BAB II KONSEP, TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep - Eufemisme Dalam Upacara Adat Perkawinan Pada Masyarakat Melayu Langkat

BAB II KONSEP, TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep

  Penelitian ini berhubungan dengan penggunaan bahasa oleh masyarakat Melayu Langkat, yakni penggunaan bahasa untuk memperhalus makna menghindari tabu atau tidak sopan. Kajian ini disebut dengan eufemisme. Di bawah ini dijelaskan hal-hal yang terkait dengan penelitian ini, yaitu: (1) Jati Diri Orang Melayu, (2) Kearifan Lokal, (3) Konsep Adat Perkawinan Masyarakat Melayu

2.1.1 Jati Diri Orang Melayu

  Banyak orang memiliki pamahaman yang berbeda-beda tentang pengertian “Melayu”. Hal ini terjadi karena pengertian Melayu didasarkan atas hal yang berbeda pula. Ada sebagian orang yang memandang Melayu dari pengertian “ras”, ada pula pengertian Melayu berdasarkan kepercayaan atau religi, yaitu “sesama agama Islam”. Pengertian berbeda ini terjadi karena orang Melayu banyak mendiami wilayah yang berbeda-beda. Wilayah yang didiami orang Melayu meliputi: Thailand Selatan, Malaysia Barat dan Timur, Singapura, Brunei, Kalimantan Barat, Tamiang (Aceh Timur), pesisir Timur Sumatera Utara, Riau, Jambi dan pesisir Palembang (Sinar, 2002: 1)

  Pada abad ke-18 orang Barat, khususnya orang Belanda dan orang Inggris menganggap semua penduduk nusantara dan semenanjung Malaysia

  10 disebut “Bangsa Melayu”. Hal ini terjadi karena mereka melihat persamaan warna kulit, postur tubuh yang relatif sama, dan menguasai atau memahami bahasa Melayu secara bersama.

  Pada tahun 1400 M, pusat imperium Melayu berada di Malaka. Pada saat itu terbentuklah suatu wadah baru bagi orang Islam untuk dapat lebih berkembang. Perkembaangan Melayu dimulai dari Malaka hingga ke penjuru nusantara. Penyebaran Melayu dilakukan dengan cara perdagaan dan dengan cara perkawinan dengan putri raja setempat. Dengan demikian, selain membentuk masyarakat Islam di tempat tersebut juga sekaligus membentuk budaya Melayu. Sejak saat itu defenisi jati diri Melayu dipersatukan oleh faktor cultural (budaya) yang sama, yaitu kesamaan agama Islam, bahasa, dan adat- istiadat Melayu (Sinar, 2002: 6)

  Di bawah ini dituliskan beberapa pendapat ahli dari dalam dan luar negeri mengenai siapa sesungguhnya orang Melayu itu, dikutip dari dan budaya melayu (diunduh tanggal 11-04-2012 pukul 15.00 WIB), yaitu:

  • berkulit sawo matang, berbadab sederhana dan tegap, selaku berlemah lembut serta berbudi bahasa.”

  Syed Husin Ali mengatakan, “Orang melayu dari segi lahiriah biasanya

  • bermakna cepat, deras dan tangkas, dengan pengertian bahwa orang melayu bersifat tangkas dan cerdas, segala tindak tanduk mereka cepat dan deras.

  Werndly, kata “melayu” berasal dari kata “melaju” dasar katanya laju

  Van der Tuuk berpendapat bahwa perkataan melayu berarti penyeberang, - pengertiannya bahwa orang melayu menyeberang atau menukar agamanya dari Hindu- Budha kepada Islam.

  Beberapa pendapat ahli tentang siapa sesungguhnya orang Melayu itu juga terdapat dalam Sinar (2002: 7-10), yaitu: Pendeta Simon mengatakan, “Banyak orang Batak naik haji ke Mekah

  • menyatakan dirinya sebagai Melayu”.
  • seluk pawang masa kini yang dianggap tahyul.

  Windstedt mengatakan bahwa orang Melayu Islam tidak menyukai cara

  • berbahasa Melayu, dan menganut adat Melayu.

  Judiht A. Nagata, mengatakan bahwa orang melayu beragama Islam,

  Berdasarkan beberapa pendapat tentang orang Melayu dapat dipahami bahwa orang Melayu sejak mereka memeluk agama Islam di abad ke-5 M adalah sebagai berikut: Seseorang disebut Melayu apabila orang tersebut beragama Islam, sehari-hari berbahasa Melayu dalam berkomunikasi, dan berbudaya atau beradat-istiadat Melayu. Adapun konsep adat Melayu itu adalah adat bersendikan hukum

  

syarak, syarak bersendikan kitabullah. Jadi orang Melayu adalah suku atau

etnis escara kultural dan bukan harus secara persamaan darah keturunan.

  Sistem kekeluargaan orang Melayu menganut adalah Parental (kedudukan pihak ibu dan bapak sama).

2.1.2 Kearifan Lokal

  Penggalian kearifan lokal suatu kebudayaan merupakan hal yang penting dalam usaha untuk tetap melestarikan kebudayaan tersebut. Di tengah arus moderenisasi yang terjadi saat ini yang meliputi hampir di setiap bidang kehidupan, memberi pengaruh yang luar biasa pada pola fikir dan budaya masyarakatnya. Moderenisasi yang mengglobal menyebabkan terjadinya pergeseran nilai budaya. Kebudayaan lokal yang dulu menjadi pandangan dan pegangan hidup masyarakat, perlahan-lahan terpinggirkan oleh pengaruh budaya asing yang berkembang begitu pesat. Pengaruh budaya asing tersebut masuk dan terus merongrong di dalam kehidupan masyarakat, baik di daerah perkotaan maupun di pedesaan.

  Menurut Balitbangsos Depsos RI (2005), kearifan lokal merupakan kematangan masyarakat ditingkat komunitas lokal yang tercermin dalam sikap, prilaku, dan cara pandang masyarakat yang kondusif di dalam mengembangkan potensi dan sumber lokal (material maupun nonmaterial) yang dapat dijadikan sebagai kekuatan di dalam mewujudkan perubahan ke arah yang lebih baik atau positif. Dari penyataan di atas dapat diartikan bahwa kearifan lokal adalah nilai budaya yang bersifat positif yang berasal dari kebudayaan masa lalu yang dapat dijadikan modal yang cukup potensial, untuk membentuk karakter bangsa yang pada akhirnya dapat dimanfaatkan untuk menciptakan perdamaian dan kesejahteraan rakyat Indonesia.

  Kearifan lokal (local wisdom) adalah kebijaksanaan atau pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat (Sibarani, 2012: 112). Kearifan lokal digali dari nilai-nilai luhur budaya yang dapat dimanfaatkan untuk kedamaian dan kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat pemilik nilai budaya tersebut.

  Pemertahanan nilai-nilai budaya di Indonesia biasanya dilakukan dengan cara konvensional yaitu diwariskan hanya secara lisan. Dengan menggunakan bahasa daerah masyarakat pemilik kebudayaan tersebut oleh orang-orang tua kepada anak-anak sampai kepada cucu mereka. Membangun kembali nilai-nilai budaya, etika dan agama perlu dilakukan dengan usaha membangun moral bangsa, kepribadian, karakter bangsa, intlektual, sosial, emosi, etis, dan banyak faktor pendukung lainnya (Sinar, 2011:6). Berdasarkan pernyataan di atas, dapat diartikan bahwa, untuk membangun kembali nilai- nilai budaya harus dengan pendidikan dan pembelajaran yang bernuansa agama dan budaya. Karena dengan cara demikian pemertahanan nilai budaya yang mengandung kearifan lokal akan dapat dipertahankan dan sekaligus dikembangkan secara berkelanjutan.

2.1.3 Nilai-nilai Agama yang Melatarbelakangai Kearifan Lokal Masyarakat Melayu Langkat

  Nilai-nilai kearifan lokal dalam masyarakat Melayu Langkat sesungguhnya berasal dari budaya mereka sendiri yang disesuaikan dengan ajaran agama Islam. Ajaran Islam berperan besar terhadap cara pandang, berpikir, dan bertindak bagi masyarakat Melayu Langkat. Kebudayaan Melayu Langkat tidak terlepas dari ajaran Islam yang meliputi akidah, akhal, dan ilmu dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Beberapa kearifan budaya Melayu yang didasarkan pada ajaran Islam dapat dilihat antara lain:

  1. Masyarakat atau orang Melayu mengutamakan “budi dan bahasa”, yang menunjukan sopan santun dan tingginya peradapan Melayu, seperti pada pantun:

  Jangan suka mencabut padi Kalau dicabut hilang buahnya Jangan suka menyebut budi Kalau disebut hilang tuahnya

  Dari pantun diatas dapat tergambar dengan jelas bahwa orang Melayu dilarang mengingat-ingat budi atau kebaikan yang telah dilakukannya, apalagi sampai menyebut-nyebutnya atau mengatakannya kepada orang lain Hal ini sejalan dengan ajaran Islam yang melarang umatnya berlaku riya atau suka menyebut-nyebut kebaikan yang pernah dilakukannya karena akan merusak nilai dari kebaikannya tersebut.

  2. Masyarakat atau Orang Melayu mengutamakan sifat Melayu, seperti terlihat pada ungkapan berikut ini:

  • Yang disebut sifat malu,

  malu membuka aib orang malu menyingkap baju di badan malu mencoreng syarak malu dilanda adat malu tertarung pada lembaga (Sinar, 2002: 22).

  Masyarakat melayu menurut adat kebiasannya sangat menjaga dan menjunjung tinggi rasa malu. Ada konsep di tengah-tengah Masyarakat Melayu yang mengatakan bahwa lebih baik mati dari pada menanggung malu. Menjaga atau menjunjung tinggi rasa malu sesungguhnya bersesuaian dengan ajaran Islam yang mengharuskan umatnya menjaga kehormatannya, seperti dikutip dalam hadits nabi “Jika engkau tidak malu maka berbuatlah sekehendak hatimu”.

  3. Masyarakat Melayu ramah dan menghormati tamu, seperti tergambar pada ungkapan sebagai berikut:

  selamat datang kami ucapkan mohon serta keberkahan dan keampunan kehadirat Allah kita tujukan semoga pertemuan mendapat kesyukuran

  Makna yang terdapat di dalam pantun tersebut adalah ucapan selamat datang dari tuan rumah kepada tamu yang telah sampai dengan selamat sampai ketujuan, tidak lupa pula mereka mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT serta memanjatkan doa agar pertemuan yang mereka selenggarakan mendapatkan ridho dan berkahNya. Selain ungkapan-ungkapan yang disajikan di atas, masih terdapat banyak lagi kearifan yang dimiliki oleh masyarakat Melayu Langkat yang isinya selalu berlandaskankan ajaran agama Islam.

2.1.4 Konsep Adat Perkawinan Masyarakat Melayu

  Perkawinan merupakan tahap kehidupan manusia yang bernilai sakral dan amat penting. Dibandingkan dengan fase kehidupan lainnya, fase perkawinan boleh dikatakan terasa sangat spesial. Perhatian pihak-pihak yang berkepentingan dengan acara tersebut tentu akan banyak tertuju kepadanya.

  Mulai dari memikirkan proses akan menikah, persiapannya, upacara pada hari perkawinan, hingga setelah upacara usai digelar.

  Dalam proses upacara perkawinan pada masyarakat Melayu Deli Serdang terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui oleh calon pengantin (Damanik repository.usu.ac.id). Tahapan-tahapan yang dimaksud adalah: 1.

  Risik Kecil

  Merisik kecil adalah mengutus seorang atau dua orang datang ke keluarga gadis dengan maksud untuk ‘memata-matai’ keadaan seorang gadis.

  

Merisik biasanya dilakukan oleh orang dekat keluarga lelaki, seperti abang

  ayah kandungnya, atau paman pemuda tersebut. Merisik dilakukan secara tidak resmi, merisik dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi untuk menghindari rasa malu bila pinangan dari pihak lelaki ditolak.

  2. Jamu Sukat

  Jamu sukat atau jamu sukut adalah pemberian sejumlah upah kepada

  penghulu telangkai atas jerih payahnya dalam melaksanakan tugasnya untuk menyukseskan proses upacara perkawinan mulai dari awal hingga akhir.

  3. Risik Besar Tujuan merisik besar adalah untuk memastikan bahwa gadis yang diminati oleh seorang lelaki atau pemuda masih ‘sendiri’. Ini penting, karena dalam Islam seseorang dilarang meminang tunangan orang lain. Di samping itu, adat ini juga bertujuan untuk menyelidiki latar belakang si gadis, baik yang berkaitan kemahiran dalam mengurus rumah tangga, adab, sopan-santun, tingkah laku, paras rupa serta pengetahuan agamanya.

  4. Meminang Setelah diketahui bahwa gadis tersebut masih sendiri, pihak keluarga lelaki akan menetapkan hari peminangan. Urusan peminangan akan dilakukan oleh keluarga terdekat pihak lelaki. Meminang ini dilakukan untuk menyatakan tujuan mereka yang sebenarnya secara resmi. Pihak calon pengantin laki-laki dipimpin oleh orang-orang tua yang berpengalaman dan telah berumah tangga. (Sinar, 1994: 65) Pada acara tersebut kedua belah pihak keluarga akan berunding untuk menetapkan tanggal pertunangan. Di samping itu, perbincangan juga membahas hantaran dan jumlah rombongan yang akan datang untuk upacara bertunangan. Hal ini dilakukan untuk mempermudah persiapan yang akan dilakukan oleh pihak perempuan.

  5. Ikat Janji Ikat janji adalah acara pengambilan keputusan untuk dibuat sebagai pengikat janji. Isi dari ikat janji itu antara lain : a.

  Berapa besar uang antaran, b. Berapa besarnya untuk biaya peralatan pengantin perempuan, c. Ikat tanda (biasanya rantai atau cincin), d. Pada hari pernikahan berlangsung, sejumlah uang harus disiapkan, seperti untuk uang buka hempang pintu, dan sebagainya.

  6. Akad Nikah Akad nikah merupakan satu acara paling penting dalam perkawinan masyarakat Melayu yang rata-ratanya beragama Islam. Akad nikah bukanlah merupakan adat, tetapi, lebih kepada ajaran agama dan merupakan puncak kesahihan perkawinan. Akad nikah dijalankan setelah semua perjanjian yang disepakati telah dilaksanakan oleh pihak lelaki. Perjanjian yang dimaksud seperti uang belanja, mas kawin dan barang lainnya. Di dalam upacara akad nikah, ayah si gadislah yang paling utama untuk menikahkan anaknya. Namun, akad nikah ini dapat diwakilkan kepada wali.

  7. Malam Berinai Curi Malam sebelum nikah dilakukan berinai, yaitu pada ujung jari tangan, kuku-kuku dan kaki dibungkus dengan inai (pacar). Inai adalah daun dari sejenis tumbuhan, ditumbuk halus dan dapat mengeluarkan warna merah.

  8. Malam Berinai Kecil Di dalam berinai ini calon pengantin dihiasi sesuai menurut pakaian perkawinan yaitu laki-laki pakai tengkuluk dan sebagainya, sedangkan pengantin perempuan memakai tudung, semuanya di atas pelaminan masing- masing dan dihadapan sanak famili. Setiap orang yang menepung tawari mencalitkan sedikit inai ke tapak tangan calon pengantin dan nanti jika di kamar barulah diadakan inai yang sebenarnya.

  9. Malam Berinai Besar, Sebelum berinai besar pihak perempuan mengantar inai kepada pihak pengantin laki-laki. Di dalam berinai besar itu oleh pihak calon pengantin, dipanggilah seluruh keluarga. Biasanya pada malam berinai besar juga diadakan pesta berinai, dimeriahkan dengan bunyi-bunyian dan tari- tarian. Dewasa ini demi efisiensi biaya, upacara berinai yang dilaksanakan hanya berinai besar saja.

Gambar 2.1 Malam Berinai Pada Pengantin Adat Melayu Langkat 10.

  Mengantar Pengantin Laki-laki,

  Mengantar pengantin laki-laki adalah upacara mengiringi pengantin

  laki-laki dari rumahnya menuju rumah pengantin perempuan. Orang yang mengantar pengantin laki-laki adalah orang tua dan keluarga dekat si pengantin laki-laki.

11. Hempang Pintu,

  Hempang pintu adalah dua pria (pemuda) berdiri di kiri dan kanan pintu, masing-masing memegang ujung kain panjang yang direntangkan.

  Maksud dan tujuan pihak keluarga pengantin perempuan menghadang pengantin laki-laki di depan pintu adalah untuk meminta sesuatu sebagai syarat agar pengantin pria dapat masuk kedalam rumah pengantin wanita.

Gambar 2.2 Hempang Pintu pada adat perkawinan Melayu Langkat 12.

  Bersanding,

  Bersanding adalah acara dimana pengantin laki-laki dan perempuan

  duduk bersanding dipelaminan. Pada acara ini kedua pengantin duduk dipelaminan ibarat seorang pangeran dan permaisuri sehari. Kedua pengantin dihias sehingga tampak gagah dan cantik mempesona.

13. Tepung Tawar

  Makna tepung tawar adalah memberikan doa restu bagi kedua pengantin dan seluruh keluarganya agar mendapat kebahagiaan, keselamatan, dan kesejahteraan, di samping itu tepung tawar juga dimaksudkan sebagai simbol penolakan terhadap segala bala dan gangguan yang mungkin diterimanya kelak. Jadi, upacara tepung tawar bermakna sebagai doa dan pengharapan. Tepung tawar juga dimaknai sebagai penawar, supaya hidup tidak bertengkar, wabah penyakit tidak menular, semua urusan jadi lancar. ine.com).

Gambar 2.3 Tepung Tawar pada adat perkawinan Melayu Langkat 14.

  Makan Nasi Hadap-hadapan, Upacara makan nasi hadap-hadapan dihadiri oleh perempuan saja dari kedua belah pihak keluarga pengantin, sedangkan laki-laki tidak boleh ikut serta. Kedua pengantin dibawa ke suatu ruangan atau di depan pelaminan yang sudah terhidang nasi hadap-hadapan lengkap dengan lauk-pauk, dan kue.

  Apabila suami mendapat kepala ayam panggang melambangkan seorang pemimpin yang bertanggung jawab dan apabila istrinya mendapat paha ayam melambangkan sebagai seorang ibu yang akan memberikan keturunan. Acara makan nasi hadaphadapan mengandung arti cinta kasih murni antara istri.

Gambar 2.4 Hidangan pada Upacara Makan Nasi Hadap-hadapan 15.

  Serah Terima Pengantin Laki-laki Kepada Keluarga Pengantin

  Perempuan, Serah terima pengantin laki-laki kepada keluarga pengantin perempuan adalah acara yang diadakan untuk melepaskan pengantin laki-laki

  dari keluarganya sendiri dan diantar untuk menjadi bagian dari keluarga pengantin perempuan. Acara ini biasanya juga diisi dengan nasehat- nasehat kepada kedua pengantin, dan sekaligus menyampaikan harapan kepada keluarga pengantin perempuan agar dapat menerima si pengantin laki-laki dengan baik.

16. Mandi Berdimbar,

  Mandi berdimbar adalah mandi yang dilakukan pengantin dengan

  menggunakan campuran air, bunga, dan beberapa bahan lainnya. Pada mandi berdimbar ini kadang-kadang terlebih dahulu dilakukan upacara memukul pelepah mayang, memecah telur, kelapa muda, dan mandi bersembur- semburan. Orang-orang ramai juga ikut serta bersiram-siraman. Bila terkena siraman air mandi berdibar, bagi para pemuda atau gadis, dipercaya akan cepat mendapat jodoh. (Hariani, informan).

  17. Sembah Keliling, Acara sembah keliling adalah acara bersalaman dengan orang- orang tua dan segenap keluarga, baik keluarga pria maupaun keluarga wanita atau dalam adat Jawa acara ini disebut dengan istilah sungkeman yang bertujuan untuk mohon restu dan doa dari segenap keluarga yang ada.

  18. Naik Halangan (Lepas Pantang), Beberapa hari setelah malam bersatu diedarkanlah dalam kain putih bersih “tanda kegadisan”(perawan) sang istri kepada mertua perempuan dan wanita-wanita lain sebagai bukti.

  19. Meminjam Kedua Pengantin oleh Pihak Keluarga Laki-Laki Kepada

   Pihak Keluarga Perempuan, Meminjam kedua pengantin oleh pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga perempuan adalah upacara ditentukannya hari dimana kedua

  pengantin dipinjamkan kepada keluarga anak beru laki-laki untuk diadakan perayaan di rumah keluarga laki-laki. Kedua pengantin dijemput oleh anak

  beru (baik pria maupun wanita).

  20. Memulangkan Kedua Pengantin Kembali Oleh Pihak Keluarga Laki-laki

  Kepada Pihak Keluarga Pengantin Perempuan,

  Memulangkan Kedua Pengantin Kembali Oleh Pihak Keluarga Laki-

laki Kepada Pihak Keluarga Pengantin Perempuan adalah setelah tiga

  malam atau lamanya sesuai menurut perjanjian, maka kedua mempelai, baru diantarkan kembali ke rumah orang tua pengantin perempuan, diiringi para

  

anak beru sebagai mana mereka menjemput dahulu. Pengantin perempuan

  biasanya menerima hadiah dari mertua berupa pakaian lengkap, piring, dan mangkuk.

21. Pengantin Pindah Ke Rumah Sendiri.

  Pengantin Pindah Ke Rumah Sendiri adalah acara dimana seorang

  laki-laki atau seorang suami membawa istri atau keluarganya ke rumah mereka sendiri. Menurut adat dahulu, pengantin laki-laki berdiam diri atau tinggal menetap di rumah mertuanya kira-kira selama dua tahun lamanya. Setelah itu baru laki-laki tersebut dapat membawa istrinya pindah ke rumahnya sendiri.

2.2. Kajian Teoretis

2.2.1. Semantik Kognitif

  Kognitivisme merupakan bagian dari linguistik yang berdasar pada pandangan tradisional tentang arah hubungan sebab akibat antara bahasa dan pikiran (Lyons 1995: 97) dikutip dari (tanggal 21-03-2013 pukul 14.25). Dapat dikatakan bahwa semantik kognitif merupakan istilah yang mengacu pada studi tentang makna yang dikaitkan dengan pikiran manusia sebagai pengguna bahasa.

  Semantik (Inggris: semantic) berasal dari bahasa Yunani sema (kata benda) yang bermakna “tanda” “atau lambang”. Para ahli bahasa memberikan pengertian semantik sebagai cabang ilmu bahasa yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik atau tanda-tanda lingual dengan hal-hal yang ditandainya (makna) (lihat Hikmah, 2011:33). Chaer (1995:2) mengatakan “ semantik adalah sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tatanan analisis bahasa: fonologi, gramatika, dan semantik.” Dari pengertian di atas, semantik adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara tanda lingustik dengan hal yang ditandainya atau ilmu yang mempelajari makna atau arti dalam setiap bahasa atau kalimat yang diucapkan oleh manusia.

  Dalam tesis ini, semantik yang berhubungan erat dengan eufemisme Bahasa Melayu Langkat diteliti maknanya. Karena semantik kognitif membahas makna kata atau kalimat berdasarkan pada pikiran manusia.

  Eufemisme berhubungan dengan ungkapan kata atau kalimat, sehingga eufemisme tidak dapat dipisahkan dengan semantik kognitif karena terdapat struktur kognitif dalam eufemisme. Makna eufemisme akan didapat setelah melalui penafsiran terhadap suatu ujaran yang diucapkan. Berdasarkan penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa semantik adalah subdisiplin linguistik yang membicarakan makna. Dengan kata lain semantik berobjekkan makna.

  Penganut semantik kognitif berpendapat bahwa kita tidak memiliki akses langsung terhadap realitas, dan oleh karena itu, realitas sebagaimana tercermin dalam bahasa merupakan produk pikiran manusia berdasarkan pengalaman dan tingkah laku mereka yang berkembang. Makna juga merupakan struktur konseptual yang konvensionalisasi. Menurut penganut semantik kognitif proses konseptualisasi sangat dipengaruhi oleh metafora sebagai cara manusia dalam memahami dan membicarakan dunia. Semantik kognitif menguraikan makna dengan berpadukan kepada sistem kognitif menyamakan makna dengan konsep.

2.2.2 Eufemisme

  Untuk menjawab masalah penelitian ini digunakan teori eufemisme yang dikemukakan oleh Allan dan Burridge, dalam buku mereka yang berjudul Euphemism and Dysphemism, Language Used as Shield and Weapon (1991: 14). Allan dan Burridge menjelaskan eufemisme sebagai berikut:

  

In short Euphemism are alternatives to disprefered, and are used in

order to avoid possible loss of face. The disprefered expression

may be taboo, fearsome, distasteful or for some other reason have

too many negative connotations to felicitously execute speaker’s

communicative intention on given occasion.

  Berdasarkan pernyataan di atas dapat dipahami bahwa eufemisme adalah cara lain dalam mengungkapkan sesuatu yang tidak berkenan dan digunakan untuk menghindari rasa malu. Bentuk ungkapan yang tidak berkenan itu dapat berupa tabu, rasa takut, tidak disenangi, atau alasan lain yang berkonotasi negatif untuk dipergunakan dengan tujuan berkomunikasi oleh penutur dalam situasi tertentu. Selain teori yang disampaikan oleh Allan dan Burridge, beberapa pendapat dari para ahli tentang eufemisme dikemukakan sebagai berikut:

  1. Eufemisme berasal dari kata Yunani, eu yang berarti bagus dan phemeoo yang berarti berbicara. Eufemisme adalah semacam acuan berupa ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang atau ungkapan- ungkapan yang mungkin dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau menyugesti sesuatu yang tidak menyenangkan.

  Contoh : Para pahlawan telah gugur di medan juang (mati) Maaf saya hendak ke belakang sebentar (ke toilet)

  Wanita itu adalah teman hidupnya selama ini (istri) (Keraf, 996:132).

  2. Eufemisme atau eufemia adalah suatu gejala bahasa yang bersifat memperhalus atau mempersopan. Kata tertentu diganti dengan kata lain yang dianggap lebih mengacu kepada makna kata yang lebih halus atau sopan (Badudu, 1991:96).

3. Eufemisme adalah pemakaian kata atau bentuk lain untuk menghindari bentuk larangan atau tabu (Kridalaksana, 1982:42).

  4. Eufemisme kata atau frasa yang menggantikan satu kata tabu atau yang digunakan sebagai upaya menghindari hal-hal yang menakutkan dan kurang menyenangkan (Fromkin dan Rodman dalam Ohuiwuton, 1997: 96).

  Penggunaan eufemisme lazim dipakai dalam komunikasi sehari-hari oleh masyarakat Melayu Langkat. Eufemisme juga kerap digunakan pada upacara adat, baik dalam tuturan, pepatah, maupun pantun. (Sutarno dalam Faridah: 2002) membagi tiga jenis eufemisme, yakni kategori baik, buruk, dan memanifulasi kenyataan.

  Eufemisme berkategori baik, berhubungan dengan sopan-santun, misalnya, untuk menyatakan orang cerdik-pandai, digunakan tuturan, kami

  

dengar datuk orang arif orang bijaksana , tahu dikias diumpama. Ungkapan

  ini biasanya digunakan pada acara adat perkawinan masyarakat Melayu Langkat, mungkin juga dipakai daerah lain. Eufemisme berkategori buruk yaitu eufemisme yang memanipulasi makna sebenarnya dan bersifat politis.

  Contoh : rakyat miskin rakyat prasejahtera

   rakyat kelaparan rakyat rawan pangan

  Kategori yang ketiga yaitu, manipulasi kenyataan. Contoh orang yang mencuri uang negara dengan jumlah yang sangat banyak, tidak disebut pencuri atau perampok tetapi disebut koruptor.

  Berdasarkan uraian di atas penggunaan eufemisme pada upacara adat Melayu Langkat sesuai dengan teori para ahli eufemisme, yaitu untuk memperhalus bahasa dan menghindari kata yang tidak sopan. Penggunaan eufemisme pada upacara adat Melayu Langkat, apabila merujuk pendapat Sutarno dikategorikan sebagai eufemisme baik.

  Pada pembahasan di awal telah disinggung beberapa pengertian eufemisme berdasarkan beberapa ahli. Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa eufemisme adalah perkataan yang baik yang dapat menyenangkan orang lain dan memberi kesan santun, tidak terdengar kasar.

  Penggunaan eufemisme sendiri sesungguhnya untuk menghindari tabu atau tidak santun. Memang kerap terjadi kerancuan di masyarakat berkaitan batasan tentang tabu itu sendiri. Di satu komunitas masyarakat sebuah kata bisa dianggap tidak sopan atau tabu, namun di masyarakat lain, kata itu bisa tidak memiliki makna tabu. Namun, kebanyakan kata yang berbau seks atau bagian anggota tubuh yang biasanya ditutupi dianggap tabu bila diucapkan di tempat umum.

  Eufemisme belum tentu untuk menggantikan kata yang bermakna tabu. Namun, eufemisme lebih berhubungan dengan konsep budaya yang dianut oleh sekelompok masyarakat. Allan dan Burridge (1991:12) membagi eufemisme ke dalam hal- hal berikut:

  1. bagian tubuh (body parts); 2. fungsi tubuh (bodily function); 3. seks (sex); 4. ketidakberterimaan (Disapproval); 5. kemarahan (anger); 6.

   kebencian ( hate); 7.

  penyakit (desease); 8.

   kematian (death); 9.

  ketakutan (fear); 10. ihwal Tuhan (God); 11. nafsu (lust).

2.2.3 Tipe Eufemisme

  Allan dan Burridge (1991:14), memberikan beberapa tipe eufemisme, sebagai berikut. NO TIPE EUFEMISME CONTOH 1 ungkapan figuratif (figurative B.Ing : Go to the happy hunting

  expressions) Grounds = (mean) die

  B.Ind : ’Pergi ke tanah perkuburan yang menyenangkan =(bermakna wafat’ 2 metapora (metaphor) B.Ing : The miraculous pitcher that

   holds water with the mouth downwards = vagina

  B.Ind : ‘Tempat air yang menakjupkan dengan mulutnya menghadap ke bawah = kemaluan wanita’ 3 plipansi (Flippancy) B.Ing : Kick the bucket = die B.Ind : ‘Menendang ember = meninggal’

  4 memodelkan kembali B.Ing : Basket = bastard

  (remodeling) B.Ind : ‘Keranjang = bajingan’ 5 sirkumlokasi (circumlocutions) B.Ing : Solid human waste = feces.

  B.Ind : ‘Kotoran manusia padat = tahi’ 6 memendekkan (clipping) B.Ing : jeeze = jesus 7 akronim (Acronyms) B.Ing : snafu = normal situation

  B.Ind : ‘situasi normal’ 8 singkatan (abbreviations) B.Ing : S.O.B = son of a bitch B.Ind : anak pelacur 9 pelesapan (omission) B.Ing : I need to go = to the lavatory B.Ind : ‘Saya mau pergi = ke kamar kecil’

  10 satu kata menggantikan kata yang B.Ing : bottom = ass lain (one for substitutions) B.Ind : dasar = pantat 11 umum ke khusus (general for B.Ing : Go to bed = fuck

  specific) B.Ind : Pergi tidur = bercinta

  12 sebagian untuk keseluruhan (a B.Ing : spend a penny = go to the

  part for whole) lavatory

  B.Ind : ‘Menghabiskan uang satu sen = ke kamar kecil’ 13 melebih-lebihkan (hyperbole) B.Ing : Personal assistant to the

   Secretary = cook

  B.Ind : ’Pembantu pribadi sekretaris = Koki’ 4 makna di luar pernyataan B.Ing : genital, bulogate = thing

  

(understatement ) B.Ind : bisa apa saja seperti alat

  kelamin, kasus = sesuatu

  15 Jargon B.Ing : Feces = shit B.Ind :’ Kotoran (istilah medis)= tahi’ B.Ing : Period = menstruation 16 kolokial (colloquial) B.Ind : Periode = ‘menstruasi’

  Berikut ini contoh penggunaan eufemisme yang terdapat pada tuturan masyarakat Melayu di Kabupaten Langkat.

1. Terimalah jike ade lelaki yang ingin mengambilmu sebagai teman hidup! 2.

  Berape tebal amplop engko siapkan untuk test PNS? Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa, kata teman hidup bermakna perempuan yang telah dinikahi oleh lelaki. Teman hidup ini digunakan untuk memperhalus kata yang bermakna istri atau bini. Kata

  amplop bermakna tempat atau kemasan untuk di isi surat atau uang untuk

  dikirim kepada orang lain. Kata amplop pada kalimat di atas, digunakan untuk memperhalus makna kata yang maksudnya sebagaiuang suap”. Kata

  teman hidup dan amplop di atas merupakan bentuk eufemisme yang tergolong dalam tipe satu kata menggantikan kata lain (one for substitution).

  Eufemisme dalam masyarakat fungsi utamanya adalah untuk menghindari tabu atau tidak santun pada saat berkomunikasi. Tabu adalah suatu bentuk larangan yang tidak tertulis, untuk tidak menggunakan kata tertentu yang dianggap tidak pantas di tengah-tengah masyarakat. Kata yang termasuk tabu biasanya sesuatu yang berbau seks, yang berhubungan dengan bagian tubuh yang harus ditutupi, menujukkan sesusatu yang menjijikkan, kotor atau kasar. Kebiasaan masyarakat Melayu dalam menyampaikan sesuatu yang berhubungan dengan rasa suka, benci, kaya, pintar, dan penyakit, juga tidak disampaikan secara terus terang, tetapi menggunakan kata kiasan untuk menghindari tabu.

2.2.4 Kerangka Teori yang Digunakan

  Penelitian ini berpijak pada kajian semantik kognitif. Semantik kognitif membahas makna kata atau kalimat berdasarkan pikiran manusia.

  Eufemisme merupakan bagian dari semantik kognitif karena makna eufemisme didapat setelah melalui penafsiran terhadap suatu ujaran sehingga eufemisme tidak dapat dipisahkan dengan semantik kognitif.

  Teori eufemisme dipakai untuk menentukan jenis tipe eufemisme yang terkandung dalam isi ungkapan pada upacara adat perkawinan masyarakat Melayu Langkat. Pendekatan kajian eufemisme memberi sumbangan terhadap kajian kearifan lokal pada upacara adat perkawinan Masyarakat Melayu Langkat.

  2.3. Tinjauan Pustaka

2.3.1. Penelitian Terdahulu

  Kajian eufemisme telah diteliti sebelumnya oleh Faridah (2002), dalam penelitiannya yang berjudul Eufemisme dalam Bahasa Melayu Deli

  

Serdang. Teori yang digunakan pada penelitiannya adalah teori eufemisme

  oleh Allan dan Burridge. Pada kajiannya Farida mengkaji berbagai tipe, fungsi, dan makna eufemisme, untuk penyajian data penelitiannya menggunakan metode cakap atau wawancara. Dalam mengidentifikasi dan mengelompokan tipe-tipe eufemisme digunakan metode agih. Sedangkan untuk menganalisis fungsi dan makna digunakan metode padan. Sumber data dalam penelitiannya menggunakan data tulis dan data lisan. Hasil dari penelitiannya, ditemukan enam tipe eufemisme dan empat fungsi eufemisme dalam bahasa Melayu Deli Serdang. Tipe eufemisme yang ditemukannya antara lain: (1) ekspresi figuratif, (2) Metafora, (3) Satu kata untuk menggantikan kata lain, (4) Umum ke khusus, (5) Hiperbola, (6) Kolokial. Sedangkan fungsi eufemisme yang beliau temukan antara lain: (a) sapaan, (b) menghindari tabu, (c) menyatakan cara, dan (d) menyatakan situasi. Penelitian beliau memberi kontribusi terhadap penelitian ini adalah dalam hal penggunaan teori. Pada penelitian ini juga digunakan teori eufemisme yang dikemukakan oleh Allan dan Burridge, untuk menemukan tipe eufemisme dalam upacara adat perkawinan masyarakat Melayu Langkat.

  Anita Purba (dalam Tia dan Dardannila 2008), dalam penelitiannya berjudul Eufemisme dalam Bahasa Simalungun membahas bentuk dan fungsi eufemisme Bahasa Simalungun. Penelitian Purba ini menggunakan pandangan Allan dan Burridge (1991) sebagai sumber acuan untuk mencari bentuk dan fungsi eufemisme, tetapi tidak membicarakan makna eufemisme. Ada dua belas bentuk dan fungsi eufemisme dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Anita Purba antara lain: (1) ekspresi figuratif, (2) metafora, (3) sirkumlokusi, (4) kliping, (5) pelesapan, (6) satu kata untuk menggantikan kata yang lain, (7) umum ke khusus, (8) hiperbola, (9) pernyataan yang tidak lengkap, (10) kolokial, (11) remodel, dan (12) sebagian untuk semua. Fungsi eufemisme dalam bahasa Simalungun, berhubungan dengan sapaan atau penamaan dan menghindari tabu. Penelitian beliau memberi kontribusi terutama sekali pada bagaimana menentukan tipe yang termasuk dalam kelompok tertentu, dari tipe- tipe yang dikemukakan oleh Allan dan Buridge.

  Widya Andayani (2005), tesisnya berjudul Upacara Perkawinan Adat

  Jawa Nemokke di Medan : Suatu Kajian Sosiolinguistik. Nemokke adalah upacara perkawinana adat Jawa yang berisi nasihat terhadap pengantin.

  Penelitian tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan tipe-tipe dan fungsi eufemisme, dalam kalimat dan ungkapan beserta pola sosiolinguistik yang tergambar pada upacara nemokke. Dalam penelitiannya, data diperoleh melalui wawancara dengan informan yang merupakan ahli dalam adat Jawa, khususnya ahli nemokke dalam upacara adat perkawinan Jawa. Dari hasil penelitiannya ditemukan 4 tipe eufemisme, antara lain: (1) metapora, (2) satu kata menggantikan kata yang lain, (3) hiperbola, (4) ungkapan figurative. Selain tipe, dalam penelitiannya ditemukan juga fungsi eufemisme yaitu sebagai sapaan dan menghindari tabu. Berdasarkan pola sosiolinguistiknya, ahli nemokke yang usianya lebih tua menggunakan lebih banyak eufemisme dan lebih bervariasi dalam menyampaikan nasihat. Penelitiannya memberi inspirasi dalam menentukan kriteria informan yang akan dijadikan nara sumber. Pada Penelitiannya, perbedaan usia ternyata menentukan frekwensi penggunaan eufemisme. Nara sumber yang usianya lebih tua ternyata menggunakan lebih banyak dan lebih bervariasi dari nara sumber yang berusia lebih muda.

  Selain itu Tia Rubby dan Dardanila (2007), dalam Penelitian mereka yang berjudul Eufemisme pada Harian Seputar Indonesia Penelitian ini membicarakan bentuk eufemisme dan frekwensi penggunaannya pada surat kabar Harian Seputar Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode observasi, yang dilakukan mulai bulan Juli sampai dengan Agustus 2007. Untuk menganalisis data, digunakan metode deskriptif dengan teknik membaca. Dalam penelitian Tia dan Dardanila tersebut, ditemukan tujuh bentuk eufemisme yang muncul, yaitu: (1) ekspresi figuratif (2) Flipasi, (3) kata yang satu menggantikan kata yang lain (4) singkatan (5) satu kata menggantikan kata yang lain, (6) umum ke khusus, (7) hiperbola. Bentuk yang sering muncul (dominan) pada penelitaian mereka adalah satu kata menggantikan kata yang lain sebanyak 40%. Pada penelitian mereka memberikan masukan dalam hal penggunaan teori. Mereka menggunakan teori yang sama dengan penelitian ini, yaitu menggunakan teori eufemisme yang dikemukakan oleh Allan dan Burridge.

  Teori Allan dan Buridge membantu dalam mengklasifikasi jenis atau tipe eufemisme yang ditemukan dalam penelitian.

  Juairi Hikmah (2011), dalam tesisnya berjudul Analisis Makna Emotif

  

dalam Pepatah Nasihat bahasa Melayu Serdang . Penelitian tersebut

  memfokuskan pada makna emotif dalam pepatah Bahasa Melayu Serdang

  (BMS), yaitu bagaimana makna emotif yang terdapat dalam pepatah berdasarkan pada emosi dasar Melayu, menemukan makan tersirat dalam pepatah, dan menelaah makna emotif BMS yang dituturkan oleh Masyarakat Melayu Serdang (MMS) di daerah Pantai Cermin.

  Teori yang digunakan adalah teori semantik kognitif. Teori ini berhubungan dengan emosi dan pikiran. Teori semantik yang digunakan untuk menelaah emosi digunakan perangkat fonetik, perangkat leksikal, dan perangkat sintaksis. Sumber data yang digunakan adalah emosi dasar Melayu Serdang, dan pepatah BMS. Data diambil melalui instrumen penelitian dan rekaman suara informan. Data diolah dan dianlisis dengan metode kualitataif deskriptif.

  Hasil analisis makna emotif berdasarkan pada emosi dasar Melayu dan perangkat emotif, diperoleh makna emotif senang ada 39, sedeh ada 13, marah ada 22, benci ada 4,malu ada 6, takut ada 5, dan bosan ada 6 pepatah. Perangkat emotif fonetik ada 16, perangkat leksikal ada 93, dan perangkat sintaksis ada 29 pepatah. Makna emotif dalam pepatah BMS mempengaruhi sikap, karakter, dan cara berbicara seseorang dalam kehidupan.

  Dari uraian hasil penelitian terdahulu tentang eufemisme, maupun hal yang berhubungan dengan bahasa Melayu di atas dapat dilihat bahwa, kajian tersebut sangat relevan untuk melengkapi tesis ini karena banyak mengulas tentang tipe maupun makna kata, kelompok kata, atau kalimat yang berkaitan dengan eufemisme. Sedangkan tesis ini sendiri mengkaji tentang eufemisme dalam bahasa Melayu Langkat.

  Perbedaan penelitian ini dari penelitian sebelumnya adalah bahwa penelitian ini mengkhususkan kajian pada penggunaan eufemisme dalam upacara perkawinan masyarakat Melayu di kabupaten Langkat. Pada penelitian ini juga digali dan diupayakan untuk menenemukan kearifan lokal yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan sebagai sumber pembentukan karakter bangsa, sehingga cita-cita bangsa untuk menjadi bangsa yang aman dan sejahtetra dapat terwujud.