Berita PUSAKA Edisi Agustus 2013

Edisi II Agustus 2013

BERITA

Pusaka
Kompleks Rawa Bambu I, Jl. B No. 6 B, Pasar Minggu,
Jakarta Selatan, Indonesia. Telpon/Fax: 021 7892137

Perpanjangan Proyek KFCP Ditentang Warga
Desa Mantangai Hulu
Peserta Musyawarah Desa (Musdes) di Desa Mentangai Hulu, Kecamatan Mantangai, Kapuas, pada hari Sabtu siang (03 Agustus 2013),
untuk membahas perpanjangan Perjanjian Desa proyek KFCP di
Desa Mantangai Hulu, menyepakati menolak proyek KFCP.
Musdes yang diselenggarakan oleh pemerintah desa bekerjasama
dengan Tim Pengelolaan Kegiatan (TPK) dari KFCP, dihadiri oleh sekitar 150 orang, terdiri dari: perangkat pemerintah desa, BPD,
lembaga adat Mantir beserta anggota, BPD, Tim Pengawas (TP)
Proyek KFCP, Fasilitator Desa KFCP (LC), tokoh masyarakat dan warga
Desa Mantangai Hulu.
Dilaporkan Noerhadi, saat kegiatan Musdes berlangsung terjadi
ketegangan dan perdebatan sengit antara pengelola proyek KFCP
(TP dan TPK) dengan warga. Mantir menolak membacakan pedoman

Perjanjian Desa KFCP. Akhirnya peserta sepakat menolak Proyek
KFCP, alasannya tidak ada kejelasan status lahan masyarakat dalam
kawasan KFCP. Proyek ini dianggap telah menimbulkan konflik antara masyarakat, sehingga menganggu kemanan dan ketentraman
masyarakat.
Sebelumnya, terjadi keributan dan perobekan lembar rancangan
Perjanjian Desa KFCP untuk kelanjutan program Livelihood pada f
orum rapat di RT 02 Desa Mantangai Hulu, pada 31 Juli 2013. Salah
seorang peserta pertemuan merobek draft Perjanjian Desa KFCP
karena merasa tidak puas dengan proses pertemuan dan program
KFCP. (Ank, Agst 2013)

DPR Mengsahkan RUU Pemberantasan
Perusakan Hutan yang Kontroversial
DPR-RI mengesahkan RUU Pemberantasan Perusakan Hutan (RUU
P2H) menjadi undang-undang, pada Selasa, 9 Juli 2013. Padahal RUU
P2H ini mendapat banyak penolakan dari warga dan organisasi masyarakat sipil menyangkut substansi RUU P2H. Koalisi Masyarakat Sipil
untuk Kelestarian Hutan dalam Surat Pernyataan Pers Bersama,
menyampaikan isi RUU P2H cenderung untuk mengkriminalkan
masyarakat adat dan masyarakat local disekitar dan dalam kawasan
hutan. Padahal, yang mestinya diatur dan disasar adalah korporasi

dan atau dalang (mastermind) yang selama ini kerap lolos dari keadilan hukum sehingga merajalela merusak hutan, baik di tempat
yang sama maupun berpindah tempat atau berganti modus.
RUU P2H dianggap kontraproduktif dengan usaha pemberantasan
korupsi karena membuka peluang terjadinya korupsi atau penyalahgunaan wewenang berkaitan dengan pemberian izin-izin di bidang
kehutanan, karena diskresi yang berlebihan diberikan kepada pejabat daerah.
Secara prosedural, pembentukan RUU P2H bermasalah karena tidak
disertai dengan Naskah Akademik dan proses pembahasannya tidak
terbuka, tidak membuka ruang partisipasi masyarakat dalam memberikan masukan.
Koalisi Masyarakat Sipil menyesalkan keputusan ini dan akan
mengajukan Judicial Review kepada Mahkamah Konstitusi UU P2H
tersebut. (Ank, Agst 2013)

Keluarga Besar PUSAKA mengucapkan
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1434 H
Mohon Maaf Lahir dan Bathin

“Perusahaan menggunakan aparat Brimob
dan stigma separatis untuk menekan dan
memaksa masyarakat”
Masyarakat Menduduki Kantor Perusahaan

Tebu PT. Mayora dan PT. Astra di Merauke
(Merauke, 12/8/2013) Sekitar 100 massa aksi dari Forum Intelektual
Malind SSUMAWOMA dan tokoh masyarakat Marind dari Distrik
Okaba, Tubang dan Ilwayab, melakukan aksi pendudukan kantor
perusahaan PT. Mayora dan PT. Astra, di Jalan Ternate, Merauke.
Aksi pendudukan dilakukan pada Jam 11.00 WIT. Aksi digerakkan
oleh pemuda dan tokoh masyarakat Malind Muli-Woyu Maklew,
Wamal, Dokib, Wambi, Dodalim, Woyu Maklew dan Kimam.
Massa menuntut kedua grup perusahaan tersebut menghentikan
kegiatan dan rencana investasi perkebunan tebu yang akan dilakukan di Distrik Okaba, Nguti, Tubang dan Ilwayab.
Beberapa waktu lalu, diinformasikan perusahaan menggunakan
aparat Brimob dan stigma separatis untuk menekan dan memaksa
masyarakat setempat menerima dan menandatangani perjanjian
dengan perusahaan. Adalah Ambrosius Laku Kaize (Ketua Adat
Yowid), Soter Gebze (Ketua Marga Gebze), Natalis Yolmen (Ketua
Marga Yolmen), yang mendapat tekanan dan menandatangani surat
persetujuan mengatasnamakan kampung-kampung di Distrik
Tubang. (Ank, Agst 2013)

Perusahaan Hanya Memiskinkan Orang Marind

Sekitar 50 an orang tokoh masyarakat adat Marind yang berasal dari
Distrik Semangga, Animha, Malind, Tanah Miring dan Merauke, bermusyawarah di Kampung Wendu, Distrik Semangga, pada 2-3 Agustus, sepakat meminta pemerintah menghentikan perusahaanperusahaan yang melakukan pengrusakan hutan dan mengkerdilkan
hak-hak Orang Marind Anim.
Yan Mahuze, tokoh adat dari Kampung Ivimahad mengatakan kekayaan alam hutan kampung-kampung Marind dirampas, dibatasi dan
dirusak sehingga membuat Orang Marind kehilangan sumber mata
pencaharian dan sumber makanan, yang membuat mereka semakin
miskin. Jika ini terus berkelanjutan maka Orang Marind akan kehilangan identitas adat yang asli atau diganti dengan barang-barang
ritual adat yang semuanya dibeli dari toko dan plastic, sehingga
menjadi Orang Marind plastik. “Kami tidak mau jadi Orang Marind
Plastik”, ungkap kebanyakan peserta.
Dalam Dialog dengan Ketua DPRD, Leo Mahuze, terungkap pula
Peraturan Daerah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Hak atas
Tanah masih ditunda pembahasannya dan akan dikonsultasikan
lebih luas dengan masyarakat.
Peserta juga meminta kepada Asisten I Pemda Merauke, Agust Joko
dan Kepala Dinas Ketahanan Pangan, untuk memperhatikan dan
memberdayakan hak-hak Orang Marind, termasuk menyelesaikan
hak-hak atas tanah untuk program transmigrasi dan pembangunan
infrastruktur. Hasil musyawarah Wendu dapat dilihat di:
http://pusaka.or.id/demo/assets/Keputusan-Wendu-Agustus-20131.pdf

(Ank, Agst 2013)

Yan Mahuze, Kpg. Salor

Orang Marind Sejati, tetap menjaga tanah, hutan dan mahluk hidup
1

Berita Pusaka, Edisi II Agustus 2013

Arogansi Pejabat Bupati Tojo Una-una, Sulawesi
Tengah

Jajak Pendapat Dampak Proyek KFCP
Proyek Demonstration Activities REDD+ di Kapuas yang dilaksanakan
oleh KFCP sudah berakhir pada Juni 2013 lalu, sudah lima tahun
sejak ditandatanganinya surat kerjasama antara pemerintah Indonesia dan Australia, Juni 2008.
Warga 7 desa disekitar lokasi proyek kebanyakan tidak mendapatkan
informasi yang memadai tentang kelanjutan dari proyek REDD+. Di
media massa, terungkap proyek KFCP tidak akan dilanjutkan dan
hanya akan melanjutkan proyek livelihood setahun saja. Banyak spekulasi dan opini yang muncul, proyek KFCP seperti juga proyek

konservasi di lahan gambut sebelumnya, mereka datang dan akan
pergi sesukanya.
Untuk mengetahui dampak proyek terhadap masyarakat sekitar
lokasi proyek KFCP, sejumlah organisasi masyarakat sipil PUSAKA,
HUMA, WALHI, SOLIDARITAS PEREMPUAN, WALHI Kalimantan Tengah,
Yayasan Petak Danum, POKKER SHK Kalteng dan Serikat Tani Mantangai, bekerjasama dan mengkoordinasikan kegiatan “Jajak Pendapat”
dengan menyebarkan angket sebanyak 600 lembar dan diskusi kelompok yang intinya meminta kesan dan pesan masyarakat terkait
proyek KFCP mulai dari kehadiran awal hingga saat ini.
Jejak Pendapat ini telah dilakukan di Desa Mantangai Hulu, Katimpun, Kalumpang dan Katunjung, pada akhir Juli hingga awal Agustus
2013. Sedangkan desa lainnya yang belum dilaksanakan karena kendala waktu dan adanya penangguhan dari Kepala Desa Petak Putih,
Kecamatan Timpah. Fokus Jajak Pendapat pada penilaian empat
Komponen Proyek KFCP, penerapan prinsip-prinsip proyek KFCP dan
berdasarkan hak-hak masyarakat. Rencana hasil Jajak Pendapat ini
akan dipublikasikan pada akhir September 2013. (Ank, Agst 2013)

16 Agustus

2013

14 Agustus


Aksi petani Desa Mantangai
Hulu berulang dan diikuti
sekitar 75 orang.

Kapolsek Mantangai memanggil Basri dan Dirman, sebagai
saksi dalam perkara tindak
pidana pengrusakan.

2013

12 Agustus

Dialog di Hotel Permata Inn,
Kapuas. Kasubid Hukum Kab.
Kapuas, Sumadi SH, menjelaskan
rencana pemda untuk mengevaluasi
izin perusahaan besar swasta di
karenakan banyak perusahaan
beroperasi tanpa izin.


Aksi petani Desa Mantangai
Hulu mencabut bibit kelapa
sawit HUP.

2013

2013

2012

Oktober

Tokoh masyarakat dari berbagai
desa di Kec. Mantangai mengdiskusikan Pokok-pokok Pikiran:
Penyelamatan Hutan dan Gambut
untuk Kesejahteraan Masyarakat
Dayak Ngaju di Mantangai Hulu.

Masyarakat mengolah lahan untuk

ladang padi, palawija dan kebun
karet, berlokasi di Blok 3 Sei Hambiye
dan Sei Jangkit.

8-9 Juli

2012

2012

September

HUP diam-diam melakukan land
clearing dan penanaman di Sei
Hambiye dan Sei Jangkit.

18 Oktober

2012


2011

Kronologis Aksi Tani Mantangai Melawan Perusahaan
Kebun Sawit PT. Handalan Usaha Perkasa

7 Agustus

“Tanah ini milik kami,
kami punya bukti tanaman dan
Surat Keterangan Tanah Adat”

(Mantangai Hulu, 7/8/2013) sehari lagi lebaran, puluhan warga tani di
Desa Mantangai Hulu melakukan aksi menduduki lahan perkebunan
sawit PT. Handalan Usaha Perkasa (HUP). Warga mencabut puluhan
bibit pohon sawit dan mengganti dengan tanaman karet. Aksi ini
berulang lagi pada Senin, 12 Agustus 2013.
“Aksi ini merupakan bentuk protes warga terhadap kesewenangwenangan perusahaan yang merampas dan menanami lahan kami di
Sei Hambiye dan Sei Jangkit”, ungkap Basri, yang juga Ketua Serikat
Tani Manggatang Tarung. Warga juga akan melayangkan surat protes
kepada pihak pemerintah yang mengabaikan permasalahan ini.

Buntut dari aksi protes tersebut, Kapolsek Mantangai melayangkan
surat panggilan kepada Basri dan Dirman untuk diperiksa sebagai
saksi dalam tindakan pidana pada Rabu, 14 Agustus 2013. Namun,
warga kompak tidak peduli dengan surat panggilan tersebut.
Jumat pagi, 50 puluh orang warga kompak mendatangi Kantor Kapol
sek Mantangai dengan berjalan kaki sejauh 5 kilometer dan bertemu
dengan Kapolsek Mantangai.
“Tanah ini milik kami, kami punya bukti-bukti tanaman dan surat
keterangan tanah dan SKTA (Surat Keterangan Tanah Adat). Tapi,
perusahaan datang ambil tanah masyarakat tanpa ijin”, ungkap
Norhadi, tokoh masyarakat Mantangai Hulu.
Kapolsek menerima kesaksian warga dan memahami permasalahan
yang diprotes warga. Bapak Kapolsek berjanji akan mempertemukan
warga dengan perusahaan pada 19 Agustus, tapi sampai sekarang
belum terjadi. (Ank, 2013)

2013

Guna mendukung masyarakat untuk memperjuangkan keberadaan
kelembagaan adat dan hak-hak atas tanah, PUSAKA dan Yayasan
Petak Danum (YPD) memfasilitasi perwakilan masyarakat Dayak di
Kabupaten Kapuas untuk menyusun dan membahas rancangan
peraturan daerah yang sudah disiapkan Pemda Kapuas, khususnya
tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kabupaten Kapuas.
Sudah dua kali dilakukan Diskusi Kelompok Terfokus (DKT) di Kota
Kuala Kapuas, pada akhir Juli dan awal Agustus 2013, yang melibatkan perwakilan Damang, Mantir, DAD dan tokoh masyarakat Dayak,
serta mengundang nara sumber dari Biro Hukum Pemda Kapuas.
Moeliyadi, Direktur YPD di Kapuas, melaporkan DKT sudah menghasilkan masukan terhadap rancangan Perda Kelembagaan Adat,
antara lain mengatur kewenangan Mantir dan Damang dalam membuat peraturan adat. Selain itu, DKT menggagas pengaturan tanah
dan pengelolaan sumber daya alam melalui Peraturan Bupati.
DKT dan dialog kebijakan masih akan dilakukan untuk mengkonsultasikan masukan masyarakat terhadap rancangan kebijakan tersebut,
kata Moeliyadi. (Ank, Agst 2013)

HUP mengumbar janji kepada
warga untuk melepaskan tanah,
tapi warga tidak mengizinkan.

“harus tegas terhadap para Bupati
yang tidak mau berpartisipasi dalam
penurunan emisi hutan dan lahan”
Petani Mantangai Hulu Menduduki Lahan
Perusahaan Sawit PT. Handalan Usaha Perkasa

FGD Masukan Masyarakat untuk Rancangan
Perda Kelembagaan Adat Dayak Kapuas

Masyarakat melakukan survey
dan pemetaan tanah di lahan
Sei Hambiye dan Sei Jangkit
untuk pembuatan SKTA dengan
luas lahan 170 ha

Yayasan Merah Putih (YMP) di Palu mengeluarkan Siaran Pers pada
23 Juli 2013, yang mengungkapkan arogansi Bupati Tojo Una-una
yang mengeluarkan SK Bupati Nomor 188.45/Distamben/2012 tertanggal 3 April 2012, untuk perusahaan pertambangan biji besi
PT. Arthaindo Jaya Abadi, seluas 5000 Ha yang beroperasi di Desa
Podi, Kecamatan Tojo, Kabupaten Tojo Una-una.
Alasannya, SK Bupati tersebut bertentangan dengan kebijakan
Gubernur Sulawesi Tengah Nomor 522/330/Dishutda - G.ST/2012,
tertanggal 8 Mei 2012, tentang 5 (lima) Kabupaten Prioritas Lokasi
Demonstration Activities (DA) REDD+ Sulawesi Tengah.
Masyarakat Desa Podi juga sudah berkali-kali melakukan aksi penolakan terhadap kehadiran perusahaan tambang biji besi PT. Arta
hindo Jaya Abadi meminta pemerintah kabupaten menarik izin
tersebut dengan berbagai alasan hukum dan kerentanan ekologi.
Tapi Perusahaan tetap melakukan aktifitas.
“Kami meminta Gubernur Longki tegas terhadap para Bupati yang
tidak mau berpartisipasi dalam penurunan emisi hutan dan lahan,
sebab ini sudah mejadi kebijakan nasional”, kata Azmi Sirajudin dari
YMP. (Ank, Jul 2013)

Sekitar 50 orang warga Mantangai Hulu aksi berjalan kaki
sejauh 5 Km menuju Kapolsek
Mantangai dan kompak mengajukan diri sebagai saksi.
Kapolsek Mantangai meminta
warga kembali dan berjanji akan
mempertemukan dengan HUP.

2

Berita Pusaka, Edisi II Agustus 2013

Kenapa REDD Tidak Jadi
Pada tanggal 22 dan 23 Juni 2013 lalu, saya dan teman YRBI berkunjung ke Mukim Sarah Raya (Pedalaman Teunom), sekarang masuk
dalam Kecamatan Pasie Raya, dalam rangka pelaksanaan pelatihan
lembaga adat Tuha Peut (semacam BPD).
Selama dua hari di sana, kita mendapatkan fakta lain tentang REDD,
yaitu munculnya "harapan" yang berlebih terhadap jasa perdagangan
karbon. Pertanyaannya sederhana saja, "kenapa REDD itu tidak jadi?".
Menurut peserta pertemuan tersebut, dulu, ketika disampaikan
kepada masyarakat seakan-akan jasa perdagangan karbon ("uang
REDD", kata mereka) akan segera turun, tidak lama lagi.
Kita tentu saja tidak berkompeten untuk menjawab. Paling-paling
menjelaskan perkembangan isue REDD saat ini dan kaitannya dengan
hak masyarakat atas kawasan hutan.
Kabar lain, jembatan gantung yang menghubungkan Gampong
Sarah Raya dengan Kampung lain di seberangnya tidak jadi-jadi,
sehingga untuk menuju ke sana masih harus menggunakan rakitan
penyeberangan. (Dari Sanusi Syarif – YRBI Aceh)

Rajawali Melanggar Hak Masyarakat
Perusahaan Rajawali di Kampung Kaliki, Distrik Kurik, Merauke,
melakukan proses pelanggaran hak atas tanah dengan membayar
ganti rugi atas tanah masyarakat Kaliki sebesar Rp. 25 per meter2
atau Rp. 2500 per hektar. (Dari Matheos Kaize, Warga Kampung Kaliki,
Distrik Kurik, Merauke)

Warga Yowid Dituduh Anggota OPM
Merauke, (2/8/2013), dilaporkan Forum Intelektual Masyarakat Woyu
Maklew (FORMASI SSUMAWOMA) menegaskan bahwa PT. Mayora
telah melanggar hak asasi masyarakat adat Marind sub suku Woyu
Maklew. Ketua adat dan Kepala Kampung Yowid diancam dituding
“OPM” dan dipaksa menandatangani surat penerimaan warga terhadap aktivitas PT. Mayora di Kampung Yowit, Dokib, Wamal, Bibikem,
Woboyu, Wanam dan Dodalim.
Menurut Ketua Adat Kampung Yowid, Ambrosius Laku Kaize, bahwa
dirinya terpaksa ikut tanda tangan setelah mendapat tekanan dari
staf PT. Mayora. “Saya terpaksa tanda tangan, karena warga Kampung
Yowid dituduh anggota OPM (Organisasi Papua Merdeka)”, ungkapnya. Lebih lanjut Kaize menegaskan bahwa surat yang disodorkan
oleh staf PT. Mayora ini terpaksa ditandatangani oleh Kepala Kampung Yowid, Ketua Marga Geb – Zami dan dirinya setelah pihak PT.
Mayora menyatakan bahwa warga Kampung Yowid dianggap OPM
jika tidak tandatangan surat dari PT. Mayora.
Dari hasil pemantauan FORMASI SSUMAWOMA umumnya warga
masyarakat adat Marind di Kampung Yowid, Dokib, Wamal, Dodalim,
Woboyu, Bibikem, Wanam dan Uliuli, tidak mendapatkan informasi
yang baik dan benar terkait kebijakan investasi di wilayah adatnya,
khususnya kehadiran PT. Mayora. Ini adalah indikasi bahwa proses
investasi yang ada telah melanggar hak masyarakat adat Marind
untuk mendapatkan informasi secara bebas sebelum investasi dijalankan.
Selain itu, warga Marind sub suku Woyu Maklew telah menyatakan
bahwa menolak segala jenis investasi di wilayah adat mereka, karena
belum memiliki tenaga siap pakai di perusahan-perusahan, dan PT.
Mayora telah menciptakan situasi tidak aman dalam kehidupan
warga, seperti PT. Mayora berkunjung ke kampung-kampung dengan
didampingi Brimob Polres Merauke yang bersenjatah lengkap dan
mengasut beberapa warga kampung untuk menciptakan situasi tidak
aman dengan menciptakan teror.
Kesaksian warga Kampung Yowid, Distrik Tubang, dapat dilihat di link
video: https://www.youtube.com/watch?v=q5atFz8tZM0 (Ank, Agst 2013)
Sumber: Email Sekretariat Forum SSUMAWOMA, 5 Agustus 2013

“Saya terpaksa tanda tangan
karena takut dituduh OPM”

Mendesak Pemetaan Tanah di Papua Barat
Wakil Ketua MRP Papua Barat, Wolas Krenak, mengungkapkan rencana program MRP mendokumentasikan keberadaan sejarah marga
dan hak-hak atas tanah, hutan, air dan kekayaan alam lainnya, serta
pemetaan tanah milik adat dan batas-batas penguasaan tanah
marga/keret.
“Program pemetaan merupakan prioritas untuk perlindungan hakhak orang asli Papua atas tanah”, ungkap Wolas Krenak dalam Loka
karya Menggagas Kebijakan Perlindungan dan Penghormatan Hakhak Masyarakat Adat Papua atas Tanah di Hotel Billi Jaya, Manokwari,
Papua Barat, pada 5 dan 6 Agustus 2013. Peserta pertemuan mendukung program MRP tersebut dan menjadi salah satu rekomendasi
kegiatan.
Kegiatan Lokakarya dihadiri sekitar 45 orang utusan tokoh masyarakat adat dari kampung di Kabupaten Manokwari, Teluk Wondama,
Manokwari Selatan, Tambraw, Sorong, Sorong Selatan, Raja Ampat
dan Fakfak, serta organisasi masyarakat sipil di Provinsi Papua Barat.
Hasil rekomendasi kegiatan tersebut yakni peserta memandang
perlu dan mendesak diupayakan aksi-aksi untuk memajukan keberadaan dan hak-hak dasar Orang asli Papua, terdiri dari: (1) pembuatan
peta tanah adat; (2) pembuatan Peraturan Daerah yang mengatur
pengakuan keberadaan dan hak-hak atas tanah, hutan, air dan kekayaan alam lainnya milik Orang asli Papua; (3) menerbitkan Peraturan
Kampung tentang hak atas tanah dan mekanisme pengalihan hak
atas tanah yang adil; (4) pertemuan yag menghadirkan tokoh-tokoh
adat dari berbagai kampung di wilayah pemerintahan Provinsi
Papua Barat untuk mendiskusikan dan membahas kelembagaan
adat; (5) perlunya kerjasama antara masyarakat dan LSM.
Lengkapnya rekomendasi pertemuan dapat dilihat di:
http://pusaka.or.id/demo/assets/Rekomendasi-Lokakarya-Manokwari-Agustus-2013.pdf
(Ank, agst 2013)

Hari Bersejarah: International Day of The World’s
Indigenous People
Pada setiap tanggal 9 Agustus diperingati
masyarakat adat sebagai Internasional Day
of The World’s Indigenous People atau
Hari Internasional Masyarakat Adat
Sedunia. Hari ini diperingati untuk
mempromosikan dan melindungi hakhak masyarakat adat di dunia.
Penetapan tanggal dan hari bersejarah ini
ditetapkan oleh Majelis Umum PBB dalam
Resolusi 49/214, tanggal 23 Desember 1994. Tanggal tersebut
menandai hari pertemuan pertama Kelompok Kerja PBB untuk
Masyarakat Adat pada sub komisi untuk promosi dan perlindungan
Hak Asasi Manusia, pada tahun 1982.
Gambar logo disamping dibuat oleh Rebang Dewan, merupakan logo
Forum Tetap PBB untuk Masyarakat Adat (UNPFII) adalah sebuah
badan penasehat untuk Dewan Ekonomi dan Sosial (ECOSOC),
dengan mandat untuk membahas permasalahan masyarakat adat
terkait dengan pembangunan ekonomi dan sosial, budaya, lingkungan, pendidikan, kesehatan dan hak asasi manusia.
3

Berita Pusaka, Edisi II Agustus 2013

Proyek MIFEE Mengancam Kelangsung Hidup
Orang Malind
25 Juli 2013, sebanyak 27 organisasi masyarakat sipil yang bekerja
untuk memajukan hak asasi manusia dan hak atas lingkungan,
berbasis di Indonesia, Inggris dan Jerman, mengajukan surat permohonan sebanyak 40 paragraf kepada Pemberantasan Diskriminasi
dan Rasial (Convention on the Elimination of Racial Discrimination,
CERD) di Geneva yang mendesak dan merekomendasikan kepada
Komisi PBB untuk memperhatikan dan mempertimbangkan situasi
Orang Malind dan masyarakat adat lainnya, yang ada di wilayah
pemerintahan Kabupaten Merauke, Provinsi Papua, melalui prosedur
Aksi Mendesak dan Peringatan Dini dari CERD ini.
Pemerintah Indonesia telah gagal mengambil langkah-langkah
perbaikan dan situasi pun semakin memburuk dan mengancam
keberlangsung hidup Orang Malind di Merauke, serta ancaman
kerusakan lingkungan setempat, sehubungan dengan program
nasional pembangunan pangan dan energy skala luas, MIFEE
(Merauke Integrated Food and Energy Estate), yang sudah mencaplok
kawasan hutan, padang, areal gambut dan rawa seluas 2,5 juta hektar.
Semenjak tahun 2007 hingga 2013, pemerintah telah menerbitkan
Ijin Lokasi dan Rekomendasi untuk akusisi lahan demi kepada 80
perusahaan untuk berbagai jenis bisnis dalam proyek MIFEE dan
proyek besar pembangunan jalan, jembatan dan kanal-kanal irigasi
untuk mendukung pergerakan barang dan sumber daya ke dan dari
proyek MIFEE.
Perusahaan mengambil alih tanah-tanah masyarakat dengan cara
curang manipulasi, dengan pemberian ganti rugi yang rendah
sebesar Rp. 2000 hingga Rp. 300.000 per hektar untuk waktu selama
35 tahun. Perusahaan menggunakan aparat keamanan TNI/Polri
yang melakukan tekanan dan tindakan kekerasan dalam proses
negosiasi mendapatkan tanah, mengamankan dan memperlancar
operasi perusahaan, menghadapi dan menghalangi protes warga.
Mohammad Islah, pengkampanye Pangan dan Energi Walhi, mengatakan eksploitasi pembongkaran hutan dan rawa skala luas yang
ekstrim, serta menggusur tempat penting Orang Malind telah
menimbulkan dampak besar sangat berarti bagi perubahan relasi
masyarakat dengan kawasan hidupnya, mengancam kelangsungan
kehidupan social ekonomi dan budaya Orang Malind, menurunnya
kwalitas dan daya dukung lingkungan alam. Tempat bernilai konservasi tinggi kawasan hutan dataran rendah yang spesifik dan perariran
rawa luas tempat hidup flora dan fauna endemic tergusur sebelum
diteliti dan diketahui manfaatnya bagi kehidupan manusia.
Hal ini menggambarkan situasi gawat yang “membutuhkan perhatian
segera untuk mencegah atau membatasi besarnya atau jumlah pelanggaran serius terhadap konvensi (CERD)” dan untuk mengurangi
risiko diskriminasi rasial lebih lanjut. Iklim kekerasan yang meluas dan
pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat di Papua, termasuk
diskriminasi yang mengakar di semua tingkat masyarakat, merupakan
faktor yang memperburuk yang membuat situasi ini semakin mendesak dan ekstrim untuk melindungi masyarakat adat Papua, untuk
mendapatkan perhatian dan pengawasan internasional.

Proyek MIFEE Tetap Berjalan
Menteri Pertanian RI, Suswono, di Jakarta, mengatakan program
MIFEE tetap berjalan meski terdapat desakan penghentian oleh
koalisi LSM. Hal ini disampaikan Menteri Suswono dalam wawancara
dengan koran-jakarta.com (29 Juli 2013), menyusul Surat Permohonan 27 LSM kepada Komisi CERD yang meminta penghentian proyek
MIFEE di Merauke.
Firman Subagyo, Wakil Komisi IV DPR RI, menilai desakan penghentian proyek MIFEE yang dilakukan LSM tidak beralasan kuat. Bahkan,
dia mencurigai desakan tersebut sarat dengan kepentingan tertentu.
"Saya khawatir desakan tersebut hanya menjadi alat dari kepentingan asing untuk mendiskreditkan proyek ketahanan pangan dan
energi Indonesia," ujarnya. Diberitakan oleh koran-jakarta.com bahwa
DPR menilai pemerintah jangan mudah diintervensi untuk mengorbankan proyek yang memiliki manfaat bagi program ketahanan
pangan dan energy nasional.

Berdasarkan situasi tersebut, organisasi pemohon meminta dan
merekomendasikan sebanyak delapan point kepada komisi CERD
untuk melaksanakan prosedur tindakan peringatan dini dan mendesak, mencakup: mendesak kepada pemerintah Indonesia untuk
menghentikan dengan segera setiap bagian proyek MIFEE yang
mengancam kelangsung hidup masyarakat adat dan untuk segera
memberikan dukungan kepada masyarakat adat yang terampas alatalat bertahan hidupnya. Untuk mendesak pemerintah Indonesia
menjamin kondisi kerja dalam proyek MIFEE untuk melaksanakan
standard pekerja internasional, tidak diskriminatif, serta menghargai
atas hak-hak teritorial masyarakat adat setempat.
Pemohon juga mengungkapkan keprihatinan mendalam atas pelanggaran HAM di Papua dan untuk mendesak pemerintah Indonesia
agar terlibat dalam dialog resmi dengan perwakilan masyarakat adat
Papua untuk menyikapi konflik di Papua tanpa kekerasan dan dialog
konstruktif. Merekomendasikan dan mendesak kepada pemerintah
Indonesia, untuk menetapkan Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk Papua.
Mendesak Indonesia untuk mendukung secara aktif dan menerapkan
Deklarasi Bali mengenai HAM dan Agribisnis bersama dengan
Komnas HAM, organisasi-organisasi masyarakat adat, pihak bisnis
dan LSM.
Merekomendasikan bahwa pemerintah Indonesia meminta atau
mengabulkan permintaan untuk kunjungan lapangan dari Pelapor
Khusus PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat dan Pelapor Khusus
PBB tentang Hak-hak atas Pangan agar mendukung pemenuhan
kewajiban internasional, termasuk yang terkait dengan hak-hak
masyarakat adat di Papua; dan meminta bahwa prosedur-prosedur
khusus tersebut di atas dilaporkan kepada Komisi atas setiap temuan
atau kemajuan dalam pengaturan dan pelaksanaan kunjungan
lapangan. (Ank, Agst 2013)

sambungan: Proyek....

Pernyataan kepentingan ‘asing’ ini tidak jelas maksudnya, apakah
maksudnya pihak luar wilayah pemerintah Indonesia? Padahal proyek MIFEE ini berorientasi dan dikendalikan oleh kepentingan korporasi swasta, yang kebanyakan modalnya dikendalikan oleh perusahaan multinasional dan tujuan produksi komoditi pangan dan energi
untuk pasar komersial internasional.
Suswono, menyatakan proyek MIFEE sebagai salah satu andalan
peningkatan ketahanan pangan dan energy. Proyek tersebut akan
menyerap investasi sekitar Rp. 90 triliun yang bersumber dari dana
swasta dan pemerintah. Sejumlah grup besar investor telah berminat
masuk dalam proyek tersebut.
Menurut Kepala BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal), Gita
Wirjawan, pemerintah mengalokasikan dana Rp. 1 triliun untuk
pembangunan infrastruktur pendukung bagi pengembangan food
estate seluas 570 ribu hakter, yang lahannya dikembangkan untuk
komoditas tebu, padi dan kedelai, yang diperkirakan selesai pada
2014. (Ank, Agst 2013)
Sumber:
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/125187
http://www.indonesiafinancetoday.com/read/13489/Food-Estate-Bisa-Menarik-Investasi-US-10-Miliar

4

Berita Pusaka, Edisi II Agustus 2013

MK Tidak Progresif Berkenaan Pasal Bersyarat
Pengakuan Masyarakat Adat
Mahkamah Konstitusi (MK), dianggap tidak cukup progresif memutuskan hal-hal yang berkenaan dengan syarat-syarat pengakuan terhadap masyarakat adat. Ungkap Erasmus dalam Lokakarya di Manokwari, Papua Barat, (5/8/2013). MK tidak lebih dari corong konstitusi.
“MK hanya menyesuaikan syarat pengakuan dalam UU Kehutanan
dengan syarat-syarat pengakuan dalam UUD 1945 sebagaimana
putusannya terhadap pasal 4 ayat (3). Jika sebelumnya pasal tersebut
berbunyi “Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak
masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional”. Oleh MK pasal tersebut disesuaikan dengan UUD 1945
sehingga menjadi “Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang”, kata Erasmus.
Pemerintah dan DPR RI juga terkesan masa bodoh dan tidak menanggapi keputusan MK 35/2012 ini, menyusul disahkannya RUU Pencegahan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) menjadi UU pada
tanggal 9 Juli 2013 dan juga diterbitkannya Surat Edaran Menteri
Kehutanan terkait putusan MK, pada tanggal 16 Juli 2013. Surat
edaran itu berupaya memelintir maksud dari putusan MK itu sendiri.
“Dalam SE ini, tersirat kesan bahwa Kementerian Kehutanan melempar tanggungjawab pelaksanaan putusan MK ke Pemerintah Daerah
melalui peraturan Daerah. Hal ini adalah kekeliruan fatal mengingat
UU Kehutanan itu sendiri menentukan bahwa penetapan hutan adat
merupakan kewenangan Pemerintah (Kementerian Kehutanan) yang
tata caranya perlu diatur dalam sebuah Peraturan Pemerintah”, kata
Erasmus.
Menurut Erasmus, tantangan bagi masyarakat adat, mereka harus
mampu membuktikan eksistensi dirinya karena keberadaannya akan
sangat menentukan penguasaan mereka atas hutan adat. Hanya
memang harus dikaji lebih jauh mengenai kriteria-kriteria keberadaan masyarakat adat itu sendiri. (Ank, Agst 2013)

Perubahan Pasal dalam UU Kehutanan 41 tahun 1999
yang Diuji Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi
MK 35/2012
Sesuai dengan permohonan pengujian Undang-Undang Kehutanan oleh para
pemohon yaitu terkait Pasal 1 angka 6, Pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat (1) serta
penjelasannya, Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3), dan ayat (4) Pasal 67 ayat (1), (2)
dan (3), dan pendapat hukum serta amar putusan MK terhadap pasal-pasal
yang diuji tersebut, maka makna pasal-pasal yang diuji berubah menjadi
sebagai berikut:
Sebelum Putusan
Pasal 1 angka 6: Hutan adat adalah hutan
negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.
Pasal 4 ayat (3): Penguasaan hutan oleh
Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya,
serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.

Pasal 5 ayat (1): Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari:
a. hutan negara, dan
b. hutan hak.
Penjelasan Pasal 5 ayat (1): “Hutan negara
dapat berupa hutan adat …”

Pasal 5 ayat (2): Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat
berupa hutan adat.
Pasal 5 ayat (3): Pemerintah menetapkan
status hutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya
masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.

Setelah Putusan
Pasal 1 angka 6: Hutan adat adalah hutan
negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.
Pasal 4 ayat (3): Penguasaan hutan oleh
Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya,
serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam undang-undang.
Pasal 5 ayat (1): Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari:
a. hutan negara, dan
b. hutan hak terdiri dari:
- hutan adat
- hutan perorangan/badan hukum.
Penjelasan Pasal 5 ayat (1): “Hutan negara
dapat berupa tidak termasuk hutan adat..”
Pasal 5 ayat (2): Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat
berupa hutan adat.
Pasal 5 ayat (3): Pemerintah menetapkan
status hutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya
masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.

Bupati Kapuas Mengeluarkan Surat Penghentian
Kegiatan 13 Perusahaan Perkebunan Sawit
Bupati Kapuas, Ben Brahim, mengeluarkan Surat Bupati Kapuas No.
525.26/1460/Disbunhut/2013, tanggal 24 Juli 2013, tentang Penghentian Operasional Kegiatan PBS yang belum Clear and Clean. Surat ini
ditujukan kepada Direktur Perusahaan Perkebunan Besar Swasta
(PBS), yang berjumlah sebanyak 13 perusahaan.
Surat Bupati ini juga untuk menindak lanjuti Surat Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 540/647/Ek, tanggal, 28 Juni 2013, perihal Penghentian Pengoperasian Kegiatan yang belum Clear and Clean. Bupati
mengingatkan setiap kegiatan pembukaan kawasan hutan tanpa ijin
dari Menteri Kehutanan merupakan suatu pelanggaran.
Dalam Surat Bupati yang menegaskan kepada 13 perusahaan perkebunan sawit milik swasta untuk segera menghentikan kegiatan seluruh kegiatan perusahaan yang belum memiliki perizinan sesuai ketentuan yang berlaku sejak diterima surat Bupati. Penyelesaian perizinan
dimaksud termasuk penyelesaian sengketa dengan pemilik lahan.
Ada 13 perusahaan perkebunan besar yang dianggap belum clear and
clean, semuanya perkebunan kelapa sawit, yakni: PT. Agro Subur
Permai (16.500 ha), PT. Dwie Warna Karya (12.500 ha), PT. Globalindo
Agung Lestari (20.000 ha), PT. Hijau Pertiwi Indah Plantation (20.000
ha), PT. Kahayan Agro Lestari (20.000 ha), PT. Kalimantan Ria Sejahtera
(17.000 ha), PT. Kapuas Maju Jaya (17.500 ha), PT. Lifere Agro Kapuas
(20.310 ha), PT. Rezeki Alam Semesta Raya (20.000 ha), PT. Sepalar Yasa
Kartika (14.000 ha), PT. Susantri Permai (15.000 ha), PT. Sakti Mait Jaya
Langit (10.000 ha), PT. Wana Catur Jaya Utama (12.500 ha).
Dilapangan areal perkebunan sawit PT. Globalindo Agung Lestari
(GAL), puluhan warga sekitar Mantangai dan Dadahup yang diorganisir oleh BATAMAD (Barisan Pertahanan Masyarakat Adat Dayak)
mendatangi Kantor GAL di Desa Pulau Kaladan untuk menuntut
pengembalian tanah adat mereka yang diambil oleh perusahaan.
“Kami minta perusahaan menghentikan kegiatannya sebelum ada
penyelesaian permasalahan dengan warga pemilik tanah”, kata
Ewaldianson, Ketua BATAMAD Kab. Kapuas, yang berpendapat bahwa
perusahaan telah melakukan pelanggaran merampas hak masyarakat
dan menunjukkan Surat Bupati dan Surat Gubernur yang mendukung
aksinya untuk menuntut pengembalian hak atas tanah dan penyelesaian sengketa dengan perusahaan.
Ancaman hukuman pidana terhadap pelanggaran surat bupati ini
diancam dengan pidana penjara mulai dari satu tahun hingga 15
tahun dan denda mulai dari 10.000.000 rupiah hingga 10 milyar
rupiah, berdasarkan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan
UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan. (Ank, 2013)
Sambungan ...
Sebelum Putusan

Setelah Putusan

Pasal 5 ayat (4): Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah.

Rumusan tetap, karena MK menolak
permohonan untuk pasal 5 ayat (4).

Pasal 67 ayat (1)
Pasal 67 ayat (2)
Pasal 67 ayat (3)

Rumusan tetap, karena MK menolak
permohonan untuk pasal 67 ayat (1),
ayat (2) dan ayat (3).

5

Berita Pusaka, Edisi II Agustus 2013

di Sei Hambiye mendukung Serikat Tani dan juga warga Mantangai Hulu.
Lalu, kami melakukan perintisan lokasi dan mencabut patok yang sudah
diukur oleh perusahaan. Kami juga melakukan pemetaan SKTA (Surat
Keterangan Tanah Adat) dan membagi lahan kepada setiap anggota per
KK (Kepala Keluarga) seluas satu hektar, serta memperjuangkan legalitas
SKTA untuk masyarakat. Sebagian besar tanah tersebut digarap untuk
ladang padi, kebun palawija dan kebun karet.

Basri: Kompak Kunci Perjuangan Serikat Tani
Penguasa pemerintah hari ini cenderung mengutamakan kepentingan
produksi dan reproduksi kapital para korporasi swasta, ketimbang berperan melayani dan melindungi kepentingan rakyat. Hukum hanya menjadi alat penguasa untuk meloloskan kepentingan bisnisnya dan menghadang perlawanan dan sikap kritis rakyat.
Ditengah melemahnya peran negara, aksi kaum tani untuk mempertahankan dan memperjuangkan hak hidup terus menguat bermodalkan
solidaritas, persatuan dan kehendak untuk perubahan. Basri Ketua Serikat Tani Manggatang Tarung di Desa Mantangai Hulu, Kabupaten
Kapuas, Kalimantan Tengah, menceritakan pengalaman mereka dalam
memperjuangkan hak atas tanah, ditengah gagalnya negara melindungi
dan menghormati hak-hak rakyat atas tanah.
Apa latar belakang didirikannya Serikat Tani Manggatang Tarung?
Awalnya, kami tergabung dalam Sekolah Lapang untuk kegiatan pengolahan hasil karet hingga pemasaran, bersamaan dengan adanya proyek
KFCP pada tahun 2010. Tapi proyek KFCP tidak memberi manfaat berarti
karena hanya memfasilitasi kami untuk bertemu dengan pembeli dan
tidak ada tanda untuk memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kemudian, kami secara mandiri mengupayakan modal
dan pengembangan usaha karet dalam kelompok Serikat Tani Manggatang Tarung.
Tujuan Serikat Tani Manggatang Tarung?
Ketika itu, tahun 2011 kami sepakat tujuannya untuk mengembangkan
kesejahteraan anggotanya melalui usaha tani karet, mulai dari pengolahan kebun, pengolahan getah karet dan pemasaran. Usaha ini berjalan
lancar secara mandiri. Tetapi ditengah jalan terjadi musibah, alat transportasi perahu kelotok ditabrak oleh getek kapal penyeberangan, perahu
dan dua mesin tenggelam, muatannya beras 150 sak dengan isi 25 kilo
persak, minyak bensin 7 drum, solar, minyak tanah 1 drum, lenyap ke
dasar sungai, kerugian kami diperkirakan nilainya lebih dari 36 juta
rupiah. Usaha serikat tani semakin terpuruk karena ambruknya harga
karet dari harga Rp. 22.500 per kilo turun menjadi Rp. 4000 dan kadang
Rp. 5000 per kilo di tingkat kampung. Ongkos produksi pengolahan
karet lebih besar dibanding harga karet. Sehingga diputuskan untuk
sementara Serikat Tani tidak mengolah karet.
Perkembangan selanjutnya, apakah tidak ada aktifitas lagi?
Kami juga terlibat dalam advokasi memperjuangkan hak atas tanah yang
digunakan untuk proyek KFCP dan perusahaan perkebunan kelapa sawit
PT. Usaha Handalan Perkasa yang merampas tanah masyarakat di Desa
Mantangai. Tanah masyarakat semakin sempit dan dikurung oleh proyek
konservasi dan perkebunan kelapa sawit. Kami berdiskusi dan bekerjasama dengan LSM untuk menentang proyek KFCP yang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat. Kami berbicara dalam pertemuan di daerah Kapuas dan provinsi hingga ke pemerintah pusat di Jakarta tentang masalah lahan yang dikelola proyek KFCP dan perkebunan sawit. Tetapi, pemerintah tidak punya perhatian serius untuk menangani dan memenuhi
tuntutan masyarakat.
Bagaimana upaya untuk mendapatkan dan mengembalikan hak
atas tanah?
Pada tahun 2012, kami bermusyawarah dan menyepakati untuk menduduki dan mengolah lahan yang dirampas oleh perusahaan kebun kelapa
sawit PT. Usaha Handalan Perkasa di lahan Sei Hambiye. Pemilik handil

Apa hambatan dan tantangan Serikat Tani?
Pemerintah tidak menanggapi dan belum ada dukungan terhadap tuntutan masyarakat, sehingga terjadi pengabaian. Misalnya, prosedur
untuk memperoleh SKTA sudah dipemuhi dan mendapat pengesahan
dari Mantir di desa, tetapi pengesahan dari Damang belum selesai dan
pemerintah desa menolak menandatangani. Pemerintah Desa dan BPD
melakukan rintisan diareal Sei Hambiye dan Sei Rangas dan mencaplok
lahan yang telah di SKTA kan sekitar 300 meter.
Masyarakat tidak mengetahui tujuan pembuatan rintisan tersebut yang
kemudian diketahui digunakan oleh perusahaan setelah ada kegiatan
penebasan dan penebangan di daerah tersebut. Perusahaan juga tidak
menghormati dan mengakui hak-hak masyarakat. Kami sudah memasang patok disitu dengan kayu yang tinggi dan di cat putih pada rintisan
selebar dua meter, tetapi mereka tetap melewati dan menggarap lahan
tersebut. Sewaktu masyarakat ingin berladang ternyata lahan tersebut
sudah ditanami oleh perusahaan.
Karenanya, kami kembali bergerak melakukan protes dan perlawanan.
Pada tanggal 7 dan 12 Agustus 2013, Serikat Tani bersama warga melakukan aksi mencabut tanaman bibit karet perusahaan yang berada di
lahan Sei Jangkit dan Sei Hambiye. Kami lalu menanam karet local di
lahan tersebut.
Bagaimana dengan surat panggilan Kapolsek Mantangai sebagai
saksi kasus tindak pidana pengrusakan?
Saya dan Dirman dipanggil melalui Surat Panggilan Kapolsek Mantangai
sebagai saksi dalam kasus tindak pidana pengrusakan pada 14 Agustus
2013. Tapi, saya tidak datang dan kami kompak bersama warga ke kantor
Polsek Mantangai pada tanggal 16 Agustus 2013, sebanyak 50 orang
berjalan kaki sejauh 5 kilometer menuju Kapolsek Mantangai.
Pihak polisi bingung menghadapi warga dan juga ada perempuan. Polisi
menanyakan ada apa ini pak, kok datang banyak? Kami hadir disini karena ada panggilan dari bapak. Kami semua ingin memberi kesaksian atas
tuduhan pengrusakan. Kami membawa dokumen aksi lapangan, jika
belum puas kita ke lapangan untuk melihat apa yang kami lakukan.
Polisi hanya mencatat keterangan dan keluhan masyarakat yang silih
berganti berbicara. Pihak kepolisian tidak bisa menanggapi. Saya menanyakan siapa yang melaporkan tindakan pengrusakan kepada Kepolisian? Ternyata pihak perusahaan. Lalu warga meminta polisi memediasi
mempertemukan kami dengan perusahaan PT. Usaha Handalan Perkasa.
Warga meminta tidak terlalu lama karena ingin tahun penyelesaian terhadap perusahaan tetapi polisi tidak menentukan jadwalnya. Hanya
meminta no telpon kami.
Kami minta pertemuannya tanggal 19, tempat pertemuannya di kecamatan atau di desa. Kapolsek meminta kami pulang dan sampai sekarang tidak ada tanggapan lagi dan langsung diam saja permasalahan ini.
Kami juga menyerahkan Surat Gubernur dan Surat Bupati (surat penghentian perusahaan PBS yang tidak clear and clean) kepada Humas
perusahaan, bernama Arbani. Perlu bapak ketahui, berdasarkan ini kami
menolak perusahaan tersebut dan tolong sampaikan omongan saya ini,
sawit yang ditanam dilahan kami tolong diambil, karena tanah itu akan
kami garap tahun ini. Kalo tidak diambil jangan salahkan kami.
Apa rencana serikat tani?
Berdasarkan musyawarah anggota, kami akan membuat parit sebagai
batas tanah di lapangan. Batas tidak cukup hanya dengan menebas dan
memasang patok, karena patok bisa busuk dan hilang, sedangkan tebas
tidak bertahan karena tanaman akan tumbuh lagi. Sebagai batas hak
kelola antara Sei Rangas, Sei hambiye dan Sei jangkit, yang mana Sei
hambiye dan Sei jangkit satu pemilik handil.
Kami juga akan memetakan tanah didaerah ini hingga mencapai 1000
an hektar sesuai dengan surat pemilikan atas handil yang diterbitkan
oleh Dinas Pertanian, yang mana saat ini masih 40 % yang sudah di petakan. Selanjutnya, melakukan perluasan kebun karet bibit local untuk
anggota dan kelompok yang dikelola secara bersama. Dan hasil kebun
karet kelompok bisa dipakai untuk mendukung perjuangan organisasi.
Dalam waktu dekat, kami akan menanam lahan dengan padi lokal
geragai dan menyahi. Lalu tanam karet. (Ank, Agst 2013)

6