Bagaimana Membuktikan Bahwa Tuhan Itu Ada

Bagaimana Membuktikan Bahwa Tuhan Itu Ada?
19 Januari 2012 pukul 16:21

PEMBAHASAN


Membuktikan keberadaan Tuhan dengan dasar filosofi dari St. Thomas Aquinas.



Bukti 1: Prinsip pergerakan.



Bukti 2: Prinsip sebab akibat.



Bukti 3: Dari prinsip ketidakkekalan dan kekekalan.




Bukti 4: Derajat kesempurnaan.



Bukti 5: Dari desain dunia ini dan tujuan akhir.



Ok. Sekarang saya percaya kepada Tuhan, tapi satu Tuhan atau banyak tuhan?



Keputusan untuk percaya kepada Tuhan yang Satu adalah keputusan yang paling
logis.

Dalam artikel ini akan dicoba untuk menjawab pertanyaan yang begitu mendasar, yaitu
“mengapa kita musti percaya kepada Tuhan? Dan kalau kita percaya, Tuhan yang mana
yang harus kita percayai? Apakah banyak tuhan ataukah Tuhan yang esa?…. Mungkin ada
banyak orang di Indonesia yang tidak pernah terlintas untuk memikirkan atau mencoba untuk

menjawab pertanyaan ini. Hal ini disebabkan karena agama sudah mendarah daging di dalam
masyarakat Indonesia. Untuk mempertanyakan hal ini kepada orang tua, mungkin ada rasa
jengah. Bertanya kepada guru atau pastor, takut dikira tidak punya iman. Namun pertanyaan
mendasar seperti ini patut diberikan jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan, karena
manusia pada dasarnya mempunyai kodrat untuk “ingin tahu“.
Membuktikan keberadaan Tuhan dengan dasar filosofi dari St. Thomas Aquinas.
Dalam tulisan ini akan dibahas bagaimana dengan menggunakan akal budi – melalui
pendekatan filosofi[3] – dapat ditarik kesimpulan bahwa kepercayaan kepada Tuhan yang
satu adalah kepercayaan yang sangat logis. Sebaliknya, kalau seseorang tidak percaya akan
Tuhan yang satu, bisa dibilang bahwa itu melawan akal budi.[4] Tidak ada pertentangan
antara iman dan akal budi. Teologi sendiri dapat didefinisikan sebagai “iman yang mencari
pengertian atau faith seeking understanding.”[5] Paus Yohanes Paulus II berkata “akal budi
dan iman adalah seperti dua sayap dimana roh manusia naik untuk mencapai kontemplasi
kebenaran.”[6] Akal budi ini sudah menjadi bagian integral manusia, yang mempunyai
kapasitas untuk menginginkan pencapaian suatu kebenaran.[7] Untuk membuktikan
kebenaran akan eksistensi dari Tuhan, maka St. Thomas Aquinas di dalam bukunya “Summa
Theology,”[8] memberikan lima metode, yang terdiri dari: 1) prinsip pergerakan, 2) prinsip
sebab akibat, 3) ketidakkekalan dan kekekalan, 4) derajat kesempurnaan, dan 5) desain dunia
ini.


Bukti 1: Prinsip pergerakan.
Mari sekarang kita meneliti pembuktian pertama, yaitu dari pergerakan.[9] St. Thomas
mengambil contoh dari pergerakan, karena pergerakan terjadi dimana saja, kapan saja, dan
bisa diamati dalam kejadian sehari-hari. Sebagai contoh, pada waktu mobil saya mogok, tetap
bisa bergerak karena mobil saya ditarik oleh mobil derek. Namun mobil derek ini bisa
bergerak karena adanya koordinasi sistem mesin yang begitu rumit. Walaupun demikian,
mobil tidak akan bergerak, kalau tidak ada tangan manusia yang memasukkan kunci dan
“menstarter” mobil itu. Tangan digerakkan oleh sistem kerja tubuh yang melibatkan miliaran
sel, dimana dikoordinasikan oleh otak. Namun siapa yang menggerakkan otak? Karena ada
kehidupan, ada jiwa yang tinggal di dalam tubuh manusia. Siapa yang membuat kehidupan
dan jiwa tetap bertahan… dan seterusnya, sampai ada suatu titik, kita dapat mengambil
kesimpulan ada “unmoved mover” atau penggerak yang tidak digerakkan oleh yang lain,
karena Dia adalah sumber dari pergerakan itu. Sumber pergerakan inilah yang dinamakan
“Tuhan”.

Bukti 2: Prinsip sebab akibat.
Pembuktian ke dua adalah dari “Prinsip sebab akibat.” Semua orang di dunia ini tahu kalau
sesuatu terjadi dikarenakan oleh sesuatu. Prinsip ini begitu sederhana, sehingga bayipun
dapat menerapkan prinsip ini. Bayi tahu kalau dia lapar, maka dia akan menangis. Dia tahu
bahwa tangisannya akan menyebabkan ibunya datang dan kemudian menyusui dia. Ibu ini

mau menyusui anaknya, walaupun kadang terjadi pagi-pagi buta, karena dia menyayangi
anaknya. Dia sayang, karena anak itu lahir dari rahimnya, dan terjadi karena buah kasih
sayang dengan suaminya. Komitmen untuk membentuk rumah tangga dikarenakan keinginan
untuk mendapatkan kebahagian. Dan kebahagiaan, kalau ditelusuri terus-menerus akan
sampai pada suatu titik, yang disebabkan oleh “uncaused cause” atau penyebab yang tidak
disebabkan oleh sesuatu yang lain. Sumber dari penyebab inilah yang disebut orang
“Tuhan“.
Dari pembuktian pertama dan kedua, orang bisa mengatakan bahwa “tapi sesuatu bisa
terjadi tanpa batas“. Namun keberatan ini dapat disanggah dengan membagi semua
pergerakan dan semua sebab akibat menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah “saat ini
(current movement/change).” Bagian ke dua adalah deretan yang terhingga dari gerak dan
sebab, atau yang disebut “bagian tengah / inter-mediate cause(s)“. Dan kemudian bagian
yang terakhir adalah “bagian awal / first mover / causel“. Nah, bagian awal inilah yang
disebut “Tuhan, Sang Alfa.”

Bukti 3: Dari prinsip ketidakkekalan dan kekekalan.
Kemudian pembuktian yang ketiga adalah “dari mahluk yang bersifat sementara
(contingent beings) dan yang kekal (necessary beings)“. Di dunia ini, tidak mungkin
semuanya bersifat sementara, karena kalau demikian maka ada suatu waktu semuanya akan
lenyap. Bayangkan orang tua kita cuma hidup sekitar 80 tahun. Terus kakek kita mungkin 90

tahun. Kakek dari kakek kita mungkin 100 tahun. Mau berapa panjang usia nenek moyang
kita, mereka toh pada akhirnya telah meninggal. Jika ditelusuri terus, maka garis keturunan
kita akan sampai pada manusia pertama. Pertanyaannya adalah, bagaimana manusia pertama
itu bisa ada dan hidup? Tidak mungkin dia terjadi begitu saja dari ketidak-adaan. Sebab
sesuatu yang tidak ada tidak mungkin menghasilkan sesuatu yang ada/nyata. Jadi
disimpulkan bahwa kalau semua mahluk tidak kekal, maka harus ada “Mahluk lain” yang
keberadaannya kekal[10] dan tidak mungkin hilang. KekekalanNya membuat mahluk yang
tidak kekal terus bertahan dan memenuhi bumi, sehingga kehidupan tidak punah. Kekekalan
yang tidak disebabkan oleh yang lain inilah yang disebut “Tuhan, Sang Kekal.”[11]

Bukti 4: Derajat kesempurnaan.

Pembuktian ke empat adalah dari sisi “derajat kesempurnaan.” Kalau kita amati, semua
yang ada di dunia ini ada tingkatannya. Ada yang miskin, kaya, konglomerat. Kasih,
kebajikan, kebaikan, keindahan, kebenaran, semuanya ada tingkatannya. Peribahasa “kasih
anak sepanjang galah dan kasih ibu sepanjang jalan,” secara tidak langung menunjukkan ada
tingkatan dan derajat kasih. Jadi, kalau semua ada tingkatannya, tentu ada yang paling tinggi
tingkat kesempurnaanya. Jadi, semua tingkatan berpartisipasi dalam sesuatu yang
tingkatannya paling tinggi. Sebagai contoh, kalau kita menaruh besi di dalam api, maka besi
itu menjadi panas. Namun panasnya besi bukan karena akibat dari besi itu sendiri, melainkan

karena partisipasi besi itu dalam api.
Contoh di atas membuka suatu prinsip yang sangat penting, yaitu “seseorang atau sesuatu
tidak dapat memberi apa yang dia tidak punya.” Air dingin tidak bisa membuat besi menjadi
panas, karena air dingin tidak mempunyai sifat panas. Semua yang ada di dunia ini tidaklah
sempurna, namun semuanya ada karena partisipasi dalam sesuatu yang tingkatannya paling
tinggi, dan yang tingkatannya paling tinggi inilah yang di sebut “Tuhan, Sang Maha
Sempurna.”

Bukti 5: Dari desain dunia ini dan tujuan akhir.
Pembuktian yang terakhir adalah dari sisi “desain dunia ini dan tujuan akhir“. Ini adalah
sesuatu yang dapat dibuktikan di dalam hidup kita sehari-hari. Kita setiap hari melihat jalan
setapak, jalan raya, dan juga jalan layang. Apakah mungkin kalau kita mengatakan bahwa
jalan itu memang ada dengan sendirinya, tanpa ada yang mendesain dan membangun.
Bagaimana dengan desain rumah, desain tata kota, dll. Semua terjadi karena ada yang
mendesain dan tidak mungkin terjadi dengan sendirinya. Kalau kita percaya bahwa rumah
kita tidak terjadi dengan sendirinya, namun didesain oleh diri sendiri atau seorang arsitek,
apakah kita dapat menyangkal bumi ini, sistem grafitasi, dan juga sistem tata surya terjadi
dengan sendirinya? Apakah mungkin kita berpendapat bahwa pergerakan planet-planet dan
bintang-bintang, yang semuanya berjalan dengan keharmonisan tertentu dikarenakan karena
faktor kebetulan? Desain alam semesta ini jauh lebih rumit daripada desain rumah

kita. Kalau kita percaya akan arsitek yang mendesain rumah kita, maka kita harus
percaya bahwa ada arsitek tata surya ini, yaitu Tuhan. Kalau kita lebih percaya bahwa
semuanya terjadi secara kebetulan, maka ini adalah argumen yang tidak mungkin, karena
kemungkinan bahwa semua itu terjadi dengan sendirinya tanpa ada yang mengatur adalah
bisa dibilang “tidak mungkin.” Sama halnya seperti kalau kita bilang bahwa rumah saya
terjadi secara kebetulan tanpa ada yang merencanakan dan menbangunnya.
Bagaimana dengan mahluk yang tidak berakal budi, seperti tumbuhan dan binatang. Mereka
mempunyai suatu pola dalam hidup mereka. Siapa yang mengatur kehidupan mereka?
Hukum alam? Namun siapa yang mengatur hukum alam? Hanya mahluk rasional yang
mungkin mengatur sesuatu yang punya aturan tertentu dan menuju ke suatu tujuan tertentu.
Contoh lain adalah gravitasi bumi, dan pergerakan tata surya yang mempunyai nilai tertentu
dan tetap sepanjang sejarah. Jika nilai- nilai tersebut berubah sedikit saja, maka kacaulah
segala planet di tata surya ini. Maka jelaslah bahwa semua yang bergerak dan beroperasi
menurut urutan tertentu akan bergerak untuk mencapai tujuan akhir. Jadi dapat disimpulkan

bahwa ada “Mahluk Rasional” yang memelihara dan mengarahkan semua yang ada di alam
ini ke tujuan akhir. Inilah yang disebut “Tuhan, Sang Omega.” Dengan demikian lebih logis
dan lebih mungkin, kalau kita percaya bahwa ada sesuatu yang mengatur sistem alam
semesta, yaitu Tuhan Sang Pencipta.
Kemudian, variasi dari demonstrasi ke lima ini adalah dari sisi “aturan moral.” Kalau di atas

kita melihat bagaimana Tuhan mengatur mahluk yang tidak berakal budi dengan “hukum
alam“, maka berikut ini adalah demontrasi yang menunjukkan bahwa Tuhan juga mengatur
mahluk yang berakal budi, yaitu manusia melalui “hukum moral.” Kalau kita teliti lebih
jauh, manusia dengan latar belakang, kebangsaan, suku, ras yang berbeda, diatur oleh suatu
hukum yang dinamakan hukum moral yang secara alami tertulis di dalam hati nurani
manusia.[12] Hukum moral inilah yang membuat manusia dapat membedakan antara yang
baik dengan yang jahat. Hukum ini bersifat obyektif, dan mengikat manusia secara universal.
Kita bisa melihat bagaimana aturan baku di semua negara: anak harus menghormati orang
tua, seorang ibu mengasihi anaknya, seseorang akan merasa tidak enak hati kalau membalas
kebaikan dengan kejahatan, dll. Kalau orang melawan hukum universal ini, maka dia
sebenarnya melawan hati nuraninya sendiri.
Kata “hukum atau aturan” pada dasarnya adalah sesuatu yang terjadi karena tuntutan akal
(dictate of reason) yang dibuat untuk kepentingan umum oleh seseorang yang mempunyai
otoritas. Misalnya, kalau peraturan lalu lintas adalah peraturan dengan alasan yang logis
untuk keselamatan pengendara, yang dibuat oleh pihak kepolisian lalu lintas. Dengan
menerapkan prinsip “sebab akibat“, kita tahu bahwa hukum moral yang tertulis di setiap hati
nurani manusia tidaklah terjadi dengan sendirinya, namun diberikan oleh Sang Pemberi
Hukum yaitu: “Tuhan, Sang Maha Adil.” Jadi hukum moral ini juga dapat membuktikan
keberadaan Tuhan, yang memberikan aturan yang tertulis di dalam hati manusia untuk
kepentingan umum.

Ok. Sekarang saya percaya kepada Tuhan, tapi satu Tuhan atau banyak tuhan?
Dari lima pembuktian ini, mungkin ada orang yang mengatakan. Ok, saya percaya ada Tuhan,
tapi saya juga percaya ada banyak tuhan. Untuk menjawab hal ini, kita melihat pada
pembuktian ke-empat, yang menujukkan tidaklah mungkin kalau ada banyak tuhan, karena
kalau banyak, pasti yang satu lebih atau kurang dari yang lain. Padahal, kalau Tuhan itu
adalah “Maha secara absolut”, maka hanya dapat disimpulkan bahwa “Tuhan itu adalah
Satu atau Esa“.
Keputusan untuk percaya kepada Tuhan yang Satu adalah keputusan yang paling
logis.
Dari semua pembuktian di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa lebih logis kalau kita
percaya Tuhan daripada sebaliknya. Kelogisan ini berlanjut dengan kepercayaan kita
kepadaTuhan yang Satu dan Kekal. Jadi sebenarnya dapat dikatakan bahwa dasar pertama
dari Pancasila – keTuhanan yang Maha Esa – adalah sangat logis dan mendasar. Di dalam
tulisan yang akan datang, kita akan menelusuri lebih jauh tentang siapa Tuhan yang Satu itu.
Dan pertanyaan itu akan mengarah kepada “Yesus Kristus, Sang Sabda Kehidupan “.
___________________________________________________

CATATAN KAKI:
1. Mungkin juga ketidaknyamanan mereka akan pertanyaan ini sebetulnya membuktikan
bahwa masalah agama adalah sesuatu yang bersifat pribadi dan juga membuktikan

bahwa mereka merasakan ada sesuatu yang salah. Kalau mereka merasa tidak salah,
sebetulnya tidak usah mereka merasa tidak enak. [↩]
2. Lenin Vladimir dalam bukunya “Socialism and Related Systems” mengatakan bahwa
agama adalah merupakan candu bagi masyarakat. ((Lenin Vladimir dalam bukunya
“Socialism and Related Systems” mengatakan bahwa agama adalah merupakan candu
bagi masyarakat. [↩]
3. lih. KGK, 47, 286; cf. Vatican Council I, can. 2, § 1: DS 3026. [↩]
4. Pendekatan yang logis ini berdasarkan “self-evidence principle” atau prinsip
kebenaran yang tidak perlu dibuktikan, seperti: suatu akibat terjadi karena suatu sebab
(causality). Kita tidak perlu membuktikan apakah “causality” adalah suatu prinsip
yang benar, karena ini sudah menjadi bagian dari acuan berfikir yang bersifat umum
atau “universal” yang menjadi dasar kebenaran untuk diterapkan kepada semua
prinsip yang lain. Sebagai contoh, kita tidak perlu membuktikan bahwa lingkaran itu
adalah bulat. [↩]
5. Motto dari St. Anselmus adalah “faith seeking understanding/ iman yang mencari
pengertian (fides quaerens intellectum). Banyak orang yang mengatakan bahwa iman
jangan digabungkan dengan filosofi atau akal, nanti jadi rancu dan tidak murni. Ini
adalah pendapat yang salah, karena iman dan akal budi berasal dari sumber yang
sama. Kalau keduanya berasal dari sumber yang sama, maka keduanya tidak mungkin
bertentangan satu sama lain. Memang akal budi hanya dapat menjangkau tingkat

tertentu. Dengan akal budi, manusia dapat membuktikan bahwa Tuhan itu ada, Tuhan
itu satu, Tuhan itu baik dan kekal, dll. Namun ada banyak hal yang tidak mungkin
juga dicapai oleh akal budi, namun perlu Tuhan sendiri yang memberikan wahyu-Nya
kepada manusia, seperti: Trinitas, inkarnasi, sakrament, keselamatan, dll. Pada saat
itulah akal budi harus bekerjasama dengan iman. Iman tanpa menggunakan akal budi
akan menjadikan seseorang terlalu fanatik (fideism). Sebaliknya akal budi tanpa iman
akan membuat orang mengarah kepada hal yang salah dan tersesat. Kita bisa melihat
bahwa banyak sekali filsuf yang pada akhirnya tidak percaya kepada Tuhan. Dalam
Gereja Katolik, sintesis dari kedua hal ini ditunjukkan oleh banyak dokumen Gereja
(sebagai contoh: ensiklik dari Paus Yohanes Paulus II – “fides et ratio” atau hubungan
antara iman dan pemikiran . Karya yang begitu indah dalam sintesis kedua hal ini
adalah “Summa Theology” dari St. Thomas Aquinas. [↩]
6. John Paul II, Encyclical Letter on the Relationship between Faith and Reason: Fides
et Ratio, 1st ed. (Pauline Books & Media, 1998), p. 7 – Di sini Paus Yohanes Paulus
mengatakan bahwa tidak ada pertentangan antara akal budi dan iman, karena
keduanya datang dari sumber yang sama, yaitu Tuhan. [↩]
7. KGK, 31,32 [↩]

8. St. Thomas Aquinas, ST, I, q.2., a.3. [↩]
9. Prinsip ini mengatakan bahwa semua yang bergerak atau berubah dikarenakan oleh
sesuatu. Juga bisa dikatakan bahwa sesuatu yang berubah dari potensi ke sesuatu yang
nyata digerakkan oleh sesuatu yang sudah dalam keadaan nyata. [↩]
10. Sesuatu yang kekal dapat dibagi menjadi dua, yaitu kekekalan yang didapat karena
yang lain, sebagai contoh: jiwa manusia, para malaikat – setelah mereka diciptakan,
maka mereka menjadi kekal. Kekekalan yang kedua adalah kekekalan yang tidak
tergantung dari yang lain, dan ini hanya ada satu, yaitu Tuhan. [↩]
11. Untuk menyanggah keberadaan Tuhan sebagai “unmoved mover” dan “uncaused
cause” adalah tidak mendasar, karena itu berarti, kita harus berasumsi bahwa sesuatu
di dunia ini terjadi tanpa ada penyebabnya. Dan asumsi ini berlawan dengan prinsip
utama (self-evidence principle), yaitu prinsip sebab akibat (causality). [↩]
12. Rasul Paulus mengatakan di Rom 2:15 “Sebab dengan itu mereka menunjukkan,
bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut
bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela.” [↩]