Laporan Prakti kum Modul C
Laporan Praktikum
Laboratorium Teknik Material 2
Modul C Metal Hardening
Oleh :
Nama
: Adhi Setyo Nugroho
NIM
: 13713025
Kelompok
: 2
Anggota (NIM)
: Andrian Anggada Widatama (13713005)
Antonio Ricardo Salomo Abraham (13713024)
Adhi Setyo Nugroho (13713025)
Aldi Wendo Kohara (13713042)
Surya Eko Sulistiawan (13713054)
Tanggal Praktikum
: 27 Oktober 2015
Tanggal Penyerahan Laporan : 2 November 2015
Nama Asisten (NIM)
: Muhammad Iqbal Yusrian (13711064)
Laboratorium Teknik Metalurgi dan Teknik Material
Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara
Institut Teknologi Bandung
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Material logam memiliki aplikasi yang sangat luas dalam kehidupan,
misalnya sebagai struktur bangunan, komponen alat transportasi, dan lain-lain.
Aplikasi tersebut salah satunya ditunjang oleh sifat mekanik material logam.
Untuk mendapatkan sifat mekanik sesuai dengan kebutuhan perlu dilakukan
proses pengubahan struktur mikronya. Ada berbagai metode untuk mengubah
sifat mekanik material melalui pengubahan struktur mikronya. Misalnya,
quenching, precipitation hardening, dan annealing.
1.2 Tujuan Percobaan
1. Menentukan pengaruh %w karbon terhadap pertambahan nilai kekerasan
baja karbon yang telah diquenching dalam proses hardening.
2. Menentukan pengaruh waktu aging terhadap kekerasan Duralumin yang
telah diquenching dalam proses precipitation hardening.
3. Menentukan pengaruh temperatur rekristalisasi dan waktu pemanasan
terhadap nilai kekerasan tembaga yang telah diquenching dalam proses
annealing.
BAB II
TEORI DASAR
2.1 Diagram Fasa Fe-C, Diagram TTT, dan Diagram CCT
Diagram fasa suatu paduan menunjukkan informasi mengenai struktur fasa
yang terbentuk melalui variabel temperatur dan komposisi paduan. Pada diagram
fasa biner, tekanan eksternal dijaga tetap. Contoh diagram fasa biner adalah
diagram fasa Fe-C yang ditunjukkan pada gambar 2.1.1.
Gambar 2.1.1 Diagram Fasa Fe-C. Callister (2011).
Dari diagram fasa Fe-C diperoleh,
a. Lima fasa utama, yaitu fasa cair, fasa πΏ, fasa πΎ (austenit), fasa πΌ (ferit),
dan fasa πΉπ3 πΆ (sementit).
b. Tiga jenis reaksi fasa, yaitu
i.
ii.
Reaksi fasa peritektik, πΏ + πΏ β πΎ.
Reaksi fasa eutektik, πΏ β πΎ + πΉπ3 πΆ.
iii.
Reaksi fasa eutektoid, πΎ β πΌ + πΉπ3 πΆ.
c. Dua jenis material teknik dengan batas komposisi 1,7% berat C, yaitu baja
karbon dengan komposisi kurang dari 1,7% berat C, dan besi cor dengan
komposisi lebih dari 1,7% berat C.
Namun,
diagram
fasa
tidak
memberikan
informasi
mengenai
kebergantungan transformasi fasa terhadap waktu. Oleh karena itu, dibuatlah suatu
diagram yang menunjukkan pengaruh waktu pendinginan terhadap transformasi
fasa, disebut diagram transformasi isotermal (Time-Temperature-Transformastions
Diagram). Diagram tersebut mengeplot temperatur versus logaritma waktu, dengan
kurva pembentukan fasa awal (begin curve), kurva transformasi sebagian (50%
completion) dan kurva transformasi 100%, seperti gambar 2.1.2. Dari gambar 2.1.3,
diagram TTT hanya dapat digunakan untuk transformasi fasa pada proses perlakuan
panas dengan temperatur tetap.
Gambar 2.1.2 Diagram TTT yang menunjukkan kebergantungan transformasi
austenit menjadi perlit terhadap waktu pada temperatur tetap. Callister (2011)
Gambar 2.1.3 Transformasi fasa austenit menjadi ferit dan sementit
melalui difusi. Callister (2011).
Pada diagram TTT tersebut, austenit didinginkan cepat melalui garis AB,
dan transformasi fasa austenit menjadi perlit ditunjukkan oleh garis BCD pada
temperatur tetap. Transformasi austenit menjadi perlit diawali pada perpotongan
kurva awal (begin curve) di titik C dan berakhir di titik D dalam waktu sekitar 15
detik. Mekanisme transformasi fasa tersebut melibatkan difusi atom-atom karbon
sesuai dengan reaksi fasa eutektik. Atom-atom karbon larut dengan besi
membentuk sementit. Ferit dan sementit tersusun berlapis dan tumbuh hingga butir
austenit berubah menjadi perlit (ferit dan sementit) seluruhnya.
Diagram TTT yang utuh untuk baja hypoeutectoid, eutectoid, dan
hypereutectoid ditunjukkan oleh gambar 2.1.4.
Gambar 2.1.4 Diagram TTT untuk baja (a) hypoeutectoid, (b) eutectoid,
(c) hypereutectoid. Amy (2014).
Baja eutectoid adalah baja dengan komposisi 0,8% berat karbon dan
menjadi pembatas antara baja hypoeutectoid dan baja hypereutectoid. Baja
hypoeutectoid memiliki komposisi 0,025%-0,8% berat karbon dan baja
hypereutectoid memiliki komposisi 0,8%-1,7% berat karbon.
Perbedaan utama diagram TTT antara baja hypoeutectoid, eutectoid, dan
hypereutectoid adalah fasa yang terbentuk di atas temperatur eutectoid. Temperatur
eutectoid (727β) digambarkan sebagai garis asimtot datar. Pada baja eutectoid,
kurva transformasi austenit menjadi perlit memanjang di bawah garis asimtot
tersebut, dan dengan melihat diagram fasa, austenit akan langsung mengalami
transformasi menjadi perlit ketika didinginkan. Pada baja hypoeutectoid, terdapat
kurva yang memotong garis asimtot, artinya ketika pendinginan, austenit dapat
bertransformasi menjadi fasa πΌ + πΎ. Sedangkan pada baja hypereutectoid, terdapat
kurva yang memotong garis asimtot, artinya ketika pendinginan, austenit dapat
bertransformasi menjadi fasa πΎ + πΉπ3 πΆ. Bentuk βhidungβ lebih bergeser ke kiri
karena %wt karbon semakin meningkat menyebabkan kelarutan karbon dalam
paduan lebih tinggi. Sehingga, waktu yang dibutuhkan untuk transformasi austenit
menjadi perlit lebih cepat.
Gambar 2.1.5 Pendinginan cepat untuk transformasi austenit menjadi
martensit. www.google.com.
Pada bagian bawah diagram TTT tersebut juga terdapat garis horizontal
yang tidak bergantung terhadap waktu pendinginan. Garis tersebut menyatakan
transformasi austenit menjadi martensit, diawali dari garis M(start). Karena
transformasi austenit menjadi martensit tidak melibatkan difusi, maka transformasi
tersebut berlangsung dengan laju pendinginan yang sangat cepat, ditunjukkan oleh
gambar 2.1.5.
Oleh karena adanya pengaruh laju pendinginan terhadap transformasi
austenit, maka diagram TTT dimodifikasi menjadi diagram CCT (Continuous
Cooling Transformation). Diagram CCT dapat memprediksi struktur mikro yang
terbentuk untuk berbagai laju pendinginan. Contoh diagram CCT ditunjukkan oleh
gambar 2.1.6.
Misal austenit didinginkan dari temperatur 727β hingga 60β. Ketika laju
pendingian sangat cepat (8,3β/π ), akan terbentuk struktur mikro martensit saja.
Gambar 2.1.6 Pengaruh laju pendinginan terhadap perubahan struktur
mikro baja karbon. Callister (2011).
Ketika laju pendinginan diperlambat (0,3β/π ), akan terbentuk struktur mikro
martensit dan bainit. Ketika laju pendinginan diperlambat lagi, akan terbentuk
martensit, bainit, dan ferit, dan seterusnya. Sehingga, terdapat range struktur mikro
yang terbentuk di akhir pendinginan untuk tiap laju pendinginan.
Fasa-fasa yang sering dijumpai antara lain,
a. Ferit (fasa πΌ), merupakan paduan antara unsur besi-πΌ (πΌ-Fe) dan karbon
(C), dengan komposisi 0-0,025% berat karbon pada temperatur di bawah
912β. Ferit memiliki struktur kristal BCC, bersifat ulet karena kandungan
karbon sangat rendah, dan bersifat magnetik.
b. Austenit (fasa πΎ), merupakan paduan antara unsur besi-πΎ (πΎ-Fe) dan karbon
(C), dengan komposisi 0-1,7% berat karbon pada temperatur 727β hingga
1493β. Austenit memiliki struktur kristal FCC, lebih keras daripada ferit,
dan bersifat nonmagnetik.
c. Perlit (fasa πΌ + πΉπ3 πΆ berlapis), merupakan transformasi fasa austenit
melalui reaksi fasa eutektoid. Terdapat dua jenis struktur mikro perlit: perlit
kasar dan perlit halus. Ketebalan lapisan perlit bergantung pada temperatur
terjadinya transformasi.
Gambar 2.1.7 Struktur mikro (a) perlit kasar, (b) perlit halus. Callister (2011).
Dari diagram TTT gambar 2.1.3, perlit kasar (coarse pearlite) dihasilkan
dekat di bawah temperatur eutectoid. Pada temperatur tersebut, laju difusi
sangat tinggi, atom-atom karbon berdifusi dalam lintasan yang panjang
membentuk lapisan tebal hitam. Seiring dengan menurunnya temperatur,
laju difusi atom-atom karbon lebih lambat dan lintasan difusi terbatas.
Sehingga, terbentuk struktur mikro dengan lapisan tipis, yaitu perlit halus.
Kandungan karbon pada perlit halus lebih banyak karena laju difusinya
lambat, sehingga bersifat lebih keras dan kuat daripada perlit kasar.
d. Bainit, dihasilkan ketika laju pendinginan berada dalam range βbainite
noseβ (dari gambar 2.1.6). Fasa yang muncul adalah fasa sementit yang
halus dan panjang dalam matriks ferit. Karena struktur mikro bainit sangat
halus, maka hanya dapat diamati menggunakan mikroskop elektron. Bainit
bersifat lebih keras dan kuat daripada perlit halus.
e. Martensit, dihasilkan melalui transformasi austenit dengan pendinginan
sangat cepat (quenching) tanpa mengalami difusi. Martensit memiliki
struktur kristal BCT (body-centered tetragonal), struktur mikro mirip jarumjarum, dan bersifat paling kuat dan paling getas dibandingkan struktur mikro
lainnya. Martensit sangat keras karena seluruh atom karbon berperan
sebagai pengotor interstisi atau menyisip di sel satuan BCT (simbol X) pada
(a)
(b)
Gambar 2.1.8 Struktur mikro (a) bainit, (b) martensit. Callister (2011).
Gambar 2.1.8 Sel satuan body-centered tetragonal (BCT) pada martensit.
Callister (2011).
gambar 2.1.9. Untuk memperoleh struktur BCT dilakukan quenching agar
tidak terjadi difusi karbon, karena sedikit saja karbon berdifusi maka akan
terbentuk fasa ferit dan austenit.
2.2 Proses Perlakuan Panas pada Logam
Annealing adalah perlakuan panas pada baja dengan cara dipanaskan pada
temperatur austenit dan waktu tertentu, lalu didinginkan perlahan. Annealing
berfungsi untuk mengurangi tegangan (relieve stresses), menambah keuletan dan
ketangguhan, dan/atau menghasilkan struktur mikro tertentu.
Pada annealing terjadi recovery, recrystallization, dan grain growth.
Recovery adalah proses pelepasan energi regangan dalam yang tersimpan dengan
memanfaatkan pergerakan dislokasi dari difusi atom-atom pada temperatur tinggi.
Selanjutnya akan terbentuk batas subbutir melalui proses poligonisasi atau
penyusunan diri. Fenomena berikutnya adalah rekristalisasi, yaitu pembentukan
butir-butir ekuiaksial dari proses poligonisasi. Temperatur rekristalisasi adalah
Gambar 2.2.1 Proses recovery, recrystallization dan grain growth. Callister (2011).
temperatur yang ditunjukkan setelah proses rekristalisasi berlangsung sempurna
selama satu jam. Setelah rekristalisasi berlangsung sempurna, terbentuk butir-butir
ekuiaksial. Butir-butir akan tumbuh karena adanya migrasi batas butir. Tidak semua
butir tumbuh, tetapi hanya butir besar yang tumbuh βmemakanβ butir kecil.
Normalizing digunakan untuk memperhalus butir, menghasilkan distribusi
butir yang homogen, serta mengurangi tegangan dalam (relieve internal stresses)
setelah dilakukan cold work. Pertama, spesimen dipanaskan pada temperatur
austenitnya (di atas A3 atau Acm sesuai gambar 2.2.2), dibiarkan beberapa waktu
pada temperatur tersebut, lalu didinginkan lebih cepat daripada pendinginan
annealing.
Annealing dan normalizing merupakan metode yang digunakan untuk
membuat material logam menjadi lebih lunak. Logam misalnya baja dipanaskan
terlebih dahulu hingga temperatur austenitnya dan dipertahankan selama beberapa
waktu pada temperatur tersebut agar temperatur tersebar secara merata. Setelah itu,
Gambar 2.2.2 Range temperatur proses annealing dan normalizing. Callister (2011).
logam didinginkan dengan laju pendinginan yang lambat. Kurva pendinginan baja
untuk proses annealing ditunjukkan oleh nomor 2 pada gambar 2.2.3 dan terbentuk
struktur mikro perlit kasar yang bersifat lunak. Sedangkan kurva pendinginan baja
untuk proses normalizing ditunjukkan oleh nomor 3 pada gambar 2.2.3 dan
terbentuk struktur mikro perlit halus yang bersifat lebih keras.
Baja juga dapat dikeraskan dengan cara memanaskannya pada temperatur
austenit selama beberapa waktu, lalu didinginkan sangat cepat, ditunjukkan oleh
kurva 1 pada gambar 2.2.3. Struktur mikro yang terbentuk adalah martensit yang
bersifat sangat keras.
Gambar 2.2.3 Kurva berbagai laju pendinginan untuk memperoleh
struktur mikro tertentu. www.apc.totalmateria.com.
2.3 Precipitation Hardening
Kekuatan dan kekerasan beberapa paduan logam, misalnya paduan Al-Cu,
dapat ditingkatkan dengan pembentukan partikel-partikel kecil sekunder berfasa
padat yang tersebar merata di matriks fasa padat yang terbentuk sebelumnya,
dengan proses precipitation hardening. Partikel-partikel presipitat tersebut
bertindak sebagai penghambat gerak dislokasi.
Agar sistem paduan dapat dilakukan proses precipitation hardening, maka
harus terbentuk larutan padat akhir dengan pengurangan kelarutan fasa padat
seiring dengan menurunnya temperatur. Misalnya paduan Al-Cu dengan komposisi
96wt% Al - 4wt% Cu.
Proses precipitation hardening seperti ditunjukkan gambar 2.3.1 adalah
sebagai berikut.
1. Solution treatment atau solutionizing, yaitu paduan dipanaskan di atas
temperatur solvus dan dibiarkan selama selang waktu tertentu hingga
terbentuk fasa homogen πΌ. Presipitat π saat itu masih larut dalam fasa
tersebut.
Gambar 2.3.1 Precipitation hardening, (1) solution treatment, (2) quenching,
(3) aging. www.apac.totalmateria.com.
2. Quenching, yaitu mendinginkan cepat fasa homogen πΌ membentuk larutan
pada super jenuh (supersaturated solid solution) πΌπ π yang mengandung Cu
berlebih. Karena pendinginan tersebut berlangsung cepat, atom-atom tidak
dapat mengalami difusi untuk melakukan pengintian, maka struktur mikro
yang telah terbentuk bersifat tidak stabil. Presipitat π tidak terbentuk.
3. Aging, yaitu memanaskan πΌπ π di bawah temperatur solvus untuk
menghasilkan presipitat yang tersebar halus. Pada temperatur tersebut,
atom-atom berdifusi secara terbatas. Karena πΌ super jenuh bersifat tidak
stabil, atom-atom Cu berdifusi dan mulai menginti dan presipitat pun
tumbuh. Ada dua jenis aging: artificial aging, dilakukan pada temperatur
tertentu, dan natural aging, dilakukan pada temperatur kamar.
Ada tiga mekanisme penguatan pada precipitation hardening,
1. Coherency strain hardening, dihasilkan dari interaksi antara dislokasi
dengan medan regangan di sekitar GP zones.
2. Chemical hardening, dihasilkan dari peningkatan tegangan yang dibutuhkan
dislokasi untuk memotong/melewati presipitat yang koheren atau
semikoheren.
3. Dispersion hardening, terjadi pada paduan yang mengandung presipitat
yang tidak koheren.
GP1
GP2
Gambar 2.3.2 Pengaruh waktu aging terhadap kekuatan material yang
dilakukan proses strain hardening. Callister (2011).
Gambar 2.3.3 Skema pembentukan fasa presipitat π yang stabil, (a)
Supersaturated πΌ solid solution, (b) Fasa presipitat transisi πβ²β², (c) Fasa
stabil π, dalam matriks πΌ. Callister (2011).
Dari gambar 2.3.2, material yang di-aging akan menempuh zona GP. GP
adalah nama dari Guinier-Preston yang telah menemukan berbagai fenomena age
hardening. Material sebelum aging ditunjukkan oleh gambar 2.3.3a, dan material
yang sudah melalui GP2 ditunjukkan oleh gambar 2.3.3b. Dari gambar 2.3.2, akhir
aging fasa πβ²β² akan memiliki kekuatan dan kekerasan paling tinggi. Selanjutnya,
overaging akan menyebabkan kekuatan dan kekerasannya menurun.
Paduan logam lainnya yang dapat dilakukan proses precipitation hardening
adalah paduan tembaga-berillium, tembaga-timah, dan magnesium-aluminium.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Mulai
Diberikan spesimen
baja karbon rendah dan
baja karbon tinggi
Kekerasan awal
spesimen diukur
Diberikan spesimen paduan
Al-Cu yang sudah dipanaskan
pada temperatur 550β selama
12 jam dan diquenching
Spesimen dipotong
menjadi 4 bagian
dan diberi tanda
Kekerasan awal
spesimen diukur
Spesimen
dipanaskan pada
temperatur 900β
selama 30 menit
Spesimen dipanaskan pada temperatur
200β selama 10 menit untuk
spesimen 1, 30 menit untuk spesimen
2, 60 menit untuk spesimen 3, dan
120 menit untuk spesimen 4
Setelah waktu pemanasan habis,
spesimen dicelupkan ke dalam air
Kekerasan akhir spesimen diukur
Selesai
Diberikan spesimen Cu
yang sudah dipanaskan
pada temperatur 800β,
diquenching, dan diroll
dengan reduksi 50%
Spesimen dipotong
menjadi 6 bagian
dan diberi tanda
Kekerasan awal
spesimen diukur
Spesimen dipanaskan pada
temperatur 400β selama 15
menit untuk spesimen 2, 30
menit untuk spesimen 3, 45
menit untuk spesimen 4, 60
menit untuk spesimen 5.
Spesimen 1 dipanaskan pada
temperatur 800β selama 120
menit. Spesimen 6 dipanaskan
pada temperatur 100β selama
90 menit
BAB IV
DATA PENGAMATAN
1. Tabel kekerasan baja karbon sebelum dan sesudah pemanasan.
Temperatur
Waktu
ο°C
menit
HRA1
HRA2
HRA3
HRA
HRA1
HRA2
HRA3
HRA
Rendah
(Kotak)
900
30
45
44,5
41
43,5
57
69
70
65,3333
Tinggi
(Bulat)
900
30
64
65
64
64,333
76
70
75
73,6667
Baja
Karbon
Kekerasann Awal (MPa)
Kekerasan Akhir (MPa)
2. Tabel kekerasan paduan Al-Cu sebelum dan sesudah pemanasan dengan variasi
waktu.
Temperatur
Waktu
ο°C
menit
1
200
10
2
200
30
3
200
60
4
200
120
Al-Cu
Kekerasann Awal (MPa)
HRE1
HRE2
85
80
HRE3
Kekerasan Akhir (MPa)
HRE
82,5
HRE1
HRE2
HRE3
HRE
68
89
71
76
91
89
99
93
97
104
103
101,333
94
96
96
95,3333
82,5
3. Tabel kekerasan tembaga sebelum dan sesudah pemanasan dengan variasi
temperatur dan waktu.
Temperatur
Waktu
ο°C
Menit
1
800
2
3
Cu
Kekerasann Awal (MPa)
HRE1
HRE1
HRE2
HRE3
HRE
120
71
86
100
85,6667
400
15
49
99
98
82
400
30
41
94
75
70
4
400
45
59
91
102
84
5
400
60
62
89
76
75,6667
6
100
90
84
88
91
87,6667
78
HRE2
81
HRE3
81
HRE
Kekerasan Akhir (MPa)
80
BAB V
ANALISIS DATA
Baja karbon rendah maupun baja karbon tinggi memiliki peningkatan
kekerasan setelah spesimen dipanaskan. Ketika kedua spesimen dipanaskan pada
temperatur 900β tanpa pemanasan awal (pre-heat) dan dibiarkan pada temperatur
tersebut selama 30 menit, maka berdasar teori terbentuk struktur mikro austenit.
Pemanasan dilakukan dengan waktu yang cukup lama agar seluruh bagian spesimen
terpanaskan secara homogen sehingga fasa sementit larut dalam fasa austenit dan
diperoleh fasa austenit yang seragam. Setelah 30 menit berlalu, spesimen
didinginkan cepat ke dalam air pada temperatur kamar. Pendinginan cepat
menyebabkan penurunan temperatur secara drastis dan atom-atom karbon di dalam
spesimen tidak sempat berdifusi. Terjadi transformasi fasa tanpa melibatkan difusi
dari fasa austenit menjadi martensit.
Baja karbon tinggi memiliki kekerasan awal lebih tinggi daripada baja
karbon rendah karena %w karbon di dalamnya lebih tinggi. Setelah dipanaskan dan
didinginkan, kekerasan akhir baja karbon tinggi masih lebih tinggi daripada baja
karbon rendah. Karena kedua spesimen mengalami transformasi fasa tanpa
melibatkan difusi, artinya atom-atom karbon hanya berperan sebagai pengotor
interstiti yang menyisip di sel satuan BCT.
Tidak seluruh austenit dapat bertransformasi menjadi martensit, sehingga
akan ada austenit sisa. Austenit sisa adalah austenit yang gagal bertransformasi
menjadi martensit. Dari diagram TTT baja karbon hypoeutectoid, eutectoid, dan
hypereutectoid,
semakin
tinggi
%w
karbon
akan
menurunkan
M(start)/pembentukan martensit, menyebabkan pembentukan austenit menjadi
martensit lebih lambat. Sehingga, akan diperoleh austenit sisa lebih banyak pada
baja karbon tinggi daripada baja karbon rendah. Hal tersebut ditunjukkan dari
besarnya penambahan kekerasan spesimen setelah dikeraskan. Baja karbon rendah
memiliki penambahan kekerasan lebih besar daripada pada baja karbon tinggi.
Empat spesimen Duralumin (paduan Al-Cu) mula-mula dipanaskan pada
temperatur 550β selama 12 jam untuk melangsungkan proses solution treatment.
Solution treatment dilakukan pada temperatur tersebut (temperatur tidak terlalu
tinggi) untuk menghindari bentuk butir yang tidak seragam karena mendekati garis
solidus, yang dapat berpengaruh pada proses quenching. Setelah itu, spesimen diquenching di dalam air, terbentuk larutan padat πΌπ π . Kekerasan spesimen kemudian
diukur.
Keempat spesimen dipanaskan lagi pada temperatur 200β dengan waktu
yang berbeda-beda. Hal ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh proses aging.
Pada spesimen pertama (t=10 menit), nilai kekerasan rata-rata menurun dari
nilai awalnya. Dari teori, ketika proses aging berlangsung, maka spesimen akan
mengeras seiring terbentuknya presipitat selama selang waktu tertentu. Maka,
mungkin terjadi kesalahan pada uji keras, dapat berupa lokasi uji keras yang terlalu
pinggir di spesimen, atau permukaan spesimen tidak rata.
Pada spesimen kedua (t=30 menit), nilai kekerasan rata-rata bertambah dari
nilai awalnya. Hal tersebut sesuai dengan teori dan saat itu spesimen sedang
mengalami proses aging dalam zona GP.
Pada spesimen ketiga (t=60 menit), nilai kekerasan rata-rata bertambah dari
nilai awalnya dan menunjukkan nilai paling tinggi daripada spesimen yang lain.
Dari teori, dalam proses aging akan ada suatu waktu ketika nilai kekerasan
spesimen menuju maksimum, yaitu tepat setelah melalui zona GP. Artinya, t=60
menit adalah waktu yang paling optimal untuk proses aging, sehingga diperoleh
kekerasan paling tinggi.
Pada spesimen keempat (t=120 menit), nilai kekerasan rata-rata bertambah
dari nilai awalnya. Namun, jika dibandingkan dengan spesimen ketiga, maka waktu
aging spesimen keempat lebih lama dan menyebabkan kekerasan spesimen
menurun. Artinya, spesimen keempat telah mengalami overaging.
Pada speseimen tembaga, mula-mula spesimen berupa batangan,
dipanaskan pada temperatur 800β untuk homogenisasi fasa, lalu didinginkan di
udara. Setelah itu, spesimen diroll dingin dengan reduksi 50%. Tujuan pengerolan
tersebut adalah untuk melangsungkan fenomena strain hardening, sehingga
spesimen menjadi lebih keras. Kemudian, spesimen diuji keras, dibagi menjadi 6
dan dipanaskan pada temperatur dan waktu pemanasan yang berbeda-beda. Hal ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh temperatur dan waktu pemanasan terhadap
perubahan kekerasan spesimen.
Titik leleh tembaga (99,999 wt%) adalah 1358 K (1085β). Pada proses
annealing, temperatur rekristalisasi material adalah 0,3-0,6 kali temperatur absolut
leburnya. Sehingga, dilakukan pada range temperatur 134,4β - 541,8β. Dari
percobaan tersebut, spesimen dipanaskan pada temperatur 800β, 400β dan 100β
untuk mengamati pengaruh temperatur rekristalisasi tembaga terhadap perubahan
sifatnya. Pada temperatur 400β yang terletak di range temperatur rekristalisasi
tembaga, spesimen dipanaskan dalam waktu yang berbeda-beda untuk mengamati
pengaruh waktu terhadap perubahan sifatnya.
Spesimen pertama dipanaskan pada temperatur 800β, jauh di atas
temperatur rekristalisasi selama 120 menit, lalu didinginkan cepat. Hasilnya adalah
nilai kekerasannya naik dari nilai awalnya. Spesimen keenam dipanaskan di bawah
temperatur rekristalisasi selama 90 menit, lalu didinginkan cepat. Hasilnya, nilai
kekerasannya juga naik dari nilai awalnya.
Spesimen kedua hingga kelima dipanaskan pada temperatur 400β. Pada
spesimen kedua, nilai kekerasan naik dari nilai sebelumnya. Pada spesimen kedua,
nilai kekerasannya naik dari nilai sebelumnya. Pada spesimen ketiga, nilai
kekerasannya naik dari nilai sebelumnya. Pada spesimen keempat, nilai
kekerasannya naik dari nilai sebelumnya. Pada spesimen kelima, nilai kekerasannya
turun dari nilai sebelumnya. Dari teori, pembentukan butir baru dan perubahan sifat
dari keras dan getas menjadi lunak dan ulet diperoleh ketika annealing dilakukan
pada temperatur rekristalisasi selama satu jam. Hal ini ditunjukkan oleh spesimen
kelima.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Pertambahan nilai kekerasan baja karbon rendah lebih besar daripada baja
karbon tinggi karena semakin banyak %w karbon, maka austenit sisa makin
banyak.
2. Waktu aging Duralumin yang optimal atau untuk memperoleh nilai
kekerasan paling tinggi setelah di-quench adalah pada t=60 menit.
3. Temperatur yang tepat untuk proses annealing agar diperoleh sifat material
yang lunak dan ulet adalah pada range temperatur rekristalisasi material
dengan pemanasan selama setengah jam atau satu jam.
5.2 Saran
1. Uji keras tidak dilakukan pada bagian dekat tepi spesimen karena deformasi
yang tidak seragam dapat mempengaruhi hasilnya.
DAFTAR PUSTAKA
Amy
Hsiao
(2014).
Chemistry
and
Physics
of
Materials
II,
dari
http://www.google.co.id/imgres?imgurl=x-rawimage:///0028d35cda21a5c688e0581f71ee9954a9c44f1770557cb239da95bb3a0b3
f89&imgrefurl=http://www.engr.mun.ca/~amyhsiao/5911lec6.pdf&h=549&w=74
6&tbnid=xqUh2lzTKACSrM:&docid=9-hWIXCxCoPaM&ei=foYvVvq2D4W70gTwkpHQCw&tbm=isch&ved=0CEAQMygfMB9qFQ
oTCPrtz-_q4sgCFYWdlAodcEkEug, diunduh 27 Oktober 2015.
Callister, W. D. & Retchwisch, D. G. 2011. Materials Science and Engineering, SI
Version. Asia: John Wiley & Sons, Inc.
Dieter, G. E. 1928. Mechanical Metallurgy, SI Metric ed. New York: McGraw-Hill.
www.apac.totalmateria.com, diunduh 27 Oktober 2015.
Tugas Setelah Praktikum
1. Mengapa baja karbon dengan kadar karbon lebih tinggi memiliki kekerasan
yang lebih tinggi daripada baja karbon dengan kadar karbon rendah setelah
proses quenching?
2. Apakah pengaruh proses quenching dengan kekuatan dan kekerasan baja?
3. Jelaskan mekanisme terbentuknya martensit dan mengapa martensit
memiliki kekerasan yang tinggi pada baja?
4. Kapan terbentuk austenit sisa pada proses quenching dan apa pengaruhnya
terhadap kekerasan?
5. Jelaskan cara yang dilakukan untuk mengurangi keberadaan austenit sisa.
6. Buat analsis pengaruh waktu aging terhadap kekerasan.
7. Mengapa presipitasi meningkatkan kekerasan/kekuatan?
8. Apa yang dimaksud dengan natural aging, aritificial aging, dan overaging?
9. Jelaskan apa yang dimaksud dengan GP zone.
10. Buatlah analisis antara temperatur pemanasan pada T=800β, 400β, dan
100β terhadap kekerasan material. Adakah hubungannya dengan struktur
mikronya?
11. Temperatur rekristalisasi dipakai sebagai batas antara cold working dan hot
working. Jelaskan mengapa pemberian deformasi pada hot working tidak
meningkatkan kekerasan.
12. Jelaskan pengaruh cold work terhadap temperatur rekristalisasi material.
13. Jelaskan apa yang dimaksud dengan cold working dan hot working. Apa
masing-masing kelebihan dan kekuarangannya dan berikan contohnya.
14. Jelaskan pengaruh recovery, recrystallization, dan grain growth terhadap
sifat mekanik material.
Jawab :
1. Di analisis data.
2. Di teori dasar.
3. Di teori dasar.
4. Di analsisis data.
5. Dengan menurunkan %w karbon.
6. Di teori dasar dan analisis data.
7. Di teori dasar.
8. Di teori dasar.
9. Di teori dasar.
10. Di analisis data.
11. Karena deformasi yang dihasilkan pada hot working bertujuan untuk
mengubah struktur mikro butir sebelumnya (misalnya butir dendritik pada
cor kontinu) menjadi butir yang ekuaksial, dengan sifat yang ulet dan
homogen.
12. Makin besar presentase cold work, maka temperatur rekristalisasi makin
tinggi.
13. Kelebihan cold working : Tidak diperlukan pemanas karena dilakukan pada
temperatur rendah, menghasilkan permukaan benda kerja yang halus dan
toleransi dimensi ketat.
Kekurangan cold working : Perlu proses annealing untuk reduksi dimensi
lebih lanjut, dengan gaya pengerolan yang sama reduksi yang dihasilkan
kecil.
Kelebihan hot working : Dengan gaya pengerolan yang sama reduksi yang
dihasilkan besar, tidak perlu proses annealing, segregasi komposisi
dihilangkan.
Kekurangan hot working : Perlu tungku pemanas, permukaan hasil roll
kasar karena terdapat oksida, sehingga toleransi dimensi longgar.
14. Di teori dasar.
Laboratorium Teknik Material 2
Modul C Metal Hardening
Oleh :
Nama
: Adhi Setyo Nugroho
NIM
: 13713025
Kelompok
: 2
Anggota (NIM)
: Andrian Anggada Widatama (13713005)
Antonio Ricardo Salomo Abraham (13713024)
Adhi Setyo Nugroho (13713025)
Aldi Wendo Kohara (13713042)
Surya Eko Sulistiawan (13713054)
Tanggal Praktikum
: 27 Oktober 2015
Tanggal Penyerahan Laporan : 2 November 2015
Nama Asisten (NIM)
: Muhammad Iqbal Yusrian (13711064)
Laboratorium Teknik Metalurgi dan Teknik Material
Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara
Institut Teknologi Bandung
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Material logam memiliki aplikasi yang sangat luas dalam kehidupan,
misalnya sebagai struktur bangunan, komponen alat transportasi, dan lain-lain.
Aplikasi tersebut salah satunya ditunjang oleh sifat mekanik material logam.
Untuk mendapatkan sifat mekanik sesuai dengan kebutuhan perlu dilakukan
proses pengubahan struktur mikronya. Ada berbagai metode untuk mengubah
sifat mekanik material melalui pengubahan struktur mikronya. Misalnya,
quenching, precipitation hardening, dan annealing.
1.2 Tujuan Percobaan
1. Menentukan pengaruh %w karbon terhadap pertambahan nilai kekerasan
baja karbon yang telah diquenching dalam proses hardening.
2. Menentukan pengaruh waktu aging terhadap kekerasan Duralumin yang
telah diquenching dalam proses precipitation hardening.
3. Menentukan pengaruh temperatur rekristalisasi dan waktu pemanasan
terhadap nilai kekerasan tembaga yang telah diquenching dalam proses
annealing.
BAB II
TEORI DASAR
2.1 Diagram Fasa Fe-C, Diagram TTT, dan Diagram CCT
Diagram fasa suatu paduan menunjukkan informasi mengenai struktur fasa
yang terbentuk melalui variabel temperatur dan komposisi paduan. Pada diagram
fasa biner, tekanan eksternal dijaga tetap. Contoh diagram fasa biner adalah
diagram fasa Fe-C yang ditunjukkan pada gambar 2.1.1.
Gambar 2.1.1 Diagram Fasa Fe-C. Callister (2011).
Dari diagram fasa Fe-C diperoleh,
a. Lima fasa utama, yaitu fasa cair, fasa πΏ, fasa πΎ (austenit), fasa πΌ (ferit),
dan fasa πΉπ3 πΆ (sementit).
b. Tiga jenis reaksi fasa, yaitu
i.
ii.
Reaksi fasa peritektik, πΏ + πΏ β πΎ.
Reaksi fasa eutektik, πΏ β πΎ + πΉπ3 πΆ.
iii.
Reaksi fasa eutektoid, πΎ β πΌ + πΉπ3 πΆ.
c. Dua jenis material teknik dengan batas komposisi 1,7% berat C, yaitu baja
karbon dengan komposisi kurang dari 1,7% berat C, dan besi cor dengan
komposisi lebih dari 1,7% berat C.
Namun,
diagram
fasa
tidak
memberikan
informasi
mengenai
kebergantungan transformasi fasa terhadap waktu. Oleh karena itu, dibuatlah suatu
diagram yang menunjukkan pengaruh waktu pendinginan terhadap transformasi
fasa, disebut diagram transformasi isotermal (Time-Temperature-Transformastions
Diagram). Diagram tersebut mengeplot temperatur versus logaritma waktu, dengan
kurva pembentukan fasa awal (begin curve), kurva transformasi sebagian (50%
completion) dan kurva transformasi 100%, seperti gambar 2.1.2. Dari gambar 2.1.3,
diagram TTT hanya dapat digunakan untuk transformasi fasa pada proses perlakuan
panas dengan temperatur tetap.
Gambar 2.1.2 Diagram TTT yang menunjukkan kebergantungan transformasi
austenit menjadi perlit terhadap waktu pada temperatur tetap. Callister (2011)
Gambar 2.1.3 Transformasi fasa austenit menjadi ferit dan sementit
melalui difusi. Callister (2011).
Pada diagram TTT tersebut, austenit didinginkan cepat melalui garis AB,
dan transformasi fasa austenit menjadi perlit ditunjukkan oleh garis BCD pada
temperatur tetap. Transformasi austenit menjadi perlit diawali pada perpotongan
kurva awal (begin curve) di titik C dan berakhir di titik D dalam waktu sekitar 15
detik. Mekanisme transformasi fasa tersebut melibatkan difusi atom-atom karbon
sesuai dengan reaksi fasa eutektik. Atom-atom karbon larut dengan besi
membentuk sementit. Ferit dan sementit tersusun berlapis dan tumbuh hingga butir
austenit berubah menjadi perlit (ferit dan sementit) seluruhnya.
Diagram TTT yang utuh untuk baja hypoeutectoid, eutectoid, dan
hypereutectoid ditunjukkan oleh gambar 2.1.4.
Gambar 2.1.4 Diagram TTT untuk baja (a) hypoeutectoid, (b) eutectoid,
(c) hypereutectoid. Amy (2014).
Baja eutectoid adalah baja dengan komposisi 0,8% berat karbon dan
menjadi pembatas antara baja hypoeutectoid dan baja hypereutectoid. Baja
hypoeutectoid memiliki komposisi 0,025%-0,8% berat karbon dan baja
hypereutectoid memiliki komposisi 0,8%-1,7% berat karbon.
Perbedaan utama diagram TTT antara baja hypoeutectoid, eutectoid, dan
hypereutectoid adalah fasa yang terbentuk di atas temperatur eutectoid. Temperatur
eutectoid (727β) digambarkan sebagai garis asimtot datar. Pada baja eutectoid,
kurva transformasi austenit menjadi perlit memanjang di bawah garis asimtot
tersebut, dan dengan melihat diagram fasa, austenit akan langsung mengalami
transformasi menjadi perlit ketika didinginkan. Pada baja hypoeutectoid, terdapat
kurva yang memotong garis asimtot, artinya ketika pendinginan, austenit dapat
bertransformasi menjadi fasa πΌ + πΎ. Sedangkan pada baja hypereutectoid, terdapat
kurva yang memotong garis asimtot, artinya ketika pendinginan, austenit dapat
bertransformasi menjadi fasa πΎ + πΉπ3 πΆ. Bentuk βhidungβ lebih bergeser ke kiri
karena %wt karbon semakin meningkat menyebabkan kelarutan karbon dalam
paduan lebih tinggi. Sehingga, waktu yang dibutuhkan untuk transformasi austenit
menjadi perlit lebih cepat.
Gambar 2.1.5 Pendinginan cepat untuk transformasi austenit menjadi
martensit. www.google.com.
Pada bagian bawah diagram TTT tersebut juga terdapat garis horizontal
yang tidak bergantung terhadap waktu pendinginan. Garis tersebut menyatakan
transformasi austenit menjadi martensit, diawali dari garis M(start). Karena
transformasi austenit menjadi martensit tidak melibatkan difusi, maka transformasi
tersebut berlangsung dengan laju pendinginan yang sangat cepat, ditunjukkan oleh
gambar 2.1.5.
Oleh karena adanya pengaruh laju pendinginan terhadap transformasi
austenit, maka diagram TTT dimodifikasi menjadi diagram CCT (Continuous
Cooling Transformation). Diagram CCT dapat memprediksi struktur mikro yang
terbentuk untuk berbagai laju pendinginan. Contoh diagram CCT ditunjukkan oleh
gambar 2.1.6.
Misal austenit didinginkan dari temperatur 727β hingga 60β. Ketika laju
pendingian sangat cepat (8,3β/π ), akan terbentuk struktur mikro martensit saja.
Gambar 2.1.6 Pengaruh laju pendinginan terhadap perubahan struktur
mikro baja karbon. Callister (2011).
Ketika laju pendinginan diperlambat (0,3β/π ), akan terbentuk struktur mikro
martensit dan bainit. Ketika laju pendinginan diperlambat lagi, akan terbentuk
martensit, bainit, dan ferit, dan seterusnya. Sehingga, terdapat range struktur mikro
yang terbentuk di akhir pendinginan untuk tiap laju pendinginan.
Fasa-fasa yang sering dijumpai antara lain,
a. Ferit (fasa πΌ), merupakan paduan antara unsur besi-πΌ (πΌ-Fe) dan karbon
(C), dengan komposisi 0-0,025% berat karbon pada temperatur di bawah
912β. Ferit memiliki struktur kristal BCC, bersifat ulet karena kandungan
karbon sangat rendah, dan bersifat magnetik.
b. Austenit (fasa πΎ), merupakan paduan antara unsur besi-πΎ (πΎ-Fe) dan karbon
(C), dengan komposisi 0-1,7% berat karbon pada temperatur 727β hingga
1493β. Austenit memiliki struktur kristal FCC, lebih keras daripada ferit,
dan bersifat nonmagnetik.
c. Perlit (fasa πΌ + πΉπ3 πΆ berlapis), merupakan transformasi fasa austenit
melalui reaksi fasa eutektoid. Terdapat dua jenis struktur mikro perlit: perlit
kasar dan perlit halus. Ketebalan lapisan perlit bergantung pada temperatur
terjadinya transformasi.
Gambar 2.1.7 Struktur mikro (a) perlit kasar, (b) perlit halus. Callister (2011).
Dari diagram TTT gambar 2.1.3, perlit kasar (coarse pearlite) dihasilkan
dekat di bawah temperatur eutectoid. Pada temperatur tersebut, laju difusi
sangat tinggi, atom-atom karbon berdifusi dalam lintasan yang panjang
membentuk lapisan tebal hitam. Seiring dengan menurunnya temperatur,
laju difusi atom-atom karbon lebih lambat dan lintasan difusi terbatas.
Sehingga, terbentuk struktur mikro dengan lapisan tipis, yaitu perlit halus.
Kandungan karbon pada perlit halus lebih banyak karena laju difusinya
lambat, sehingga bersifat lebih keras dan kuat daripada perlit kasar.
d. Bainit, dihasilkan ketika laju pendinginan berada dalam range βbainite
noseβ (dari gambar 2.1.6). Fasa yang muncul adalah fasa sementit yang
halus dan panjang dalam matriks ferit. Karena struktur mikro bainit sangat
halus, maka hanya dapat diamati menggunakan mikroskop elektron. Bainit
bersifat lebih keras dan kuat daripada perlit halus.
e. Martensit, dihasilkan melalui transformasi austenit dengan pendinginan
sangat cepat (quenching) tanpa mengalami difusi. Martensit memiliki
struktur kristal BCT (body-centered tetragonal), struktur mikro mirip jarumjarum, dan bersifat paling kuat dan paling getas dibandingkan struktur mikro
lainnya. Martensit sangat keras karena seluruh atom karbon berperan
sebagai pengotor interstisi atau menyisip di sel satuan BCT (simbol X) pada
(a)
(b)
Gambar 2.1.8 Struktur mikro (a) bainit, (b) martensit. Callister (2011).
Gambar 2.1.8 Sel satuan body-centered tetragonal (BCT) pada martensit.
Callister (2011).
gambar 2.1.9. Untuk memperoleh struktur BCT dilakukan quenching agar
tidak terjadi difusi karbon, karena sedikit saja karbon berdifusi maka akan
terbentuk fasa ferit dan austenit.
2.2 Proses Perlakuan Panas pada Logam
Annealing adalah perlakuan panas pada baja dengan cara dipanaskan pada
temperatur austenit dan waktu tertentu, lalu didinginkan perlahan. Annealing
berfungsi untuk mengurangi tegangan (relieve stresses), menambah keuletan dan
ketangguhan, dan/atau menghasilkan struktur mikro tertentu.
Pada annealing terjadi recovery, recrystallization, dan grain growth.
Recovery adalah proses pelepasan energi regangan dalam yang tersimpan dengan
memanfaatkan pergerakan dislokasi dari difusi atom-atom pada temperatur tinggi.
Selanjutnya akan terbentuk batas subbutir melalui proses poligonisasi atau
penyusunan diri. Fenomena berikutnya adalah rekristalisasi, yaitu pembentukan
butir-butir ekuiaksial dari proses poligonisasi. Temperatur rekristalisasi adalah
Gambar 2.2.1 Proses recovery, recrystallization dan grain growth. Callister (2011).
temperatur yang ditunjukkan setelah proses rekristalisasi berlangsung sempurna
selama satu jam. Setelah rekristalisasi berlangsung sempurna, terbentuk butir-butir
ekuiaksial. Butir-butir akan tumbuh karena adanya migrasi batas butir. Tidak semua
butir tumbuh, tetapi hanya butir besar yang tumbuh βmemakanβ butir kecil.
Normalizing digunakan untuk memperhalus butir, menghasilkan distribusi
butir yang homogen, serta mengurangi tegangan dalam (relieve internal stresses)
setelah dilakukan cold work. Pertama, spesimen dipanaskan pada temperatur
austenitnya (di atas A3 atau Acm sesuai gambar 2.2.2), dibiarkan beberapa waktu
pada temperatur tersebut, lalu didinginkan lebih cepat daripada pendinginan
annealing.
Annealing dan normalizing merupakan metode yang digunakan untuk
membuat material logam menjadi lebih lunak. Logam misalnya baja dipanaskan
terlebih dahulu hingga temperatur austenitnya dan dipertahankan selama beberapa
waktu pada temperatur tersebut agar temperatur tersebar secara merata. Setelah itu,
Gambar 2.2.2 Range temperatur proses annealing dan normalizing. Callister (2011).
logam didinginkan dengan laju pendinginan yang lambat. Kurva pendinginan baja
untuk proses annealing ditunjukkan oleh nomor 2 pada gambar 2.2.3 dan terbentuk
struktur mikro perlit kasar yang bersifat lunak. Sedangkan kurva pendinginan baja
untuk proses normalizing ditunjukkan oleh nomor 3 pada gambar 2.2.3 dan
terbentuk struktur mikro perlit halus yang bersifat lebih keras.
Baja juga dapat dikeraskan dengan cara memanaskannya pada temperatur
austenit selama beberapa waktu, lalu didinginkan sangat cepat, ditunjukkan oleh
kurva 1 pada gambar 2.2.3. Struktur mikro yang terbentuk adalah martensit yang
bersifat sangat keras.
Gambar 2.2.3 Kurva berbagai laju pendinginan untuk memperoleh
struktur mikro tertentu. www.apc.totalmateria.com.
2.3 Precipitation Hardening
Kekuatan dan kekerasan beberapa paduan logam, misalnya paduan Al-Cu,
dapat ditingkatkan dengan pembentukan partikel-partikel kecil sekunder berfasa
padat yang tersebar merata di matriks fasa padat yang terbentuk sebelumnya,
dengan proses precipitation hardening. Partikel-partikel presipitat tersebut
bertindak sebagai penghambat gerak dislokasi.
Agar sistem paduan dapat dilakukan proses precipitation hardening, maka
harus terbentuk larutan padat akhir dengan pengurangan kelarutan fasa padat
seiring dengan menurunnya temperatur. Misalnya paduan Al-Cu dengan komposisi
96wt% Al - 4wt% Cu.
Proses precipitation hardening seperti ditunjukkan gambar 2.3.1 adalah
sebagai berikut.
1. Solution treatment atau solutionizing, yaitu paduan dipanaskan di atas
temperatur solvus dan dibiarkan selama selang waktu tertentu hingga
terbentuk fasa homogen πΌ. Presipitat π saat itu masih larut dalam fasa
tersebut.
Gambar 2.3.1 Precipitation hardening, (1) solution treatment, (2) quenching,
(3) aging. www.apac.totalmateria.com.
2. Quenching, yaitu mendinginkan cepat fasa homogen πΌ membentuk larutan
pada super jenuh (supersaturated solid solution) πΌπ π yang mengandung Cu
berlebih. Karena pendinginan tersebut berlangsung cepat, atom-atom tidak
dapat mengalami difusi untuk melakukan pengintian, maka struktur mikro
yang telah terbentuk bersifat tidak stabil. Presipitat π tidak terbentuk.
3. Aging, yaitu memanaskan πΌπ π di bawah temperatur solvus untuk
menghasilkan presipitat yang tersebar halus. Pada temperatur tersebut,
atom-atom berdifusi secara terbatas. Karena πΌ super jenuh bersifat tidak
stabil, atom-atom Cu berdifusi dan mulai menginti dan presipitat pun
tumbuh. Ada dua jenis aging: artificial aging, dilakukan pada temperatur
tertentu, dan natural aging, dilakukan pada temperatur kamar.
Ada tiga mekanisme penguatan pada precipitation hardening,
1. Coherency strain hardening, dihasilkan dari interaksi antara dislokasi
dengan medan regangan di sekitar GP zones.
2. Chemical hardening, dihasilkan dari peningkatan tegangan yang dibutuhkan
dislokasi untuk memotong/melewati presipitat yang koheren atau
semikoheren.
3. Dispersion hardening, terjadi pada paduan yang mengandung presipitat
yang tidak koheren.
GP1
GP2
Gambar 2.3.2 Pengaruh waktu aging terhadap kekuatan material yang
dilakukan proses strain hardening. Callister (2011).
Gambar 2.3.3 Skema pembentukan fasa presipitat π yang stabil, (a)
Supersaturated πΌ solid solution, (b) Fasa presipitat transisi πβ²β², (c) Fasa
stabil π, dalam matriks πΌ. Callister (2011).
Dari gambar 2.3.2, material yang di-aging akan menempuh zona GP. GP
adalah nama dari Guinier-Preston yang telah menemukan berbagai fenomena age
hardening. Material sebelum aging ditunjukkan oleh gambar 2.3.3a, dan material
yang sudah melalui GP2 ditunjukkan oleh gambar 2.3.3b. Dari gambar 2.3.2, akhir
aging fasa πβ²β² akan memiliki kekuatan dan kekerasan paling tinggi. Selanjutnya,
overaging akan menyebabkan kekuatan dan kekerasannya menurun.
Paduan logam lainnya yang dapat dilakukan proses precipitation hardening
adalah paduan tembaga-berillium, tembaga-timah, dan magnesium-aluminium.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Mulai
Diberikan spesimen
baja karbon rendah dan
baja karbon tinggi
Kekerasan awal
spesimen diukur
Diberikan spesimen paduan
Al-Cu yang sudah dipanaskan
pada temperatur 550β selama
12 jam dan diquenching
Spesimen dipotong
menjadi 4 bagian
dan diberi tanda
Kekerasan awal
spesimen diukur
Spesimen
dipanaskan pada
temperatur 900β
selama 30 menit
Spesimen dipanaskan pada temperatur
200β selama 10 menit untuk
spesimen 1, 30 menit untuk spesimen
2, 60 menit untuk spesimen 3, dan
120 menit untuk spesimen 4
Setelah waktu pemanasan habis,
spesimen dicelupkan ke dalam air
Kekerasan akhir spesimen diukur
Selesai
Diberikan spesimen Cu
yang sudah dipanaskan
pada temperatur 800β,
diquenching, dan diroll
dengan reduksi 50%
Spesimen dipotong
menjadi 6 bagian
dan diberi tanda
Kekerasan awal
spesimen diukur
Spesimen dipanaskan pada
temperatur 400β selama 15
menit untuk spesimen 2, 30
menit untuk spesimen 3, 45
menit untuk spesimen 4, 60
menit untuk spesimen 5.
Spesimen 1 dipanaskan pada
temperatur 800β selama 120
menit. Spesimen 6 dipanaskan
pada temperatur 100β selama
90 menit
BAB IV
DATA PENGAMATAN
1. Tabel kekerasan baja karbon sebelum dan sesudah pemanasan.
Temperatur
Waktu
ο°C
menit
HRA1
HRA2
HRA3
HRA
HRA1
HRA2
HRA3
HRA
Rendah
(Kotak)
900
30
45
44,5
41
43,5
57
69
70
65,3333
Tinggi
(Bulat)
900
30
64
65
64
64,333
76
70
75
73,6667
Baja
Karbon
Kekerasann Awal (MPa)
Kekerasan Akhir (MPa)
2. Tabel kekerasan paduan Al-Cu sebelum dan sesudah pemanasan dengan variasi
waktu.
Temperatur
Waktu
ο°C
menit
1
200
10
2
200
30
3
200
60
4
200
120
Al-Cu
Kekerasann Awal (MPa)
HRE1
HRE2
85
80
HRE3
Kekerasan Akhir (MPa)
HRE
82,5
HRE1
HRE2
HRE3
HRE
68
89
71
76
91
89
99
93
97
104
103
101,333
94
96
96
95,3333
82,5
3. Tabel kekerasan tembaga sebelum dan sesudah pemanasan dengan variasi
temperatur dan waktu.
Temperatur
Waktu
ο°C
Menit
1
800
2
3
Cu
Kekerasann Awal (MPa)
HRE1
HRE1
HRE2
HRE3
HRE
120
71
86
100
85,6667
400
15
49
99
98
82
400
30
41
94
75
70
4
400
45
59
91
102
84
5
400
60
62
89
76
75,6667
6
100
90
84
88
91
87,6667
78
HRE2
81
HRE3
81
HRE
Kekerasan Akhir (MPa)
80
BAB V
ANALISIS DATA
Baja karbon rendah maupun baja karbon tinggi memiliki peningkatan
kekerasan setelah spesimen dipanaskan. Ketika kedua spesimen dipanaskan pada
temperatur 900β tanpa pemanasan awal (pre-heat) dan dibiarkan pada temperatur
tersebut selama 30 menit, maka berdasar teori terbentuk struktur mikro austenit.
Pemanasan dilakukan dengan waktu yang cukup lama agar seluruh bagian spesimen
terpanaskan secara homogen sehingga fasa sementit larut dalam fasa austenit dan
diperoleh fasa austenit yang seragam. Setelah 30 menit berlalu, spesimen
didinginkan cepat ke dalam air pada temperatur kamar. Pendinginan cepat
menyebabkan penurunan temperatur secara drastis dan atom-atom karbon di dalam
spesimen tidak sempat berdifusi. Terjadi transformasi fasa tanpa melibatkan difusi
dari fasa austenit menjadi martensit.
Baja karbon tinggi memiliki kekerasan awal lebih tinggi daripada baja
karbon rendah karena %w karbon di dalamnya lebih tinggi. Setelah dipanaskan dan
didinginkan, kekerasan akhir baja karbon tinggi masih lebih tinggi daripada baja
karbon rendah. Karena kedua spesimen mengalami transformasi fasa tanpa
melibatkan difusi, artinya atom-atom karbon hanya berperan sebagai pengotor
interstiti yang menyisip di sel satuan BCT.
Tidak seluruh austenit dapat bertransformasi menjadi martensit, sehingga
akan ada austenit sisa. Austenit sisa adalah austenit yang gagal bertransformasi
menjadi martensit. Dari diagram TTT baja karbon hypoeutectoid, eutectoid, dan
hypereutectoid,
semakin
tinggi
%w
karbon
akan
menurunkan
M(start)/pembentukan martensit, menyebabkan pembentukan austenit menjadi
martensit lebih lambat. Sehingga, akan diperoleh austenit sisa lebih banyak pada
baja karbon tinggi daripada baja karbon rendah. Hal tersebut ditunjukkan dari
besarnya penambahan kekerasan spesimen setelah dikeraskan. Baja karbon rendah
memiliki penambahan kekerasan lebih besar daripada pada baja karbon tinggi.
Empat spesimen Duralumin (paduan Al-Cu) mula-mula dipanaskan pada
temperatur 550β selama 12 jam untuk melangsungkan proses solution treatment.
Solution treatment dilakukan pada temperatur tersebut (temperatur tidak terlalu
tinggi) untuk menghindari bentuk butir yang tidak seragam karena mendekati garis
solidus, yang dapat berpengaruh pada proses quenching. Setelah itu, spesimen diquenching di dalam air, terbentuk larutan padat πΌπ π . Kekerasan spesimen kemudian
diukur.
Keempat spesimen dipanaskan lagi pada temperatur 200β dengan waktu
yang berbeda-beda. Hal ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh proses aging.
Pada spesimen pertama (t=10 menit), nilai kekerasan rata-rata menurun dari
nilai awalnya. Dari teori, ketika proses aging berlangsung, maka spesimen akan
mengeras seiring terbentuknya presipitat selama selang waktu tertentu. Maka,
mungkin terjadi kesalahan pada uji keras, dapat berupa lokasi uji keras yang terlalu
pinggir di spesimen, atau permukaan spesimen tidak rata.
Pada spesimen kedua (t=30 menit), nilai kekerasan rata-rata bertambah dari
nilai awalnya. Hal tersebut sesuai dengan teori dan saat itu spesimen sedang
mengalami proses aging dalam zona GP.
Pada spesimen ketiga (t=60 menit), nilai kekerasan rata-rata bertambah dari
nilai awalnya dan menunjukkan nilai paling tinggi daripada spesimen yang lain.
Dari teori, dalam proses aging akan ada suatu waktu ketika nilai kekerasan
spesimen menuju maksimum, yaitu tepat setelah melalui zona GP. Artinya, t=60
menit adalah waktu yang paling optimal untuk proses aging, sehingga diperoleh
kekerasan paling tinggi.
Pada spesimen keempat (t=120 menit), nilai kekerasan rata-rata bertambah
dari nilai awalnya. Namun, jika dibandingkan dengan spesimen ketiga, maka waktu
aging spesimen keempat lebih lama dan menyebabkan kekerasan spesimen
menurun. Artinya, spesimen keempat telah mengalami overaging.
Pada speseimen tembaga, mula-mula spesimen berupa batangan,
dipanaskan pada temperatur 800β untuk homogenisasi fasa, lalu didinginkan di
udara. Setelah itu, spesimen diroll dingin dengan reduksi 50%. Tujuan pengerolan
tersebut adalah untuk melangsungkan fenomena strain hardening, sehingga
spesimen menjadi lebih keras. Kemudian, spesimen diuji keras, dibagi menjadi 6
dan dipanaskan pada temperatur dan waktu pemanasan yang berbeda-beda. Hal ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh temperatur dan waktu pemanasan terhadap
perubahan kekerasan spesimen.
Titik leleh tembaga (99,999 wt%) adalah 1358 K (1085β). Pada proses
annealing, temperatur rekristalisasi material adalah 0,3-0,6 kali temperatur absolut
leburnya. Sehingga, dilakukan pada range temperatur 134,4β - 541,8β. Dari
percobaan tersebut, spesimen dipanaskan pada temperatur 800β, 400β dan 100β
untuk mengamati pengaruh temperatur rekristalisasi tembaga terhadap perubahan
sifatnya. Pada temperatur 400β yang terletak di range temperatur rekristalisasi
tembaga, spesimen dipanaskan dalam waktu yang berbeda-beda untuk mengamati
pengaruh waktu terhadap perubahan sifatnya.
Spesimen pertama dipanaskan pada temperatur 800β, jauh di atas
temperatur rekristalisasi selama 120 menit, lalu didinginkan cepat. Hasilnya adalah
nilai kekerasannya naik dari nilai awalnya. Spesimen keenam dipanaskan di bawah
temperatur rekristalisasi selama 90 menit, lalu didinginkan cepat. Hasilnya, nilai
kekerasannya juga naik dari nilai awalnya.
Spesimen kedua hingga kelima dipanaskan pada temperatur 400β. Pada
spesimen kedua, nilai kekerasan naik dari nilai sebelumnya. Pada spesimen kedua,
nilai kekerasannya naik dari nilai sebelumnya. Pada spesimen ketiga, nilai
kekerasannya naik dari nilai sebelumnya. Pada spesimen keempat, nilai
kekerasannya naik dari nilai sebelumnya. Pada spesimen kelima, nilai kekerasannya
turun dari nilai sebelumnya. Dari teori, pembentukan butir baru dan perubahan sifat
dari keras dan getas menjadi lunak dan ulet diperoleh ketika annealing dilakukan
pada temperatur rekristalisasi selama satu jam. Hal ini ditunjukkan oleh spesimen
kelima.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Pertambahan nilai kekerasan baja karbon rendah lebih besar daripada baja
karbon tinggi karena semakin banyak %w karbon, maka austenit sisa makin
banyak.
2. Waktu aging Duralumin yang optimal atau untuk memperoleh nilai
kekerasan paling tinggi setelah di-quench adalah pada t=60 menit.
3. Temperatur yang tepat untuk proses annealing agar diperoleh sifat material
yang lunak dan ulet adalah pada range temperatur rekristalisasi material
dengan pemanasan selama setengah jam atau satu jam.
5.2 Saran
1. Uji keras tidak dilakukan pada bagian dekat tepi spesimen karena deformasi
yang tidak seragam dapat mempengaruhi hasilnya.
DAFTAR PUSTAKA
Amy
Hsiao
(2014).
Chemistry
and
Physics
of
Materials
II,
dari
http://www.google.co.id/imgres?imgurl=x-rawimage:///0028d35cda21a5c688e0581f71ee9954a9c44f1770557cb239da95bb3a0b3
f89&imgrefurl=http://www.engr.mun.ca/~amyhsiao/5911lec6.pdf&h=549&w=74
6&tbnid=xqUh2lzTKACSrM:&docid=9-hWIXCxCoPaM&ei=foYvVvq2D4W70gTwkpHQCw&tbm=isch&ved=0CEAQMygfMB9qFQ
oTCPrtz-_q4sgCFYWdlAodcEkEug, diunduh 27 Oktober 2015.
Callister, W. D. & Retchwisch, D. G. 2011. Materials Science and Engineering, SI
Version. Asia: John Wiley & Sons, Inc.
Dieter, G. E. 1928. Mechanical Metallurgy, SI Metric ed. New York: McGraw-Hill.
www.apac.totalmateria.com, diunduh 27 Oktober 2015.
Tugas Setelah Praktikum
1. Mengapa baja karbon dengan kadar karbon lebih tinggi memiliki kekerasan
yang lebih tinggi daripada baja karbon dengan kadar karbon rendah setelah
proses quenching?
2. Apakah pengaruh proses quenching dengan kekuatan dan kekerasan baja?
3. Jelaskan mekanisme terbentuknya martensit dan mengapa martensit
memiliki kekerasan yang tinggi pada baja?
4. Kapan terbentuk austenit sisa pada proses quenching dan apa pengaruhnya
terhadap kekerasan?
5. Jelaskan cara yang dilakukan untuk mengurangi keberadaan austenit sisa.
6. Buat analsis pengaruh waktu aging terhadap kekerasan.
7. Mengapa presipitasi meningkatkan kekerasan/kekuatan?
8. Apa yang dimaksud dengan natural aging, aritificial aging, dan overaging?
9. Jelaskan apa yang dimaksud dengan GP zone.
10. Buatlah analisis antara temperatur pemanasan pada T=800β, 400β, dan
100β terhadap kekerasan material. Adakah hubungannya dengan struktur
mikronya?
11. Temperatur rekristalisasi dipakai sebagai batas antara cold working dan hot
working. Jelaskan mengapa pemberian deformasi pada hot working tidak
meningkatkan kekerasan.
12. Jelaskan pengaruh cold work terhadap temperatur rekristalisasi material.
13. Jelaskan apa yang dimaksud dengan cold working dan hot working. Apa
masing-masing kelebihan dan kekuarangannya dan berikan contohnya.
14. Jelaskan pengaruh recovery, recrystallization, dan grain growth terhadap
sifat mekanik material.
Jawab :
1. Di analisis data.
2. Di teori dasar.
3. Di teori dasar.
4. Di analsisis data.
5. Dengan menurunkan %w karbon.
6. Di teori dasar dan analisis data.
7. Di teori dasar.
8. Di teori dasar.
9. Di teori dasar.
10. Di analisis data.
11. Karena deformasi yang dihasilkan pada hot working bertujuan untuk
mengubah struktur mikro butir sebelumnya (misalnya butir dendritik pada
cor kontinu) menjadi butir yang ekuaksial, dengan sifat yang ulet dan
homogen.
12. Makin besar presentase cold work, maka temperatur rekristalisasi makin
tinggi.
13. Kelebihan cold working : Tidak diperlukan pemanas karena dilakukan pada
temperatur rendah, menghasilkan permukaan benda kerja yang halus dan
toleransi dimensi ketat.
Kekurangan cold working : Perlu proses annealing untuk reduksi dimensi
lebih lanjut, dengan gaya pengerolan yang sama reduksi yang dihasilkan
kecil.
Kelebihan hot working : Dengan gaya pengerolan yang sama reduksi yang
dihasilkan besar, tidak perlu proses annealing, segregasi komposisi
dihilangkan.
Kekurangan hot working : Perlu tungku pemanas, permukaan hasil roll
kasar karena terdapat oksida, sehingga toleransi dimensi longgar.
14. Di teori dasar.