tentang Desa
Pakraman sebagai wujud kebijakan dari Pemerintah Provinsi Bali untuk semakin
mengukuhkan eksistensi desa adat secara lebih spesifik. Kebijakan ini lahir seiring
dengan momentum perubahan besar sistem administrasi pemerintahan Republik
Indonesia pasca runtuhnya orde baru yang menggulirkan wacana desentralisasi
dan otonomi daerah. Yang disebut sebagai desa pakraman dalam peraturan daerah
itu adalah :
Kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu
kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu
secara turun-temurun dalam ikatan Kahyangan tiga atau Kahyangan desa
yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak
mengurus rumah tangganya sendiri.
Sesuai dengan peaturan tersebut, desa pakraman memiliki tugas (1) untuk
membuat awig-awig atau peraturan yang mengikat masyarakat adat, (2) mengatur
tata krama desa, (3) mengatur pengelolaan hartakekayaan desa, (4) bersamasama pemerintah melaksanakan pembangunan di segala bidang terutama di
bidang keagamaan, kebudayaan, dan kemasyarakatan, (5) membina dan
mengembangkan

nilai-nilai

budaya

Bali

dalam

rangka

memperkaya,

melestarikan, dan mengembangkan- mengembangkan kebudayaan nasional
pada umumnya dan kebudayaan daerah pada khususnya, berdasarkan "p arasparos, sagilik-saguluk, salunglung-sabayantaka" (musyawarah-mufakat), (6)
mengayomi krama desa. Selain tugasnya, perda itu mengatur pula ketentuan
wewenang desa pakraman dalam menyelesaikan sengketa adat dan agama dalam
lingkungan wilayahnya dengan tetap membina kerukunan dan toleransi antara krama
desa sesuai awig-awig dan adat-adat kebiasaaan setempat, turut serta menentukan
setiap keputusan dalam pelaksanaa pembangunan yang ada di wilayahnya dan
menegakkan hukum di dalam dan di luar desa pakraman.
Jika diperhatikan dengan saksama mengenai kekuasaan Desa Pakraman,
hingga saat ini dapat dibedakan atas 3 macam kekuasaan, yaitu sebagai berikut.

13

1.

Kekuasaan untuk menetapkan aturan-aturan (awig-awig, eka ilikita,
pararem) untuk menjaga kehidupan organisasi secara tertib dan tentram.
Kekuasaan

ini

diselenggarakan

bersama

dalam

suatu

rapat

desa

(paruman/sangkepan desa), untuk menjaga ketertiban, ketentraman dan
keamanan

masyarakat,

baik

hubungan

antara

masyarakat

sendiri

(pawongan), hubungan masyarakat dengan alam lingkungan (palemahan)
maupun anggota masyarakat dengan Sang Maha Pencipta (Parhyangan)
yang dikenal dengan filsafat Tri Hita Karana.
2.

Kekuasaan untuk menyelenggarakan kehidupan organisasi yang bersifat
sosial religius, seperti membina dan mengembangkan nilai-nilai agama
Hindu Bali dan kaidah adat/dresta, mengembangkan kebudayaan, kesenian,
memelihara dan melestarikan adat istiadat yang hidup dan bermanfaa, untuk
pembangunan jasmaniah maupun peningkatanan kesucian spiritual warga
Desa Pekraman.

3.

Kekuasaaan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang menunjukkan
adanya pertentangan kepentingan antara warga desa atau berupa tindakan
yang menyimpang dari aturan yang telah ditetapkan yang dapat dinilai
sebagai perbuatan yang mengganggu kehidupan bermasyarakat, baik
melalui perdamaian maupun dengan memberikan sanksi adat. Klian atau
Bendesa kerapkali menjadi hakim perdamaian di desa.
Disamping tugas dan fungsi dari desa pakraman, pada perda No 3 Tahun

2001 tentang desa pakraman pasal 9 yang mengatur tentang harta kekayaan desa
pakraman, Harta kekayaan desa pakraman adalah kekayaan yang telah ada
maupun yang akan ada yang berupa harta bergerak dan tidak bergerak, material
dan inmaterial serta benda-benda yang bersifat religious magis yang menjadi milik
desa pakraman. Pengelolaan harta kekayaan desa pakraman dilakukan oleh
prajuru desa sesuai dengan awig-awig atau peraturan desa pakraman masingmasing. Setiap pengalihan/perubahan status harta kekayaan desa pakraman
harus mendapat persetujuan paruman. Pengawasan harta kekayaan desa
pakraman dilakukan oleh krama desapakraman. Tanah desa pakraman dan atau
tanah milik desa pakraman tidak dapat disertifikatkan atas nama pribadi.

14

Tanah desapakraman dan tanah milik desa pakraman bebas dari pajak bumi dan
bangunan.
Dalam perda tersebut juga mengatur tentang pemberdayaan dan pelestarian
desapakraman pada Pasal 13. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa
Pemberdayaan dan pelestarian desa pakraman diarahkan kepada hal-hal
berikut: (1) pembangunan krama sesuai dengan budaya Bali; (2) terwujudnya
pelestarian kebudayaan di desa pakraman; (3) terciptanya kebudayaan daerah
Bali di desa yang mampu menyaring secara selektif nilai-nilai budaya asing; (4)
terciptanya suasana yang dapat mendorong peningkatan peranan dan fungsi
desa pakraman dalam upaya meningkatkan harkat dan martabat serta jati diri dan
berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan pembangunan di segala bidang. Dalam
melakukan pemberdayaan dan pelestarian desa pakraman sebagaimana
dimaksud, harus mendorong terciptanya: sikap demokratis, adil dan obyektif di
kalangan prajuru dan krama desa pakraman masing-masing; pelestarian adat
dan budaya Bali dengan tidak menutup pengaruh nilai budaya lain yang positif.
Desa Adat di Bali mempunyai identitas unsur-unsur sebagai persekutuan
masyarakat

hukum

adat,

serta

mempunyai

beberapa

ciri

khas

yang

membedakannya dengan kelompok sosial lain. Ciri pembeda tersebut antara lain
adanya wilayah tertentu yang mempunyai batas-batas yang jelas, dimana sebagian
besar warganya berdomisili di wilayah tersebut dan adanya bangunan suci milik
Desa Adat berupa kahyangan tiga atau kahyangan desa. Berdasarkan sistem dan
struktur organisasinya, Desa Adat di Bali dapat dibedakan menjadi tiga tipe yaitu,
sebagai berikut: Pertama, Desa Bali Age (Bali Mula) yaitu desa-desa yang masih
kuat memegang sistem serta adat istiadatnya dan tidak atau hanya sedikit terkena
pengaruh kerajaan Majapahit. Desa-desa seperti itu masih banyak terdapat di Bali
pegunungan, seperti: sebagian dari Daerah Tingkat II Buleleng, Jembrana,
Gianyar, Bangli dan Karangasem. Kedua, Desa Apanage yaitu desa-desa yang
memakai sistem kemasyarakatan seperti pola tata kemasyarakatan kerajaan
Majapahit. Di dalam kitab "Negara Kerta Gama" disebutkan bahwa Bali
mengikuti tata cara kehidupan di Majapahit. Desa-desa yang tergolong dalam
kategori ini sebagian besar terletak di Daerah Bali daratan, seperti: sebagian dari
daerah kabupaten Tingkat II Tabanan, Badung, Bangli, klungkung, Karangasem,
15

Buleleng, Jembrana dan Gianyar. Ketiga, Desa baru, yaitu desa-desa yang timbul
sebagai akibat dari perpindahan penduduk yang semula didorong oleh keinginan
untuk mendapatkan lapangan penghidupan. Pada umumnya desa-desa yang
demikian dijumpai pada beberapa desa di daerah kabupaten Jembrana dan
Buleleng.
Perbedaan tipe Desa Adat juga berpengaruh pada sistem dan struktur
organisasi pemerintahan desa yang ada. Sebagai gambaran dapat dikemukakan
perbedaan antara dua jenis perangkat desa, yaitu Desa Bali Age dan Desa
Apanage. Pada Desa Apanaga perangkat desanya terdiri atas: (1) Bandesa
(sebagai Kepala Desa-Adat); (2) Patajuh Btmdesa (sebagaiwakil dari Bandesa);
(3) Panyarikan (sebagai juru tulis Bandesa); (4) Kasinoman-Desa (sebagai juru
arah); dan (5) Pamangku (untuk urusan upacara diPura). Sedangkan untuk Desa
Bali-Aga, istilah dan susunan perangkat desa atau prajuru-desa adalah: (1) Dua
orang Jero Baya/Kubayan 0ero Bayan Mucuk dan Jero Bayan Nyoman); (2) Dua
orang Jero Bahu (Jero Bahu Mujuk dan Jero Bahu Nyoman); (3) Dua Orang Jero
Pati (Jeto Pati Mucuk dan Jero Pati Nyoman); dan (4) Dua orang Singgukan
(Singgukan Mucuk dan Singgukan Nyoman).
B.

Dampak serta Analisis Kebijakan Pembentukan Desa Adat Pakraman
Bagi Kehidupan Masyarakat Bali
Dikeluarkannya Perda tentang Desa Pakraman tahun 2001 sebagai

pengganti UU lama yakni UU No. 6 Tahun 1986 menjadi sebuah bukti keseriusan
pemerintah dalam mempertahankan budaya lokal yang memperkuat dan
menghargai eksistensi desa adat di Bali yang sudah pasti berpihak pada
masyarakat asli Desa Adat (Pakraman). Desa Adat di Bali merupakan lembaga
(desa) tradisional yang tumbuh dan berkembang sepanjang sejarah selama
berabad-abad. Keberadaannya telah memberikan sumbangan yang sangat
berharga terhadap kelangsungan kehidupan masyarakat, perjuangan kemerdekaan
dan pembangunan. Di samping itu penerapannya juga sangat besar dalam bidang
agama,

sosial

kultural,

otonomi

dan

pertahanan

keamanan.

Dampak

diberlakukannya kebijakan ini antara lain:

16

1.

Adanya sejumlah konsensi ekonomi yang diberikan pemerintah Provinsi
dan Kabupaten kepada desa adat, seperti Pemerintah Propinsi Bali
memberikan sepeda motor pada Bendesa Adat, dan Pemerintah Kabupaten
Tabanan mengikutsertakan Desa Adat Beraban dalam mengelola obyek
wisata Tanah Lot, dan memberi 35 % keuntungan pada Desa Adat Beraban;

2.

Desa Adat sekarang sudah memiliki kewenangan yang lebih luas. Hal
tersebut

dapat dilihat dari peranan Desa Adat serta warganya yang

diikutsertakan dalam proses pengambilan kebijakan, program program
pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari di tingkat
desa, misalnya ijin investasi harus mendapatkan persetujuan desa adat, dan
setiap pendatang harus mendapatkan rekomendasi dari desa dinas dan desa
adat.
3.

Masyarakat Bali sangat kuat memelihara dan menjalankan adat-istiadat yang
dijiwai oleh ajaran agama Hindu, dan hal ini merupakan salah satu modal
sosial yang kuat untuk membangun desa secara berkelanjutan. Sesuai
dengan sosio religius masyarakat Bali, bahwa kegiatan upacara upacara
keagamaan diwujudkan dalam kehidupan sehari hari, terlebih pada
masyarakat di desa adat. Sehingga peranan desa adat disamping
memancarkan nilai nilai agama Hindu, namun juga merupakan pusat
pembinaan dan pemeliharaan kebudayaan Bali.

4.

Desa Adat banyak memberikan sumbangan yang sangat berharga terhadap
kelangsungan kehidupan masyarakat dan pembangunan daerah di Propinsi
Bali. Hal tersebut disebabkan oleh kehidupan di Desa Adat telah mampu
menyatukanpetunjuk ajaran agama Hindu yang menjiwai masyarakat umat
pendukungnya dengan pelaksanaan Adat dalam kehidupannya. Menyatukan
pelaksanaan Adat dan Agama Hindu pada masyarakat di Desa Adat, telah
tumbuh dan berkembang sepanjang sejarah selama berabad-abad lamanya.

5.

Kelembagaan Desa Adat mampu bertahan dari intervensi yang dilakukan
pemerintah dengan melakukan kompromi dan penyesuaian, meskipun ada
dualisme antara Desa Adat dan Desa Dinas. Namun dari segi keterikatan
masyarakatnya, Desa Adat lebih memiliki keterikatan emosional dengan

17

warganya dibandingkan dengan Desa Dinas yang hanya menjalankan fungsi
administratif.
6.

Kemudian peran desa adat dalam pengembangan pariwisata di Bali tidak
dapat terpisah dengan desa adat. Keduanya merupakan komponen yang
saling terkait dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Dalam hal
ini, desa adat sangat berperan sebagai ujung tombak penghubung antar
masyarakat dan pemerintah dalam rangka pelaksanaan program program
pemerintah khususnya dalam bidang kepariwisataan. Desa adat memang
merupakan desa yang sangat potensial dalam menunjang pariwisata di Bali,
karena memiliki berbagai potensi sebagai aset pariwisata di Bali, disamping
itu juga karena corak kepariwisataan di Bali adalah pariwisata budaya.

7.

Selain itu Desa Adat juga turut berperan dalam bidang keamanan yaitu
dengan memiliki pecalang sebagai ujung tombak Desa Adat dalam bidang
keamanan yang dibantu oleh aparat keamanan setempat dalam hal ini
polsek, ikut serta dalam menjaga keamanan dan ketertiban demi terciptanya
suasana aman dan tentram. Pengakuan terhadap Desa Adat juga terlihat dari
diikutkannya Desa Adat dalam penertiban bagi penduduk pendatang oleh
pemerintah daerah.

8.

Disadari bahwa pranata sosial yang bersifat tradisional dalam masyarakat
Bali selalu berhasil menunjukkan kemampuannya, bukan dalam hal
penyelenggaraan pola hidup yang berkaitan dengan masalah tradisi tapi juga
mengembangkan paham - paham kemajuan. Desa Adat mempunyai
kontribusi besar terhadap keberhasilan pembangunan di Bali. Kinerja dari
perekonomian Bali dalam 25 tahun terakhir ini baik dalam artian sistem,
struktur dan prestasinya merupakan wujud nyata dari sumbangan
masyarakat Bali dalam pembangunan ekonomi bangsanya. Sementara itu,
pada masa sebelum dikeluarkannya UU Otonomi Daerah, Desa Adat tidak
dilibatkan dalam pengelolaan objek wisata yang ada di wilayahnya. Dengan
adanya otonomi, Desa Adat sudah diikutsertakan dalam pengelolaan obyek
pariwisata. Dengan kata lain, Desa Adat sudah diakui dan berperan secara
langsung dalam pengelolaan obyek wisata. Hal ini dapat dilihat dari
sebagian besar petugas atau staff yang berperan di lapangan, seperti dalam
18

proses penetapan biaya operasional pada objek wisata, perekrutan karyawan
atau tenaga kerja yang mayoritas adalah masyarakat Desa Adat setempat,
dan pengelolaan hasil atau pendapatan dari sektor pariwisata. Namun
demikian, oleh karena kondisi Desa Adat masih penuh keterbatasan dalam
kemampuan, maka pengelolaan objek wisata dalam Desa Adat masih berada
dalam pembinaan dan pengawasan dinas pariwisata dan kebudayaan.
Bertitik tolak dari simpulan tersebut, maka secara normatif prospek
keberadaan Desa Adat sebagai desa otonom adalah sangat cerah. Tetapi apabila
ditinjau dari realitas sosial, pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan Desa
Adat di Bali dihadapkan kepada berbagai masalah, kendala, tantangan dan
sekaligus peluang. Dengan dasar hukum atau deregulasi kebijakan sebagaimana
dipaparkan di atas, maka Desa Adat sangat berpotensi dalam pengelolaan berbagai
sektor yang ada di wilayahnya.
Jika dianalisis kebijakan itu menarik dalam beberapa hal. Pertama kebijakan
tersebut menjadi bukti kongkrit inisiatif yang dilakukan oleh pemerintah di tingkat
daerah dalam melakukan pemberdayaan institusi adat dan kebudayaan yang ada di
lingkup wewenangnya. Kebijakan tesebut merupakan wujud keseriusan pemerintah
khususnya pemerintah daerah Bali dalam mempertahankan tradisi kebudayaan
kehidupan sosial masyarakat asli daerah Bali. Kedua, kebijakan itu juga tidak
sekedar menjadikan adat sebagai sebuah kosmetik dalam polesan populer pelestarian
kekayaan budaya daerah, yang hanya menempatkan tradisi atau adat sebagai
pajangan budaya. Dengan demikian, melalui peraturan daerah itu, eksistensi desa
pakraman mendapat ruang hidup baru melalui pengakuan formal terhadap hak
mengelola kekayaan desa dan aturan-aturan yang mengikat kehidupan masyarakat
tempat adat itu berada.
Kelahiran perda tentang desa pakraman memang memberi momentum penting
untuk perkembangan tatanan adat tersebut dalam sistem pemerintahan kontemporer
di Indonesia. Bagaimanapun, perda itu bukan merupakan langkah rekayasa untuk
menghidupkan sesuatu yang hampir punah dan dianggap mati dalam perjalanan
sejarahnya, tetapi perda tersebut berusaha mempertahankan dan mensinkronkan
antara kehidupan tradisi adat istiadat asli masyarakat Bali dengan dinamika sistem
pemrintahan yang modern. Dinamika sejarah keeksistensian desa adat yang terdapat
19

di Bali menunjukkan bagaimana kontinuitas sejarah panjang lembaga adat desa
pakraman sejak periode pra-kolonials, kolonial dan republik.
Dalam tingkatan tertentu, dinamika kebijakan perda yang dikeluarkan oleh
Pemprov Bali terkait perkembangan desa adat atau desa pakraman di Bali
menimbulkan impilkasi yang positif tidak hanya bagi eksistensi desa adat tetapi juga
bagi modernisasi dan peningkatan kapabilitas warga masyarakat tanpa meninggalkan
adat istiadat dan budayanya. Salah satu bentuknya yaitu proses perlibatan warga
dalam penyuratan awig-awig atau peraturan daerah sehingga dapat mencakup
keseluruhan kebutuhan masyarakat desa adat. Ditambah lagi bahwa proses
penyurutan itu sendiri merupakan proses untuk memperluas keterbukaan melalui
perubahan awig awig yang dari tidak tertulis menjadi tertulis yang lebih sistematis
dan memiliki kekuatan hukum yang mengingat.
Dengan berlakunya sistem otonomi daerah, maka payung hukum yang
secara tegas melindungi dan mengatur desa pakraman adalah Perda Propinsi Bali
Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Perda ini merupakan pengganti
dari Perda Nomor 06 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi, dan Peranan Desa
Adat sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Propinsi Tingkat I Bali,
yang dipandang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Apabila dicermati
lebih dalam tentang pergantian Perda No. 06/1986 menjadi Perda No. 3/2001, ada
beberapa hal yang perlu disikapi bersama.
Pertama, Perda desa pakraman bersifat fleksibel, yakni mengikuti
perkembangan zaman sehingga dapat diganti dengan Perda yang baru apabila
Perda yang lama dipandang tidak sesuai lagi. Fleksibilitas Perda ini berpretensi
melahirkan dualitas makna. Di satu sisi, keberadaan desa pakraman akan tetap
eksis dalam segala zaman karena mampu berdaptasi dengan kondisi yang ada di
setiap zaman. Namun di lain pihak, eksistensi desa pakraman akan sangat
tergantung dengan produk hukum legislatif dan eksekutif yang memegang
kekuasaan. Logikanya, ketika penguasa pada suatu saat memandang bahwa desa
pakraman sudah tidak penting lagi, boleh jadi akan muncul Perda yang
membubarkan desa pakraman. Setidak-setidaknya dapat muncul Perda yang
membatasi fungsi, peranan, wewenang, dan kedudukan desa pakraman. Kedua,
secara substansi desa pakraman sama dengan desa adat karena keduanya sama20

sama didefinisikan sebagai kesatuan masyarakat hukum adat. Jika, persoalannya
hanya perubahan nama, maka pertanyaannya adalah apakah Perda No. 3 Tahun
2001 ini juga dapat digunakan sebagai payung hukum “Desa Adat” yang tidak
mau merubah diri menjadi Desa Pakraman ?. Mengingat dengan berlakunya Perda
ini, maka Perda No. 6 Tahun 1986 dinyatakan tidak berlaku lagi. Selain itu, Perda
No. 3/2001 juga tidak secara tegas mengatur kedudukan sekaa taruna sebagai
organisasi yang hidup dan berkembang di banjar adat. Kalau demikian, apa
payung hukum organisasi pemuda Hindu Bali ini.
Merujuk pada uraian di atas dapat disimpulkan bahwa payung hukum desa
pakraman dalam konteks NKRI sudah cukup memadai sesuai dengan prinsipprinsip otonomi daerah. Namun demikian, Perda sebagai payung hukum desa
pakraman masih memungkinkan munculnya multitafsir. Oleh karena itu, Perda ini
hendaknya dipandang sebagai landasan yuridis formal bagi eksistensi desa adat di
Bali. Selebihnya, peranan dan fungsi desa pakraman dalam mengatur kehidupan
krama adat harus dikembalikan pada otonomi desa pakraman yang meletakkan
awig-awig sebagai sumber aturan yang harus diikuti di wilayah desa pakraman
tersebut.

21

BAB IV
PENUTUP
A.

Kesimpulan:
Di dalam UU No. 22/1999 disebutkan beberapa perubahan mendasar yang

menyangkut penyelenggaraan pemerintahan daerah yaitu: pertama, pelimpahan
wewenang mengenai pengaturan pemerintahan. Kedua, dimungkinkan munculnya
variasi di tiap-tiap daerah mengenai model-model pemerintahan. Ketiga, dominasi
peran birokrasi mengalami pergeseran digantikan dengan menguatnya peran
institusi masyarakat lokal atau adat. Implikasi diterapkannya UU No. 22/1999
munculnya bentuk-bentuk pemerintahan asli yang digali dari identitas kultur
daerah sebagai pengganti model penyeragaman bentuk pemerintahan desa, yang
salah satu contohnya yaitu desa adat pakraman Bali.
Tugas dari Desa Pakraman ialah (1) untuk membuat awig-awig atau
peraturan yang mengikat masyarakat adat, (2) mengatur tata krama desa, (3)
mengatur pengelolaan hartakekayaan desa, (4) bersama-sama pemerintah
melaksanakan pembangunan di segala bidangterutama di bidangkeagamaan,
kebudayaan, dan kemasyarakatan, (5) membina dan mengembangkan nilai-nilai
budaya Bali dalam rangka memperkaya,melestarikan, dan mengembangkanmengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan daerah
pada

khususnya,

berdasarkan

"paras-paros,

sagilik-saguluk,

salunglung-

sabayantaka" (musyawarah-mufakat), (6) mengayomi krama desa. Selain
tugasnya, perda itu mengatur pula ketentuan wewenang desa pakraman dalam
menyelesaikan sengketa adat dan agama dalam lingkungan wilayahnya dengan
tetap membina kerukunan dan toleransi antara krama desa sesuai awig-awig dan
adat-adat kebiasaaan setempat, turut serta menentukan setiap keputusan dalam
pelaksanaa pembangunan yang ada di wilayahnya dan menegakkan hukum di
dalam dan di luar desa pakraman.
Dengan adanya Perda tentang Desa Pakraman tahun 2001 sebagai
pengganti UU No. 6 Tahun 1986 menjadi sebuah bukti keseriusan pemerintah
dalam mempertahankan budaya lokal yang dapat memperkuat dan menghargai

22

eksistensi desa adat di Bali yang berpihak pada masyarakat asli Desa Adat
(Pakraman). Sehingga memberikan dampak yaitu:
1. Adanya sejumlah konsensi ekonomi yang diberikan pemerintah Provinsi dan
Kabupaten kepada desa adat, seperti Pemerintah Propinsi Bali memberikan
sepeda motor pada Bendesa Adat, dan Pemerintah Kabupaten Tabanan
mengikutsertakan Desa Adat Beraban dalam mengelola obyek wisata Tanah
Lot, dan memberi 35 % keuntungan pada Desa Adat Beraban;
2. Desa adat serta warganya diikutsertakan dalam proses pengambilan kebijakan
dan penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari di tingkat desa, misalnya ijin
investasi harus mendapatkan persetujuan desa adat, dan setiap pendatang
harus mendapatkan rekomendasi dari desa dinas dan desa adat.
3. Masyarakat Bali sangat kuat memelihara dan menjalankan adat-istiadat yang
dijiwai oleh ajaran agama Hindu, dan hal ini merupakan salah satu modal
sosial yang kuat untuk membangun desa secara berkelanjutan.
4. Kelembagaan Desa Adat mampu bertahan dari intervensi yang dilakukan
pemerintah dengan melakukan kompromi dan penyesuaian, meskipun ada
dualisme antara Desa Adat dan Desa Dinas. Namun dari segi keterikatan
masyarakatnya, Desa Adat lebih memiliki keterikatan emosional dengan
warganya dibandingkan dengan Desa Dinas yang hanya menjalankan fungsi
administratif.
B.

Saran:
Keanekaragaman system pemerintahan desa perlu disikapi sebagai suatu

realitas sosial yang memberi petujuk bagi pembuat aturan hukum agar lebih hatihati dalam hal membuat aturan perihal desa-desa di Indonesia, sehingga di satu
sisi tidak menimbulkan dampak yang dirasa kurang tepat oleh masyarakat, disisi
lain juga harus tetap dalam koridur mempertahankan aturan-aturan sesuai dengan
kebutuhan kesinambungan sosial budaya masyarakat Bali.
Secara riil oleh semua pihak agar dalam mencari padanan untuk saling
menghormati antara desa dinas dan desa adat yang melekatinya sehingga
keberadaan tanah-tanah adat dari desa adat yang dapat memperlancar interaksi
sosial antar warga masyarakat di Bali.

23

DAFTAR PUSTAKA
Agus Purbhathin Hadi. Eksistensi Desa Adat dan Kelembagaan Lokal : Kasus Bali.
Jurnal : Yayasan Agribisnis Pusat Pengembangan Masyarakat Agrikarya
(PPMA).
Astra, I Gde. Semadi, Aron Meko Mbete, Ida Bagus Puja Astawa, I Nyoman
Darma Putra, 2003, Guratan Budaya dalam Persepektif Multi Kultural,
Denpasar : Kerja sama Program Studi Magister dan Doktor Kajian Budaya,
Linguistik, dan Jurusan Antropologi, Fakultas Sastra dan Budaya
Ubiversitas Udayana, dan CV Bali Media.
Atmadja, Nengah Bawa. 2005. “Bali Pada Era Globalisasi: Pula Seribu Pura
Tidak Seindah Penampilannya”, Singaraja: Hasil Penelitian belum
diterbitkan.
Ayatrohaedi, 1986, Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), Jakarta: Pustaka
Jaya.
Bosch, FDK. 1983. Masalah Penyebaran Kebudayaan Hindu di Kepulauan
Indonesia, Jakarta: Bhratara.
Budi warsono.2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta. Media
Presindo
Charles L. Cochran and Eloise F. Malone, op.cit.
Dharmayuda, I.M.S., 2001. Desa Adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Bali.
Denpasar: Upada Sastra.

Edy Yusuf Nur Samsu Santosa. 2003. Peran Desa Adat Dalam Pengembangan
Pariwisata Di Bali. Aplikasi, Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol.IV, No.2
Desember 2003:202-217 : Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga.
Gunawan, Dadi H. Achdian, And, Yulianto, Bayu A. 2013. Jalan Baru Otonomi
Desa Mengembalikan Otonomi Masyarakat ( Studi Kasus Bali, Sumatera
Selatan, dan Flores). Kemitraan Pustaka : Jakarta
James P.Lester and Joseps Stewart. 2000. Public Policy : An Evalutionary
Approach. The University of California : Wads. Worth Thomson learning.
William Dunn.1994. pengantar Analisis Kebijakan Publik (Drs Somodra
Wibawa,MA, dkk, penterjemah). Jogyakarta Gajah Mada University Press.

24