Hubungan antara Durasi Puasa Preoperatif dan Kadar Gula Darah Sebelum Induksi pada Pasien Operasi Elektif di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung | Hartanto | Jurnal Anestesi Perioperatif 822 3038 1 PB
Jurnal Anestesi Perioperatif
[JAP. 2016;4(2): 87–94]
ARTIKEL PENELITIAN
Hubungan antara Durasi Puasa Preoperatif dan Kadar Gula Darah
Sebelum Induksi pada Pasien Operasi Elektif
di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung
Budi Hartanto,1 Suwarman,2 Ruli Herman Sitanggang2
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUD Scholoo Keyen, Sorong Selatan,
2
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung
1
Abstrak
Puasa preoperatif merupakan keharusan sebelum dilakukan tindakan anestesi. Alasan utamanya adalah
untuk mengurangi volume lambung, tingkat keasaman lambung, dan mengurangi risiko aspirasi paru.
Namun, puasa preoperatif sering kali lebih lama daripada yang direkomendasikan karena berbagai sebab.
Tujuan penelitian ini mengetahui durasi puasa preoperatif pada pasien operasi elektif dan hubungan
antara durasi puasa preoperatif dan kadar gula darah sebelum induksi pasien operasi elektif di Rumah Sakit
Dr. Hasan Sadikin Bandung. Penelitian observasional dilakukan selama 1–31 Juni 2014 dengan melakukan
wawancara pasien sebelum induksi anestesi dan pengukuran kadar gula darah menggunakan glukometer.
Analisis korelasi menggunakan Uji Mann-Whitney. Hasil penelitian pada 371 pasien didapatkan lama puasa
dari makanan padat, durasi minimum adalah 4 jam, maksimum 20,5 jam, dan rata-rata 10,42 jam. Pada
puasa dari minuman, durasi puasa minimum adalah 2 jam, maksimum 18 jam dengan rata-rata 8,06 jam.
Terdapat 8 pasien dengan kadar gula darah kurang dari 70 mg/dL dengan rentang kadar gula darah 59–70
mg/dL dan rentang durasi puasa 6–18 jam. Tiga di antaranya orang lanjut usia di atas 60 tahun. Sebanyak
253 pasien berpuasa makanan padat >8 jam dan 357 pasien berpuasa minuman >2 jam. Simpulan, tidak
terdapat hubungan antara durasi puasa dan kadar gula darah sebelum induksi.
Kata kunci: Durasi puasa preoperatif, kadar gula darah, operasi elektif
Correlation between Preoperative Fasting Duration and Blood Glucose Level
before Induction in Elective Surgery Patients
in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung
Abstract
Preoperative fasting is a requisite before anesthesia. The main reason for preoperative fasting is to reduce
gastric volume and acidity and, thus, decrease the risk of pulmonary aspiration. However, preoperative fasting
is usually prolonged beyond the recommended time for various reasons. Despite the many adverse effects
of prolonged fasting, patients sometimes fast for a prolonged time when the surgery is delayed for different
reasons. The aim of this study was to assess the duration of preoperative fasting for elective surgery and
its correlation with blood glucose after preoperative fasting in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung.
An observational study was conducted from 1–31 June 2014. Patients were interviewed before induction,
and blood glucose level was measured using a glucometer. A correlation analysis was performed using
Mann-whitney test. All 371 elective surgery patients admitted during the study period were included. The
minimum, maximum, and mean fasting hours for food were 4, 20.5, and 10.42, respectively. The minimum,
maximum, and mean fasting hours for fluid were 2, 18, and 8.06, respectively. Only 8 patients had blood a
glucose level below 70 mg/dL with blood glucose levels range from 59 to 70 mg/dL and duration of fasting
range from 6 to 18 hours. Three of elderly patients, who was above 60 years old, participated in this study.
There were 253 patients (68.2%) fasted from solid food more than 8 hours and there were 357 (96.2%)
fasted from clear fluid more than 2 hours. It is concluded that there is no correlation between duration of
fasting and blood sugar level before induction.
Key words: Duration of preoperative fasting, elective surgery, blood glucose level
Korespondensi: Budi Hartanto, dr., SpAn, Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Rumah Sakit Umum Daerah
Scholoo Keyen, Sorong Selatan, Jl. Teminabuan-Ayamaru, Kab. Sorong Selatan, Papua Barat, Mobile 082116354527,
Email hartanto.budi@gmail.com
p-ISSN 2337-7909; e-ISSN 2338-8463; http:// dx.doi.org/10.15851/jap.v4n2.822
87
88
p-ISSN 2337-7909; e-ISSN 2338-8463; http:// dx.doi.org/10.15851/jap.v4n2.822
Pendahuluan
Puasa preoperatif pada pasien yang akan
menjalani operasi bersifat elektif merupakan
suatu keharusan sebelum tindakan operatif,
hal ini berguna untuk mengurangi volume dan
keasaman lambung serta mengurangi risiko
regurgitasi atau aspirasi yang lebih dikenal
dengan Mendelson’s syndrome selama anestesi
terutama pada saat induksi.1
Sewaktu dilakukan induksi anestesi, refleks
batuk dan menelan akan dihambat, sedangkan
makanan di dalam lambung meningkatkan
risiko aspirasi. Isi lambung sangatlah asam
dengan pH sekitar 1,5–3,5, regurgitasi sekitar
50 mL dari asam lambung dapat menyebabkan
iritasi serta inflamasi di paru-paru dan dapat
mengganggu pertukaran gas sehingga pada
akhirnya mengakibatkan kematian.1
Puasa preoperatif pada pasien pembedahan
elektif bertujuan untuk mengurangi volume
lambung tanpa menyebabkan rasa haus apalagi
dehidrasi. Sebuah panduan mempuasakan
pasien sebelum operasi elektif diperkenalkan
oleh Lister sejak tahun 1883. Tindakan ini
kemudian dibakukan oleh American Society of
Anesthesiologist (ASA) sejak tahun 1999 untuk
mempuasakan pasien dari makanan padat
maupun cair,2 tetapi puasa yang berlebihan
dapat menyebabkan komplikasi perioperatif
yang berbahaya.3
Kebiasaan mempuasakan pasien (nill per os)
yang dimulai tengah malam sebelum operasi
merupakan kebiasaan yang dilakukan sejak
lama ketika Mendelson melaporkan banyak
kejadian aspirasi pada pasien obstetrik yang
menjalani teknik anestesi umum.1 Akan tetapi,
berdasarkan hasil riset-riset terbaru kejadian
aspirasi pneumonia adalah hal yang jarang
terjadi pada era anestesi modern sehingga
mempuasakan pasien mulai tengah malam
menjadi tidak perlu, bahkan dapat berdampak
buruk pada pasien. Mulai tahun 1999 American
Society of Anesthesiologists membuat panduan
puasa preoperatif yang lebih liberal.2
Puasa preoperatif yang disarankan menurut
ASA adalah 6 jam untuk makanan padat dan 2
jam untuk air putih.2 Namun, pada praktiknya
instruksi puasa yang sering diterima pasien
JAP, Volume 4 Nomor 2, Agustus 2016
adalah puasa sejak tengah malam tanpa melihat
jadwal operasinya sehingga puasa preoperatif
pada pasien operasi elektif cenderung lebih
lama daripada yang disarankan.
Puasa preoperatif yang lebih lama akan
berdampak pada kondisi pasien preoperatif
serta pascaoperatif. Puasa preoperatif yang
lama menyebabkan resistensi insulin sehingga
memengaruhi kenaikan gula darah, terutama
jika lebih dari yang dianjurkan 6–8 jam dan
sering kali selama 10–16 jam.3 Puasa mulai
tengah malam juga mengakibatkan berbagai
tingkatan dehidrasi bergantung pada durasi
puasa.4 Efek samping puasa yang terlalu lama
termasuk rasa haus, lapar, sakit kepala, rasa
tidak nyaman, dehidrasi, hipovolemia, dan
hipoglikemia. Respons metabolik terhadap
pembedahan dan trauma akan mengakibatkan
peningkatan laju metabolisme dan keadaan
hipermetabolisme.4
Insidensi hipoglikemia pada pasien geriatri
yang berpuasa 8–14 jam sebesar 17,6–32,4%;5
sedangkan pada pediatrik jarang terjadi.6
Puasa yang terlalu lama pada pasien pediatrik
usia 6 bulan–6 tahun dapat menyebabkan
hipotensi saat induksi dibanding dengan
anak yang mendapatkan minum dekstrose
5% 3–4 jam sebelum induksi.6 Puasa minum
preoperatif juga merupakan salah satu faktor
yang berpengaruh terhadap kejadian delirium
pascaoperasi saat di ruang pemulihan (11%)
maupun di bangsal (4,2%) selain pemberian
analgesia selama operasi.3,7
Panduan puasa preoperatif yang diterapkan
di berbagai negara diperbolehkan minum clear
fluids sampai dengan 2 jam sebelum operasi.
Pemberian minuman kaya karbohidrat 2 jam
sebelum operasi ternyata tidak meningkatkan
volume gaster atau meningkatkan keasaman,
tetapi pemberian ini terbatas pada pasien
yang tidak memiliki gangguan motilitas usus
seperti gastroparesis, obstruktif mekanis,
gastroesofageal refluks, dan morbid obese.2,4
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui
lama/durasi puasa preoperatif rata-rata dan
hubungan antara durasi puasa preoperatif dan
kadar gula darah sewaktu pada pasien yang
dilakukan operasi elektif di Rumah Sakit Dr.
Hasan Sadikin Bandung.
Budi Hartanto: Hubungan antara Durasi Puasa Preoperatif dan Kadar Gula Darah Sebelum Induksi
pada Pasien Operasi Elektif di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung
Subjek dan Metode
Penelitian ini bersifat deskriptif observasional
prospektif yang dilakukan setelah mendapat
persetujuan dari Komite Etik Penelitian
Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran/Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin
Bandung. Penelitian dilakukan terhadap 371
subjek dengan kriteria inklusi adalah pasien
yang terjadwal operasi elektif yang dirawat
inap di Instalasi Bedah Sentral lantai 3 Rumah
Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung pada periode
1–30 Juni 2014. Kriteria eksklusi adalah
pasien memiliki penyakit diabetes melitus.
Penelitian dilakukan dengan memberikan
kuesioner pada pasien operasi elektif selama
1 bulan. Setiap pasien yang menjalani operasi
elektif diberikan kuesioner mengenai data
umum berupa nama, jenis kelamin, berat
dan tinggi badan, nomor rekam medis, usia,
diagnosis serta tindakan operasi, dan urutan
jadwal di kamar operasi.
Pola puasa didapatkan dengan menanyakan
jam diinstruksikan berpuasa, kapan makan
dan minum terakhir, serta riwayat penyakit
diabetes melitus. Kemudian, dicatat waktu
mulai induksi, jarak antara makan dan minum
terakhir sampai dengan mulai operasi, dan
dilakukan pemeriksaan gula darah sewaktu
sebelum dilakukan induksi di kamar operasi.
Gambaran pola puasa pada pasien elektif
adalah berupa durasi puasa yang dianjurkan,
durasi puasa sebenarnya. Analisis hubungan
antara puasa preoperatif dan gula darah
sewaktu sebelum induksi dilakukan dengan
uji analisis Mann-Whitney. Data dianalisis
secara deskriptif observasional dan disajikan
dalam ukuran jumlah serta persentase untuk
data kategorik. Analisis data penelitian ini
mengunakan program statistical product and
service solution (SPSS) for windows versi 20.0.
Hasil
Penelitian ini telah dilakukan terhadap 371
orang, terdiri atas 157 orang (42,3%) lakilaki dan 214 orang (57,7%) perempuan.
Sebagian besar responden adalah perempuan
dan berusia 41–50 tahun dengan tingkat
89
pendidikan adalah SMA (33,1%) dan SD
(30,5%). Kasus operasi terbanyak adalah
bedah onkologi 65 orang (17,5%) dan bedah
digestif 62 orang (16,7%; Tabel 1).
Sebagian besar pasien memiliki durasi
puasa dari makanan padat sekitar 6–8 jam.
Lama puasa makanan padat rata-rata 10,42
jam dengan rentang durasi mulai dari 4 jam
Tabel 1 Karakteristik Umum Pasien
Karakteristik
Pasien
%
Laki-laki
157
42,3
Perempuan
214
57,7
≤10
35
9,4
11–20
28
7,5
21–30
42
11,3
31–40
52
14,0
41–50
88
23,7
51–60
71
19,1
>60
55
14,8
Tidak ada
30
8,1
SD
113
30,5
SMP
62
16,7
SMA
123
33,1
D-3/S-1/S-2
43
11,6
Bedah onkologi
65
17,5
Bedah digestif
62
16,7
Ortopedi
48
12,9
Obgin
41
11,0
Bedah saraf
26
7,0
Urologi
24
6,5
Bedah anak
24
6,5
Bedah plastik
22
5,9
Bedah mulut
21
5,7
Jenis kelamin
Usia (tahun)
Pendidikan
Bagian
THT-KL
20
5,4
Bedah toraks
14
3,8
Bedah vaskular
4
1,0
JAP, Volume 4 Nomor 2, Agustus 2016
90
p-ISSN 2337-7909; e-ISSN 2338-8463; http:// dx.doi.org/10.15851/jap.v4n2.822
Tabel 2 Durasi Puasa Makanan Padat
Tabel 3 Durasi Puasa Minuman
Durasi (jam)
Frekuensi
%
Durasi (jam)
Frekuensi
%
0–2
0
0,0
0–2
14
3,8
2–4
1
0,3
2–4
50
13,5
4–6
22
5,9
4–6
37
10,0
6–8
95
25,6
6–8
97
26,1
8–10
93
25,1
8–10
88
23,7
10–12
70
18,9
10–12
54
14,6
12–14
37
10,0
12–14
18
4,9
14–16
30
8,1
14–16
9
2,4
16–18
9
2,4
16–18
3
0,8
18–20
9
2,4
18–20
0
0,0
>20
5
1,3
>20
1
0,3
371
100,0
371
100,0
Total
hingga 20,5 jam. Sejumlah 253 pasien (68,2%)
berpuasa dari makanan padat >8 jam (Tabel
2).
Sebagian besar pasien memiliki lama puasa
dari minuman selama 6–8 jam. Lama puasa
minuman rata–rata sebesar 8,1 jam dengan
rentang mulai dari 2 hingga 20 jam. Sejumlah
357 pasien (96,2%) berpuasa dari minuman
jernih >2 jam (Tabel 3).
Tabel 4 Gula Darah Sewaktu pada Pasien
Puasa Makanan Padat Preoperatif
Durasi Puasa
Makanan Padat
(jam)
Rata-rata
GDS
(mg/dL)
Rentang
0–2
-
0
2–4
102,00
102 – 102
4–6
102,27
70 – 175
6–8
102,73
59 – 166
8–10
100,46
74 – 177
10–12
96,11
59 – 162
12–14
96,22
69 – 200
14–16
97,57
61 – 139
16 – 18
90,44
67 – 116
18 – 20
87,89
72 – 130
>20
96,08
83 – 111
Rata-rata
keseluruhan
99,08
59 – 200
JAP, Volume 4 Nomor 2, Agustus 2016
Total
Kadar gula darah sewaktu (GDS) rata–rata
terbesar terdapat pada durasi 6–8 jam. Kadar
keseluruhan GDS rata–rata sebesar 99,08mg/
dL. Kadar GDS rata–rata terendah ada pada
kelompok yang berpuasa 18–20 jam (87,89
mg/dL; Tabel 4).
Dari 371 pasien terdapat 8 orang (2,2%)
mengalami hipoglikemia dengan kadar gula
darah sewaktu ≤70mg/dL, seluruh pasien
yang hipoglikemia berpuasa lebih dari 6 jam
dengan rentang waktu durasi puasa 6–18 jam
dan rentang gula darah sewaktu 59–70 mg/
dL. Hipoglikemia lebih banyak ditemukan
pada usia >60 tahun (Tabel 5).
Nilai korelasi makanan padat terhadap
GDS sebesar -0,174 dan nilai p dihitung
berdasarkan Uji Mann-Whitney didapatkan
p
Jurnal Anestesi Perioperatif
[JAP. 2016;4(2): 87–94]
ARTIKEL PENELITIAN
Hubungan antara Durasi Puasa Preoperatif dan Kadar Gula Darah
Sebelum Induksi pada Pasien Operasi Elektif
di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung
Budi Hartanto,1 Suwarman,2 Ruli Herman Sitanggang2
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUD Scholoo Keyen, Sorong Selatan,
2
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung
1
Abstrak
Puasa preoperatif merupakan keharusan sebelum dilakukan tindakan anestesi. Alasan utamanya adalah
untuk mengurangi volume lambung, tingkat keasaman lambung, dan mengurangi risiko aspirasi paru.
Namun, puasa preoperatif sering kali lebih lama daripada yang direkomendasikan karena berbagai sebab.
Tujuan penelitian ini mengetahui durasi puasa preoperatif pada pasien operasi elektif dan hubungan
antara durasi puasa preoperatif dan kadar gula darah sebelum induksi pasien operasi elektif di Rumah Sakit
Dr. Hasan Sadikin Bandung. Penelitian observasional dilakukan selama 1–31 Juni 2014 dengan melakukan
wawancara pasien sebelum induksi anestesi dan pengukuran kadar gula darah menggunakan glukometer.
Analisis korelasi menggunakan Uji Mann-Whitney. Hasil penelitian pada 371 pasien didapatkan lama puasa
dari makanan padat, durasi minimum adalah 4 jam, maksimum 20,5 jam, dan rata-rata 10,42 jam. Pada
puasa dari minuman, durasi puasa minimum adalah 2 jam, maksimum 18 jam dengan rata-rata 8,06 jam.
Terdapat 8 pasien dengan kadar gula darah kurang dari 70 mg/dL dengan rentang kadar gula darah 59–70
mg/dL dan rentang durasi puasa 6–18 jam. Tiga di antaranya orang lanjut usia di atas 60 tahun. Sebanyak
253 pasien berpuasa makanan padat >8 jam dan 357 pasien berpuasa minuman >2 jam. Simpulan, tidak
terdapat hubungan antara durasi puasa dan kadar gula darah sebelum induksi.
Kata kunci: Durasi puasa preoperatif, kadar gula darah, operasi elektif
Correlation between Preoperative Fasting Duration and Blood Glucose Level
before Induction in Elective Surgery Patients
in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung
Abstract
Preoperative fasting is a requisite before anesthesia. The main reason for preoperative fasting is to reduce
gastric volume and acidity and, thus, decrease the risk of pulmonary aspiration. However, preoperative fasting
is usually prolonged beyond the recommended time for various reasons. Despite the many adverse effects
of prolonged fasting, patients sometimes fast for a prolonged time when the surgery is delayed for different
reasons. The aim of this study was to assess the duration of preoperative fasting for elective surgery and
its correlation with blood glucose after preoperative fasting in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung.
An observational study was conducted from 1–31 June 2014. Patients were interviewed before induction,
and blood glucose level was measured using a glucometer. A correlation analysis was performed using
Mann-whitney test. All 371 elective surgery patients admitted during the study period were included. The
minimum, maximum, and mean fasting hours for food were 4, 20.5, and 10.42, respectively. The minimum,
maximum, and mean fasting hours for fluid were 2, 18, and 8.06, respectively. Only 8 patients had blood a
glucose level below 70 mg/dL with blood glucose levels range from 59 to 70 mg/dL and duration of fasting
range from 6 to 18 hours. Three of elderly patients, who was above 60 years old, participated in this study.
There were 253 patients (68.2%) fasted from solid food more than 8 hours and there were 357 (96.2%)
fasted from clear fluid more than 2 hours. It is concluded that there is no correlation between duration of
fasting and blood sugar level before induction.
Key words: Duration of preoperative fasting, elective surgery, blood glucose level
Korespondensi: Budi Hartanto, dr., SpAn, Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Rumah Sakit Umum Daerah
Scholoo Keyen, Sorong Selatan, Jl. Teminabuan-Ayamaru, Kab. Sorong Selatan, Papua Barat, Mobile 082116354527,
Email hartanto.budi@gmail.com
p-ISSN 2337-7909; e-ISSN 2338-8463; http:// dx.doi.org/10.15851/jap.v4n2.822
87
88
p-ISSN 2337-7909; e-ISSN 2338-8463; http:// dx.doi.org/10.15851/jap.v4n2.822
Pendahuluan
Puasa preoperatif pada pasien yang akan
menjalani operasi bersifat elektif merupakan
suatu keharusan sebelum tindakan operatif,
hal ini berguna untuk mengurangi volume dan
keasaman lambung serta mengurangi risiko
regurgitasi atau aspirasi yang lebih dikenal
dengan Mendelson’s syndrome selama anestesi
terutama pada saat induksi.1
Sewaktu dilakukan induksi anestesi, refleks
batuk dan menelan akan dihambat, sedangkan
makanan di dalam lambung meningkatkan
risiko aspirasi. Isi lambung sangatlah asam
dengan pH sekitar 1,5–3,5, regurgitasi sekitar
50 mL dari asam lambung dapat menyebabkan
iritasi serta inflamasi di paru-paru dan dapat
mengganggu pertukaran gas sehingga pada
akhirnya mengakibatkan kematian.1
Puasa preoperatif pada pasien pembedahan
elektif bertujuan untuk mengurangi volume
lambung tanpa menyebabkan rasa haus apalagi
dehidrasi. Sebuah panduan mempuasakan
pasien sebelum operasi elektif diperkenalkan
oleh Lister sejak tahun 1883. Tindakan ini
kemudian dibakukan oleh American Society of
Anesthesiologist (ASA) sejak tahun 1999 untuk
mempuasakan pasien dari makanan padat
maupun cair,2 tetapi puasa yang berlebihan
dapat menyebabkan komplikasi perioperatif
yang berbahaya.3
Kebiasaan mempuasakan pasien (nill per os)
yang dimulai tengah malam sebelum operasi
merupakan kebiasaan yang dilakukan sejak
lama ketika Mendelson melaporkan banyak
kejadian aspirasi pada pasien obstetrik yang
menjalani teknik anestesi umum.1 Akan tetapi,
berdasarkan hasil riset-riset terbaru kejadian
aspirasi pneumonia adalah hal yang jarang
terjadi pada era anestesi modern sehingga
mempuasakan pasien mulai tengah malam
menjadi tidak perlu, bahkan dapat berdampak
buruk pada pasien. Mulai tahun 1999 American
Society of Anesthesiologists membuat panduan
puasa preoperatif yang lebih liberal.2
Puasa preoperatif yang disarankan menurut
ASA adalah 6 jam untuk makanan padat dan 2
jam untuk air putih.2 Namun, pada praktiknya
instruksi puasa yang sering diterima pasien
JAP, Volume 4 Nomor 2, Agustus 2016
adalah puasa sejak tengah malam tanpa melihat
jadwal operasinya sehingga puasa preoperatif
pada pasien operasi elektif cenderung lebih
lama daripada yang disarankan.
Puasa preoperatif yang lebih lama akan
berdampak pada kondisi pasien preoperatif
serta pascaoperatif. Puasa preoperatif yang
lama menyebabkan resistensi insulin sehingga
memengaruhi kenaikan gula darah, terutama
jika lebih dari yang dianjurkan 6–8 jam dan
sering kali selama 10–16 jam.3 Puasa mulai
tengah malam juga mengakibatkan berbagai
tingkatan dehidrasi bergantung pada durasi
puasa.4 Efek samping puasa yang terlalu lama
termasuk rasa haus, lapar, sakit kepala, rasa
tidak nyaman, dehidrasi, hipovolemia, dan
hipoglikemia. Respons metabolik terhadap
pembedahan dan trauma akan mengakibatkan
peningkatan laju metabolisme dan keadaan
hipermetabolisme.4
Insidensi hipoglikemia pada pasien geriatri
yang berpuasa 8–14 jam sebesar 17,6–32,4%;5
sedangkan pada pediatrik jarang terjadi.6
Puasa yang terlalu lama pada pasien pediatrik
usia 6 bulan–6 tahun dapat menyebabkan
hipotensi saat induksi dibanding dengan
anak yang mendapatkan minum dekstrose
5% 3–4 jam sebelum induksi.6 Puasa minum
preoperatif juga merupakan salah satu faktor
yang berpengaruh terhadap kejadian delirium
pascaoperasi saat di ruang pemulihan (11%)
maupun di bangsal (4,2%) selain pemberian
analgesia selama operasi.3,7
Panduan puasa preoperatif yang diterapkan
di berbagai negara diperbolehkan minum clear
fluids sampai dengan 2 jam sebelum operasi.
Pemberian minuman kaya karbohidrat 2 jam
sebelum operasi ternyata tidak meningkatkan
volume gaster atau meningkatkan keasaman,
tetapi pemberian ini terbatas pada pasien
yang tidak memiliki gangguan motilitas usus
seperti gastroparesis, obstruktif mekanis,
gastroesofageal refluks, dan morbid obese.2,4
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui
lama/durasi puasa preoperatif rata-rata dan
hubungan antara durasi puasa preoperatif dan
kadar gula darah sewaktu pada pasien yang
dilakukan operasi elektif di Rumah Sakit Dr.
Hasan Sadikin Bandung.
Budi Hartanto: Hubungan antara Durasi Puasa Preoperatif dan Kadar Gula Darah Sebelum Induksi
pada Pasien Operasi Elektif di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung
Subjek dan Metode
Penelitian ini bersifat deskriptif observasional
prospektif yang dilakukan setelah mendapat
persetujuan dari Komite Etik Penelitian
Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran/Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin
Bandung. Penelitian dilakukan terhadap 371
subjek dengan kriteria inklusi adalah pasien
yang terjadwal operasi elektif yang dirawat
inap di Instalasi Bedah Sentral lantai 3 Rumah
Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung pada periode
1–30 Juni 2014. Kriteria eksklusi adalah
pasien memiliki penyakit diabetes melitus.
Penelitian dilakukan dengan memberikan
kuesioner pada pasien operasi elektif selama
1 bulan. Setiap pasien yang menjalani operasi
elektif diberikan kuesioner mengenai data
umum berupa nama, jenis kelamin, berat
dan tinggi badan, nomor rekam medis, usia,
diagnosis serta tindakan operasi, dan urutan
jadwal di kamar operasi.
Pola puasa didapatkan dengan menanyakan
jam diinstruksikan berpuasa, kapan makan
dan minum terakhir, serta riwayat penyakit
diabetes melitus. Kemudian, dicatat waktu
mulai induksi, jarak antara makan dan minum
terakhir sampai dengan mulai operasi, dan
dilakukan pemeriksaan gula darah sewaktu
sebelum dilakukan induksi di kamar operasi.
Gambaran pola puasa pada pasien elektif
adalah berupa durasi puasa yang dianjurkan,
durasi puasa sebenarnya. Analisis hubungan
antara puasa preoperatif dan gula darah
sewaktu sebelum induksi dilakukan dengan
uji analisis Mann-Whitney. Data dianalisis
secara deskriptif observasional dan disajikan
dalam ukuran jumlah serta persentase untuk
data kategorik. Analisis data penelitian ini
mengunakan program statistical product and
service solution (SPSS) for windows versi 20.0.
Hasil
Penelitian ini telah dilakukan terhadap 371
orang, terdiri atas 157 orang (42,3%) lakilaki dan 214 orang (57,7%) perempuan.
Sebagian besar responden adalah perempuan
dan berusia 41–50 tahun dengan tingkat
89
pendidikan adalah SMA (33,1%) dan SD
(30,5%). Kasus operasi terbanyak adalah
bedah onkologi 65 orang (17,5%) dan bedah
digestif 62 orang (16,7%; Tabel 1).
Sebagian besar pasien memiliki durasi
puasa dari makanan padat sekitar 6–8 jam.
Lama puasa makanan padat rata-rata 10,42
jam dengan rentang durasi mulai dari 4 jam
Tabel 1 Karakteristik Umum Pasien
Karakteristik
Pasien
%
Laki-laki
157
42,3
Perempuan
214
57,7
≤10
35
9,4
11–20
28
7,5
21–30
42
11,3
31–40
52
14,0
41–50
88
23,7
51–60
71
19,1
>60
55
14,8
Tidak ada
30
8,1
SD
113
30,5
SMP
62
16,7
SMA
123
33,1
D-3/S-1/S-2
43
11,6
Bedah onkologi
65
17,5
Bedah digestif
62
16,7
Ortopedi
48
12,9
Obgin
41
11,0
Bedah saraf
26
7,0
Urologi
24
6,5
Bedah anak
24
6,5
Bedah plastik
22
5,9
Bedah mulut
21
5,7
Jenis kelamin
Usia (tahun)
Pendidikan
Bagian
THT-KL
20
5,4
Bedah toraks
14
3,8
Bedah vaskular
4
1,0
JAP, Volume 4 Nomor 2, Agustus 2016
90
p-ISSN 2337-7909; e-ISSN 2338-8463; http:// dx.doi.org/10.15851/jap.v4n2.822
Tabel 2 Durasi Puasa Makanan Padat
Tabel 3 Durasi Puasa Minuman
Durasi (jam)
Frekuensi
%
Durasi (jam)
Frekuensi
%
0–2
0
0,0
0–2
14
3,8
2–4
1
0,3
2–4
50
13,5
4–6
22
5,9
4–6
37
10,0
6–8
95
25,6
6–8
97
26,1
8–10
93
25,1
8–10
88
23,7
10–12
70
18,9
10–12
54
14,6
12–14
37
10,0
12–14
18
4,9
14–16
30
8,1
14–16
9
2,4
16–18
9
2,4
16–18
3
0,8
18–20
9
2,4
18–20
0
0,0
>20
5
1,3
>20
1
0,3
371
100,0
371
100,0
Total
hingga 20,5 jam. Sejumlah 253 pasien (68,2%)
berpuasa dari makanan padat >8 jam (Tabel
2).
Sebagian besar pasien memiliki lama puasa
dari minuman selama 6–8 jam. Lama puasa
minuman rata–rata sebesar 8,1 jam dengan
rentang mulai dari 2 hingga 20 jam. Sejumlah
357 pasien (96,2%) berpuasa dari minuman
jernih >2 jam (Tabel 3).
Tabel 4 Gula Darah Sewaktu pada Pasien
Puasa Makanan Padat Preoperatif
Durasi Puasa
Makanan Padat
(jam)
Rata-rata
GDS
(mg/dL)
Rentang
0–2
-
0
2–4
102,00
102 – 102
4–6
102,27
70 – 175
6–8
102,73
59 – 166
8–10
100,46
74 – 177
10–12
96,11
59 – 162
12–14
96,22
69 – 200
14–16
97,57
61 – 139
16 – 18
90,44
67 – 116
18 – 20
87,89
72 – 130
>20
96,08
83 – 111
Rata-rata
keseluruhan
99,08
59 – 200
JAP, Volume 4 Nomor 2, Agustus 2016
Total
Kadar gula darah sewaktu (GDS) rata–rata
terbesar terdapat pada durasi 6–8 jam. Kadar
keseluruhan GDS rata–rata sebesar 99,08mg/
dL. Kadar GDS rata–rata terendah ada pada
kelompok yang berpuasa 18–20 jam (87,89
mg/dL; Tabel 4).
Dari 371 pasien terdapat 8 orang (2,2%)
mengalami hipoglikemia dengan kadar gula
darah sewaktu ≤70mg/dL, seluruh pasien
yang hipoglikemia berpuasa lebih dari 6 jam
dengan rentang waktu durasi puasa 6–18 jam
dan rentang gula darah sewaktu 59–70 mg/
dL. Hipoglikemia lebih banyak ditemukan
pada usia >60 tahun (Tabel 5).
Nilai korelasi makanan padat terhadap
GDS sebesar -0,174 dan nilai p dihitung
berdasarkan Uji Mann-Whitney didapatkan
p