Paradigma Sosiologi

  Review Paradigma Sosiologi

  Muhammad Unin Zaenal Muttaqin 170710110030

  Paradigma Sosiologi A. Pengantar

  Fakta sosial merupakan struktur-struktur sosial, norma-norma, dan nilai-nilai kultural yang berada diluar individu dan bersifat memaksa kepada individu (Ritzer), contohnya masyarakat yang sakit dan hendak ke rumah sakit dibatasi oleh prosedur dan birokrasi yang ada di dalamnya juga nilai-nilai yang ada di lingkungan rumah sakit tersebut, yang pada gilirannya memaksa orang yang sakit haurs mengikuti prosedur itu segentig apapun. Istilah paradigma diperkenalkan oleh Thomas Kuhn dalam karyanya The Structure of Scientific

  

Revolution (1962 dalam Ritzer 2010:3). Menurut Kuhn paradigma adalah suatu pandangan

  mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajarinya (a fundamuntal image a dicipline has of its subject matter) (dalam Ritzer 2010:6). Kemudian Ritzer (2010:6-7) memberikan definisi mengenai paradigma sebagai pandangan yang mendasar dari ilmuan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh suatu cabang pengetahuan (dicipline). Adapun beberapa hal yang menjadi rumusan dalam paradigma adalah sebagai berikut:

  Persoalan apa yang mesti dijawab? 3. Bagaimana seharusnya menjawab? 4.

Aturan apa saja yang harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi dalam rangka menjawab persoalan tersebut?

  Dengan rumusan tersebut maka bukan sesuatu yang tidak mungkin jika ada kesamaan pandangan dalam cabang ilmu serta metodee yang digunakan, dan bukan sesuatu yang tidak mungkin juga paradigma yang ada akan bertambah kedepannya, karena setiap ilmuan memiliki pandangan filsafat serta pengembangan metoda yang ada. Dalam membahas paradigma setidaknya ada beberapa hal yang menjadi komponen dasar dari paradigma itu sendiri, diantaranya eksemplar atau model karya ilmiah, pokok persoalan, teori-teori serta motede.

  Sosiologi merupakan disiplin ilmu yang berdiri sendiri, sejak perkembanganya disiplin ilmu ini tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh filsafat dan psikologi, dan tidak mengherankan jika pengaruh tersebut masih terasa sampai saat ini, karena bagaimanapun bahasan sosiologi memang banyak menganut dasar-dasar kedua ilmu tersebut. Email Durkheim adalah tokoh pertama yang berusaha mengeluarkan sosiolgi dari kedua pengaruh tersebut, karyanya Sucide dan The Rule of Sosciological Method (dalam Ritzer 2010:1) merupakan pembuktian dirinya yang ingin membawa arah sosiologi untuk keluar dari pengarus filsafat khususnya filsafat positif Comte dan psikologi.

  Berdasarkan sejarah, sosiologi sendiri muncul dari pemikiran fisika sosial yang dikenalkan oleh comte yang terinspirasi dari pemikiran newton dan mengarahkan sosiologi terhadap ilmu pasti atau dengan kata lain mencoba mengeksakan ilmu sosial dalam bahasan ini adalah sosiologi. Hanya saja sebelumnya begitu banyak cabang-cabang ilmu baik sosial maupun ilmu alam yang mempengaruhi pemikiran serta pondasi dari sosiologi, dan hal ini membuat sosiologi kaya akan sumber pemikiran yang pada gilirannya berdampak pada paradigma yang ada dalam sosiologi karena setiap pemikiran dari para ilmuan mengandung pandangan filsafat yang berbeda tentang substansi yang semestinya terjadi.

  B.

  Paradigma Sosiologi Ritzer (2010:9) menilai bahwa sosiologi itu terdiri atas beberapa paradigma, dan karena banyaknya pergulatan pemikiran inilah yang menumbuh kembangkan sosiologi sejak awal munculnya sampai sekarang, adapun menurut Ritzer setidaknya ada tiga paradigma yang mencangkup sosiologi, antaralain

  Eksemplar. Konsep fakta sosial diambil dalam karyanya Durkheim The Rule of

Sosciological Method dan Sucide, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa

  keberadaan sosiologi ini dipengaruhi oleh dua cabang ilmu yang telah besar lebih dulu yakni filsafat dan psikologi, maka dari itu Durkheim berpendirian bahwa sosiologi harus dipisahkan dari kedua cabang ilmu tersebut dan memberikan pembeda. Tokoh sebelumnya yaitu Comte dan Spenser memiliki pandangan yang lebih bersifat filosofis ketimbang sosiologis dan pemikirannya bergerak diranah dunia ide, dan hal ini mengancam tidak akan mengeluarkan sosiologi untuk berdiri sendiri dari ranah filsafat. Durkehim berpendapat bahwa ide adalah sesuatu yang tidak dapat dijadikan objek riset.

  Fakta Sosial merupakan konsep yang menyatakan bahwa manusia tidak hidup hanya berdasarkan keinginannya saja, tapi ada kekuatan duluar manusia yang memaksa dia untuk bertindak dan menlakukan sesuatu. Dalam karyanya (eksemplar) yang berjudul Sucide (1897/1951 dalam Ritzer 2011:21). Durkheim berpendapat bahwa bila dia dapat menghubungkan perilaku individu seperti bunuh diri itu dengan sebab-sebab sosial (fakta sosial) maka dia dapat menciptakan alasan yang meyakinkan tentang pentingnya sosiologi. Durkheim lebih tertarik terhadap penyebab yang berbeda-beda dalam rata-rata perilaku bunuh diri dikalangan kelompok, wilayah, negara dan dikalangan golongan individu yang berbeda

  (misalnya, antara orang yang kawin dan lajang). Dalam hal ini argumen dasar dari Durkheim adalah bahwa sifat dan perubahan fakta sosial lah yang menyebabkan perbedaan rata-rata bunuh diri. Misalnya, perang atau depresi ekonomi dapat menciptakan perasaan depresi kolektif yang selanjutnya meningkatkan angka bunuh diri. Menurut Durkheim bunuh diri bukanlah kejadian yang bersifat personal tetapi kejadian yang dipengaruhi oleh dorongan sosial (pengaruh orang lain).

  Durkheim mengemukakan tiga karakteristik fakta sosial yang berbeda. Pertama, gejala sosial bersifat eksternal terhadap individu. Misalnya bahasa, nilai-nilai, norma – norma profesionalitas dan lain sebagainya, dan merupakan sesuatu yang harus dipahami dan dilihat sebagai hal yang berada diluar individu

  Kedua, bahwa fakta sosial itu memaksa individu. Seperti yang dijelaskan sebelumnya

  bahwa individu dipaksa, dibimbing, diyakinkan, didorong, bisa dipengaruhi oleh berbagai fakta sosial dalam lingkungan sosialnya. Fakta sosial ini disadari maupun tidak memaksa individu untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tidakan tatapi tidak berarti bahwa hal ini merupakan paksaan yang bersifat negatif, maksudnya adalah bahwa tidak berarti paksaan ini harus dilakukan meskipun bertentangan dengan dirinya, semuanya kembali kedalam individu itu sendiri.

  ketiga, adalah bahwa fakta itu bersifat umum atau tersebar secara meluas dalam satu

  masyarakat. Dapat disebutkan bahwa fakta sosial adalah sesuatu yang dimiliki oleh banyak individu dan bukan milik perorangan, sehingga fakta sosial selalu melibatkan banyak pihak.

  Selain itu Durkehim membedakan antara dua tipe fakta sosial yakni material dan

  

nonmaterial. Meski Durkehim membahas keduanya dalam karyanya (The Rules of

Sociological Method

  ) perhatian utamanya adalah menitik beratkan pada fakta sosial nonmaterial misalnya kebudayaan, institusi sosial daln lain sebagainya karena bagaimanapun fakta sosial yang non material ini lah yang sangat tersasa dalam kehidupan manusia, Ketimbang pada fakta sosial yang material seperti birokrasi dan hukum misalnya bahasa adalah hasil dari kebudayaan dan hal ini memaksa individu untuk bisa berbicara dengan bahasa yang dimilikinya ketika bahasa mereka berbeda hal ini akan membuat mereka terasing dalam kelompoknya yang kemudian harus menyesuaikan kembali.

  Tokoh selanjutnya adalah Charles K. Warriner yang memusatkan perhatiannya pada kelompok. Menurutnya kelompok adalah fakta sosial yang berada disekeliling kita dan merupakan sesuatu yang nyata, meskipun tidak dapat terlihat sebagaimana halnya sebuah benda tapi kelompok ini sangat terasa keberadaannya dalam kehidupan dan kita tidak bisa melepaskan diri dari sebuah kelomok dimanapun kita berada.

  Kelompok inilah yaneg kemudian menjadi kajian utama untuk memisahkan sosiologi dari psikologi setidaknya ada 4 proposisi (Ritzer 2010:18) yang mendukung kelompok sebagai sesuatu yang nyata a.

  Kita dapat melihat orang atau individu tetapi tidak dapat melihat kelompok kecuali dengan mengamati individu. Dengan kata lain kelompok lebih abstrak dari individu.

  b.

  Kelompok tersusun dari beberapaindividu c. Fenomena sosial hanya mempunyai realitas dalam individu-individu.

  d.

  Tujuan mempelajari individu adalah untuk membantu menerangkan dan meramalkan perilaku individu. Dari proposisi tersebut kita dpat memahami bahwa sanya eksistensi individu adalah berada dalam kelompok dan ada kekuatan dalam kelompok inilah yang memaksa individu untuk bertindak dan melakukan sesuatu sesuai dengan norma yang mereka anut misalnya di desa saya, saya dituntut untuk berbica kata punten ketika lewat ke orang lain, dan hal ini bukan atas dasar keinginan saya tapi seluruh orang yang ada mengetahui hal ini dan dipaksa untuk melakukan hal tersebut secara tidak sadar. Hal ini lah yang disebut dengan fakta sosial, yakni sesuatu yang hanya dapat dirasakan dan memaksa individu serta keberadaanya nyata dalam kehidupan kita.

  Pokok persoalan. Peter Blau (dalam Ritzer 2010:19) menjelaskan bahwa pokok

  persoalan dalam paradigma fakta sosial adalah fakta sosial itu sendiri, ada dua tipe dasar dari fakta sosial yakni nilai-nilai umum atau biasa disebut dengan institution atau pranata dan yang keduan adalah jaringan hubungan sosial yang telah terjalin dari interaksi sosial yang telah berproses dan terorganisir atau yang disebut dengan struktur sosial.

  Dalam paradigma fakta sosial struktur sosial dan pranata ini adalah bahasan utama dan dijadikan sebagai sesuatu yang “nyata”, sebaliknya struktur sosial dan pranata hanya dapat dijelaskan oleh fakta sosial. Kita mengetahui bahwa seseorang tidak dapat lepas dari struktur sosial diamapun dia berada selama masih berinteraksi (karena ini yang menjadi awal dari struktur sosial) akan mempengaruhi perilaku dia dalam masyarakat itu sendiri. Contohnya adalah ketika saya berada dalam lingkungan desa saya maka setiap hari jum’at saya harus ikut membantu bergotong royong membersihkan jalan.

  Teori-Teori. Dalam paradigna fakta sosial ini ada empat teori yang dianunginya (Ritzer

  2010:21-29), antara lain a.

  Fungsionalisme struktural. Menurut teori ini masyarakat dipaksa dan tekan untuk berada dalam keteraturan, satu sama lain anatara elemen dalam masyarakat saling menjaganya. Jika ada perubahan dalam satu elemen maka akan berdampak pada yang lainnya dan akan mengubah semuanya dalam rangka penyesuaian kembali menuju keteraturan. Robert K. Merton berpendapat bahwa analisa sosiologi adalah fakta sosial yang berbentuk sebagai peranan sosial, pola institusional, proses sosial, organisasi kelompok, pengendalian sosial dan lain sebagainya. Fungsi yang dimaksud dalam hal ini bukan motif atau dorongan yang ada dalam individu tapi akibat yang yang dapat diamati yang menuju adaptasi suatu sistem.

  b.

Konflik. Teori ini dibangun dalam rangka penentangan pada fungsionalisme, menurut teori ini manusia tidak akan terlepas dari pertentangan dan oleh karena ini perubahan

  akan terus terjadi dalam masyarakat. Menurut Ralp Dahrendorf konsep sentral dari teori konflik adalah wewenang dan posisi. Setiap orang memiliki posisi dan wewenang masing-masing. Ada kekuatan yang memaksa dalam posisi dan wewenang ini akan senantiasa menempatkan individu dalam sturktur atas dan bawah. Konflik njuga memiliki empat fungsi dianataranya; pertama, sebagai alat untuk menjaga solidaritas,. Kedua, menciptakan aliansi dengan kelompok lain. ketiga, mengaktifkan peranan individu yang semula terisolasi. Keempat, fungsi kominikasi. misalnya Indonesia dikenal sebagai negara yang mulitikultural bahka satu sama lain memiliki kepentingan masing-masing tapi ketika ada isu internasional seperti “dicuri” beberapa kebusayaan Indonesia seluruh masyarakat indonesia menentang dan bersatu dari contoh kasus ini masyarakat indonesia menjadi solid, ada komunikasi atu salam alin dan bahkan individu yang semula terisolasi dari masyarakatnya menjadi memiliki peran untuk menentang tindakan “pencurian” tersebut.

  Metode. Paradigma fakta sosial cenderung menggunakan metode kuisioner dan interviw

  dalam penelitian empiris karena fakta sosial adalah sesuatu yang dianggap nyata dan dapat siamati secarfa langsung sdangkan metode observasi dinilai terlalu sempit dan tidak dapat menjelaskan fenomena secara umum seara jelas. Kemudian Pradigma fakta sosial juga menolak teknik eksperimen karena tidak dapat menjelaskan fenomena makro

  Eksemplar. Paradigma definisi sosial adalah sesuatu yang menjadi kekhasan dari sosok

  seorang weber yakni dalam karyanya yang mengamati tentang tindakan sosial. Pada dasarnya manusia memiliki alasan atau subjektifitas dan tujuan sendiri dalam berinteraksi dan tidak semata-mata hanya sekedar paksaan dari luar, maka dari itu kajian tentang pranata dan struktur sosial yang terlalu dikhsususkan pada keduanya telah mengabaikan hal-hal yang menjadi prisip dari kehidupan sosial. Misalnya seseorang yang ikut tim sepak bola dan memiliki tujuan untuk menjadi pemain terbaik, akan melakukan latihan dengan giat setiap mharinya dan hal ini dilakukan tidak semata-mata tuntutan atau paksaan yang ada dalam kelompok tersebut tapi tindkanyanya memiliki maknsa bagi dirinya sendiri.

  Pokok persoalan. Weber (dalam Ritzer 2010:39) menjelaskan lima ciri pokok yang

  menjadi sasaran dalam penelitian sossiologi dalam pradigma ini diantaranya: a.

  Tindakan manusia yang memnurut si aktornya mengandung makna bagi dirinya sendiri.

  b.

  Tindakan nyata yang bersifat membatin c. Tindakan yang memiliki pengaruh positif dari satu sisi, tindakan yang sengaja diulang serta tindakan berupa persetujuan secara diam-diam d.

  Tindakan-tindakan itu diarahkan pada orang lain e. Tindakan yang dilakukan itu memperhatikan tindakan orang lain atau sebagai respon dari tindakan orang lain.

  Contohnya adalah tindakan seseorang ketika dia mengguyur temannya yang sedang berulang tahun, tujuannya adalah untuk memberi penghargaan serta sebagai tanda ucapan selamat pada orang tersebut atau juga sebagai ajang untuk balas dendam, tapi bagaimanapun tindakan itu memiliki arti tersendiri bagi para pelakunya.

  Dengan lima ciri pokok tersebut maka paradigma definisi sosial menunjukan bahwa manusia adalah makhluk yang dinamis dan terus bergerak dalam menciptakan perubahan- perubahan dan tindakan-tindakan yang dilakukan semata-mata adalah hasil dari pembelajaraanya serta berasal dari subyektifitas masing-masing individu.

  Teori-teori. Ada tiga toeri yang termasuki dalam paradigma ini (Ritzer 2010:43)

  diantaranya Teori Aksi, Interkasionis Simbolik, dan fenomenologi. Ketiganya memiliki kesamaan asumsi dasra yakni manusia adalah aktor yang aktif dan kreatif dari relitas sosialnya dan realitas sosial bukanlah sebagai suatu tekanan atau paksaan tetapi sepenuhnya berasal dari tidakan subyektifitas manusia.

  Motede. Penganut paradigma ini cenderung menggunakan metode observasi dalam

  penelitiannya, tujuannya adalah untuk memahamirealitsa interseubjetif dan intrasubjectif individu, karena bagaimanapun tidakan subjektifitas akan sulit untuk diukur dan hanya bisa dipahami, mendeduksi informasi dari observasi 3.

  Paradigma Perilaku Sosial

  Eksemplar. Psikologi sosial dalam mkarya B. F. Skinner (dalam Ritzer, 2010:69) adalah

  pengemuka paradigma ini. Dalam karyanya Skinner mencoba menerjemahkan prinsip-prinsip psikologi aliran behavioralisme kedalam Sosiologi. Skinner menganggap kedua paradigma sebelumnya sebagai sesuatu yang penuh dengan teka-teki bahkan sianggap sebagai sesuatu yang tidak rasional dan mempertanyakan substansial dari obejek yang ditelitinya. Kebudayaan masyarakat tersusun dari tingkahlaku yang terpola dan untuk memahaminya tidak tidak diperlukan konsep nilai dan norma.

  Pokok persoalan. Paradigma perilkau sosial menitikberatkan perhatiannya pada tingkah

  laku individu yang berlangsung dalam hubungannya dengan lingkungan yang mengakibatkan perubahan dalam faktor lingknungan yang pada gilirannya mengubah tindakan tersebut, misalnya ketika ada sekelompok masyarakat di suatu desa yang yang terbiasa mengonsumsi miras kemudian pemerintah melarang dan menangkap orang-orang yang mabu akibat miras tersebut lalu menghukumya, perubahan yang terjadi dari biasanya minum miras menjadi berhenti karena ada perubahan dari lingkungannya dengan dilarangnya miras.

  Selain itu pokok persoalan dari paradigma ini adalah bagaimana individu menginterpretasikan proses interkasi yang diterimanya dengan caranya sendiri kemudian mendefinisikan dan meberikan stimulus dari interaksi tersebut.

  Teori-teori. Ada dua teori yang termasukdalam paradigma ini diantaranya a.

  Teori Behavioral. Teori ini adalah teori psikologi yang dicoba diterapkan prinsip- prinsipnya kedalam sosiologi, teori ini memusatkan perhatiannya pada hubungan antar akibat yang terjadi dari peruabahan lingkungan dengan tigkah laku aktor. Hal ini memungkinkan mengetahui tindakan seseorang yang dilakukan sekarang akan berulang atau dilakukan dimasa depan, b. Teeori exchange. Merupakan teori yang menyatakan bahwa setiap individu akan semakin sering melakukan suatu interaksi atau hubungan ketika interaksi tersebut memberikan keuntungan bagi diri individu tersebut

  Metode. Sama halnya dengan paradigma yang lainnya, Paradigma ini menggunkan

  motede kuisioner, observasi, dan interview, hanya saja kebanyak dari paradigma ini menggunakan motode eksperimen, contohnya seperti acara penghuni terakhir yang ada di ANTV, metode eksperimen juga mirip dengan cara yang ada di acara tersebut, dan kelebihannya dalah peneliti dapat mengontro objek penelitiannya.

  Sumber Referensi Haryanto, Sindung. 2012. Spektrum Teori Sosial. Ar-Ruz Media: Jogjakarta Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terkahir

  Post Modern. Edisi Kedelapan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Ritzer, George. 2009. Sosiologi Berparadigma Ganda, Jakarta: Rajawali Press.

  Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. 2011. Teori Sosiologi Modern (ed). Kencana : Jakarta

  Ritzer, George dan Smart, Barry. 2012. HandBook Teori Sosial (ed). Nusamedia: Bandung

  Review Fungsionalisme

  Muhammad Unin Zaenal Muttaqin 170710110030

  Teori Fungsionalisme A.

Asumsi Dasar

  Berkaitan dengan asumsi tentang fungsionalis, Spencer (Haryanto, 2012:16) melihat masyarakat sebagaui sebuah struktur yang menyeluruh, antar hubungan bagian-bagian masyarakat dan kaitan fungsi bagian-bagian satu sama lain maupun pada sistem sebagai suatu keseluruhan. Suatu lembaga ekonomi, misalnya berfungsi untuk mengadakan produksi dan distribusi barang-barang serta jasa-jasa. Lembaga sosial keluarga, misalnya mempunyai fungsi reproduksi, sosialisasi, pemeliharaan anak-anak dan seterusnya. Demikianlah seterusnya, setiap lembaga sosial mempunyai fungsinya masing-masing dan dalam hubungan antara satu dengan yang lainnya.

  Jika kita melihat paradigma yang menaungi Fungsionalisme maka kita akan mengetahui bahwa yang menjadi pokok persoalan dalam fungsionalisme adalah struktur sosial dan pranata sosial, maka dari itu sebagaimana yang dijelaskan oleh Spencer, banyak juga sosiolog lain yang mengasumsikan teori struktural fungsional ini seperti organ tubuh yang satu dengan yang lainnya memiliki fungsi serta peran masing masing dan saling terintegrasi dalam membentuk serta menjaga kerteraturan di dalam masyarakat.

  B.

  Akar Pemikiran Jika melihat sejarah dari fungsional ini, maka banyak pemikiran-pemikiran yang mempengaruhi teori fungsional, hanya saja ada tiga tokoh yang memberikan sumbangsih yang sangat berpengaruh ketimbang yang lainnya, diantaranya 1.

Auguste Comte

  Teori yang paling dikenal dari bapak sosiologi ini adalah teori tentang hukum tiga tahap masyarakat didasari oleh fisika sosialnya comte yang pada gilirannya menjadi Sosiologi. Hukum tiga tahap itu sendiri menyatakan tahap perkembangan dan perubahan atau tahap evolusi masyarakat yang dimulai dari teologi, metafisik sampai positivistik. Comte berpendapat bahwa sosiologi harus concern terhadap eksistensi struktur sosial atau unsur statistika sosial dan perbahan sosial sebagai dinamika sosial (Haryanto, 2012:14). Menurut Ryan (2005:793 dalam Haryanto, 2012:14) aspek statistika sosial merupakan aspek sosial yang eksistensinya berada dalam momen khusus kesejarahan sosial. Bagi Comte sosiologi adalah studi tentang masyarakat sebagai keseluruhan dan tidak dapat direduksi kedalam individu (struktur sosial dan pranata sosial), masyarakat memiliki sturktur-sturktur yang masing-masing berfungsi secara terorganisasi (Haryanto, 2012:14).

  Hal-hal yang tekah disebutkan di atas adalah kontribusi Comte terhadap perkembangan dari teori struktural fungsional terutama tentang metode serta pokok persoalan yang dibahas sosiologi berdasarkan fungsionalisme yakni melihat masyarakat secara keseluruhan berdasarkan struktur dan pranata sosial.

  2. Herbert Spencer Sama halnya dengan Comte yang memandang struktur sosial beserta evolusi masyarakat,

  Spencer pun mengembangkan prinsip-prinsip yang berlaku dalam biologi khususnya konsep organisme yang kemudian digunakan sebagai analogi masyarakat. Sebagaimana organisme biologis, masyarakat juga merupakan sebuah organisme yang mengalami proses evolusi, yang ditandai dengan bertambahnya kompleksitas institusi yang ada di dalamnya dari waktu- ke waktu.

  Kontribusinya adalah mengenai konsep ekuilibrium sosial (Hayranto, 2012:17). Spencer melihat ekuilibrium sebagai kondisi masyarakat yang berada dlam kondisi penuh dengan harmoni sosial, stabil dan terintegrasi.

  3. Email Durkheim Karya Durkheim banyak memainkan peran penting dalam perkembangan fungsionalisme, karyanya tentang fakta sosial yang di latarbelakangi dari perkembangan tingkat bunuh diri pada zamannya. Pembahasannya ini memunculkan konsep tentang solidaritas dan integritas dalam masyarakat, pada dasarnya masayarakat membutuhkan perlindungan serta rasa aman dalam menjalani kehidupannya hanya saja kuatnya tekanan dari masyarakat dan lingkungan sekita menimbulkan perilaku menyimpang. Dalam perspektif ini penerapan sanksi terhadap pelanggaran hukum dilakukan dimasyarakat sebagai alat atau cara untuk mempertahankan tatanan sosial dan juga reifirmasi terhadap konsesnsus sosial yang telah disepakati bersama. Tekanan Durkheim pada konsesnsu ini menjadikannya sebagai peletak dasar teori struktural fungsional (Haryanto, 2012:18).

  Berkaitan dengan hal ini Radcliffe Brown berpandangan bahwa dalam kehidupan manusia terdapat hubungan sosial yang khusus dan membentuk suatu keseluruhan yang pada seperti halnya struktur organik. Karena itu dalam analisis fungsi, harus menghubungkan antara institusi sosial dan kebutuhan masyarakat, maksudnya adalah bahwa fungsi dari suatu struktur atau pranata harus berasaskan pada kebutuhan dari masyarakat, hal ini dilandasi dari asumsi fungsional itu sendiri, struktur organi bergerak menjaga kestabilan dan keteraturan adalah karena kebutuhan dari organ itu sendiri dan begitu pula dengan halnya yang ada dalam massyarakat. Seperti yang dijelaskan oleh Malinowski, bahwa kebutuhan akan makan dan nutrisi maka reaksi kebudayaan dalam memenuhinya adlah dengan struktur nutrisi maksudnya adalah cara mengatasi dan menjaga nutrisi masyarakat.

  C.

  Fungsionalisme Talcott Parsons Talcott Parsons lahir pada 1902 di Colorado Springs, Dia memiliki latar belakang religius dan intelek; ayahnya adalah seorang menteri keagamaan, profesor dan juga seorang presiden sebuah kampus kecil, sepanjang perjalanan hidupnya Parsons banyak melakukan pekerjaan teoretis (Holmwood, 1996;Lidz, 2000; Munch, 2005 dalam Ritzer, 2012:407) ada bebrapa hal yang menjadi pokok persoalam dalam pembahasan Fungsionalisme Parsons diantaranya konsep tindakan yang dirangkum dalam AGIL, kemudia, pemikirannya mengenai struktur dan sistem.

  Suatu fungsi adalah suatu kompleks kegiatan-kegiatan yang diarahkan kepada pemenuhan suatu kebutuhan sistem itu (Rocher, 1975:40;R.Stryker, 2007 dalam Ritzer, 2012:408) menggunakan definisi ini Parsons (Ritzer, 2012:409-410) percaya bahwa ada empat imperatif fungsional yang perlu atau ada dalam setiap sistem, yang mana antara lain a.

  Adaptasi (Adaptation) Suatu sistem harus mengatasi kebutuhan mendesakyang bersifat situasional eksternal. Sistem itu harus beradaptasi dengan lingkungannya dan mengadaptasi lingkungan dengan kebutuhan-kebutuhannya b. Pencapaian (Goal attainment)

  Suatu sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuannya c. Integrasi (Integration)

  Suatu sistem harus mengatur antar hubungan bagian-bagian dari komponennya, dan menjaga tiga imperatif yang lainnya yakni A, G, dam L d.

Latensi atau Pemeliharaan (Latency)

  Suatu sistem harus menyediakan dan memelihara serta memperbarui baik motivasi para individu maupun pola-pola budaya yang menciptakan dan menopang motivasi itu. Parson menggunakan ke empat konsep

  G

  A dalam segala bidang, bahkan dalam teori Ekonomi Politik tindakannya pun Parsons lebih menunjukan fungsi dari ke empat konsep tersebut. Dalam

  Education,

  pengaplikasian kosep AGILnya, Parsons Legal

  Religion, Family

  meberika penjelasan bagaimana bentuknya

  I L yand dapat dilihat dari gambar disamping ini. Dari gambar tersebut kita bisa memahami bahwa kosep Agil melingkupi seluruh aspek kehidupan masnusia dan mencoba memberikan keteraturan dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat.

  Teori Sistem Tindakan. Parsons mengenalkan teori yang disebut dengan teori sistem,

  pada gilirannya, dalam mengembangkan

  I

  teori sistem Parsons menyebutkan empat L Sistem Budaya Sistem Sosial tipe tindakan yang saling terhubung satu sama lain, seperti yang ada pada gamabar disamping ini, dari keempat tipe tindakan

  Organisme

  Sistem

  Behavioral

  tersebut terdapat simbol yang tertata yang Kepribadian digunakan untuk mengatur perilakum

  

A

G

  individu. Sistem simbol tersebut dapat

  Struktur sistem tindakan umum Sumber: Ritzer, 2012:411

  bersifat terinternalisasi melaului agen-agen sosial maupun terinstitusionalisasi dalam sebuah lembaga atau pranata, (Haryanto, 2012:22).

  Inti karya Parsons ditemukan didalam empat sistem tindakannya. Parsons menemukan jawabannya bagi masalah ketertiban di dalam fungsionalisme struktural, yang menurutnya bekerja sama beberapa asumsi berikut ini (Ritzer, 2012:412) a.

  Sistem sosial harus berstruktur sehingga mereka dapat bekerja dengan mudah bersama sistem-sistem lain b.

  Sistem sosial harus mendapat dukungan yang diperlukan dari sistem-sistem lain.

  c.

  Sistem harus memenuhi suatu proporsi yang signifikan kebutuhan para aktornya.

  d.

  Sistem harus mendapat partisipasi yang memadai dari para anggotanya e. Ia harus mempunyai setidaknya suatu kendali minimal atas perilaku yang berpotensi menimbulkan kekacauan.

  f.

  Jika konflik terasa cukup mengganggu, maka konflik harus dikendalilkan g. Teori Sistem Tindakan ini menjelaskan bagaimana seseorang yang memiliki sistem kepribadian berupa kemapuan kemapuan serta perilakunya sendiri dalam mencapai harapan atau tujuan yang jadi cita-ciatanya, kemudian difasilitasi oleh budaya berupa norma dan nilai serta sistem sosial yang ada untuk menjaga keteraturannya dalam mencapai tujuannya tersebut, misalnya sebagai seorang mahasiswa saya berharap bisa lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan, disini saya difasilitasi dengan sistem sosial yang ada di kampus dan juga dimotivasi untuk bisa menghadapi halangan, dan dengan sistem Behavioralsm saya beradaptasi dengan perilaku saya yang kemudian dijaga dengan sistem budaya supaya semuanya teratur.

  Teori Perubahan Sosial. Karya parson tentang konseptual empat sistem tindakan di

  duga dan mendapat kritikan tidak mampu memberikan kontribusi dalam menangani perbahan sosial, sebelumnya kita mengenal teori perubahan dari beberapa tokoh misalnya Auguste Comte dengan hukum tiga tahap, Herbert Spencer dengan perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat yang kompleks serta Durkheim tentang solidaritas mekanik menuju solidaritas organik dan yang terakhir Marx dengan perubahan dari masyarakat kapitalis menuju masyarakat komunisme utopis.

  Parsons memiliki teori tentang evolusi juga yang hampir mirip dengan Spencer atau yang disebutnya sebagai suatu paradigma perubahan evolusioner, dalam teorinya ini, Parsons berpendapat bahwa masyarakat terdiri dari serangkaian subsistem yang berada dalam struktur berbeda baik di dalamnya maupun hanya jelas fungsionalnya saja dan mengenai hal ini Parsons meyebutnya sebagai proses diferensisasi. Parsons (1966:22 dalam Ritzer, 2012 : 423) mengatakan agar diferensisasi dapat menghasilkan suatu sistem seimbang yang lebih berkembang, tiap substruktur yang baru di deferensisaisi... harus mempunyai kemapuan adaptif yang meningkat dalam melaksanakan fungsi utamnya dibandingkan dengan pelaksanaan fungsi itu dalam struktur terdahulu, yang lebih menyebar... kita dapat menyebut proses itu sebagai aspek-aspek peningkatan mutu adaptif siklus perubahan evolusioner.

  Model perubahan ini mengandaikan jika sewaktu berevolusi, secara umum masyarakat semakin mampu mengatasi masalah-masalahnya dan proses diferensiasi menyebabkan sekumpulan baru masalah integraasi untuk masyarakat. Akhirnya sistem nilai masyarakat secara keseluruhan harus mengalami peruabahan ketika struktur-struktur dan fungsi sosial semakin terdiferensiasi, dalam arti semakin kompleks dengan perkembangan yang ada. D.

Fungsionalisme Robert K. Merton

  Parsons merupakan tokoh yang banyak memberikan pemikiran teoritisnya di fungsional hanya saja ada beberapa pernyataan penting yang dihasilkan oleh Robert K. Merton yang berpengaruh terhadap perkembangan fungsionalisme. Merton lahir di South Philadelphia tahun 1910 dia seorang yang beragama Yahudi. Banyak karyanya yang berawal dari ketertarikan karya-karya Parsons yang kemudian dia kembangkan.

  Meskipun banyak kesamaan pemikiran antara Merton dengan Parsons tentang fungsionalisme, tetapi ada beberapa perbedaan yang sangat penting yang menunjukan kekhasan masing-masing dari kedua tokoh ini, diantaranya adalah Parsons adalah tokoh fungsional yang mempertahankan teori-teori besar yang dapat melingkupi secara keseluruhan sedangkan Merton lebih memfoukskan pada teori-teori yang sifatnya menengah atau midle

  

range theory, karena lebih mudah untuk di uji secara empirik dan justru dari teori yang

bersifat menengah inilah teori umum dapat dibentuk.

  Merton (Ritzer, 2012:427-428) juga mengkritik tiga dalil yang dikemukakan oleh Malinowski dan Radcliffe-Brown. Pertama adalah dalil kesatuan fungsional masyarakat, hal ini menunjukan bahwa semua sistem distandarkan bermanfaat bagi masyarakat tapi bagi Merton belum tentu hal itu bisa juga karena bagi masyarakat yang kecil tidak mungkin sistemnya dapat diterapkan dimasyarakat yang besar, misalnya bisa saja sistem masyarakat Indonesia diterapkan diseluruh masyarakat Indonesia, tapi tidak jika sistem masyarakat Badui dalam misalnya diterapkan diseluruh Indonesia yang sudah sangat kompleks.

  Kedua adalah dalil bahwa fungsionalisme universal dalam arti semua bentuk sosial dan budaya yang distandarkan memiliki fungsi-fungsi positif. Kenyataannya bagi Merton hal tersebut tidak ditemukan dalam keseharian kita, maka dari itu tidak semua sistem yang ada dimasyarakat memiliki fungsi positif.

  Ketiga adalah dalil kebutuhan mutlak maksudnya adalah semua aspek masyarakat yang distandarisasi tidak hanya mempunyai fungsi-fungsi positif dan menggambarkan dari cara kerja masyarakat secara keseluruhan dengan kata lainsemua struktur bermanfaat bagi masyarakat. Kritikannya ini juga ditujukan pada Parsons bahwa setidaknya kita harus bersedia mengikuti berbagai alternatif struktural dan fungsional yang ada dalam masyarakat dan tidak semua struktur berfungsi bagi masyarakat.

  Kemudian Merton mengembangkan konsep disfungsi. Karena setiap lembaga dan struktur-struktur sosial yang dapat memelihara sistem sosial, mereka juga memiliki konsekuensi-konsekuensi negatif untuk dirinya. Misalnya saja kemiskinan disatu sisi memang memiliki fungsi yang positif dengan begitu ada orang-orang yang bekerja ditingkat yang bawah seperti petugas kebersihan, dan lain sebagainya tapi disisi lain kemiskinan juga dapat menimbulkan masalah sosial yang sangat berbahawa misalnya saja seperti perampokan, pembunuhan daln lain sebagainya yang menunjukan kesenjangan sosial bukan keteraturan sosial.

  Kemudian Merton mengenalkan konsep fungsi laten dan fungsi manifest. Fungsi laten adalah fungsi yang tidak disengaja sedangkan yang manifest adalah yang disengaja, misalnya saja fungsi dari kemiskinan adalah untuk adanya orang-orang yang bekerja di tingkat bawah sperti petugas kebersihan disisi lain fungsi latennya adalah menguatkan posisi orang yang berada diatas atau orang-orang kaya dan dapat memberikan kondisi sama-sama diuntungkan dengan adanya kemiskinan.

  Dari penjelsana tersebut jelas Merton tidak meliha bahwa sluruh sitem itu fungsional ada juga yang memang disfungsi tapi hakikatnya dari disfungsi itu menunjukan keberfungsian sistem lain dan dalam fungsi sistem masyarakat ada juga yang memiliki fungsi yang nyata serta yang tersembunyi. Merton berusaha menunjukan bahwa fungsionalisme tidak bersifat konservatif dan menerima perubahan yang ada serta tetap dinamis dalam perkembangannya.

  Struktur Siosial dan Anomi. Ada sumbangan yang sangat penting dalam

  perkembangan sosiologi dari Merton (Ritzer, 2012:436) yakni analisisnya tentang hubungan antar kebusayaan, struktur dan anomi. Merton mendefinisikan kebudayaan sebagai sekumpulan nilai-nilai normatif terorganisir yang mengatur perilaku yang lazim bagi para anggota suatu masyarakat atau kelompok, sedangkan struktur sosial adalah kumpulan hubungan-hungan sosial terorganisir yang dengan berbagai cara menyiratkan para anggota masyarakat. Anomi terjadi bila ada pemisahan antara norma-norma dan tujuan-tujuan budaya dan kemampuan anggora kelompok bertindak tidak selaras dengan hal tersebut.

  Dalam mengatasi anomi tersebut, merton memiliki tingkatan dalam disfungsi yang terjedi (Merton, 1968 dalam Haryanto, 2012:37)

  1. Comformity: tujuan budaya yang terinternalisasi dan memiliki akses untuk memperbaiki sarana mencapai tujuan, misalnya adalah orang yang ingin menjadi arsitektur kemudian dia bisa kuliah dan mendapa beasiswa maka dia bisa mencapai tujuan dengan akses yang dimilikinya

  2. Innovation: memiliki tujuan budaya yang terinternalisasi, tetapi tidak memiliki akses untuk memperbaiki saran pencapaian tujuan. Misalnya adalah pada saat revolusi industri, pertanian misalnya ketika orang ingin bisa bekerja cepat dan menghasilkan produktifitas yang tinggi maka orang-orang menciptakan mesin traktor, pupuk kima dan benih hasil dari modifikasi teknologi.

  3. Ritualism. Memiliki akses untuk memperbaiki sarana pencapaian tujuan tetapi kehilangan konteks tujuan kebudayaan misalnya adalah orang yang beribadah dia memiliki sarana mencapai tujuan melalui ibadah tersebut tapi tujuan budayanya tidak jelas dan tidak nyata karena tujuannya adalah hari akhir.

  4. Reatreatism. Tujuan busaya tidak tercapai demikian juga perbaikan sarana.

  E.

  Neofungsionalism Alexander dan Colomy melihat neofungsionalisme sebagai pendekatan lebih luas dan lebih integratif dari pada struktural fungsional. Alexander (Haryanto, 2012:37) mengidentifikasi beberapa prinsip: 1.

  Melihat masyarakat terdiri dari komponen-komponen yang saling berinteraksi (yang tidak dikontrol oleh kekuatan otoriter) yang membentuk sebuah pola yang terdeferensiasi oleh faktor lingkungan 2. Perhatian yang kurang lebih sama diberikan kepada tindakan dan tatanan 3. Integrasi dipandang sebagai sebuah kemungkinan dari pada sebuah hasil atau produk 4. Masih menekankan pada persoalan personalitas, budaya, dan sistem sosial meskipun tekanan sistem-sistem ini dilihat sebagai sumber kontrol dan perubahan

  5. Fokus pada perubahan sosial, terutama diferensiasi dalam personalitas, budaya, dan sistem sosial

  6. Berimplikasi pada otonomi konseptualisasi dan teori dari berbagai level invetigasi sosiologi. Alexander sendiri telah menyebutkan satu demi satu masalah yang dihadapi oleh fungsionalisme seperti anti individualisme, permuhuhan terhadap perubahan, konservatisme, idealisme, dan lain sebagainya yang kemudian berusaha untuk memperbaikinya dengan konsep nefungsionalismenya yang dijelaskan dengan identifikasi yang telah disebutkan deiatas.

  Sumber Referensi Haryanto, Sindung. 2012. Spektrum Teori Sosial. Ar-Ruz Media: Jogjakarta Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terkahir

  Post Modern. Edisi Kedelapan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Ritzer, George. 2009. Sosiologi Berparadigma Ganda, Jakarta: Rajawali Press.

  Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. 2011. Teori Sosiologi Modern (ed). Kencana : Jakarta

  Ritzer, George dan Smart, Barry. 2012. HandBook Teori Sosial (ed). Nusamedia: Bandung

  Review Konflik

  Muhammad Unin Zaenal Muttaqin 170710110030

  Teori Konflik A.

Asumsi Dasar

  Konflik sering dianggap sebagai kondisi yang abnormal, menyimpang, bertentangan, tidak teratur dan lain sebagainya yang pada intinya ada ssalah satu pihak yang mengontrol dan pihak lain dikontrol dalam perselisihan tersebut, karena bagaimanapun konflik erat kaitannya dengan kepentingan dari setiap orang dan bagaimanapun juga kenpentingan setiap orang berbeda maka dalam pencapaiannya mereka harus bersaing dan saling “sikut” satu sama lain demi tercapainya kepentingan masing-masing.

  Teori konflik merupakan teori yang berkembang sebagai reaksi dan kritik langsung terhadap struktural fungsional. Para teoritikus konflik menganggap bahwa teori struktural fungsional memiliki sejumlah kelemahan mendasar dalam menganalisa realitas sosial (Haryanto, 2012:39). Fungsionalisme dalam padandang konflik dianggap sebagai konsevativ yang secara politis menpertahankan status quo (kondisi nyaman seseorang atau sekelompok orang dalam posisi-posisi tertentu di struktur sosial) dengan kata lain bahwa fungsionalisme adalah utopis.

  Inti dari teori konflik adalah pengakuannya bahwa realitas sosial diorganisasikan berdasarkan ketimpangan distribusi nilai dan sumber daya, seperti kesejahteraan material, kekuasaan dan prestise serta ketimpangan lain yang secara sistematik meningkaatkan tegangan diantara kelompok-kelompok masyarakat. Kondisi seperti ini yang meningkatkan kemungkinan berkomflik anatara orang yang memiliki nilai dan sumber daya dengan yang tiak memilikinya.

  B.

Akar Pemikiran

  Ferguson dan Millar (1735-1801, dalam Haryanto, 2012:42) dapat diakatakan sebagai peletak dasar teori konflik. Mereka berpendapat bahwa perubahan sosial berasal dari kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan, sementara itu Adam Smith menggambarkan dalam mekanisme sistem pasar yang menjelaskan kepeningan dasar manusia bebas dan pada saat yang sama juga terkontrol. Smith menganalisis elemen-elemen interaksi seperti hasrat, kecenderungan, afeksi, dan perasaan yang membentuk masyarakat.

  Salah satu pemikiran yang memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan teori konflik adalah analisis Marx tentang konflik yang menyatakan bahwa konflik utama yang terjadi dalam masyarakat adalah konflik antar kelas. Sejarah sosial menurutnya adalah sejarah perjuangan kelas. selainMarx, teori konflik juga medapatkan kontribusi pemikiran dari Weber. C.

Konflik Karya Ralf Dahrendorf

  Sebagai mana fungsionalis, konflik juga diarahkan peoko persoalnya pada struktur dan lembaga sosial. Hanya saja titik penekanannya berbeda yakni lebih kepada bahwa setiap masyarakat memberikan kontribusi kepada perbahan secara dinamis dan juga dapat memberikan kontribus kepada disintegrasi sosial yang ada dimasyarakat.

  Dahrendorf merupakan seorang tokoh yang mendukung pendirian bahwa masyarakat memiliki dua wajah yakni konflik dan konsesnsus oleh karena itu teori sosiologis harus dipecah kedalam teori konflik dan teori konsessnsus (Ritzer, 2012:450). Merkipun ada hubungan konsesnus dan konflik, Dahrendorf tidak optimis akan kemungkinan untuk mengembangkan suatu teori sosiologis tunggal yang mencankup kedua teori tersebut.

  Dahrendorf (Ritzer, 2012:451) yang dipengaruhi oleh fungsionalis, mencatat bahwa sistem sosial dipersatukan oleh kerja sama sukarela atau konsensus umum, akan tetapi para teoretisi konflik berpendapat masyarakat dipesatukan oleh pembatasan yang dipaksakan dengan demikian beberapa posisi dalam masayarakat merupakan keuasaan dan otoritas yang didelegasikan kepada orang lain.

  Otoritas. Otoritas selalu menyiratkan baik orang yang menguasai aatu superordinasi

  maupun orang yang dikuasai subordinasi. Oorang-orang yang menduduki posisi otoritas diharapkan mengendalikan para subordinat. Otoritas sendiri menurut Dahrendorf tidak tetap (Ritzer, 2012:452) karena terletak dalam posisi-posisi buan pada orang-orang. Oleh karena itu seseorang yang memegang otoritas di dalam suatu latar tidak mesti memegang suatu posisi ototritas di dalam latas yang lain.

  Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa keteraturan dapat terjaga dengan adanya pengusasaan ototritas dalam suatu posisi terhadap otoritas lain, misalnya sebagai seorang ketua organisasi si A memiliki otoritas untuk memberikan keputusan terhadap apa saja yang berkaitan dengan organisasinya tapi dan orang-orang yang berada di bawahny harus megikuti keputusan yang ada. Hanya saja di organisasi yang berlainan hal tersebut tidak berlaku karena mungkin saja si A ini menduduki posisi yang berbeda, maka dari itu otoritas dalam setiap asosiasi atau organisasi bersifat dikotomis, karena hanya ada dua belah pihak yang berkonflik yakni antara orang yang memiliki otoritas atau superordinat dengan subordinat atau orang yang berada dalam posisi dibwahnya sama-sama menjaga kepentingan yang mereka miliki dan pastinya berbeda serta memiliki cara masing-masiang dalam mencapainya.

  Kelompok, Konflik, dan Perubahan. Dahrendorf (1959:180 dalam Ritzer, 2012:454)

  berpendapat bahwa cara-cara berperilaku yang umum adalah karakteristik kelompok- kelompok kepentingan yang direkrut dari kelompok kuasi. Kelompok kepentingan adalah kelompok di dalam arti yan gsangat ketat istilas sosiologis; dan mereka adalah agen nyata konflik kelompok. Mereka mempunyai struktur, suatu bentuk organisasi, suatu program atau tujuan, dan suatu persoalan anggota.

  Singkatnya Dahrendorf berargumen bahwa sekalo kelompok konflik muncul akibantr banyaknya kelompok kepentingan, maka mereka terlibat di dalam tindakan-tindakan yang menyebabkan perubahan di dalam strutur sosial. Ketika konflik mencuat, perubahan yang terjadi adalah radikal.

  Selanjtnya, beberapa asumsi teori konflik Dahrendorf (Haryanto, 2012:48) antara lain: 1.

  Dimanapun bisa terjadi perubahan sosial, konflik sosial, pemaksaan, dan kontribusi tiap-tiap elemen itu terhadap perubahan dan disintegrasi.

  2. Kelompok dalam masyarkat perlu dikordinasikan dan dibentuk oleh dua agregat dominasi dan kepatuhan.

  3. Tiap-tiap agregat memiliki kepentingan laten umum yang menggambarkan basis kelompok semu atau kelompok kuasi

  4. Kepentingan laten tersebut dapat diartikulasikan dalam kepentingan yang jelas sehingga kelompok semu menjadi kelas sosial yang memiliki kepentingan nyata.

  5. Artikulasi tersebut bergantung pada adanya bebebrapa faktor yakni kondisi teknis, politis, sosial, dan psikologis

  6. Apabila kondisi ini ada, intensitas konflik kelas bergantung sejauh mana kondisi itu eksis dan sejauh mana kelompok dan konflik itu diletakana.

  7. Kekerasan konflik kelas tergantung pada sejauh mana kondisi-kondisi itu ada, yakni pada sejauh mana kemiskinan mutlak memberikan celah perubahan menajdi kemiskinan yang relatif dan bagaimana konflik itu ditata secara efektif.

  D.

  Konflik yang Lebih Integratif Karya Randall Collins Collins menjelaskan bahwa fokusnya pada konflik tidak bersifat ideologis; yakni dia tidak muali dengan pandangan politis bahwa konflik baik dan buruk. Lebih tepatnya, dia menjelaskan memilih konflik sebagai fokus berdasarkan alasan realistis bahwa konflik mungkin adalah proses sentral di dalam kehidupan sosial.

  Collins memilih untuk berfokus pada stratifikasi sosial karena itu adalah suatu lembaga yang menyentuh bageitu banyak ciri kehidupan, termasuk “kekayaan, politik, karier, keluarga, klub, komunitas, gaya hidup” (1975:49 dalam Ritzer, 2012:460).

  Arena Konflik. Studi Collins adalah tentang jaringan pengaruh-pengaruh antar pribadi

  dan sebagai arena tempat dimainkannya kepentingan-kepentingan pihak yang berkonflik, dengan kata lain setiap orang memiliki tempat dimana merek bisa saling menunjukan pencapaian kenpengan mereka yakni melalui organisasi-organisasi yang disebut Collins sebagai Arena konflik, tempat dimana orang memaksakan kehendaknya dalm mencapai kepentingan.

  Teori konflik mengenai stratifikasi. Dengan diawali beberapa asumsi bahwa manusia

  menurut bawaan diangap suka bergaul juga secarfa khsusu cenderung berkonflik di dalam relasi-relasi sosialnya. Konflik mungkin terjadi disetiap relasi karena “paksaan keras” selalu digunakan oleh seseorang atau banyak ornaag di dalam suatu latar interkasi. Collins percaya bahwa orang-orang berusaha memaksimalkan status subjektifitasnya dan bahwa kemampuan mereka dalam melakukan hal tersebut bergantung pada sumber daya mereka dan juga sumber daya orang-orang yang ada disekitar mereka (Ritzer, 2012:462).

  Berdasarkan hal tersebut, Collins (Ritzer, 2012:462) mengembangkan lima prinsip analisis konflik yang dia terapkan kepada stratifikasi sosial, yakni

  1. Collins percaya bahwa teori konflik harus berfokus pada kehidupan nyata daripada berfokus pada rumusan-rumusan abstrak.

  2. Collins percaya bahwa suatu teori konflik mengenai stratifikasi harus memeriksa susunan-susunan material yang mempengaruhi interaksi.

  3. Collins berargumen bahwa di dalam suatu situasi ketidaksetaraan, kelompok- kelompok yang mengendalikan sumber-sumber daya besar kemungkinan mencoba mengeksploitasi kelompok-kelompok yang memiliki sedikit sumber daya.

  4. Collins berpendapat kemungkinan besar kelompok-kelompok yang mempunyai sumber-sumber daya memiliki kekuasaan serta memaksakan sistem-sistem ide mereka kepada orang-orang yang tidak memiliki sumber-sumber daya.