Karakteristik Penderita Stroke Hemoragik (SH) Rawat Inap di RSUD Raden Mattaher Provinsi Jambi Tahun 2015

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Definisi Stroke
Stroke adalah penyakit pada otak berupa gangguan fungsi syaraf lokal

dan atau global, munculnya mendadak, progresif, dan cepat. Gangguan fungsi
syaraf

pada stroke disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non

traumatik. Gangguan syaraf tersebut antara lain kelumpuhan wajah atau anggota
badan, bicara tidak lancar, bicara tidak jelas (pelo), perubahan kesadaran, dan
gangguan penglihatan (Kemenkes RI, 2013). Definisi stroke menurut WHO tahun
2005 adalah manifestasi klinik dari gangguan fungsi serebral, baik fokal maupun
menyeluruh yang berlangsung dengan cepat, berlangsung lebih dari 24 jam, atau
berakhir dengan maut tanpa ditemukannya penyebab selain dari pada vaskuler
(Wardhani dan Santi, 2014).
Stroke adalah suatu penyakit defisit neurologis akut yang disebabkan oleh
gangguan pembuluh darah otak yang terjadi secara mendadak dan menimbulkan

gejala dan tanda yang sesuai dengan daerah otak yang terganggu. Ditemukan pada
semua golongan usia, namun sebagian besar akan dijumpai pada usia di atas 55
tahun (Bustan, 2007).
Rata-rata angka kejadian (insiden) stroke adalah 200 per 100.000
penduduk, artinya diantara 100.000 penduduk terdapat 200 orang akan
mendapatkan stroke. Apabila dikelompokkan menurut usia maka angka ini
menjadi sebagai berikut, pada kelompok usia 35-44 tahun insidennya ialah 0,2
per 1.000 , pada kelompok usia 45-54 tahun 0,7 per 1.000 , pada kelompok usia
55-64 tahun 1,8 per 1.000, pada kelompok usia 65-74 tahun 2,7 per 1.000 , pada

Universitas Sumatera Utara

kelompok usia 75-84 tahun 10,4 per 1.000, dan pada usia 85 tahun keatas ialah
13,9 per 1.000 (Lumbantobing, 2013).
2.2

Definisi Stroke Hemoragik (SH)
Stroke hemoragik yang merupakan sekitar 15% sampai 20% dari semua

stroke dapat terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum mengalami ruptur

sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang subarakhnoid atau langsung ke dalam
jaringan otak. Sebagian dari lesi vaskular yang dapat menyebabkan perdarahan
subarakhnoid adalah aneurisma sakular (Berry) dan malformasi arteriovena
(MAV). Mekanisme lain pada stroke hemoragik adalah pemakaian kokain atau
amfetamin, karena zat-zat ini dapat menyebabkan hipertensi berat dan perdarahan
intraserebrum atau subarakhnoid (Price dan Lorraine, 2005).
Perdarahan dapat dengan cepat menimbulkan gejala neurologik karena
tekanan pada struktur-struktur sel saraf di dalam tengkorak. Perdarahan dapat
terjadi di bagian mana saja dari sistem saraf. Secara umum, perdarahan di dalam
tengkorak diklasifikasikan berdasarkan lokasi dalam kaitannya dengan jaringan
otak dan meningen dan oleh tipe lesi vaskular yang ada. Perdarahan ke dalam
lapisan terluar meningen, misalnya perdarahan subdura atau epidura, paling sering
kaitannya dengan trauma. Menurut Smith pada tahun 2001, tipe-tipe perdarahan
yang mendasari stroke hemoragik adalah intraserebrum , intraventrikel, dan
subarakhnoid. Selain lesi vaskular anatomik, penyebab stroke hemoragik adalah
hipertensi, gangguan peredaran darah, pemberian antikoagulan yang terlalu
agresif (terutama pada pasien berusia lanjut), dan pemakaian amfetamin dan
kokain intranasal (Price dan Lorraine, 2005). Perdarahan pada stroke hemoragik

Universitas Sumatera Utara


dapat terjadi di bagian dalam serebral seperti thalamus, basal ganglia, pons, dan
serebellum (Swash and John, 2009).
2.3

Anatomi Dan Fisiologi Otak
Ribuan tahun yang lalu, Aristoteles mendeklarasikan bahwa jantung

merupakan tempat kedudukan jiwa seseorang. Namun, banyak orang yang setuju
bahwa otak adalah organ yang memberi sifat unik pada manusia sebagai suatu
spesies. Selama berabad-abad, studi tentang fungsi otak terbatas pada deskripsi
anatomis. Namun, ketika kita mempelajari otak, terlihat bahwa tidak ada
hubungan yang tepat 1:1 antara struktur dan fungsi otak (Unglaub, 2013).
Otak manusia mempunyai berat sekitar 1400 gram dan terdiri dari sekitar
10 milyar neuron. Ketika setiap neuron dari jutaan neuron tersebut dapat
menerima sebanyak 200.000 sinaps, kemungkinan jumlah hubungan neuron
merupakan nilai yang mengejutkan. Kerumitan selanjutnya adalah sinaps-sinaps
tersebut tidak tetap dan selalu berubah. Prinsip dasar yang perlu diingat ketika
mempelajari otak adalah suatu fungsi, bahkan yang terlihat sederhana seperti
menekuk jari, mengikutsertakan beberapa regio otak (juga korda spinalis).

Sebaliknya satu regio otak dapat ikut serta dalam beberapa fungsi pada saat yang
sama, dengan kata lain memahami otak tidak sederhana dan tidak mudah
(Unglaub, 2013).
Otak merupakan organ yang paling mengagumkan dari seluruh organ. Kita
mengetahui bahwa seluruh angan-angan keinginan dan nafsu, perencanaan, dan
ingatan merupakan hasil akhir dari aktivitas otak. Otak manusia berisi hampir
98% jaringan saraf tubuh atau sekitar 10 miliar neuron yang menjadi kompleks

Universitas Sumatera Utara

secara kesatuan fungsional. Jaringan otak sangat rentan akan kebutuhan oksigen
dan glukosa. Metabolisme otak merupakan proses tetap dan kontinu, tanpa ada
masa istirahat. Bila aliran darah terhenti selama 10 detik maka kesadaran akan
hilang dan penghentian dalam beberapa menit dapat menimbulkan kerusakan
permanen. Hipoglikemia yang berkepanjangan juga merusak jaringan otak.
Aktivitas otak yang tidak pernah berhenti ini berkaitan dengan fungsinya yang
kritis sebagai pusat integrasi, koordinasi organ-organ sensorik, sistem efektor
perifer tubuh, sebagai pengatur informasi yang masuk, menyimpan pengalaman,
impuls yang keluar dan tingkah laku (Muttaqin, 2011).
2.3.1 Pelindung Otak (Muttaqin, 2011)

Jaringan otak dan medula spinalis dilindungi oleh tulang tengkorak dan
tulang belakang serta tiga lapisan jaringan penyambung atau meningen, yaitu pia
mater, arakhnoid, dan dura meter. Masing-masing merupakan suatu lapisan yang
terpisah dan kontinu, antara lapisan pia mater dan arakhnoid terdapat penghubung
yang disebut trabekula. Dura mater juga disebut parhimening, sedangkan pia
mater dan arakhnoid bersama-sama disebut leptomening.
2.3.2 Rongga Subarakhnoid (Duus, 1996)
Rongga leptomeningeal ini terisi oleh cairan serebrospinalis yang
bersirkulasi (CSS). Semua pembuluh darah dan saraf dari otak dan medula
spinalis melewati cairan ini. Oleh karena itu, jika rongga leptomeningeal
terinfeksi, maka pembuluh darah dan saraf akan terlibat melalui proses
peradangan. Arteritis dan flebitis diketahui merupakan penyebab potensial dari
nekrosis jaringan iskemik. Rongga subarakhnoid adalah suatu kelanjutan dari area

Universitas Sumatera Utara

parietalis otak yang memanjang ke bawah, sampai ujung akhir dari kauda equina
dalam regio koksigeus dimana dura spinalis berakhir. Rongga subarakhnoid tidak
berhubungan dengan rongga subdural.
2.3.3


Ventrikel (Price dan Lorraine, 2005)
Ventrikel merupakan rangkaian dari empat rongga dalam otak yang saling

berhubungan dan dibatasi oleh ependimal (semacam sel epitel yang membatasi
semua rongga otak dan medula spinalis dan mengandung CSS). Pada setiap
hemisfer serebri, terdapat satu ventrikel . Pada ventrikel keempat terdapat tiga
lubang sepasang foramen Luschka di lateral dan satu foramen Magendie di
medial, yang berlanjut ke ruang subarakhnoid otak dan medula spinalis.
2.3.4

Cairan Serebrospinal/CSS (Muttaqin, 2011)
Setiap ventrikel terdapat struktur sekresi khusus yang dinamakan pleksus

koroideus. Pleksus koroideus inilah yang menyekresi CSS yang jernih dan tidak
berwarna yang merupakan bantal cairan pelindung di sekitar sistem saraf pusat.
CSS terdiri atas air, elektrolit, gas oksigen dan karbondioksida yang terlarut,
glukosa, beberapa leukosit (terutama limfosit), dan sedikit protein.
Cairan ini berbeda dari cairan ekstraselular lainnya karena cairan ini
mengandung kadar natrium dan klorida yang lebih tinggi sedangkan kadar

glukosa dan kalium lebih rendah. Ini menunjukkan bahwa pembentukannya lebih
bersifat sekresi bukan filtrasi. Setelah mencapai ruang subarakhnoid, maka CSS
akan bersirkulasi di sekitar otak dan medula spinalis, lalu keluar menuju sistem
vaskular (sistem saraf pusat tidak mengandung sistem getah bening). Sebagian
besar CSS direabsorpsi ke dalam darah melalui struktur khusus yang disebut villi

Universitas Sumatera Utara

arakhnoidalis atau granulasio arakhnoidalis, yang menonjol dari ruang
subarakhnoid ke sinus sagitalis superior otak.
CSS diproduksi dan direabsorpsi terus-menerus dalam sistem saraf pusat.
Volume total CSS di seluruh rongga serebrospinal sekitar 125 ml, sedangkan
kecepatan sekresi pleksus koroideus sekitar 500-750 ml per hari. Adanya tekanan
oleh cairan serebrospinal memengaruhi kecepatan proses pembentukan cairan dan
resistensi reabsorpsi oleh vili arakhnoidalis. Fungsi CSS antara lain:
Sebagai alas atau bantalan dari struktur neuron.
Sebagai penyangga dari otak. Secara anatomis otak berada dalam rongga kranium
dan mengapung di dalam cairan serebrospinal. Otak manusia mempunyai berat
sekitar 1400 gr dan hanya seberat 50 gr apabila mendapat sanggahan dari CSS.
Transportasi nutrisi, pesan kimia, dan produk sisa.

2.3.5 Suplai Darah (Muttaqin, 2011)
Sistem saraf pusat seperti juga jaringan tubuh lainnya sangat tergantung
pada aliran darah yang memadai untuk nutrisi dan pembuangan sisa-sisa
metabolismenya. Suplai darah arteri ke otak merupakan suatu jalinan pembuluhpembuluh darah yang bercabang-cabang, saling berhubungan erat sehingga dapat
menjamin suplai darah yang adekuat untuk sel.

Universitas Sumatera Utara

Suplai darahh ini dijamin oleh dua pasang arteri yaitu arteri
teri vertebralis dan
arteri karotis interna
erna, yang memiliki cabang-cabang yangg beranastomosis
membentuk sirkulus
us aarterious serebri Willisi (dapat dilihat pada gambar
ga
2.1).
A.cerebri anterior
an
Lobus frontalis
A.cerebrii media

m
A.carotis in
interna
A.chorioide
oidea
A.communi
unicans posterior
N.oculomot
otorius
A.cerebelli
lli superior
A.cerebrii posterior
pos
A.basilaris
Lobus occip
cipitalis
A.audutiva
va interna
i
A.cerebelli

lli inferior anterior
A.vertebral
bralis
A.spinalis
is anterior
a
A.communi
unicans anterior
Ramus add pontem
pont
N.abducens
ens
N.facialis
A.cerebelli
lli inferior posterior
A.spinalis
is posterior
pos
Cerebellum
um


Gambar 2.1 Sirkulus
us Willisi
W
(Sumber: Spalteholz , Atlas Anatomii Kedokteran)
K
Aliran vena otak
ot tidak selalu paralel dengan suplai darahh arteri,
a
pembuluh
vena meninggalkann otak
ot melalui sinus dura mater yang besarr dan
d kembali ke
sirkulasi umum melal
lalui melalui vena jugularis interna. Arteri medul
edula spinalis dan
sistem vena paralell sa
satu sama lain dan mempunyai hubungan pe
percabangan yang
luas untuk mencukupi
ukupi suplai darah ke jaringan (dapat dilihat pada
da gambar 2.2).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.2

a.

Arteri
ri Cerebri Anterior dan Posterior (Sumber: Spalteholz,
S
Atlas
Anatom
tomi Kedokteran)

Arteri Karotis
Arteri karotiss iinterna dan eksterna bercabang dari arterii karotis
ka
komunis

kira-kira setinggi kartilago
kart
tiroid. Arteri karotis komunis kiri lang
ngsung bercabang
dari arkus aorta, seda
sedangkan arteri karotis komunis kanan berasal
ber
dari arteri
brakiosefalika (merupa
erupakan sisa dari arkus aorta kanan yang panj
panjangnya 1 inci).
Arteri karotis eksterna
rna memperdarahi wajah, tiroid, lidah, dan fari
aring. Cabang dari
arteri karotis eksterna
erna yaitu arteri meningea media, memperda
perdarahi strukturstruktur dalam di daer
daerah wajah dan mengirimkan satu cabang yan
ang besar ke dura
meter. Arteri karotis
is iinterna yang sedikit berdilatasi tepat setelahh percabangannya
pe
disebut sinus karotikus
otikus. Arteri karotis interna masuk ke dalam
am tengkorak dan
bercabang kira-kiraa setinggi
s
kiasma optikum, menjadi arteri sere
erebri anterior dan
media.

Universitas Sumatera Utara

b.

Arteri Serebri
Arteri serebri anterior memberi suplai darah pada struktur-struktur seperti

nukleus kaudatus dan putamen basal ganglia, bagian-bagian kapsula interna dan
korpus kalosum, serta bagian-bagian (terutama medial) lobus frontalis dan
parietalis serebri, termasuk korteks somestetik dan korteks motorik. Bila arteri
serebri anterior mengalami sumbatan pada cabang utamanya maka akan terjadi
hemiplegia kontralateral yang lebih berat di bagian kaki dibandingkan bagian
tangan (ekstremitas bawah lebih terkena dibandingkan dengan ekstremitas atas).
c.

Drainase Vena Otak
Aliran vena batang otak dan serebellum berjalan paralel dengan distribusi

pembuluh arterinya. Sebagian besar drainase vena serebrum adalah melalui venavena dalam, yang mengalirkan darah ke pleksus vena superfisialis dan ke sinussinus dura mater. Akhirnya, sinus-sinus ini mengalirkan darah ke vena jugularis
interna pada dasar tengkorak dan bersatu dengan sirkulasi umum. Sinus-sinus
dura mater terdiri atas sinus sagitalis superior dan inferior, sinus sigmoideus
transversus (lateral), sinus rektus, dan sinus kavernosus.

Universitas Sumatera Utara

2.4

Klasifikasi Stroke Hemoragik (Harsono, 1999)
Menurut WHO

ICD-NA (The Application of the International

Classification of Diseases to Neurology) tahun 1987 stroke hemoragik dibagi
menjadi :
i.

Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral meliputi 10% dari seluruh kasus gangguan

pembuluh darah otak, terjadi di hemisfer serebri (80%) dan batang otak serta
serebelum (20%). Perdarahan intraserebral umumnya terjadi antara umur 50-75
tahun, dan sedikit perbedaan frekuensi antara pria dan wanita. Beberapa
diantaranya pernah mengalami infark otak atau perdarahan. Sebagian besar
penderita perdarahan serebral memiliki riwayat hipertensi dan tekanan darah
biasanya lebih tinggi lagi ketika terjadi perdarahan. Perdarahan intraserebral bisa
terjadi dibagian otak seperti lobar, talamus,putamen, mesensefalon,pons, medula
oblongata, dan serebelum.
ii.

Perdarahan Subarakhnoid
Perdarahan pada rongga subarakhnoid paling sering terjadi akibat dari

ruptur aneurisma besar dalam sirkulus arteriosus serebri, sedangkan penyebab
yang lebih jarang adalah trauma, kelemahan pembuluh darah akibat infeksi, dan
koagulopati. Perdarahan ini ditandai oleh onset mendadak nyeri kepala yang berat,
bisa disertai hilangnya kesadaran, muntah, muntah atau kejang. Karena
perdarahan dapat masif dan ekstravasasi darah ke dalam ruang subarakhnoid
lapisan meningen dapat berlangsung cepat, maka angka kematian sangat tinggi
sekitar 50% pada bulan pertama setelah perdarahan. Penyebab tingginya angka

Universitas Sumatera Utara

kematian ini adalah empat penyulit utama dapat menyebabkan iskemia otak serta
morbiditas dan mortalitas “tipe lambat” yang dapat terjadi lama setelah
perdarahan terkendali. Penyulit-penyulit tersebut adalah (1) vasospasme reaktif
disertai infark, (2) ruptur ulang, (3) hiponatremia, (4) hidrosefalus. Bagi pasien
yang bertahan hidup setelah perdarahan awal, ruptur ulang atau perdarahan ulang
adalah penyulit paling berbahaya pada masa pascaperdarahan dini. Vasospasme
adalah penyulit yang terjadi 3 sampai 12 hari setelah perdarahan awal. Seberapa
luas spasme arteri menyebabkan iskemia dan infark bergantung pada keparahan
dan distribusi pembuluh-pembuluh yang terlibat.
Alat yang sering digunakan untuk mengklasifikasikan keparahan
subarakhnoid adalah Hunt and Hess Classification Grading Scale. Skala lima
tingkat ini digunakan secara luas dalam klinis dan untuk riset. Modifikasi dari
skala Hunt and Hess mencakup tujuh tingkatan keparahan , yang diberi nomor 0
samapi 5. Aneurisma yang tidak mengalami ruptur diberi derajat/tingkat 0, dan
derajat 2 yang asli dibagi lagi menjadi derajat 1a dan 2. Skala tujuh tungkat yang
lebih baru ini dicakupkan dalam situs web the Brain Attack Coalition tahun 2001
yang mencantumkan lima skala stroke yang berbeda, yang semuanya digunakan
untuk mengevaluasi pasien stroke. Kecuali skala Hunt and Hess, yang digunakan
untuk menilai derajat disfungsi dini, skala yang lain digunakan selama pemulihan
stroke untuk menilai derajat kecacatan, tingkat fungsional, dan kemajuan
perbaikan.

Universitas Sumatera Utara

Dalam keadaan normal, jaringan kapiler terdiri dari pembuluh-pembuluh darah
yang garis tengahnya hanya 8/1.000 mm. Karena ukurannya yang halus, arteriolarteriol halus ini memiliki resistensi vaskular tinggi yang memperlambat aliran
darah sehingga oksigen dan zat makanan dapat berdifusi ke dalam jaringan otak.
Pada malformasi arteriovena pembuluh melebar sehingga darah mengalir di antara
arteri bertekanan tinggi dan sistem vena bertekanan rendah. Akhirnya, dinding
venula melemah dan darah dapat keluar dengan cepat ke jaringan otak. Pada
sebagian besar pasien, perdarahan terutama terjadi di intraparenkim dengan
perembesan ke dalam ruang subarakhnoid. Perdarahan mungkin massif, yang
menyebabkan kematian, atau kecil dengan garis tengah 1 cm.
2.5

Faktor Resiko (Bustan, 2015)
Semua faktor yang menentukan timbulnya manifestasi stroke dikenal

sebagai faktor resiko stroke, dikenal juga sebagai stroke profile, sehingga orangorang yang mempunyai stroke profile dinamakan stroke prone persons yaitu orang
yang mempunyai kecendrungan untuk mengidap atau mengalami stroke.

Faktor

resiko stroke secara umum terbagi menjadi dua yaitu faktor resiko tunggal dan
faktor resiko ganda. Faktor resiko tunggal dibagi lagi menjadi dua yaitu yang
terdokumentasi dan kurang terdokumentasi. Faktor resiko terdokumentasi yang
dapat dimodifikasi seperti hipertensi, penyakit jantung, TIA, elevated hematocrit,
dan penyakit Sickle cell sedangkan yang tidak dapat dimodifikasi seperti usia dan
jenis kelamin, ras, prior stroke, asymptomatic carotid bruits, genetik, dan DM tipe
I. Adapun faktor resiko kurang terdokumentasi yang dapat dimodifikasi seperti
tekanan darah dan kadar lemak darah, riwayat merokok, komsumsi alkohol,

Universitas Sumatera Utara

gemuk/obese, dan jarang olahraga, sedangkan yang tidak dapat dimodifikasi
seperti lokasi geografi, iklim dan musim, faktor sosioekonomi.
Faktor resiko ganda juga terbagi menjadi dua yaitu profil Framingham
diantaranya tekanan darah sistolik, kadar gula darah, kadar kolesterol, riwayat
merokok, dan hipertropi ventrikel kiri dan kriteria Paffenbarger dan Williams
diantaranya riwayat merokok, rendah indeks paderol, tekanan darah sistolik, dan
bobot tubuh.
2.6

Epidemiologi Stroke Hemoragik (SH)

2.6.1 Distribusi Frekuensi Stroke Hemoragik Berdasarkan Orang
Berdasarkan data WHO tahun 2008 jumlah kematian di dunia sekitar 57
juta dan 6,15 juta meninggal akibat stroke dengan Proportional Mortality Rate
stroke sebesar 10,78%. Insidensi stroke sangat bergantung pada usia, jenis
kelamin, ras, dan status sosioekonomi. Pada penelitian yang dilakukan oleh AHA
di Amerika Serikat insiden stroke hemoragik 1,4 kali lebih tinggi pada orang kulit
hitam dan 2,5 kali lebih tinggi pada perokok. Penelitian yang dilakukan oleh
Chong dan Ralph Columbia University Neurological Institute tahun 2005 Case
Fatality Rate stroke hemoragik pada orang berkulit hitam mencapai 67%
sedangkan stroke iskemik 25%. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di India
ditemukan 18 orang penderita perdarahan intraserebral dari 127 orang penderita
stroke di usia muda dengan proporsi 14,2%. Ini disebabkan oleh ruptur aneurisma
sebesar 44,4%, malformasi arterivena sebesar 22,3%, hipertensi 22,2%, dan
eklampsia 11,1%.

Universitas Sumatera Utara

Perdarahan intraserebral umumnya terjadi antara umur 50-75 tahun dan
sedikit perbedaan frekuensi antara pria dan wanita. Sebagian besar penderita
perdarahan serebral memiliki riwayat hipertensi dan tekanan darah biasanya lebih
tinggi lagi ketika terjadi perdarahan.
2.6.2 Distribusi Frekuensi Stroke Hemoragik Berdasarkan Tempat
Berdasarkan studi population-based registry di Itali insidensi dari
perdarahan intraserebral adalah 36,9 per 100.000 yang artinya dari 100.000 orang
terdapat 37 orang yang mengalami perdarahan intraserebral. Menurut NINDCS
Stroke Data Bank proporsi rata-rata perdarahan intraserebral adalah 10,7%.
Proporsi perdarahan intraserebral di Denmark 10,4%, Belanda 9%, Midwestern
United States 10%, Alabama Selatan 8%. Proporsi stroke hemoragik bisa saja
lebih tinggi dibeberapa negara, seperti pada penduduk di China dilaporkan
mencapai 39,4% dan di Jepang

mencapai 38,7%. Insiden penyakit stroke

hemoragik ialah 15-30% dan stroke iskemik ialah 70-85%, untuk negara-negara
berkembang atau Asia stroke hemoragik sekitar 30% dan iskemik 70%.
2.6.3

Distribusi Frekuensi Stroke Hemoragik Berdasarkan Waktu
Berdasarkan data penderita stroke di unit stroke RSUP Dr Sardjito tahun

2004 terdapat 61 penderita stroke hemoragik dari 290 penderita stroke dengan
proporsi 21,03%, tahun 2005 terdapat 80 penderita stroke hemoragik dari 371
penderita stroke dengan proporsi 21,56%, tahun 2006 terdapat 117 penderita
stroke hemoragik dari 424 penderita stroke dengan proporsi 27,59%, tahun 2007
terdapat 102 penderita stroke hemoragik dari 407 penderita stroke dengan
proporsi 25,07%, tahun 2008 terdapat 149 penderita stroke hemoragik dari 507

Universitas Sumatera Utara

penderita stroke dengan proporsi 29,39%, dan pada tahun 2009 terdapat 152
penderita stroke hemoragik dari 507 penderita stroke dengan proporsi 30%. Ratarata proporsi stroke hemoragik untuk enam tahun tersebut adalah sebesar 25,77%.
Mortalitas penderita stroke di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta menduduki peringkat
ketiga setelah penyakit jantung dan kanker. Case Fatality Rate 51,58% akibat
stroke hemoragik, 47,37% akibat stroke iskemik, dan 1,05% akibat perdarahan
subarakhnoid.
2.7

Diagnosa Stroke Hemoragik
Membedakan stroke hemoragik dan stroke non hemoragik penting sekali

untuk terapi. Pada keadaan tertentu dimana tidak ada CT-Scan atau penderitanya
kurang mampu, maka diagnosa yang tepat adalah kunci keberhasilan terapi, atas
dasar ini dibuat sistem skor. Adapun sistem skor yang dapat digunakan salah
satunya adalah Siriraj stroke skor yang dapat dihitung dengan rumus sebagai
berikut (Widiastuti, dkk 2015) :
Siriraj stroke skor = (2,5 x tingkat kesadaran) + (2 x muntah) + ( 2 x pusing) +
(0,1 x tekanan darah diastolik) - (3 x atheroma markers) - 12
Keterangan :
Derajat Kesadaran
Sadar penuh = 0
Somnolen = 1
Koma = 2
Vomitus/Muntah
Tidak ada = 0
Ada = 1
Nyeri Kepala/Pusing
Tidak ada = 0
Ada = 1
Atheroma
Tidak ada penyakit jantung, DM = 0

Universitas Sumatera Utara

Ada = 1
Dengan hasil sebagai berikut:
Siriraj skor > 1 merupakan Stroke Hemoragik
-1 > Siriraj skor > 1, perlu pemeriksaan penunjang dalam hal ini CT-Scan
Siriraj skor < -1 merupakan Stroke Non Hemoragik
Stroke hemoragik dibagi menjadi dua jenis yaitu perdarahan intraserebral
dan perdarahan subarakhnoid, berikut diagnosa banding antara perdarahan
intraserebral dan subarakhnoid.
Tabel 2.2

Diagnosa Banding Perdarahan Intra Serebral dan Perdarahan Sub
Arakhnoid
Perdarahan Intra
Perdarahan Sub
Serebral
Arakhnoid
Defisit fokal
Hebat
Ringan
TIA sebelumnya
Sangat jarang
Permulaan
Menit/jam
1-2 menit
Sakit Kepala
Hebat
Sangat hebat
Muntah
Sering
Sering
Hipertensi
Hampir selalu ada
Biasanya tidak ada
Kesadaran
Biasanya hilang
Dapat hilang sebentar
Kaku kuduk
Jarang
Biasanya ada
Lemah sesisi tubuh
Sering sejak permulaan
Tidak ada pada
permulaan
Deviasi mata
Mungkin ada
Tidak ada pada
permulaan
Gangguan Pembicaraan
Sering (tergantung
Sangat jarang
pada sisi kelainan)
Cairan serebrospinal
80% berdarah
Selalu berdarah
10% xanthochrom
(Eri > 150.000/mm3)
10% jernih
(eri > 500/mm3)
Perdarahan subhyaloid
N.III palsy pada permulaan
Echo-ensefalografi
Angiografi pada permulaan

Tak lazim

Mungkin ada

Tak ada

Mungkin ada

Shift+
Hematoma echo+
Shift +

Tak ada kelainan
Shift –

Universitas Sumatera Utara

CT-Scan

2.8

Daerah putih padat
(dense white area) 5080 Hounsfield units

Kadang-kadang normal

Letak Perdarahan Stroke Hemoragik (Harsono, 1999)

2.8.1 Hemisfer Serebri
Hemisfer serebri dibagi menjadi dua belahan, yaitu hemisfer serebri
sinistra (kiri) dan hemisfer dextra (kanan). Hemisfer serebri kiri mengendalikan
kemampuan memahami dan mengendalikan bahasa serta berkaitan dengan
berpikir “matematis” atau “logis”, sedangkan hemisfer serebri dextra berkaitan
dengan ketrampilan , perasaan, dan kemampuan seni. Hemisfer serebri dapat
dibagi menjadi lobus frontalis, parietalis, oksipitalis, temporalis, insula, dan
rhinencephalon.
2.8.2 Ganglia Basalis
Fungsi ganglia basalis adalah sebagai stasiun-stasiun pemprosesan yang
menghubungkan korteks serebrum dengan nukleus-nukleus thalamus tertentu dan
akhirnya berproyeksi ke korteks serebrum. Adanya gangguan pada bagian ini
akan mengakibatkan penderita mengalami kesukaran untuk memulai gerak yang
diinginkan.
2.8.3 Batang Otak
Batang otak adalah bagian otak yang masih tersisa setelah hemisfer serebri
dan serebellum diangkat. Medula oblongata, pons, dan otak tengah merupakan
bagian bawah atau bagian infratentorium batang otak. Kerusakan pada batang otak
akan mengakibatkan gangguan pada beberapa indra seperti nyeri, suhu, rasa

Universitas Sumatera Utara

kecap, pendengaran, rasa raba, rasa diskriminatif, dan apresiasi bentuk, berat, dan
tekstur.
2.8.4 Serebellum
Terbagi menjadi tiga bagian, yaitu archiserebellum berfungsi untuk
mempertahankan agar seseorang berorientasi terhadap ruangan. Kerusakan pada
daerah ini akan mengakibatkan ataxia tubuh, limbung, dan terhuyung-huyung.
Paleoserebellum mengendalikan otot-otot antigravitas dari tubuh, apabila
mengalami kerusakan akan menyebabkan peningkatan refleks regangan pada otototo penyokong. Neoserebellum berfungsi sebagai pengerem pada gerakan
dibawah kemauan terutama yang memerlukan pengawasan dan penghentian, serta
gerakan halus dari tangan. Kerusakan pada neoserebellum akan mengakibatkan
dysmetria, intention tremo, dan ketidakmampuan untuk melakukan gerakan
mengubah-ubah yang cepat.
2.9

Letak Kelumpuhan (Harsono, 1999)

2.9.1 Hemiparesis Dextra
Kerusakan pada sisi sebelah kiri otak (Hemispere sinistra) yang
menyebabkan kelumpuhan tubuh bagian kanan. Penderita biasanya mempunyai
kekurangan

dalam

komunikasi

verbal.

Namun

persepsi

dan

memori

visuomotornya sangat baik, sehingga dalam melatih perilaku tertentu harus
dengan cermat diperlihatkan tahap demi tahap secara visual. Dalam komunikasi
kita harus lebih banyak menggunakan body language (bahasa tubuh).

Universitas Sumatera Utara

2.9.2 Hemiparesis Sinistra
Kerusakan pada sisi sebelah kanan otak (Hemispere dextra) yang
menyebabkan kelumpuhan tubuh bagian kiri. Pasien dengan kelumpuhan sebelah
kiri sering memperlihatkan ketidakmampuan persepsi visuomotor, kehilangan
memori visual dan mengabaikan sisi kiri. Penderita memberikan perhatian hanya
kepada sesuatu yang berada dalam lapang pandang yang dapat dilihatnya.
2.9.3 Hemiparesis Duplex
Karena adanya sklerosis pada banyak tempat, penyumbatan dapat terjadi
pada dua sisi yang mengakibatkan kelumpuhan satu sisi dan diikuti sisi lain.
Timbul gangguan psedobulber (biasanya hanya pada vaskuler) dengan tandatanda hemiplegi dupleks, sukar menelan, sukar berbicara dan juga mengakibatkan
kedua kaki sulit untuk digerakkan, dan mengalami hipersduksi.
2.10

Penatalaksanaan Medis (Harsono, 1999)
Sekali terjadi perdarahan maka terapi medis tak dapat menghentikannya.

Tujuan terapi adalah menjaga agar penderita tetap hidup dengan harapan
perdarahan dapat berhenti secara spontan. Penatalaksanaan medis stroke
hemoragik didominasi oleh dua hal pokok, yaitu:
a.

Pilihan antara terapi konservatif dan operatif
Pertimbangan untuk melakukan operasi biasanya bila berhadapan dengan

hematom di daerah superfisial hemisfer serebri atau perdarahan serebral.
Sementara itu perdarahan di bagian lebih dalam lagi (nukleus kaudatus, talamus,
pons, mesensefalon) tidak dianjurkan untuk dioperasi. Di lain pihak, kasus-kasus
tertentu (perdarahan intraventikular, perdarahan serebelar dengan hidrosefalus)

Universitas Sumatera Utara

memerlukan pemasangan pirau ventrikulo-peritoneal. Bila volume hematom
kurang dari 60 ml maka lebih baik dirawat secara konservatif; bila volume
hematom lebih besar dari 60 ml dan letaknya di bagian lateral maka
dipertimbangkan untuk dilakukan operasi.
b.

Terapi konservatif

b.1

Pencegahan peningkatan TIK lebih lanjut
Upaya pencegahan peningkatan tekanan intrakranial (TIK) lebih lanjut

adalah pengendalian hipertensi dan pengobatan kejang. Hipertensi yang menetap
akan meningkatkan TIK. Bagaimanapun juga pengendalian hipertensi harus hatihati karena apabila terjadi hipotensi maka otak akan terancam iskemia dan
kerusakan neuron. Kesulitan ini dilengkapi oleh tiadanya pengetahuan tentang
keseimbangan optimal antara perfusi serebral yang cukup dan pengendalian TIK.
Pemberian obat untuk hipertensi berat pada tahap akut adalah suatu keharusan,
dengan tujuan untuk memelihara tekanan perfusi serebral antara 60-70 mmHg.
Masalah dalam kaitan ini adalah pemilihan obat antihipertensi. Nitroprusid,
hidralisin, dan verapamil merupakan vasodilator perifer dan serebral, dengan
demikian mempunyai potensi untuk meningkatkan TIK. Obat yang dianjurkan
adalah beta blocker atau obat yang mempunyai aksi beta dan alpha blocking
(misalnya labetolol), diberikan secara intravena, dikombinasikan dengan
diuretika.
Kejang biasanya terjadi pada perdarahan di lobar daripada di bagian
dalam. Pemberian antikonvulsan secara rutin tidak dianjurkan. Pada hiperglikemia
tidak dianjurkan untuk diberi difenilhidantoin karena glukosa darah akan

Universitas Sumatera Utara

meninggi dan kejang tak terkontrol. Secara umum, antikonvulsan yang dianjurkan
adalah difenilhidantoin (bolus intravena) dan diazepam.
b.2

Pengendalian peningkatan TIK
Secara umum terapi untuk hipertensi intrakranial meliputi hiperventilasi,

diuretika, dan kortikosteroid. Hiperventilasi paling efektif untuk menurunkan
hipertensi intrakranial secara cepat, biasanya dalam beberapa menit untuk
mencapai tingkat hipokapnia antara 25-30 mmHg.
Urea intravena (0,30 gr/Kg BB) atau lebih umum dipakai manitol (0,251,0 gr/Kg BB) dapat menurunkan TIK secara cepat, sering diberikan bersamasama dengan hiperventilasi pada kasus herniasi otak yang mengancam. Pada
kasus demikian, kortikosteroid tidak ada manfaatnya dan justru dapat memberi
kerugian kepada penderita misalnya mudah terkena infeksi, hiperglikemia, dan
perdarahan lambung (stress ulcer).
Apabila upaya menurunkan TIK tidak memberikan hasil maka perlu
dipertimbangkan untuk evakuasi hematom karena hipertensi intrakranial yang
menetap akan membahayakan kehidupan penderita.
2.11

Pencegahan Stroke

2.11.1 Pencegahan Primer (Price dan Lorraine, 2005)
Merupakan upaya yang dilakukan untuk mengurangi faktor resiko yang
sudah ada dalam individu tetapi belum menderita stroke. Terdapat dua pendekatan
utama pada pencegahan stroke: (1) strategi kesehatan masyarakat atau populasi
dan (2) strategi resiko tinggi. Strategi populasi didasarkan pada peraturan dan
program pendidikan yang bertujuan mengurangi perilaku beresiko pada seluruh

Universitas Sumatera Utara

populasi. Strategi resiko tinggi mengarahkan upaya untuk orang-orang yang
memiliki resiko stroke di atas rata-rata.
Agar hemat biaya, pendekatan resiko tinggi harus didasarkan pada resiko
basal (absolut) seseorang mengalami suatu kejadian dan bukan didasarkan hanya
pada usia atau pertimbangan resiko relatif yang berkaitan dengan satu faktor
resiko. Pada semua kelompok usia dan di semua kategori resiko, perempuan
memiliki resiko absolut yang lebih rendah daripada laki-laki. Contoh dari
pencegahan primer yaitu program Pos Pembinaan Terpadu PTM (Posbindu PTM)
yang dibentuk oleh Kemenkes RI.
2.11.2 Pencegahan Sekunder
Merupakan upaya tingkat dua yang dilakukan setelah seseorang individu
mengalami stroke, bentuk upaya yang dilakukan dalam pencegahan sekunder
adalah diagnosa dini dan memperbaiki kondisi penderita stroke agar tidak
memburuk melalui pengobatan yang tepat. Pencegahan sekunder pertama yaitu
melalui diagnosa, menurut Batticaca (2008) diagnosa stroke adalah sebagai
berikut:
i.

Pemeriksaan klinis (Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik)
a. Riwayat penyakit sekarang (kapan timbulnya, lamanya serangan,
gejala yang timbul).
b. Riwayat penyakit dahulu (hipertensi, jantung, DM).
c. Aktivitas (sulit beraktivitas, kehilangan sensasi penglihatan, gangguan
tonus otot, gangguan tingkat kesadaran).
d. Sirkulasi (hipertensi, jantung, disritmia, gagal ginjal kronis).

Universitas Sumatera Utara

e. Makanan/cairan (nafsu makan berkurang, mual, muntah pada fase
akut, hilang sensasi pengecapan pada lidah, obesitas sebagai faktor
resiko).
f. Neurosensorik (sinkop atau pingsan, vertigo, sakit kepala, penglihatan
berkurang atau ganda, hilang rasa sensorik kontralateral, afasia
motorik, reaksi pupil tidak sama).
g. Kenyamanan (sakit kepala dengan intensitas yang berbeda, tingkah
laku yang tidak stabil, gelisah, ketergantungan otot).
h. Pernapasan (merokok sebagai faktor resiko, tidak mampu menelan
karena batuk).
i. Interaksi sosial (masalah bicara, tidak mampu berkomunikasi).
ii.

Pemeriksaan laboratorium
a. Darah rutin
b. Gula darah
c. Urine rutin
d. Cairan serebrospinal
e. Analisa gas darah (AGD)
f. Biokimia darah
g. Elektrolit

iii.

Pemeriksaan penunjang
a. Angiografi serebral. Membantu menentukan penyebab stroke secara
spesifik misalnya pertahanan atau sumbatan arteri.
b. Skan Tomografi Komputer (Computer Tomography scan-CT-Scan ).
Mengetahui adanya tekanan normal dan adanya trombosis, emboli

Universitas Sumatera Utara

serebral, dan tekanan intrakranial. Kadar protein total meningkat,
beberapa kasus trombosis disertai proses inflamasi.
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI). Menunjukkan daerah infark,
perdarahan, malforrnasi arteriovena (MAV).
d. Ultrasonografi doppler (USG doppler). Mengidentifikasi penyakit
arteriovena (masalah sistem arteri karotis [aliran darah atau timbulnya
plak]) dan arteriosklerosis.
e. Elektroensefalogram(Electroencephalogram-EEG).Mengidentifikasi
masalah pada gelombang otak dan memperlihatkan daerah lesi yang
spesifik.
f. Sinar tengkorak. Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pienal
daerah yang berlawanan dari massa yang meluas, kalsifikasi karotis
interna terdapat pada trombosis serebral, kalsifikasi parsial dinding
aneurisma pada perdarahan subarakhnoid.
Pencegahan sekunder kedua yaitu pengobatan yang tepat. Berbagai
penelitian mengenai pengobatan stroke seperti penelitian yang dilakukan pada
tahun 1996 mengenai The European Stroke Prevention Study of antiplatelet anti
agregant drugs dan penelitian Albers dkk pada tahun 2001 terhadap obat
anhibitor glikoprotein IIb/IIIa jelas memperlihatkan efektivitas obat antiagregasi
trombosit dalam mencegah kambuhnya stroke dan Aggrenox adalah satu-satunya
kombinasi aspirin dan dipiridamol yang telah dibuktikan efektif untuk mencegah
stroke berulang (Price dan Lorraine, 2005).

Universitas Sumatera Utara

2.11.3 Pencegahan Tersier (Ginsberg, 2007)
Meliputi program rehabilitasi penderita stroke yang diberikan setelah
mengalami stroke. Tujuan dari rehabilitasi adalah mengembalikan kemampuan
maksimal dan kemandirian pasien dalam batas-batas yang disebabkan oleh
kecacatan dan kebutuhannya, adapun yang dapat dilakukan yaitu :
a.

Fisioterapi
Ahli fisioterapi dan perawat secara umum lebih paham dari pada staf

medis mengenai hal mengangkat dan menggerakkan pasien yang imobil,
masukan-masukan dari mereka adalah vital saat pasien memulai mobilisasi,
termasuk tata laksana spastisitas dan penggunaan alat bantu berjalan (tongkat,
kruk, penyangga), dan bidai untuk kelemahan pergelangan tangan dan kaki.
b.

Terapi okupasional
Penilaian efek kecacatan pada aktivitas pasien sehari-hari adalah wilayah

terapi okupasional (occupational theraphy,OT). Digunakan daftar tilik formalActivities of Daily Living dengan perhatian khusus pada aktivitas makan,
perawatan diri dan mandi, fungsi sfingter dan kemandirian pergi ke toilet,
berpakaian dan mobilitas (termasuk berpindah dari kursi ke tempat tidur, berjalan
atau menggunakan kusri roda, dan kemampuan untuk berjalan di tangga).
Penilaian awal dilakukan di rumah sakit namun dibutuhkan pula kunjungan rumah
selanjutnya. OT harus memberikan informasi mengenai modifikasi struktural dan
alat bantu, misalnya tangga dan lift. Tuntunan mengenai jenis kursi roda dan
penyesuaian alat juga disediakan oleh OT.

Universitas Sumatera Utara

c.

Neuropsikologi
Ahli psikologi klinis terlibat dalam penilaian dan diagnosis pasien dengan

disfungsi kognitif. Beberapa ahli juga terlibat dalam pelatihan kembali dan
konsultasi pasien dengan kerusakan otak
d.

Kerja sosial
Pendampingan dengan pelayanan sosial penting sebelum pasien yang cacat

dapat meninggalkan bangsal nuerologis akut, yang

menjadi perhatian akhir

adalah pekerjaan pasien, karena pasien mengalami keterbatasan untuk kembali ke
pekerjaan awalnya maka diperlukan periode istirahat yang diperpanjang jika
dimungkinkan.
2.12

Kerangka Konsep

Karakteristik Penderita Stroke Hemoragik (SH)
Sosiodemografi
Umur
Jenis Kelamin
Agama
Pekerjaan
Status Perkawinan
Tempat Tinggal
Faktor Resiko
Keluhan Utama
Keadaan Medis
Tekanan Darah
Kadar Gula Darah Sewaktu
Kadar Lemak Darah
Letak Kelumpuhan
Hasil CT-Scan
Letak Perdarahan
Penatalaksanaan Medis
Lama Rawatan Rata-Rata
Sumber Biaya
Asal Rujukan
Keadaan Sewaktu Pulang

Universitas Sumatera Utara