BAB II KONSEP, TINJAUAN TEORETIS, DAN PENELITIAN TERDAHULU - Mantra Melaut pada Suku Melayu Aras Kabu: Interpretasi Semiotika
BAB II KONSEP, TINJAUAN TEORETIS, DAN PENELITIAN TERDAHULU Mantra melaut dalam kebudayaan etnik Melayu, khususnya di Desa Aras Kabu, Kabupaten Deli Serdang adalah bahagian dari tradisi masyarakatnya. Mantra melaut ini
memiliki kaitan erat dengan upacara atau ritual, tradisi lisan (termasuk sastra lisan), dan kearifan lokal. Di dalam mantra melaut ini terdapat makna-makna bahasa yang bisa dimenggerti dengan jalan menafsirkan berdasarkan kebudayaan di mana mantar ini hidup. Untuk kepentingan tersebut, secara saintifik perlu dijelaskan teori semiotika.
Pada Bab II ini akan diuraikan konsep-konsep tersebut di atas, serta tinjauan teori semiotika, dan peneltiian terdahulu yang berkaitan dengan topik penelitian ini yang telah dilakukan oleh para penulis atau peneliti.
2.1 Pengertian Mantra Mantra adalah salah wujud kebudayaan yang umum dijumpai di Nusantara ini.
Mantra selalu menggunakan bahasa verbal dan juga pilihan kata yang khas, yang maknanya baru dapat diketahui melalui pembacaan kultural dan saintifik secara mendalam, berdasarkan kebudayaan di mana mantra itu hidup.
Di dalam masyarakat Minangkabau misalnya terdapat mantra sijundai yang bertujuan untuk membuat orang lain menjadi gila. Dalam kebudayaan Melayu terdapat mantra ulit mayang yang bertujuan untuk mengobati orang yang sakit karena gangguan makhluk halus (jembalang). Dalam masyarakat Jawa terdapat mantra pengasih yang bertujuan agar seseorang dikasihi atau dicintai oleh orang lain. Begitu juga dalam berbagai etnik lainnya di Nusantara ini terdapat mantra-mantra yang khas kebudayaan setempat. Bagaimanapun, mantra ini berkait erat dengan sistem religi dan kosmologi yang dipercayai dalam suatu kebudayaan etnik.
Menurut Haron Daud (2001:21) mantra ialah semua jenis pengucapan dalam bentuk puisi atau bahasa berirama, yang mengandung unsur magis dan diamalkan oleh
orang tertentu, terutama bomoh, dengan tujuan kebaikan atau sebaliknya. Mantra itu mempunyai simbol tersendiri yang perlu diketahui untuk memahami mantra sebagai sastra lisan atau lebih tepat lagi tradisi lisan. Lebih-lebih lagi menurut mereka, sebagai tradisi lisan, mantra sangat erat hubungannya dengan kepercayaan dan pandangan hidup (world view) masyarakat di mana mantra itu wujud.
Mantra dipercayai berasal dari arwah leluhur. Kata-kata leluhur juga dianggap
berasal dari Tuhan (Yang Maha Kuasa). Pesan Tuhan yang diteruskan kepada leluhur melalui media komunikasi yang berbeda. Pada saat nenek moyang mengekspresikan artikulasi pesan Tuhan dalam formula lisan, maka pesan itu menjadi tuturan. Mantra kemudian menjadi sarana komunikasi yang dapat dipakai untuk berhubungan dengan makhluk supernatural, dan juga dapat menghubungkannya dengan sumber kekuatan dari 2 Di dalam kebudayaan masyarakat di Nusantara ini, istilah bomoh dalam bahasa Melayu ini,
memiliki kaitan dengan peristilahan yang digunakan oleh berbagai etnik yang merujuk kepada pengertian yang sama atau hampir sama. Dalam bahasa batak Toba dikenal dengan datu atau datu bolon yang artinya adalah dukun atau dukun besar. Dalam kebudayaan masyarakat Mandailing dikenal dengan guru sibaso. Kemudian dalam masyarakat Karo dikenal dengan terminologi guru. Dalam masyarakat Sunda dan Jawa dikenal dengan istilah dukun atau mbah dukun. Selanjutnya pada masyarakat Nias dikenal dengan foere. Prinsipnya bomoh, dukun, atau istilah-istilah rersebut merujuk kepada seseorang yang menguasai mantra
dan dapat memanfaatkannya dalam berbagai aktivitas sosial dan budaya, yang melibatkan sistem religi
dan kosmologi, yang berkaitan dan berhubungan dengan makhluk gaib. Pada masa sekarang ini, istilah
bomoh atau dukun sering pula digeneralisasi dengan istilah paranormal sebagai unsur serapan yang berasal dari bahasa Inggris. 3 Dalam kajian-kajian terbentang sistem religi, kepercayaan kepada roh leluhur dan juga
kemudian menyembah dan menghormatinya adalah bagian penting dalam tradisi animisme. Roh leluhur yang telah meninggal ini dipercayai akan dapat menolong dan membantu kehidupan keturunannya di atas
dunia ini, dari gangguan-gangguan supernatural, bahkan roh leluhur akan dapat membantu rezeki para leluhurnya. Di samping itu, animsime ini selalu dikaitkan juga dengan dinamisme, yaitu kepercayaan
kepada makhluk-makhluk gaib selain manusia, flora, dan fauna di bumi ini. Makhluk gaib tersebut memiliki kekuasaan yang besar, merea hidup di pohon-pohon besar, batu-batu, gua, dan berbagai tempat
lainnya. Di sisi lain ada juga kepercayaan yang disebut totemisme, yaitu makhluk gaib yang berwujud hewan-hewan tertentu seperti harimau, singa, buaya, dan lain-lain. Oleh karena itu makhluk-makhluk totem ini perlu dihormati. kuasa tersembunyi. Mengucapkan mantra atau formula dari leluhur akan dapat membangkitkan kekuatan spiritual, sama seperti yang dilakukan oleh nenek moyang zaman dahulu kala (Kang, 2005:69).
Menurut Goffman (1979), mantra meliputi tiga tingkatan penutur: (a) Tuhan sebagai penutur tertinggi mantra, (b) leluhur sebagai penulis (author), dan (c) pelaku sekarang sebagai animator. Di luar perubahan penutur, mantra-mantra tetap efektif karena kata-kata itu sendiri mengandung kekuatan magis. Bahkan dengan mengulang- ulang kata-kata itu dalam konteks masa kini, akan membawa kekuatan kreatif yang sama seperti ketika digunakan oleh para leluhur. Melalui kata-kata yang sama dengan yang diucapkan oleh para leluhur, orang dapat membawa kekuatan magis dalam konteks masa kini.
2.2 Pengertian Ritual
Mantra melaut dalam budaya suku Melayu di Aras Kabu Deli Serdang dipraktikkan sebagai salah satu ritual (upacara). Untuk itu penting diuraikan pengertian ritual. Menurut pendapat Muhammad (2011:1) kata ritual secara etimologis berarti perayaan yang berhubungan dengan kepercayaan tertentu dalam suatu masyarakat.
Secara etimologis ritual merupakan ikatan kepercayaan antar orang yang diwujudkan dalam bentuk nilai, bahkan dalam bentuk tatanan sosial. Ritual merupakan ikatan yang
paling penting dalam masyarakat beragama. Kepercayaan masyarakat dan praktiknya 4 Dalam agama-agama baik yang penganutnya berjumlah relatif besar atau kecil, ritual menjadi
tumpuan utama dalam tata ibadah mereka. Dalam agama Yahudi terdapat ritual tangisan dan ratapan di tembok Nabi Sulaiman. Di dalam agama Kristen terdapat ritual Ekaristi, misa Natal, Ritual Jumat Agung, pengakuan dosa, dan lain-lainnya. Di dalam agama Islam terdapat ritual haji, yaitu melakukan ibadah haji di dalam bulan Zulhijjah setiap tahunnya di Mekah dan Medinah, juga shalat Idul Fitri, Idul Adha, Jumat,
Istisqa, puasa, dan lain-lainnya. Di dalam agama Hindu terdapat ritual pembacaan Veda, taipusam, dan lainnya. Dalam agama Budha dikenal ritual Waisyak, memperingati kelahiran Sidharta Gautama. Dalam
religi Parmalim di Toba Sumatera Utara, terdapat ritual sipaha sada dan sipaha lima. Kemudian dalam religi Pemena di Taneh karo Simalem terdapat ritual erpangir kulau. Demikian pula dalam religi-religi lain seperti Karahyangan di Kalimantan, Hindu Dharma Bali, Kejawen, dan lainnya. tampak dalam ritual yang diadakan oleh masyarakat. ritual yang dilakukan bahkan dapat mendorong masyarakat untuk melakukan dan mentaati nilai dan tatanan sosial yang sudah disepakati bersama. Dengan bahasa lain, ritual memberikan motivasi dan nilai- nilai mendalam bagi seseorang yang mempercayai dan mempraktikkan.
Menurut Turner (dalam Prasetya, 2008:6) ritual dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu: pertama, ritual krisis hidup, artinya ritual yang berhubungan dengan krisis hidup manusia. Manusia pada dasarnya akan mengalami krisis hidup, ketika dia masuk masa peralihan. Pada masa ini, manusia akan masuk dalam lingkup krisis karena terjadi perubahan tahap hidup. Kedua, ritual gangguan, yaitu ritual sebagai negosiasi dengan roh agar tidak mengganggu hidup manusia. Turner juga menjelaskan bahwa ritual memiliki fungsi penting bagi keberlangsungan hidup. Fungsi ritual tersebut antara lain: (1) ritual akan mampu mengintegrasikan dan menyatukan rakyat dengan memperkuat kunci dan nilai utama kebudayaan melampaui dan di atas individu atau kelompok. Ritual menjadi alat pemersatu atau integritas; (2) ritual juga menjadi sarana pendukungnya untuk mengungkapkan emosi, khususnya nafsu-nafsu negatif, (3) ritual akan mampu melepaskan tekanan-tekanan sosial.
Berdasarkan dari penjelasan mengenai ritual di atas, dapat dikatakan bahwa ritual merupakan suatu kegiatan yang unik, bersifat khas yang sarat akan makna, memiliki suatu kekuatan tertentu, dan juga mencerminkan identitas diri sebagai dalam praktik dan penerapan keyakinan serta agama. Namun demikian, antara ritual dan agama, keduanya sering bertemu dan hal ini sangat sering kita jumpai dalam praktik di kehidupan masyarakat atau individu penganut ritual tersebut.
Dalam pelaksanaan ritual ini terdapat beberapa aspek yaitu: waktu dilaksanakannya ritual, tempat ritual, pemimpin ritual, pelaku ritual, benda-benda dan peralatan ritual, dan yang penting adalah tujuan diadakannya ritual. Kegiatan ritual ini ada yang sifatnya kolosal, terbuka, dan umum. namun tidak jarang ritual ada juga yang sifatnya tertutup, hanya untuk kalangan tertentu saja, dan rahasia. namun demikian pola umum dari ritual ini adalah hamper sama dalam setiap kebudayaan manusia di dunia, seperti penulis uraikan di atas.
2.3 Pengertian Tradisi Lisan
Mantra Melaut etnik Melayu di Aras Kabu, dalam konteks pewarisannta adalah melalui tradisi yang disampaikan secara lisan, yaitu dari sumber kepada orang lain.
Penyampaian mantra ini dilakukan dalam situasi tidak formal, tetapi informal, alamiah, dan apa adanya. Menurut Pudentia (2008) tradisi lisan, dalam berbagai bentuknya
sangat kompleks dan mengandung, tidak hanya berupa cerita, mitos, dan dongeng, tetapi juga mengandung berbagai hal yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya seperti kearifan lokal, sistem nilai, sistem kepercayaan dan religi, serta berbagai hasil seni.
Menurut Dick van der Meij (2011), tradisi lisan mencakup semua kegiatan kebudayaan yang dilestarikan dan diturunkan ke generasi ke generasi secara tidak
5 Mitos (myth) adala bahagian dari folklor (cerita rakyat). Dari bentuk atau genre
folklor, yang paling banyak diteliti oleh para ahli folklor adalah cerita prosa rakyat. Menurut
William R. Bascom, cerita prosa rakyat dapt dibagi ke dalam tiga golongan besar, yaitu: (1)
mite (myth), (2) legenda (legend), dan (3) dongeng (folktale). Mitos adalah cerita prosa rakyat
yag dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh pemilik cerita. Mite ditokohi oleh
para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain, atau di dunia yang
bukan seperti kita kenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau. Legenda adalah cerita prosa rakyat yang mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan mite, yaitu dianggap pernah benar-benar
terjadi, tetapi tidak dianggap suci—namun legenda ditokohi oleh manusia, meski kadangkala
memiliki sifat-sifat luar biasa, dan sering juga dibantu makhluk-makhluk ajaib. Tempat
terjadinya adalah di dunia seperti yang kita kenal sekarang, dan waktu terjadinya belu begitu
lama. Kemudian yang dimaksud dengan dongeng adalah cerita prosa rakyat yang tidak
dianggap benar-benar terjadi oleh pemilik ceritanya, tidak terikat oleh waktu dan ruang (lihat Bascom, 1965:3-20). Parafrase pengertian tiga bentuk cerita rakyat ini, penulis kutip dari James Danandjaja (1984:50-51). tertulis. Tradisi lisan merangkumi kearifan lokal, sastra dan bentuk kesenian yang lain, sejarah, obat-obatan, primbon, dan sebagainya.
Sesungguhnya membicarakan suatu tradisi baik lisan maupun tulisan adalah suatu pembicaraan yang amat sukar dibatasi. Sebab tradisi dalam arti serangkaian kebiasaan dan nilai-nilai, yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, boleh dikatakan hampir meliputi semua segi kehidupan suatu masyarakat tertentu. Pada segi lain kesulitan tampak bagaimana tradisi itu bergeser dan berubah mendapatkan semacam erosi dalam faktor-faktor yang sangat kompleks dan sukar dibatasi batas waktunya.
Endaswara (2005) mengatakan tradisi lisan adalah karya yang penyebarannya disampaikan dari mulut ke mulut secara turun temurun. Setidaknya ada enam ciri-ciri dari tradisi lisan, yaitu sebagai berikut. (1) Lahir dari masyarakat yang polos, belum
melek huruf, dan bersifat tradisional. (2) Menggambarkan budaya milik kolektif
tertentu, yang tidak jelas siapa penciptanya. (3) Lebih menekankan aspek khayalan, ada sindiran, jenaka, dan pesan mendidik. (4) Sering melukiskan tradisi kolektif tertentu. (5) Tradisi lisan banyak mengungkapkan kata-kata atau ungkapan-ungkapan klise. (6) Tradisi lisan sering bersifat menggurui.
Tradisi lisan memiliki kaitan dengan masyarakat pemilik tradisi lisan tersebut. Menurut Dick van der Meij (2011), pemilik tradisi lisan paling berpengetahuan tentang adalah orang yang paling mudah dapat menggairahkan orang, apalagi generasi muda dan juga paling memahami pentingnya tradisi mereka.
Mantra melaut sukuu Melayu aas Kabu di Deli Serdag adalah termasuk ke dalam tradisi lisan. Mantra ini disampaikan melalui aspek-aspek kelisanan. Mantra ini adalah bahagian dari tradisi yang diwarisi secara turun-temurun. Mantra melaut tersebut merupakan respon terhadap alam yang menjadi bahagian penting dalam sistenm kosmolog Melayu. Selain itu, di dalam mantra melaut ini terkandung berbagai kearifan lokal suku Melayu Aras jabu, dan juga Melayu Serdang, Sunmatera Utara, dan Dunia Melayu.
2.4 Pengertian Kearifan Lokal
Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian di atas, disusun secara etimologi, di mana wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikan sebagai kearifan.
Istilah lokal secara spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula. Sebagai ruang interaksi yang sudah didesain sedemikian rupa yang di dalamnya melibatkan suatu pola-pola hubungan antara manusia dengan manusia atau manusia dengan lingkungan fisiknya. Pola interaksi yang sudah terdesain tersebut disebut setting. Setting adalah sebuah ruang interaksi tempat seseorang dapat menyusun hubungan-hubungan face to face dalam lingkungannya. Sebuah setting kehidupan yang sudah terbentuk secara langsung akan memproduksi nilai-nilai. Nilai- nilai tersebut yang akan menjadi alasan hubungan mereka atau menjadi acuan tingkah laku mereka unduh 2 Maret 2012).
Lebih jauh lagi, kearifan lokal menurut Ridwan (2008), merupakan pengetahuan yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan damai. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak sekadar sebagai acuan tingkah-laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat penuh keadaban.
Teezzi, Marchettini, dan Rosini (2008), mengatakan bahwa akhir dari sedimentasi kearifan lokal ini akan mewujud menjadi tradisi atau agama. Dalam masyarakat kita, kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam nyanyian, pepatah,
sasanti , petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno, yang melekat dalam perilaku sehari-
hari. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Nilai-nilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka sehari-hari (Ridwan dalam http://ibda.files. wordpress.com/2008/04/2-landasan-keilmuan-kearifan-lokal.pdf , diunduh pada tanggal 21 November 2011).
Menurut Sibarani (2012) ada tiga hal yang saling terkait jika membicarakan tradisi lisan, yaitu mengingat masa lalu, memahami masa kini, dan mempersiapkan masa depan. Oleh karena itu, para penggiat kebudayaan diharapkan dapat menggali, menjelaskan, dan menginterpretasi secara ilmiah warisan budaya leluhur (masa lalu) yang dapat dimanfaatkan untuk menjawab permasalahan masa kini serta untuk mempersiapkan generasi masa depan. Penggalian dan pemahaman kearifan lokal tersebut sangat tergantung pada metode penelitian tradisi lisan sebagai sumber kearifan lokal tersebut. Dalam makalah ini, Sibarani membahas jenis-jenis kearifan lokal yang terdapat dalam tradisi lisan dan cara mengungkapkannya, serta beberapa aspek metode penelitian tradisi lisan.
Lebih jauh Sibarani (2012:109-123) mengemukakan bahwa kearifan lokal telah lama menjadi bahan kajian dalam dunia filsafat. Kaum sofis sejak abad kelima Seb. M.
Telah menamai dirinya sebagai sophist yang berarti orang yang bijaksana atau kaum yang arif. Awal kajian filsafat juga dilandasi oleh kajian mengenai kearifan atau kebijaksanaan. Saat itu kajian tentang kebijaksanaan dirasakan sangat penting untuk mengatur tata kehidupan manusia.
Kearifan lokal dan pengetahuan masyarakat setempat yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan menciptakan kedamaian di masyarakat pada dasarnya adalah kebenaran yang diidam-idamkan oleh masyarakat. Kebenaran ini selanjutnya disebut dengan kebenaran pragmatis. Secara praktis, pengetahuan asli dan kearifan lokal merupakan kebenaran yang sesungguhnya karena benar-benar bermanfaat pada kehidupan manusia. Filsafat kemudian diartikan sebagai pencarian kebenaran sesungguhnya yang dapat dimanfaatkan untuk menata kehidupan manusia secara arif.
Upaya menemukan identitas bangsa yang baru atas dasar kearifan lokal merupakan hal yang penting demi penyatuan budaya bangsa di atas dasar identitas daerah-daerah Nusantara (Sayuti, 2005). Dalam kaitan ini, kearifan lokal yang terkandung dalam sistem seluruh budaya daerah atau etnik yang sudah lama hidup dan berkembang adalah menjadi unsur budaya bangsa yang harus dipelihara dan diupayakan untuk diintegrasikan menjadi budaya baru bangsa sendiri secara keseluruhan.
Pengembangan kearifan-kearifan lokal yang relevan dan kontekstual memiliki arti penting bagi berkembangnya suatu bangsa, terutama jika dilihat dari sudut ketahanan budaya, di samping juga mempunyai arti penting bagi identitas daerah itu sendiri. Kearifan lokal yang juga meniscayakan adanya muatan budaya masa lalu, dengan demikian, juga berfungsi untuk membangun kerinduan pada kehidupan nenek moyang, yang menjadi tonggak kehidupan masa sekarang.
Menurut pendapat penulis, kearifan lokal juga terdapat di dalam konteks pengamalan mantra melaut dalam kebudayaan suku Melayu Serdang di Aras Kabu. Di antaranya adalah sebagaii berikut. (a) Terdapat kearifan lokal bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan yang harus mempertanggungjawabkan hidupnya nanti di hadapan Tuhan, (b) di dalamn mantra melaut suku Melayu Aras Kabu ini, terdapat sistem kosmologi, bahwa manusia adalah bahagian dari alam, jadi jangan mengeksploitasi alam berdasarkan keinginan manusia, tetapi pelihara keseimbangan dengan kepentingn makhluk-makhluk lain, (c) di dalam aktivitas mantra melaut suku Melayu Aras Kabu ini terdapat pula kearifan lokal tentang bagaimana cara menangkap ikan di laut dan memfungsikannya untuk kepentingan ekonomi nelayan, (d) adanya kearifan bagaimana bekerja secara berkelompok dan membentuk organisasi nelayan secara tradisional, yang merupakan ekspresi bahwa manusia termasuk nelayan adalah makhluk sosial, (e) di dalam mantra melaut ini terekspresi adat Melayu yang bersumber dari konsep adat bersendikan syarak dan syarak bersendikan kitabullah, artinya orang Melayu adalah orang beradat yang mendasarkan kegiatannya menurut ajaran agama Islam yang dibumikan menurut keadaan budaya orang Melayu.
Kearifan lokal dalam budaya suku Melayu Serdang di Aras Kabu ini bukan hanya terdapat di dalam mantra melaut saja, tetapi juga dalam semua isi kebudayaan dan wujud kebudayaan Melayu. Misalnya dalam bahasa, ekonomi, pengetahuan, organisasi sosial, kesenian, teknologi, dan sistem religi. Kearifan lokal ini bisa juga dilihat memalui gagasan-gagasan kebudayaan yang terkompilasi dalam adat Melayu. Juga dapat dilihat melalui kegiatan sosial sehari-hari seperti pola-pola berinteraksi, silaturrahmi, kenduri, komunikasi dalam pantun, gurindam, nazam, dan lain-lainnya. Begitu juga dapat dilihat melalui benda-benda budaya masyarakat Melayu seperti rumah, sampan kolek, perahu, ramuan rinjisan, tepung tawar, sirih genggam, tumbuk lada, keris, dan lain-lainnya. Kesemua ini dapat dilihat secara menyeluruh sebagai bahagian dari kearifan lokal etnik Melayu, termasuk melayu Serdang di Aras Kabu.
2.5 Semiotika
2.5.1 Pengertian Semiotika
Semiotika berasal dari bahasa Yunani semeion, yang berarti tanda. Semiotika adalah cabang ihnu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda (Zoest, 1993:l). Semiotika mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.
Saussure seperti yang dikutip oleh Piliang (2003:256) mendefinisikan semiotika sebagai ilmu yang mengkaji tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Secara implisit dalam definisi Saussure ada prinsip bahwa semiotika sangat menyandarkan dirinya pada aturan main (rule) atau kode sosial (social code) yang berlaku di dalam masyarakat sehingga tanda dapat dipahami maknanya secara kolektif.
Pada awalnya semiotika merupakan ilmu yang mempelajari setiap sistem tanda yang digunakan dalam masyarakat manusia. Dengan kata lain, semiotika adalah ilmu dan berdasarkan atas sistem tanda-tanda. Teeuw (1982:50) mengatakan bahwa semiotika merupakan tanda sebagai tindak komunikasi.
Tokoh yang dianggap pendiri semiotika adalah dua orang yang hidup sezaman, yang bekerja secara terpisah dan dalam lapangan yang tidak sama (tidak saling mempengaruhi). Tokoh semiotika itu adalah seoraog ahli linguistik berkebangsarn Swiss, Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan seorang ahli filsafat Amerika Serikat, Charles Sanders Peirce (1839-1914). Saussure menyebut ilmu itu dengan nama semiologi, sedangkan Peirce semiotika. Kedua istilah ini mengandung pengertian yang persis sama, walaupun penggunaan salah satu dari kedua istilah tersebut biasanya menunjukkan pemikiran pemakainya.
Wardoyo (2005: l) mengatakan semiotics is the science of signs. Masalahnya adalah bagaimdna tanda (sign) dapat diidentifikasikan. Untuk dapat mengidentifikasi sebuah tanda terlebih dahulu harus dipahami hakikat dari sebuah tanda (sign). Dalam semiotika, tanda bisa berupa kata-kata, kalimat, atau gambar yang bisa menghasilkan makna.
Dalam hubungannya dengan tanda, Saussure mempunyai peranan penting dalam mengidentifikasikan sebuah tanda. Saussure dalam Pilliang (2003:90) menjelaskan “tanda" sebagai kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari dua bidang seperti halnya selembar kertas, yaitu bidang penanda (signifier) untuk menjelaskan bentuk atau ekspresi dan bidang petanda (signified) untuk menjelaskan konsep atau makna. Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan pemilahan antara penanda (signifier) dan petanda (signfied). Penanda wujud materi tanda tersebut. Petanda adalah konsep yang diwakili oleh penanda yaitu artinya. Contohnya kata “ayah” merupakan tanda berupa satuan bunyi yang menandai arti “orang tua laki-laki.” perlunya semacam konvensi sosial (social cowention) di kalangan komunitas bahasa, yang mengatur makna sebuah tanda. Satu kata mempunyai makna tertentu disebabkan adanya kesepakatan sosial di antara komunitas pengguna bahasa (Pilliang, 2004:90).
Sementara itu, seorang tokoh semiotika lain, Charles Sanders Peirce (1839- 1914) mengemukakan pendapatnya mengenai tanda. Menurut Peirce, dalam pengertian tanda, maka terdapat dua prinsip, yaitu penanda (signifier) atau yang menandai dan petanda (signified) atau yang merupakan arti tanda. Berdasarkan hubungan antara penanda dan petanda, tanda terdiri atas tiga jenis. Jenis-jenis tanda tersebut adalah ikon, indeks, dan simbol (Zoest, 1993:23-24). Ikon adalah tanda yang memperlihatkan adanya hubungan yang bersifat alami antara penanda dengan petandanya. Hubungan itu adalah hubungan persamaan. Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan kausal (sebab- akibat) antara penanda dengan petandanya. Simbol adalah tanda yang tidak memiliki hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya, melainkan hubungan yang ada bersifat arbitrer. Ketiga tanda tersebut merupakan peralatan semiotika yang fundamental.
Lebih lanjut, Peirce mengemukakan bahwa proses semiosis terjadi karena adanya tiga hal, yaitu ground, representamen, dan interpretan. Peirce melihat tanda dengan mata rantai tanda yang tumbuh. Oleh karena itu, Peirce sengat lekat dengan konsep pragmatisme. Pragmatisme sebagai teori makna menekankan hal-hal yang dapat ditangkap dan mungkin berdasarkan pengalaman subjek. Dasar pemikiran tersebut didasarkan dijabarkan dalam bentuk tripihak (triadic) yakni setiap gejala secara fenomenologis mencakup tiga hal. Pertama, bagaimana sesuatu menggejala tanpa harus mengacu pada sesuafu yang lain (qualisigns, firstness, initselfness). Kedua, bagaimana hubungan gejala tersebut dengan realitas di luar dirinya yang hadir dalam ruang dan dimediasi, direpresentasi, dikomunikasikan, dan “ditandai" (legisigns, thirdness/
inbetweenness ) (lihat Christomy, 2004:115-116).
2.5.2 Teori dan Metode Semiotika Michael Riffaterre
Dalam menginterpretasikan makna lirik (tekstual) mantra melaut suku melayu Aras kabu ini, penulis menggunakan teori dan metode semiotika yang ditawarkan seorang ahli sastra yaitu Riffaterre. Menurutnya, sistem bahasa dan sastra merupakan dua aspek penting dalam semiotika. Karya sastra merupakan sistem tanda yang bermakna yang mempergunakan medium bahasa. Preminger (1974:981) mengatakan bahwa bahasa merupakan sistem semiotika tingkat pertama yang sudah mempunyai arti (meaning). Dalarn karya sastra, arti bahasa ditingkatkan menjadi makna (significance) sehingga karya sastra itu merupakan sistem semiotika tingkat kedua.
Riffaterre (1978:166) mengatakan bahwa pembacalah yang bertugas untuk memberikan makna tanda-tanda yang terdapat pada karya sastra. Tanda-tanda itu akan memiliki makna setelah dilakukan pembacaan dan pemaknaan terhadapnya. Sesungguhnya, dalam pikiran pembacalah transfer semiotika dari tanda ke tanda terjadi. Dalarn Semiotics of Poetry (1978), Michael Riffaterre mengemukakan empat prinsip dasar dalaur pemaknaan puisi secara semiotika. Keempat prinsip dasar itu adalah sebagai berikut.
2.5.2.1 Ketidaklangsungan Ekspresi
Dikemukakan oleh Riffaterre (1978:1) bahwa puisi itu dari dahulu hingga dari periode ke periode. Ia menganggap bawa puisi adalah sebagai salah satu wujud aktivitas bahasa Puisi berbicara mengenai sesuatu hat dengan maksud yang lain. Artinya, puisi berbicara secara tidak langsung sehingga bahasa yang digunakan pun berbeda dari bahasa sehari-hari. Jadi, ketidaklangsungan ekspresi itu merupakan konvensi sastra pada umumnya Karya sastra itu merupakan ekspresi yang tidak langsung, yaitu menyatakan pikiran atau gagasan secara tidak langsung, tetapi dengan cara lain (Pradopo, 2005:124). Ketidaklangsungan ekspresi itu menurut Riffaterre (1978:2) disebabkan oleh tiga hal, yaitu penggantian arti (displacing of meaning), penympangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning).
Ketiga jenis ketidaklangsungan ini jelas-jelas akan mengancam representasi kenyataan atau apa yang disebut dengan mimesis. Landasan mimesis adalah hubungan langsung antara kata dengan objek. Pada tataran ini, masih terdapat kekosongan makna tanda yang perlu diisi dengan melihat bentuk ketidaklangsungan ekspresi untuk menghasilkan sebuah pemaknaan baru (significance).
(1) Penggantian arti (displacing of meaning). Penggantian arti ini menurut Riffaterre disebabkan oleh penggunaan metafora dan metonimi dalam karya sastra.
Metafora dan metonimi ini dalam arti luasnya untuk menyebut bahasa kiasan pada umumnya Jadi, tidak terbatas pada bahasa kiasan metafora dan metonimi saja. Hal ini disebabkan oleh metafora dan metonimi itu merupakan bahasa kiasan yang sangat penting hingga dapat mengganti bahasa kiasan lainnya. Di samping itu, ada jenis bahasa kiasan yang lain yaitu simile (perbandingan), personifikasi, sinekdoke, epos, dan alegori. Metafora itu bahasa kiasan yang mengumpamakan atau mengganti sesuatu hal dengan tidak mempergunakan kata pembanding bagai, seperti, bak, dan sebagainya. Metonimi merupakan bahasa kiasan yang digunakan dengan memakai nama atau ciri
(2) Penyimpangan arti (distorting of meaning). Penyimpangan bahasa secara evaluatif atau secara emotif dari batrasa biasa ditujukan untuk membentuk kejelasan, penekanan, hiasan, humor, atau sesuatu efek yang lain. Riffatere (1978:2) mengemukakan bahwa penyimpangan arti disebabkan oleh tiga hal, yaitu pertama oleh arnbiguitas, kedua oleh kontadiksi, dan ketiga oleh nonsense.
Pertama, ambiguitas disebabkan oleh bahasa sastra itu berarti ganda (polyinterpretable), lebih-lebih bahasa puisi. Kegandaan arti itu dapat berupa kegandaan arti sebuah kata, frase, ataupun kalimat. Kedua kontradiksi berarti mengandung pertentangan dibebabkan oleh paradots dan atau ironi. Paradoks merupakan suatu pernyataan yang berlawanan dengan dirinya sendiri, atau bertentangan dengan pendapat umum, tetapi kalau diperhatikan lebih dalam sesungguhnya mengandung suatu kebenaran. Sedangkan ironi menyatakan sesuatu secara berkebalikan, biasanya untuk mengejek atau menyindir suatu keadaan.
Ketiga, nonsense adalah kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti sebab hanya berupa rangkaian bunyi, tidak terdapat dalam kamus. Akan tetapi, puisi
nonsense itu memiliki makna. Makna itu timbul karena adanya konvensi sastra,
misalnya konvensi mantra. Nonsense berfungsi untuk menimbulkan kekuatan gaib atau magis, untuk mempengaruhi dunia gaib. Nonsense banyak terdapat dalam puisi mantra atau puisi yang bergaya mantra. Salah satu contohnya adalah mantra melaut suku Melayu Aras Kabu yang fungsinya untuk mengatasi angin mati, seperti berikut.
Bismillah Oiii.. sang penyejuk Singgalah kau barang sekejap Bila tak hendak Maka aku tahu asalmu jadi Berkat kata Laillahaillah …
Mantra di atas terdiri dari kata-kata perumpamaan yang dapat menimbulkan suasana aneh dan suasana gaib. Perumpamaan yang digunakan adalah nama-nama khusus yang dapat membangkitkan efek magis. Penggunaan nama-nama seperti yang terdapat dalam mantra di atas memiliki makna sebagai omng yang diyakini rulmpu memberi pertolongan terhadap si pembaca mantra.
(3) Penciptaan arti (creating of meaning). Penciptaan arti ditimbulkan melalui
enjabement, homologue , dan tipografi (Riffaterre, 1978:2). Penciptaan arti ini
menrpakan konvensi kepuitisan yang berupa bentuk visual yang secara linguistik tidak mempunyai arti, tetapi menimbulkan makna di dalam puisi. Jadi, penciptaan arti ini merupakan organisasi teks di luar linguistik. Sebagai contoh adalah mantra melaut suku Melayu Aras Kabu berikut ini.
Bismillahirahmanirahim Raja Anggun Raja Turun Raja Merurun Aaaa ...
Mantra di atas juga bisa berfirngsi untuk mengatasi badai laut. Pada akhir larik hanya terdapadat fonem /A/. Secara linguistik larik terakhir ini tidak memiliki arti.
Namun, dalam kesatuan isi mantra "A" mengandung makna konotatif, yaitu sebuah perintah. Perintah itu ditujukan pada satu wujud yang tidak terlihat. Dalam mantra di atas, "A" diartikan dengan “kembalilah ke asalmu.”
Contoh lain adalah puisi “Tragedi Winka dan Sihka" karya Sutardji Calzoum Bachri. Puisi ini lebih menekankan pada segi tipografi yang disusun secara zigg-zag.
Puisi ini hanya terdiri dari dua kata: kawin dan kasih. Kedua kata itu diputus-putus dan dibalik secara metatesis, secara Iinguistik tidak ada artinya kecuali kawin dan kasih itu.
Dalam puisi, kata kasih dan kawin mengandung arti konotatif yaitu perkawinan itu menimbulkan angan-angan hidup.
Tipografi zig-zag itu memberi sugesti bahwa perkawinan yang semula bermakna angan-angan kebahagiaan hidup, setelah melalui jalan yang berliku-Iiku dan penuh bahaya pada akhirnya menemui bencana. Perkawinan itu akhirnya berbuntut menjadi sebuah tragedi (Pradopo, 2005:131).
2.5.2.2 Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik
Untuk dapat memberi makna secara semiotika, pertama kali dapat dilakukan dengan heuristik dan hermeneutik atau retoaktif (Riffaterre, 1978:5-6). Konsep ini akan diterapkan sebagai langkah awal dalam usaha untuk makna yang terkandung dalam mantra melaut suku Melayu Aras Kabu.
Pembacaan heuristik menurut Riffaterre (1978:5) merupakan pembacaan tingkat pertama untuk memahami makna secara linguistik, sedangkan pembacaan hermeneutik merupakan pembacaan tingkat kedua untuk menginterpretasi makna secara utuh. Dalam pembacaan ini, pembaca lebih memahami apa yang sudah dia baca untuk kemudian memodifikasi pemahamannya tentang hal itu.
Menurut Santosa (2004: 231) bahwa pembacaan heuristik adalah pembacaan yang didasarkan pada konvensi bahasa yang bersifat mimetik (tiruan alam) dan membangun serangkaian arti yang heterogen, berserak-serakan atau tidak gramatikal. HaI ini dapat terjadi karena kajian didasarkan pada pemahaman arti kebahasaan yang bersifat lugas atau berdasarkan arti denotatif dari suatu bahasa. Sedangkan Pradopo (2005:135) memberi definisi parnbacaan heuristik yaitu pembacaan berdasarkan struktur bahasanya atau secara semiotika adalah berdasarkan konvensi sistem semiotika tingkat pertama.
Pembacaan hemteneutik menurut Santosa (2004:234) adalah pembacaan yang itu, Pradopo (2005:137) mengartikan pembacaan hermeneutik sebagai pembacaan berdasarkan konvensi sistem semiotika tingkat kedua (makna konotasi). Pada tahap ini, pembaca hanrs meninjau kembali dan membandingkan hal-hal yang telah dibacanya pada tahap pembacaan heuristik. Dengan cara demikian, pembaca dapat memodifikasi pemahamannya dengan pemahaman yang terjadi dalam pembacaan hermeneutik.
Puisi harus dipahami sebagai sebuah satuan yang bersifat struktural atau bangunan yang tersusun dari berbagai unsur kebahasaan. Oleh karena itu, pembacaan hermeneutik pun dilakukan secara struktural atau bangunan yang tersusun dari berbagai unsur kebahasaan. Artinya, pembacaan itu bergerak secara bolak-balik dari suatu bagian ke keseluruhan dan kembali ke bagian yang lain dan seterusnya. Pembacaan ini dilakukan pada interpretasi hipogram potensial, hipogram aktual, model, dan matriks (lihat Riffaterre, 1978:5). Proses pembacaan yang dimaksudkan oleh Riffaterre (dalam Selden, 1993:126) dapat diringkas sebagai berikut. (1) Membaca untuk arti biasa. (2) Menyoroti unsur-unsur yang tampak tidak gramatikal dan yang merintangi penafsiran mimetik yang biasa. (3) Menemukan hipogram, yaitu mendapat ekspresi yang tidak biasa dalam teks. (4) Menurunkan matriks dari hipogram, yaitu menemukan sebuah pemyataan tunggal atau sebuah kata yang dapat menghasilkan hipogram dalam teks.
2.5.2.3 Matriks dan Model
Riffaterre menjelaskan bahwa memahami sebuah puisi sama dengan melihat sebuah donat. Terdapat ruang kosong di tengah-tengah yang berfungsi untuk menunjang dan menopang terciptanya daging donat di sekeliling ruang kosong itu. Dalam puisi, ruang kosong ini merupakan pusat pemaknaan yang disebut dengan matriks (1978:13).
Matriks tidak hadir dalam sebuah teks, namun aktualisasi dari matriks itu dapat hadir kesatuan sebuah sajak (Selden, 1993:126). Hal ini senada dengan konsep yang dikemukakan oleh Indrastuti (2007:4) bahwa matriks merupakan konsep abstrak yang tidak pemah teraktualisasi. Konsep ini dapat dirangkum dalam satu kata atau frase.
Aktualisasi pertanda dari matriks adalah model.
Aktualisasi pertama itu berupa kata atau kalimat tertentu yang khas dan puitis. Kekhasan dan kepuitisan model itu mampu membedakan kata atau kalimat-kalimat lain dalam puisi. Eksistensi kata itu dikatakan bila tanda bersifat hipogamatik dan karenanya monumental. Berdasarkan hubungan antara matriks dengan model, dapat dikatakan bahwa matriks merupakan motor penggerak derivasi tekstual, sedangkan model menjadi pembatas derivasi itu. Dalam praktiknya, matriks yang dimaksud senantiasa terwujud dalam bentuk-bentuk varian yang berurutan. Bentuk varian itu ditentukan oleh model.
Dengan demikian, konsep semiotika Riffaterre yang akan digunakan dalam kajian ini dapat membantu untuk menemukan makna yang utuh dan menyeluruh dalam mantra melaut suku Melayu Aras Kabu.
2.5.2.4 Hubungan Intertekstual Karya sastra tidak lahir dalam situasi kosong dan tidak lepas dari sejarah sastra.
Artinya, sebelum karya sastra dicipta, sudah ada karya sastra yang mendahuluinya. Pengarang tidak begltu saja mencipta, melainkan ia menerapkan konvensi-konvensi yang sudah ada. Di samping itu, ia juga benrsatra menentang atau menyimpangi konvensi yang sudah ada. Karya sastra selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan revolusi, antara yang lama dengan yang baru (Teeuw, 1980:l2). Oleh karena itu, untuk memberi makna karya sastra maka prinsip kesejarahan itu harus diperhatikan. hubungan kesejarahannya dengan teks lain yang turut menunjang keberadaannya.
Riffaterre (1978:11) mengemukakan bahwa sebuah karya sastra baru mempunyai makna penuh dalam hubungirnnya atau pertentangannya dengan karya sastra lain. Ini merupakan prinsip intertukstualitas yang ditekankan oleh Riffaterre. Prinsip intertekstual adalah prinsip hubungan antarteks. Sebuah teks tidak dapat dilepaskan sama sekali dari teks yang lain. Teks dalam pengertian umum adalah dunia semesta ini, bukan hanya teks tertulis atau teks lisan. Adat-istiadat kebudayaan, film, drama dan lain sebagainya secara pengertian umum adalah teks. Oleh karena itu, karya sastra tidak dapat lepas dari hal-hal yang menjadi latar penciptannya, baik secara umum maupun khusus.
Sebuah karya sastra seringkali berdasar atau berlatar pada karya sastra yang lain, baik karena menentang atau meneruskan karya sastra yang menjadi latar itu. Karya sastra yang menjadi dasar atau latar pencipkan karya sastra yang kemudian oleh Riffaterre (1978:1l) disebut dengan hipogram. Sebuah karya sastra akan dapat diberi makna secara hakiki dalam kontrasnya dengan hipogramnya (Teeuw, 1983:65).
Julia Kristeva dalam Pradopo (2005: 132) mengemukakan bahwa tiap teks itu, termasuk teks sastra merupakan mosaik kutipan-kutipan dan merupakan penyerapan serta transformasi teks-teks lain. Secara khusus, teks yang menyerap dan menfransformasikan hipogram dapat disebut sebagai teks transformasi. Untuk mendapatkan makna hakiki dari sebuah karya sastra digunakan metode intertekstual, yaitu membandingkan, menjajarkan, dan mengkontraskan sebuah teks transformasi dengan hipogramnya Dengan demikian, sebuah karya sastra hanya dapat dibaca dalam kaitannya dengan teks lain.
Untuk mengkaji aktivitas sosial yang dilakukan oleh nelayan Aras Kabu terutama yang berkaitan dengan penggunaan mantra, maka penulis mengkaji fenomena ini dengan menggunakan teori semiotika sosial, terutama yang ditawarkan oleh Halliday. Ilmu semiotika adalah kajian tentang tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda. Menurut Sobur (dalam Sartini, 2011), bahwa semiotika atau semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya diturunkan dari kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan perhatiannya pada simtomatologi dan diagnostik inferensial.
Bahasa adalah interaksi, dan semua interaksi adalah multimodal. Implikasinya adalah bahasa adalah semiotika multimodal karena merupakan tanda atau simbol yang dihasilkan dalam komunikasi manusia. Ilmu semiotika meliputi studi seluruh tanda- tanda tersebut baik tanda visual, tanda yang dapat berupa imaji dalam lukisan dan foto dalam seni dan fotografi, tanda pada kata-kata, bunyi-bunyi, imaji bahasa tubuh, ekspresi wajah, warna, dan semua unsur-unsur komunikasi. Imaji adalah gambaran yang terbentuk dari sebuah objek visual. Gramatika didalam bahasa menjelaskan kata, klausa, frasa, kalimat, dan teks. Sedangkan gramatika visual memperlihatkan orang, tempat, dan benda-benda dikombinasikan dengan kompleksitas dan perluasan penjelasan visual dari sebuah objek. Fokus gramatika visual adalah pada deskripsi estetika imaji dan cara komposisi imaji yang digunakan untuk menarik perhatian penyaksi atau pembaca (Kress dan van Leeuwen, 1996:1).
Grammar goes beyond formal rules of correctness. It is a means of
representing patterns of experience…. It enables human beings to build a
mental picture of reality, to make sense of their experience of what goes on
around them and inside them (Halliday, 1985: 101)Analoginya adalah struktur visual merealisasikan makna-makna sebagaimana struktur linguistik melakukannya, dengan demikian menyebabkan berbeda interpretasi dari pengalaman dan berbeda bentuk interaksi sosial. Makna dapat direalisasikan dalam bahasa, sedangkan komunikasi visual diekspresikan kedua-duanya baik dalam verbal maupun dalam visual. Walaupun keduanya berbeda, misalnya bahasa melalui pilihan antara kelas kata dan semantik, namun di dalam komunikasi visual ekspresi dilakukan melalui sistem pilih, pada beberapa hal seperti: penggunaan warna dan struktur komposisi yang menonjol. Bahasa visual belum dipahami secara universal karena bahasa visual itu spesifik secara budaya, misalnya komunikasi visual dalam dunia barat berbeda dengan dalam dunia timur.
Suatu jaringan sistem makna dalam sebuah budaya masyarakat mempunyai sumber makna semiotika yang kaya dan beragam. Santoso (2009: 9) mengatakan suatu kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat mempunyai nilai-nilai dan norma- norma kultural yang diperoleh melalui warisan nenek moyang mereka dan juga bisa melalui kontak-kontak sosio-kultural dengan masyarakat lainnya. Nilai-nilai dan norma- norma dari masyarakat lain tersebut baik langsung maupun tidak langsung memengaruhi nilai-nilai dan norma-norma yang dimiliki oleh suatu masyarakat. Sebagai dampaknya nilai-nilai dan norma-norma kultural ini cenderung untuk berubah secara terus menerus, apalagi dunia pada saat ini semakin terbuka sehingga batas-batas kultur, daerah, wilayah, dan negara menjadi tidak tampak.
Sebagaimana yang telah disinggung Santoso di atas mengenai peristiwa- peristiwa kebudayaan dan sumber tesebut merupakan makna semiotika karena manusia sebagai makhluk yang hidup di dalam masyarakat berperan melakukan interaksi dan komunikasi agar dapat saling memahami makna tanda komunikasi tersebut. Supaya tanda itu bisa dipahami secara universal, dibutuhkan pula konsep yang universal untuk menghindari salah pengertian.
Menurut Kress dan Van Leeuwen dalam Handayani (2012) ada tiga aliran besar non-linguistik sebagai sarana komunikasi di abad sekarang ini. Yang pertama adalah Aliran Praha (Prague School) pada tahun 1930-an dan awal 1940-an yang dikembangkan oleh pakar linguistik formalisme Rusia. Konsep yang menonjol diterapkan ke dalam bahasa adalah bentuk fonologi dan sintaksis melalui deviasi untuk tujuan artistik, pada kajian seni (Mukarovsky), teater (Honzl), sinema (Jakobson), dan kostum (Bogatyrev). Setiap sistem-sistem semiotika dapat memenuhi fungsi komunikasi yang sama (fungsi refensial dan fungsi puitis).
Aliran kedua diperkenalkan oleh aliran Paris (Paris School) pada tahun 1960-an dan 1970-an, yang menerapkan ide de Saussure, linguis lainnya seperti Schefer, fotografi (Barthes), bidang fashion (Barthes), bidang sinema (Metz), bidang komik (Frenault-Deruelle), termasuk juga aliran Pierce. Konsep yang dikembangkan aliran ini pada studi kajian media, seni, dan desain selalunya disebut sebagai semiologi, juga dikatakan post-strukturalisme. Istilah-istilah semiotika “langue” dan “parole,” signifier” dan “signified,” “arbitrary” dan “motivated,” “sign”, “icons,” “indexes,” dan “symbols,” “syntagmatics” dan “paradigmatics.”
Aliran ketiga dinamakan semiotika sosial social semiotics) yang diperkenalkan oleh Halliday di Australia tahun 70-an dikenal dengan nama teori linguistik Sistemik Fungsional (SFL). Semiotika sosial ini diterapkan pada kajian sastra oleh Threadgold, Thibault dan kawan-kawan, semiotika visual oleh O’Toole, Kress, van Leeuwen, musik oleh van Leeuwen dan sarana semiotika oleh Hodge dan Kress. Konsep semiotika sosial adalah bahwa hubungan setiap manusia dengan lingkungan manusia penuh dengan arti dan arti-arti ini dipelajari melalui interaksi seseorang dengan orang lain yang melibatkan lingkungan arti tersebut. Potensi arti dalam proses belajar menciptakan sistem bahasa sebagai sistem sosial yang terdiri atas struktur ideologi, budaya, situasi,
Pendekatan semiotika sosial menurut Kress dan van Leeuwen dalam Handayani (2012) menekankan pada dua hal penting. Yang pertama, komunikasi memerlukan partisipan untuk membuat pesan-pesan secara maksimal untuk dipahami pada konteks tertentu, kemudian memilih bentuk ekspresi yang diyakini secara maksimal, transparan kepada partisipan lainnya. Sebaliknya komunikasi terjadi pada struktur sosial yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan pada kekuasaan, dan hal ini mengakibatkan setiap partisipan memahami secara maksimal. Partisipan yang mempunyai kekuasaan dapat memaksakan partisipan lain mengikuti interpretasi yang kuat dengan pemahaman yang maksimal, sehingga partisipan tersebut mampu melakukan atau menghasilkan pesan- pesan terbaik dengan usaha yang maksimal untuk memberi interpretasi. Sebaliknya partisipan yang tidak mempunyai kekuasaan harus bekerja keras untuk memahami pesan-pesan penting tersebut secara maksimal. Yang kedua, representasi memerlukan pembuat tanda memilih bentuk-bentuk untuk ekspresi yang ada didalam pikiran mereka, membentuk pandangan apa yang menurut mereka cocok pada tempatnya dan dapat dipercayai pada konteks yang diberikan.