Valuasi Ekonomi Ruang Terbuka Hijau Sebagai Penyerap Karbon Dan Penghasil Oksigen (Kasus: Kota Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara)

  Ruang Terbuka Hijau

  Ruang Terbuka Hijau adalah ruang terbuka baik dalam bentuk area kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur yang penggunaannya lebih bersifat terbuka tanpa bangunan. Ruang terbuka hijau pemanfaatannya lebih bersifat pengisian tanaman dan tumbuh-tumbuhan secara alamiah ataupun budidaya tanaman seperti lahan pertanian, pertamanan, perkebunan dan lain sebagainya (Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 tahun 1988)

  Ruang terbuka hijau memiliki kekuatan untuk membentuk karakter kota dan menjaga kelangsungan hidupnya. Tanpa keberadaan ruang terbuka hijau di kota akan mengakibatkan ketegangan mental bagi manusia yang tinggal di dalamnya. Oleh karena itu perencanaan ruang terbuka harus dapat memenuhi keselarasan harmoni antara struktural kota dan alamnya, bentuknya bukan sekedar taman, lahan kosong untuk rekreasi atau lahan penuh tumbuhan yang tidak dapat dimanfaatkan penduduk kota (Simon, 1983 dalam Roslita, 1997)

  Ruang terbuka adalah ruang yang bisa diakses oleh masyarakat baik secara langsung dalam kurun waktu terbatas maupun secara tidak langsung dalam kurun waktu tidak tertentu. Ruang terbuka itu sendiri bisa berbentuk jalan, trotoar, ruang terbuka hijau seperti taman kota, hutan dan sebagainya (Hakim dan Utomo, 2004)

   Berdasarkan sifat dan kareakter ekologisnya diklasifikasi menjadi: a.

  Ruang Terbuka Hijau (RTH) berbentuk kawasan/areal, meliputi RTH yang berbentuk hutan (hutan kota, hutan lindung, hutan rekreasi), taman, lapangan olahraga, Kebun Raya, kebun pembibitan, kawasan Fungsional (RTH kawasan perdagangan, RTH kawasan perindustrian, RTH kawasan

  

4 permukiman, RTH kawasan pertanian). RTH kawasan khusus (Hankam, perlindungan tata air, plasma nutfah, dan sebagainya).

  b.

  RTH berbentuk jalur/koridor/linear, meliputi RTH koridor sungai, RTH sempadan danau, RTH sempadan pantai, RTH tepi jalur jalan, RTH tepi jalur kereta, RTH sabuk hijau (green belt), dan sebagainya

  (Anggriani, 2011)

  Manfaat dan Peranan Ruang Terbuka Hijau

  Manfaat RTH di wilayah perkotaan, yaitu: a.

  Memberikan kesegaran, kenyamanan dan keindahan lingkungan sebagai paru-paru kota b.

  Memberikan lingkungan yang bersihd dan sehat bagi penduduk kota c. Memberikan hasil produksi berupa kayu, daun, bunga dan buah d. Sebagai tempat hidup satwa dan plasma nutfah e. Sebagai resapan air guna menjaga keseimbangan tata air dalam tanah, mengurangi aliran air permukaan, menangkap dan menyimpan air.

  f.

  Sirkulasi udara dalam kota Peranan RTH bagi pengembangan kota adalah sebagai berikut: a.

  Alat pengukur iklim amplitude (klimatologis). Penghijauan memperkecil

  amplitude variasi yang lebih besar dari kondisi panas ke kondisi udara

  sejuk b. Penyaring udara kotor (protektif). Penghijauan dapat mencegah terjadinya pencemaran uedara yang berlebihan oleh adanya asap kendaraan, asap buangan industri dan gas beracun lainnya c.

  Sebagai tempat hidup satwa. Pohon peneduh tepi jalan sebagai tempat hidup satwa burung/unggas d.

  Sebagai penunjang keindahan (estetika). Tanaman ini memiliki bentuk tekstur dan warna yang menarik e.

  Mempertinggi keualitas ruang kehidupan lingkungan. Ditinjau dari sudut planologi, penghijauan berfungsi sebagai pengikat dan pemersatu elemen- elemen (bangunan) yang ada disekelilingnya. (Hakim dan Utomo, 2004)

  Pengertian Penilaian Ekonomi

  Nilai (value) adalah harga yang diberikan oleh seseorang terhadap sesuatu pada suatu tempat dan waktu tertentu (Djijono, 2002). Kegunaan, kepuasaan dan kesenangan merupakan istilah-istilah lain yang diterima dan berkonotasi nilai atau harga. Ukuran harga ditentukan oleh waktu, barang, atau uang yang akan dikorbankan seseorang untuk memiliki atau menggunakan barang atau jasa yang diinginkannya.

  Penilaian (valuasi) adalah kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan konsep dan metodologi untuk menduga nilai barang dan jasa (Davis dan Johnson 1987 dalam Djijono 2002). Penilaian peranan ekosistem, termasuk hutan kota, bagi kesejahteraan manusia merupakan pekerjaan yang sangat kompleks, mencakup berbagai faktor yang berkaitan dengan nilai sosial dan politik.

  Nilai ekonomi atau total nilai ekonomi suatu sumberdaya secara garis besar dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu nilai penggunaan (use value) dan nilai intrinsik (non use value) (Pearce dan Turner 1990; Pearce dan Moran 1994; Turner, Pearce dan Bateman 1994 dalam Djijono 2002). Selanjutnya dijelaskan bahwa nilai penggunaan (use value) dibagi lagi menjadi nilai penggunaan langsung (direct use value), nilai penggunaan tidak langsung (indirect use value) dan nilai pilihan (option value).

  Nilai penggunaan diperoleh dari pemanfaatan aktual lingkungan (Turner, Pearce dan Bateman 1994 dalam Djijono 2002). Nilai penggunaan berhubungan dengan nilai karena responden memanfaatkannya atau berharap akan memanfaatkan di masa mendatang. Nilai penggunaan langsung adalah nilai yang ditentukan oleh kontribusi lingkungan pada aliran produksi dan konsumsi. Nilai penggunaan langsung berkaitan dengan output yang langsung dapat dikonsumsi misalnya makanan, biomas, kesehatan, rekreasi (Pearce dan Moran 1994 dalam Djijono 2002). Sedangkan nilai penggunaan tidak langsung ditentukan oleh manfaat yang berasal dari jasa-jasa lingkungan dalam mendukung aliran produksi dan konsumsi (Munasinghe 1993 dalam Djijono 2002).

  Nilai pilihan (option value) berkaitan dengan pilihan pemanfaatan lingkungan di masa datang Ketidakpastian penggunaan di masa datang berhubungan dengan ketidakpastian penawaran lingkungan, teori ekonomi mengindikasikan bahwa nilai pilihan adalah kemungkinan positif (Turner, Pearce dan Bateman 1994 dalam Djijono 2002).

  Penilaian Ekonomi Hutan Kota

  Penentuan nilai hutan kota dari suatu kegiatan yang berdampak pada kehidupan sangat diperlukan. Hal ini menjadi sangat penting karena program konservasi untuk penyehatan lingkungan seperti hutan kota sering tidak mampu bersaing bila dihadapkan pada kondisi yang mempertentangkannya dalam kerangka ekonomi, ketidakmampuan bersaing ini juga didasari karena hutan kota tidak diketahui nilai ekonomi dari manfaat-manfaat yang diberikannya. Padahal nilai hutan kota bila dikalkulasikan dan dihitung dari semua aspek manfaat yang dihasilkan akan menghasilkan hitungan rupiah yang tidak sedikit.

  Pentingnya dilakukan valuasi ekonomi hutan kota adalah agar masyarakat mengetahui nilai-nilai penting yang dihasilkan oleh hutan kota yang diukur oleh uang. Kecenderungan masyarakat sekarang ini yang lebih berorientasi terhadap materi membuat segalanya lebih dihargai apabila bernilai uang. Padahal banyak jasa yang dihasilkan oleh hutan kota yang tidak terukur oleh uang. Sehingga apabila nilai atau jasa yang dihasilkan oleh hutan kota dihitung dalam bentuk uang diharapkan masyarakat akan semakin meyadari bahwa peranan hutan kota sangat penting.

  Pengelolaan lingkungan dengan baik diperlukan sumber daya yang bukan hanya dari manusia saja, tetapi juga sarana dan prasarana yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan tersebut. Misalnya untuk mengelola taman rekreasi diperlukan sarana dan prasarana yang memadai. Dimana dalam hal ini biaya sangat diperlukan sebagai suatu nilai atau rasio yang dapat digunakan untuk mengukur seberapa besar nilai guna atau manfaat terhadap lingkungan dari kegiatan pengelolaan jasa lingkungan sumber daya tersebut (Suparmoko, 2000).

  Namun nilai ekonomi dalam keberadaan karbon sangat tergantung kepada keberadaan vegetasi yang terdapat pada sumberdaya hutan, dimana jika luas hutan primer terus berkurang dan vegetasinya mengalami kerusakan, maka dengan sendirinya potensi karbon akan berkurang, dan sekaligus nilai ekonominya juga akan berkurang. Disamping itu nilai ekonomi karbon juga tergantung kepada harga dan nilai jual dari karbon, serta dipengaruhi oleh harga dan skema perdagangannya. Pada saat ini munculnya kompensasi jasa lingkungan melalui perdagangan karbon merupakan suatu peluang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal melalui alternatif pendapatan melalui penjualan jasa hutan, dan dapat memperbaiki produktivitas lahan (Antoko, 2011).

  Hutan Kota

  Menurut PP No. 63 tahun 2002 Hutan Kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai Hutan Kota oleh pejabat yang berwewenang dengan tujuan untuk kelestarian, keserasian dan keseimbangan ekosistem perkotaan yang meliputi unsur lingkungan, sosial dan budaya.

  Menurut Zoer’aini (2005), hutan kota adalah komunitas vegetasi berupa pohon dan asosiasinya yang tumbuh di lahan kota atau sekitar kota, berbentuk jalur, menyebar, atau bergerombol (menumpuk) dengan struktur menyerupai hutan alam, membentuk habitat yang memungkinkan kehidupan bagi satwa dan menimbulkan lingkungan sehat, nyaman, dan estetis.

  Berdasarkan Lampiran I Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/MENHUT-V/2004 Bagian Ke-enam, tentang Pedoman Pembuatan Tanaman Penghijauan Kota sebagai Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan, antara lain disebutkan bahwa luas minimal hutan kota adalah 0,25 ha dalam satu kesatuan hamparan yang kompak (menyatu), agar tanaman dapat membentuk iklim mikro.

  Karakteristik dan Tipe Hutan Kota

  Hutan Kota secara fisik dapat dilihat di wilayah perkotaan, apapun bentuknya. Hutan kota dapat dikenali dari bagian lantai hutannya, yang umumnya lebih terpelihara, seperti adanya jalan setapak yang disemen, atau ditatai batu. Juga rumput yang lebih teratur tanpa banyak serasah, walaupun seringkali belum dipotong rapi (Puryono, 1995).

  Pembangunan hutan kota harus sesuai dengan guna lahan (land use) yang dikembangkan. Menurut Zoer’aini (2005), terdapat beberapa tipe hutan kota, yaitu: a.

  Tipe Pemukiman Hutan kota tipe ini lebih dititik-beratkan kepada keindahan, kesejukan, penyediaan habitat satwa khususnya burung, dan tempat bermain dan bersantai.

  b.

  Tipe Kawasan Industri Kawasan industri yang memiliki kebisingan yang tinggi dan udaranya tercemar, maka harus dibangun hutan kota dengan tipe kawasan industri yang mempunyai fungsi sebagai penyerap pencemar, tempat istirahat bagi pekerja, tempat parkir kendaraan dan keindahan.

  c.

Tipe Rekreasi dan Keindahan

  Dewasa ini terdapat kecendrungan terjadinya peningkatan minat penduduk perkotaan untuk rekreasi, karena kehidupannya semakin sibuk dan semakin besar kemungkinan untuk mendapat stress. Rekreasi pada kawasan hutan kota bertujuan untuk menyegarkan kembali kondisi badan yang sudah penat dan jenuh dengan kegiatan rutin. d.

  Tipe Pelestarian Plasma Nutfah Hutan konservasi mengandung tujuan untuk mencegah kerusakan perlindungan dan pelestarian terhadap sumberdaya alam. Sasaran pembangunan hutan kota untuk pelestarian plasma nutfah yaitu sebagai tempat koleksi plasma nutfah dan tempat habitat khususnya untuk satwa yang akan dilindungi atau dikembangkan.

  e.

  Tipe Perlindungan Kota yang memiliki kuantitas air tanah yang sedikit atau terancam masalah intrusi air laut, maka fungsi hutan yang harus diperhatikan adalah sebagai penyerap, penyimpan dan pemasok air. Kota dengan kemiringan yang cukup tinggi yang ditandai dengan tebing-tebing yang curam ataupun daerah tepian sungai perlu dijaga dengan membangun hutan kota agar terhindar dari bahaya erosi dan longsoran.

  f.

  Tipe Pengamanan Hutan kota dengan tipe pengamanan adalah jalur hijau di sepanjang tepi jalan bebas hambatan. Dengan menanam perlu yang liat dan dilengkapi dengan jalur pohon pisang dan tanaman yang merambat dari legum secara berlapis-lapis, akan dapat menahan kendaraan yang keluar dari jalur jalan.

  Sehingga bahaya kecelakaan karena pecah ban, patah setir ataupun karena pengendara mengantuk dapat dikurangi.

  Pendugaan Simpanan Karbon

  Hutan tropika mengandung biomassa dalam jumlah yang besar sehingga dapat menyediakan simpanan karbon. Selain itu, karbon juga tersimpan dalam material yang sudah mati dalam serasah batang pohon yang jatuh ke permukaan tanah dan sebagai material sukar lapuk di dalam tanah (Whitmore, 1985).

  Pendugaan biomassa di atas permukaan tanah dapat diukur menggunakan metode langsung (destructive) dan metode tidak langsung (non destructive).

  Pendugaan biomassa pohon dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan regresi alometrik biomassa. Diperkirakan 45%-50% komponen penyusun biomassa adalah karbon (Brown, 1997).

  Canadell (2002) mengatakan bahwa untuk memperoleh potensial

penyerapan karbon yang maksimum perlu ditekankan pada kegiatan peningkatan

biomasa di atas permukaan tanah bukan karbon yang ada dalam tanah, karena

jumlah bahan organik tanah yang relatif lebih kecil dan masa keberadaannya singkat. Hal ini tidak berlaku pada tanah gambut (van Noordwijk dkk.,, 1997; Paustian dkk., 1997)

  Sumberdaya hutan di Indonesia memiliki potensi tinggi dalam hal keanekaragaman hayati dan potensi penyerapan karbon (Suhendang, 2002).

  Diperkirakan hutan di Indonesia dengan luas 120,4 juta hektar mampu menyerap dan menyimpan karbon sebesar 15,05 milyar ton karbon.

  Menurut IPCC guideline (2006) Persamaan alometrik yang disesuaikan dengan kondisi nasional sangat disarankan untuk digunakan. Kriteria yang harus dipertimbangkan dalam menentukan gudang karbon yang perlu diukur dan dimonitor tergantung proyek yang dilakukan kapasitas penyimpanan karbon, laju dan arah perubahan persediaan karbon, biaya pengukuran. Sedangkan sumber karbon utama dalam hutan adalah biomassa atas tanah dan bawah tanah, bahan organik mati (kayu mati dan serasah) dan bahan organik tanah.

  Peningkatan penyerapan cadangan karbon dapat dilakukan dengan (a) meningkatkan pertumbuhan biomasa hutan secara alami, (b) menambah cadangan kayu pada hutan yang ada dengan penanaman pohon atau mengurangi pemanenan

kayu, dan (c) mengembangkan hutan dengan jenis pohon yang cepat tumbuh

(Sedjo and Salomon 1988 dalam Rahayu 2007). Karbon yang diserap oleh

tanaman disimpan dalam bentuk biomasa kayu, sehingga cara yang paling mudah

untuk meningkatkan cadangan karbon adalah dengan menanam dan memelihara

pohon Lasco dkk.., 2004 dalam Rahayu 2006).

  Landasan Teori

  Berdasarkan Djijono (2002) diketahui bahwa nilai penggunaan (use value) sumberdaya dibagi menjadi nilai penggunaan langsung (direct use value), nilai penggunaan tidak langsung (indirect use value). Nilai penggunaan langsung terhadap hutan kota dapat berupa nilai yang diperoleh dari pemanfaatan aktual lingkungan. Hal ini berkaitan dengan output yang langsung dapat dikonsumsi misalnya makanan, biomasa, kesehatan, dan rekreasi. Sedangkan nilai penggunaan tidak langsung ditentukan oleh manfaat yang berasal dari jasa-jasa yang dihasilkan oleh hutan kota. Misalnya sebagai penahan dan penyaring partikel padat dari udara, penahan intrusi air laut, penahan erosi tanah, penahan air tanah dan lain sebagainya. Menurut Tyrvainen (2001) dalam Dahlan (2004) suatu hamparan hutan kota dapat diukur dan dihitung nilai manfaatnya. Parameter yang dapat diukur antar lain meliputi: kesediaan membayar untuk rekreasi, sebagai penghasil kayu dan non kayu, kesejukan, kenyamanan dan lain-lain. Berdasarkan nilai ekologinya, perhitungan manfaat hutan kota yang dihitung secara ekonomi dapat berasal dari oksigen dan jumlah air yang dihasilkan, rekreasi, kenyamanan, pelestarian burung dan tanaman, sumberdaya alam dan lingkungan secara keseluruhan (Dahlan, 2004). Perhitungan tersebut relatif sulit dan tidak sederhana.

  Parameter yang dihitung pun dapat sedikit dan dapat pula banyak.

  Kerangka Pemikiran

  Beberapa teori valuasi tersebut di atas dapat dikatakan bahwa valuasi dengan pendekatan harga pasar karbon dapat dilakukan melalui perhitungan harga pasar karbon (USD/t CO

  2 ) dan harga 1 liter O 2 sehingga manfaat hutan kota

  secara ekonomi dapat mendekati harga jasa lingkungan dalam hal memproduksi oksigen dan menyerap karbon.

  Secara singkat, kerangka pemikiran valuasi ekonomi hutan kota disajikan dalam bagan alir sebagai berikut: Ruang Terbuka Hijau

  (hutan kota dan jalur hijau) Jasa Lingkungan

  Memproduksi Menyerap Oksigen

  Karbon Produksi Oksigen Hutan Kota Biomassa (Alometrik) dan

  Pengukuran berdasarkan Luasan Hutan Simpanan Karbon Penilaian

  Ekonomi dalam harga pasar Internasional dan harga subtitusi per 1 liter O 2 Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran

  Hipotesis

  Manfaat hutan kota yang dihitung secara ekonomi dalam memproduksi oksigen, dan simpanan serapan karbon relatif besar.

Dokumen yang terkait

Valuasi Nilai Ekonomi Tegakan di Atas Permukaan Tanah Berdasarkan Fungsinya Sebagai Penyerap Karbon Serta Penghasil Oksigen di Arboretum Kuala Bekala Universitas Sumatera Utara Kabupaten Deli Serdang

1 54 89

Pendugaan Cadangan Karbon Above Ground Biomass pada Ruang Terbuka Hijau di Kota Medan

4 69 87

Valuasi Ekonomi Ruang Terbuka Hijau Sebagai Penyerap Karbon Dan Penghasil Oksigen (Kasus: Kota Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara)

8 132 122

Kajian Nilai Ekonomi Taman Kota Sebagai Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus di Taman Bunga Pematangsiantar Provinsi Sumatera Utara)

8 68 61

Analisis Kecukupan Ruang Terbuka Hijau Sebagai Penyerap Emisi Gas Karbon Dioksida (CO2 ) pada Kawasan Kampus ITS Sukolilo, Surabaya

0 3 6

Valuasi Nilai Ekonomi Tegakan di Atas Permukaan Tanah Berdasarkan Fungsinya Sebagai Penyerap Karbon Serta Penghasil Oksigen di Arboretum Kuala Bekala Universitas Sumatera Utara Kabupaten Deli Serdang

0 0 19

Valuasi Nilai Ekonomi Tegakan di Atas Permukaan Tanah Berdasarkan Fungsinya Sebagai Penyerap Karbon Serta Penghasil Oksigen di Arboretum Kuala Bekala Universitas Sumatera Utara Kabupaten Deli Serdang

0 0 27

Valuasi Nilai Ekonomi Tegakan di Atas Permukaan Tanah Berdasarkan Fungsinya Sebagai Penyerap Karbon Serta Penghasil Oksigen di Arboretum Kuala Bekala Universitas Sumatera Utara Kabupaten Deli Serdang

0 0 13

Pendugaan Cadangan Karbon Above Ground Biomass pada Ruang Terbuka Hijau di Kota Medan

0 2 13

Valuasi Ekonomi Ruang Terbuka Hijau Sebagai Penyerap Karbon Dan Penghasil Oksigen (Kasus: Kota Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara)

0 0 16