KONFLIK ITU SELALU ADA SPONSORNYA

KONFLIK ITU SELALU ADA SPONSORNYA
Setelah Pemerintah rezim Orde Baru runtuh, banyak terjadi konflik horizontal di
tanah air, beberapa kasus yang terjadi diantaranya adalah kasus Sampit, Ambon,
Aceh, Poso dan lain-lain. Akar masalah dalam konflik tersebut sangat serius
karena menyangkut idiologi, etnik dan agama. Secara preventif kenapa
Pemerintah dan aparat keamanan selalu gagal dalam menangani konflik horizontal
tersebut? Benarkah konflik itu lebih disebabkan oleh macetnya komunikasi
sosial, politik dan komunikasi budaya antar kelompok masyarakat, ataukah ada
sebuah skenario besar dari pihak ketiga yang menghendaki supaya negara ini
hancur? Bagaimana solusinya, berikut kita ikuti wawancara Ton Martono dari SM
dengan Prof.DR.Sunyoto Usman, Pengamat politik dan Dekan Fisipol UGM..
Beberapa waktu menjelang jatuhnya pemerintahan Orde Baru, kenapa di
Indonesia muncul serentetan konflik horizontal di berbagai kota dan berbagai
daerah?
Munculnya konflik itu lebih dipengaruhi oleh adanya sistem dari rezim
pemerintahah Orde Baru yang sentralistik dan otoriter. Tidak ada keadilan antara
pusat dan daerah dan di daerah itu yang diuntungkan hanya yang memilki akses
dengan pusat baik langsung maupun tidak langsung, sehingga kemudian terjadi
juga ketidakadilan di daerah. Ketika ketidakadilan ini bertemu dengan
primordialisme di daerah, maka sebenarnya secara tidak langsung membentuk
kekuatan-kekuatan kelompok potensial yang bisa menimbulkan konflik.

Apakah konflik horizontal itu merupakan pengalihan dari konflik vertikal yang
sebelumnya selalu dimenangkan oleh pemerintah pusat bersama militer?
Saya kira ini bukan pengalihan, dan menurut hemat saya ini merupakan dampak
dari kuatnya pemerintah pusat, sebenarnya di daerah itu ada kalangan tertentu
yang menjadi kliennya pusat. Jadi sebenarnya konflik itu terjadi antara mereka
yang menjadi kliennya pusat dengan mereka yang tidak. Jadi ini lebih kepada
dampak dari kultur politik Orde Baru yang sangat sentralistik
Apakah konflik horizontal itu lebih disebabkan oleh macetnya komunikasi sosial,
komunikasi politik, dan komunikasi budaya antar kelompok masyarakat, atau
karena sebab lain?
Sebetulnya begini, memang komunikasi politik kita tidak jalan, dalam arti orang
itu tidak tahu apa yang harus diperbuat di daerahnya, karena semua itu tergantung
dari pusat. Komunikasi politik yang terjadi diantara berbagai kekuatan yang
tumbuh di daerah itu tidak jalan dan selalu menunggu kehendak dari pusat. Hal ini
sudah terbangun selama lebih 30 tahun. Jadi selama ini lembaga-lembaga mediasi
yang bisa mempertemukan berbagai macam kelompok dan lembaga-lembaga
lokal yang sudah ada yang dibentuk Orde Baru itu hanya sebagai kepanjangan
tangan pusat saja. Mereka bukan merupakan mediasi bertemunya orang-orang di
daerah.


Banyak pengamat menduga bahwa konflik horizontal itu merupakan konflik
buatan, tidak alami, karena merupakan produk dari kerja intelejen militer
dalam negeri dan intelejen asing. Aktor intelejen yang sering disebut sebagai
provokator. Dan provokator yang tertangkap tangan dari berbagai kasus
kerusuhan sebagaian besar dari kalangan tentara, dan selalu dilepaskan oleh
polisi. Di wilayah konflik juga sering ditemukan orang asing yang
mencurigakan, jadi benarkah konflik itu murni terjadi antar kelompok
dalam masyarakat atau ada sponsornya?
Memang selama ini terjadinya konflik itu selalu ada yang menyeponsori, jadi
konflik buatan itu selalu ada hingga sekarang. Dan di negara manapun selalu ada,
Cuma persoalan di Indonesia itu jadi sangat rentan. Ibarat ada sebuah virus yang
menyebar dimana-mana, tetapi kemudian ada orang yang tetap sehat, tidak
terkena virus, ada yang kemudian mudah terkena penyakit. Kita ini termasuk yang
kedua, yakni gampang sekali terkena virus, gampang sekali kena provokasi. Jadi
persoalannya, pertama karena kita tidak pernah memperoleh pendidikan politik
secara baik, bahwa perbedaan-perbedaan itu sebenarnya sangat wajar, orang harus
saling menghargai hak orang lain dan sebagainya. Jadi selama Pemerintahan Orde
Baru kita tidak pernah memperolehnya. Lalu implikasikasinya adalah kita jadi
gampang saling curiga, saling tidak percaya satu sama lain, gampang panas dan
kemudian timbul dendam dan sebagainya. Nah, inilah yang kemudian kita sangat

rentan terhadap virus. Ketika ada virus sedikit saja yang berupa provokasi itu kita
gampang sekali termakan, karena kita tidak lagi punya filter, karena kemampuan
kita untuk menyaring itu sangat lemah. Ini gara –gara semua kebijakan dulunya
ditentukan oleh pemerintah pusat, sementara di daearh tidak berkembang adanya
filter penyaring, sehingga sangat mudah terhasut oleh ulah provokasi.
Setelah runtuhnya rezim Orba, kenapa konflik horizontal itu masih terus
terjadi, misalnya kasus Sampit, Ambon, Aceh, Poso dan lain sebagainya,
masih ditambah dengan konflik horizontal yang banyak mewarnai di Jawa,
termasuk konflik antar desa, juga tawuran massal antar pendukung partai
politik, konflik di luar Jawa itu memilki akar yang serius, misalnya masalah
idiologi, agama, etnik, dan lain-lain, sementara konflik di daerah di Jawa
biasanya hanya kasus sepele, gara-gara senggolan bisa berubah jadi tawuran
massal, kenapa bisa demikian?
Sekarang ini, kita masih sangat rentan terhadap virus berupa provokasi, dulu
kerentanan itu akibat dari tindakan represif dari rezim Orde Baru yang sangat
otoriter, kemudian sekarang itu terjadi ketidak percayaan publik, jadi sekarang
orang mulai luntur dan mulai tidak percaya terhadap birokrasi, tidak percaya
terhadap lembaga peradilan, lembaga legislative dan lain-lain.
Sekarang ini mereka bisa menyelesaikan persoalan dengan konstruksi mereka
sendiri. Jadi aturan-aturan yang selama ini dibangun oleh pemerintah memang

tidak untuk diataati, karena masyarakat telah menganggap bahwa persoalanpersoalan selama ini tidak pernah terselesaikan, sehingga orang tidak percaya
kepada polisi, kepada hakim, jaksa, dan aparat penegak hukum lainnya. Nah, jadi
persoalan-persoalan konflik yang terjadi di beberapa daerah itu dicoba
penyelesaiannya dengan konstruksi pikiran mereka sendiri, dan yang terjadi di
lapangan adalah dendam atar etnis, antar agama, antar kelompok yang berakibat

konflik massal dan saling membalas diantara mereka. Jadi menurut saya sekarang
ini tidak ada pengelola konflikyang sebenarnya, akibat dari hancurnya institusiinstitusi lokal selama 30 tahun lebih. Misalnya institusi lokal di Ambon “Pela
Gadong” yang dulu merupakan media yang paling ampuh untuk mendamaikan
konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat, sekarang tidak mempan lagi. Di
daerah-daerah lain mengalami nasib yang sama.
Lalu untuk mengatasi konflik horizontal yang berbasis nilai besar, dan
konflik yang berbasis pada kasus sepele, komunikasi sosial, politik, dan
komunikasi budaya macama apa yang harus dilakukan?Apakah spirit
agama yang cinta damai bisa dijadikan sebagai faktor penting untuk
mengatasi konflik semacam itu, dan bagaimana seharusnya para pemimpin
agama harus bersikap dalam situasi sosial sekarang ini, benarkah peran
mereka masih strategis?
Kita memerlukan sebuah institusi, mediasi yang bisa menjembatani komunikasi
antar kelompok anggota masyarakat, nah institusi itu menurut hemat saya harus

ditempati oleh orang-orang yang punya kharisma, orang-orang yang arif ,bukan
dari politisi. Dan saya kira organisasi besar keagamaan seperti NU dan
Muhammadiyah bisa menjadi mediasi dan menjadi institusi untuk menjembatani
perbedaan-perbedaan tersebut. Hanya saja salah satu syarat yang diperlukan
adalah orang yang menjadi pemimpin organisasi keagamaan itu seharusnya bukan
politisi, urusan politik serahkan saja sepenuhnya pada pemimpin partai politik,
mereka justru menarik diri dari kancah perpolitikan, sehingga bisa merengkuh
perbedaan-perbedaan yang ada dalam masyarakat, sehingga kiprah mereka tidak
memiliki pamrih apa –apa kecuali untuk kesejahteraan umatnya dan lebih pada
posisi yang netral. Yang kedua diperlukan adanya komunikasi sosial diatara
mereka secara intensif yang dipelopori oleh organisasi –organisasi keagamaan, di
sini Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama memilki peran yang sangat potensial
untuk keperluan itu.
Seperti di Philipina misanya, pihak gereja bisa melakukan peran optimal ketika
terjadi konflik keras para politisi dari berbagai basis kelompok masyarakat,
gereja bisa menjadi mediasi yang sangat handal dan bisa menghentikan konflik
diatara mereka, karena gerakan meraka masih murni, mengutamakan jaringan
komunikasi sosial yang ada dan menempatkan diri bukan sebagai pendukung
salah satu massa tertentu, tetapi berdiri pada posisi netral, dan pihak mereka bisa
memberikan nasehat dan pengarahan-pengarahan sehingga massa yang bertikai

bisa didamaikan..
Melihat fenomena tersebut, apa harapan anda terhadap generasi muda, agar
mereka dapat berperan mencegah konflik dan aktif melakukan resolusi jika
konflik itu terjadi di lingkungannya?
Generasi muda kita ini harus diajak untuk meninggalkan pikiran-pikiran
primordialisme, mereka harus dilatih dengan rasional, menghargai perbedaanperbedaan yang ada, dan yang yang lebih penting lagi mereka harus memahami
tiga pilar demokrasi, yakni adanya kompetisi, partisipasi dan keterbukaan. Kalau
kita yakini bahwa demokrasi itu memang menjadi bagian yang penting dari proses
politik negeri ini, maka harus dibiasakan dengan kompetisi, tetapi kompetesi ini
harus sehat, artinya yang menang itu tidak harus mengecilkan yang kalah,

sebaliknya yang kalah tidak boleh dendam, tetapi justru kearifan dan yang
menang perlu mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang kalah dengan
lapang dada, lalu partisipasi ini juga seperti itu , jangan kemudian hanya berhenti
pada merebut dan mempertahankan kekuasaan, tetapi lebih dari itu bagaimana
yakni partisipasi semua pihak sangat diharapkan. Tidak bisa kesejahteraan itu
hanya untuk kalangan tertentu saja. Kemudian keterbukaan itu harus ada
pertanggungjawaban bahwa semua aktivitasnya bukan untuk kepentingan
kelompoknya tetapi untuk kepentingan kolektif dan itu harus transparan dan ada
akuntabilitas publik. Jadi generasi muda harus dibiasakan untuk diajak berfikir

secara rasional. Sebab kalau generasi muda ini selalu dicekoki dengan doktrindoktrin primordialisme sangat berbahaya bagi pertumbuhan bangsa.
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 07-2002