PERILAKU PETERNAK BABI DALAM MENANGANI LIMBAH DI DESA TUA MARGA TABANAN.

BEHAVIOR OF PIG BREEDERS IN HANDLING THE RUBBISH
AT TUA VILLAGE MARGA SUB-DISTRICT TABANAN DISTRICT BALI PROVINCE
BY
N.W. Tatik Inggriati, I.W. Alit Artha Wiguna1),I.N. Suparta, and Gd. Suarta
1)

Animal Husbandry Faculty Udayana University Denpasar – Bali
Senior Extension Institute for Agriculture Assesment Technology (IAAT) of Bali Province
E-mail tatikinggriati@yahoo.com, HP. 085237013422

ABSTRACT
Pig breeding at Tua village can the environment problem, because difficulty in wasting the
rubbish. The purpose of the research included : 1) to know pig breeders behavior ( knowledge,
attitude, and application handling the rubbish), and 2) to know the knowledge and attitude related
with application handling the rubbish. The research design was a survey using a questionnaire
for data collection tool. Research was conducted at Tua village there were 30 pig breeders as
respondents by purposive sampling method. Data were analyzed descriptively and the Spearman
Gradual Coefficient. Results of the research: 1) Score percentage of the breeder knowledge is high
category (70,45%), score percentage of the breeder attitude is negative category (46,70%), and
score percentage of the breeder application is low category (50,55%); and 2) Knowledge of the
breeder has an unreal relationship (p>0,10) and attitude of the breeder has a real relationship

(p0,10), sedangkan sikap berhubungan nyata (p36-52

>52-68

>68-84 >84-100

1

Pengetahuan

Sangat
rendah

Rendah

Sedang

Tinggi

Sangat

tinggi

2

Sikap

Sangat
negatif

Negatif

Raguragu

Positf

Sangat
positif

3


Penerapan

Sangat
rendah

Rendah

Sedang

Tinggi

Sangat
tinggi

Untuk menjawab hipotesis no 1, data dianalisis secara deskriptif, dan untuk menjawab
hipotesis no 2, data dianalisis dengan menggunakan analisa Coeffisien Corelasi Jenjang Spearman
(Siegel, 1997), dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan:
rs = Koefisien korelasi

d = Selisih jenjang pasangan unsur yang diobservasi
N = Banyaknya pasangan unsur yang diobservasi

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Peternak
Karakteristik peternak yang diamati dalam penelitian ini antara lain: umur, pendidikan
formal, pendidikan non-formal, pemilikan ternak babi, penguasaan lahan, pengalaman beternak

babi, dan keikutsertaan dalam kelompok peternak. Berikut disajikan data beserta pembahasannya
untuk masing-masing unsur tersebut.
Umur. Umur peternak berkisar antara 35 – 56 tahun dengan rataan 42 tahun. Hal tersebut
menunjkkan bahwa, peternak babi di desa Tua masih tergolong produktif. Sesuai dengan UndangUndang Tenaga Kerja No. 13 Tahun 2003, yang menetapkan penduduk usia produktif adalah
antara umur 15 – 64 tahun. Perilaku peternak babi yang berumur produktif, berpotensi untuk
ditingkatkan melalui proses penyuluhan. Sejalan dengan Mardikanto (1993) yang menyatakan
bahwa penyuluhan adalah pendidikan non formal untuk mengubah perilaku petani dan
keluarganya. Perubahan perilaku petani berkaitan dengan umur, cara berpikir maupun kemampuan
fisik. Sejalan dengan Soejono (Levis,1987); Lestari, dkk (2009); dan Sari, dkk (2009) yang
menyatakan bahwa variabel umur berpengaruh terhadap cara berpikir dan kemampuan fisik dari
peternak untuk mengelola usaha ternaknya. Hal tersebut menunjukkan bahwa, peternak babi
memiliki potensi untuk dibina dan didampingi dalam upanya meningkatkan kemampuannya dalam

menangani limbah babi.
Pendidikan Formal. Pendidikan formal yang pernah diikuti oleh peternak mulai dari
pendidikan Sekolah Menengh Pertama (SMP) sebanyak tiga orang (10,00%), Sekolah Menengah
Atas (SMA) sebanyak 26 orang (86,66%), dan satu orang (3,34%) berpendidikan Sarjana (S1).
Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa, peternak babi di Desa Tua memiliki pendidikan
yang cukup untuk bisa mengadopsi inovasi yang berkaitan dengan penanganan limbah babi.
Pendidikan formal dan kondisi fisik dapat mempengaruhi cara berpikir seseorang, yang pada
akhirnya akan mempengaruhi kecepatan dalam mengadopsi suatu inovasi.
Pendidikan Non-Formal. Sebanyak 28 orang (93,33%) peternak belum pernah mendapat
pendidikan non-formal yang berkaitan dengan peternakan babi. Dua orang (6,67%) peternak

mengatakan pernah mendapat penyuluhan tentang pakan babi dari Dinas Peternakan Kabupaten
Tabanan. Pendidikan non-formal yang berkaitan dengan penanganan limbah babi belum pernah
didapat oleh seluruh (100,00%) peternak. Kondisi tersebut menyebabkan peternak tidak
memahami pentingnya penanganan limbah ternak babi. Berdasarkan hasil wawancara lebih
mendalam, alasan yang diberikan oleh 14 orang (46,66%) peternak adalah tidak pernah ada
penyuluhan tentang cara penanganan limbah babi; 15 orang (50;00%) peternak memberi alasan
karena sibuk sehingga tidak tahu tentang penyuluhan; dan sisanya sebanyak satu orang (3,34%)
peternak tidak memberi alasan. Tidak diperolehnya penyuluhan tentang penanganan limbah babi
oleh peternak, dapat menimbulkan rendahnya perilaku peternak dalam menangani limbah babi,

karena pada dasarnya perubahan perilaku peternak akan terjadi jika ada penyuluhan (Mardikanto,
1993 dan Molyono,2011).
Pemilikan Ternak Babi. Ternak babi yang dipelihara oleh peternak berkisar antara
sembilan sampai 144 ekor dengan rataan 27,04 ekor. Pemilikan ternak babi dibawah 100 ekor
masih tergolong dalam usaha sampingan (Mastika, 1991). Hal tersebut mengakibatkan peternak
belum mau berusaha secara maximal untuk menangani limbah babinya dengan benar. Peternak
bahkan tidak perduli dan menganggap sepele tentang masalah bau dan pemandangan yang kotor,
karena banyaknya limbah babi. Kondisi tersebut harus diubah dengan memberi penyuluhan
tentang pentingnya penanganan limbah babi secara tepat pada peternak.
Penguasaan Lahan. Luas lahan yang dikuasai oleh peternak berkisar antar dua sampai
0,55ha dengan rataan 0,11ha. Hal tersebut menunjukkan peternak babi di desa Tua termasuk
petani berlahan sempit. Kondisi tersebut juga menyebabkan peternak tidak dapat menangani
limbah babi secara makximal, karena terbentur oleh masalah keterbatasan lahan yang tersedia
untuk pengolahan limbah babi.

Pengalaman Beternak Babi. Peternak memiliki pengalaman beternak babi antara 2-4
tahun sebanyak satu orang (3,33%), >4 – 6 tahun sebanyak 10 orang (33,34%), >6 – 8 tahun
sebanyak 18 orang (60,00%), dan >6 – 8 ahun sebanyak satu orang (3,33%). Berdasarkan data
tesebut dapat dikatakan sbagian besar (60,00%) peternak memiliki pengalaman anrata 6-8 tahun,
jadi sudah cukup banyak pengalaman, namun belum menangani limbah babi secara benar. Hal

tersebut membutuhkan penanganan dari pemerintah, melalui penyuluhan denga metoda yang tepat
dan memberi inovasi yang memberi nilai tambah secara ekonomi.
Keikutsertaan dalam Kelompok Peternak. Peternak yang ikut menjadi anggota
kelompok hanya satu orang (3,33%), sedangkan sisanya sebanyak 29 orang (96,67%) tidak ikut
menjadi anggota kelompok. Peternak yang tidak ikut dalam kelompok memberikan berbagai
alasan seperti: karena tidak menguntungkan sebanyak tiga orang (10,00%), dengan alasan sibuk
sebanyak 10 orang (33,33%), dengan alasan berkelompok terlalu ribet karena banyak aturan
sebanyak delapan orang (26,66%), karena beternak hanya sebagai usaha sambilan sebanyak lima
orang (16,66%), karena tidak ada kelompok sebanyak satu orang (3,33%), dan tidak menjawab
sebanyak dua orang (6,66%). Kondisi tersebut dapat menyulitkan dalam memberikan penyuluhan
pada peternak babi, karena penyuluhan dengan metode kelompok sangat efektif untuk mengubah
perilaku peternak (Inggriati, 2014).
Perilaku Peternak Babi
Perilaku peternak yang diamati dalam penelitian ini terdiri dari: pengetahuan, sikap, dan
penerapan peternak dalam menangni limbah babi.
Pengetahuan. Hasil penelitian menunjukkan pencapaian skor pengetahuan peternak
berkisar antara 69,23% sampai 83,11%, dengan rataan 70,45% (dalam katagori tinggi) dari skor
maximum ideal 35. Peningkatan pengetahuan akan terjadi apabila proses penyuluhan tentang cara

menangani limbah dilakukan secara kontinyu, disertai dengan kemampuan penyuluh yang

memadai dalam menyampaikan inovasi (penyuluh yang professional). Menurut Asngari (2001)
bahwa, apabila penyuluhan tidak dilakukan secara kontinyu, maka akan terjadi kesenjangan antara
perkembangan kebutuhan manusia dengan kemajuan teknologi. Pengetahuan yang tergolong
tinggi pada peternak, ternyata tidak diikuti oleh sikap yang positif dan penerapan yang tinggi. Hal
tersebut berarti pengetahuan yang tinggi tanpa diikuti oleh sikap yang positif, tidak akan dapat
meningkatkan penerapan suatu inovasi oleh peternak babi di desa Tua.
Sikap. Hasil penelitian menunjukkan pencapaian prosentase skor berkisar antara 37,35%
sampai 50,22%, dengan rataan skor 46,70% (kategori negatif) dari skor maximum ideal 35. Hal
tersebut sesuai dengan pendapat Siagian (1988) yang menyatakan bahwa, sikap adalah suatu
bentuk pernyataan evaluatif oleh seseorang terhadap suatu obyek. Didukung oleh Donnelly (1996)
yang menyatakan bahwa, sikap adalah determinan perilaku, karena berkaitan dengan persepsi,
kepribadian dan motivasi. Peternak di desa Tua perlu ditingkatkan sikapnya menjadi lebih positif
terhadap penanganan limbah babi. Hal tersebut akan biaa dicapai apabila pemerintah memberikan
perhatian, dengan mendampingi dan memberikan inovasi teknologi pengolahan limbah yang tepat,
dan mudah dilakukan, serta memberi nilai lebih secara ekonomi. Inovasi yang dapat diberikan
adalah teknologi pembuatan pupuk kompos secara sederhana, dengan tidak membutuhkan lahan
yang luas untuk melakukannya, karena peternak di desa Tua termasuk peternak berlahan sempit.
Penerapan. Hasil penelitian menunjukkan pencapaian prosentase skor berkisar antara
36,55% sampai 49,65%, dengan rataan skor 50,55% (katagori rendah) dari skor maximum ideal
35. Kondisi tersebut juga berarti bahwa, untuk meningkatkan penerapan, dibutuhkan peningkatan

pengetahuan dan sikap yang memadai mengenai teknis penanganan limbah babi. Pentingnya
pengetahuan karena dapat merupakan faktor penentu bagi peternak dalam mengambil keputusan

untuk melakukan teknis penanganan limbah babi secara benar. Hal tersebut sesuai dengan
pendapat Rogers dan Shoemaker (1971), yang menyatakan bahwa, pengetahuan merupakan basis
dalam mengambil keputusan untuk menerima atau tidak suatu inovasi. Rendahnya penerapan
teknis penangnan limbah oleh peternak di desa Tua, disebabkan oleh peternak yang sibuk dengan
pekerjaan lain yang lebih cepat mendatangkan hasil, seperti menjadi buruh bangunan, ataupun
menjadi pedagang hasil pertanian, seperti sayuran. Berdasarkan kondisi tersebut, untuk dapat
meningkatkan penerapan teknis penanganan limbah, diperlukan inovasi teknologi yang memberi
keungan lebih besar dari pekerjaan yang telah dilakukan oleh peternak.
Hubungan antara Sikap dan Pengetahuan dengan Tingkat Penerapan. Faktor
pegetahuan berhubungan tidak nyata (p>0,10), sedangkan sikap berhubungan nyata (p