Teori Sosiologi kontemporer wardana Modern.doc

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Politik memiliki arti sesungguhnya yaitu kekuasaan dan kepemimpinan untuk membuat

kehidupan yang lebih baik. Adanya suatu partai politik juga dilandaskan karena adanya
kesamaan ideologi, gagasan dan tujuan untuk mencapai sesuatu yang lebih baik. Indonesia
menganut asas multipartai, yakni terdapat banyak partai yang terbentuk di negara Indonesia. di
dalam politik Indonesia tentunya tidak ada yang namanya perseteruan abadi maupun konflik
abadi, baik antar partai maupun inter partai.
Namun dewasa ini sungguh disayangkan partai politik yang harusnya ikut membangun
negeri ini menjadi lebih baik, malah lebih mengedepankan ego masing-masing pihak yang ada di
dalamnya tanpa adanya rasa toleransi. Akibatnya timbul konflik-konflik internal yang semakin
membuat kekacauan yang ada di negeri ini. Golkar yang tadinya merupakan salah satu partai
yang cukup baik, harus menanggung konflik yang berkepanjangan dan pecah menjadi dua kubu
akibat tidak adanya integrasi dan toleransi yang baik antar pihak yang ada didalamnya, yaitu
kubu Aburizal Bakrie (ARB) dan kubu Agung Laksono.
Konflik internal dalam Partai Golkar ini merupakan konflik terburuk dalam lima puluh

tahun terakhir berdirinya Partai Golkar. Perpecahan Partai Golkar menjadi dua kubu, menarik
perhatian banyak kalangan diantaranya para politisi dan masyarakat luas. Bahkan mantan ketua
umum Partai Golkar terdahulu yang kini merupakan wakil presiden kita ikut turun tangan dalam
usaha menyelesaikan konflik berkepanjangan yang terjadi. Salah satu usaha yang dilakukan ialah
dengan jalan islah.
Sorotan media massa yang begitu tajam dan eksposnya terus-menerus terkait konflik
internal Parta Golkar ini akhirnya membuat konflik internal ini menjadi sorotan perhatian
berbagai kalangan. Untuk itu kami tertarik dan berusaha untuk menjelaskan konflik internal
Partai Golkar dan menganalisanya dengan menggunakan teori konflik Ralf Dahrendorf.
1 Teori Sosiologi Modern

1.2.

Rumusan Masalah
1. Bagaimana teori konflik Ralf Dahrendorf?
2. Bagaimana teori konflik Ralf Dahrendorf dalam menganalisa konflik internal yang
terjadi di dalam Partai Golkar?
3. Bagaimana pandangan peneliti mengenai solusi penyelesaian konflik internal Partai
Golkar?


1.3.

Tujuan Penelitian
1. Mengetahui secara keseluruhan teori konflik Ralf Dahrendorf.
2. Mengetahui penyebab terjadinya konflik internal Partai Golkar.
3. Menjelaskan dan menganalisa konflik internal Partai Golkar menggunakan teori
konflik Ralf Dahrendorf.

2 Teori Sosiologi Modern

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1.

Teori Konflik Dahrendorf
Menurut KBBI, konflik adalah percekcokan; perselisihan; pertentangan. Sedangkan

menurut Elli M. Setiadi, dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta
dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya” mengatakan bahwa Istilah

“konflik” secara etimologis berasal dari bahasa Latin “con” yang berarti bersama dan “fligere”
yang berarti benturan atau tabrakan.
Teori konflik yang dikemukakan oleh Ralf Dahrendorf sering kali disebut teori Konflik
Dialektik. Bagi Dahrendorf, masyarakat mempunyai dua wajah, yakni konflik dan konsensus.
Kita tidak mungkin mengalami konflik kalau sebelumnya tidak ada konsensus. Kenyataan ini
membawa Dahrendorf pada tesis penting yang dikemukakan yakni bahwa distribusi otoritas
atau kekuasaan yang berbeda-beda merupakan faktor yang menentukan bagi terciptanya konflik
sosial yang sistematis. Kekuasaan atau otoritas itu tidak terdapat secara intrinsik didalam pribadi
masing-masing melainkan dalam posisi yang mereka tempati. Dengan demikian kekuasaan atau
otoritas itu adalah sesuatu yang sah (legitimate). Oleh karena kekuasaan itu adalah sah maka sah
pula sanksi-sanksi yang dikenakan terhadap orang-orang yang melawan kekuasaan itu.1
Konflik merupakan gejala sosial yang serba hadir dalam kehidupan sosial, sehingga
konflik bersifat inheren artinya konflik akan senantiasa ada dalam setiap ruang dan waktu,
dimana saja dan kapan saja. Pada umumnya istilah konflik sosial mengandung suatu rangkaian
fenomena pertentangan dan pertikaian antar pribadi melalui dari konflik kelas sampai pada
pertentangan dan peperangan internasional.
Teori konflik adalah teori yang dibangun dalam rangka untuk menentang secara langsung
terhadap teori fungsionalisme struktural. Tokoh utama dalam teori konflik adalah Ralf
Dahrendorf. Teori konflik konflik melihat bahwa masyarakat berada dalam kondisi yang
berubah-ubah atau tepatnya bergerak dalam kondisi ketidakseimbangan. Selain itu, dalam teori

1

Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007), h. 77.

3 Teori Sosiologi Modern

konflik melihat bahwa setiap elemen memberikan sumbangan terhadap disintegrasi sosial. Teori
konflik menilai keteraturan terdapat dalam masyarakat itu hanyalah disebabkan karena adanya
tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa.2
Konsep sentral teori ini adalah wewenang dan posisi. Dimana keduanya merupakan fakta
sosial. Perbedaan wewenang adalah suatu tanda dari adanya berbagai posisi dalam masyarakat.
Perbedaan posisi dan wewenang diantara individu dalam masyarakat itulah yang harus menjadi
perhatian utama para sosiolog. Tugas utama menganalisa konflik adalah mengidentifikasi
berbagai peranan kekuasaan dalam masyarakat.3
Otoritas. Dahrendorf memusatkan perhatiannya pada struktur sosial yang lebih besar.
Bahwa berbagai posisi dalam masyarakat memiliki jumlah otoritas yang berlainan. Otoritas
yang melekat pada posisi adalah elemen kunci dalam analisi Dahrendorf. Otoritas selalu berarti
Superordinat dan Subordinat. Mereka yang menduduki posisi otoritas tersebut diharapkan akan
menggelindingkan subordinat; jadi, mereka mendominasi karena harapan dari mereka
mengelilinginya.4

Dahrendorf mula-mula melihat teori konflik sebagai teori parsial, menganggap teori ini
merupakan perspektif yang dapat dipakai untuk menganalisa fenomena sosial. Ia pun
menganggap masyarakat bersisi ganda memiliki sisi konflik dan sisi kerja sama (kemudian posisi
ini disempurnakan menjadi segala sesuatu yang dapat dianalisa dengan fungsionalisme struktural
dan dapat pula dianalisa dengan teori konflik).5
Menurut Dahrendorf, masyarakat diartikan sebagai persekutuan yang terkordinasi secara
paksa. Oleh karena kekuasaan selalu memisahkan dengan tegas antara penguasa dan yang
dikuasai, maka dalam masyarakat selalu terdapat dua golongan yang saling bertentangan.
Pertentangan itu terjadi dalam situasi dimana golongan yang berkuasa berusaha mempertahankan

2

George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2002), h. 25.
3
Ibid., h. 26.
4
George Ritzer dan Douglas J Goodman, Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Muthakhir Teori Sosiologi
Postmodern (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004), h. 283.
5

Argyo Demartoto, “Srukturalisme Konflik: Pemahaman akan Konflik pada Masyarakat Industri menurut
Lewis Coser dan Ralf Dahrendorf,” Vol 24 No. 1 Tahun 2010, h. 3.

4 Teori Sosiologi Modern

status-quo sedangkan golongan yang dikuasai berusaha untuk mengadakan perubahanperubahan.6
Pertentangan kepentingan ini, selalu ada setiap waktu dan dalam setiap struktur.
Kepentingan yang terdapat dalam suatu golongan tertentu selalu dinilai objektif oleh golongan
yang bersangkutan dan berdempetan dengan posisi individu yang termasuk dalam golongan itu.
Dalam situasi konflik, seorang individu akan menyesuaikan diri dengan peranan yang diharapkan
oleh golongan itu, yang oleh Dahrendorf disebut oleh peranan laten.7
Dahrendorf melihat yang terlibat konflik adalah kelompok semu (quasi group), yaitu
para pemegang kekuasaan atau jabatan dengan kepentingan yang sama yang terbentuk karena
munculnya kelompok kepentingan. Adapun kelompok kedua adalah kelompok kepentingan yang
terdiri dari kelompok semu yang lebih luas. Kelompok kepentingan ini, mempunyai struktur,
organisasi, program, tujuan, serta anggota yang jelas. Kelompok kepentingan inilah yang
menjadi sumber nyata timbulnya konflik dalam masyarakat. 8

BAB III
6


Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, h. 26.
Ibid., h. 27.
8
I.B. Wirawan, Teori-teori Sosial dalam Tiga Paradigma: Fakta Sosial, Definisi Sosial, & Perilaku Sosial
(Jakarta: Kencana, 2012), h. 88.
7

5 Teori Sosiologi Modern

PEMBAHASAN

3.1.

Konsensus
Dalam teori konfliknya, Ralf Dahrendorf menyatakan bahwa konflik itu terjadi karena

sebelumnya sudah ada consensus. Konsensus adalah kesepakatan bersama tentang peran dan
tugas serta kewajiban yang harus dijalankan antar anggota dalam suatu kelompok. Dalam
kaitannya dengan konflik yang terjadi di dalam internal Partai Golkar, tentunya di dalam partai

memiliki struktur keorganisasian yang terdiri dari ketua partai, wakil ketua partai, dan lain
sebagainya. Di dalam struktur atau tingkatan tersebut setiap individu yang berada pada posisinya
masing-masing di dalam struktur tersebut memiliki peran dan tugasnya yang berbeda-beda.
Dalam menentukan peran dan tugas serta kewajiban tiap posisi tersebut yaitu melalui konsensus
atau kesepakatan bersama yang disetujui oleh seluruh anggota partai.
Dalam sebuah media berita online yaitu selasar.com menerangkan bahwa penyebab
pertama yang membuat konflik internal dalam partai golkar sebagai berikut:
“Pemberian mandat kepada Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie
dalam Rapimnas VI Partai Golkar di Jakarta. Mandat itu berisi dua opsi, yakni
(1) menetapkan ARB sebagai Calon Presiden atau Calon Wakil Presiden Partai
Golkar, dan (2) memberikan mandat penuh kepada ARB untuk menjalin
komunikasi dan koalisi dengan partai politik manapun. Fakta politik yang
terjadi, ARB tidak menjadi Capres atau Cawapres, melainkan mengusung
pasangan Capres Prabowo Subianto dan Cawapres Hatta Rajasa. Padahal, dalam
pemahaman yang berbeda, mandat penuh hanya diberikan dalam konteks ARB
sebagai Capres atau Cawapres, bukan malah membawa Partai Golkar untuk
mengusung pasangan Capres dari non kader dan partai politik lain.”

Berdasarkan kutipan langsung tersebut dapat diketahui bahwa dalam konteks ini ARB
dalam kepemimpinannya dianggap otoriter oleh sebagian anggota Partai Golkar sehingga

konsensus yang disepakati diawal dari hasil Rapimnas VI Partai Golkar tersebut memicu konflik
internal dari sebagian anggota yang kontra dengan keputusan ARB yang tidak menjadi capres
atau cawapres melainkan mengusung pasangan Prabowo-Hatta. Hal ini kemudian berlanjut pada
gerak cepat kubu Agung Laksono untuk melakukan konsolidasi internal. Bermula dari konsensus
6 Teori Sosiologi Modern

yang telah disepakati bersama seharusnya juga dipatuhi bersama malah menjadikan Partai
beringin ini menjalani konflik internal yang begitu kisruh berkepanjangan hingga saat ini.
Konflik internal Golkar bukanlah fenomena baru. Kehadiran parpol replica Partai Golkar,
seperti Partai Demokrat, PKP Indonesia, Partai Hanura, Partai Gerindra, dan Partai Nasdem yang
dapat dikatakan lahir dari friksi internal Golkar, merefleksikan hal itu. Namun, berbeda dengan
konflik-konflik sebelumnya cenderung elitis dan dan dalam skala terbatas, konflik golkar kali ini
jauh lebih massif dan cenderung “kasar”.

3.2.

Superordinat dan Subordinat
Superordinat yang berarti ialah individu yang memiliki kekuatan yang cukup besar, disini

dapat dianalisa bahwa ia menyalahgunakan kewenangannya yang ia punya dalam memimpin

struktur didalam sebuah organisasi. Sehingga disini subordinat yang merupakan bawahan dari
superordinat merasakan ketidaknyamanan dengan kepemimpinan yang dilakukan oleh individu
dari superordinat, sehingga subordinat menginginkan suatu perubahan agar struktur kembali
berjalan lebih baik.
Pada kasus ini dapat dilihat bahwa Abu Rizal Bakrie (ARB) yang menjadi
superordinat, dinilai kurang menjunjung nilai-nilai demokrasi bahkan cenderung otoriter dalam
memimpin struktur yang ada di partai golkar oleh sebagian anggota (subordinat) yang kontra
dengan gaya kepemimpinan ARB dalam mengambil keputusan, sehingga mereka menginginkan
perubahan di dalam partai tersebut dengan menggunakan berbagai cara.
Kubu ARB dan kubu Agung Laksono kemudian merasa keduanya berada di posisi dan
otoritas yang sama padahal dalam satu kesatuan Partai. Masing-masing kubu merasa benar dan
pantas berada dalam posisi ketua umum Partai Golkar. Superordinat dan subordinat di dalam
Partai Golkar kemudian semakin menunjukan dominannya orientasi perburuan jabatan dan atau
kekuasaan di dalam partai ketimbang memperjuangkan kebijakan yang berpihak pada
kepentingan bangsa.
TAMBAHIN DONG
7 Teori Sosiologi Modern

3.3.


Kelompok Semu dan Kelompok Kepentingan
Kelompok semu adalah kelompok yang tidak memiliki ikatan. Contohnya seperti ketua

umum partai Demokrat, Golkar, PDIP, Dll. Mereka tidak memiliki kepentingan antar
anggotanya. Bedahalnya dengan kelompok kepentingan, kelompok kepentingan adalah
kelompok yang memiliki ikatan tertentu. Seperti yang terjadi di partai golkar, di mana antara
kubu Abu Rizal Bakri dan kubu Agung laksono yang sekarang menjadi sebuah kelompok
kepentingan. Padahal, sebelum munas berlangsung mereka satu sama lain tidak ada konflik dan
tidak memiliki masalah.
Setelah munas yang diadakan di Bali, terpilihlah ARB yang menang dan kembali menjadi
ketua umum partai golkar periode selanjutnya. Namun dengan menangnya ARB dalam munas di
Bali, AL tidak setuju dengan menangnya ARB. Kemudian ia mengadakan munas tandingan di
Ancol. Yang akhirnya munas di Ancol memenangkan AL dalam ketua umum partai golkar
selanjutnya. Kemudian dengan adanya tandingan seperti ini, akhirnya munas ini belum di sahkan
oleh Mahkama Konstitusi.
Berlangsungnya personalisasi aspirasi dan kehendak partai. Sebagai wadah agregrasi
kepentingan rakyat, parpol seperti Golkar seharusnya menjadikan aspirasi dan kehendak publik
sebagai arah perjuangan. Namun dalam realitasnya, partai akhirnya hanya mewadahi aspirasi
para petinggi partai dan bahkan acap kali tak lebih dari kehendak ketua umum. Kecenderungan
8 Teori Sosiologi Modern

personalisasi aspirasi dan kehendak partai semacam inilah yang akhirnya memicu munculnya
konflik internal seperti berlangsung saat ini.
Para elite Golkar terikat oleh kepentingan jangka pendek mereka sendiri. Kini interaksi,
relasi dan persaingan internal partai Golkar lebih berpusat pada perebutan sumber-sumber politik
dan ekonomi yang masih tersisa bagi para kelompok-kelompok kepentingan, baik di dalam
maupun di luar pemerintahan.

Tapi jika kami ingin melihat sikap para elite Golkar yang

mementingkan kepentingan bagi kelompok masing-masing justru menjanjikan keruntuhan bagi
Golkar ketimbang kejayaan. Oleh karena itu jika semangat saling menjatuhkan lebih dominan
ketimbang kesediaan yang tulus untuk saling mengalah dalam upaya penyelesaian konflik
internal Golkar, mungkin Golkar tidak bisa memiliki masa depan. Jika sebaliknya dilakukan
barangkali harapan dan peluang untuk besar kembali masih berhak Golkar terima.

3.4.

Kepentingan Manifest dan Kepentingan Laten
Kepentingan laten yang merupakan tindakan yang ditentukan kepada orang yang

memiliki sebuah peranan tapi secara tidak sadar. Dapat dilihat disini ARB yang merupakan orang
yang memiliki peranan pada partai golkar dengan mengusung capres dan cawapres PrabowoHatta, secara tidak sadar mempunyai tujuan agar partai golkar medapatkan posisi pada struktur
kabinet ataupun pemerintahan. Sedangkan kepentingan manifest yang berawal dari kepentingan
laten yang secara tidak disadari, tampil ke permukaan menjadi tujuan-tujuan yang disadari,
seperti contoh pada akhirnya apabila capres dan cawapres yang didukung oleh partai golkar
menang, maka para anggotanya dapat mendapatkan kursi dan posisi dalam kabinet maupun
struktur pemerintah dan hal ini dapat memperkuat partai golkar sebagai partai politik di
indonesia.9 ( Revisi: paragraph diatas ini harusnya kepentingan manifest dulu baru muncul
kepentingan laten)
Kepentingan manifest dalam hal konflik internal Golkar ini adalah perebutan posisi dan
otoritas sebagai ketua umum Partai Golkar yang diinginkan oleh calon dari masing-masing kubu
9

Baskoro, katon., 2014, “KONFLIK INDUSTRI DALAM HUBUNGAN BURUH DAN PENGUSAHA
(Studi Kasus Mekanisme Konflik Industri dalam Hubungan Buruh dan Pengusaha di Perusahaan “X”, Malang)”.
XML - Jurnal Mahasiswa Sosiologi - Universitas Brawijaya,
jmsos.studentjournal.ub.ac.id/index.php/jmsos/article/view/31/54 diakses pada tanggal 19 juni 2015.

9 Teori Sosiologi Modern

yaitu ARB dan Agung Laksono. Kepentingan tersebut dengan sadar masing-masing kubu
inginkan keberhasilannya dengan berbagai usaha yang masing-masing kubu jalankan sekarang
yang merupakan rahasia umum yang secara transparan terus dipantau kelanjutannya oleh media
massa.
Kepentingan laten yang kemudian tidak diprediksi muncul salah satunya adalah
terjadinya Islah yang dipelopori oleh wakil presiden Jusuf Kalla (2015), tidak hanya itu para elite
politik dari partai lain pun merasa tertarik untuk menyelesaikan konflik internal Golkar ini.
Seperti kita ketahui meskipun mentri Hukum dan HAM sudah menerbitkan keputusan
pengesahan kepengurusan baru DPP Partai Golkar, konflik internal partai Golkar ini tampaknya
belum berakhir. Hal ini dikhawatirkan banyak kalangan, tidak mustahil ujung dari konflik Golkar
adalah lahirnya replika baru partai golkar seperti terjadi beberapa waktu sebelumnya. Namun
persoalan ini kini terpulang kepada para elite politik yang bertikai, apakah benar-benar hendak
membesarkan partai atau menguburnya bersama-sama.

BAB IV
PENUTUP
4.1.

Kesimpulan

10 Teori Sosiologi Modern

Dalam partai golkar yang terdapat struktur atau dapat dikatakan sebagai konsensus yang
dimana masing-masing bagian memiliki tugas dalam menjalakan fungsinya. Namun justru dari
hal-hal struktur tersebut malah menimbulkan terjadinya konflik akibat ego dari masing-masing
bagian. Sehingga pada partai golkar tercipta dualisme kepemimpinan, dimana terdapat
kepemimpinan oleh ARB dan juga kubu penentang yaitu Agung Laksono.
Timbulnya konflik ini dikarenakan juga kurangnya toleransi dalam kepemimpinan yang
menimbulkan ketidaknyamanan pada bagian-bagian bawah. Seperti pada pembahasan diatas
tentang superordinat dan subordinat dimana superordinat yang memimpin dengan tidak baik
sehingga menimbulkan gologan subordinat merasa tidak nyaman dan melakukan penentangan
bahkan perlawanan.

11 Teori Sosiologi Modern

12 Teori Sosiologi Modern