Unduhan – PPPM Now

ISSN 2442-6954

Volume 1, No. 2, November 2015

Jurnal Agraria dan Pertanahan
Daftar Isi
Pengantar Redaksi
Memaknai Masyarakat Sipil Sebagai
The Commons: Transisi & Aksi
Wasisto Raharjo Jati
117-122
Harmonisasi Hukum Pengelolaan SDA
Arditya Wicaksono & Romi Nugroho
123-134
Potensi dan Permasalahan Pulau Sangiang
Sebagai Obyek Tanah Terlantar
Dian Aries Mujiburohman
135-145
Sengketa Pemilikan Tanah Antara TNI dan
Warga Masyarakat di Urut Sewu Kebumen
Nuraini Aisiyah, Bambang Suyudi,

I Gusti Nyoman Guntur, Wisnuntoyo
146-162

Tanah dan Multikulturalisme Warga
Moro-Moro dalam Membangun Pertahanan
Atas Konflik Lahan di Register 45 Mesuji
Lampung
Dharma Setyawan & Heru Islamic
179-189
Zonasi Kawasan Penanaman Modal
di Kabupaten Bantul Berdasarkan Aspek
Tata Guna Tanah
Maharani
190-197
Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian
menjadi Non Pertanian di Kabupaten Magelang
Setiowati & Senthot Sudirman
198-214
Review Buku:
Mampukah Petani Memberi Makan Dunia?

Ciptaningrat Larastiti
215-224

Perjuangan Islam untuk Menata Ketidakadilan
Penguasaan dan Pemilikan Sumber Daya
Agraria di Indonesia
Gita Anggraini
163-178
BHUMI

Volume 1

Nomor 2

Halaman
117-224

Yogyakarta
November 2015


ISSN
2442-6954

DASDSAD

PENGANTAR REDAKSI

Pada edisi bulan November 2015 ini Redaksi

menyajikan ulasan buku yang menyajikan

menyajikan sembilan artikel terpilih dalam
beragam tema. Artikel-artikel tersebut membahas

penafsiran ulang teori klasik Chayanovian
didukung telaah dari beberapa negara mengenai

mengenai konsep tentang the commons yang
wujudnya bukan hanya tanah namun dapat


optimisme masyarakat tani dalam mempertahankan aktivitas bertaninya di tengah situasi lokal

berupa sumberdaya alam lain sehingga
memerlukan harmonisasi dalam pengaturan dan

dan global yang terus menindihnya.
Redaksi mengucapkan terima kasih kepada

pengelolaannya; potensi public land (tanah kuasa
negara) berupa tanah terlantar bekas hak yang

para penulis yang telah mengirim naskah ke
redaksi, dan telah bersedia dan sabar mengikuti

semestinya dapat dioptimalkan untuk pendayagunaan kepentingan masyarakat; konflik agraria

tahapan yang kami tentukan dari awal hingga
akhir. Ucapan terima kasih dan penghormatan

antara masyarakat dan instansi negara; perspektif

agama di dalam mengatur dan mengelola

kepada para mitra bestari: Prof. Dr. Sudjito, S.H.,
M.Si., Prof. Dr. Hartono, DEA., DESS., Dr. Agus

sumberdaya agraria serta menjadikan agama
sebagai motivasi melakukan recovery luka

Suwignyo, yang bersama-sama dengan para reviewer internal bekerja melakukan peninjauan

masyarakat yang mengalami konf lik; dan
perubahan penggunaan tanah dari pertanian

dan pemeriksaan naskah agar senantiasa terjaga
kualitasnya.

menjadi non-pertanian termasuk untuk kepentingan pertumbuhan investasi. Redaksi juga

Demikian yang dapat Redaksi sajikan untuk
pembaca. Selamat menelaah.


ASAA

MEMAKNAI MASYARAKAT SIPIL SEBAGAI THE COMMONS:
TRANSISI & AKSI DALAM TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM
Wasisto Raharjo Jati1

Abstract: This paper aimed to analyzed about both meaning and positioning of civil society as the commons. Its definition have
granted an understanding that public have potential power to organize resources. In recent era, management of resources just
directing to exploiting nature destructively. Those implication have oriented to massivi disaster who mpacted to human life
sustainibility. Both premises such as tragedy of the commons and risk society have great affluence in order to strengthening of the
commons as main actor. Hegemonic discourses likely global warning and climate change become global issuue. Common pool
resources is alternative resoruces management in amidst state and market way. In other word, the comons needs to be encouraged
in strengthening in instutinasionalisation in order to have strong advocacy to guarding resources preservation.
ds: civil society, the commons, natural resources, & common pool resources..
Keywor
eywords:
Abstrak: Artikel ini betujuan menganalisis mengenai pengertian masyarakat sipil sebagai the commons. Pengertian tersebut
memberikan pemahaman bahwa masyarakat memiliki kekuatan potensial untuk mengelola sumber daya alam. Pengelolaan sumber
daya sekarang ini cenderung dikuasai oleh negara dan pasar, yang justru mengarahkan pada aksi eksploitasi dan eksplorasi alam

secara destruktif yang berimplikasi pada bencana yang menimpa kelangsungan hidup manusia. Dua premis penting yakni Tragedy of
The Commons maupun juga Risk Society memberikan pengaruh signifikan dalam penguatan the commons sebagai aktor pengelola
sumber daya alam. Wacana hegemonik seperti halnya pemanasan global maupun juga perubahan iklim merupakan isu kekinian yang
sudah menjadi isu global. Model pengelolaan sumber daya alam yang dikenal common pool resources merupakan tawaran alternatif
di tengah model negara dan pasar yang mengalami kebuntuan dalam melindungi sumber daya alam. The Commons perlu mendapatkan
adanya penguatan secara struktural dan kelembagaan agar mampu memiliki kekuatan advokasi kuat untuk terus menjaga eksistensinya
sebagai pengawal sumber daya alam.
Kata kunci: masyarakat sipil, the commons, sumber daya alam, common pool resources

A. Pendahuluan
Gagasan tragedy of the commons yang

(scarcity). Walhasil, semakin bertambahnya
waktu, individu-individu tersebut akan

dicetuskan oleh Garret Hardin (1968) masih
relevan untuk membincangkan the commons

tereliminasi oleh alam karena minimnya pasokan
sumber daya alam sebagai penyokong kehidupan.


dalam tata kelola sumber daya alam sekarang ini.
Tesis yang menceritakan mengenai kelangkaaan

Berba-gai macam bencana kemanusiaan seperti
halnya kemiskinan, kelaparan, maupun bencana

sumber daya alam yang dialami oleh penduduk
karena keserakahan mereka sendiri. Pada

alam merupakan sebentuk bagian dari bencana.
Adapun populasi the commons yang banyak

akhirnya ketika rasionalitas individu kemudian
lebih diutamakan daripada kepentingan bersama,

dihuni oleh kelas menengah menjadi poin
menarik untuk dikaji. Hal ini terkait konsumsi

implikasi yang terjadi justru adalah kelangkaan


akan hasil sumber daya alam sendiri banyak
digunakan kelas menengah dalam kegiatan

1

Pusat Penelitian Politik – Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia
(P2P

LIPI).
Email:
wasisto.raharjo.jati@gmail.com
Diterima: 3 Oktober 2015

perekonomian. Kondisi itulah yang kemudian
menciptakan adanya hubungan ketergantungan

Direview: 21 Oktober 2015


Disetujui: 30 Oktober 2015

118

Bhumi Vol. 1, No. 2, November 2015

sumber daya alam menjadi tinggi. Beragam

konsepsi bahwa sumber daya alam adalah milik

postulat akademik telah berusaha untuk
mengkerangkai hubungan dependensi tersebut,

publik (public goods). Artinya semua elemen
masyarakat berhak untuk mengakses dan

salah satunya adalah Thomas Malthus. Adapun
Malthus dalam karyanya yang terkenal Essay on

memanfaatkan sumber daya alam tanpa ada

restriksi siapa pun. Namun demikian, melihat

Population menegaskan tentang dua hal yakni 1)
nafsu penduduk tidak bisa ditahan dan 2)

posisi strategis sumber daya alam sebagai aset
penting penjaga hajat hidup orang banyak, negara

pertumbuhan penduduk sendiri tidak bisa
dikontrol. Kedua premis tersebut kemudian

berperan sebagai regulator dan distributor sumber
daya alam dengan mengatasnamakan the com-

diturunkan dalam bentuk pendapat bahwa
pertumbuhan penduduk yang mengikuti deret

mons.
Def inisi pasti mengenai the commons acap kali

ukur tidak bisa sebanding penambahan makanan
yang mengikuti deret hitung. Pandangan Malthu-

kerap dipolitisasi karena menyangkut hajat hidup
orang banyak. The commons adalah masyarakat

sian tersebut memang kontroversial, terlebih bagi
para pengkritiknya semacam Adam Smith,

pengguna sumber daya alam yang bisa dikaitkan
sebagai user pertama. Hal ini dikarenakan terkait

Keynes, dan lain sebagainya. Namun oleh
pengikutnya, pandangan Malthus tersebut

dengan aksesibilitas terhadap penggunaan
sumber daya alam. Negara seringkali

merupakan bukti sahih sebuah keniscayaan.
Hal itulah yang kemudian sumber daya alam

mengatasnamakan dirinya sebagai perwakilan
dari the commons karena berposisi sebagai regu-

menjadi terbatas. Apalagi dikontekskan dengan
posisi kelas menengah yang senantiasa ingin

lator dan juga distributor. Pemahaman tersebut
menjadikan masyarakat sebagai kelompok rentan

mengonsumsi demi hasrat kebutuhan kelas. Maka
diperlukanlah suatu kajian yang membahas

yang perlu mendapatkan pembinaan. Sejatinya
itu diigunakan untuk menelikung peran

mengenai posisi the commons sebagai bentuk
manajemen tata kelola sumber daya alam bersama.

masyarakat sipil agar sumber daya alamnya dapat
dijarah. Adapun berbagai kasus penjarahan

Selain itu, perlu direformulasi mengenai posisi
kelas menengah tersebut dalam relasinya dengan

sumber daya alam selalu dikaitkan dengan potensi
ekonomi, dengan kata lain masyarakat kemudian

sumber daya alam. Hal tersebut menjadi penting
mengenai reposisi masyarakat sipil yang berperan

dipersepsikan sebagai entitas yang diperdayakan
potensinya oleh negara untuk membangun

sebagai aktor konservasi sumber daya alam.
Tulisan ini akan mengelaborasi lebih lanjut

ekonominya sendiri. Padahal, dapat dikatakan
bahwa masyarakat sipil sebagai the commons

mengenai reformulasi gagasan the commons dan
reposisi kelas menengah dalam tata kelola sumber

memiliki potensi kuat dalam pengelolaan sumber
daya alam karena memiliki hak asal-usul kuat.

daya alam dengan berpijak pada peran aksi kelas
menengah dan sejauh mana dampak yang

Hak asal-usul tersebut bersinggungan dengan
akses pertama kali masyarakat dalam

dihasilkan dalam reformulasi the comons.

memanfaatkan sumber daya alam (Wade, 1987).
Pengertian the commons sendiri acap kali

B. Reformulasi Gagasan
“The Commons”

dikaitkan dengan masyarakat adat. Pendapat
tersebut tidaklah salah dikarenakan pengaturan

Pengertian the commons dalam tata kelola
sumber daya alam dimaknai sebagai bentuk
“kepemilikan bersama”. Hal ini merujuk pada

sumber daya alam dikaitkan dengan kearifan
lokal. Komunitas adat memang memiliki aturan
tersendiri agar jangan sampai sumber daya alam

Wasisto Raharjo Jati: Memaknai Masyarakat Sipil sebagai ...: 117-122

119

habis. Hal tersebut dikarenakan ketergan-

bal menunjukkan bahwa isu kerusakan

tungan yang tinggi terhadap alam membuat
kesadaran terhadap sumber daya meningkat.

lingkungan sendiri bukanlah isu yang terlokalisir,
namun itu adalah isu global yang kini mulai

Kondisi tersebut kemudian dimanifestasikan
dalam bentuk penciptaan mito maupun juga

dirasakan segenap masyarakat dunia.
Kembalinya pengelolaan sumber daya alam

adat lainnya yang kemudian membuat
hubungan sakral dengan alam. Bahkan, tidak

kepada publik sebagai the commons sendiri tidak
terlepas solusi kuratif yang disampaikan Hardin.

jarang kemudian dijadikan sebagai bentuk
seremoni adat untuk membina “keharmonisan”

Dalam tulisannya menyebutkan bahwa
pengelolaan sumber daya alam kepada publik

dengan alam. Prilaku konservasi yang
dilakukan secara tradisional tersebut kini masih

ternyata kurang memberikan dampak signifikan
terhadap pengelolaan sumber daya alam. Hardin

ada dalam berbagai wilayah adat tertentu.
Namun demikian, negara juga mengalami

sendiri menyatakan bahwa pengelolaan sumber
daya lebih berbasis common property resources,

keterbatasan dalam mengelola sumber daya alam
sehingga mengundang pasar untuk ikut berperan

yang mengarahkan pada bentuk pengelolaan
eksploitatif. Oleh karena itulah, kemudian

serta dalam mengelolanya. Kondisi ini,
menjadikan adanya transisi dalam memahami

pengelolaan sumber daya alam yang sifatnya open
acces resources lebih ditekankan. Hal ini, justru

sumber daya alam yang tadinya merupakan
barang publik (public goods) menjadi barang

mengarahkan pada bentuk kepemilikian individual terhadap sumber daya alam dan yang

privat (private goods). Perubahan tersebut juga
turut merubah posisi the commons menjadi

terjadi kemudian adalah rasionalitas terhadap
sumber daya alam menjadi kian tidak terkendali.

tereduksi dalam pengelolaan sumber daya alam.
Maka, pembahasan mengenai tata kelola sumber

Beck (1992) kemudian mengingatkan akan
pentingnya kerjasama dan penguatan masyarakat

daya alam kemudian bercabang menjadi 3 bentuk
yakni rezim negara, rezim pasar, maupun juga

sipil sebagai aktor penting dalam pengelolaan
sumber daya alam. Hal itu kemudian diangkat

rezim masyarakat. Adanya fragmentasi ketiga
model mengindikasikan adanya cara melihat tata

dalam tulisannya yang berjudul mengenai Risk
Society yang mengingatkan adanya bencana yang

kelola sumber daya alam merupakan hal vital dan
strategis. Namun demikian, mengingat jumlah

perlu diwaspadai apabila tidak adanya kesadaran
dari the commons untuk saling berpartisipasi

sumber daya alam sangatlah terbatas kemudian
menguatkan kembali the commons sebagai bentuk

dalam pengelolaan sumber daya alam. Risk Society adalah gambaran the commons yang memiliki

manajemen tata kelola sumber daya alam yang
baik.

kemampuan mitigasi yang diakibatkan baik
berupa bencana yang sifatnya natural risk mapun

Penguatan peran masyarakat sipil sebagai the
commons selama ini banyak diinisiasi oleh LSM

juga manufactured risk. Pemahaman tersebut
kemudian melihat bahwa ketersediaan sumber

maupun juga NGO yang memiliki inisiasi kuat
dalam melihat kerusakan alam sebagai isu utama.

daya adalah terbatas sehingga perlu ada kehatihatian dalam mengelolanya. Konsep tersebut

Green Peace adalah bentuk komunitas global
yang sangat peduli terhadap aksi kerusakan alam,

sebenarnya berjalan dengan konsep paradox of
plenty dikembangkan oleh Stiglitz yang melihat

CIFOR yang fokus pada perusakan hutan dan lain
sebagainya. Artinya bahwa dengan partisipasi aktif

bahwa jumlah sumber daya yang sedemikian
besar justru tidak memakmurkan, namun justru

yang ditunjukkan oleh kalangan masyarakat glo-

memiskinkan. Dikarenakan masih ada keinginan

120

Bhumi Vol. 1, No. 2, November 2015

masing-masing pihak untuk terus mengeksplorasi

pertumbuhan ekonomi, namun sekarang ini

dan mengeksploitasi sumber daya alam perlu
diberikan ruang secara deliberatif terhadap

kemudian lebih mengarahkan kepada bentuk
pembangunan manusia. Maka, pembangunan

munculnya penguatan masyarakat sipil sebagai
pengawal sumber daya alam.

ekonomi yang menekankan pada pertumbuhan
ternyata justru tidak hanya merusak lingkungan

Dalam era pos-modern maupun saat ini,
kontek the commons sendiri tidaklah lagi

alam saja, namun juga manusia secara
keseluruhan.

dikaitkan dengan konteks ketergantungan tinggi
terhadap sumber daya alam, namun lebih

Signif ikansi dan transisi the commons yang
semula bersifat tradisional ke modern dan dari

mengarahkan kepada praktik konservasi. Hal itu
menandai adanya era baru dalam melihat sumber

dependen ke resisten menunjukkan bahwa
sumber daya alam kian dipandang sebagai mitra

daya alam yang semula hanya dimaknai sebagai
bentuk kebutuhan. Sekarang ini lebih

sejajar. Pandangan antroposentrisme yang selama
ini melihat alam sebagai objek eksploitasi

mengarahkan pada bentuk penjagaan. Tesis Risk
Society yang lebih menekankan kepada bencana

perlahan-lahan kemudian tereduksi. Sumber
daya alam yang kian terbatas disaat jumlah

yang diakibatkan oleh manusia dalam
memperlakukan alam (manufactured risk)

kebutuhan penduduk dunia semakin bertambah.
Maka sudah saatnya kemudian alam dijaga

memberikan pengaruh luar biasa dalam
membingkai sumber daya alam tersebut. Adanya

supaya tidak habis. Karakter masyarakat sipil
peduli sumber daya alam yang resisten dengan

wacana hegemonik seperti halnya pemanasan global, perdagangan karbon, dan lain sebagainya

segala bentuk eksploitasi alam merupakan bentuk
kesadaran baru yang perlu segera dipupuk dan

membangkitkan kesadaran masyarakat terhadap
sumber daya alam. Paling tidak inilah yang

disemai.

kemudian dirasakan dalam dekade kini yang
kemudian membangkitkan kesadaran masya-

C. Kerjasama & Penguatan The Commons

rakat untuk menjaga sumber daya alam di
lingkungan mereka sendiri.
Menguatnya kesadaran ekologi tersebut
kemudian dimanifestasikan dalam bentuk pilihan
politik yang kemudian dimanifestasikan dalam
ekologi-politik. Ideologi tersebut pada dasarnya
ingin memperjuangkan adanya keseimbangan
antara manusia dengan alam secara seimbang.
Maka kemudian “hijau” sendiri berkembang
sebagai warna politik dari sebuah the commons
dalam mengartikulasikan kepentingan mereka.
Hal itulah yang kemudian berkembang menjadi
ideologi partai hijau. Hadirnya hijau sebagai
warna politik the commons sendiri juga tidak
terlepas dari pergeseran dalam paradigma
pembangunan. Selama ini garis pembangunan
sendiri selalu saja mengejar pada aspek

Inti dari pembahasan the commons terletak
pada gagasan bekerjasama (cooperation).
Kerjasama merupakan bagian dari cara
menghindari adanya over grazing maupun juga
free riding dalam pengaturan sumber daya alam.
Kavlingisasi terhadap slot sumber daya alam justru
mengarah pada “pemain” yang justru bertindak
semakin tamak manakala kepemilikan sumber
daya alamnya habis. Hal itulah yang kemudian
justru dihindari agar tidak mengambil porsi orang
lain dan tidak menimbulkan dampak destruktif
lainnya.
Konteks kerjasama tersebut dilekatkan dalam
bentuk pengelolaan sumber daya alam secara
bersama-sama demi menjaga redistribusi sumber
daya alam tersebut lancar. Dalam hal ini, terdapat
dua analisis utama yang mengkerangkai gagasan
“kerjasama” yakni Prisonners Dilemma dan juga

Wasisto Raharjo Jati: Memaknai Masyarakat Sipil sebagai ...: 117-122

121

Commons Pool Resources. Konteks prisonners

domainnya publik dalam hal pengaturan.

dilemma sendiri merupakan bentuk game theory
yang menempatkan dua pihak harus saling

Revitalisasi dan reaktivasi commons sebagai aktor
penting dalam konservasi sumber daya alam tidak

bekerja satu sama lain secara terpisah untuk
menghindari adanya hukuman. Jikalau salah satu

terlepas dari adanya kegagalan developmentalisme
dalam mengelola sumber daya alam secara baik.

pihak membeberkan rahasianya kepada pihak
pemerintah, maka akan merugikan pihak satunya

Hasilnya kemudian terjadi penguatan terhadap
partisipasi masyarakat sipil dalam konservasi

lagi. Sedangkan apabila kedua pihak saling
bekerjasama untuk diam, maka tidak akan terjadi

sumber daya alam. Penguatan tersebut dapat
diartikan sebagai bentuk pemberdayaan

penangkapan yang dilakukan oleh pihak berwajib.
Gagasan Common Pool Resources sendiri pada

masyarakat sipil dalam mengklaim kembali peran
mereka sebagai konservoir sumber daya yang

dasarnya merupakan bentuk pengelolaan bersama
akan sumber daya alam yang dilakukan oleh

sesungguhnya.
Maka logika collective action sendiri kemudian

masyarakat. Pada dasarnya, pemanfaatan
terhadap sumber daya alam bersifat non-eksklusif

diperlukan dalam menguatkan peran the commons agar lebih berdaya dan berdikari dalam

sehingga setiap orang bisa mengakses keberadaan
sumber daya alam. Maka, kerjasama menjadi hal

pengelolaan sumber daya alam (Ostrom, 1990).
Logika kolektif ini pada dasarnya mengajak pada

yang ditekankan dalam pengelolaan guna
memaksimalkan penggunaan sumber daya alam.

semangat voluntarisme maupun juga
egalitarianisme. Bahwa masyarakat yang

Kedua faktor itulah yang coba untuk dianalisis
mengenai kerjasama sebagai bentuk pengelolaan

terhimpun dalam bagian dari sumber daya alam
bukanlah objek pasif yang sifatnya material.

sumber daya alam, khususnya untuk melihat
mengenai penguatan masyarakat sipil sebagai

Namun perlu dimaknai sebagai subjek aktif yang
partisipatif dalam pengelolaan sumber daya alam.

aktor utama dalam arena itu. Gagasan common
pool resources sendiri merupakan solusi alternatif

Pemahaman tersebut kemudian juga turut
memisahkan antara entitas sumber daya alam

manakala pasar dan negara tidak bisa memberikan
jaminan penuh dalam memberikan redistribusi

dengan kelompok masyarakat yang sebelumnya
digabung. Sekarang ini, peran masyarakat sipil

kepada masyarakat secara umum. Masyarakat
sipil perlu untuk mendapatkan pendampingan

adalah aktor utama dalam penjagaan sumber daya
alam. Adapun aksi advokasi yang dilakukan oleh

secara kelembagaan maupun juga struktural
untuk meneguhkan dirinya sebagai kekuatan

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara yang
memenangkan pertarungan konstitutif dengan

kelompok kepentingan dalam pengaturan sumber
daya alam.

membuahkan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 35/PUU-X/2012 (MK 35) atas UU No 41

D. Commons Based Resources Manage-

Tahun 1999 tentang Kehutanan, Muhammadiyah
yang berhasil membuahkan Putusan MK Nomor

ment (CBRM) sebagai Solusi
Perbincangan mengenai Commons Based Resources Management (CBRM) sebagai solusi
memang tidak terlepas dari paradigma communally owned acces. Pengertian komunal
sebenarnya lebih berpijak pada populisme yang
memiliki cara pandang sumber daya alam adalah

85/ PUU-XI/ 2013 atas Sumber Daya Air
merupakan bagian dari contoh bahwa commons
kini mulai menunjukkan eksistensinya sebagai
kekuatan penekan terhadap praktik pengelolaan
sumber daya alam yang tidak af irmatif. Kedua
putusan juga memberikan contoh bahwa selama
ini yang disangka bahwa masyarakat hanya pasif

122

Bhumi Vol. 1, No. 2, November 2015

terhadap isu sumber daya, ternyata turut pro aktif

terhadap isu lingkungan. Ke depannya, the com-

dalam memperjuangkan sumber daya alam
tersebut.

mons yang berperan sebagai aktor penjaga alam
sendiri bisa proaktif dan membuktikan dirinya

Pancasila melalui semangat gotong royong
sejatinya merupakan cerminan dari the commons

sebagai kelompok berdaya dalam pengelolaan
sumber daya alam agar tetap lestari.

tersebut. Apalagi dengan adanya pengakuan
eksistensi masyarakat adat oleh pemerintah,
tentu semakin menguatkan posisi dan peran
masyarakat adat sebagai aktor penting dalam
penjagaan sumber daya alam. Tentunya
pengakuan eksistensi itu juga perlu diikuti dengan
komitmen pemerintah untuk terus menjaga
relasinya dengan masyarakat adat. Apalagi dalam
progam “Nawa Cita” yang diusung oleh
pemerintah sekarang ini, salah satu poin
utamanya adalah membangun Indonesia dari
pinggiran sebagai basis pembangunan. Maka,
secara otomatis the commons juga ikut
mengalami penguatan baik secara institusional
maupun personal sebagai aktor penekan.
Meskipun dalam rentang setahun, pelaksanaan
progam belum dirasakan secara sepenuhnya.
Namun paling tidak, itu sudah menjadi langkah
awal untuk bisa menguatkan partisipasi masyakat
sebagai the commmons dalam proses
pembangunan.
E. Kesimpulan
Hal yang bisa disimpulkan dari pembahasan
kali ini yang utama adalah transisi posisi the commons yang selama ini dianggap pasif kini mulai
aktif dalam memperjuangkan haknya sebagai
penjaga sumber daya alam. Premis mengenai
Tragedy of The Commons dan juga Risk Society
merupakan contoh kecil tentang perubahan yang
dialami oleh alam manakala kerusakan oleh
manusia semakin membesar. Akhirnya yang
dirugikan sendiri kemudian tidak hanya alam,
namun juga kelangsungan hidup manusia dalam
bertahan hidup.
Maka diperlukan adanya kesadaran ekologi
yang kini terbangun dan kian berkembang

Daftar Pustaka
Beck, U 1992, Risk society: toward new modernity,
London, Sage Publication.
Hardin, G 1968, The Tragedy Of The Commons,
Science, 162(3859), 1243-1248.
Malthus, T 1789, An essay on the principle of population, London: St Paul Chuch Yard.
Ostrom, E 1990, Governing the commons, London: Cambridge University Press.
Wade, R 1987, ‘The Management of Common
Property Resources’, Cambridge journal of
economic, 11, 95-106.

HARMONISASI HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
DI INDONESIA DAN PENGELOLAAN TANAH DI NEGARA
Arditya Wicaksono dan Romi Nugroho1

Abstract
Abstract: Land Management and natural resources in Indonesia is burdened regulation that is not synchronized and consistency.
Administration of it’s the management is burdened by immeasurable institute so that inefficient. This article is empirical law study
where many field facts that is each other impinges so that to the fore need to integrate institute.Furthermore, it takes understanding the regulation of natural resource management, agrarian reform and natural resource management as well as the codification
and unification of the rules of natural resources. explanation reference setting natural resources especially land, as comparisons in
other countries are expected to add the ability to decompose problem of natural resources which more accurate.
Keyword: land, natural resources, disharmony law
Abstrak
Abstrak: Pengelolaan tanah dan sumber daya alam di Indonesia terkendala regulasi yang tidak sinkron dan konsisten. Administrasi
pengelolaannya terkendala lembaga yang beragam sehingga tidak efisien. Tulisan ini merupakan kajian hukum empiris dimana
banyak fakta lapangan yang saling berbenturan sehingga kedepan perlu integrasi lembaga. Lebih lanjut, dibutuhkan kesepahaman
dalam peraturan pengelolaan sumber daya alam, pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam serta kodifikasi dan unifikasi
peraturan sumber daya alam. Gambaran referensi pengaturan sumber daya alam khusunya pertanahan sebagaimana perbandingan di
negara lain diharapkan mampu menambah kekuatan untuk mengurai persoalan sumber daya alam yang lebih tepat.
unci
Kata K
unci: Tanah, Sumber Daya Alam, Inkonsistensi Aturan
Kunci

A. Pengantar
Tanah merupakan sumber daya alam (SDA)
yang penting bagi negara dan menguasai hajat
orang banyak karena berkaitan dengan
kemaslahatan umum (public utilities) dan
pelayanan umum (public services), sehingga harus
dikuasai negara dan dijalankan oleh pemerintah,
sebab sumber daya alam tersebut harus dapat
dinikmati oleh rakyat secara berkeadilan,
keterjangkauan, dalam suasana kemakmuran dan
kesejahteraan umum yang adil dan merata (Faiz
2012). Oleh karena itu sudah sewajarnya pengelolaan tanah harus memberikan kemakmuran

1

Arditya Wicaksono, Peneliti di Pusat Penelitian dan
Pengembangan, Kementerian ATR/BPN. Email:
arditya_wicaksono@yahoo.co.id. Romi Nugroho, Peneliti
di Pusat Penelitian dan Pengembangan Kementerian ATR/
BPN. Email: nugroho.romi@gmail.com
Diterima: 31 Agustus 2015

rakyat sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (3)
UUD 1945. Selain itu, tanah merupakan sumber
daya alam baik hayati maupun non hayati dan
merupakan unsur lingkungan yang sangat
penting bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia. Pentingnya sumber daya alam secara
eksplisit telah disebutkan dalam pasal di atas. Pasal
ini mengamanatkan bahwa pemanfaatan sumber
daya alam khususnya berkaitan dengan tanah
dan seisinya harus ditujukan untuk kepentingan
rakyat banyak.Di dalam politik hukum
pertanahan tidak lain adalah kewenangan atau
kekuasaan untuk mengatur peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan unsurunsur agraria yang meliputi: bumi, air dan ruang
angkasa (dalam batas-batas tertentu) yang
dituangkan dalam kebijakan (policy) yang dalam
kenyataannya tertuang pada kaidah-kaidah
hukum agraria (Koeswahyono dkk. 2007).

Direview: 2 Oktober 2015

Disetujui: 20 Oktober 2015

124

Bhumi Vol. 1, No. 2, November 2015

Amanat konstitusi di bidang pertanahan

produk hukum, duabelas diantaranya berupa

menuntut agar politik dan kebijakan pertanahan
dapat memberikan kontribusi nyata dalam proses

undang-undang yang dari semua itu tidak ada yang
taat asas keadilan sosial, antar undang-undang yang

mewujudkan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia” (Sila kelima Pancasila dalam

terkait dengan pertanahan tersebut saling overlap
dan tidak harmonis. Kondisi inilah yang disebut

Pembukaan UUD 1945) dan mewujudkan
“sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” (Pasal 33

dengan Jungle of Regulation (Joyowinoto 2010).
Berkaca pada pandangan tersebut hendaknya

ayat (3) UUD 1945). Nilai-nilai dasar ini
mensyaratkan dipenuhinya hak rakyat untuk

sinergitas aturan mutlak diperlukan sebab
bagaimanapun pengelolaan negara pasti

dapat mengakses berbagai sumber kemakmuran,
terutama tanah. Tanah adalah sesuatu yang sangat

memerlukan sumber daya yang melimpah
dimana tanah merupakan salah satu potensi yang

vital bagi sebagian besar rakyat Indonesia yang
susunan masyarakat dan perekonomiannya

dalam pengelolaan tanah di Indonesia seluas 190
juta hektar (BPN 2010) tidaklah mampu optimal

bercorak agraris. Tanah adalah kehidupan,
dengan terbukanya akses rakyat kepada tanah

apabila kita masih terkotak-kotak dan tanpa
koordinasi. Sayang sampai sekarang produk

dan melalui kuatnya hak rakyat atas tanah, maka
kesempatan rakyat untuk memperbaiki sendiri

hukum yang ada tidak memasukkan UUPA
sebagai pandangan untuk sinergi, justru investasi

kesejahteraan sosial-ekonominya akan semakin
besar serta martabat sosialnya akan meningkat.

negara yang ada sekarang membuat kita tidak bisa
bergerak sejalan dan padu serasi akibat undang-

Hak-hak dasarnya akan terpenuhi, rasa keadilan
rakyat sebagai warga negara akan tercukupi dan

undang sektoral yang bertentangan satu sama lain.
Mulyanto (2010) dalam orasi pengukuhan

harmoni sosial akan tercipta. Kesemuanya ini
akan menjamin keberlanjutan sistem kemasya-

guru besarnya mengurai bahwa posisi tanah
sebagai matrik dasar sistem penyangga kehidupan

rakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia.
Uraian di atas menunjukkan bahwa Indonesia

belum sepenuhnya dipahami khalayak, termasuk
para mahasiswa. Pemahaman yang diajarkan di

menggunakan konsep negara kesejahteraan
karena tujuan negara adalah untuk kesejahteraan

ilmu tanah selama ini hanya aspek teknis semata,
tapi kurang dari sisi pembahasan aspek-aspek

umum dan negara dipandang hanya merupakan
alat untuk mencapai tujuan bersama kemakmuran

lainnya. Dimensi tanah itu bukan hanya f isik,
tetapi beragam dimensi kehidupan semuanya

dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Pemerintah
dalam negara kesejahteraan diberi tugas

berhubungan dengan tanah. Untuk itu
menurutnya perlu pemahaman ilmu tanah.

membangun kesejahteraan umum dalam berbagai
lapangan (bestuurzorg) dengan konsekuensi

Lebih lanjut Mulyanto (2010) menyebutkan
peningkatan jumlah penduduk di bumi ini

pemberian kemerdekaan kepada administrasi
negara dalam perjalanannya. Tugas pemerintah

menyebabkan peningkatan tekanan pada tanah.
Kehidupan di permukaan bumi tidak saja

bukan hanya lagi sebagai penjaga malam
(nachtwakkersstaat) dan tidak boleh berdiam diri

membutuhkan pangan dan energi, tetapi juga
memerlukan tapak untuk bermukim serta

secara pasif, tetapi harus turut serta secara aktif
dalam kegiatan masyarakat sehingga kesejahteraan

infrastruktur bagi kegiatannya. Peningkatan
jumlah penduduk menyebabkan kelangkaan

bagi semua orang dapat lebih terjamin.
Joyowinoto menyebutkan di BPN dan instansi

tanah (land scarcity) yang makin hari semakin
nyata oleh karena luas bumi ini relatif tetap.

pemerintah lainnya terkait pertanahan terdapat 538

Kondisi ini menyebabkan intensitas dan frekuensi

Arditya Wicaksono & Romi Nugroho: Harmonisasi Hukum ...: 123-134

125

permasalahan yang berhubungan dengan tanah

Permusyawaratan Rakyat tentang Pembaruan

makin meningkat seperti masalah kemiskinan,
pengangguran, ketimpangan penguasaan dan

Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan
melaporkan pelaksanaannya pada Sidang

penggunaan tanah, kerusakan lingkungan,
kelangkaan pangan dan energi, serta sengketa

Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia”.

dan konflik pertanahan.
Mengingat hubungan antara tanah dengan

Di dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 diberi
tafsiran yang longgar berkenaan dengan konsep

kehidupan adalah multi aspek maka pengembangan
Lembaga Pertanahan perlu diarahkan pada

“hak menguasai negara” dan “sebesar-besamya
kemakmuran rakyat”, yang dalam operasio-

pengembangan perspektif bersifat multi-dimensi
dan holistik sebagai matrik dasar sistem penyangga

nalisasinya diwujudkan dalam berbagai undangundang organik seperti UUPA, Undang-Undang

kehidupan. Pengembangan lembaga pertanahan
yang demikian sangat diperlukan untuk penataan

Kehutanan, Undang-Undang Pertambangan dan
lain-lain (Maria Sumrdjono 2008). Ketidak-

kembali hubungan antara tanah dengan kehidupan,
terutama penataan penguasaan dan penggunaan

sinkronan antara berbagai undang-undang yang
mengatur sumber daya agraria/sumber daya alam,

tanah untuk menguatkan Reforma Agraria dalam
upaya mewujudkan tanah untuk keadilan dan

walaupun sama-sama berpijak pada pasal di atas,
namun karena egoisme sektoral yang begitu

kesejahteraan rakyat. Bertitik tolak pada persoalan
di atas maka rumusan masalah pada tulisan ini

tinggi, masing-masing sektor merasa paling
berkompeten mengatur tentang sumber daya

adalah apakah Undang-Undang Pengelolaan
Sumber Daya Alam telah sesuai dengan prinsip-

alam. Walaupun disadari bahwa segenap unsur
sumber daya agraria/sumber daya alam meru-

prinsip negara hukum.
Penggunaan pendekatan kajian hukum

pakan satu ekosistem, tetapi kesadaran masingmasing sektor hanya mengatur fungsi tertentu

empiris akan memberikan gambaran pada halhal apa saja yang menjadi hambatan dan

dari pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya
alam sulit diwujudkan. Berbagai peraturan

ketidakharmonisan pengelolaan sumber daya
alam termasuk di dalamnya pengelolaan bidang

perundang-undangan di bidang sumber daya
agraria/sumber daya alam yang tidak konsisten

pertanahan. Disamping itu pendekatan ini akan
memudahkan menganalisa antar peraturan yang

antara satu dan lainnya makin diperparah oleh
inkonsistensi antara peraturan dan implemen-

tidak selaras, dengan dibuktikan adanya
peraturan yang tumpang tindih. Poin penting

tasinya. Unif ikasi hukum yang diupayakan
melalui berbagai peraturan perundang-undangan

yang menjadi tujuan yaitu ditemukan titik temu
langkah penanganan yang bersifat solutif tanpa

ternyata tidak mampu mengakomodasi keanekaragaman hukum yang masih berlaku di

harus mengedepankan ego sektoral.

masyarakat.
Pertanahan merupakan subsistem dari sumber

B. Harmonisasi Hukum Pengelolaan SDA

daya agraria dan sumber daya alam. Diantara
keduanya terdapat hubungan yang sangat erat,

1) Konflik Kewenangan
TAP

MPR

No.IX/MPR/2001

tentang

Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam, 9 November 2001 Pasal 7 menetapkan:
“Menugaskan kepada Presiden Republik Indonesia untuk segera melaksanakan Ketetapan Majelis

baik dalam kaitan hubungan subsistemnya
maupun dalam kaitan hubungannya dengan
manusia/masyarakat dan negara. Namun
demikian, di sisi lain peraturan perundangundangan di bidang sumber daya agraria dan

126

Bhumi Vol. 1, No. 2, November 2015

sumber daya alam termasuk pertanahan belum

c. Peraturan-peraturan itu tidak boleh berlaku

terpadu bahkan dalam beberapa hal
bertentangan. Keadaan ini sering menimbulkan

surut;
d. Perumusan peraturan-peraturan itu harus jelas

konflik penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah (Murad 1991). TAP MPR

dan terperinci, ia harus dapat dimengerti oleh
rakyat;

Nomor IX/MPR/2001 Pasal 5 ayat (1) huruf a,
menetapkan pengkajian ulang terhadap semua

e. Hukum tidak boleh meminta dijalankannya
hal-hal yang tidak mungkin;

peraturan yang berkenaan dengan pengelolaan
sumber daya agraria dan sumber daya alam

f. Sesama peraturan tidak boleh terdapat
pertentangan satu sama lain;

termasuk pertanahan. Tujuannya agar terdapat
sinkronisasi kebijakan antar sektor pembangunan

g. Peraturan-peraturan harus tetap, tidak boleh
sering diubah-ubah,

dalam rangka prinsip-prinsip tersebut di atas.
Pemenuhan pemberian perlindungan hukum

h. Harus terdapat kesesuaian antara tindakantindakan para pejabat hukum dan peraturan-

dalam suatu peraturan perundang-undangan
merupakan sasaran yang akan dicapai dengan

peraturan yang telah dibuat.
Ketidaksinkronan pengaturan menimbulkan

adanya kepastian hukum. Kepastian hukum akan
tercapai apabila sesuatu peraturan dirumuskan

konflik kewenangan maupun konflik kepentingan. Seringkali hukum pertanahan kurang

secara jelas dan dapat menjadi pedoman untuk
pelaksanaannya, dan peraturan yang ada

dapat diterapkan secara konsisten sehingga
keadaan ini berpengaruh terhadap kualitas

dilaksanakan secara konsekuen serta konsisten
sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang

jaminan kepastian hukum dan perlindungan
hukumnya. Di tengah-tengah era reformasi

beragam (Soerodjo 2003). Disamping itu
kepastian hukum akan tercapai apabila peraturan

terlihat kurang adanya harmonisasi dalam rangka
mewujudkan tuntutan reformasi, yaitu:

yang diterbitkan memenuhi persyaratan formal
berkenaan dengan bentuk pengaturan sesuai tata

supremasi hukum, keterbukaan dan keberpihakan pada kepentingan rakyat. Ketiga hal ini,

urutan peraturan perundang-undangan, dan
materi yang diatur secara substansial tidak

tampaknya supremasi hukum kurang memperoleh perhatian yang seimbang dari segenap

tumpang tindih atau bahkan bertentangan
dengan peraturan yang lebih tinggi tingkatannya

elemen bangsa. Hal ini terlihat dari seringnya
penyelesaian masalah yang lebih menekankan

(dis-sinkronisasi secara vertikal), ataupun
bertentangan dengan peraturan lain yang sejajar

pada power based baik melalui people-power,
pengerahan masa dan sebagainya dari pada

tingkatannya (dis-sinkronisasi secara horisontal).
Menurut Fuller (dalam Rahardjo 1980), ada 8

menggunakan rights-based yang menekankan
pada aspek legalitas yuridis. Hukum dibentuk

(delapan) nilai-nilai yang harus diwujudkan oleh
hukum. Kedelapan nilai-nilai tersebut dinamakan

untuk kepentingan masyarakat. Eksistensi
hukum dimaksudkan untuk menciptakan

“delapan prinsip legalitas” yaitu:
a. Harus ada peraturan-peraturan terlebih

keadilan, memberikan manfaat bagi masyarakat,
serta memberi jaminan kepastian hukum.

dahulu; bahwa tidak ada tempat bagi
keputusan-keputusan secara ad-hoc, atau

Penegakan hukum menjadi bagian penting untuk
memberikan jaminan kepastian hukum. Menurut

tindakan-tindakan yang bersifat arbitrer;
b. Peraturan-peraturan itu harus diumumkan

Soekanto (1993) Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu:

secara layak;

a. Hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini

Arditya Wicaksono & Romi Nugroho: Harmonisasi Hukum ...: 123-134

akan dibatasi pada undang-undang saja;

127

serta selaras dan serasi dengan anggapan dan

b. Penegak hukum, yakni pihak-pihak yang
membentuk maupun menerapkan hukum;

pandangan masyarakat mengenai keadilan
(Goesnadhie 2006,108). Harmonisasi atau

c. Sarana atau fasilitas yang mendukung
penegakan hukum;

keselarasan dalam hukum dimulai dari konsep
hukum sebagai sistem. Dalam hal ini, sistem

d. Masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum
tersebut berlaku atau diterapkan;

didef inisikan sebagai seperangkat unsur yang
menempati relasi yang ketat satu sama lain dan

e. Kebudayaan, yakni hasil karya, cipta, dan rasa
yang didasarkan pada karsa manusia di dalam

relasi dengan lingkungannya, sehingga sebagai
sistem, hukum seperti bagian dalam satu undang-

pergaulan hidup.
Beranjak dari uraian di atas, terlihat bahwa

undang maupun keseluruhan peraturan
perundang-undangan merupakan satu kesatuan

dari faktor perangkat pemerintah terlihat
kurang tegas dalam mengurai benang kusut

yang berhubungan satu sama lain. Dalam rangka
menata sistem hukum nasional yang menyeluruh

pengelolaan sumber daya alam baik itu tanah,
hutan dan tambang sehingga semakin larut

dan terintegrasi, penting dilakukan harmonisasi
hukum dengan maksud melakukan penataan

dan justru semakin membuat kekayaan alam
bukan menjadi sumber kesejahteraan

dan penyesuaian unsur-unsur tatanan hukum
nasional dengan meletakkan pola pikir yang

masyarakat luas akan tetapi kekayaan milik
sebagian kecil orang untuk di eksploitasi.

melandasi penyusunan kerangka sistem hukum
nasional yang dijiwai Pancasila dan bersumber

2) Disharmoni Arah Kebijakan

pada UUD 1945. Dalam perspektif demikian,
harmonisasi hukum dimaksud koheren dengan

Pemerintah
Anekdot ganti pemerintahan ganti kebijakan
sebetulnya bukan masalah sebab eranya memang
terjadi seperti itu, yang kemudian muncul
kepermukaan adalah apabila negara ini dijalankan
dengan melanggar konstitusi dimana prinsipprinsip negara hukum, dan inkonsistensi dalam
menjalankan peraturan perundang-undangan
membuat persoalan SDA semakin terpuruk. Alam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara
mengenai aturan-aturan atau norma-norma
tertentu yang sejiwa dengan asas dan nilai yang
menjadi sumber norma-norma tersebut. Normanorma atau aturan-aturan tersebut berkembang
menjadi sistem hukum, meliputi hukum yang
tertulis dan hukum yang tidak tertulis. Sistem
hukum nasional menganut asas nilai-nilai yang
bersumber pada pandangan hidup Bangsa Indonesia dan merasakannya sebagai sistem hukum
yang selaras dan serasi dengan perasaan keadilan
(sense of justice) dan cita hukum (rechtsidee),

sasaran program pembentukan peraturan
perundang-undangan, yaitu “terciptanya
harmonisasi peraturan perundang-undangan
yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dan
kebutuhan pembangunan”. Peraturan sumber
daya alam khsusunya pada bidang pertanahan
saat ini masih ditemukan disharmoni dalam
kebijakannya, yaitu:
1. Perbedaan antara berbagai undang-undang atau
peraturan perundang-undangan yang terkait;
2. Perbedaan antara peraturan perundangundangan dengan kebijakan instansi
pemerintah (petunjuk pelaksanaan, petunjuk
teknis dan lain lain);
3. Perbedaan antara peraturan perundangundangan dengan yurisprudensi;
4. Perbedaan kebijakan instansi pemerintah pusat
dan pemerintah daerah;
5. Benturan antara wewenang instansi-instansi
pemerintah karena pembagian wewenang
yang tidak sistematis dan jelas.

128

Bhumi Vol. 1, No. 2, November 2015

Merujuk uraian di atas, maka harmonisasi

lahan mereka dan akibatnya menimbulkan

Kebijakan Pengelolaan SDA perlu dilakukan agar
tidak terjadi tumpang tindih wewenang dan

konflik agraria yang juga semakin masif. Untuk
itu alangkah baiknya agar tidak terjadi benturan

perbedaan mekanisme penyelesaian. Sebagai
gambaran belum jelasnya pengelolaan sumber

di lapangan karena secara f isik terdapat perbedaan penggunaan dan pemanfaatan lahan perlu

daya alam adalah data yang diperoleh dari
Kementerian Kehutanan menunjuk luas kawasan

dilakukan sinkronisasi dan penetapan batasan
secara jelas. Penetapan ulang batas dan kewajiban

hutan adalah 136,94 juta hektar atau 69 persen
wilayah Indonesia. Sementara proses lanjutan

menjaga “kepemilikan” lahan hutan dengan lahan
penduduk akan mampu mengurai serta mengu-

setelah penunjukan (Penetapan Tata Guna Hutan
Kesepakatan atau TGHK) tidak pernah dijalankan

rangi potensi konflik sumber daya alam.
Menurut data BPN hingga bulan September

secara serius oleh pemerintah dan sampai kini 121,
74 juta (88%) hektar kawasan hutan belum ditata

2013 kasus pertanahan telah mencapai 4.223 kasus,
sementara laporan akhir tahun Konsorsium

batas. Dengan demikian, dapat diambil benang
merahnya bahwa kawasan hutan yang ada selama

Pembaruan Agraria (KPA) pada tahun 2011
mencatat 163 konflik yang menyebar seluruh In-

ini dan dipakai oleh pemerintah untuk mengusir
rakyat adalah ilegal dan tidak sesuai dengan

donesia. Terjadi peningkatan drastis jika
dibandingkan dengan tahun 2010 (106 konflik).

ketentuan yang berlaku. Jika dicermati lebih lanjut
ada masalah besar di sana, sebab di dalam kawasan

Dari sisi korban, terdapat 22 petani/warga yang
meninggal di wilayah-wilayah sengketa dan

hutan yang ditunjuk secara sepihak, terdapat
sekitar 19.000 desa yang penduduknya setiap hari

konflik agraria. Konflik yang terjadi melibatkan
lebih dari 69.975 kepala keluarga, sementara luas

rawan mengalami kriminalisasi, penggusuran dan
pengusiran paksa dengan dalih kawasan hutan.

area konflik mencapai 472.948,44 hektar. Dari 163
kasus yang terjadi, terdapat 97 kasus pada sektor

Luas Hutan Tanaman Industri (HTI) hingga
kini mencapai 9,39 juta hektar dan dikelola oleh

perkebunan, 36 kaus di sektor kehutanan, dan 1
kasus pada wilayah tambak/pesisir.

262 unit perusahaan dengan izin hingga 100
tahun. Bandingkan dengan izin Hutan Tanaman

Banyak peraturan BPN tidak dapat berlaku di
kawasan hutan dan beberapa kementerian lain.

Rakyat (HTR) yang sampai sekarang hanya seluas
631.628 hektar. Sementara, luas Hak Pengusahaan

Beberapa faktor menyebabkan peraturan
pertanahan tidak bisa mengatur tanah secara op-

Hutan (HPH) di Indonesia 214,9 juta hektar dari
303 perusahaan HPH. Implikasinya yang dapat

timal dimana seyogyanya jika soal tanah seluruh
peraturan hukum yang berlaku mengacu pada

ditimbulkan lebih jauh adalah berupa meluasnya
konflik yang terjadi di kawasan hutan. Sementara

UUPA bukan mengesampingkannya sehingga
kepentingan masyarakat kurang diperhatikan.1

itu, orientasi ekonomi untuk memenuhi tuntutan
pasar global pada komuditas tertentu (dulu kopi,
gula, lalu belakangan karet, dan terahir sawit)
perkebunan menyebabkan pola ekstraksi intensif
perkebunan ini terus dilanggengkan. Bahkan
belakangan semakin masif sejak beberapa dekade
terahir ketika komoditas sawit menjadi primadona
global. Ekstraksi intensif perkebunan ini
menyebabkan penyingkiran rakyat pada akses

1

Terbitnya UU Nomor32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah, kewenangan daerah semakin besar
ketentuan undang-undang tersebut di atas, antara pemerintah
pusat dan daerah mempunyai kewenangan masing-masing.
Khusus untuk wilayah hutan, jika akan dilakukan “kegiatan”
diharuskan memperoleh ijin pinjam pakai dari Menteri
Kehutanan. Kalimantan Tengah provinsi yang sebagian besar
wilayahnya adalah hutan, kementerian kehutanan menetapkan
provinsi ini masuk dalam kawasan kehutanan. Perbedaan dalam
penentuan suatu kawasan hutan, antara Pemerintah Pusat
menentukan Kalimantan Tengah masuk Kawasan Tata Guna

Arditya Wicaksono & Romi Nugroho: Harmonisasi Hukum ...: 123-134

129

Sebagai contoh disharmoni hukum yang terjadi

alam yang terkandung di dalamnya. Komposisi/

di Provinsi Kalimantan Tengah dimana BPN
masih mengakui adanya alas hak yang dimiliki

struktur UUPA memuat 67 Pasal: 58 Pasal + 9 Pasal
ketentuan konversi terdiri dari:

masyarakat sebelum berlakunya UUPA dan tanah
ulayat, sementara itu Kementerian Kehutanan

a. Pasal-Pasal yang memuat dasar dan ketentuan
pokok: 10 Pasal.

membuat TGHK dan Pemerintah Provinsi
membuat peraturan daerah tentang tata ruang

b. Pasal-Pasal yang mengatur tentang tanah: 53
Pasal.

yang membuat BPN tidak bisa melakukan
layanan kepada masyarakat dan kondisi ini

c. Pasal-Pasal yang mengatur di luar a dan b: 4
Pasal

berdampak pada tidak berlakunya hukum tanah
nasional di Provinsi Kalimantan Tengah.

Degradasi UUPA karena disejajarkan dengan
UU Sektoral. Penerbitan berbagai peraturan

Ruang lingkup pengaturan UUPA sejatinya
meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan

perundang-undangan sektoral didorong oleh
semangat pragmatis, yakni untuk mengako-

Hutan Kesepakatan (TGHK) sesuai Keputusan Menteri
Pertanian Nomor 759/KPTS/UM/10/1982, Pemerintah
Provinsi Kalteng membuat Perda Nomor 8 Tahun 2003 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP)
berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 1992 jo UU Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menetapkan tidak
semuawilayahProvinsiKalimantanTengahmerupakankawasan
hutan, tetapi ada yang peruntukan sebagai KPPL dan APL.
Tumpang tindih penentuan suatu kawasan hutan dalam suatu
wilayah khususnya di Kalimantan Tengah. Tata Guna Hutan
Kesepakatan (TGHK) pada saat ini tidak bisa dijadikan acuan
kepastian hukum untuk penentuan suatu kawasan hutan, karena
TGHK tidak mempunyai payung hukum. RTRWP Kalimantan
Tengah dengan Perda Nomor 8 Tahun 2003 tentang RTRWP
pembentukannya didasarkan pada UU Nomor 26 Tahun
2007 tentang Tata Ruang. Ketetapan Pasal 14 ayat 2 UU
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan bahwa
pengukuhan kawasan hutan harus memperhatikan rencana tata
ruang wilayah melalui proses, diantaranya penunjukkan
kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan
kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan. Berdasarkan
Pasal 15 ayat (2) UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
jo. Pasal 18 ayat (2) PP Nomor44 Tahun 2004 dijelaskan bahwa
pengukuhan hutan yang diawali dengan penunjukan kawasan
hutan untuk wilayah provinsi yang dilakukan oleh Menteri
dengan memperhatikan RTRWP dan/atau pemaduserasian
antara TGHK dengan RTRWP. Sesuai dengan penjelasan
Pasal 18 ayat (2) PP Nomor 44 Tahun 2004 dijelaskan bahwa
untuk penunjukan kawasan hutan provinsi yang dilakukan
sebelum ditetapkan RTRWP tetap mengacu pada penunjukan
kawasan hutan provinsi sebelumnya. Jelas bahwa Perda
Nomor 8 Tahun 2003 dapat dijadikan acuan penentuan kawasan
hutan. Tumpang tindih dan ketidakharmonisan peraturan
perundang-undangan kawasan hutan mempersulit masyarakat
mengurus kepemilikan tanah.

modasi investasi dalam rangka mencapai
pertumbuhan ekonomi “pembangunanisme”.
Lebih jauh falsafah, tujuan dan prinsip-prinsip
dari UUPA tidak diakomodasi dalam UU Sektoral.
Pada saat penerbitan UUPA, masalah berkenaan
dengan sumberdaya agraria selain tanah belum
merupakan hal yang strategis, sehingga masalah
berkenaan dengan penanaman modal dan
konflik penguasaan serta pemanfaatan sumberdaya agraria belum diantisipasi (Sumardjono 2011,
1-13). Berikut penjabaran tentang disharmoni
atau inkonsistensi Antar UU Sektoral.
Tabel 1. Gambaran Disharmoni Antar UU
Sektoral
Orientasi

Eksploitasi atau konservasi

Kebepihakan

Pro-rakyat atau pro-kapital

Pengelolaan dan implementasinya

Sentralistik/desentralistik,
sikap terhadap pluralisme
hukum.
Implementasinya: sektoral,
koordinasi, orientasi
produksi
Gender, pengakuan
Masyarakat Hukum Adat
[MHA], penyelesaian
sengketa
Partisipasi, transparansi, dan
akuntabilitas

Perlindungan Hak Asasi Manusia
(HAM)

Pengaturan good governance
Hubungan orang dengan sumber
daya alam

Hak atau izin

Hubungan Negara dengan sumber
daya alam

Hak Menguasau Negara,
Hak Bangsa

Sumber: Maria SW. Sumardjono, Semiloka
“Menuju Kawasan Hutan yang Berkepastian
Hukum dan Berkeadilan”, 2012.

130

Bhumi Vol. 1, No. 2, November 2015

Undang-Undang sektoral yang diterbitkan

tersebut akan menjadi modal penting bagi

pada awal tahun 1970-an cenderung tidak konsisten, bahkan saling bertentangan menyangkut

kelanjutannya. Adanya kesepahaman yang
tertuang dalam satu dokumen yang menjadi

isu/substansi tertentu