BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) - Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Pada PT. Perkebunan Nusantara I (Persero) Langsa

  

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY

(CSR)

A. Sejarah Perkembangan Corporate Social Responsibility (CSR)

  Tanggung jawab sosial perusahaan dalam teori ekonomik klasik, sebuah perusahaan bertindak secara bertanggung jawab sosial jika perusahaan itu menggunakan sumber-sumber daya seefisien mungkin untuk menghasilkan barang dan jasa yang diinginkan oleh masyarakat pada harga yang para konsumen bersedia membayar.Tujuan satu-satunya perusahaan ialah memaksimumkan profit sambil bertindak sesuai dengan undang-undang. Jika hal ini dilakukan, menurut para ekonom klasik, perusahaan telah melaksanakan tanggung jawab sosial utamanya.Akan tetapi, pendapat yang berasal dari buku Adam Smith, The Wealth

  

of Nations, ini tidak pernah diikuti tanpa syarat.Dunia usaha dan orang-orang

  bisnis telah melakukan modifikasi kepada prinsip pemaksimuman profit yang

   kaku itu untuk memberi perhatian kepada keprihatinan sosial.

  Tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) atau yang lebih dikenal dengan sebutan CSR, menjadi sebuah topik diskusi yang menarik perhatian dunia usaha bisnis di Eropa dan Amerika Serikat sejak lebihkurang satu abad yang lalu. Pada awalnya khusus mengenai CSR mengarah pada suatu kondisi dilematis antara stakeholdersyang dihasilkan perusahaan dan upaya memaksimalkan kepentingan publik. Dengan kata lain, keterlibatan 7 perusahaan dalam sebuah tanggung jawab sosial selalu meningkatkan konflik tentang fungsi direksi yang harus mengabdi pada kepentingan yang terbaik bagi perusahaan atau menjadikan perusahaan sebagai warga negara yang baik (good corporate citizen ).

  CSR yang kini marak diimplementasikan banyak perusahaan, berkembang setelah terjadi revolusi industri, kebanyakan perusahaan memandang bahwa sumbangan kepada masyarakat cukup diberikan dalam bentuk penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan masyarakat melalui produk dan pembayaran pajak kepada negara.Seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat tidak sekedar menuntut perusahaan untuk menyediakan barang dan jasa yang diperlukannya, melainkan juga menuntut untuk bertanggungjawab secara sosial.Karena, selain terdapat ketimpangan ekonomi antara pelaku usaha dengan masyarakat disekitarnya, kegiatan operasional perusahaan umumnya juga memberikan dampak negatif, misalnya eksploitasi sumber daya dan rusaknya lingkungan di sekitar operasional perusahaan.Itulah yang kemudian melatarbelakangi munculnya

   konsep CSR yang paling primitif serta kedermawanan yang bersifat karitatif.

  Gema CSR semakin terasa pada Tahun 1960-an saat dimana secara global, masyarakat dunia telah pulih dari Perang Dunia II, dan mulai menapaki jalan menuju kesejahteraan. Pada waktu itu, persoalan-persoalan kemiskinan dan keterbelakangan yang semula terabaikan mulai mendapatkan perhatian lebih luas dari berbagai kalangan.Persoalan ini telah mendorong berkembangnya beragam 8

  http://ngenyiz.blogspot.com/2009/02/csr-sekilas-sejarah-dan-konsep.html aktivitas yang terkait dengan pengentasan kemiskinan dan keterbelakangan dengan mendorong berkembangnya sektor produktif dari masyarakat.

  Gema CSR pada dekade itu juga diramaikan oleh terbitnya buku “Silent Spring (1962)”. Rachel Louise Carson (May 27, 1907-April 14, 1964) adalah seorang marine biologist dan nature writer asal Amerika Serikat, bukunya menceritakan masalah penggunaan obat pemberantas hama yang tidak terkontrol sehingga berdampak matinya dimana pengertian judulnya mencerminkan tidak ada lagi kicauan burung-burung di musim semi karena burung-burungnya mati akibat obat pembunuh hama. Judul tersebut merupakan inspirasi dari syair by John Keats.

  Prinsip duty to Act bonafide in the interest of the company yang dikenal luas dalam hukum perseroan menuntut seorang direksi agar mengelola perseroan untuk kepentingan dan keuntungan perseroan.Tentunya tujuan akhirnya adalah optimalisasi nilai (value) bagi para pemegang saham. Disisi lain, perseroan sebagai sebuah legal entity (subjek hukum) yang memiliki legal personality ditengah-tengah masyarakat memiliki kewajiban terhadap subjek hukum lainnya

  

  atau anggota dalam pergaulan masyarakat secara umum. Tuntutan ini merupakan wujud dari kewajiban perseroan sebagai salah satu subjek yang eksistensinya dipengaruhi oleh interaksi yang baik dengan subjek lainnya ditengah pergaulan masyarakat.Sebelum merambah ke masyarakat yang lebih luas, semestinya CSR dilakukan untuk lingkungan terdekat, yaitu masyarakatnya sendiri atau karyawannya.Bila tanggung jawab ini dipenuhi, tidak menutup kemungkinan, 9 Soerjono, Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, Sensi-sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum, karyawan pun ikut menyalurkan kepedulian sosial terhadap lingkungannya, seperti yang dilakukan oleh perusahaan tempat mereka bekerja.

  CSR yang kini marak diimplementasikan banyak perusahaan mengalami evolusi dan metamorfosis dalam rentang waktu yang cukup panjang.Konsep ini tidak lahir begitu saja.Ada beberapa tahapan sebelum gemanya lebih terasa pada saat industri berkembang setelah terjadi revolusi industri, kebanyakan perusahaan masih memfokuskan dirinya sebagai organisasi yang mencari untung belaka.Mereka memandang bahwa sumbangan kepada masyarakat cukup diberikan dalam bentuk penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan masyarakat melalui produknya, dan pembayaran pajak kepada negara.Seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat tidak sekedar menuntut perusahaan untuk menyediakan barang dan jasa yang diperlukannya karena, selain terdapat ketimpangan ekonomi antara pelaku usaha dengan masyarakat disekitarnya, kegiatan operasional perusahaan umumnya juga memberikan dampak negatif, misalnya eksploitasi sumber daya dan rusaknya lingkungan disekitar operasi

   perusahaan.

  Perkembangan CSR semakin menguat seiring munculnya globalisasi ekonomi global sejak berakhirnya Perang Dunia II yang mendorong timbulnya transisi sistem ekonomi yang akandialami oleh suatu negara dari perencanaan negara menuju sistem pasar. Transisi ekonomi kearah sistem ekonomi pasar tentunya akan memunculkan berbagai resiko, baik sosial maupun ekonomi, 10

  https://www.scribd.com/doc/78033388/Sejarah-CSR misalnya kekhawatiran punahnya kultur dan ekonomi global, kerusakan lingkungan, eksploitasi pekerja anak, pelanggaran hak buruh, beban hutang negara, imperialisme gaya baru perusahaan multinasional.

  Pada awal abad ke-20 muncul pemikiran tentang korporasi yang lebih manusiawi.Lester Thurow mengatakan bahwa hal tersebut bertolak dari pergeseranmainstream tentang kapitalisme pada saat itu. Menurutnya, kapitalisme saat itu tidak hanya berkutat pada masalah ekonomi, namun juga memasukkan unsur sosial dan lingkungan yang menjadi basis apa yang disebut dengan

   suistainablesociety.

  Masalah degradasi daya dukung lingkungan kemudian menjadi kekuatan internasional baru untuk menekan dunia usaha tentang pentingnya CSR yang berdimensi lingkungan.Pada kurun waktu 1970-anClub of Rome, mempublikasikan pemikiran mereka dalam “The Limits to Growth”, karya ini mengingatkan masyarakat dunia bahwa bumi memiliki keterbatasan daya dukung,sementara disisilain jumlah manusia terus bertambah.Oleh sebab itu, eksploitasi sumber daya alam harus dilakukan secara lebih hati-hati agar pembangunan dapat dilakukan secara berkelanjutan.Sejalan dengan itu, berkembang wacana tentang kepedulian lingkungan, kegiatan kedermawanan terus

   berkembang dalam kemasanphilanthropy serta community development.

  Dasawarsa 1990-an adalah dasawarsa yang diwarnai dengan beragam pendekatan seperti pendekatan integral,pendekatan stakeholder maupun pendekatancivil society. CSR kembali menarik perhatian dunia pada saat 11 Yusuf Wibisono, Membedah Konsep dan Aplikasi CSR, (Surabaya: Ashaf Media Garfika), hal. 3. 12 diselenggarakan KTT Bumi (Earth Summit) di Rio de janeiro, Brazil. Pentingnya CSR terkait dengan peran strategis dari perusahaan dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan (suistainable development)yang berbasis pada

   keberlanjutan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan.

  Pertemuan ini menghendaki agar eksploitasi ekonomi dalam aktifitas-aktifitas perusahaan tetap memperhatikan keseimbangan dan daya dukung lingkungan hidup.Perusahaan semestinya melakukan upaya-upaya untuk menyeimbangkan peran-peran ekonominya dengan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh aktifitas ekonomi tersebut baik terhadap manusia maupun lingkungan hidup di sekitarnya.CSR dalam konteks ini tidak saja penting bagi masyarakat sekitar, tetapi juga menyangkut keberlanjutan perusahaan dalam jangka panjang.Namun demikian, KTT Rio tidak sampai pada sebuah konvensi politik yang menyarankan negara-negarauntuk mengatur kewajiban CSR dalam peraturan perundang-undangan

   nasionalnya.

  Terobosan besar konteks CSR ini dilakukan oleh John Elkington melalui konsep “3P” (profit, people, planet) atau disebut juga TBL (The Triple Bottom

  

Line ),Economic, Social, Environmental, yang dituangkan dalam bukunya

  “Cannibals with Forks, The triple Bottom Line Twentieth Century Business“yang direlease pada tahun 1997. Ia berpendapat bahwa jika perusahaan ingin suistain, maka ia perlu memperhatikan 3P yakni, bukan Cuma profit yang diburu, namun

  13 14 Bambang Rudito dan Melia Femiola, Op.cit, hal. 234.

  juga harus memberikan kontribusi positif kepada masyarakat (people) dan ikut

   aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet).

B. Pengertian Corporate Social Responsibility(CSR)

  Jika berbicara tentang CSR kita langsung berfikir tentang perilaku korporasi.Padahal jika ditelaah lebih jauh, pemerintah pun tidak dianjurkan untuk menjalankan aktivitas CSR, dengan beberapa penyesuaian tentunya.Hal ini berkaitan dengan posisi pemerintah sebagai konsumen terbesar bagi seluruh kegiatan konsumsi.CSR memberikan petunjuk penting yang dapat menjadi panduan bagaimana perusahaan dan pemerintahan sebaiknya dijalankan.

  Secara umum CSR merupakan peningkatan kualitas kehidupan mempunyai arti adanya kemampuan manusia sebagai individu anggota komunitas untuk dapat menanggapi keadaan sosial yang ada, dan dapat menikmati serta memanfaatkan lingkungan hidup termasuk perubahan-perubahan yang ada sekaligus memelihara, atau dengan kata lain, merupakan cara perusahaan mengatur proses usaha untuk memproduksi dampak positif pada komunitas,atau dapat dikatakan sebagai proses penting dalam pengaturan biaya yang dikeluarkan dan keuntungan kegiatan bisnis dari pihak-pihak lain yang berkepentingan baik secara internal yaitu pekerja, pemegang saham, dan penanam modal maupun eksternal, yaitu kelembagaan pengaturan umum, anggota-anggota komunitas,

   kelompok komunitas sipil, dan perusahaan lain.

  15 16 Yusuf Wibisono, Op.Cit., hal. 6-7.

  Sebagaimana berdasarkan UU Perseroan Terbatas Bab V Pasal 74, CSR

  

  disebut dengan istilah Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah : Komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, bagi perseroan itu sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.

  Definisi CSR sangat menentukan pendekatan audit program CSR. Sayangnya, belum ada definisi CSR yang secara universal diterima oleh berbagai lembaga. Beberapa definisi CSR berikut ini menunjukkan keragaman pengertian CSR menurut berbagai organisasi: 1.

  World Bussiness Council for Suistainable Development: Komitmen berkesinambungan dari kalangan bisnis untuk berperilaku etis dan memberi kontribusi bagi pembangunan ekonomi, seraya meningkatkan kualitas kehidupan karyawan dan keluarganya, serta komunitas lokal dan masyarakat luas pada umumnya.

  2. International Finance Corporation: Komitmen dunia bisnis untuk memberi kontribusi terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan melalui kerjasama dengan karyawan, keluarga mereka, komunitas lokal dan masyarakat luas untuk meningkatkan kehidupan mereka melalui cara-cara yang baik bagi bisnis maupun pembangunan.

  3. Institute of Chartered Accountants, England and Wales: Jaminan bahwa organisasi-organisasi pengelolaan bisnis mampu memberi dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan, seraya memaksimalkan nilai bagi pemegang saham (stakeholders) mereka.

  4. Canadian Government: 17

  Kegiatan usaha yang mengintegrasikan ekonomi, lingkungan, dan sosial ke dalam nilai, budaya, pengambilan keputusan, strategi, dan operasi perusahaan yang dilakukan secara transparan dan bertanggungjawab untuk menciptakan masyarakat yang sehat dan berkembang.

5. European Commission:

  Sebuah konsep dengan mana perusahaan mengintegrasikan perhatian terhadap sosial dan lingkungan dalam operasi bisnis mereka dan dalam interaksinya dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) berdasarkan prinsip-prinsip kesukarelaan.

6. CSR Asia:

  Komitmen perusahaan untuk beroperasi secara berkelanjutan berdasarkan prinsip ekonomi, sosial, dan lingkungan, seraya menyeimbangkan beragam kepentingan para stakeholders.

  Definisi lainnya adalah The World Bussiness Council for Suistainable

  

Development (WBCSD) mendefinisikan CSR atau tanggung jawab sosial

  perusahaan, sebagai: komitmen dunia usaha untuk terus-menerus bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi, bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya sekaligus juga peningkatan kualitas komunitas lokal dan masyarakat secara lebih luas.

  World Bank mendefinisikan CSR, sebagai “The Commitment of business

  to contribute to suistainable economis development working with amployees and their representatives the local community and society at large to improve quality of live, in ways that are both goog for business and good for development”. Yang artinya adalah komitmen dunia usaha

  untuk terus-menerus bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi, bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya sekaligus juga peningkatan

   kualitas komunitas lokal dan masyarakat secara lebih luas.

  Komisi eropa membuat definisi yang lebih praktis, yang pada dasarnya bagaimanaperusahaan yang secara sukarela memberi kontribusi bagi terbentuknya masyarakat yang lebih baik dan lingkungan yang lebih bersih. Sedangkan Elkington mengemukakan bahwa sebuah perusahaan yang menunjukkan tanggung jawab sosialnya akan memberikan perhatian pada peningkatan kualitas perusahaan, masyarakat, khususnya komunitas sekitar, serta lingkungan hidup. The Commission for European Communities dalam publikasi Green Paper-nya memandang CSR sebagai sebuah konsep yang penting pada suatu perusahaan yang memutuskan secara sukarela untuk memberi kontribusi bagi masyarakat yang lebih baik dan lingkungan yang lebih besar.Green Paper mencatat bahwa bagi sebuah organisasi untuk menjadi bertanggung jawab secara lingkungan berarti tidak hanya memenuhi sebuah kewajiban hukum, tetapi juga menginvestasikan lebih dalam hal sumber daya manusia, lingkungan dan hubungan dengan pihak-pihak yang berkepentingan.Green Paper juga mendeskripsikan CSR dalam dua kategori yaitu dimensi internal diinterpretasikan termasuk dalam manajemen sumber daya manusia, kesehatan dan keamanan saat kerja, adaptasi pada perubahan dan manajemen dari dampak lingkungan dan sumber daya alam.Dimensi eksternal termasuk komunitas lokal, rekan bisnis termasuk pemasok dan konsumen

  

dan kepedulian lingkungan global.

  Dengan memperhatikan keterkaitan antara perusahaan, masyarakat dan pemerintah seperti telah diuraikan sebelumnya, pada zaman sekarang ini, sudah merupakan keharusan agar perusahaan mempunyai tanggung jawab sosial, pemerintah dan masyarakat dapat menilai kinerja perusahaan, seandainya perusahaan hanya mengejar target keuntungan dengan tanpa dibarengi tanggung jawab sosial. Dengan berdasarkan pada uraian diatas, dimana sebenarnya keharusan perusahaan harus mempunyai tanggung jawab sosial.Hal ini menjadi dilema, karena pada dasarnya perusahaan didirikan semata-mata untuk kepentingan ekonomis dalam hal ini mencari keuntungan.Sehingga apabila 18 Martono Anggusti .Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, (Bandung: Books Terrace and Library, 2010), hal. 12. 19 Amin Widjaja, Business Ethics dan Corporate Social Responsibility Konsep dan

  perusahaan dibebani tanggung jawab sosial, apakah mungkin terjadi tarik-menarik (spanning) antara kepentingan mencari untung dan kepentingan sosial.

  Untuk melihat perlu atau tidaknya perusahaan, maka terlebih dahulu harus dilihat status perusahaan, apa sebenarnya perusahaan itu. Pada negara-negara modern, kehadiran perusahaan dalam masyarakat merupakan suatu aset nasional yang sangat penting, dengan alasan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut setidaknya dapat membantu negara (pemerintah) untuk turut serta membantu segala kebutuhan hidup masyarakat yang tidak bisa dipenuhi oleh pemerintah.Bahkan dalam keadaan-keadaan tertentu, perusahaan dianggap sebagai “pribadi” yang mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana adanya pribadi manusia yang dalam tindakannya terwujud oleh badan pengurus perusahaan.

  Berkaitan dengan status perusahaan tersebut, disini perlu dikemukakan pendapat dari Richard T. de George mengenai status perusahaan yang memandang

  

  perusahaan dari dua segi yaitu: 1.

  Perusahaan sebagai legal-creator, yang melihat perusahaan sebagai sepenuhnya ciptaan hukum, ada hanya berdasarkan hukum. Menurut pandangan ini, perusahaan diciptakan oleh negara dan tidak mungkin ada tanpa negara. Negara dan hukum sendiri adalah ciptaan masyarakat. Perusahaan diciptakan oleh masyarakat. Maka kalau perusahaan tidak lagi berguna bagi masyarakat, masyarakat bisa saja mengubah atau meniadakannya. Mengkaji perusahaan sebagai legal-creator, dengan tidak melepas keberadaannya dari negara, 20 begitu juga keberadaan negara tidak akan ada tanpa ada masyarakat yang menghendaki adanya negara, jadi antara masyarakat, negara, dan perusahaan, merupakan tiga komponen yang tidak bisa saling melepaskan diri, maka dari itu jika perusahaan sudah tidak lagi memberikan kontribusi yang positif bagi masyarakat dan negara, perusahaan tersebut harus diberhentikan keberadaannya.

  2. Perusahaan sebagai legal-recognition, yang melihat perusahaan tidak memusatkan perhatiannya pada status legal dari perusahaan, melainkan pada perusahaan sebagai suatu usaha bebas dan produktif. Menurut pandangan ini, perusahaan terbentuk oleh para anggotanya yang mengikat dirinya, mengorganisasi diri dan melakukan suatu kegiatan tertentu dengan cara tertentu secara bebas. Dalam hal ini perusahaan tidak dibentuk oleh negara.

  Negara hanya mendaftar dan mengakui operasi perusahaan itu. Perusahaan juga bukan suatu organisasi bentukan masyarakat. Menurut pandangan yang kedua ini, bahwa kehadiran perusahaan dalam masyarakat hanya karena keinginan, inisiatif para anggota masyarakat yang saling mengikatkan dirinya membentuk perusahaan dan negara hanya mencatatkan keberadaan perusahaan, sehingga menurut pandangan ini perusahaan merupakan suatu usaha yang bebas dan produktif, hanya semata-mata mencari keuntungan.

  Apabila pandangan yang pertama yang diuraikan diatas, dikaitkan dengan kehadiran perusahaan-perusahaan negara di Indonesia, yaitu lembaga perusahaan (badan usaha) hadir ditengah masyarakat karena dibentuk oleh hukum, misalnya apa yang tersebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang telah mengatur berbagai bentuk, jenis perusahaan yang diperkenankan hadir dalam masyarakat. Dengan berpijak pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, oleh karena perusahaan hadir dibentuk oleh masyarakat, negara yang harus bergerak dengan tujuan mencari untung atau tanggung jawab dari segi ekonomi, bukan berarti mengabaikan tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat karena tidak mungkin dan akan sulit sendiri apabila perusahaan tidak membutuhkan masyarakat dan tidak berhubungan dengan masyarakat dan negara. Oleh karena itu antara perusahaan, masyarakat,

   dan negara saling membutuhkan.

  Dalam pandangan lain yang dikemukakan oleh Theodore Levvit “bahwa harus ada pemisahan tanggung jawab sosial dari tanggung jawab ekonomi.”Perusahaan dalam pandangan ini hanya mempunyai tanggung jawab tetapi terbatas pada tanggung jawab ekonomi.Isi dari tanggung jawab ekonomi perusahaan adalah memperbesar usahanya serta berusaha mendatangkan keuntungan yang sebesar-besarnya.Sebaliknya tanggung jawab sosial hanyalah urusan negara, karena negara dibentuk oleh

   masyarakat untuk menjalankan fungsi-fungsi sosial masyarakat.

  Jika pendapat dari Theodore Levvit ini diterima dengan pandangan sebelah mata, bahwa hanya mencari keuntungan saja, maka hal ini akan menimbulkan efek ataupun akibat-akibat yang sangat merugikan masyarakat, bahwa memang benar dalam konsep negara modern yaitu untuk mewujudkan “welfare state’ menjadi kewajiban bagi penyelenggara negara, tapi dalam hal ini perusahaan tidak bisa hidup menyendiri terlepas dari masyarakat dan negara. Oleh karena itu perusahaan disamping mengejar keuntungan atau laba perlu juga menjalankan 21 22 Ibid, hal 65 Theodore Levvit, The Danger of Social Responsibility, dalam Tom L. Beauschamp dan

  

Norman E. Bowie, hal 85-86, sebagaimana dikutip oleh A. Sony Keraf, Etika Bisnis, Membangun fungsi sosial atau mempunyai tanggung jawab sosial, sebagai salah satu kontribusi untuk turut serta mensejahterakan rakyat.Untuk lebih memahami secara komprehensif perlu atau tidak perlu perusahaan harus mempunyai tanggung jawab sosial ini, perlu dikemukakan argumen-argumen yang menyatakan bahwa perusahaan tidak harus mempunyai tanggung jawab sosial dan argumen-argumen yang menyatakan bahwa perusahaan harus mempunyai tanggung jawab sosial yaitu:

   1.

  f.

  d.

  Terbatasnya sumber-sumber daya.

  c.

  Kewajiban moral.

  b.

  Kebutuhan dan harapan masyarakat yang semakin berubah.

  2. Argumen yang menyatakan perusahaan harus mempunyai (perlunya) tanggung jawab sosial, bahwa: a.

  Perusahaan tidak mampu membuat pilihan moral.

  Kurangnya tenaga terampil.

  Argumen yang menyatakan perusahaan tidak harus mempunyai tanggung jawab sosial atau menentang perlunya tanggung jawab sosial bahwa: a.

  e.

  Bisnis mempunyai kekuasaan yang sudah memadai.

  d.

  Biaya keterlibatan sosial.

  c.

  Tujuan yang terbagi-bagi dan harapan yang membingungkan.

  b.

  Tujuan bisnis adalah mengejar keuntungan sebesar-besarnya.

  Lingkungan sosial yang lebih baik. 23 Habib Adjie, Op.cit. hal 66.

  e.

  Perimbangan tanggung jawab dan kekuasaan.

  f.

  Bisnis mempunyai sumber daya-sumber daya yang berguna.

  g.

  Keuntungan jangka panjang.

  Dari kedua pernyataan yang saling bertentangan tersebut, saya lebih setuju untuk menyatakan bahwa perusahaan harus mempunyai tanggung jawab sosial, hal ini dilandasi oleh suatu kenyataan yang tidak akan terbantah dengan maraknya dunia bisnis, dengan berbagai persaingan yang sehat dengan yang tidak sehat hampir sebanding, dan pada akhirnya hanya perusahaan yang memperhatikan kebutuhan, keinginan masyarakat akan dapat bertahan, karena kecenderungan masyarakat sekarang membutuhkan produk biaya yang bermutu.

  Berdasarkan hal tersebut diatas, maka wujud tanggung jawab sosial perusahaan dapat dirumuskan dalam dua wujud, yaitu: a.

  Positif : melakukan kegiatan-kegiatan yang bukan didasarkan pada perhitungan untung rugi, melainkan didasarkan pada pertimbangan demi kesejahteraan sosial.

  b.

  Negatif : tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang dari segi ekonomis menguntungkan, tetapi dari segi sosial merugikan kepentingan dan kesejahteraan sosial. Pembahasan bahwa perusahaan harus mempunyai tanggung jawab sosial ini, sangat terasa penting dan tepat dengan berdasarkan Pancasila, yang menjadi dasar dalam segala bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Substansi dari Pancasila yaitu harus ada keselarasan, keharmonisan, keseimbangan, diantara berbagai sektor kehidupan, sehingga dengan demikian perusahaan-perusahaan yang ada di bumi Indonesia, mempunyai kewajiban, disamping mencari keuntungan ekonomis (tanggung jawab ekonomi), juga mempunyai tanggung jawab sosial, dengan memberikan keselarasan, keseimbangan dan keharmonisan

   diantara tanggung jawab tersebut.

  Berdasarkan uraian diatas sebenarnya tanggung jawab sosial perusahaan merupakan rasa kepedulian sosial perusahaan terhadap segala aspek yang berkaitan dan menunjang hidupnya perusahaan, dengan menyelaraskan, menyeimbangkan, dan harmonisasi antara tanggung jawab ekonomi (mencari untung) dan tanggung jawab sosial.

C. Ruang Lingkup Corporate Sosial Responsibility (CSR)

  Dari arti tanggung jawab sosial perusahaan diatas, bagaimana sebenarnya ruang lingkup tanggung jawab sosial perusahaan.Menurut Vernono A. Musselman dan John H. Jackson bahwa istilah “tanggung jawab sosial perusahaan pada suatu ketika hanya berarti sumbangan finansial pada seni atau masyarakat setempat, dan mungkin perilaku etis.”

  Bahwa sesuai dengan perkembangan jaman, sudah merupakan keharusan perusahaan mempunyai tanggung jawab sosial, dan meskipun begitu ternyata masih tidak mudah untuk memberikan batasan atau ruang lingkup dari tanggung jawab sosial perusahaan tersebut.

  Bahwa dari istilah tersebut diatas sesuai dengan perkembangan jaman mengalami penambahan arti, juga sekaligus merupakan ruang lingkup 24 tanggung jawab sosial perusahaan, seperti yang dikemukakan oleh Vernon

  A. Musselman-John H. Jackson, bahwa “tanggung jawab sosial perusahaan meliputi keprihatinan atas kesehatan, informasi konsumen, menyewa ahli praktek, tidak menjalankan diskriminasi serta memelihara

  

  lingkungan fisik.” Ruang lingkup yang hampir sama dengan yang tersebut diatas, diberikan pula oleh basu Swastha DA dan Ibnu sukotjo W bahwa tanggung jawab sosial perusahaan mencakup hal-hal seperti bidang kesehatan, informasi konsumen,

  

  praktek tanpa diskriminasi dan pemeliharaan lingkungan fisik: a.

  Sonny Keraf melihat ruang lingkup tanggung jawab sosial perusahaan tersebut, dengan menyebutkan b. ada dua jalur tanggung jawab sosial sesuai dengan dua jalur relasi perusahaan dengan masyarakat, yaitu relasi primer dan relasi sekunder, dirumuskan sebagai berikut: 1.

  Terhadap relasi primer, misalnya memenuhi kontrak yang sudah dilakukan dengan perusahaan lain, memenuhi janji, membayar utang, memberi pelayanan pada konsumen dan pelanggan secara memuaskan, bertanggung jawab dalam menawarkan barang dan jasa kepada masyarakat dengan mutu yang baik, memperhatikan hak karyawan, kesejahteraan karyawan dan keluarganya, meningkatkan keterampilan dan pendidikan karyawan dan sebagainya.

  2. Terhadap relasi sekunder, bertanggung jawab atas operasi dan dampak bisnis terhadap masyarakat pada umumnya, atas masalah-masalah sosial 25 seperti: lapangan kerja, pendidikan, prasarana sosial, pajak, dan sebagainya.

  Basu Swastha DH., Ibnu Sukotjo W. Pengantar Bisnis Modern (Pengantar Ekonomi Perusahaan Modern), Edisi Ketiga, Yogyakarta: Liberty, 1993, hal 26. 26 Ibid, hal 27

  Jika dikaji lebih lanjut sebenarnya ada dua hal yang berkaitan dengan ruang lingkup tanggung jawab sosial perusahaan yaitu: a.

  Internal, merupakan tanggung jawab kedalam perusahaan itu sendiri, perusahaan harus bertanggung jawab terhadap kesejahteraan karyawannya, terhadap mutu bahan yang dipergunakan agar menghasilkan barang yang baik atau hal-hal yang berkaitan dengan proses produksi.

  b.

  Eksternal, merupakan tanggung jawab ke luar perusahaan, perusahaan harus bertanggung jawab terhadap lingkungan yang berada disekitar perusahaan sertaakibat-akibat yang ditimbulkannya, bertanggung jawab terhadap barang-barang yang dibuat (dipasarkan) atau pasca produksi.

D. Pengaturan Hukum Mengenai Corporate Sosial Responsibility (CSR)

  Pelaksanaan Corporate Sosial Responsibility yang dilakukan di Indonesia tentunya harus memiliki dasar hukum agar para pengusaha dapat melaksanakan CSR sebaik-baiknya dan tidak dilakukan tanpa melihat pengaturan yang ada.Dasar hukum daripada CSR adalah sebagai berikut:

  1. Undang-Undang No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT).

  2. Undang-Undang No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM).

  3. Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

  4. Undang-Undang No. 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN).

  5. Peraturan Menteri BUMN No. PER-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL).

  Pada Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) pengaturan CSR dapat dilihat dalam Bab V. hal ini merupakan masalah baru dalam hukum Perseroan Terbatas, Undang-Undang No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas tidak mengaturnya. Akan tetapi pengaturan CSR dalam Undang-Undang PT sangat minim sekali.Hanya terdiri dari 1 Pasal saja, yakni

   Pasal 74 Undang-Undang No. 40 tahun 2007.

  Bunyi Pasal 74 UUPT yang mewajibkan CSR bagi Perseroan Terbatas,

  

  adalah : 1.

  Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.

  2. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.

  3. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan pemerintah.

  Dalam penjelasan Pasal 74 Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas jelas disebutkan bahwa kewajiban pelaksanaan CSR bagi perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam ini tidak hanya melihat pada bisnis inti dari perusahaan tersebut. Walaupun perusahaan tersebut tidak secara langsung melaksanakan 27 M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hal. 125. 28 eksploitasi sumber daya alam, tetapi selama kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam, maka perusahaan tersebut wajib melaksanakan tanggung jawab sosialnya.

  Pengaturan adanya kewajiban tanggung jawab sosial bagi perseroan di negara-negara maju, seperti di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa maju sudah dimulai sejak tahun 50-an, artinya setiap perusahaan disamping mencari keuntungan, juga wajib memberikan manfaat kepada masyarakat, lingkungan sekitarnya.

  Dalam Pasal 74 ayat (1) UUPT, menegaskan “bahwa perseroan yang bergerak dalam bidang sumber daya alam usaha wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.”

  Substansi pasal ini menegaskan dan kewajiban hanya kepada perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) dan dalam bidang usaha sumber daya alam saja berkewajiban untuk mempunyai tanggung jawab sosial dan

   lingkungan.

  Substansi pasal ini, sangat sempit yaitu hanya perseroan yang bergerak dalam bidang usaha (mengelola) sumber daya alam yang berkewajiban untuk mempunyai tanggung jawab sosial dan lingkungan. Seharusnya kewajiban tanggung jawab sosial dan lingkungan, bukan hanya untuk perseroan dalam bidang usaha sumber daya alam saja, tapi juga untuk semua perseroan, dan sempit dalam pengertian tanggung jawab sosial yang dikaitkan dengan lingkungan 29 saja.Sebagaimana diuraikan diatas tanggungjawab sosial mempunyai makna atau pengertian yang luas tidak hanya terdapat lingkungan saja, tapi juga berkaitan dengan aspek kehidupan masyarakat disekitarnya, apakah kehadiran sebuah perseroan disuatu tempat dapat memberikan dampak positif kepada masyarakat, misalnya dapat menaikkan taraf hidup masyarakat disekitarnya atau malah menghancurkannya, kemudian terhadap produknya, tidak hanya bertanggungjawab (misalnya untuk makanan) produknya aman dikonsumsi, tapi juga dampak ikutannya yang akan muncul kemudian harus dapat dipertanggungjawabkan.

  Dalam Peraturan PemerintahNo. 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas masih berlaku mengingat PP tersebut produk dari UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UU PT yang lama) untuk melaksanakan UUPT No. 40 tahun 2007 hal-hal semacam itu dapat diperhatikan dan ditegaskan lebih lanjut, sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang bias yang dimanfaatkan oleh pemilik dan perusahaan-perusahaan nakal.

  Dalam Pasal 74 ayat (2) UUPT, bahwa tanggung jawab sosial merupakan kewajiban perseroan yang wajib dianggarkan dalam anggaran (keuangan)perseroan.Dengan kewajiban seperti ini, tanggung jawab sosial bagi setiap perusahaan, wajib menghitung dengan cermat setiap pengeluaran perseroan, sehingga keuntungan yang diperoleh merupakan keuntungan bersih (netto) yang tidak perlu dikurangi kewajiban lainnya. Dalam Pasal 74 ayat (2) UUPT untuk perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban tanggung jawab sosial dan lingkungan tersebut, sanksi yang akan diatur tersebut harus ditegaskan:

  

1. Bentuk dan jenisnya. Sebaiknya jangan sanksi berupa pengenaan sejumlah

  uang ataupun pidana, tapi berupa kewajiban untuk melaksanakan tanggung jawab sosial tertentu yang sesuai atau berkaitan dengan bidang usaha perseroan.

  

2. Sanksi harus dijatuhkan oleh suatu institusi atau lembaga yang khusus dibuat

untuk keperluan tersebut, dan bersifat independen.

  

3. Sanksi yang dijatuhkan oleh lembaga tersebut bersifat mengikat dan final,

artinya tidak ada proses hukum kepada instasi lainnya.

  4. Setiap sanksi yang dijatuhkan wajib diawasi dan diaudit oleh suatu lembaga yang independen.

  

5. Jika perseroan yang dijatuhi sanksi tersebut, tidak mematuhinya atau menurut

  lembaga yang mengawasi dan mengaudit tersebut tidak sepenuh hati untuk melaksanakannya, maka lembaga tersebut dapat menunjuk lembaga lainnya untuk melaksanakan kewajiban sosial tersebut dengan biaya dari perseroan yang dijatuhi sanksi, atau

  

6. Lembaga yang ditunjuk tersebut dapat merekomendasikan kepada pemerintah,

agar segala izin yang berkaitan dengan perseroan dicabut.

  Pada Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal

  

  (UU PM) pengaturan CSR dapat dilihat pada: 30

  1. Pasal 15 Setiap penanaman modal berkewajiban: a.

  Menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik; b. Melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan c. Membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal; d.

  Menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal;dan e.

  Mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 15 huruf b UU 25/2007 diatur bahwa setiap penanam modal wajib melaksanakan TJSL. Yang dimaksud dengan TJSL menurut

  

Penjelasan Pasal 15 huruf b UU 25/2007 adalah tanggung jawab yang

  melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.

Pasal 1 angka 4 Sedangkan yang dimaksud dengan penanam modal adalah perseorangan

  atau badan usaha yang melakukan penanaman modal yang dapat berupa penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing.

  Pasal 16 Bahwa setiap penanam modal bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup.Ini juga merupakan bagian dari TJSL. Jika penanam modal tidak melakukan kewajibannya untuk melaksanakan TJSL, maka berdasarkan Pasal 34 UU 25/2007, penanam modal dapat

  dikenai sanksi adminisitatif berupa:

  a. peringatan tertulis;

  b. pembatasan kegiatan usaha;

  c. pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau d. pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal. (Pasal 34 ayat (3) Selain dikenai sanksi administratif, penanam modal juga dapat dikenai sanksi lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan CSR yang diterapkan oleh investor dilakukan untuk menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungannya, nilai, moral, dan budaya masyarakat setempat.Maka menjadi sebuah kebutuhan diperlukannya rambu-rambu etika bisnis agar tercipta praktik bisnis yang beretika, karena etika bisnis merupakan seperangkat kesepakatan umum yang mengatur relasi antar pelaku bisnis dan antara pelaku bisnis dengan masyarakat agar hubungan tersebut terjalin dengan baik. Perusahaan yang tidak beretiket akan kehilangan kepercayaan masyarakat dan dengan demikian akan kehilangan konsumen sehingga lama-kelamaan akan mati dengan sendirinya. Prinsip tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) merupakan salah satu bagian dari pelaksanaan CSR. Bila perusahaan dapat menerapkan GCG, maka hal itu akan membawa dampak positif bagi keberlanjutan perusahaan, yang pada dasarnya memuat nilai-nilai etika bisnis sebagai basis menuju praktik CSR. Terdapat 5 (lima) prinsip GCG yang dapat dijadikan pedoman

  

  bagi para pelaku bisnis, yaitu: 1.

  Keterbukaan informasi (Transparency) Keterbukaan informasi (Transparency) secara sederhana dapat diartikan sebagai keterbukaan informasi.Dalam mewujudkan prinsip ini perusahaan dituntut untuk menyediakan informasi yang cukup, akurat, tepat waktu kepada segenap pihak-pihak yang berepentingan.

  2. Akuntabilitas (Accountability) Akuntabilitas (Accountability) maksudnya adanya kejelasan fungsi, struktur, sistem, dan pertanggungjawaban elemen perusahaan. Apabila prinsip ini diterapkan secara efektif, maka akan ada kejelasan fungsi, hak, kewajiban, dan wewenang serta tanggung jawab antar pemegang saham, dewan komisaris, dan dewan direksi.

  3. Pertanggungjawaban (Responsibility) Bentuk pertanggungjawaban perusahaan adalah kepatuhan perusahaan terhadap peraturan yang berlaku, diantaranya termasuk masalah pajak, hubungan industrial, kesehatan dan keselamatan kerja, perlindungan lingkungan hidup memelihara lingkungan bisnis kondusif bersama masyarakat dan sebagainya. Dengan menerapkan prinsip ini, diharapkan menyadarkan perusahaan bahwa dalam kegiatan operasionalnya, perusahaan juga mempunyai peran untuk bertanggungjawab selain kepada pemegang saham juga kepada pihak pihak yang berkepentingan.

  4. Kemandirian (independency) Kemandirian (independency) intinya mensyaratkan agar perusahaan dikelola secara professional tanpa adanya kepentingan dan tanpa tekanan atau intervensi dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku.

  5. Kesetaraan dan kewajaran (Fairness) Kesetaraan dan kewajaran (Fairness) menuntut adanya perlakuan yang 31 adil dalam memenuhi hak dari pihak-pihak yang berkepentingan

  Yusuf Wibisono, Membedah Konsep dan Aplikasi CSR, Gresik: Frascho Publishing, 2007, terhadapeksistensi perusahaan sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.Diharapkan kesetaraan dan kewajaran dapat menjadi faktor pendorong yang dapat memonitori dan memberikan jaminan perlakuan yang adil diantara beragam kepentingan dalam perusahaan. Dari 5 prinsip GCG ini, prinsip pertanggungjawaban (responsibility) merupakan prinsip yang mempunyai keterkaitan paling dekat dengan CSR.Dalam prinsip ini, penekanan yang paling tegas diberikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan terhadap jalannya perusahaan.Melalui prinsip ini diharapkan perusahaan dapat menyadari bahwa dalam kegiatan operasionalnya seringkali menghasilkan dampak yang harus ditanggung oleh pihak-pihak yang berkepentingan terhadap jalannya perusahaan, sehingga harus memperhatikan kepentingan dan nilai tambah dari pihak-pihak yang berkepentingan terhadap jalannya perusahaan.

  Pada Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan

   Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) pengaturan CSR dapat dilihat pada: 1.

  Menimbang butir a Bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28 H Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.

  2. Menimbang butir b Bahwa pembangunan ekonomi nasional sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

  3. Menimbang butir d Bahwa kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun setelah 32 lainnya mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan

  Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan makhluk hidup lainnya sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-sungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan.

4. Menimbang butir e

  Bahwa pemanasan global yang semakin meningkat mengakibatkan perubahan iklim sehingga memperparah penurunan kualitas lingkunganhidup karena itu perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

  5. Pasal 1 angka 1 Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.

  6. Pasal 1 angka 2 Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfataan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.

  7. Pasal 1 angka 3 Pembangunan berkelanjutan adalah upaya dasar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.

  8. Pasal 1 angka 6 Pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

  9. Pasal 3 Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan : a.

  Melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; b.

  Menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia; c. Menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem; d.

  Menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup; e. Mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup; f.

  Menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan; g.

  Menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia; h.

  Mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana; i. Mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan j. Mengantisipasi isu lingkungan global 10.

  Pasal 4 Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi: a. Perencanaan; b. Pemanfaatan; c. Pengendalian; d. Pemeliharaan; e. Pengawasan; dan f. Penegakan hukum 11. Pasal 13 1. Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dilaksanakan dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.

  2. Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) meliputi: a.

  Pencegahan; b.

  Penanggulangan; dan c. Pemulihan 3. Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) dilaksanakan oleh

  Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan kewenangan, peran, dan tanggung jawab masing-masing. Hak atas lingkungan hidup merupakan salah satu hak asasi manusia.Tetapi, meskipun hak atas lingkungan hidup telah dituangkan dalam suatu peraturan dan adanya kebijaksanaan pemerintah mengenai pembangunan berwawasan lingkungan hidup belum merupakan jaminan bahwa hak tersebut sudah benar-benar terlindungi.

  Penjabaran lebih luas hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah diakuinya hak lingkungan hidup tetapi sebagai penyandang hak tidak dapat mempertahankan haknya tanpa bantuan orang lain. Untuk itu diperlukan peran serta setiap orang yang mencakup orang perorangan dan/atau kelompok orang dan/atau badan hukum.Adanya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan berarti telah melanggar hak asasi manusia dan lingkungan atas keberlanjutan daya dukungnya sehingga diperlukan peran semua pihak untuk mempertahankan hak tersebut.Masalah lingkungan hidup merupakan tanggung jawab sosial bagi perusahaan sebagai badan hukum untuk mempertahankan eksistensinya dan sudah

   selayaknya mengimplementasi CSR.

  Adapun peraturan yang mengatur mengenai CSR bagi BUMN tertuang dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN).Disebutkan bahwa BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan pembinaan usaha kecil/koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN (Pasal 88 ayat (1)).Oleh karena itu semua sektor harus

   melaksanakannya dengan baik.

  Kemudian daripada itu dalam penerapan CSR, CSR tersebut tidaklah berdiri Sendiri melainkan adanya dilaksanakannya Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). Dalam hal ini pelaksanaan CSR yang diatur dalam Pasal 74 UUPT 2007 berbeda dengan Program Kemitraan dengan Pengusaha Kecil maupun dengan Program Bina Lingkungan yang diwajibkan kepada BUMN.