Keberadaan Asas Rebus Sic Stantibus dalam Perjanjian Internasional

  teritorial yang dimaksud diatur dalam Pasal 2 KUHP, sedangkan

  39 perluasan dari asas ini diatur dalam pasal 3 KUHP.

  Dalam perkembangan penerapannya, asas teritorialitas ini memiliki keterbatasan untuk menjerat seseorang yang melakukan tindak pidana di luar wilayah suatu negara. Oleh karena itu, banyak negara menambahkan asas lain agar perundang-undangan pidananya tetap berlaku dalam kondisi-kondisi yang tidak dapat dijangkau dengan asas teritorialitas, khusunya dalam kondisi dimana pelaku tidak hadir dalam wilayah negara yang bersangkutan. Asas ini lebih dikenal dengan asas

  40 ekstrateritorial.

  Asas ekstrateritorial ini diwujudkan dalam pasal 4 KUHP dan pasal 5 KUHP. Pasal 4 KUHP memuat asas nasionalitas pasif. Maksudnya undang-undang pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang – baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing

  • – yang melakukan tindak pidana di luar wilayah Indonesia sepanjang perbuatan itu melanggar kepentingan Indonesia. Sedangkan, pasal 5 KUHP mengandung asas nasionalitas aktif, yaitu perundang-undangan pidana Indonesia berlaku

  41 terhadap warga negara Indonesia di manapun ia berada.

  Dalam konteks kaitannya dengan regionalisme, kebutuhan adanya kriminalisasi yang mengatur tindak pidana siber secara tegas melahirkan gagasan untuk membentuk suatu konvensi regional yang diprakarsai oleh Council of Europe atau Dewan Eropa. Hal tersebut dinyatakan secara tegas dalam Convention on Cybercrime 2001, yang dalam pembukaan dinyatakan sebagai berikut:

  

Convinced of the need to pursue, as a matter of priority, a common

criminal policy aimed at the protection of society against cybercrime,

  

inter alia, by adopting appropriate legislation and fostering

  42 international co- operation.”

  Dalam hal ini disebutkan keyakinan akan adanya kebutuhan untuk mencapai, sebagai suatu prioritas, kebijakan kriminal bersama yang ditujukan pada perlindungan masyarakat terhadap tindak pidana siber, antara lain dengan memberlakukan perundang-undangan yang sesuai

  43 dan mendorong kerjasama internasional.

  Untuk mengaksesi Konvensi Dewan Eropa 2001 tersebut, suatu negara terlebih dahulu harus melakukan harmonisasi pengaturan tindak pidana siber dalam hukum nasionalnya dengan konvensi tersebut. Konvensi Dewan Eropa 2001 menjadi rujukan dalam pengaturan tindak pidana siber mengingat konvensi tersebut merupakan satu-satunya konvensi yang mengatur tindak pidana siber dan bersifat terbuka sehingga negara-negara lain yang bukan anggota Dewan Eropa dan tidak menjadi peserta konvensi dapat mengikatkan diri pada konvensi

  44

  tersebut. Namun, walaupun konvensi tersebut bersifat terbuka, konvensi yang dihasilkan dari bentuk paham regionalisme atau kawasan tertentu cenderung akan mendapatkan resistensi khususnya dari negara- negara dari kawasan yang berbeda. Sehingga suatu keniscayaan bahwa konvensi yang dapat diterima oleh semua kalangan adalah konvensi/traktat/perjanjian internasional yang dihasilkan oleh forum multilateral atau dalam hal ini Perserikatan Bangsa-Bangsa.

42 Sigid Suseno, Yurisdiksi Terhadap Tindak Pidana Siber dalam Perundang-Undangan

  

Indonesia dihubungkan dengan Konvensi Dewan Eropa 2001 , dalam Buku Yudha Bhakti,

et. al , Penemuan Hukum Nasional dan Internasional, Fikahati Aneska, Jakarta, 2012,

  Dalam konteks pengaturan yurisdiksi dalam ruang siber, setiap negara mau tidak mau harus dilibatkan karena karakteristik dari ruang siber yang berdimensi transnasional dan borderless. Disamping itu juga semua negara termasuk Indonesia harus dilibatkan dalam membentuk hukum siber dalam rangka terwujudnya kerjasama internasional yang efektif dan efisien dalam mengatur ruang siber khususnya tindak pidana siber.

  Di sisi lain, dalam tatanan hukum internasional, belum adanya posisi atau international regime yang jelas dalam mengatur tentang kedaulatan, kewenangan, dan yurisdiksi negara atas ruang siber dikhawatirkan akan menyebabkan ketidakpastian dalam pelaksanaan prinsip extraterritorial

  

jurisdiction terhadap pelanggaran di ruang siber. Lebih lanjut, praktik

  negara-negara selama ini yang secara sepihak dalam memberlakukan hukum nasionalnya (unilateral act) dikhawatirkan akan melahirkan kesewenang-wenangan, khususnya pada penegakan hukum yang dilakukan dengan dasar kekuatan dan kekuasaan politik bukan dengan legitimasi hukum. Oleh karena itu, Indonesia sebagai negara berdaulat perlu kiranya menentukan kebijakan yang jauh kedepan dan mengantisipasi permasalahan-permasalahan hukum tersebut lewat politik hukum (legal policy) yang tepat dan sesuai dalam membentuk infrastruktur hukumnya khususnya di bidang cyberlaw.

  Berdasarkan paparan-paparan tersebut di atas, dapat dilihat belum adanya adanya politik hukum yang sinergis baik dalam pengaturan hukum nasional maupun hukum internasional tentang politik hukum dan kedaulatan negara dalam membentuk rezim extraterritorial jurisdiction dalam cyberlaw untuk menciptakan suatu kepastian hukum dalam pelaksanaan penegakan hukum terhadap segala aktivitas atau kegiatan yang dilakukan di ruang siber.

  Terkait dengan hal masalah kedaulatan negara, Milton J. Esman which covers the behavior of persons and control of resources within the

  

territorial boundaries of the state ; dan 2) dimensi pelaksanaan kedaulatan ke

  luar (external sovereignty), which precludes any interfence by outsiders in

  45 domestic affairs unless these are conceded voluntarily by its government .

  Negara berdaulat ke dalam berarti berdaulat dalam mengurus urusan internal organisasi negaranya, yang mencakup wewenang dan kedaulatan kesatuan kekuasaan negara. Kedaulatan wewenang yang dimaksud adalah kesanggupan dan hak negara untuk melakukan segala sesuatu di dalam negara yang bersangkutan. Dalam hal ini negara tidak hanya mempunyai banyak wewenang, tetapi juga negara berwenang untuk menambah atau mengurangi wewenang itu. Artinya, bahwa di dalam wilayah suatu negara tidak ada lembaga lain yang juga memiliki kedaulatan wewenang selain pemerintahan negara itu sendiri. Di dalam satu wilayah negara hanya terdapat satu pusat kekuasaan, sementara

  46 semua wewenang lain tunduk terhadap pusat kekuasaan tersebut.

  Di sisi lain, kedaulatan negara ke luar dapat diartikan bahwa tidak ada pihak lain dari luar negara yang berhak untuk mengatur sesuatu dalam wilayah negara yang bersangkutan. Kedaulatan ke luar diwujudkan dalam dua prinsip utama, yaitu 1) prinsip kekebalan; 2) prinsip kesamaan kesanggupan semua negara untuk menciptakan hukumnya sendiri dan untuk bertindak menurut hukumnya itu. Sementara prinsip kekebalan maksudnya bahwa setiap negara tidak boleh dimasuki dalam bentuk apapun oleh negara lain. Artinya negara dilarang mengambil tindakan hukum atau kekuasaan dalam wilayah

45 J. D. Montgomery, Sovereign in Transtition, How Governments Respond Sovereignty

  under Challange , Transaction Publishers, USA and UK, 2002, hlm. 3 kekuasaan negara lain tanpa izin dari negara yang bersangkutan. Semua negara tanpa terkecuali mempunyai hak yang sama untuk menetapkan undang-undang dalam wilayahnya dan bertindak atas nama negaranya

  47 sendiri ketika berhadapan dengan negara-negara lain.

  Dari paparan-paparan tersebut di atas, dapat diperoleh suatu pemahaman bahwa apabila diteliti secara seksama pemaknaan pelaksanaan kedaulatan baik ke dalam maupun ke luar, konteksnya adalah ketika negara berhadap-hadapan dengan negara, dalam konteks terdesak, terganggu, atau terancamnya kedaulatan negara yang bersangkutan.

  Makna kedaulatan sebagaimana dipaparkan di atas sudah tidak relevan lagi diterapkan secara mutlak. Artinya pengertian kedaulatan sebagai sesuatu yang tidak dapar dibagi-bagi hanya tepat ketika hubungan internasional antar negara belum sehebat, seintensif, dan serumit saat ini, yang ditandai dengan dunia yang semakin tanpa batas (borderless state). Pemahaman kedaulatan di era globalisasi harus diubah sesuai dengan tuntutan zamannya, tanpa harus meruntuhkan nilai-nilai kedaulatan itu sendiri.

  Pandangan tersebut di atas sejalan dengan yang dikatakan John D. Montgomery sebagai berikut:

  

“Four centuries ago, sovereignty had the ambitious goal of providing

absolute security for the state as part of accepted internasional system.

It erected the strongest possible legal barricade against foreign invasion

or lesser interference with the will of the sovereign. A respected

twentieth-century political philosopher described its original function

in these vigorous terms: non est potestas super terram quae comparetur

ei [there is no power on earth to compare to it] (Maclver, 1926: 15).

Today its objectives are subtler but more attainable: it accepts and

  

adapts to foreign and domestic influences even when they challange the

very nature of the state (Esman, chapter 14 this volume). Its claims rest

on ethical as well as legal grounds. Contemporary theorists of

international jurisprudence argue that the highest moral justification

for sovereignty today is its potential to protect human dignity and

human right, not just the state itself (McCorquodale, 1996). These

aspirations expand and trancend the philosophical roots of traditional

  48 conservative, state- bounded sovereignty (huntington, 1999/2000).”

  Adanya internet melahirkan suatu fenomena ruang sosial baru dalam masyarakat untuk berkomunikasi, suatu dunia baru yang dinamakan dengan cyberspace (ruang siber) dimana pihak yang satu dapat berkomunikasi dengan pihak lainnya tanpa dibatasi oleh batas wilayah

  

(borderless) atau bahkan lintas negara (transnasional). Sebagai negara

  hukum, Indonesia wajib mempunyai pengaturan yang jelas dan tegas terutama dalam penentuan kedaulatan negara atas ruang siber karena sifat ruang siber yang borderless. Ruang siber tidak dapat ditaklukkan sendiri oleh satu negara, dengan sifatnya yang borderless, maka kerja sama di antara negara-negara adalah suatu keniscayaan dan keharusan.

  

Daftar Pustaka

Buku

Ahmad M. Ramli, Cyberlaw dan HAKI dalam system hukum Indonesia, Refika Aditama,

Bandung, 2006 Agus Raharjo, Cybercrime: Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan

  Berteknologi , Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002

Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,

2002 Christopher Millard, et. al., Computer Law, Bantam, London, 2000

  Danrivanto Budhijanto, Hukum Telekomunikasi, Penyiaran, & Teknologi Informasi: Regulasi & Konvergensi , Refika Aditama, Bandung, 2010

  Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003 Francis Lim, Filsafat Teknologi Don Ihde tentang Dunia, Manusia, dan Alat, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2012 J. D. Montgomery, Sovereign in Transtition, How Governments Respond Sovereignty under Challange , Transaction Publishers, USA and UK, 2002

Josua Sitompul, Cyberspace Cybercrimes Cyberlaw Tinjauan Aspek Hukum Pidana, PT.

  Tata Nusa, Jakarta, 2012

Miranda dan Imelda, Mengenal E-Commerce, M-Commerce, dan M-Business, Harvindo,

Jakarta, 2004 Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiolofi, Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1964 Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 2001

  Yudha Bhakti, et. al, Penemuan Hukum Nasional dan Internasional, Fikahati Aneska, Jakarta, 2012 Yusran Isnaini, Hak Cipta dan Tantangannya di Era Cyber Space, Ghalia Indonesia, Bogor, 2009 Widodo, Sistem Pemidanaan dalam Cybercrime: Alternatif Ancaman Pidana Kerja

  

Sosial dan Pidana Pengawasan bagi Pelaku Cyber Crime , CV. Aswaja

Pressindo, Yogyakarta, 2009

  Disertasi Agus Raharjo, Model Hibrida Hukum Cyberspace (Studi tentang Model Pengaturan

  Aktivitas Manusia di Cyberspace dan Pilihan terhadap Model Pengaturan di Indonesia), Disertasi pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2008 Max Boli Sabon, Kongruensi Hak atas Pembangunan, Pasal 33 UUD 1945, dan Tipe

Negara Hukum, serta Implikasinya terhadap Tipe Negara Hukum Materil ,

Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum pada Pascasarjana Universitas

Padjadjaran, Bandung 2006

  Jurnal

Atip Latifulhayat, Cyberlaw dan Urgensinya bagi Indonesia, Makalah disampaikan pada

Seminar tentang Cyberlaw, diselenggarakan oleh Yayasan Cipta Bangsa,

  Bandung, 29 Juli 2000 Background paper workshop on crimes related to the computer network, pada Tenth

United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of

  Offenders , di Wina tanggal 10-17 April 2000 International Review of Law Computers and Technology , Insider Cyber-Threat: Problems and Perspectives , Volume 14, 2001

  Websites diakses pada tanggal 05 Januari 2013 pukul 13.42 WIB diakses pada tanggal 05 Januari 2013 pukul 13.42 WIB diakses pada tanggal 05 Januari 2013 pukul 13.42 WIB diakses pada tanggal 05 Januari 2013 pukul 13.42 WIB

Internet World Stats, World Internet Usage Statistics News and World Population Stats,

http://www.internetworldstats.com/stats, diakses pada tanggal 31 Desember

  2012 pukul 15.24 WIB Kamus Henry Campbell Black,

  Black’s Law Dictionary, M.A., Fifth Edition, St.Paul Minn, West Publishing Co, 1979

KEBERADAAN ASAS REBUS SIC STANTIBUS

  1 DALAM PERJANJIAN INTERNASIONAL

  Harry Purwanto

  

Abstrak

Artikel ini bertujuan untuk menelusuri dinamika dari prinsip rebus

sic stantibus dalam hukum perjanjian. Artikel ini akan membahas

bagaimana para ahli berpandangan terhadap prinsip ini, bagaimana

kaitan hukum internasional dengan prinsip tersebut dan bagaimana

prinsip tersebut diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat

internasional. Pada akhirnya, prinsip rebus sic stantibus dapat

dijadikan dasar untuk memutuskan, membatalkan atau menangguhkan

implementasi suatu perjanjian internasional.

  Kata Kunci: Perjanjian, Prinsip, Rebus Sic Stantibus

Abstract

This article aims to explore the dynamics of the principle of rebus sic

stantibus in the law of treaty. It will explore how experts view toward

this principle, how the international law deals with it, and how it is

implemented in reality in international society. Finally, it is concluded

that the principle of rebus sic stantibus may be invoked as a ground in

terminating, withdrawing or suspending the implementation of a treaty. Keywords: treaty, principles, rebus sic stantibus I. PENDAHULUAN

  A. Latar Belakang Permasalahan Negara merupakan aktor utama dan pertama dalam memainkan

  2

  hubungan kerja sama internasional. Di era globalisasi hubungan kerja sama internasional semakin ramai dengan keberadaan dan diakuinya organisasi internasional sebagai salah satu pelaku dalam hubungan internasional. Hubungan kerja sama internasional yang dilakukan antar subyek hukum internasional utamanya antar negara pun semakin meningkat. Adanya perbedaan sistem kenegaraan, bentuk negara,

2 Sebenarnya tidak cukup jelas, kapan era globalisasi dimulai. Ada pendapat, bahwa apa

  

yang terjadi dalam globalisasi bukan merupakan sesuatu yang baru. Hubungan antar

negara dengan negara lain dalam berbagai bidang sudah dimulai sejak banyaknya

negara-negara merdeka, yaitu setelah diadakanya Perjanjian Westphalia tahun 1648.

Pendapat lain mengatakan bahwa, globalisasi merupakan fenomena baru dalam

masyarakat internasional. Karena globalisasi merupakan revolusi global pertama dan

merupakan lompatan yang signifikan menuju kenyataan baru ditandai dengan

ditemukannya pesawat jet dan komputer yang kemudian dipergunakan secara meluas,

dan pada gilirannya memudahkan manusia berkomunikasi atau berinteraksi dari

manapun mereka berasal. Dari sisi ekonomi, globalisasi ditandai oleh adanya intensitas perdagangan antar negara meluas dan migrasi serta investasi ekonomi meningkat.

Globalisasi mempunyai makna yang bermacam-macam, seperti internasionalisasi, yaitu

meningkatnya intensitas interaksi lintas batas dan saling ketergantungan antar negara;

Liberalisasi, yaitu sebagai suatu proses untuk memindahkan larangan-larangan yang

dibuat oleh negara dalam rangka membentuk ekonomi dunia yang lebih terintegrasi;

Universalisasi yaitu menyebarnya berbagai macam obyek dan pengalaman dari

masyarakat di seluruh dunia; Westernisasi yaitu proses peniruan budaya barat atau

bahkan proses memaksakan sistem budaya, sistem politik dan sistem ekonomi negara-

negara Barat dalam panggung dunia. Oleh Sheila L. Croucher, globalisasi secara sederhana dapat digambarkan sebagai “a process of blending or homogenization by

which the people of the world are unified into a single society and function together.

This process is a combination of economic, technological, socialculture and political

forces”. Sheila L Croucher, Globalization and Belonging: The politics of identity in a perbedaan pandangan hidup, kebudayaan, agama atau kepercayaan bukan merupakan penghalang untuk menjalin kerja sama, bahkan dapat meningkatkan intensifnya hubungan antar negara. Demikian juga persoalan yang menjadi sasaran pengaturan dalam perjanjian internasional tidak hanya masalah-masalah yang ada dipermukaan bumi saja, namun sudah meluas pada masalah-masalah yang ada di dalam perut bumi dan juga yang ada di luar planet bumi (di ruang udara dan ruang angkasa). Oleh karena itu dengan didukung oleh kenyataan yang

  3

  demikian , mendorong dibuatnya aturan-aturan secara lebih tegas dan

  4

  pasti, yaitu dalam bentuk perjanjian internasional (treaty) . Tidaklah berlebihan jika dikatakan, bahwa selama masih berlangsungnya hubungan-hubungan antar negara atau hubungan internasional, selama itu pula akan melahirkan berbagai perjanjian internasional dalam berbagai bidang yang di aturnya seperti bidang sosial dan budaya, politik, pertahanan, keamanan, ekonomi, perdagangan, teknologi, pertanian, perbatasan, dan sebagainya. Melalui perjanjian internasional pelaksanaan hak dan kewajiban negara sebagai anggota masyarakat internasional akan lebih terarah dan terjamin.

  Hal demikian pada gilirannya menjadikan perjanjian internasional mempunyai peranan penting dalam hubungan internasional. Dalam

  3 Sebagaimana dikutip oleh Sam Suhaedi Admawiria, bahwa hukum internasional adalah

fakta, karena ada fakta pergaulan hidup bangsa-bangsa. State cannot live a life to itself

alone. It is a member of community of states . Sam Suhaedi Admawiria, Pengantar

4 Hukum Internasional , Alumni, Bandung, 1968, hlm.xvi.

  

Treaty merupakan istilah umum untuk menyebut Perjanjian Internasional. Istilah lain

untuk menyebut perjanjian internasional adalah Convention, Agreement, Arangement,

Declaration, Protokol, Proces Verbal, Modus Vivendi, Exchane of Notes , dan

sebagainya. Penggunaan istilah dalam pembuatan perjanjian internasional tergantung konteks hukum internasional menaikan peringkat perjanjian internasional sebagai sumber hukum internasional yang pertama kali diperhatikan oleh hakim-hakim di Mahkamah Internasional (International Court of Justice)

  5 .

  Dengan demikian sebagai salah satu fungsi perjanjian internasional sebagai sumber hukum internasional. Dapat pula dikatakan bahwa di dalam tubuh hukum internasional terdapat perjanjian internasional. Di dalam tubuh hukum internasional sendiri sebagaimana dikemukakan oleh Starke, terdiri atas sekumpulan hukum yang sebagian besar terdiri atas prinsip-prinsip dan aturan tingkah laku yang mengikat negara- negara dan oleh karenannya ditaati dalam hubungan antar negara. Hukum internasional meliputi juga; 1. kaidah-kaidan hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi internasional serta hubungannya antara negara-negara dan individu-individu, 2. kaidah-kaidah hukum yang mengatur kepentingan individu- individu dan kesatuan bukan negara, sepanjang hak-hak dan kewajiban dari individu-individu dan kesatuan bukan negara

5 Sebelum dikeluarkanya Statuta Mahkamah Internasional, sebagaimana dikemukakan

  

oleh Starke bahwa ; “The material sources of international law fall into five principles

categories or forms: custom, treaties, decisions of judicial or arbitral tribunals, juristic

works, and decisions or determinations of organs of international constitutions”.

  

Kemudian berdasarkan Article 38 par. 1 of International Court of Justice, that : The

Court whose function is to decide in accordance with international law such disputes

as are submitted to it, shall apply: 1). international conventions, whether general or

particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states; 2).

international custom, as evidence of a general practice accepted as law; 3). the general

principles of law recognized by civilized nations; 4). subject to the provisions of Article

59, judicial decisions and the teachings of the most highly qualified publicists of the

various nations, as subsidiary means for the determination of rules of law. Starke, tersebut hasil kesepakatan antar negara yang dituangkan dalam bentuk perjanjian. Dengan semakin besar dan semakin meningkatnya saling ketergantungan antar negara, akan mendorong diadakannya kerjasama internasional, yang dalam banyak hal dirumuskan dalam bentuk perjanjian internasional. Dalam pembuatan perjanjian internasional negara-negarapun tunduk pada aturan (hukum internasional) tentang pembuatan perjanjian internasional. Dewasa ini ada dua aturan internasional yang digunakan untuk mengatur pembuatan perjanjian

  6

  internasional, yaitu Vienna Convention on The Law Of Treaties, 1969 dan

  

Vienna Convention on The Law Of Treaties between States and International

  7 Organizations or between International Organizations, 1986 . Perbedaan di

  antara kedua konvensi tersebut hanya terletak pada subyek pembuat perjanjian internasional, sehingga beberapa asas atau prinsip umum dalam pembuatan perjanjian internasional adalah kurang lebih sama.

  Perjanjian internasional pada hakikatnya merupakan species dari genus yang berupa perjanjian pada umumnya. Dalam setiap perjanjian termasuk perjanjian internasional terdapat asas-asas yang dijadikan sebagai landasan dalam pelaksanannya. Adapun asas yang paling fundamental adalah asas pacta sunt servanda, yaitu bahwa janji mengikat sebagaimana undang-undang bagi yang membuatnya. Dikatakan fundamental karena asas tersebut yang melandasi lahirnya perjanjian, termasuk perjajian internasional dan melandasi dilaksanakannya perjanjian sesuai dengan apa yang diperjanjikan oleh para pihak. Sebagai

6 Konvensi ini mengatur pembuatan perjanjian internasional antar Negara (subyek

  pasangan dari asas pacta sunt servanda adalah asas itikad baik. Pelaksanaan janji-janji tersebut tentunya harus dilaksanakan dengan penuh kesadaran, rasa tanggung jawab dan memperhatikan kepentingan

  8

  para pihak, sebagaimana yang telah dijanjikan dalam kesepakatan . Oleh karena itu, demi untuk menghindari atau mencegah timbulnya sengketa, maka perlu dilakukan pemahaman terhadap asas-asas dari perjanjian atau perjanjian internasional.

  Di pihak lain berlakunya atau beroperasinya suatu perjanjian, termasuk juga perjanjian internasional juga dapat dipengaruhi atau harus memperhatikan asas hukum yang lain, seperti asas pacta tertiis nec nocent

  9

  10

  11

nec prosunt , asas non-retroaktive , asas rebus sic stantibus , dan norma jus

8 Lihat juga pendapat dari Wery dan Subekti, sebagaimana dikutip oleh Siti Ismijati

  Jenie dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum UGM, dengan judul Pidatonya Itikad Baik, Perkembangan dari Asas Hukum Khusus Menjadi Asas Hukum Umum di Indonesia , Yogyakarta, 2007, hlm.5-6. Menurut Wery, bahwa pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik, bahwa kedua belah pihak (pihak-pihak peserta perjanjian ) harus berlaku satu sama lain seperti patutnya di antara orang- orang (pihak-pihak) yang sopan tanpa tipu daya, tanpa tipu muslihat, tanpa akal- akalan, tanpa mengganggu pihak lain, tidak dengan melihat kepentingannya sendiri saja namun juga melihak kepentingan pihak lain. Cetak miring merupakan penegasan dari penulis dalam kaitannya dengan perjanjian internasional. Sedangkan menurut Subekti, bahwa pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik adalah melaksanakan perjanjian dengan mengandalkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Pelaksanaan perjanjian harus dinilai berdasarkan ukuran obyektif. Atau 9

dengan lain perkataan pelaksanaan perjanjian harus berjalan di atas rel yang benar.

  Bahwa perjanjian hanya membebankan hak dan kewajiban bagi para pihak

perjanjian internasional, bukan pada pihak ketiga, dalam hukum perjanjian sering

disebut dengan prinsip Pacta tertiis nec nocent nec prosunt. Lihat Brownlie,

Principles of Public International Law, ELBS Oxford University Press, 1979, hlm.

619. Asas ini telah menjadi bagian dari hukum internasional positif, sebagaimana

  cogens

  12

  . Dikatakan beberapa asas hukum tersebut mempengaruhi keberlangsungan perjanjian, karena sekalipun sudah ada kesepakatan dan kesepakatan tersebut mengikat bagi para pihak, bila kemudian terjadi suatu peristiwa atau karena berlakunya suatu asas hukum yang lain maka dapat berakibat berlakunya perjanjian tersebut ditunda atau bahkan dibatalkan. Seperti misalnya, dengan munculnya norma dasar hukum internasional yang baru (norma jus cogens) di mana norma tersebut bertentangan dengan perjanjian yang telah disepakati maka perjanjian tersebut akan batal. Demikian juga atas suatu perjanjian yang telah berlaku akan terganggu berlakunya bila terjadi perubahan keadaan yang fundamental (rebus sic stantibus), keadaan yang menjadi dasar dibuatnya perjanjian telah berubah dan perubahan tersebut mempengaruhi

Pasal 34 Konvensi Wina 1986 A treaty does not create either obligations or rights

  for a third State or a third organization without the consent of that State or that organization 10 Ketentuan hukum tidak dapat diterapkan atau diberlakukan atas suatu peristiwa hukum masa lampau, yaitu masa sebelum ketentuan hukum itu dinyatakan berlaku.

  Dalam Konvensi Wina 1969 dan 1986 keberadaan asas Non-retroactive terdapat dalam Pasal 4 jo Pasal 28.

  Pasal 4 Konvensi Wina 1969 dan 1986, .......the Convention applies only to treaties which are concluded by States after the entry into force of the present Convention with regard to such States .

Pasal 28 Konvensi Wina 1969 dan 1986, Unless a different intention appears from

  the treaty or is otherwise established, its provision do not bind a party in relation to any act or fact which took place or any situation which ceased to exist before the date of the entry into force of the treaty with respect to that party 11 Pengertian dan makna asas rebus sic stantibus akan diuraikan dalam pembahasan berikutnya dalam paper ini. 12 Norma jus cogens merupakan suatu norma dasar hukum internasional umum (peremtory norm of general international law). Dalam Pasal 53 jo Pasal 64 Konvensi

  

Wina 1969 dinyatakan bahwa suatu perjanjian batal apabila pada saat pembentukan kemampuan pihak-pihak yang berjanji. Dengan kata lain berlakunya perjanjian internasional dapat ditangguhkan, bahkan dapat dibatalkan karena adanya perubahan keadaan yang sangat fundamental. Jadi dengan berlakunya asas rebus sic stantibus maka para pihak dapat melepaskan atau mengingkari janji-janji yang telah mereka berikan.

  Khusus berkenaan dengan asas rebus sic stantibus yang dapat mempengaruhi keberlangsungan perjanjian, sekalipun asas ini telah diterima di dalam masyarakat internasional, namun dalam beberapa hal masih menimbulkan perbedaan penafsiran dalam penerapannya. Dalam paper ini fokus utama pembahasannya adalah keberadaan asas rebus sic stantibus dalam perjanjian internasional.

  B. Permasalahan Berdasarkan uraian di atas dalam tulisan ini akan dikaji : 1. Bagaimana eksisitensi asas rebus sic stantibus dalam masyarakat internasional.

  2. Bagaimanakah penerapan asas rebus sic stantibus dalam masyarakat internasional.

  II. P E M B A H A S A N

  A. Ruang lingkup Perjanjian internasional Sebagaimana di singgung di atas, bahwa dengan semakin intensifnya hubungan antar negara, perjanjian merupakan hukum yang harus

  13

  dihormati dan ditaati oleh pihak-pihak pembuat perjanjian . Kata ”perjanjian” menggambarkan adanya kesepakatan antara anggota

  14

  masyarakat tentang suatu keadaan yang mereka inginkan. Juga mencerminkan hasrat mereka, dan memuat tekad mereka untuk bertindak sesuai dengan keinginan dan hasrat mereka. Kata ”perjanjian” yang diikuti kata sifat ”internasional”, yang merujuk pada perjanjian yang dibuat oleh para aktor yang bertindak selaku subyek hukum internasional, juga kata ”internasional” di sini untuk menggambarkan bahwa perjanjian yang dimaksud bersifat lintas-batas suatu negara, para pihak masing-masing bertindak dari lingkungan hukum nasional yang

  15 berbeda .

  Dalam perkembangannya, perjanjian internasional telah dijadikan sumber hukum dalam hubungan internasional dan telah menjadi bagian utama dalam hukum internasional. Dewasa ini hukum internasional sebagian besar terdiri dari perjanjian-perjanjian internasional. Bahkan perjanjian internasional telah mendesak dan menggeser posisi hukum kebiasaan internasional sebagai sumber hukum internasional.

  Dalam merumuskan hasil kesepakatan dalam suatu perjanjian internasional, praktek negara-negara telah menuangkan ke dalam berbagai bentuk dengan berbagai macam sebutan atau nama, mulai dari yang paling resmi sampai pada bentuk yang paling sederhana. Namun apapun bentuk dan sebutan yang diberikan pada perjanjian internasional yang merupakan hasil kesepakatan tersebut tidak mengurangi kekuatan mengikatnya suatu perjanjian bagi para pihak.

14 Dalam konteks perjanjian internasional, tentunya yang dimaksud dengan anggota

  masyarakat adalah anggota masyarakat internasional yang beranggotakan Negara- negara, organisasi internasional, atau subyek hukum internasional lainnya. Lihat

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2003. Sampai dengan tahun 1969 pembuatan perjanjian antar negara tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum kebiasaan. Hukum kebiasaan yang berlaku dalam pembuatan perjanjian internasional tersebut kemudian oleh Komisi Hukum Internasional disusun dalam bentuk pasal-pasal sebagai draft suatu perjanjian internasional tentang pembuatan perjanjian internasional. Kemudian pada tanggal 26 Maret -

  24 Mei 1968 dan tanggal 9 April - 22 Mei 1969 diadakanlah Konferensi Internasional di Wina untuk membahas draft yang telah dipersiapkan oleh Komisi Hukum Internasional tersebut. Konferensi tersebut kemudian melahirkan Vienna Convention on The Law of Treaties yang ditandatangani pada tanggal 23 Mei 1969

  16 .

  Pengertian perjanjian internasional sendiri dapat ditinjau dari sudut pandang teoritis maupun sudut pandang yuridis. Tinjauan dari sudut pandang teoritis artinya melihat pendapat di antara beberapa sarjana, seperti pendapat Oppenheim, O’Connell, Mochtar Kusumaatmadja, Starke, dan masih banyak lagi

  17

  . Sedangkan ditinjau dari sudut pandang

  16 Konvensi ini mulai berlaku efektif dan telah menjadi hukum internasional positif pada hari ke tigapuluh sesudah penyimpanan instrumen ke tiga puluh ratifikasi atau keikutsertaan, yaitu tepatnya sejak tanggal 27 Januari 1980. Sumaryo Suryokusumo, Hukum Perjanjian Internasional , Bahan Kuliah Magister Ilmu Hukum, yanpa tahun, hlm. 10. 17 Beberapa pengertian perjanjian sebagaimana disebutkan oleh Mohd. Burhan Tsani, dalam bukunya Hukum dan Hubungan Internasional, Liberty Yogyakarta, 1990, hlm.

  64-65. Sumaryo Suryokusumo, Loc. Cit., hlm. 11. Menurut Oppenheim, International treaties are conventions, or contracts, between two or more states concerning various matters of interest.

  D.P. O’Connell, Perjanjian internasional adalah suatu persetujuan antar negara yang yuridis berdasarkan pada pengertian perjanjian internasional sebagaimana dirumuskan dalam beberapa Konvensi dan Peraturan

18 Perundangan RI .

  Berdasarkan berbagai pengertian perjanjian internasional baik berlandaskan pada pengertian teoritis maupun yuridis, dapat dikatakan bahwa suatu perjanjian merupakan perjanjian internasional apabila

  Mochtar Kusumaatmadja: Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu. JG Starke: Traktat adalah suatu perjanjian di mana dua negara atau lebih mengadakan atau bermaksud mengadakan suatu hubungan di antara mereka yang diatur dalam hukum internasional. Sepanjang perjanjian antar negara-negara terwujud, dengan ketentuan bahwa perjanjian itu bukan hal yang diatur oleh hukum nasional. Menurut Schwarzenberger, Perjanjian adalah persetujuan di antara subyek hukum Internasional yang menimbulkan suatu kewajiban yang mengikat di dalam hukum 18 internasional.

  

Konvensi Wina 1969 Pasal 2 (1.a): Perjanjian internasional berarti suatu persetujuan

internasional yang ditandatangani antarnegara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, apakah dibuat dalam bentuk satu instrumen tunggal atau dalam dua instrumen yang saling berhubungan atau lebih dan apapun yang menjadi penandaan khususnya. Konvensi Wina 1986 Pasal 2 (1.a): Perjanjian internasional berarti suatu persetujuan internasional yang diatur dengan hukum internasional dan ditandatangani dalam bentuk tertulis: antara satu negara atau lebih dan antara satu organisasi internasional atau lebih,

  • atau antarorganisasi internasional.
  • UU No.37 Th.1999 Pasal 1 (3): Perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun, yg diatur oleh HI dan dibuat secara tertulis oleh pemerintah RI dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional atau subyek HI lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah RI yang bersifat hukum publik. UU No.24 Tahun 2000, Pasal 1.a.: Perjanjian internasional adalah perjanjian dalam
dibuat oleh subyek hukum internasinal dalam bentuk tertulis serta dalam pembuatannya tunduk pada rejim hukum internasional. Tentang isi suatu perjanjian menyangkut apapun yang disepakati oleh para pihak, sepanjang tidak dilarang atau tidak bertentangan dengan norma-norma atas asas-asas hukum internasional.

  B. Keberadaan Asas Rebus sic Stantibus

  1. Pengertian asas Sebagaimana di sebutkan di atas bahwa dalam hukum perjanjian terdapat berapa asas penting dalam perjanjian internsaional salah satunya adalah asas rebus sic stantibus. Sebelum menguraikan lebih lanjut tentang keberadaan asas rebus sic stantibus, ada baiknya diuraikan terlebih dahulu pengertian asas dan arti pentingnya asas dalam hukum.

  Oleh beberapa sarjana penggunaan kata asas disamakan artinya

  19 dengan prinsip (principle) .

  Arti dari asas itu sendiri menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia mempunyai tiga pengertian, yaitu berarti: a.

  Dasar, alas, pedoman; b.

  Suatu kebenaran yang menjadi pokok atau tumpuan berpikir

  20 c. Cita-cita yang menjadi dasar .

  Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa asas merupakan dasar atau tempat tumpuan berpikir dalam memperoleh kebenaran.

19 Mochtar Kusumaatmadja, menterjemahkan general principle of law dengan asas

  hukum umum. Vadross, beliau mengatakan bahwa asas pacta sunt servanda merupakan suatu asas hukum umum (general principle of law). Mochtar Kusumatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2003, hlm.148;

  Menurut Paton, asas adalah suatu alam pikiran yang dirumuskan

  21

  secara luas dan mendasari adanya sesuatu norma hukum. Berdasakan pendapat Paton yang demikian dapat dikatakan bahwa adanya norma hukum itu berlandaskan pada suatu asas. Sehingga setiap norma hukum harus dapat dikembalikan pada asas. Pendapat senada dikemukakan oleh van Erkema Hommes bahwa asas hukum itu tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum yang konkrit, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku. Pembentukan hukum praktis perlu berorientasi pada asas-asas

  22

  hukum tersebut. Pendapat lain tentang asas hukum sebagaimana dikemukakan oleh Ron Jue bahwa asas hukum merupakan nilai-nilai

  23 yang melandasi kaidah-kaidah hukum.

  Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa asas hukum merupakan suatu alam pikiran atau cita-cita ideal yang melatarbelakangi

  24

  pembentukan kaidah hukum, bersifat umum maupun universal dan abstrak, tidak bersifat konkrit. Bahkan oleh Scholten dikatakan bahwa asas hukum itu berada baik dalam sistem hukum maupun di belakang atau di luar sistem hukum. Sejauh nilai asas hukum itu diwujudkan dalam kaidah hukum dari sistem hukum positif, maka asas hukum itu berada di dalam sistem. Demikian sebaliknya, sejauh nilai asas hukum itu

  21 Sebagaimana dikutip oleh Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar 22 Grafika, Jakarta, 2000, hlm.36. 23 Dalam Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Liberty, Yogyakarta, 2001, hlm.5.

  

Mr. drs. J.J. H. Bruggink, alih bahasa Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, Citra

24 Aditya, Bandung, 1999, hlm.121.

  

Asas hukum umum menunjuk berlakunya asas tersebut pada seluruh bidang hukum.

  Sedangkan asas hukum universal menunjuk berlakunya asas tersebut kapan saja dan tidak diwujudkan dalam kaidah hukum dari sistem hukum positif, maka

  25 asas hukum itu berada di belakang sistem hukum .

  Berdasarkan pemikiran Scholten yang demikian, maka bisa dijumpai adanya beberapa asas hukum yang dituangkan dalam kaidah hukum, baik yang berupa undang-undang maupun perjanjian internasional. Demikian sebaliknya, ada beberapa asas hukum yang tidak dituangkan dalam peraturan perundangan atau perjanjian internasional.

  2. Keberadaan dan Pandangan para ahli terhadap asas Rebus Sic Stantibus.

  26 Keberadaan asas Rebus Sic Stantibus telah lama dikenal dalam

  masyarakat, baik oleh para ahli hukum maupun oleh lembaga

  27

  pengadilan , dan bahkan dewasa ini telah menjadi bagian dari hukum positif baik dalam sistem hukum nasional maupun dalam sistem hukum internasional. Masyarakat Eropa, khususnya melalui hukum Gereja mengatakan bahwa: ”pengaruh hukum Gereja yang kekal dapat terlihat dalam pemasukan asas rebus sic stantibus kedalam tubuh hukum internasional”. Diterimanya asas rebus sic stantibus tersebut pada awalnya

  28

  untuk melunakkan sifat ketat hukum privat Roma . Bahkan sejak abad

  XII dan XIII ahli-ahli hukum kanonik telah mengenal asas ini yang dalam bahasa Latin-nya diungkapkan sebagai : contractus qui habent tractum

  

succesivum et dependentiam de futuro rebus sic stantibus intelliguntur, yang

  25 26 Ibid., hlm.122.

  Makna dari asas tersebut adalah;” perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya mengikat selama tidak ada perbahan vital dalam keadaan-keadaan yang berlaku pada 27 waktu traktat diadakan”.

  

RC Hengorani, Modern International Law, Second Edition, Oxford & IBH artinya bahwa ”perjanjian menentukan perbuatan selanjutnya untuk melaksanakannya pada masa yang akan datang harus diartikan tunduk kepada persyaratan bahwa lingkungan dan keadaan di masa yang akan

  datang tetap sama” Melalui ungkapan dari para ahli hukum kaum kanonik dapat dipahami bahwa perjanjian akan dilaksanakan oleh para pihak sesuai dengan janjinya, sepanjang lingkungan dan keadaan pada saat dibuatnya perjanjian tidak berubah untuk masa yang akan datang. Sehingga dengan adanya perubahan keadaan dan ternyata perubahan tersebut mempengaruhi kemampuan para pihak untuk melaksanakan perjanjian, maka pihak yang tidak mampu lagi melaksanakan perjanjian dapat menyatakan untuk tidak terikat lagi pada atau keluar dari perjanjian tersebut. Sehingga perjanjian tidak lagi mengikat baginya.

  29 .