Produk Hukum • Info Hukum uu 2004 01

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 2004
TENTANG
PERBENDAHARAAN NEGARA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :

a.

b.

c.
d.

e.

Mengingat :

1.
2.


bahwa penyelenggaraan pemerintahan negara untuk mewujudkan
tujuan bernegara menimbulkan hak dan kewajiban negara yang perlu
dikelola dalam suatu sistem pengelolaan keuangan negara;
bahwa pengelolaan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu
dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat, yang diwujudkan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD);
bahwa dalam rangka pengelolaan dan pertanggungjawaban
keuangan negara diperlukan kaidah-kaidah hukum administrasi
keuangan negara yang mengatur perbendaharaan negara;
bahwa
Undang-undang
Perbendaharaan
Indonesia/Indische
Comptabiliteitswet
(Staatsblad
Tahun
1925

Nomor
448)
sebagaimana telah beberapa kali diubah dan ditambah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1968 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 53), tidak dapat lagi
memenuhi kebutuhan pengelolaan dan
pertanggungjawaban
keuangan negara;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada
huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d di atas perlu dibentuk Undangundang tentang Perbendaharaan Negara;
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 23, dan Pasal 23C Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4286);
Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

UNDANG-UNDANG TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Pertama
Pengertian
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:

1

1.

2.

3.

4.


5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.
14.


15.
16.
17.

18.

Perbendaharaan
Negara
adalah
pengelolaan
dan
pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan
kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam APBN dan
APBD.
Kas Negara adalah tempat penyimpanan uang negara yang
ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara
untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar
seluruh pengeluaran negara.
Rekening Kas Umum Negara adalah rekening tempat penyimpanan
uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku

Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan
negara dan membayar seluruh pengeluaran negara pada bank
sentral.
Kas Daerah adalah tempat penyimpanan uang daerah yang
ditentukan oleh gubernur/bupati/walikota untuk menampung seluruh
penerimaan daerah dan membayar seluruh pengeluaran daerah.
Rekening Kas Umum Daerah adalah rekening tempat penyimpanan
uang daerah yang ditentukan oleh gubernur/bupati/walikota untuk
menampung seluruh penerimaan daerah dan membayar seluruh
pengeluaran daerah pada bank yang ditetapkan.
Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada
Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai
dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau
akibat lainnya yang sah.
Piutang Daerah adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada
Pemerintah Daerah dan/atau hak Pemerintah Daerah yang dapat
dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau
akibat lainnya yang sah.

Utang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar Pemerintah
Pusat dan/atau kewajiban Pemerintah Pusat yang dapat dinilai
dengan uang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, perjanjian, atau berdasarkan sebab lainnya yang sah.
Utang Daerah adalah jumlah uang yang wajib dibayar Pemerintah
Daerah dan/atau kewajiban Pemerintah Daerah yang dapat dinilai
dengan uang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, perjanjian, atau berdasarkan sebab lainnya yang sah.
Barang Milik Negara adalah semua barang yang dibeli atau
diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya
yang sah.
Barang Milik Daerah adalah semua barang yang dibeli atau
diperoleh atas beban APBD atau berasal dari perolehan lainnya
yang sah.
Pengguna Anggaran adalah pejabat pemegang kewenangan
penggunaan anggaran kementerian negara/lembaga/satuan kerja
perangkat daerah.
Pengguna Barang adalah pejabat pemegang kewenangan
penggunaan barang milik negara/daerah.
Bendahara adalah setiap orang atau badan yang diberi tugas untuk

dan atas nama negara/daerah, menerima, menyimpan, dan
membayar/menyerahkan uang atau surat berharga atau barangbarang negara/daerah.
Bendahara Umum Negara adalah pejabat yang diberi tugas untuk
melaksanakan fungsi bendahara umum negara.
Bendahara Umum Daerah adalah pejabat yang diberi tugas untuk
melaksanakan fungsi bendahara umum daerah.
Bendahara Penerimaan adalah orang yang ditunjuk untuk menerima,
menyimpan, menyetorkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang pendapatan negara/daerah dalam rangka
pelaksanaan APBN/APBD pada kantor/satuan kerja kementerian
negara/lembaga/pemerintah daerah.
Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk
menerima, menyimpan, membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan belanja negara/daerah
dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD pada kantor/satuan kerja
kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah.

2

19.

20.

21.

22.
23.

24.

Menteri/Pimpinan Lembaga adalah pejabat yang bertanggung jawab
atas pengelolaan keuangan kementerian negara/lembaga yang
bersangkutan.
Kementerian Negara/Lembaga adalah kementerian negara/ lembaga
pemerintah non kementerian negara/lembaga negara.
Pejabat
Pengelola
Keuangan
Daerah
adalah
kepala
badan/dinas/biro keuangan/bagian keuangan yang mempunyai
tugas melaksanakan pengelolaan APBD dan bertindak sebagai

Bendahara Umum Daerah.
Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga,
dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat
perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.
Badan Layanan Umum adalah instansi di lingkungan Pemerintah
yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat
berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa
mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan
kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.
Bank Sentral adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar 1945 Pasal 23D.
Bagian Kedua
Ruang Lingkup

Pasal 2
Perbendaharaan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Angka 1,
meliputi:
a. pelaksanaan pendapatan dan belanja negara;
b. pelaksanaan pendapatan dan belanja daerah;
c. pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran negara;

d. pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran daerah;
e. pengelolaan kas;
f. pengelolaan piutang dan utang negara/daerah;
g. pengelolaan investasi dan barang milik negara/daerah;
h. penyelenggaraan akuntansi dan sistem informasi manajemen
keuangan negara/daerah;
i. penyusunan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/
APBD;
j. penyelesaian kerugian negara/daerah;
k. pengelolaan Badan Layanan Umum;
l. perumusan standar, kebijakan, serta sistem dan prosedur yang
berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara dalam rangka
pelaksanaan APBN/APBD.
Bagian Ketiga
Asas Umum
Pasal 3
(1)
(2)
(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

Undang-undang tentang APBN merupakan dasar bagi Pemerintah
Pusat untuk melakukan penerimaan dan pengeluaran negara.
Peraturan Daerah tentang APBD merupakan dasar bagi Pemerintah
Daerah untuk melakukan penerimaan dan pengeluaran daerah.
Setiap pejabat dilarang melakukan tindakan yang berakibat
pengeluaran atas beban APBN/APBD jika anggaran untuk
membiayai pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup
tersedia.
Semua pengeluaran negara, termasuk subsidi dan bantuan lainnya
yang sesuai dengan program pemerintah pusat, dibiayai dengan
APBN.
Semua pengeluaran daerah, termasuk subsidi dan bantuan lainnya
yang sesuai dengan program pemerintah daerah, dibiayai dengan
APBD.
Anggaran untuk membiayai pengeluaran yang sifatnya mendesak
dan/atau tidak terduga disediakan dalam bagian anggaran tersendiri
yang selanjutnya diatur dalam peraturan pemerintah.
Kelambatan pembayaran atas tagihan yang berkaitan dengan
pelaksanaan APBN/APBD dapat mengakibatkan pengenaan denda
dan/atau bunga.

3

BAB II
PEJABAT PERBENDAHARAAN NEGARA
Bagian Pertama
Pengguna Anggaran
Pasal 4
(1)
(2)

Menteri/pimpinan lembaga adalah Pengguna Anggaran/ Pengguna
Barang bagi kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya.
Menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/ Pengguna
Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya, berwenang:
a. menyusun dokumen pelaksanaan anggaran;
b. menunjuk Kuasa Pengguna Anggaran/Pengguna Barang;
c. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pemungutan
penerimaan negara;
d. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan
utang dan piutang;
e. melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran
anggaran belanja;
f. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengujian dan
perintah pembayaran;
g. menggunakan barang milik negara;
h. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan
barang milik negara;
i. mengawasi pelaksanaan anggaran;
j. menyusun dan menyampaikan laporan keuangan;
kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya.
Pasal 5

Gubernur/bupati/walikota selaku Kepala Pemerintahan Daerah:
a. menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan APBD;
b. menetapkan Kuasa Pengguna Anggaran dan Bendahara
Penerimaan dan/atau Bendahara Pengeluaran;
c. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pemungutan
penerimaan daerah;
d. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan utang
dan piutang daerah;
e. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan barang
milik daerah;
f. menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengujian atas
tagihan dan memerintahkan pembayaran.
Pasal 6
(1)

(2)

Kepala satuan kerja perangkat daerah adalah Pengguna
Anggaran/Pengguna Barang bagi satuan kerja perangkat daerah
yang dipimpinnya.
Kepala satuan kerja perangkat daerah dalam melaksanakan
tugasnya selaku pejabat Pengguna Anggaran/Pengguna Barang
satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya berwenang:
a. menyusun dokumen pelaksanaan anggaran;
b. melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas
beban anggaran belanja;
c. melakukan pengujian atas tagihan dan memerintahkan
pembayaran;
d. melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak;
e. mengelola utang dan piutang;
f. menggunakan barang milik daerah;
g. mengawasi pelaksanaan anggaran;
h. menyusun dan menyampaikan laporan keuangan;
satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya.
Bagian Kedua
Bendahara Umum Negara/Daerah

4

Pasal 7
(1)
(2)

Menteri Keuangan adalah Bendahara Umum Negara.
Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara berwenang:
a. menetapkan kebijakan dan pedoman pelaksanaan anggaran
negara;
b. mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran;
c. melakukan pengendalian pelaksanaan anggaran negara;
d. menetapkan sistem penerimaan dan pengeluaran kas negara;
e. menunjuk bank dan/atau lembaga keuangan lainnya dalam
rangka pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran anggaran
negara;
f. mengusahakan dan mengatur dana yang diperlukan dalam
pelaksanaan anggaran negara;
g. menyimpan uang negara;
h. menempatkan uang negara dan mengelola/menatausahakan
investasi;
i. melakukan pembayaran berdasarkan permintaan pejabat
Pengguna Anggaran atas beban rekening kas umum negara;
j. melakukan pinjaman dan memberikan jaminan atas nama
pemerintah;
k. memberikan pinjaman atas nama pemerintah;
l. melakukan pengelolaan utang dan piutang negara;
m. mengajukan rancangan peraturan pemerintah tentang standar
akuntansi pemerintahan;
n. melakukan penagihan piutang negara;
o. menetapkan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan
negara;
p. menyajikan informasi keuangan negara;
q. menetapkan kebijakan dan pedoman pengelolaan serta
penghapusan barang milik negara;
r. menentukan nilai tukar mata uang asing terhadap rupiah
dalam rangka pembayaran pajak;
s. menunjuk pejabat Kuasa Bendahara Umum Negara.
Pasal 8

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara mengangkat
Kuasa Bendahara Umum Negara untuk melaksanakan tugas
kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran dalam wilayah
kerja yang telah ditetapkan.
Tugas kebendaharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi kegiatan menerima, menyimpan, membayar atau
menyerahkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan
uang dan surat berharga yang berada dalam pengelolaannya.
Kuasa Bendahara Umum Negara melaksanakan penerimaan dan
pengeluaran Kas Negara sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c.
Kuasa Bendahara Umum Negara berkewajiban memerintahkan
penagihan piutang negara kepada pihak ketiga sebagai penerimaan
anggaran.
Kuasa Bendahara Umum Negara berkewajiban melakukan
pembayaran tagihan pihak ketiga sebagai pengeluaran anggaran.
Pasal 9

(1)
(2)

Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah adalah
Bendahara Umum Daerah.
Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah selaku
Bendahara Umum Daerah berwenang:
a. menyiapkan kebijakan dan pedoman pelaksanaan APBD;
b. mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran;
c. melakukan pengendalian pelaksanaan APBD;
d. memberikan petunjuk teknis pelaksanaan sistem penerimaan
dan pengeluaran kas daerah;
e. melaksanakan pemungutan pajak daerah;

5

f.

g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
p.
q.

memantau pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran APBD
oleh bank dan/atau lembaga keuangan lainnya yang telah
ditunjuk;
mengusahakan dan mengatur dana yang diperlukan dalam
pelaksanaan APBD;
menyimpan uang daerah;
melaksanakan
penempatan
uang
daerah
dan
mengelola/menatausahakan investasi;
melakukan pembayaran berdasarkan permintaan pejabat
Pengguna Anggaran atas beban rekening kas umum daerah;
menyiapkan pelaksanaan pinjaman dan pemberian jaminan
atas nama pemerintah daerah;
melaksanakan pemberian pinjaman atas nama pemerintah
daerah;
melakukan pengelolaan utang dan piutang daerah;
melakukan penagihan piutang daerah;
melaksanakan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan
daerah;
menyajikan informasi keuangan daerah;
melaksanakan kebijakan dan pedoman pengelolaan serta
penghapusan barang milik daerah.
Bagian Ketiga
Bendahara Penerimaan/Pengeluaran
Pasal 10

(1)

(2)

(3)
(4)

(5)

Menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota mengangkat
Bendahara Penerimaan untuk melaksanakan tugas kebendaharaan
dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan pada
kantor/satuan kerja di lingkungan kementerian negara/lembaga/
satuan kerja perangkat daerah.
Menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota mengangkat
Bendahara Pengeluaran untuk melaksanakan tugas kebendaharaan
dalam rangka pelaksanaan anggaran belanja pada kantor/satuan
kerja di lingkungan kementerian negara/lembaga/satuan kerja
perangkat daerah.
Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah Pejabat Fungsional.
Jabatan Bendahara Penerimaan/Pengeluaran tidak boleh dirangkap
oleh Kuasa Pengguna Anggaran atau Kuasa Bendahara Umum
Negara.
Bendahara Penerimaan/Pengeluaran dilarang melakukan, baik
secara langsung maupun tidak langsung, kegiatan perdagangan,
pekerjaan pemborongan dan penjualan jasa atau bertindak sebagai
penjamin atas kegiatan/pekerjaan/ penjualan tersebut.

BAB III
PELAKSANAAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA/DAERAH
Bagian Pertama
Tahun Anggaran
Pasal 11
Tahun anggaran meliputi masa satu tahun mulai dari tanggal 1 Januari
sampai dengan 31 Desember.
Pasal 12
(1)

APBN dalam satu tahun anggaran meliputi:
a. hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah nilai
kekayaan bersih;
b. kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurang
nilai kekayaan bersih;
c. penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran
yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang
bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.

6

(2)

Semua penerimaan dan pengeluaran negara dilakukan melalui
Rekening Kas Umum Negara.
Pasal 13

(1)

(2)

APBD dalam satu tahun anggaran meliputi:
a) hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai
kekayaan bersih;
b) kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang
nilai kekayaan bersih;
c) penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran
yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang
bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.
Semua penerimaan dan pengeluaran daerah dilakukan melalui
Rekening Kas Umum Daerah.
Bagian Kedua
Dokumen Pelaksanaan Anggaran
Pasal 14

(1)

(2)
(3)

(4)
(5)

Setelah APBN ditetapkan, Menteri Keuangan memberitahukan
kepada semua menteri/pimpinan lembaga agar menyampaikan
dokumen pelaksanaan anggaran untuk masing-masing kementerian
negara/lembaga.
Menteri/pimpinan lembaga menyusun dokumen pelaksanaan
anggaran untuk kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya
berdasarkan alokasi anggaran yang ditetapkan oleh Presiden.
Di dalam dokumen pelaksanaan anggaran, sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), diuraikan sasaran yang hendak dicapai, fungsi,
program dan rincian kegiatan, anggaran yang disediakan untuk
mencapai sasaran tersebut, dan rencana penarikan dana tiap-tiap
satuan kerja, serta pendapatan yang diperkirakan.
Pada dokumen pelaksanaan anggaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilampirkan rencana kerja dan anggaran Badan Layanan
Umum dalam lingkungan kementerian negara yang bersangkutan.
Dokumen pelaksanaan anggaran yang telah disahkan oleh Menteri
Keuangan disampaikan kepada menteri/pimpinan lembaga, kuasa
bendahara umum negara, dan Badan Pemeriksa Keuangan.
Pasal 15

(1)

(2)

(3)

(4)

Setelah APBD ditetapkan, Pejabat Pengelola Keuangan Daerah
memberitahukan kepada semua kepala satuan kerja perangkat
daerah agar menyampaikan dokumen pelaksanaan anggaran untuk
masing-masing satuan kerja perangkat daerah.
Kepala satuan kerja perangkat daerah menyusun dokumen
pelaksanaan anggaran untuk satuan kerja perangkat daerah yang
dipimpinnya berdasarkan alokasi anggaran yang ditetapkan oleh
gubernur/bupati/walikota.
Di dalam dokumen pelaksanaan anggaran, sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), diuraikan sasaran yang hendak dicapai, fungsi,
program dan rincian kegiatan, anggaran yang disediakan untuk
mencapai sasaran tersebut, dan rencana penarikan dana tiap-tiap
satuan kerja serta pendapatan yang diperkirakan.
Dokumen pelaksanaan anggaran yang telah disahkan oleh Pejabat
Pengelola Keuangan Daerah disampaikan kepada Kepala satuan
kerja perangkat daerah dan Badan Pemeriksa Keuangan.
Bagian Ketiga
Pelaksanaan Anggaran Pendapatan

(1)

Pasal 16
Setiap kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah
yang mempunyai sumber pendapatan wajib mengintensifkan
perolehan pendapatan yang menjadi wewenang dan tanggung
jawabnya.

7

(2)
(3)

(4)

Penerimaan harus disetor seluruhnya ke Kas Negara/Daerah pada
waktunya yang selanjutnya diatur dalam peraturan pemerintah.
Penerimaan kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat
daerah tidak boleh digunakan langsung untuk membiayai
pengeluaran.
Penerimaan berupa komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai
akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh
negara/daerah adalah hak negara/daerah.
Bagian Keempat
Pelaksanaan Anggaran Belanja
Pasal 17

(1)

(2)

Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran melaksanakan
kegiatan sebagaimana tersebut dalam dokumen pelaksanaan
anggaran yang telah disahkan.
Untuk keperluan pelaksanaan kegiatan sebagaimana tersebut dalam
dokumen pelaksanaan anggaran, Pengguna Anggaran/Kuasa
Pengguna Anggaran berwenang mengadakan ikatan/perjanjian
dengan pihak lain dalam batas anggaran yang telah ditetapkan.
Pasal 18

(1)

(2)

(3)

Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran berhak untuk
menguji, membebankan pada mata anggaran yang telah disediakan,
dan memerintahkan pembayaran tagihan-tagihan atas beban
APBN/APBD.
Untuk melaksanakan ketentuan tersebut pada ayat (1), Pengguna
Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran berwenang:
a. menguji kebenaran material surat-surat bukti mengenai hak
pihak penagih;
b. meneliti
kebenaran
dokumen
yang
menjadi
persyaratan/kelengkapan sehubungan dengan ikatan/ perjanjian
pengadaan barang/jasa;
c. meneliti tersedianya dana yang bersangkutan;
d. membebankan pengeluaran sesuai dengan mata anggaran
pengeluaran yang bersangkutan;
e. memerintahkan pembayaran atas beban APBN/APBD.
Pejabat yang menandatangani dan/atau mengesahkan dokumen
yang berkaitan dengan surat bukti yang menjadi dasar pengeluaran
atas beban APBN/APBD bertanggung jawab atas kebenaran
material dan akibat yang timbul dari penggunaan surat bukti
dimaksud.
Pasal 19

(1)
(2)

Pembayaran atas tagihan yang menjadi beban APBN dilakukan oleh
Bendahara Umum Negara/Kuasa Bendahara Umum Negara.
Dalam rangka pelaksanaan pembayaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) Bendahara Umum Negara/Kuasa Bendahara Umum
Negara berkewajiban untuk:
a. meneliti kelengkapan perintah pembayaran yang diterbitkan
oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran;
b. menguji kebenaran perhitungan tagihan atas beban APBN yang
tercantum dalam perintah pembayaran;
c. menguji ketersediaan dana yang bersangkutan;
d. memerintahkan pencairan dana sebagai dasar pengeluaran
negara;
e. menolak pencairan dana, apabila perintah pembayaran yang
diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna
Anggaran tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
Pasal 20

(1)

Pembayaran atas tagihan yang menjadi beban APBD dilakukan oleh
Bendahara Umum Daerah.

8

(2)

Dalam rangka pelaksanaan pembayaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) Bendahara Umum Daerah berkewajiban untuk:
a. meneliti kelengkapan perintah pembayaran yang diterbitkan
oleh Pengguna Anggaran;
b. menguji kebenaran perhitungan tagihan atas beban APBD yang
tercantum dalam perintah pembayaran;
c. menguji ketersediaan dana yang bersangkutan;
d. memerintahkan pencairan dana sebagai dasar pengeluaran
daerah;
e. menolak pencairan dana, apabila perintah pembayaran yang
diterbitkan oleh Pengguna Anggaran tidak memenuhi
persyaratan yang ditetapkan.
Pasal 21

(1)
(2)

(3)

(4)

(5)
(6)

Pembayaran atas beban APBN/APBD tidak boleh dilakukan sebelum
barang dan/atau jasa diterima.
Untuk
kelancaran
pelaksanaan
tugas
kementerian
negara/lembaga/satuan kerja
perangkat
daerah
kepada
Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran dapat diberikan
uang persediaan yang dikelola oleh Bendahara Pengeluaran.
Bendahara Pengeluaran melaksanakan pembayaran dari uang
persediaan yang dikelolanya setelah :
a. meneliti kelengkapan perintah pembayaran yang diterbitkan
oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran;
b. menguji kebenaran perhitungan tagihan yang tercantum dalam
perintah pembayaran;
c. menguji ketersediaan dana yang bersangkutan.
Bendahara Pengeluaran wajib menolak perintah bayar dari
Pengguna
Anggaran/Kuasa
Pengguna
Anggaran
apabila
persyaratan pada ayat (3) tidak dipenuhi.
Bendahara Pengeluaran bertanggung jawab secara pribadi atas
pembayaran yang dilaksanakannya.
Pengecualian dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam peraturan pemerintah.
BAB IV
PENGELOLAAN UANG
Bagian Pertama
Pengelolaan Kas Umum Negara/Daerah
Pasal 22

(1)
(2)

(3)
(4)

(5)
(6)
(7)

(8)
(9)

Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara berwenang
mengatur dan menyelenggarakan rekening pemerintah.
Dalam rangka penyelenggaraan rekening pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) Menteri Keuangan membuka Rekening Kas
Umum Negara.
Uang negara disimpan dalam Rekening Kas Umum Negara pada
bank sentral.
Dalam pelaksanaan operasional penerimaan dan pengeluaran
negara, Bendahara Umum Negara dapat membuka Rekening
Penerimaan dan Rekening Pengeluaran pada bank umum.
Rekening Penerimaan digunakan untuk menampung penerimaan
negara setiap hari.
Saldo Rekening Penerimaan setiap akhir hari kerja wajib disetorkan
seluruhnya ke Rekening Kas Umum Negara pada bank sentral.
Dalam hal kewajiban penyetoran tersebut secara teknis belum dapat
dilakukan setiap hari, Bendahara Umum Negara mengatur
penyetoran secara berkala.
Rekening Pengeluaran pada bank umum diisi dengan dana yang
bersumber dari Rekening Kas Umum Negara pada bank sentral.
Jumlah dana yang disediakan pada Rekening Pengeluaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (8) disesuaikan dengan rencana
pengeluaran untuk membiayai kegiatan pemerintahan yang telah
ditetapkan dalam APBN.

9

Pasal 23
(1)
(2)

Pemerintah Pusat memperoleh bunga dan/atau jasa giro atas dana
yang disimpan pada bank sentral.
Jenis dana, tingkat bunga dan/atau jasa giro sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), serta biaya sehubungan dengan pelayanan yang
diberikan oleh bank sentral, ditetapkan berdasarkan kesepakatan
Gubernur bank sentral dengan Menteri Keuangan.
Pasal 24

(1)
(2)

(3)

Pemerintah Pusat/Daerah berhak memperoleh bunga dan/atau jasa
giro atas dana yang disimpan pada bank umum.
Bunga dan/atau jasa giro yang diperoleh Pemerintah Pusat/Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada tingkat suku
bunga dan/atau jasa giro yang berlaku.
Biaya sehubungan dengan pelayanan yang diberikan oleh bank
umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada
ketentuan yang berlaku pada bank umum yang bersangkutan.
Pasal 25

(1)

(2)

Bunga dan/atau jasa giro yang diperoleh Pemerintah merupakan
Pendapatan Negara/Daerah.
Biaya sehubungan dengan pelayanan yang diberikan oleh bank
umum dibebankan pada Belanja Negara/Daerah.
Pasal 26

(1)

(2)
(3)

Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara dalam hal
tertentu dapat menunjuk badan lain untuk melaksanakan
penerimaan dan/atau pengeluaran negara untuk mendukung
kegiatan operasional kementerian negara/lembaga.
Penunjukan badan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam suatu kontrak kerja.
Badan lain yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berkewajiban menyampaikan laporan secara berkala kepada
Bendahara Umum Negara mengenai pelaksanaan penerimaan
dan/atau pengeluaran sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya.
Pasal 27

(1)

(2)

(3)
(4)

(5)

(6)

(1)

Dalam rangka penyelenggaraan rekening Pemerintah Daerah,
Pejabat Pengelola Keuangan Daerah membuka Rekening Kas
Umum
Daerah
pada
bank
yang
ditentukan
oleh
gubernur/bupati/walikota.
Dalam pelaksanaan operasional Penerimaan dan Pengeluaran
Daerah, Bendahara Umum Daerah dapat membuka Rekening
Penerimaan dan Rekening Pengeluaran pada bank yang ditetapkan
oleh gubernur/bupati/walikota.
Rekening Penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
digunakan untuk menampung Penerimaan Daerah setiap hari.
Saldo Rekening Penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
setiap akhir hari kerja wajib disetorkan seluruhnya ke Rekening Kas
Umum Daerah.
Rekening Pengeluaran pada bank sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diisi dengan dana yang bersumber dari Rekening Kas
Umum Daerah.
Jumlah dana yang disediakan pada Rekening Pengeluaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan rencana
pengeluaran untuk membiayai kegiatan pemerintahan yang telah
ditetapkan dalam APBD.
Pasal 28
Pokok-pokok mengenai pengelolaan uang negara/daerah diatur
dengan peraturan pemerintah setelah dilakukan konsultasi dengan
bank sentral.

10

(2)

(3)

Pedoman lebih lanjut mengenai pengelolaan uang negara/daerah
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri
Keuangan selaku Bendahara Umum Negara.
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang
berkaitan dengan pengelolaan uang daerah selanjutnya diatur
dengan peraturan daerah.
Bagian Kedua
Pelaksanaan Penerimaan Negara/Daerah oleh Kementerian
Negara/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah
Pasal 29

(1)

(2)

(3)

Menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran dapat
membuka rekening untuk keperluan pelaksanaan penerimaan di
lingkungan kementerian negara/lembaga yang bersangkutan setelah
memperoleh persetujuan dari Bendahara Umum Negara.
Menteri/pimpinan
lembaga
mengangkat
bendahara
untuk
menatausahakan penerimaan negara di lingkungan kementerian
negara/lembaga.
Dalam rangka pengelolaan kas, Bendahara Umum Negara dapat
memerintahkan pemindahbukuan dan/atau penutupan rekening
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 30

(1)

(2)

Gubernur/bupati/walikota dapat memberikan ijin pembukaan
rekening untuk keperluan pelaksanaan penerimaan di lingkungan
pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
Gubernur/bupati/walikota
mengangkat
bendahara
untuk
menatausahakan penerimaan satuan kerja perangkat daerah di
lingkungan pemerintah daerah yang dipimpinnya.
Bagian Ketiga
Pengelolaan Uang Persediaan untuk Keperluan Kementerian
Negara/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah
Pasal 31

(1)

(2)

(3)

Menteri/pimpinan lembaga dapat membuka rekening untuk
keperluan pelaksanaan pengeluaran di lingkungan kementerian
negara/lembaga yang bersangkutan setelah mendapat persetujuan
dari Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara.
Menteri/pimpinan lembaga mengangkat bendahara untuk mengelola
uang yang harus dipertanggungjawabkan dalam rangka
pelaksanaan pengeluaran kementerian negara/lembaga.
Dalam rangka pengelolaan kas, Bendahara Umum Negara dapat
memerintahkan pemindahbukuan dan/atau penutupan rekening
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 32

(1)

(2)

Gubernur/bupati/walikota dapat memberikan ijin pembukaan
rekening untuk keperluan pelaksanaan pengeluaran di lingkungan
satuan kerja perangkat daerah.
Gubernur/bupati/walikota mengangkat bendahara untuk mengelola
uang yang harus dipertanggungjawabkan dalam rangka
pelaksanaan pengeluaran satuan kerja perangkat daerah.
BAB V
PENGELOLAAN PIUTANG DAN UTANG
Bagian Pertama
Pengelolaan Piutang

11

Pasal 33
(1)

(2)

(3)

Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman atau hibah kepada
Pemerintah Daerah/Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik
Daerah sesuai dengan yang tercantum/ditetapkan dalam Undangundang tentang APBN.
Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman atau hibah kepada
lembaga asing sesuai dengan yang tercantum/ditetapkan dalam
Undang-undang tentang APBN.
Tata cara pemberian pinjaman atau hibah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 34

(1)

(2)

Setiap pejabat yang diberi kuasa untuk mengelola pendapatan,
belanja, dan kekayaan negara/daerah wajib mengusahakan agar
setiap piutang negara/daerah diselesaikan seluruhnya dan tepat
waktu.
Piutang negara/daerah yang tidak dapat diselesaikan seluruhnya
dan tepat waktu, diselesaikan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.
Pasal 35

Piutang negara/daerah jenis tertentu mempunyai hak mendahulu sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 36
(1)

(2)

(3)

(4)

Penyelesaian piutang negara/daerah yang timbul sebagai akibat
hubungan keperdataan dapat dilakukan melalui perdamaian, kecuali
mengenai piutang negara/daerah yang cara penyelesaiannya diatur
tersendiri dalam undang-undang.
Penyelesaian piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
menyangkut piutang negara ditetapkan oleh:
a. Menteri Keuangan, jika bagian piutang negara yang tidak
disepakati tidak lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah);
b. Presiden, jika bagian piutang negara yang tidak disepakati lebih
dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sampai
dengan Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah);
c. Presiden, setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan
Rakyat, jika bagian piutang negara yang tidak disepakati lebih
dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
menyangkut piutang Pemerintah Daerah ditetapkan oleh:
a. Gubernur/bupati/walikota, jika bagian piutang daerah yang tidak
disepakati tidak lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah);
b. Gubernur/bupati/walikota, setelah mendapat pertimbangan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, jika bagian piutang daerah
yang tidak disepakati lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
Perubahan atas jumlah uang, sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan ayat (3), ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 37

(1)

(2)

Piutang negara/daerah dapat dihapuskan secara mutlak atau
bersyarat dari pembukuan, kecuali mengenai piutang negara/daerah
yang cara penyelesaiannya diatur tersendiri dalam undang-undang.
Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sepanjang
menyangkut piutang Pemerintah Pusat, ditetapkan oleh:
a. Menteri
Keuangan
untuk
jumlah
sampai
dengan
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
b. Presiden untuk jumlah lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah) sampai dengan Rp100.000.000.000,00 (seratus
miliar rupiah);

12

c.

(3)

(3)
(4)

Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk
jumlah lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sepanjang
menyangkut piutang Pemerintah Daerah, ditetapkan oleh:
a. Gubernur/bupati/walikota untuk jumlah sampai dengan
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah);
b. Gubernur/bupati/walikota
dengan
persetujuan
Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah untuk jumlah lebih dari
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Perubahan atas jumlah uang, sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan ayat (3) ditetapkan dengan undang-undang.
Tata cara penyelesaian dan penghapusan piutang negara/daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) serta dalam
Pasal 36 ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah.
Bagian Kedua
Pengelolaan Utang
Pasal 38

(1)

(2)
(3)

(4)

Menteri Keuangan dapat menunjuk pejabat yang diberi kuasa atas
nama Menteri Keuangan untuk mengadakan utang negara atau
menerima hibah yang berasal dari dalam negeri ataupun dari luar
negeri sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam
Undang-undang APBN.
Utang/hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diteruspinjamkan kepada Pemerintah Daerah/BUMN/BUMD.
Biaya berkenaan dengan proses pengadaan utang atau hibah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibebankan pada Anggaran
Belanja Negara.
Tata cara pengadaan utang dan/atau penerimaan hibah baik yang
berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri serta penerusan
utang
atau
hibah
luar
negeri
kepada
Pemerintah
Daerah/BUMN/BUMD, diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 39

(1)
(2)

(3)
(4)

Gubernur/bupati/walikota dapat mengadakan utang daerah sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang
APBD.
Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah menyiapkan
pelaksanaan pinjaman daerah sesuai dengan keputusan
gubernur/bupati/walikota.
Biaya berkenaan dengan pinjaman dan hibah daerah dibebankan
pada Anggaran Belanja Daerah.
Tata cara pelaksanaan dan penatausahaan utang negara/daerah
diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 40

(1)

(2)

(3)

Hak tagih mengenai utang atas beban negara/daerah kedaluwarsa
setelah 5 (lima) tahun sejak utang tersebut jatuh tempo, kecuali
ditetapkan lain oleh undang-undang.
Kedaluwarsaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertunda
apabila pihak yang berpiutang mengajukan tagihan kepada
negara/daerah sebelum berakhirnya masa kedaluwarsa.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk
pembayaran kewajiban bunga dan pokok pinjaman negara/daerah.
BAB VI
PENGELOLAAN INVESTASI
Pasal 41

(1)

Pemerintah dapat melakukan investasi jangka panjang untuk
memperoleh manfaat ekonomi, sosial dan/atau manfaat lainnya.

13

(2)
(3)
(4)
(5)

Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam
bentuk saham, surat utang, dan investasi langsung.
Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
peraturan pemerintah.
Penyertaan
modal
pemerintah
pusat
pada
perusahaan
negara/daerah/swasta ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Penyertaan modal pemerintah daerah pada perusahaan
negara/daerah/swasta ditetapkan dengan peraturan daerah.
BAB VII
PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH
Pasal 42

(1)
(2)
(3)

Menteri Keuangan mengatur pengelolaan barang milik negara.
Menteri/pimpinan lembaga adalah Pengguna Barang bagi
kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya.
Kepala kantor dalam lingkungan kementerian negara/lembaga
adalah Kuasa Pengguna Barang dalam lingkungan kantor yang
bersangkutan.
Pasal 43

(1)
(2)

(3)

Gubernur/bupati/walikota menetapkan kebijakan pengelolaan barang
milik daerah.
Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah melakukan
pengawasan atas penyelenggaraan pengelolaan barang milik
daerah sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh
gubernur/bupati/walikota.
Kepala satuan kerja perangkat daerah adalah Pengguna Barang
bagi satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya.
Pasal 44

Pengguna Barang dan/atau Kuasa Pengguna Barang wajib mengelola dan
menatausahakan barang milik negara/daerah yang berada dalam
penguasaannya dengan sebaik-baiknya.
Pasal 45
(1)
(2)

Barang milik negara/daerah yang diperlukan bagi penyelenggaraan
tugas pemerintahan negara/daerah tidak dapat dipindahtangankan.
Pemindahtanganan barang milik negara/daerah dilakukan dengan
cara dijual, dipertukarkan, dihibahkan, atau disertakan sebagai
modal Pemerintah setelah mendapat persetujuan DPR/DPRD.
Pasal 46

(1)

Persetujuan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2)
dilakukan untuk:
a. pemindahtanganan tanah dan/atau bangunan.
b. tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada huruf a
ayat ini tidak termasuk tanah dan/atau bangunan yang :
1) sudah tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau
penataan kota :
2) harus dihapuskan karena anggaran untuk bangunan
pengganti sudah disediakan dalam dokumen pelaksanaan
anggaran;
3) diperuntukkan bagi pegawai negeri;
4) diperuntukkan bagi kepentingan umum;
5) dikuasai negara berdasarkan keputusan pengadilan yang
telah memiliki kekuatan hukum tetap dan/atau
berdasarkan ketentuan perundang-undangan, yang jika
status kepemilikannya dipertahankan tidak layak secara
ekonomis.
c. Pemindahtanganan barang milik negara selain tanah dan/atau
bangunan yang bernilai lebih dari Rp100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah).

14

(2)

(3)

Pemindahtanganan barang milik negara selain tanah dan/atau
bangunan yang bernilai lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah) sampai dengan Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar
rupiah) dilakukan setelah mendapat persetujuan Presiden.
Pemindahtanganan barang milik negara selain tanah dan/atau
bangunan yang bernilai sampai dengan Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah) dilakukan setelah mendapat persetujuan
Menteri Keuangan.
Pasal 47

(1)

(2)

Persetujuan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2)
dilakukan untuk:
a. pemindahtanganan tanah dan/atau bangunan.
b. tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada huruf a
ayat ini tidak termasuk tanah dan/atau bangunan yang:
1) sudah tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau
penataan kota;
2) harus dihapuskan karena anggaran untuk bangunan
pengganti sudah disediakan dalam dokumen pelaksanaan
anggaran;
3) diperuntukkan bagi pegawai negeri;
4) diperuntukkan bagi kepentingan umum;
5) dikuasai daerah berdasarkan keputusan pengadilan yang
telah memiliki kekuatan hukum tetap dan/atau berdasarkan
ketentuan perundang-undangan, yang jika status
kepemilikannya dipertahankan tidak layak secara
ekonomis.
c. Pemindahtanganan barang milik daerah selain tanah dan/atau
bangunan yang bernilai lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah).
Pemindahtanganan barang milik daerah selain tanah dan/atau
bangunan yang bernilai sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar
rupiah)
dilakukan
setelah
mendapat
persetujuan
gubernur/bupati/walikota.
Pasal 48

(1)
(2)

Penjualan barang milik negara/daerah dilakukan dengan cara lelang,
kecuali dalam hal-hal tertentu.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
peraturan pemerintah.
Pasal 49

(1)

(2)
(3)

(4)

(5)
(6)

Barang milik negara/daerah yang berupa tanah yang dikuasai
Pemerintah Pusat/Daerah harus disertifikatkan atas nama
pemerintah
Republik
Indonesia/pemerintah
daerah
yang
bersangkutan.
Bangunan milik negara/daerah harus dilengkapi dengan bukti status
kepemilikan dan ditatausahakan secara tertib.
Tanah dan bangunan milik negara/daerah yang tidak dimanfaatkan
untuk kepentingan penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi instansi
yang bersangkutan, wajib diserahkan pemanfaatannya kepada
Menteri Keuangan/ gubernur/bupati/ walikota untuk kepentingan
penyeleng-garaan tugas pemerintahan negara/daerah.
Barang milik negara/daerah dilarang untuk diserahkan kepada pihak
lain sebagai pembayaran atas tagihan kepada Pemerintah
Pusat/Daerah.
Barang milik negara/daerah dilarang digadaikan atau dijadikan
jaminan untuk mendapatkan pinjaman.
Ketentuan mengenai pedoman teknis dan administrasi pengelolaan
barang milik negara/daerah diatur dengan peraturan pemerintah.

BAB VIII
LARANGAN PENYITAAN UANG DAN BARANG MILIK
NEGARA/DAERAH DAN/ATAU YANG DIKUASAI NEGARA/DAERAH

15

Pasal 50
Pihak mana pun dilarang melakukan penyitaan terhadap:
a. uang atau surat berharga milik negara/daerah baik yang berada
pada instansi Pemerintah maupun pada pihak ketiga;
b. uang yang harus disetor oleh pihak ketiga kepada negara/daerah;
c. barang bergerak milik negara/daerah baik yang berada pada instansi
Pemerintah maupun pada pihak ketiga;
d. barang tidak bergerak dan hak kebendaan lainnya milik
negara/daerah;
e. barang milik pihak ketiga yang dikuasai oleh negara/daerah yang
diperlukan untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan.
BAB IX
PENATAUSAHAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN APBN/APBD
Bagian Pertama
Akuntansi Keuangan
Pasal 51
(1)

(2)

(3)

Menteri Keuangan/Pejabat Pengelola Keuangan Daerah selaku
Bendahara Umum Negara/Daerah menyelenggarakan akuntansi
atas transaksi keuangan, aset, utang, dan ekuitas dana, termasuk
transaksi pembiayaan dan perhitungannya.
Menteri/pimpinan lembaga/kepala satuan kerja perangkat daerah
selaku Pengguna Anggaran menyelenggarakan akuntansi atas
transaksi keuangan, aset, utang, dan ekuitas dana, termasuk
transaksi pendapatan dan belanja, yang berada dalam tanggung
jawabnya.
Akuntansi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
digunakan untuk menyusun laporan keuangan Pemerintah
Pusat/Daerah sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan.
Bagian Kedua
Penatausahaan Dokumen
Pasal 52

Setiap orang dan/atau badan yang menguasai dokumen yang berkaitan
dengan perbendaharaan negara wajib menatausahakan dan memelihara
dokumen tersebut dengan baik sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Bagian Ketiga
Pertanggungjawaban Keuangan
Pasal 53
(1)

(2)

(3)

(4)

Bendahara Penerimaan/Bendahara Pengeluaran bertanggung jawab
secara fungsional atas pengelolaan uang yang menjadi tanggung
jawabnya kepada Kuasa Bendahara Umum Negara/Bendahara
Umum Daerah.
Kuasa Bendahara Umum Negara bertanggung jawab kepada
Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara dari segi hak
dan ketaatan kepada peraturan atas pelaksanaan penerimaan dan
pengeluaran yang dilakukannya.
Bendahara Umum Negara bertanggung jawab kepada Presiden dari
segi hak dan ketaatan kepada peraturan atas pelaksanaan
penerimaan dan pengeluaran yang dilakukannya.
Bendahara
Umum
Daerah
bertanggung
jawab
kepada
gubernur/bupati/walikota dari segi hak dan ketaatan kepada
peraturan atas pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran yang
dilakukannya.

16

Pasal 54
(1)

Pengguna Anggaran bertanggung jawab secara formal dan material
kepada
Presiden/gubernur/bupati/walikota
atas
pelaksanaan
kebijakan anggaran yang berada dalam penguasaannya.

(2)

Kuasa Pengguna Anggaran bertanggung jawab secara formal dan
material kepada Pengguna Anggaran atas pelaksanaan kegiatan
yang berada dalam penguasaannya.
Bagian Keempat
Laporan Keuangan
Pasal 55

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal menyusun Laporan
Keuangan Pemerintah Pusat untuk disampaikan kepada Presiden
dalam rangka memenuhi pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.
Dalam penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. Menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/
Pengguna Barang menyusun dan menyampaikan laporan
keuangan yang meliputi Laporan Realisasi Anggaran, Neraca,
dan Catatan atas Laporan Keuangan dilampiri laporan
keuangan Badan Layanan Umum pada kementerian
negara/lembaga masing-masing.
b. Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada huruf a
disampaikan kepada Menteri Keuangan selambat-lambatnya 2
(dua) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
c. Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara menyusun
Laporan Arus Kas Pemerintah Pusat;
d. Menteri Keuangan selaku wakil Pemerintah Pusat dalam
kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan menyusun
ikhtisar laporan keuangan perusahaan negara.
Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan Presiden kepada Badan Pemeriksa Keuangan paling
lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
Menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna
Barang memberikan pernyataan bahwa pengelolaan APBN telah
diselenggarakan berdasarkan sistem pengendalian intern yang
memadai dan akuntansi keuangan telah diselenggarakan sesuai
dengan standar akuntansi pemerintahan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai laporan keuangan dan kinerja
instansi pemerintah diatur dengan peraturan pemerintah
Pasal 56

(1)

(2)

Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah selaku Pejabat
Pengelola Keuangan Daerah menyusun laporan keuangan
pemerintah daerah untuk disampaikan kepada gubernur/bupati/
walikota dalam rangka memenuhi pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD.
Dalam penyusunan laporan keuangan Pemerintah Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. Kepala satuan kerja perangkat daerah selaku Pengguna
Anggaran/Pengguna Barang menyusun dan menyampaikan
laporan keuangan yang meliputi laporan realisasi anggaran,
neraca, dan catatan atas laporan keuangan.
b. Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada huruf a
disampaikan kepada kepala satuan kerja pengelola keuangan
daerah selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah tahun
anggaran berakhir.
c. Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah selaku
Bendahara Umum Daerah menyusun
Laporan Arus Kas
Pemerintah Daerah;

17

d.

(3)

(4)

Gubernur/bupati/walikota selaku wakil pemerintah daerah
dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan
menyusun ikhtisar laporan keuangan perusahaan daerah.
Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan gubernur/bupati/walikota kepada Badan Pemeriksa
Keuangan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran
berakhir.
Kepala satuan kerja perangkat daerah selaku Pengguna
Anggaran/Pengguna Barang memberikan pernyataan bahwa
pengelolaan APBD telah diselenggarakan berdasarkan sistem
pengendalian intern yang memadai dan akuntansi keuangan telah
diselenggarakan sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan.
Bagian Kelima
Komite Standar Akuntansi Pemerintahan
Pasal 57

(1)

(2)

(3)

Dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan
akuntansi pemerintahan dibentuk Komite Standar Akuntansi
Pemerintahan.
Komite Standar Akuntansi Pemerintahan bertugas menyusun
standar akuntansi pemerintahan yang berlaku baik untuk Pemerintah
Pusat maupun Pemerintah Daerah sesuai dengan kaidah-kaidah
akuntansi yang berlaku umum.
Pembentukan, susunan, kedudukan, keanggotaan, dan masa kerja
Komite Standar Akuntansi Pemerintahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Presiden.
BAB X
PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH
Pasal 58

(1)

(2)

Dalam rangka meningkatkan kinerja, transparansi, dan akuntabilitas
pengelolaan keuangan negara, Presiden selaku Kepala
Pemerintahan
mengatur
dan
menyelenggarakan
sistem
pengendalian intern di lingkungan pemerintahan secara menyeluruh.
Sistem pengendalian intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
BAB XI
PENYELESAIAN KERUGIAN NEGARA/DAERAH
Pasal 59

(1)

(2)

(3)

Setiap kerugian negara/daerah yang disebabkan oleh tindakan
melanggar hukum atau kelalaian seseorang harus segera
diselesaikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain
yang karena perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan
kewajiban yang dibebankan kepadanya secara langsung merugikan
keuangan negara, wajib mengganti kerugian tersebut.
Setiap pimpinan kementerian negara/lembaga/kepala satuan kerja
perangkat daerah dapat segera melakukan tuntutan ganti rugi,
setelah mengetahui bahwa dalam kementerian negara/lembaga/
satuan kerja perangkat daerah yang bersangkutan terjadi kerugian
akibat perbuatan dari pihak mana pun.
Pasal 60

(1)

Setiap kerugian negara wajib dilaporkan oleh atasan langsung atau
kepala kantor kepada menteri/pimpinan lembaga dan diberitahukan
kepada Badan Pemeriksa Keuangan selambat-lambatnya 7 (tujuh)
hari kerja setelah kerugian negara itu diketahui.

18

(2)

(3)

Segera setelah kerugian negara tersebut diketahui, kepada
bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang
nyata-nyata melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) segera dimintakan
surat pernyataan kesanggupan dan/atau pengakuan bahwa kerugian
tersebut menjadi tanggung jawabnya dan bersedia mengganti
kerugian negara dimaksud.
Jika surat keterangan tanggung jawab mutlak tidak mungkin
diperoleh atau tidak dapat menjamin pengembalian kerugian negara,
menteri/pimpinan lembaga yang bersangkutan segera mengeluarkan
surat keputusan pembebanan penggantian kerugian sementara
kepada yang bersangkutan.
Pasal 61

(1)

(2)

(3)

Setiap kerugian daerah wajib dilaporkan oleh atasan langsung atau
kepala satuan kerja perangkat daerah kepada gubernur/bupati/
walikota dan diberitahukan kepada Badan Pemeriksa Keuangan
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah kerugian daerah itu
diketahui.
Segera setelah kerugian daerah tersebut diketahui, kepada
bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang
nyata-nyata melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) dapat segera
dimintakan surat pernyataan kesanggupan dan/atau pengakuan
bahwa kerugian tersebut menjadi tanggung jawabnya dan bersedia
mengganti kerugian daerah dimaksud.
Jika surat keterangan tanggung jawab mutlak tidak mungkin
diperoleh atau tidak dapat menjamin pengembalian kerugian daerah,
gubernur/bupati/walikota yang bersangkutan segera mengeluarkan
surat keputusan pembebanan pe