154042675 Makalah Kebijakan Publik Tenta

Makalah KEBIJAKAN PUBLIK
TENTANG OTONOMI
DAERAH, rinastkip
“KEBIJAKAN PUBLIK TENTANG
OTONOMI DAERAH”
Oleh:
ALDY IAN
Editor : M. Lukmanul Hakim, S.Pd.I
Pascasarjana Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Mandala Indonesia (STIAMI)

BAB I
PENDAHULUAN
Krisis ekonomi dan yang lainnya yang melanda Indonesia pada tahun 1997 memberikan
dampak positif dan dampak negatif bagi upaya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat
Indonesia. Di satu sisi, krisis tersebut telah memberikan dampak yang luar biasa pada
kemiskinan, namun disatu sisi krisis tersebut juga memberi “berkah tersembunyi” (blessing
in disguised) bagi upaya peningkatan taraf hidup seluruh rakyat Indonesia dimasa yang akan
datang. Karena krisis ekonomi dan krisis-krisis yang lainnya yang dialami telah membuka
jalan bagi munculnya reformasi total tersebut adalah mewujudkan masyarakat yang madani
terciptanya good governance, dan mengembangkan model pembangunan yang berkeadilan.
Disamping itu reformasi juga telah memunculkan sikap keterbukaan dan fleksibilitas sistem

politik dan kelembagaan sosial, sehingga mempermudah proses pengembangan dan
modernisasi lingkungan legal dan regulasi untuk pembaruan pradigma di berbagai bidang
kehidupan
Salah satu unsur reformasi total itu adalah tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada
daerah kabupaten dan kota. Tuntutan seperti ini adalah wajar, paling tidak untuk dua alasan.
Pertama, intervensi pemerintah pusat yang terlalu besar di masa yang lalu telah menimbulkan
rendahnya kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah dalam mendorong proses
pembangunan dan kehidupan demokrasi didaerah. Arahan dan kebutuhan akan undangundang yang terlalu besar dari pemerintah pusat tersebut menyebabkan inisiatif dan prakarsa
daerah cenderung mati dan sehingga pemerintah daerah sering kali menjadikan pemenuhan
peraturan sebagai tujuan, bukan sebagai alat untuk pelayanan kepada masyarakat.
Kedua, tuntutan pemberian otonomi itu juga muncul sebagai jawaban untuk memasuki era
permainan baru yang membawa aturan baru pada semua aspek kehidupan dimasa yang kana
datang. Dimana pada masa yang akan datang pemerintah akan kehilangan kendali pada
banyak persoalan seperti perdagangan internasional, informasi dan ide maupun keuangan.
Dengan banyaknya berbagai persoalan tersebut, maka pemerintah akan kesulitan untuk
menyelesaikan semua persoalan-persoalan yang sepele yang dihadapi oleh masyarakat.

Untuk menghadapi permainan baru yang penuh dengan aturan baru tersebut, dibutuhkan
strategi baru. Berbagi ketetapan MPR yang telah dihasilkan melalui sidang istimewa. Salah
satu ketetapan MPR tersebut adalah TAP MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang

“Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya
Nasional yang berkeadilan serta Perimbangan keuangan pusat dengan daerah dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia” Dengan TAP MPR itulah sebagai landasan
keluarnya UU no.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No. 25 tahun 1999
tentang perimbangan Keuangan antar pemerintah Pusat dengan Pemerintah daerah yang kan
membawa angin segar bagi pengembangan otonomi daerah. Kedua UU ini telah membawa
perubahan mendasar pada pola hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah. Namun
direvisi lagi dengan UU No.32 tahun 2004 sebagai koreksi kelemahan-kelemahan UU
sebelumnya dan ditambah dengan pemilihan langsung kepala daerah
BAB II
PEMBAHASAN
Dengan otonomi daerah berarti telah memindahkan sebagian besar ke-wenangan yang
tadinya berada di pemerintah pusat diserahkan kepada daerah otonom, sehingga pemerintah
daerah otonom dapat lebih cepat dalam merespon tuntutan masyarakat daerah sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki. Karena kewenangan membuat kebijakan (perda) sepenuhnya
menjadi wewenang daerah otonom, maka dengan otonomi daerah pelaksanaan tugas umum
pemerintahan dan pembangunan akan dapat berjalan lebih cepat dan lebih berkualitas.
Keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah sangat tergantung pada kemampuan keuangan
daerah (PAD), sumber daya manusia yang dimiliki daerah, serta kemampuan daerah untuk
mengembangkan segenap potensi yang ada di daerah otonom. Terpusatnya SDM berkualitas

di kota-kota besar dapat didistribusikan ke daerah seiring dengan pelaksanaan otonomi
daerah, karena kegiatan pembangunan akan bergeser dari pusat ke daerah. Menguatnya isu
Putra Daerahisme dalam pengisian jabatan akan menghambat pelaksanaan otonomi daerah,
disamping itu juga akan merusak rasa persatuan dan kesatuan yang telah kita bangun bersama
sejak jauh hari sebelum Indonesia merdeka. Setiap manusia Indonesia dijamin oleh
konstitusi, memiliki hak yang sama untuk mengabdikan diri sesuai dengan profesi dan
keahliannya dimanapun di wilayah nusantara ini.
Yang perlu dikedepankan oleh pemerintah daerah adalah bagaimana pemerintah daerah
mampu membangun kelembagaan daerah yang kondusif, sehingga dapat mendesain standard
Pelayanan Publik yang mudah, murah dan cepat. Untuk menciptakan kelembagaan
pemerintah daerah otonom yang mumpuni perlu diisi oleh SDM yang kemampuannya tidak
diragukan, sehingga merit system perlu dipraktekkan dalam pembinaan SDM di daerah.
Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia
Meskipun UUD 1945 yang menjadi acuan konstitusi telah menetapkan konsep dasar tentang
kebijakan otonomi kepada daerah-daerah, tetapi dalam perkembangan sejarahnya ide otonomi
daerah itu mengalami berbagai perubahan bentuk kebijakan yang disebabkan oleh kuatnya
tarik-menarik kalangan elit politik pada masanya. Apabila perkembangan otonomi daerah
dianalisis sejak tahun 1945, akan terlihat bahwa perubahan-perubahan konsepsi otonomi
banyak ditentukan oleh para elit politik yang berkuasa pada saat it. Hal itu terlihat jelas dalam
aturan-aturan mengenai pemerintahan daerah sebagaimana yang terdapat dalam UU berikut

ini :

1. UU No. 1 tahun 1945
Kebijakan Otonomi daerah pada masa ini lebih menitikberatkan pada dekonsentrasi.
Kepala daerah hanyalah kepanjangan tangan pemerintahan pusat.
2. UU No. 22 tahun 1948
Mulai tahun ini Kebijakan otonomi daerah lebih menitikberatkan pada desentralisasi.
Tetapi masih ada dualisme peran di kepala daerah, di satu sisi ia punya peran besar
untuk daerah, tapi juga masih menjadi alat pemerintah pusat.
3. UU No. 1 tahun 1957
Kebijakan otonomi daerah pada masa ini masih bersifat dualisme, di mana kepala
daerah bertanggung jawab penuh pada DPRD, tetapi juga masih alat pemerintah
pusat.
4. Penetapan Presiden No.6 tahun 1959
Pada masa ini kebijakan otonomi daerah lebih menekankan dekonsentrasi. Melalui
penpres ini kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat terutama dari kalangan
pamong praja.
5. UU No. 18 tahun 1965
Pada masa ini kebijakan otonomi daerah menitikberatkan pada desentralisasi dengan
memberikan otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah, sedangkan dekonsentrasi

diterapkan hanya sebagai pelengkap saja
6. UU No. 5 tahun 1974
Setelah terjadinya G.30.S PKI pada dasarnya telah terjadi kevakuman dalam
pengaturan penyelenggaraan pemerintahan di daerah sampai dengan dikeluarkanya
UU NO. 5 tahun 1974 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan.
Sejalan dengan kebijakan ekonomi pada awal Ode Baru, maka pada masa berlakunya
UU No. 5 tahun 1974 pembangunan menjadi isu sentral dibanding dengan politik.
Pada penerapanya, terasa seolah-olah telah terjadi proses depolitisasi peran
pemerintah daerah dan menggantikannya dengan peran pembangunan yang menjadi
isu nasional.
7. UU No. 22 tahun 1999
Pada masa ini terjadi lagi perubahan yang menjadikan pemerintah daerah sebagai titik
sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan
mengedapankan otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
8. UU No. 32 tahun 2004
Keluarnya UU ini merupakan koreksi total atas kelemahan yang terdapat dalam UU No. 22
tahun 1999 tentang perimbangan keuangan Antara pemerintah Pusat dengan Daerah, juga
dilengkapi dengan sistem pemilihan langsung kepala daerah
Kelemahan Otonomi Daerah
Tidak heran jika wewenang yang besar itu justru melahirkan penyimpangan, yaitu

mengalirkan dana negara ke kantong pribadi.serta terjadinya berbagai penyimpanganpenyimpangan lainnya diantaranya
Berikut ini beberapa modus korupsi di daerah:
1. Korupsi Pengadaan Barang
Modus :

a. Penggelembungan (mark up) nilai barang dan jasa dari harga pasar.
b. Kolusi dengan kontraktor dalam proses tender.
2. Penghapusan barang inventaris dan aset negara (tanah)
Modus :
a. Memboyong inventaris kantor untuk kepentingan pribadi.
b. Menjual inventaris kantor untuk kepentingan pribadi.
3. Pungli penerimaan pegawai, pembayaran gaji, kenaikan pangkat, pengurusan pensiun dan
sebagainya.
Modus : Memungut biaya tambahan di luar ketentuan resmi.
4. Pemotongan uang bantuan sosial dan subsidi (sekolah, rumah ibadah, panti asuhan dan
jompo)
Modus :
a. Pemotongan dana bantuan sosial
b. Biasanya dilakukan secara bertingkat (setiap meja).
5. Bantuan fiktif

Modus : Membuat surat permohonan fiktif seolah-olah ada bantuan dari pemerintah ke pihak
luar.
6. Penyelewengan dana proyek
Modus :
a. Mengambil dana proyek pemerintah di luar ketentuan resmi.
b. Memotong dana proyek tanpa sepengetahuan orang lain.
7. Proyek fiktif fisik
Modus : Dana dialokasikan dalam laporan resmi, tetapi secara fisik proyek itu nihil.
8. Manipulasi hasil penerimaan penjualan, penerimaan pajak, retribusi dan iuran.
Modus :
a. Jumlah riil penerimaan penjualan, pajak tidak dilaporkan.
b. Penetapan target penerimaan pajak lebih rendah dari penerimaan riil.
9. Manipulasi proyek-proyek fisik (jalan, jembatan, bangunan, kantor, sekolah, asrama)
Modus :
a. Mark up nilai proyek
b. Pungutan komisi tidak resmi terhadap kontraktor
10. Daftar Gaji atau honor fiktif
Modus : Pembuatan pekerjaan fiktif.
11. Manipulasi dana pemeliharaan dan renovasi fisik.
Modus :


a. Pemotongan dana pemeliharaan
b. Mark up dana pemeliharaan dan renovasi fisik
12. Pemotongan dana bantuan (inpres, banpres)
Modus : Pemotongan langsung atau tidak langsung oleh pegawai atau pejabat berwenang.
13. Proyek pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) secara fiktif (tidak ada proyek atau
intensitas)
Modus : Tidak ada proyek atau intensitas yang tidak sesuai laporan. Misalnya kegiatan dua
hari dilaporkan empat hari.
14. Manipulasi ganti rugi tanah dan bangunan
Modus : Pegawai atau pejabat pemerintah yang berwenang tidak memberikan harga ganti
rugi secara wajar atau yang disediakan.
15. Manipulasi biaya sewa fasilitas dan transportasi
Modus : Manipulasi biaya penyewaan fasilitas pemerintah kepada pihak luar
16. Pembayaran fiktif uang lauk pauk Pegawai Negeri sipil, prajurit, tahanan dan lain-lain
Modus :
a. Alokasi fiktif uang lauk pauk Pegawai Negeri Sipil, prajurit tahanan dalam catatan resmi
seperti APBD.
b. Menggunakan kuitansi fiktif.
17. Pungli Perizinan; IMB, sertifikat SIUPP, besuk tahanan, ijin tinggal, ijin TKI, ijin

frekuensi, impor ekspor, pendirian apotik, RS, klinik, Delivery Order pembelian sembilan
bahan pokok agen dan distributor.
Modus :
a. Memungut biaya tak resmi kepada anggota masyarakat yang mengurus perijinan.
b. mark up biaya pengurusan ijin
c. Kolusi dengan pengusaha yang mengurus ijin.
18. Pungli kependudukan dan Imigrasi
Modus :
a. Memungut biaya tidak resmi kepada anggota masyarakat yang mengurus perijinan.
b. mark up biaya pengurusan ijin
c. Kolusi dengan pengusaha yang mengurus ijin.
19. Manipulasi Proyek Pengembangan Ekonomi Rakyat
Modus : Penyerahan dalam bentuk uang.
20. Korupsi waktu kerja
Modus :
a. Meninggalkan pekerjaan
b. Melayani calo yang memberi uang tambahan
c. Menunda pelayanan umum

Berbagai Dampak

Selain keuntungan yang didapat serta diperoleh dengan adanya otonomi daerah juga ada sisi
buruknya malahan semakin memperburuk keadaan. Beberapa Bupati menetapkan
peningkatan ekstraksi besar-besaran sumber daya alam di daerah mereka –suatu proses yang
semakin mempercepat perusakan dan punahnya hutan serta sengketa terhadap tanah.
Pemerintahan kabupaten juga tergoda untuk menjadikan sumbangan yang diperoleh dari
hutan milik negara dan perusahaan perkebunan bagi budget mereka.
Kelompokkelompok masyarakat sipil menyerukan agar otonomi daerah dikembalikan pada jalur semula
–yang menjamin tujuan-tujuan awal untuk memperkuat demokrasi lokal. Selain itu, mereka
juga menyerukan agar desakan untuk membangun pemerintahan yang bersih tidak dilupakan
dalam arus cari untung dari sumber daya alam.
Sejalan dengan perjalanan waktu, kebijakan tersebut menuai banyak persoalan, antara lain
masalah kordinasi antar daerah otonom tingkat provinsi dan kabupaten, munculnya “raja-raja
kecil” di daerah yang cenderung melakukan abuse of power yang mengabaikan nilai etik
dalam berpolitik, sulit melakukan su`
pervisi daerah otonom dan lain sebagainya.
Kemudian Pemerintah mengeluarkan kebijakan baru mengenai Otonomi Daerah, yakni
dengan pemberlakuan UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.33/2004
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintahan Pusat dan Daerah. Semangat yang
terkandung dalam Undang-Undang tersebut tidak ditujukan untuk melakukan “resentralisasi”
atas apa yang telah didesentralisasikan, namun lebih ditujukan untuk mengurangi dampak

negatif dan menambah manfaat positif dari otonomi daerah sebagai salah satu agenda utama
reformasi. Untuk membangun tata pemerintahan yang baik bagi kebaikan dan kesejahteraan
rakyat, implementasi otonomi daerah perlu terus dicermati, dievaluasi dan disempurnakan
PENUTUP
Pelaksanaan otonomi daerah memungkinkan pelaksanaan tugas umum Pemerintahan dan
tugas Pembangunan berjalan lebih efektif dan efisien serta dapat menjadi sarana perekat
Integrasi bangsa. UU No. 22 1999 jauh lebih Desentralistik dibandingkan dengan UU No. 5
1974 namun karena pelaksanaan nya berbarengan dengan pelaksanaan Reformasi yang
mengakibatkan efuria-efuria di kalangan masyarakat maka pelaksanaan otonomi daerah dapat
juga diwarnai efuria baik dari Kepala daerah maupun dari para anggota DPRD. Untuk itu
maka keluarlah UU No.32 tahun 2004 sebagai ganti dari UU sebelumnya serta koreksi total
atas segala kelemahan-kelemahan yang ada pada UUNo.22 tahun 1999.
Untuk menjamin agar pelaksanaan otonomi daerah benar-benar mampu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat setempat, maka segenap lapisan masyarakat baik mahasiswa, LSM,
Pers maupun para pengamat harus secara terus menerus memantau kinerja Pemda dengan
mitranya DPRD agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan mereka sendiri, transparansi,
demokratisasi dan akuntabilitas harus menjadi kunci penyelenggaraan pemerintahan yang
baik good government dan Clean government.
Bila semua daerah otonom dapat menyelenggarakan pemerintahan secara bersih dan
demokratis, maka pemerintah kita secara nasional pada suatu saat nanti entah kapan mungkin
juga akan dapat menjadi birokrasi yang bersih dan professional sehingga mampu menjadi
negara besar yang diakui dunia.
DAFTAR PUSTAKA

Harian Umum Republika edisi 22 November 2000, 10 Januari 2001, 9 Maret 2001 dan 20
Maret 2001.
Kasim,Azhar 1993, Pengukuran Efektifitas dalam Organisasi, Lembaga Penerbit FEUI
bekerjasama dengan Pusat antar universitas Ilmu-ilmu Sosial UI.
UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 5 1974.
Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia. Otonomi Daerah.
www.Google.co.id Desentralisasi Korupsi Melalui Otonomi Daerah.November 2004
www.Google.co.id Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia.2004
www.Google.co.id Otonomi Daerah Dan Pelayanan Publik.2004