Asas Kebebasan Berkontrak Dan Perjanjian Baku Dalam Jual Beli Apartemen Salemba Residence

(1)

DAFTAR PUSTAKA BUKU-BUKU:

Alif, M. Rizal, 2009, Analisis Kepemilikan Hak Atas Tanah Satuan Rumah Susun

Di Dalam Kerangka Hukum Benda, Nuansa Aulia, Bandung.

Badrulzaman, Mariam Darus, 1980, Pelangi Perdata II, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.

__________, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung.

__________, 2005, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Cet II, Alumni, Bandung.

Fuady, Munir, 2003, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Dalam Bisnis) Buku Kedua,Cet I, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Halim, Ridwan.A, 1990, Hukum Perdata Dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Hamzah,Andi, Suandra, I Wayan, Manalu, B.A, 1990, Dasar-Dasar Hukum Perumahan, Rineka Cipta, Jakarta.

Harahap M. Yahya , 1986, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Cet II, Alumni, Bandung.

Miru, Ahmadi, 2008, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Muhammad, Abdulkadir, 1990, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung.


(2)

__________, 2000, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Prodjodikoro, Wirjono, 1972, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Sumur , Bandung.

__________, 1984, Perbuatan Melawan Hukum, Sumur, Bandung.

__________, 1976, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Cet VIII, Sumur, Bandung.

Satrio, J., 1995, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Sjahdeni, Remy Sutan, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta.

Subekti, R & R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta.

___________, 1995, Aneka Perjanjian, Cet X, Bandung.

Syahmin A.K., 2006, Hukum Kontrak Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Widjaya Gunawan dan Kartini Muljadi, 2004, Jual Beli (Seri Hukum Perikatan), Raja Grafindo Persada, Jakarta.

UNDANG-UNDANG:

Undang-Undang Nomor. 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun Peraturan Pemerintah Nomor. 4 Tahun 1988 Tentang Rumah Susun


(3)

79

Surat Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor. 11/KPTS/1994 Tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun

INTERNET:

http://taqlawyer.com/2006/07/klausula-baku.html. Diakses Tanggal 3 Mei 2010.

http://rastamanpoertorico.blogspot.com/2009/04/praktek-klausula-baku-dalam-jual-beli.html. Diakses Tanggal 3 Mei 2010.

http://irawanharahaplegalservices.blogspot.com/2009/12/asas-kebebasan-berkontrak-dan-kontrak.html. Diakses Tanggal 2 Mei 2010.

http://www.pengacaraonline.com/index.php?option=com_content&view=article& id=87:asas-kebebasan-berkontrak-dalam-kaitannya-dengan-perjanjian-baku-&catid=42&Itemid=53. Diakses Tanggal 06 Mei 2010.


(4)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN BAKU

A . Latar belakang dan Perkembangan Perjanjian Baku di Indonesia

Beberapa tahun belakangan ini, dunia perdagangan mengalami perkembangan yang sangat pesat baik dalam skala nasional maupun internasional. Hal ini ditandai dengan banyaknya produk barang dan/atau jasa yang ditawarkan pihak pelaku usaha kepada masyarakat selaku pihak pembeli. Masyarakat tidak perlu bersusah panyah dalam memenuhi kebutuhan mereka baik bersifat primer, sekunder, tersier, dan komplementer. Semua telah disediakan oleh para pelaku usaha.

Pitlo mengatakan latar belakang tumbuhnya perjanjian baku adalah karena keadaan sosial ekonomi. Perusahaan yang besar, dan perusahaan pemerintah mengadakan kerja sama dalam suatu organisasi dan untuk kepentingan mereka, ditentukan syarat-syarat secara sepihak. Pihak lawannya pada umumnya mempunyai kedudukan lemah, baik karena prinsipnya maupun karena ketidaktahuannya hanya menerima apa yang di sodorkan.41

Pihak pelaku usaha dalam memenuhi kebutuhan pihak pembeli yang semakin meningkat tersebut, tidak mungkin bergerak dengan lambat yang tidak sesuai dengan permintaan. Menyingkapi hal ini pihak pelaku usaha berfikir bagaimana caranya memberikan pelayanan yang efektif dan efisien kepada pihak pembeli. Untuk itu, pihak pelaku usaha memikirkan suatu cara yaitu dengan

41

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Cet VIII, Sumur, Bandung, 1976, hal. 35.


(5)

membuat atau menyusun isi dan syarat terlebih dahulu yang dituangkan kedalam bentuk perjanjian baku.

Perjanjian baku merupakan suatu aspek perjanjian yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari. Perjanjian ini tumbuh dan berkembang untuk memenuhi perkembangan kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat. Akan tetapi, dengan banyaknya pihak pembeli yang harus dipenuhi kebutuhannya, pihak pelaku usaha tidak mungkin membuat ketentuan-ketentuan yang akan berlaku untuk orang-perorangan. Maka untuk memenuhi hasrat pihak pembeli tersebut, pihak pelaku usaha merancang perjanjian yang berisi syarat-syarat tertentu yang dapat diberlakukan secara kolektif dan massal. Jadi latar belakang dari perjanjian baku adalah keadaan ekonomi. Di Indonesia tidak secara jelas diketahui sejak kapan mulai timbul perjanjian baku dalam kehidupan sehari-hari, yang pasti sejak dahulu perjanjian ini telah terjadi, misalnya dalam perjanjian jual beli dan cuci cetak film.

Biasanya perjanjian baku ini dibuat dalam bentuk formulir dalam jumlah yang tertentu yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat selaku pihak pembeli, dimana formulir tersebut diberikan kepada masyarakat yang menginginkannya, karena isi dari perjanjian baku itu terlebih dahulu dibuat oleh pihak pelaku usaha, maka tidak jarang isi dari perjanjian baku itu bersifat menguntungkan satu pihak saja yaitu pihak pelaku usaha. Mayoritas dari keseluruhan isi perjanjian baku itu adalah mengatur tentang kewajiban pembeli yang harus dipenuhinya.

Di dalam transaksi perdagangan terutama dalam perjanjian jual beli, perjanjian baku banyak digunakan. Hal ini dikarenakan dengan penggunaan perjanjian baku dalam bentuk formulir ini terbukti dapat memberikan pelayanan


(6)

yang cepat (efisien) dan sekaligus memberikan kepastian hukum (efektif), yaitu kepastian hukum yang menyatakan klausula baku tersebut berlaku sah dan mempunyai kekuatan hukum. Dengan bentuk dan isi yang ditentukan hanya oleh pihak pelaku usaha saja, maka pihak pembeli tidak dapat melakukan proses tawar menawar, sehingga pihak pembeli hanya dapat melakukan tindakan “mengambil” atau “menolak” isi perjanjian tersebut terkait dengan kebutuhannya. Istilah ini dikenal dengan istilah “take it or leave it contract”.

B . Pengertian Perjanjian Baku

Yang dimaksud dengan perjanjian baku adalah suatu perjanjian tertulis yang dibuat hanya oleh salah satu pihak dalam perjanjian tersebut, bahkan seringkali perjanjian tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam bentuk formulir-formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika perjanjian tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausula-klausulanya, di mana pihak lain dalam perjanjian tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegoisasi atau mengubah klausula-klausula yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya perjanjian baku sangat berat sebelah.42 Pihak yang kepadanya disodorkan perjanjian baku tersebut tidak mempunyai kesempatan untuk bernegosiasi dan berada hanya pada posisi “take it or leave it contract ”.

42

Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Dalam Bisnis) Buku Kedua, Cet. I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 76.


(7)

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya di bakukan dan di tuangkan dalam bentuk formulir.43

Menurut Hondius bahwa perjanjian baku mempunyai kekuatan mengikat berdasarkan kebiasaan yang berlaku di lingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan.44

Sutan Remy Sjahdeini mengartikan perjanjian baku sebagai perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingan atau meminta perubahan. Adapun yang belum dibakukan hanya beberapa hal, misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu, dan beberapa hal lainnya yang spesifik dari objek yang diperjanjikan. Dengan kata lain yang dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut tetapi klausul-klausulnya.45

Dari uraian-uraian di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa ternyata para ahli hukum dalam memberikan pengertian mengenai perjanjian baku ini berbeda-beda. Tetapi pada prinsipnya sama, yaitu perjanjian tersebut ditentukan secara sepihak, dengan kewajiban lebih banyak dibebankan kepada pihak pembeli, karena pihak pembeli terdesak oleh kebutuhannya sehingga pihak pembeli terpaksa menerima perjanjian itu, bentuknya tertulis berupa formulir-formulir dan disiapkan dalam jumlah yang banyak.

43

Syahmin A.K., Hukum Kontrak Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 142.

44

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo 45

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 66.


(8)

Perjanjian baku ini biasanya dibuat pihak pelaku usaha dengan tujuan pembuatan perjanjian lebih praktis dan efisien, tetapi perjanjian baku ini pada umumnya hanya menguntungkan pihak pelaku usaha sedangkan pihak pembeli.

Perjanjian baku dapat dibedakan dalam tiga jenis:

1. Perjanjian baku sepihak, adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat dalam hal ini ialah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi kuat dibandingkan pihak debitur. Kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif.

2. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah, ialah perjanjian baku yang mempunyai objek hak-hak atas tanah. Dalam bidang agraria misalnya, dapat dilihat formulir-formulir perjanjian sebagaimana yang diatur dalam SK Menteri Dalam Negeri tanggal 6 Agustus 1977 No. 104/Dja/1977, yang berupa antara lain akta jual beli, model 1156727 akta hipotik model 1045055 dan sebagainya.

3. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat, terdapat perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan, yang dalam kepustakaan Belanda biasa disebut dengan “contract model”.46

46

http://www.pengacaraonline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=87:as as-kebebasan-berkontrak-dalam-kaitannya-dengan-perjanjian-baku-&catid=42&Itemid=53. Diakses tanggal 06 Mei 2010.


(9)

C . Ciri-Ciri Perjanjian Baku

Suatu perjanjian dapat dikatakan sebagai perjanjian baku, apabila dalam perjanjian tersebut terdapat ciri-ciri sebagai berikut :

1. Perjanjian baku tertuang dalam bentuk formulir

Menurut ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata menyatakkan bahwa tiap-tiap perikatan itu dilahirkan dari undang-undang dan karena persetujuan, Undang-undang sifatnya tertulis, sedangkan persetujuan ada yang tertulis dan lisan. Dari bunyi pasal ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian itu sifatnya bebas tergantung para pihak yang membuatnya. Perjanjian dapat dibuat secara tertulis maupun dalam bentuk lisan, hal ini dimata hukum adalah sah. Namun, ketentuan mengenai perjanjian baku biasanya ditetapkan dalam bentuk tertulis, oleh karena itu disebut dengan perjanjian baku.

2. Isinya ditetapkan secara sepihak

Isi perjanjian ditetapkan terlebih dahulu oleh pihak yang mempunyai posisi ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pihak yang lain. Dalam hal ini yang memiliki posisi ekonomi kuat adalah pihak pelaku usaha, sedangkan yang berada dalam posisi ekonomi lemah adalah pihak pembeli. Pihak pembeli dalam hal ini tidak dapat melakukan penawaran dan hanya dapat menerima maupun menolak isi perjanjian tanpa dapat melakukan perubahan-perubahan terhadap isi perjanjian tersebut.

3. Perjanjian baku berlaku secara kolektif dan massal

Perjanjian baku yang dibuat secara tertulis dalam bentuk formulir-formulir tersebut diperbanyak atau digandakan dalam jumlah yang tidak terbatas. Isi perjanjian tersebut tidak dibuat satu persatu berdasarkan keinginan pihak


(10)

pembeli, namun berlaku massal tanpa melihat kondisi dan keadaan pihak pembeli baik dari segi ekonomi ataupun yang lainnya. Bersifat kolektif berarti isinya tetap dan tertentu, tidak disesuaikan dengan orang perorangan. Dimana isi perjanjian tidak dapat diubah oleh pihak yang lemah posisinya, dalam hal ini pihak pembeli.

4. Kebutuhan pihak pelaku usaha sebagai pengikat

Dalam hal ini kedudukan pihak pelaku usaha sangat kuat, kebutuhan hidup pihak pembeli yang kian hari kian meningkat itu hanya dapat dipenuhi atau disediakan oleh pihak pelaku usaha sehingga pihak pembeli demi mempertahankan hidupnya terpaksa menerima isi perjanjian karena kebutuhan yang memaksa. Dalam kondisi seperti ini, seolah-olah ketika pihak pembeli menerima perjanjian tersebut seakan tiada paksaan dan merupakan kehendak bebas dari pihak pembeli itu sendiri.

D. Kekuatan Mengikat Perjanjian Baku

Menurut ketentuan Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, perjanjian yang dibuat secara sah, yaitu memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUHPerdata, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belak pihak atau karena alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang, dan harus dilaksanakan dengan itikad baik.47

Perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak, artinya pihak-pihak harus menaati perjanjian itu sama dengan menaati undang-undang. Jika ada yang melanggar perjanjian yang mereka buat, ia dianggap sama dengan melanggar undang-undang, yang mempunyai akibat hukum tertentu yaitu sanksi

47


(11)

hukum. Jadi, barang siapa melanggar perjanjian, ia akan mendapat hukuman seperti yang telah ditetapkan dalam undang-undang.

Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Dalam perkara perdata, hukuman bagi pelanggar perjanjian ditetapkan oleh hakim berdasarkan undang-undang atas permintaan pihak lainnya. Menurut undang-undang, pihak yang melanggar perjanjian itu harus membayar ganti kerugiaan (Pasal 1243 KUHPerdata), menanggung beban resiko (Pasal 1237 ayat 2 (dua) KUHPerdata).48

Kemudian beliau menambahkan, perjanjian yang telah dibuat secara sah mengikat pihak-pihak. Perjanjian tersebut tidak boleh ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak saja. Jika ingin menarik kembali atau membatalkan itu harus memperoleh persetujuan pihak lainnya, jadi diperjanjikan lagi. Namun demikian, apabila ada alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang, perjanjian dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak.49

Keadilan dalam hukum itu menghendaki kepastian, yaitu apa yang diperjanjikan harus dipenuhi, janji itu mengikat seperti undang-undang (Pasal 1338 ayat 1 (satu)), sedangkan yang harus dipenuhi itu sesuai dengan kepatutan dan kesusilaan (Pasal 1338 ayat 3 (tiga), asas keadilan). Hakim berwenang mencegah suatu pelaksanaan perjanjian yang tidak adil, yaitu tidak sesuai dengan kepatutan dan kesusilaan atau dengan itikad jahat.

Dengan melihat hal yang telah diuraikan di atas, bagaimana kekuatan mengikatnya perjanjian baku ini, menurut Mariam Darus Badrulzaman meninjau masalah ada dan kekuatan mengikat perjanjian baku, maka secara teoritis yuridis,

48

Abdulkadir Muhammad, Op Cit, hal. 97. 49


(12)

perjanjian ini tidak memenuhi elemen-elemen yang dikehendaki oleh Pasal 1320 jo 1338 KUHPerdata.50

Kemudian beliau menambahkan, kita melihat bahwa perbedaan posisi para pihak ketika perjanjian baku diadakan tidak memberikan kesempatan pada debitur untuk mengadakan perundingan dengan pengusaha (kreditur). Debitur tidak mempunyai kekuatan untuk mengutarakan kehendak dan kebebasannya dalam menentukan isi perjanjian baku ini. Sehingga perjanjian baku ini tidak memenuhi elemen-elemen yang dikehendaki Pasal 1320 jo 1338 KUHPerdata dan akibatnya tidak ada.51

50

Mariam Darus II, Op Cit, Hal. 52. 51


(13)

BAB IV

ANALISIS HUKUM ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU JUAL BELI

A. Keabsahan Jual Beli Apartemen Salemba Residence Sebagai Perjanjian Baku

Jual beli diatur dalam pasal 1457 KUHPerdata yaitu jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.52 Bahwa jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban untuk memberikan sesuatu, yang dalam hal ini terwujud dalam bentuk penyerahan uang oleh pihak pembeli kepada pihak pelaku usaha.53

Ketentuan Pasal 18 ayat 1 (satu) Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985, tentang rumah susun menentukan bahwa satuan rumah susun yang telah dibangun baru dapat dijual untuk dihuni setelah mendapat izin lanyak huni dari pemerintah daerah yang bersangkutan. Untuk mendapatkan izin lanyak huni perusahaan pengembang harus telah menyelesaikan bangunan dan sudah harus bersertifikat.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka untuk dapat menjual satuan-satuan apartemen, perusahaan pengembang pembangunan apartemen harus mendapat izin layak huni dari pemerintah daerah, sedangkan untuk melaksanakan jual belinya dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, terlebih dahulu harus memenuhi persyaratan adanya akta pemisahan atas satuan-satuan apartemen untuk pembuatan sertifikat hak milik atas apartemen oleh Kantor Pertanahan setempat.

52

R. Subekti & R. Tjitrosudibio, Op Cit, hal. 366. 53

Gunawan Widjaya dan Kartini Muljadi, Jual Beli (Seri Hukum Perikatan), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 7.


(14)

Dalam prakteknya banyak apartemen-apartemen yang belum selesai dibangun oleh perusahaan pengembang pembangunan telah dipasarkan untuk dijual kepada pihak pembeli. Ini dilakukan oleh perusahaan pengembang apartemen untuk memperoleh dana murah dan menjajaki kepastian pasar. Bagi pihak pembeli dengan membeli apartemen pada saat apartemen tersebut belum dibangun adalah untuk mendapatkan harga yang relatif murah, karena pada kenyataannya harga apartemen setelah bangunannya selesai harganya naik.

Bentuk hubungan hukum antara perusahaan pemgembang dengan pihak pembeli tersebut dituangkan dalam suatu perjanjian baku. Lazimnya perjanjian tersebut telah disiapkan oleh perusahaan pengembang apartemen sepihak dalam suatu bentuk dan klausul-klausul tertentu yang kemudian diajukan kepada pihak pembeli. Perjanjian jual beli tersebut baik dibuat dalam bentuk akta di bawah tangan maupun dalam bentuk akta notaris.

Perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausul sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Penggunaan perjanjian baku ini merupakan rasionalisasi hubungan hukum perjanjian sebagai cara meningkatkan efisiensi dalam pemakaian tenaga, biaya, dan waktu dengan tujuan untuk memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada pihak pembeli.

Di dalam hubungan pra kontraktual, pihak pelaku usaha lebih dominan sebab dalam tahap awal ini posisi itu memang berada pada pihak pelaku usaha namun setelah perjanjian jual beli dilaksanakan, maka posisi pihak pelaku usaha sangatlah lemah sehingga sudah semestinya dalam tahap negosiasi ini pihak pelaku usaha senantiasa mengantisipasi berbagai hal guna menghindari terjadinya


(15)

masalah-masalah sehubungan dengan perjanjian jual beli pada masa yang akan datang. Dalam hal ini pihak pembeli berada pada posisi yang sekadar mencermati isi perjanjian jual beli namun tidak berarti tidak mempunyai kemampuan dalam menentukan syarat-syarat dan klausul perjanjian.

Sebagaimana diketahui bahwa dalam suatu perjanjian, hukum Indonesia tidak hanya memberikan perlindungan kepada pihak pelaku usaha, tetapi juga memberikan perlindungan kepada pihak pembeli terhadap pihak pelaku usaha yang tidak jarang menyalahgunakan kedudukannya yang kuat dalam menghadapi mereka yang ingin membeli, yaitu dengan memaksakan syarat-syarat yang melampaui batas kewajaran dan pertimbangan keadilan. Kenyataan tersebut mengimplementasikan bahwa perjanjian jual beli dalam bentuk baku itu di dalamnya banyak terdapat klausul-klasul yang cukup memberatkan.

Namun bagaimana juga kiranya ketentuan-ketentuan yang ada dalam perjanjian jual beli dimana pihak pelaku usaha hendaknya menjalankan kegiatan usahanya semestinya memperhatikan juga pengakomodiran hak-hak dan kepentingan pihak pembeli, termasuk di dalamnya pencantuman klausul-klausul tertentu yang tidak boleh memberatkan salah satu pihak.

Pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 11/KPTS/1994 tanggal 17 November 1994 Tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun, dimaksud untuk mengamankan kepentingan perusahaan pengembang apartemen serta para calon pihak pembeli dari kemungkinan terjadinya ingkar janji dari para pihak tersebut. Dengan adanya pembatasan oleh pemerintah tersebut antara hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian baku jual beli apartemen mendapat perlindungan yang seimbang.


(16)

B. Penerapan Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Jual Beli Apartemen Salemba Residence

KUHPerdata maupun perundang-undangan lainnya tidak memuat ketentuan yang mengharuskan maupun melarang seseorang untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian ataupun mengharuskan maupun melarang untuk tidak mengikatkan diri dalam suatu perjanjian.

Berlakunya asas konsensualisme menurut hukum perjanjian Indonesia memantapkan adanya kebebasan ini. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka tentunya perjanjian yang dibuat tidaklah sah, orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat. Yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pilihan kepadanya, yaitu untuk setuju atau tidak setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud, dengan akibat transaksi yang diinginkan tidak dapat dilangsungkan.

KUHPerdata maupun ketentuan perundang-undangan lainnya tidak melarang bagi seseorang untuk membuat perjanjian dengan siapapun juga yang menghendakinya. Undang-undang hanya menentukan bahwa orang tertentu tidak cakap membuat perjanjian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1330 KUHPerdata. Dari segi ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa setiap orang memilih pihak dengan siapa ia menginginkan untuk membuat perjanjian asalkan pihak tersebut bukan pihak yang tidak cakap untuk membuat perjanjian. Bahkan menurut Pasal 1331 KUHPerdata, bila seseorang membuat perjanjian dengan seseorang lain yang menurut undang-undang tidak cakap untuk membuat


(17)

perjanjian, maka perjanjian itu tetap sah selama tidak dituntut pembatalannya oleh pihak yang tidak cakap.

KUHPerdata maupun ketentuan perundang-undangan lainnya juga tidak memberikan larangan kepada seseorang untuk membuat perjanjian dalam bentuk tertentu yang dikehendakinya. Ketentuan yang ada adalah bahwa untuk perjanjian tertentu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan, misalnya dibuat dalam akta otentik. Dengan demikian sepanjang ketentuan perundang-undangan tidak menentukan bahwa suatu perjanjian harus dibuat dalam bentuk tertentu, maka para pihak bebas untuk memilih bentuk perjanjian yang dikehendakinya, yaitu apakah perjanjian akan dibuat secara lisan atau tertulis atau perjanjian dibuat dengan akta di bawah tangan atau akta otentik.

Berdasarkan data pihak penjual PT. ADHI KARYA (Persero) Tbk membuat perjanjian jual beli apartemen dalam bentuk baku atau standar kontrak yang klausul-klausulnya telah disusun sebelumnya oleh pihak pelaku usaha. Perjanjian tersebut dibuat sebagai cara untuk meningkatkan efisiensi dalam pemakian tenaga, biaya, dan waktu dengan tujuan untuk memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada pihak pembeli. Dalam pembuatan perjanjian, pihak pelaku usaha lebih dominan sebab dalam tahap awal ini posisi itu memang berada pada pihak pelaku usaha namun setelah perjanjian jual beli dilaksanakan, maka posisi pihak pelaku usaha sangatlah lemah sehingga sudah semestinya dalam tahap negosiasi ini pihak pihak pelaku usaha senantiasa mengatur berbagai hal guna menghindari terjadinya masalah-masalah sehubungan dengan perjanjian jual beli di belakangan hari. Hal ini tidak berarti pihak pembeli tidak diberi hak atau


(18)

kesempatan untuk merubah atau menegosiasikan klausul-klausul dan substansi perjanjian tersebut.

Dalam membuat perjanjian jual beli yang disebut perjanjian pengikatan jual beli telah mengakomodasikan hak-hak pembeli sebagai pihak kedua dalam perjanjian secara wajar. Ini dapat dilihat dalam perjanjian pengikatan jual beli tersebut seperti klausul :

a. Pihak pertama dengan ini setuju dan mengikatkan dirinya untuk menjual kepada pihak kedua dan pihak kedua dengan ini setuju dan mengikatkan diri untuk membeli dari pihak pertama hak milik atas unit apartemen;

b. Hak milik atas unit apartemen meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama sesuai dengan nilai perbandingan proporsionalnya (NPP);

c. Setiap pembayaran harga jual beserta jumlah uang lain yang harus dibayar oleh pihak kedua kepada pihak pertama menurut perjanjian ini harus dilakukan melalui rekening pihak pertama pada: Bank Mandiri cabang wisma baja, acc Nomor: 070.0004192857, atas nama KSO Adhi Realty-Eden Capital. Setiap pembayaran harga jual beserta jumlah uang lain yang harus dibayar oleh pihak kedua kepada pihak pertama menurut perjanjian ini harus dilakukan secara penuh, tanpa potongan. Pembanyaran melalui cek/bilyet giro atau transfer ke rekening pihak pertama dianggap diterima setelah dana yang bersangkutan efektif diterima atau dibukukan dalam rekening pihak pertama dan kemudian dikeluarkan kwitansi resmi oleh pihak pertama;

d. Segera setelah pihak kedua menerima pemberitahuan mengenai penyerahan pembangunan dari pihak pertama, maka selanjutnya para pihak harus


(19)

menandatangani Berita Acara Serah Terima, dengan ketentuan bahwa pihak kedua tidak lalai dalam memenuhi kewajiban-kewajibannya berdasarkan perjanjian ini;

e. Para pihak dengan ini setuju dan mengikatkan diri untuk menandatangani akta jual beli segera setelah:

-sertifikat hak milik atas satuan rumah susun telah diterbitkan dan didaftarkan atas nama pihak pertama oleh pihak yang berwenang;

-harga jual atas unit apartemen telah dilunasi;

-berita acara serah terima telah ditandatangani oleh para pihak;

-iuran penggunaan dan iuran pemeliharaan atas unit apartemen untuk periode waktu yang bersangkutan telah dilunasi, dan:

-ongkos, biaya, serta pajak sebagaimana dinyatakan dalam pasal 8 perjanjian telah dilunasi.

Klausul-klausul perjanjian jual beli apartemen yang membebaskan pihak pelaku usaha dari tanggung jawabnya seperti “segala biaya, risiko dan akibat hukum yang timbul sehubungan dengan perubahan dan/atau penambahan atas unit apartemen tersebut, menjadi beban dan tanggung jawab Pihak pembeli sepenuhnya, dan sehubungan dengan hal tersebut Pihak pembeli dengan ini akan membebaskan Pihak pelaku usaha dari tuntutan dan/atau gugatan pihak manapun juga mengenai hal tersebut”.

Dalam ketentuan tersebut pihak pelaku usaha melepaskan tanggung jawabnya atas akibat perubahan jika terjadi tuntutan dari pihak ketiga lainnya, pada hal dalam setiap perubahan atas setiap satuan rumah susun tersebut adalah atas persetujuan dari pihak pelaku usaha.


(20)

Dengan demikian berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian jual beli apartemen dalam bentuk baku sudah terakomodasi dengan baik atau dengan kata lain asas kebebasan berkontrak telah dilaksanakan oleh pihak penjual walaupun dengan pembatasan-pembatasan dalam klausul-klausul tertentu.

C. Klausula-Klausula Baku Terhadap Jual Beli Apartemen Salemba Residence Belum Memenuhi Asas Kebebasan Berkontrak

Walaupun belum dilakukan penelitian secara pasti, dewasa ini sebagian besar perjanjian dalam dunia bisnis berbentuk perjanjian baku/perjanjian standar/standard contract.Adapun yang dimaksud dengan perjanjian baku adalah suatu perjanjian yang isinya telah diformulasikan oleh suatu pihak dalam bentuk-bentuk formulir.

Lahirnya perjanjian baku dilatarbelakangi antara lain oleh perkembangan masyarakat modern, dan perkembangan keadaan sosial ekonomi. Tujuan semula diadakannya perjanjian baku adalah alasan efisiensi dan alasan praktis sebagai contoh dapat ditemukan perjanjian baku seperti dalam perjanjian kredit perbankan, perjanjian asuransi, perjanjian penitipan barang, perjanjian antara konsumen dengan PT. Telkom, perjanjian antara konsumen dengan PDAM, perjanjian antara pemilik hotel dengan konsumen, dsb.

Ketentuan yang sangat penting dalam hubungan dengan perjanjian menurut KUHPerdata, antara lain adalah Pasal 1320 dan Pasal 1338 ayat 1 (satu) KUHPerdata. Pentingnya Pasal 1320 KUHPerdata disebabkan dalam pasal tersebut diatur mengenai syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu:


(21)

1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu hal tertentu;

4. suatu sebab yang halal.

Pasal 1338 ayat 1 (satu) KUHPerdata yang merupakan tiangnya hukum perdata berkaitan dengan penjabaran dari asas kebebasan berkontrak, yaitu:

1. bebas membuat jenis perjanjian apa pun; 2. bebas mengatur isinya;

3. bebas mengatur bentuknya.

Kesemuanya dengan persyaratan tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Bahwa perjanjian baku memenuhi asas kebebasan berkontrak seperti yang tertuang dalam Pasal 1320 dan 1338 ayat 1 (satu) KUHPerdata. Mengenai hal ini terdapat pendapat:

1. Perjanjian baku tidak memenuhi unsur-unsur perjanjian seperti yang diatur pada Pasal 1320 dan Pasal 1338 ayat 1 (satu) KUHPerdata;

2. Perjanjian baku memenuhi unsur-unsur perjanjian seperti yang dimaksud pada Pasal 1320 dan Pasal 1338 ayat 1 (satu) KUHPerdata.

Seperti telah diuraikan, isi perjanjian baku telah dibuat oleh satu pihak, sebagai pihak lainnya tidak dapat mengemukakan kehendak secara bebas. Singkatnya tidak terjadi tawar menawar mengenai isi perjanjian sebagaimana menurut asas kebebasan berkontrak. Dengan demikian, dalam perjanjian baku berlaku, “take it or leave it contract”. Maksudnya apabila setuju silakan ambil, dan bila tidak tinggalkan saja, artinya perjanjian tidak dilakukan.


(22)

Memperhatikan keadaan demikian, banyak isi perjanjian baku yang memberatkan atau merugikan pihak pembeli sebagaimana diketahui lazimnya syarat-syarat dalam perjanjian baku adalah mengenai:

1. cara mengakhiri perjanjian;

2. cara memperpanjang berlakunya perjanjian; 3. cara penyelesaian sengketa;

4. klausula eksonerasi.

klausula eksonerasi adalah klausula yang digunakan dengan tujuan pada dasarnya untuk membebaskan atau membatasi tanggungjawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lainnya, dalam hal yang bersangkutan tidak atau tidak dengan semestinya melaksanakan kewajibannya yang ditentukan dalam perjanjian tersebut.54

Klausula eksonerasi yang terdapat dalam perjanjian baku pada umumnya terlihat pada ciri-ciri yang ada, yaitu adanya pembatasan tanggung jawab atau kewajiban salah satu pihak yaitu pihak pelaku usaha untuk membayar ganti rugi kepada pihak pembeli. Klausula eksonerasi dapat berasal dari pihak pelaku usaha yang membuat rumusan pasal undang-undang.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman ciri-ciri klausula eksonerasi adalah sebagai berikut:

1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditur yang posisinya relatif kuat dari debitur;

2. Debitur sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian itu;

3. Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu ;

54


(23)

4. Bentuknya tertulis;

5. Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal atau individual.55

Klausula eksonerasi hanya dapat digunakan dalam pelaksanaan perjanjian antara pihak pelaku usaha dan pihak pembeli. Eksonerasi hanya dapat digunakan jika tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak bertentangan dengan kesusilaan. Tujuan utama klausula eksonerasi adalah menghindari pihak pembeli merugikan kepentingan pihak pelaku usaha.

Dalam perjanjian, pihak pembeli adalah pihak yang dilayani oleh pihak pelaku usaha sebagai pelayan. Dalam hubungan ekonomi dikatakan pihak pembeli adalah raja. Sebagai raja pihak pembeli dapat berbuat semaunya, sehingga dapat merugikan pihak pelaku usaha. Untuk menghindari kemungkinan timbul kerugian itu, pihak pelaku usaha mencari akal, yaitu menciptakan syarat baku yang disebut eksonerasi. Dengan kepintaran pihak pelaku usaha, eksonerasi dibuat sedemikian rapi, sehingga pihak pembeli dalam waktu relatif singkat kurang memahami isinya. Baru dapat disadari setelah mendapat peristiwa yang menimbulkan kerugian, dan berdasarkan klausula eksonerasi kerugian tersebut menjadi beban tanggung jawab pihak pembeli.

Dalam suatu perjanjian dapat dirumuskan klausula eksonerasi karena keadaan memaksa yaitu kerugian yang timbul karena keadaan memaksa bukan tanggung jawab para pihak. Tetapi dalam syarat perjanjian dapat dibebankan kepada pihak pembeli, pihak pelaku usaha dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya dalam menyewa barang, barang tersebut musnah karena terbakar. Sebab

55


(24)

kebakaran bukan salah para pihak. Dalam hal ini pihak pembeli diwajibkan melunasi harga yang belum dibayar lunas berdasarkan klausula eksonerasi.

Apabila melihat keadaan di Indonesia, klausula eksonerasi ini sudah muncul sejak lama dimana masyarakat pihak pembeli kurang menyadari dan memperhatikannya. Apabila ada ketentuan yang merugikan biasanya tidak dipermasalahkan. Dengan demikian, walaupun pihak pelaku usaha mempunyai kebebasan merumuskan dan memberlakukan syarat atau klausula eksonerasi, pembatasan oleh undang-undang dan kesusilaan tidak dapat diabaikan. Keberlakuan eksonerasi dapat dikontrol melalui nilai-nilai pancasila dan rasa keadilan masyarakat Indonesia.

D. Manfaat Yuridis Dari Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Baku Bagi Pelaku Usaha

Hukum dan sistem sosial masyarakat merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, dimana hukum ada karena kehendak dari mayarakat dan tujuan dari dibentuknya hukum adalah untuk masyarakat. Hukum hanya dapat dimengerti dengan jalan memahami sistem sosial terlebih dahulu, karena hukum merupakan suatu proses dan sistem hukum merupakan pencerminan daripada suatu sistem sosial sebagai bagian dari sistem sosial itu sendiri. Hukum secara sosiologis adalah penting, dan merupakan suatu lembaga kemasyarakatan (social institution) yang merupakan himpunan nilai- nilai, kaidah-kaidah dan pola-pola perilaku yang berkisar pada kebutuhan-kebutuhan pokok manusia.56

Faktor-faktor yang menyebabkan pelaku usaha mencantumkan klausula baku tersebut yaitu:

56

http://rastamanpoertorico.blogspot.com/2009/04/praktek-klausula-baku-dalam-jual-beli.html. Diakses tanggal 3 Mei 2010.


(25)

1. Motif Ekonomi dan Pengetahuan Pelaku Usaha

Hubungan jual beli apartemen yang terjadi antara pihak pelaku usaha dengan pihak pembeli dilaksanakan dalam upaya memenuhi kebutuhan dan/atau kepentingan masing-masing pihak, yaitu bagi konsumen memenuhi salah satu kebutuhan sehari-hari di dalam bertempat tinggal, sedangkan kebutuhan pelaku usaha dalam kegiatan usahanya yaitu nilai ekonomi atau keuntungan yang dapat diperolehnya (tujuan usaha).

Klausula baku dalam dokumen jual beli barang apartemen merupakan salah satu “sarana” bagi pihak pelaku usaha untuk mencapai tujuan usahanya yaitu keuntungan sebesar-besarnya dengan risiko yang sekecil-kecilnya (surplus). Keuntungan yang lebih yang di dapatkan pelaku usaha, yaitu seperti:

a. beralihnya tanggung jawab dan/atau resiko pihak pelaku usaha atas apartemen kepada pihak pembeli,

b. kewajiban pihak pelaku usaha yang diberikan kepada pihak pembeli dan pihak pembeli menerima atas kondisi apartemen yang diinginkan dari pihak pelaku usaha .

2. Sosial Masyarakat

Masyarakat pada dasarnya merupakan konsumen. Menurut Aristoteles “manusia adalah makhluk sosial”, artinya bahwa manusia akan selalu membutuhkan manusia yang lainnya untuk memenuhi apa yang menjadi kebutuhan dan kepentingannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dikarenakan pada hakekatnya manusia sebagai konsumen dimulai sejak lahir sampai dengan meninggal dunia, bahkan untuk kondisi tertentu anak yang masih dalam


(26)

kandungan pun sudah menjadi konsumen yaitu konsumen yang berkaitan dengan kesehatan, pertumbuhan dan kecerdasan anak.57

Berdasarkan fakta yang ada, diketahui bahwa masyarakat juga menjadi penyebab klausula baku tersebut tetap ada yaitu dikarenakan :

a. Lemahnya pengetahuan atau pemahaman akan klausula baku yang mengandung unsur klausula eksonerasi, sehingga dari hal ini juga menyebabkan lemahnya kontrol masyarakat terhadap praktek jual beli tersebut;

b. Lemahnya kesadaran masyarakat yang berkenaan dengan kerugian yang mungkin di alaminya;

c. Sikap kurang hati-hati, yaitu dengan tidak membaca atau mengamati dengan teliti isi dokumen, termasuk ketentuan klausula baku yang ada;

d. Lemahnya rasa kepedulian bersama yaitu dimana pihak pembeli hanya memperjuangkan kepentingan pribadinya semata tanpa memperdulikan pihak pembeli lainnya pada satu masalah yang sama (klausula baku), seperti dengan memberikan informasi, dan sebagainya;

3. Peran Pemerintah

Lemahnya peranan pemerintah dalam membentuk kesadaran hak dan kewajiban secara hukum, baik pihak pelaku usaha ataupun pihak pembeli dalam praktek jual beli. Peranan pemerintah merujuk pada tingkatan paksaan eksternal yang dirasakan individu atau manusia, baik berupa membuat aturan hukum dan melaksanakan bekerjanya hukum, antara lain seperti sosialisasi, pembinaan, pengawasan, dan penegakan hukum.

57

http://rastamanpoertorico.blogspot.com/2009/04/praktek-klausula-baku-dalam-jual-beli.html. diakses tanggal 3 Mei 2010.


(27)

Pemerintah merupakan suatu lembaga yang memiliki dominasi dan otoritas yang sah, yaitu hak perintah berdasarkan legalitas aturan tertulis. Dari sudut pandang teknis murni, birokrasi mampu mencapai tingkat efisiensi tertinggi, dan dalam hal ini secara formal dikenal sebagai sarana paling rasional untuk menjalankan otoritas terhadap manusia. Birokrasi lebih tinggi dari bentuk lain dalam soal stabilitas, dan ketaatan disiplin, dan keterpercayaannya. Birokrasi membuka kemungkinan bagi tingginya tingkat kalkulabilitas hasil bagi kepala organisasi dan bagi mereka yang bertindak dalam kaitan dengan ini. Akhirnya birokrasi lebih tinggi dalam hal efisiensi intensif dan cakupan operasinya dan secara formal dapat diterapkan pada segala macam tugas administratif.58

4. Waktu

Sejarah merupakan salah satu dasar acuan untuk mengubah, mengadaptasi, menolak atau memperkenalkan aspek-aspek tertentu dari masyarakat. Semakin sedikit orang mengenal waktu yang lalu, semakin besar pula seseorang dikuasai oleh waktu, terutama mengenal faktor-faktor sosial yang merupakan nilai sosial yang akan selalu melingkupi perubahan dalam masyarakat. Secara teoritis dijelaskan bahwa sosiologis berusaha merumuskan konsep tipe dan keseragaman umum proses-proses empiris, sedangkan sejarah berorientasi pada kausal dan penjelasan atas tindakan struktur, dan kepribadian individu yang memiliki signifikasi kultural.59

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa perjanjian baku yang dirancang secara sepihak oleh pihak pelaku usaha akan menguntungkan pihak pelaku usaha berupa:

58

http://rastamanpoertorico.blogspot.com/2009/04/praktek-klausula-baku-dalam-jual-beli.html. Diakses tanggal 3 Mei 2010.


(28)

a. efisiensi biaya, waktu, dan tenaga;

b. praktis karena sudah tersedia naskah yang dicetak berupa formulir atau blanko yang siap diisi dan ditandatangani;

c. penyelesaian cepat karena pihak pembeli hanya menyetujui dan

menandatangani perjanjian yang disodorkan kepadanya; d. perjanjian yang dibuat dalam jumlah yang banyak.


(29)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Keabsahan jual beli apartemen Salemba Residence ini mengacu kepada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang rumah susun dan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang rumah susun dijadikan apartemen. Mengenai perjanjian tersebut berdasarkan pula pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam hal kepemilikan bersama ini Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak terlalu bulat dan utuh. Hal tersebut karena telah ada Undang-Undang lain yang mengatur secara khusus mengenai kepemilikan bersama ini. Akan tetapi hal-hal umum yang terdapat dalam perjanjian tersebut adalah tetap mengatur kepada peraturan yang ada dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Seperti halnya mengenai perjanjian jual beli. Hal-hal pokok yang ada dalam perjanjian jual beli pasal 1320 KUHPerdata yaitu: “kesepakatan, kecakapan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal”. Maka dalam perjanjian ini pun harus berdasarkan kepada empat hal tersebut di atas. Apabila tidak terpenuhi salah satu unsur yang tersebut di atas maka perjanjian tersebut adalah batal demi hukum.

2. Di dalam perjanjian jual beli apartemen Salemba Residence hendaknya tidak memenuhi klausula baku yang bersifat klausula eksonerasi karena klausula eksonerasi digunakan dengan tujuan pada dasarnya untuk membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak yaitu


(30)

pihak pelaku usaha terhadap gugatan pihak lainnya sebagai pihak pembeli yang belum memenuhi asas kebebasan berkontrak. Setelah mendapatkan peristiwa yang menimbulkan kerugian maka berdasarkan klausula eksonerasi kerugian tersebut menjadi beban pihak pembeli.

3. Manfaat bagi pihak pelaku usaha dalam perjanjian baku yaitu untuk mencapai tujuan usaha dengan mencari keuntungan sebesar-besarnya dan memperkecil risiko. Dengan beralihnya tanggung jawab atau risiko pihak pelaku usaha atas apartemen yang diberikan kepada pihak pembeli yang menjadi pemilik apartemen. Perjanjian baku yang dirancang secara sepihak oleh pihak pelaku usaha akan menguntungkan pihak pelaku usaha yaitu efisien biaya, waktu, tenaga, praktis karena perjanjian dibuat dalam jumlah yang banyak dan penyelesaian cepat karena pihak pembeli hanya menyetujui atau tidak menyetujui..

B. Saran

1. agar dalam penyusunan hukum perjanjian hendaknya diperhatikan kebiasaan serta kecendrungan yang hidup dalam masyarakat, khususnya masyarakat dunia usaha, sehingga hukum perjanjian dimaksud dapat menyesuaikan diri dengan hasrat serta kebutuhan yang tumbuh dalam masyarakat.

2. Seyogianya perjanjian jual beli berbentuk baku yang tidak memberi kebebasan pihak-pihak dalam menentukan isi dan bentuk perjanjian dan tidak mencerminkan keseimbangan dan kewajiban yang pada akhirnya merugikan salah satu pihak dinyatakan batalkan.


(31)

3. agar hendaknya peraturan-peraturan tentang kepemilikan bersama dalam apartemen Salemba Residence selain memperhatikan segi-segi ekonomis dan yuridis juga mempertimbangkan asas-asas keadilan dengan memberikan perlindungan yang selanyaknya terhadap subjek-subjeknya.


(32)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

A. Pengertian Perjanjian

Perjanjian yang di dalam hukum perikatan merupakan salah satu sumber dari perikatan itu sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1233 KUHPerdata, yaitu “ Setiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang “.

Dalam hal ini A. Ridwan Halim mengemukakan pendapatnya sebagai berikut :

Sumber-sumber perikatan itu adalah : a. Perjanjian atau persetujuan

b. Undang-undang

c. Perbuatan atau sikap tindak manusia yang dibedakan lagi atas : 1. Perbuatan manusia menurut hukum/halal

2. Perbuatan manusia yang melanggar hukum

d. Perbuatan atau sikap tindak manusia yang lain, yakni suatu sikap manusia dimana ia mengikatkan dirinya sendiri kepada sesuatu hal yang sebenarnya bukan menjadi kewajibannya, misalnya :seseorang yang telah bersedia mengikatkan diri untuk menjaga rumah tetangganya selama tetangganya itu pergi sehingga bila terjadi kehilangan di rumah tetangganya itu dialah yang bertanggung jawab.13

13

Ridwan Halim, A., Hukum Perdata Dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990. hal. 145-146.


(33)

Dari pernyataan di atas terlihat bahwa perjanjian itu sering terjadi dan dilakukan oleh masyarakat, baik yang dilakukan secara tertulis maupun tidak tertulis (lisan dan secara diam-diam). Masalah perjanjian ini mempunyai ruang lingkup yang cukup luas. Sehingga sangat menarik untuk dibahas dan diteliti, apalagi kalau perjanjian itu dikaitkan dengan masalah asas-asas kebebasan berkontrak dan perjanjian baku dalam jual beli yang dilakukan oleh pihak-pihak pengusaha, sebagaimana topik yang akan dibahas dalam skripsi ini.

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1313 yaitu:

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.14

Dari ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata di atas terlihat bahwa perjanjian diistilahkan dengan persetujuan. Padahal pengertian persetujuan lebih luas dari pengertian perjanjian. Jika pada persetujuan yang mengikatkan diri hanya sepihak saja, maka pada perjanjian yang mengikatkan diri adalah kedua belah pihak.

Sehingga pengertian persetujuan atau perjanjian yang dikemukakan dalam Pasal 1313 KUHPerdata mengandung kelemahan-kelemahan sebagaimana yang dikemukakan dalam pernyataan berikut :

a. Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusan itu “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus diantara pihak-pihak.

14


(34)

b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus. Dalam pengertian perbuatan termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatig daad) yang tidak mengandung suatu konsensus, seharusnya dipakai kata persetujuan.

c. Pengertian perjanjian terlalu luas. Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut di atas terlalu luas karena mencakup juga perlangsungan perkawinan, janji kawin yang diatur dalam lapangan hukum keluarga, padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki oleh Buku III KUHPerdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat personal.

d. Tanpa menyebut tujuan. Dalam perumusan pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian. Sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.15

Untuk lebih menyempurnakan pengertian perjanjian yang ditentukan dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang dianggap oleh sebagian sarjana mengandung kelemahan-kelemahan sebagaimana yang telah diuraikan dalam pernyataan di atas, maka pengertian perjanjian itu sebaiknya sebagai berikut, yaitu : “Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”.

Mengingat adanya kata sepakat diantara kedua pihak yang mengikatkan diri tersebut merupakan unsur dan syarat utama dalam suatu perjanjian, maka tidak salah kalau perjanjian itu merupakan perbuatan dari dua orang atau lebih yang saling mengikatkan diri dan bukan hanya satu orang atau satu pihak saja

15


(35)

yang harus mengikatkan diri. Oleh karena itu tentang pengertian-pengertian perjanjian itu Wirjono Prodjodikoro mengemukakan pendapatnya dengan mengartikan perjanjian itu sebagai berikut : “suatu kata sepakat antara dua pihak atau lebih mengenai harta benda kekayaan mereka, yang bertujuan mengikatkan kedua belah pihak”.16

Menurut M. Yahya Harahap, perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi. Dari pengertian ini dapat dijumpai beberapa unsur antara lain hubungan hukum yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi.17

Kalau dikaitkan pengertian perjanjian di atas dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu ”Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu hal tertentu;

4. suatu sebab yang halal.18

maka terlihat dengan jelas bahwa perjanjian itu harus didasarkan atas kesepakatan para pihak, yang dalam hal ini harus dilakukan sedikitnya dua orang itu harus benar-benar sepakat untuk mengikatkan dirinya masing-masing.

16

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung, 1972, hal. 11.

17

M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Cet II, Alumni, Bandung, 1986, hal.6. 18


(36)

Selanjutnya kesepakatan kedua pihak itu untuk mengikatkan dirinya masing-masing, sudah barang tentu mempunyai maksud dan tujuan, yaitu tentang sesuatu yang menyangkut dengan harta benda kekayaan masing-masing. Sesuatu itulah yang menjadi tujuan para pihak mengikatkan diri.

Dengan demikian agar tidak terjadi perbedaan pendapat dan pandangan dalam mengartikan perjanjian pada pembahasan skripsi ini, maka perjanjian itu adalah suatu persetujuan diantara dua orang atau lebih yang saling mengikatkan dirinya untuk melakukan sesuatu apa yang telah mereka setujui.

B. Unsur-Unsur Perjanjian

Berbicara tentang unsur-unsur perjanjian, secara umum Abdulkadir Muhammad, mengatakan sebagai berikut :

a. ada pihak-pihak sedikitnya dua orang; b. ada persetujuan diantara pihak-pihak itu; c. ada tujuan yang akan dicapai;

d. ada prestasi yang akan dilaksanakan; e. ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan;

f. ada syarat-syarat tertentu, sebagai isi perjanjian.19 Ad.a. Ada pihak-pihak sedikitnya dua orang

Dalam suatu perjanjian pihak-pihak merupakan unsur yang utama, karena disamping pihak-pihak itu dijadikan sebagai subjek perjanjian, juga perjanjian itu tidak akan pernah ada apabila tidak adanya pihak yang menginginkan, membuat perjanjian itu.

19


(37)

Pihak-pihak dalam perjanjian itu yang menurut hukum perjanjian merupakan subjek perjanjian selain berupa manusia juga dapat berupa badan hukum. Karena menurut hukum, manusia dan badan hukum merupakan subjek hukum yang dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum di dalam masyarakat.

Dimata hukum manusia dapat menjadi subjek hukum dengan sendirinya, sedangkan badan hukum harus melalui suatu proses yang dilandasi teori-teori yang dikenal dalam ilmu hukum itu sendiri.

Adapun teori-teori yang menyatakan badan hukum itu merupakan subjek hukum adalah :

1.) Teori Fictie (perumpamaan)

Menurut teori ini, badan hukum itu diumpamakan sebagai manusia, terpisah dari manusia yang menjadi pengurusnya. Karena itu perbuatan hukum yang dilakukan oleh pengurusnya tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan badan hukum, melainkan perbuatan orang lain yang dapat dipertanggungjawabkan pada hukum itu. Dengan demikian badan hukum itu tidak berbuat secara langsung. Sehingga pengurus tersebut adalah orang yang bertindak atas kuasa dari badan hukum itu. Jadi badan hukumlah yang bertanggung jawab atas segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh pengurusnya.

Menurut teori ini, maka badan hukum yang melakukan perbuatan melawan hukum tidak dapat digugat dengan Pasal 1365 KUHPerdata yaitu:

”Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,


(38)

mengganti kerugian tersebut”20tetapi dapat digugat dengan Pasal 1367 KUHPerdata.

Alasannya, karena badan hukum dalam melakukan perbuatan hukum (termasuk perjanjian) telah menguasakannya kepada orang yang telah menjadi pengurusnya. Sehingga walaupun perbuatan melawan hukum itu dilakukan oleh pengurusnya sendiri, maka badan hukumlah yang bertanggung jawab. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 1367 KUHPerdata, yaitu :

“Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya”.

“Orang tua dan wali bertanggung jawab tentang kerugian yang disebabkan oleh anak-anaknya yang belum dewasa, yang tinggal pada mereka dan terhadap siapa mereka melakukan kekuasaan orang tua atau wali”.

“Majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka adalah bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau bawahan-bawahan mereka di dalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang itu dipakainya”.

“Guru-guru sekolah dan kepala-kepala tukang bertanggung jawab terhadap kerugian yang diterbitkan oleh murid-murid dan tukang-tukang mereka selama waktu orang-orang itu berada di bawah pengawasan mereka”.

Tanggung jawab yang disebut di atas berakhir, jika orang tua, wali, guru-guru sekolah, dan kepala-kepala tukang itu membuktikan bahwa mereka tidak dapat mencegah perbuatan untuk mana mereka seharusnya bertanggung jawab itu.21

2.) Teori Organ (perlengkapan)

Dalam teori ini badan hukum dipersamakan dengan manusia pribadi. Bertindaknya badan hukum itu melalui perlengkapan (organ). Dengan demikian badan hukum melalui perlengkapannya secara langsung bertanggung jawab terhadap semua perbuatan hukum yang dilakukannya. Tentang sejauh

20

R. Subekti & R. Tjitrosudibio, Loc Cit. 21


(39)

mana orang dapat dianggap sebagai perlengkapan badan hukum dan sejauh mana kewenangan dari perlengakapan tersebut, dapat dilihat dari anggaran dasar pendirian badan hukum itu. Karenanya menurut pendapat Wirjono Prodjodikoro, yaitu badan hukum yang melakukan perbuatan melawan hukum dapat digugat melalui Pasal 1365 KUHPerdata. Sedangkan terhadap bawahan alat perlengkapan badan hukum tetap dipertanggung jawabkan berdasarkan Pasal 1367 KUHPerdata.22

Jadi dalam hal ini harus dapat dibedakan mana yang merupakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh badan hukum itu sendiri dan mana perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perlengkapannya.

3.) Teori Yuridische Realiteit (kenyataan hukum)

Dalam teori ini, bahan hukum adalah realitas hukum yang dibentuk dan diakui sama seperti manusia pribadi. Maksudnya, badan hukum itu dibuat, dibentuk didasarkan kepada kenyataan hukum yang ada, yang tujuannya agar badan hukum itu diakui sebagai subjek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum.

Menurut teori ini, apabila badan hukum melakukan perbuatan melawan hukum, maka badan hukum itu dapat digugat berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa badan hukum dianggap sebagai subjek hukum adalah karena badan hukum itu diumpamakan sebagai manusia, karena badan hukum dianggap sama dengan manusia pribadi, serta karena

22


(40)

kenyataan hukum yang menganggap bahwa badan hukum itu sama dengan manusia pribadi.

Ad.b. Ada persetujuan diantara pihak-pihak itu

Persetujuan disini adalah merupakan keputusan, setelah dilakukannya perundingan. Karena perundingan itu sendiri adalah tindakan pendahulu untuk menuju tercapainya persetujuan. Selanjutnya persetujuan itu ditunjukkan dengan penerimaan terhadap hal-hal yang berkenaan dengan syarat-syarat dan objek perjanjian tersebut, maka timbullah persetujuan sebagai salah satu syarat dari perjanjian.

Sehingga menurut Abdulkadir Muhammad, yang dirundingkan tersebut adalah tentang “syarat-syarat dan objek perjanjian, sehingga dengan disetujuinya oleh masing-masing pihak tentang syarat-syarat dan objek perjanjian itu timbullah persetujuan”.23

Ad.c. Ada tujuan yang akan dicapai

Tujuan mengadakan perjanjian adalah mencapai sesuatu yang dibutuhkan oleh pihak-pihak. Kebutuhan tersebut hanya dapat terpenuhi dengan cara mengadakan perjanjian dengan orang lain. Namun belum berarti para pihak boleh mengadakan perjanjian dengan mencapai kebutuhan tersebut secara bebas yang mutlak. Karena undang-undang telah membatasinya, dimana tujuan yang akan dicapai itu tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, disesuaikan dan bertentangan dengan undang-undang.

Ad.d. Ada prestasi yang akan dilaksanakan

23


(41)

Sebagai akibat adanya persetujuan timbullah kewajiban untuk melakukan suatu prestasi yang merupakan kewajiban para pihak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian.

Ad.e. Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan

Bentuk perjanjian ini berguna untuk dijadikan dasar kekuatan mengikat dan kekuatan pembuktiannya. Bentuk perjanjian ini biasanya dibuat dalam bentuk akte atau tulisan. Selain itu perjanjian diperbolehkan juga untuk dibuat secara lisan, dalam hal ini sebagai catatan haruslah diperbuat dengan kata-kata yang jelas maksud dan tujuannya.

Ad.f. Ada syarat-syarat tertentu, sebagai isi perjanjian

Syarat-syarat ini pada hakikatnya adalah merupakan isi perjanjian. Karena dari syarat-syarat inilah dapat diketahui hak dan kewajiban pihak-pihak. Kemudian syarat-syarat tersebut pada umumnya terdiri dari syarat-syarat pokok, seperti tentang barang, dan harganya. Serta syarat-syarat perlengkapan, seperti cara pembayaran, cara penyerahan barang dan sebagainya.

1. Sepakat mereka yang telah mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal24

Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat dikatakan, bahwa antara unsur-unsur perjanjian dengan syarat-syarat perjanjian atau perikatan yang diatur dalam

24


(42)

Pasal 1320 KUHPerdata mempunyai kaitan yang sangat erat. Dengan kata lain, syarat-syarat perjanjian itu merupakan salah satu unsur yang harus dipenuhi. Selanjutnya dalam suatu perjanjian syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata harus ada dan harus terpenuhi. Oleh karenanya dalam suatu perjanjian para pihak diberi kebebasan untuk menentukan dan membuat isi perjanjian yang dikehendakinya, sesuai dengan asas konsesualitas yang dikenal dalam hukum perdata dan hukum perjanjian.

C. Jenis-Jenis Perjanjian

Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengenal adanya beberapa jenis perjanjian, antara lain :

1. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban

Dikatakan dengan perjanjian cuma-cuma adalah “suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu memberi suatu keuntungan kepada pihak lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri”.25

Dalam hal ini Abdulkadir Muhammad mendefenisikan perjanjian ini dengan “perjanjian percuma, yaitu perjanjian yang hanya memberikan keuntungan pada satu pihak saja.”26

Kata “memberi keuntungan” sebenarnya lebih tepat kalau diganti dengan kata “prestasi”, karena apakah prestasi tersebut pada akhirnya menguntungkan atau tidak, tidak menjadi soal. Sedangkan pada pihak lain, terhadap prestasi yang satu, tidak ada kewajiban apa-apa. Kemudian yang termasuk di dalam perjanjian cuma-cuma adalah perjanjian-perjanjian dimana memang ada prestasi pada kedua

25

J. Satrio., Hukum Perikatan, Perikatan Lahir Dari Perjanjian, Citra Aditya Bakti Bandung, 1995. hal. 38.

26


(43)

belah pihak, tetapi prestasi yang satu adalah tidak seimbang atau sebanding, sehingga prestasi itu tidak dapat dikatakan sebagai suatu kontra prestasi terhadap yang lain.

Masalah lain adalah apabila terhadap prestasi yang satu ada kontra prestasi pada pihak lain, yang walaupun tidak seimbang, tidak dapat dikatakan bahwa disana tidak ada kontra prestasi sama sekali. Menurut Vollmar, hal ini sering disebut dengan “perjanjian campuran”, yaitu antara perjanjian cuma-cuma dengan perjanjian atas beban.27

Menurut Pasal 1314 ayat 2 (dua) KUHPerdata, yang dimaksud dengan perjanjian atas beban adalah “suatu perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu”.28

Adapun perbedaan antara perjanjian cuma-cuma dengan perjanjian atas beban, yaitu bahwa pada perjanjian cuma-cuma, untuk menuntut pembatalan perjanjian yang merugikan kreditur, yang telah ditutup oleh debitur, debitur tahu bahwa perbuatan merugikan kreditur dan debitur itu sendiri tidak mau tahu apakah perbuatannya itu diketahui atau tidak. Sedangkan pada perjanjian atas beban, debitur wajib membuktikan dulu, apakah baik debitur atau pihak ketiga yang mendapat keuntungan tahu bahwa perjanjian yang dituntut pembatalannya merugikan kreditur.

2. Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang mewajibkan kedua belah pihak berprestasi secara timbal balik, misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa dan tukar-menukar. Sedangkan perjanjian sepihak adalah perjanjian yang mewajibkan

27

J. Satrio, Op Cit, hal. 149. 28


(44)

pihak yang satu berprestasi dan memberi hak kepada pihak yang lain untuk menerima prestasi, misalnya perjanjian hibah29.

Dalam perjanjian timbal balik, masing-masing pihak akan memperoleh hak dan akan melaksanakan kewajibannya.

Jadi kriteria kewajiban untuk berprestasi bagi kedua belah pihak. Sedangkan dalam perjanjian sepihak, yang mempunyai kewajiban untuk berprestasi adalah hanya satu pihak saja, dan pihak yang lain hanya berhak untuk menerima prestasi dari pihak yang satu, misalnya dalam perjanjian hibah, A berkewajiban memberikan benda yang dihibahkannya kepada B. Kewajiban tersebut merupakan prestasi yang harus dilakukan oleh si A. dalam hal ini bank hanya berhak untuk menerima benda yang dihibahkan oleh si A.

3. Perjanjian konsensual dan perjanjian riil

Perjanjian konsensual adalah perjanjian dimana adanya kata sepakat antara kedua pihak sudah cukup untuk timbulnya perjanjian yang bersangkutan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu timbul cukup dengan adanya kesepakatan diantara para pihak.

Dalam perjanjian riil, kesepakatan itu tidak cukup untuk dijadikan sebagai dasar timbulnya suatu perjanjian, tetapi juga harus diikuti dengan penyerahan barang yang menjadi objek perjanjian tersebut barulah dapat dikatakan perjanjian itu ada.

4. Perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama

Ada perbedaan dalam jenis perjanjian ini dilihat dari jumlah perjanjian. Mengingat jumlah perjanjian yang memiliki nama jumlahnya hanya terbatas,

29

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 227.


(45)

maka dalam praktek hukumnya disebut dengan perjanjian bernama, yaitu perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang dikelompokkan ke dalam perjanjian khusus. Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan dilihat dari jumlahnya tidak terbatas.30

5. Perjanjian kebendaan

Seperti diketahui bahwa perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian yang objeknya menyangkut dengan kebendaan. Sedangkan perjanjian obligator adalah merupakan realisasi dari perjanjian kebendaan tersebut, dalam arti perjanjian yang menimbulkan perikatan.

Tujuan Kebendaan ini adalah untuk mengetahui keberadaan dalam perjanjian tersebut sebagai realisasi, perjanjian, dan penyerahan itu sah menurut hukum atau tidak.

6. Perjanjian obligatoir

Perjanjian obligatoir adalah perjanjian antara pihak-pihak yang mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian jual beli saja belum mengakibatkan beralihnya hak milik dari penjual kepada pembeli. Untuk beralihnya hak milik atas bendanya masih diperlukan satu lembaga lain, yaitu penyerahan. Perjanjian jual beli itu dinamakan perjanjian obligatoir karena membebankan kewajiban kepada para pihak untuk melakukan penyerahan.31 7. Perjanjian yang bersifat hukum keluarga

Walaupun perkawinan di dalam hukum perdata diatur dalam buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata, namun kalau dilihat dari proses terjadinya

30

Ibid. 31


(46)

perkawinan itu, maka perkawinan dapat dikatakan sebagai suatu bentuk perjanjian. Dimana dengan adanya perkawinan itu secara hukum dapat atau akan menimbulkan akibat hukum lagi bagi kedua belah pihak. Namun akibat hukum dalam perjanjian perkawinan ini hanya menyangkut dengan akibat hukum dalam keluarga saja.

Perkawinan timbul karena adanya kesepakatan diantara pihak pria dan wanita dan menimbulkan hak dan kewajiban sebagai ikatan lahir dan batin. Hal tersebut sama halnya dengan syarat-syarat dalam perjanjian. Bahkan dalam perkawinan para pihak yang akan mengadakan perjanjian perkawinan tersebut telah ditentukan, seperti antara pria dan wanita, tidak boleh sedarah dan sebagainya.

Namun mengingat bahwa perkawinan merupakan perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban yang bersifat pribadi antara suami dan istri, kemudian hak dan kewajiban tersebut bukan merupakan kehendak dari undang-undang atau ketentuan hukum yang mengaturnya, maka secara juridis dapat dikatakan bahwa ketentuan-ketentuan perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak berlaku bagi hak dan kewajiban suami dan istri yang terikat dalam suatu perkawinan.

Kemudian banyak lagi perjanjian-perjanjian yang terjadi di dalam masyarakat yang sesuai inteprestasi realitanya dianggap sebagai perjanjian, namun secara juridis tidak dapat dikategorikan sebagai perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Buku III KUHPerdata.


(47)

D. Asas-Asas Perjanjian

Dalam hukum perjanjian terdapat beberapa prinsip atau asas sebagai suatu landasan pikir dan pandangan untuk menginterprestasikan maksud yang terkandung dari ketentuan hukum perjanjian itu, dimana asas-asas tersebut merupakan pedoman bagi para pihak pembuat Undang-undang dalam menentukan sikap untuk membuat peraturan hukum.

Beberapa ketentuan yang menjadi dasar dari perjanjian yang disebut sebagai asas hukum perjanjian antara lain :

1. Asas kebebasan berkontrak (partij otonomie)

Asas ini terdapat di dalam Pasal 1338 KUHPerdata ayat 1 (satu) berbunyi : “semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.32

Maksud yang terkandung dalam asas ini adalah bahwa hukum perjanjian itu bersifat terbuka, dimana dalam hal ini terhadap para pihak dalam perjanjian diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengadakan perjanjian yang berisi mengenai apa saja, dengan pembatasan bahwa isi dari perjanjian itu tidak melanggar ketertiban umum, dan kesusilaan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, dan juga undang-undang. Sepakat mereka yang mengikatkan diri adalah asas esensial dari hukum perjanjian.33

2. Asas konsensual (persesuaian kehendak)

32

R. Subekti & R. Tjitrosudibio, Loc Cit. 33

Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Cet II, Bandung, Alumni, 2005, hal. 108.


(48)

Menurut R. Subekti, dalam bukunya Aneka Perjanjian, mengatakan sebagai berikut “Konsensual berasal dari perkataan “konsensus” yang berarti kesepakatan.”34

Dengan kesepakatan dimaksudkan bahwa diantara pihak-pihak yang bersangkutan tercapai suatu persesuaian kehendak, artinya : apa yang dikehendaki oleh yang satu adalah pula yang dikehendaki oleh orang lain. Kedua kehendak ini bertemu dalam “sepakat” tersebut. Tercapainya sepakat ini dinyatakan oleh kedua belah pihak dengan mengucapkan perkataan-perkataan, misalnya : “setuju”, “oke” dan lain-lain sebagainya ataupun dengan bersama-sama menaruh tanda-tanda dibawah pernyataan-pernyataan tertulis sebagai tanda (bukti) bahwa kedua belah pihak telah menyetujui segala apa yang tertera di atas tulisan itu.

Dalam pasal tersebut tidak mengisyaratkan suatu formalitas tertentu di samping sepakat yang telah terjadi, seolah-olah disimpulkan bahwa setiap perjanjian telah sah (mengikat) apabila telah tercipta kesepakatan dari perjanjian tersebut. Padahal terhadap asas konsensualisme juga terdapat pengecualian, yaitu terhadap perjanjian yang oleh Undang-undang ditetapkan suatu formalitas-formalitas tertentu, misalnya perjanjian penghibahan, jika mengenai benda tidak bergerak harus dengan akte notaris, perjanjian perdamaian yang harus diadakan secara tertulis.

3. Asas kepercayaan

Dalam mengadakan suatu perjanjian antara satu pihak dengan pihak yang lain harus menumbuhkan kepercayaan diantara kedua belah pihak artinya bahwa

34


(49)

satu sama lain saling percaya akan memenuhi prestasinya dikemudian hari sesuai dengan kesepakatan yang telah diperjanjikan. Rasa saling percaya terjalin sebelum para pihak sepakat untuk mengadakan perjanjian dan terwujud dalam bentuk perikatan yang dihendaki bersama. Tanpa adanya rasa saling percaya ini maka tidak akan mungkin diadakan dan suatu perjanjian dengan baik, karena dengan kepercayaan inilah kedua belah pihak mengikatkan dirinya dengan isi perjanjian yang pada dasarnya mempunyai kekuatan sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

4. Asas kekuatan mengikat

Tujuan utama diadakannya suatu ikatan persetujuan dengan dilandasi kesepakatan antara kedua belah pihak adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum bagi tindakan mereka selanjutnya di dalam hubungan perikatan. Para pihak menghendaki adanya kekuatan yang mengikat bagi pelaksanaan prestasi masing-masing. Dengan terikatnya para pihak di dalam persetujuan tersebut, maka masing-masing pihak harus mematuhi apa yang telah disepakati, namun haruslah dilihat beberapa unsur lain yang mendukung dan melandasi hubungan tersebut seperti moral, kebiasaan dan kepatutan maka perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan mengikat satu sama lain.

5. Asas persamaan hukum

Hukum bertujuan mencapai kepentingan individu yang selaras, serasi dan seimbang dengan kepentingan masyarakat. Manusia sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan haruslah saling menghormati sesamanya. Tidak terkecuali dalam tindakan dan lakunya di dalam masyarakat. Demikian pula dalam tindakan hukum yang dilakukan oleh setiap orang atau badan hukum tertentu.


(50)

Asas ini menempatkan para pihak dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan walaupun perbedaan warna kulit, bangsa, kepercayaan, kekuasaan, agama, suku, jabatan dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat bahwa perbedaan ini harus dilhat sebagai suatu persamaan yang harus dihormati satu sama lain.

6. Asas keseimbangan

Dalam asas ini mengandung makna bahwa antara kedua belah pihak haruslah saling memenuhi dan melaksanakan perjanjian yang telah disepakati. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baiknya sehingga kedudukan kreditur dan debitur dapat seimbang.

7. Asas kepastian hukum

Asas ini juga terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata, hal yang menekankan kepastian hukum dalam pasal ini dapat dijumpai pada kalimat yaitu:

“suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu”.35

8. Asas moral

Agar tercipta suatu keselarasan dan saling menghormati antara para pihak, maka hukum mewajibkan bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak haruslah berdasarkan tatanan kesusilaan (moral) yang pelaksanaannya tidak melanggar tatanan peri kehidupan yang berlangsung di dalam masyarakat. 9. Asas kepatutan

35


(51)

Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUHPerdata yang berbunyi : “Persetujuan-persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.”36

Asas kepatutan disini berkaitan dengan isi perjanjian dan kesepakatan yang dituangkan dalam isi perjanjian tersebut agar dapat melahirkan rasa keadilan baik kepada pihak yang mengadakan perjanjian maupun terhadap rasa keadilan yang ada dalam masyarakat.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman :

“Asas kepatutan ini harus dipertahankan, karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan hukum ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat”.37

E . Pelaksanaan Perjanjian

Suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa, dimana para pihak saling berjanji untuk melakukan atau melaksanakan sesuatu hal. Hal yang akan dilaksanakan itu disebut prestasi.

Inti dari suatu perjanjian adalah bahwa para pihak harus melaksanakan apa yang telah disetujui atau dijanjikan dengan tepat dan sempurna. Tindakan yang bertentangan yang dibuat oleh salah satu pihak mengakibatkan pihak yang lain berhak meminta ganti rugi.

Pelaksanaan yang dimaksud disini adalah realisasi atau pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuan. Tujuan tidak akan tercapai tanpa adanya pelaksanaan perjanjian,

36

Ibid, hal. 342. 37


(52)

dimana para pihak harus melaksanakan perjanjian dengan sempurna dan tepat seperti yang telah disepakati bersama.

Abdulkadir Muhammad menyatakan :

“jika salah satu pihak telah melanggar kewajibannya, biasanya tidak akan ada pembelaan baginya bahwa pelanggaran itu bukanlah kesalahannya. Ia telah berjanji untuk melaksanakan perjanjiannya, dan ia akan bertanggung jawab jika tidak melaksanakannya. Hanya jika ada sebab dari luar yang membuat pelaksanaan itu secara fisik, hukum dan perdagangan tidak mungkin dilakukan, sehingga kepadanya dapat dimaafkan karena tidak melaksanakan perjanjian itu. Kenyataan bahwa ia telah melakukan pemeliharan secara layak, tidak dapat dijadikan alasan baginya untuk membela diri”.38

Apa yang dikemukakan Abdulkadir Muhammad, menunjukkan bahwa perjanjian antara pihak-pihak merupakan suatu hal yang tidak main-main atau dengan perkataan lain bahwa hak masing-masing pihak tetap dijamin oleh undang-undang. Melihat macam-macam hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan, maka perjanjian dibagi 3 (tiga), yaitu :

a. Perjanjian untuk memberikan atau menyerahkan suatu barang Contoh : jual beli, hibah, sewa-menyewa.

b. Perjanjian untuk berbuat sesuatu Contoh : perjanjian perburuhan. c. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu

Contoh : perjanjian untuk tidak mendirikan tembok.

Sebenarnya suatu perjanjian akan menjadi persoalan manakala salah satu pihak melanggar atau tidak mematuhi isi dari perjanjian yang telah mereka perbuat. Tentu dilihat alasan tidak dilaksanakannya isi perjanjian, apakah karena

38


(53)

keadaan memaksa (overmacht) atau tidak. Bila ini terjadi karena keadaan memaksa harus juga dilihat apakah keadaan itu memang betul-betul tidak dapat dielakkan atau bisa dilaksanakan namun dengan pengorbanan yang besar.

Untuk melaksanakan suatu perjanjian, lebih dahulu harus ditetapkan secara tegas dan cermat apa isinya, dengan perkataan lain apa hak dan kewajiban masing-masing pihak. Menurut Pasal 1339 KUHPerdata, bahwa “Persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh keputusan, kebiasaan atau undang-undang”.

Dengan demikian, maka setiap perjanjian dilengkapi dengan aturan yang terdapat di dalam undang-undang, adat kebiasaan, sedangkan kewajiban-kewajiban yang diharuskan oleh kepatutan harus juga diindahkan. Jadi adat istiadat (kebiasaan) juga sebagai sumber norma disamping undang-undang untuk ikut menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari kedua belah pihak dalam suatu perjanjian, tetapi kebiasaan ini tidak boleh menyimpang dari undang-undang.

Menurut Pasal 1338 ayat 3 (tiga) KUHPerdata, maka suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Norma ini merupakan satu sendi yang terpenting dari hukum perjanjian. Kepastian hukum menghendaki supaya apa yang dijanjikan harus dipenuhi. Namun dalam menuntut dipenuhinya janji itu, janganlah orang-orang meninggalkan norma-norma keadilan dan kepatutan. Jadi persoalan apakah suatu pelaksanaan perjanjian bertentangan dengan itikad baik atau tidak adalah suatu persoalan yuridis.


(54)

Menurut Wirjono Prodjodikoro, bukan hanya itikad baik saja yang menjadi penting dalam perjanjian tetapi kejujuran dan kepatuhan adalah dua hal yang amat penting dalam soal pelaksanaan persetujuan. Dan kejujuran terletak pada tindakan yang dilakukan pada kedua belah pihak dalam melaksanakan perjanjian yang berasal dari keadaan jiwanya, sedang kepatuhan terletak pada keadaan sekitar persetujuan. Jadi hal kejujuran adalah hal yang selalu bersifat objektif adalah hal kepatutan.39

Jadi sikap kejujuran dan kepatutan serta itikad baik adalah penunjang terlaksananya perjanjian. Di dalam pelaksanaan perjanjian tidak terlepas dari apa yang disebut dengan risiko. Risiko dalam perjanjian adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak, dalam arti keadaan memaksa.40 Contoh : kebakaran, pencurian. Sedangkan risiko menurut pengertian sehari-hari adalah tanggung jawab seseorang sebagai akibat perbuatannya.

39

R. Wirjono Prodjodikoro, Op Cit, hal. 84. 40


(55)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Arus globalisasi yang melanda ke segenap penjuru dunia ini mau tidak mau harus dihadapi dengan penuh optimis dan kesiapan dari semua unsur serta semua potensi yang ada. Perubahan yang cepat dibidang politik, ekonomi, hukum sekaligus menuntut perubahan dan pengembangan hukum yang cepat, dinamis dan aktual. Oleh sebab itu, apabila hukum benar-benar dapat berperan dalam proses penyelenggaraan pembangunan, agar pembangunan akan lebih terlaksana secara lebih manusiawi.

Dalam bidang hukum yang berfungsi sebagai pemelihara dan pengejar tujuan pembangunan yang telah digariskan bahwa pembangunan ekonomi yang telah berhasil harus ditingkatkan dan hukum harus memberi dukungan. Mengingat pembangunan hukum merupakan suatu proses yang dinamis, yang harus dilakukan terus menerus dan bahkan merupakan proses yang tidak akan pernah selesai (neer ending process), hal ini disebabkan setiap kemajuan akan menuntut perubahan yang lebih maju dalam masyarakat yang terus berubah.

Dengan pembaruan-pembaruan masyarakat melalui jalur hukum, berarti dilakukan pembaharuan hukum terutama melalui perundang-undangannya. Hal ini berarti proses pembentukan undang-undang harus dapat menampung semua hal yang erat hubungannya (relevan) dengan bidang atau masalah yang hendak diatur dengan undang-undang itu, apabila perundangan itu diharapkan merupakan suatu pengaturan hukum yang efektif.


(56)

Perumahan merupakan kebutuhan dasar manusia dan mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa dan perlu dibina dan dikembangkan serta demi kelangsungan kehidupan dan penghidupan masyarakat. Perumahan ditengah kota merupakan kebutuhan mutlak bagi mereka yang menginginkan kepraktisan.

Di daerah perkotaan yang berpenduduk padat kebutuhan perumahan banyak diperlukan sedangkan tanah yang tersedia sangat terbatas, maka pengembangan perumahan dan pemukiman dilaksanakan dalam bentuk rumah susun yang lengkap, seimbang dan serasi dengan lingkungannya.

Kebijakan percepatan pembangunan perumahan serta rumah susun tersebut sangat bijaksana, mengingat kebutuhan perumahan yang layak huni tersebut semakin hari semakin meningkat. Meningkatnya kebutuhan akan perumahan sangat erat kaitannya dengan kependudukan, seperti: jumlah penduduk, laju pertumbuhannya, dan perubahan rata-rata jumlah jiwa perkeluarga. Pembangunan rumah susun, terutama di wilayah perkotaan merupakan suatu kemutlakan sebagai akibat terbatasnya tanah untuk perumahan tersebut dan permintaan akan papan semakin meningkat.

Menyadari pembangunan perumahan secara horizontal sangat sulit lagi untuk dilaksanakan, maka solusi terbaik pemenuhan kebutuhan rumah adalah dengan membangun tempat tinggal secara vertikal tiada lain bertujuan dalam rangka peningkatan daya dan hasil guna bagi pembangunan. Tempat tinggal secara vertikal atau rumah susun lebih meningkatkan kualitas lingkungan terutama di daerah-daerah yang berpenduduk padat dimana lahan yang tersedia cukup terbatas. Adapun untuk pembangunan rumah susun mewah disebut apartemen


(57)

yang diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke atas dengan tingkat penghasilan di atas Rp. 4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) perbulan berdasarkan mekanisme pasar bebas, tanpa mendapatkan bantuan dari pemerintah.1

Di luar negeri termasuk juga di ibu kota Negara Indonesia yaitu Jakarta, hak milik terhadap apartemen telah banyak dilakukan dan pada kenyataannya merupakan suatu kegiatan bisnis yang sangat menguntungkan. Dan pada kelanjutannya, sistem bisnis seperti ini pada akhirnya mulai merambah ke kota-kota besar yang ada di Indonesia. Berdasarkan pengamatan yang telah penulis lakukan sistem bisnis hak milik terhadap apartemen sebagai objek kepemilikan bersama ini telah dipraktekkan pada apartemen Salemba residence. Untuk seterusnya pengikatan jual beli terhadap Salemba Residence ini cukup disebut apartemen.

Apartemen tersebut hanya dapat dimiliki oleh individu karena peruntukkannya adalah sebagai tempat tinggal. Akan tetapi kepemilikan dan penguasaannya terbatas pada segala sesuatu yang ada didalam unit apartemen yang dimilikinya tersebut adalah merupakan bagian bersama dan benda bersama. Terdapat berbagai keuntungan dalam sistem tersebut. Dapat penulis menyebutkan diantaranya, bahwa apartemen tersebut dapat digunakan sebagai tempat tinggal pribadi atau service apartement, dan dapat pula dijadikan sebagai objek peluang bisnis dan investasi. Dalam hal ini dapat dijadikan jaminan bahwa akan mendapatkan modal kembali serta jaminan mendapatkan keuntungan pula.

1

M. Rizal Alif, Analisis Kepemilikan Hak Atas Tanah Satuan Rumah Susun Di Dalam Kerangka Hukum Benda, Nuansa Aulia, Bandung, 2009, hal. 14-15.


(1)

Pembantu Dekan III di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan,

3. Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS selaku Guru Besar Ketua Departemen Hukum Keperdataan Universitas Sumatera Utara Medan dan selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan arahan dan masukan serta nasehat kepada penulis hingga skripsi ini dapat selesai dengan baik,

4. Ibu Rabiatul Syahriah, SH.M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan masukan serta nasehat kepada penulis hingga skripsi ini dapat selesai dengan baik,

5. Bapak Armansyah, SH.M.Hum selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah banyak memberikan masukan selama masa perkuliahan,

6. Seluruh staf pengajar dan staf pegawai di Fakultas Hukum Universiats Sumatera Utara Medan,

7. Orang tuaku tercinta Jhonson Siahaan dan Samaria Zendrato. Terima kasih yang tak terhingga atas semua support, doa, kesabaran dan segala pemberian baik materil dan moril,

8. Paktua dan maktuaku tersayang B.Saragih dan T. Zendrato, 9. Kakak dan adik-adikku Dian sita Napitupulu.S.ked, Johan Ikra

Nagara Siahaan, Machtpri Siahaan, dan Josiah Zabrina Siahaan,


(2)

10.Buat teman-temanku “Stambuk 2006” Fakultas Hukum Sumatera Utara Medan group A khususnya Rasmita Juliana Sitepu, Vania Isura Sitepu, Yuni Tabita Manurung, Jenny Adelina Napitupulu, Tifani Ruslan Hasibuan, Dewi Fatimah Lubis dan Gabriella Marbun,

11. Buat pacarku tersayang Andri H Manurung, terima kasih atas support, doa dan kebaikanmu membantu dalam menyelesaikan skripsi ini,

12.Buat abangnda Enriko Ramner Estrada Hutasoit.SH, terima kasih atas kebaikan abang memberi data apartemen abang,

13.Buat teman-temanku Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan khususnya Jesika Hutabarat.SH, Ruth Paulina.SH, Ruth Yenny.SH, Sarah Tobing.SH, Retta Sitorus.SH, Gideon Nainggolan.SH, Putra.SH, Kiki Manurung.SH, Fitri Manurung, Jhon Hendrik Hasibuan.SH, Hamdani.SH, Jujung, Immanuel, Julieta(07), lisa(07), Ruth, David, Archimen, Dondris, Raja, Tian, janki dan yang lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah mendorong penulis dalam menyelesaikan skripsi ini,


(3)

Penulis menyadari dengan segala keterbatasan dan kemampuan yang penulis miliki, skripsi ini masih jauh dari sempurna. Harapan penulis agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi orang-orang yang membacanya.

Akhirnya penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu, maaf kalau tidak bisa disebutkan satu persatu.

Medan, Mei 2010 Penulis

Desi Aprilia


(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………. i

DAFTAR ISI……… iv

ABSTRAKSI………....……… vi

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang………...……….... 1

B. Perumusan Masalah………... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan………... 8

D. Keaslian Penulisan…………....………... 9

E. Tinjauan Kepustakaan……….……. 9

F. Metode Penulisan………... 12

G. Sistematika Penulisan………..…… 13

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian perjanjian………... 16

B. Unsur-unsur perjanjian………. 20

C. Jenis-jenis perjanjian……….... 26

D. Asas-asas perjanjian………... 31

E. Pelaksanaan perjanjian……….. 35

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN BAKU


(5)

D. Kekuatan mengikat perjanjian baku... 45

BAB IV ANALISIS HUKUM ASAS KEBEBASAN

BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU JUAL BELI

A. Keabsahan jual beli apartemen Salemba

Residence sebagai perjanjian baku………... 48 B. Penerapan asas kebebasan berkontrak dalam

perjanjian jual beli apartemen Salemba

Residence……… 51 C. Klausula-klausula baku terhadap jual beli

apartemen Salemba Residence belum memenuhi

asas kebebasan berkontrak………... 55 D. Manfaat yuridis dari asas kebebasan berkontrak

dalam perjanjian baku bagi pelaku usaha………... 59

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ……….. 64

B. Saran………. 65

LAMPIRAN


(6)

ABSTRAKSI

Skripsi ini penulis beri judul “Asas Kebebasan Berkontrak dan Perjanjian Baku Dalam Jual Beli Apartemen Salemba Residence”. Menyadari pembangunan perumahan secara horizontal sangat sulit untuk dilaksanakan maka solusinya membangun perumahan secara vertikal dengan tujuan untuk peningkatan daya dan hasil guna bagi bagunan. Bagunan secara vertikal ini disebut dengan apartemen. Bangunan apartemen yang dimaksud dalam skripsi ini adalah bangunan apartemen yang berada di Jalan Salemba II No 10 Jakarta Pusat. Pihak yang ingin membeli apartemen Salemba Residence ini melakukan perjanjian jual beli dengan pihak pelaku usaha yaitu PT. ADHI KARYA (Persero) Tbk, setelah perjanjian jual beli dilakukan dan hak atas apartemen tersebut berahlih kepada pihak pembeli yang disebut sebagai pemilik. Maka didalamnya terdapat suatu ketentuan mengenai benda bersama dan bagian bersama. Dapat digunakan sebagai tempat hunian atau tempat tinggal dan dapat pula dijadikan sebagai suatu peluang atau investasi. Untuk itu penulis melihat ada suatu keunikan didalam Perjanjian Jual Beli Apartemen Salemba Residence ini.. Ada beberapa proses dan ketentuan didalam jual beli apartemen salemba residence diantaranya adalah bagaimana keabsahan jual beli apartemen Salemba Residence berkaitan dengan kebebasan berkontrak dalam perjanjian baku. Bagaimana klausa-klausa baku terhadap jual beli apartemen Salemba residence yang belum memenuhi asas kebebasan berkontrak. Apakah manfaat yuridis dari asas kebebasan berkontrak perjanjian baku baig pihak pelaku usaha..

Didalam penulisan skripsi ini penulis melakukan metode penelitian normatif, yaitu penelitian kepustakaan dengan menggunakan kitab undang-undang, Undang-Undang, himpunan peraturan, makalah, buku-buku, dan sebagainya.

Penulis menyimpulkan bahwa perjanjian jual beli apartemen Salemba Residence ini mengacu kepada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang rumah susun, Peraturan Pemerintah nomor 4 Tahun 1988 dan hal-hal umum yang terdapat dalam perjanjian berdasarkan peraturan yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam perjanjian jual beli hendaknya tidak memenuhi klausula baku yang bersifat klausula eksonerasi yang belum memenuhi asas kebebasan berkontrak. Manfaat bagi pihak pelaku usaha dengan mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan risiko yang sekecil-kecilnya. Untuk selanjutnya perjanjian jual beli apartemen Salemba Residence hendaknya diketahui secara jelas dan benar oleh pihak pembeli. Agar pihak pembeli tidak merasa dirugikan dimasa yang akan datang oleh pihak pelaku usaha dan pihak pelaku usaha menentukan isi dan bentuk perjanjian jual beli dengan jelas dan


Dokumen yang terkait

Perjanjian Baku/Standar Kontrak Bertentangan Dengan Asas Kebebasan Berkontrak

2 33 147

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM HUKUM PERJANJIAN ISLAM

0 2 10

TINJAUAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN LISENSI PERANGKAT LUNAK Tinjauan Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Lisensi Perangkat Lunak Blackberry.

0 3 11

PELAKSANAAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN Pelaksanaan Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen (Studi Perjanjian Baku Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen Antara Debitur dan PT. INDOMOBIL FINANCE Cab

0 3 19

PELAKSANAAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN Pelaksanaan Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen (Studi Perjanjian Baku Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen Antara Debitur dan PT. INDOMOBIL FINANCE Cab

0 3 12

hk 609 slide azas kebebasan berkontrak dan perjanjian baku

0 0 13

KARAKTERISTIK ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BERBASIS SYARIAH

0 0 17

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian - Asas Kebebasan Berkontrak Dan Perjanjian Baku Dalam Jual Beli Apartemen Salemba Residence

0 0 23

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN BAKU A . Latar belakang dan Perkembangan Perjanjian Baku di Indonesia - Asas Kebebasan Berkontrak Dan Perjanjian Baku Dalam Jual Beli Apartemen Salemba Residence

0 0 28

KONTRAK BAKU DALAM PERJANJIAN JUAL BELI MOTOR DI TINJAU DARI ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM KUHPERDATA DI KOTA MAKASSAR

0 1 84