Berat Hati Meninggalkan Si Bungsu

Berat Hati Meninggalkan Si Bungsu
Tanya:
Pengasuh rubrik Keluarga Sakinah yang terhormat, Assalaamu’alaikum wr.wb.

Saya ibu dari dua putra, usia si sulung 4 th dan si bungsu 1.5 th. Setiap hari saya
bekerja. Saya mempunyai masalah dengan si bungsu. Berbeda sekali dengan
kakaknya. Si sulung mudah bergaul dengan siapa saja bahkan dengan orang baru.
Ketika si sulung 8 bulan saya mulai bekerja. Dari pertama saya masuk kerja ia tidak ada
masalah bila saya tinggal. Sedangkan adiknya, tidak mudah bergaul, bila bertemu
orang baru ia menangis apalagi bila orang baru tersebut terlalu aktif menyapa. Yang jadi
masalah, setiap pagi ketika akan berangkat, anak saya selalu menangis. Padahal bila ia
sudah menangis tidak mudah untuk didiamkan. Saya sudah memberinya pengertian
bahwa saya berangkat untuk bekerja dan nanti akan pulang lagi serta bermain
bersamanya, tapi ia tidak mau mengerti bahkan menangis lebih keras. Ini membuat
saya tidak tega. Oleh karena itu saya suka pergi diam-diam tanpa sepengetahuan dia.
Yang ingin saya tanyakan apakah boleh saya bertindak demikian? Apakah ada akibat
buruk bagi perkembangan emosionalnya? Mohon penjelasan dari ibu agar saya dapat
memperlakukan anak saya dengan benar.
Atas jawabannya saya mengucapkan terima kasih.
Ny. Pur, di JL


Jawab:
Wa’alaikum salam wr.wb.
Ibu Pur yang saya hormati, memang kita tidak bisa memperlakukan anak-anak
kita secara seragam. Tiap anak mempunyai sifat dan karakter yang khas berbeda
dengan yang lain. Demikian juga anak ibu, si sulung ibaratnya mempersilakan ibu untuk
pergi bekerja bahkan mungkin ketika ditinggal mengantarkan ibu berangkat kerja

dengan lambaian tangan. Sebaliknya si bungsu justru menangis meraung-raung ketika
ibu akan berangkat kerja, sehingga membuat ibu merasa berat hati untuk meninggalkan
si bungsu. Memang selama ini cukup banyak orang tua yang mengambil langkah
seperti yang ingin ibu lakukan yaitu meninggalkannya diam-diam. Memberi pengertian
bahwa ibu akan kembali ke rumah dan bermain bersama dengan si bungsu tak
meredakan tangisnya. Memang sulit memberi pengertian seperti itu kepada anak kecil,
yang dia butuhkan adalah bukti nyata. Meninggalkannya secara diam-diam saya kira
bukan penyelesaian masalah yang baik, lebih baik anak menyaksikan ibu pergi.
Mungkin anak menangis, tapi ibu tak usah khawatir. Percayakan pada pengasuhnya
bahwa ia dapat meredakan tangisnya. Biasanya perasaan anak kecil mudah berubah
dari sedih ke senang atau sebaliknya. Yang penting ibu punya pengasuh yang dapat
dipercaya, mau memperhatikan dan mengajak bermain. Yang perlu diperlihatkan adalah
sikap tegar saat meninggalkannya dalam keadaan menangis. Jangan tunjukkan bahwa

ibu menjadi setengah hati, ragu-ragu atau kebingungan untuk berangkat kerja, karena
anak sangat pandai mencermati hal ini dan memanfaatkannya. Juga jangan
membiasakan anak dengan janji-janji mis. membelikan oleh-oleh sebagai imbalan
karena akan menjadi kebiasaan buruk.
Mengapa saya tidak menyarankan meninggalkan anak secara diam-diam?
Karena anak justru tak akan mempercayai kita sebagai orang tua kalau dia terbiasa
dibohongi. Keadaan ini lambat laun juga akan membentuk rasa tak percaya; anak
menjadi tak senang, lebih cemas bila ditinggal oleh orang tua secara diam-diam, cemas
karena tak ada kejelasan kemana orang tuanya pergi. Kalau setiap berangkat kerja
orang tua pergi terang-terangan dan pulang pada waktu tertentu, lama kelamaan anak
akan belajar bahwa orang tuanya akan pulang ke rumah untuk berkumpul lagi dengan
dia. Dari pengalaman ini, anak juga belajar bahwa sesuatu (orang tua) yang tak terlihat
di depan mata tak berarti akan menghilang selamanya.

Ini berkaitan dengan

perkembangan berpikir pada tahap usianya.
Semoga ibu bisa tetap tegar di hadapan anak meskipun dalam hati merasa
terenyuh melihat anak menangis.
Subhanallah


Wassalaamua’alaikum wr.wb.
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 2 2004